• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi In Vitro Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat Sebagai Sediaan Floating Dari Ranitidin Hcl

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi In Vitro Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat Sebagai Sediaan Floating Dari Ranitidin Hcl"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin lunak atau keras. Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul yang semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan. Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel, 2008).

(2)

7

Ukuran cangkang kapsul yang sesuai harus dipilih untuk membuat sediaan kapsul penuh. Cangkang kapsul keras tersedia dalam delapan ukuran. Berat jenis campuran serbuk akan mempengaruhi pemilihan ukuran kapsul. Delapan ukuran kapsul beserta taksiran kapasitas (berdasarkan penambahan laktosa) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Ukuran kapsul beserta taksiran kapasitas (berdasarkan penambahan laktosa)

No. Kapsul 000 00 0 1 2 3 4 5

Kandungan (mg) 950 650 450 300 250 200 150 100

Sebagian besar bahan yang digunakan untuk mengisi kapsul adalah dalam bentuk serbuk. Biasanya merupakan campuran dari bahan aktif bersama dengan kombinasi dari jenis bahan tambahan yang berbeda. Jenis bahan tambahan yang biasanya digunakan dalam pengisi serbuk kapsul antara lain:

• Diluen,

• Lubrikan, menurunkan daya lekat serbuk terhadap alat

• Glidan, meningkatkan aliran serbuk

• Agen pembasah, meningkatkan penetrasi air

• Desintegran, menghasilkan perpecahan massa serbuk

• Stabilizer, meningkatkan stabilitas produk

(3)

8

koloidal, atau lubrikan yang dapat menghasilkan fungsi alat pengisi yang lebih efisien seperti magnesium stearat (Aulton, 2007).

2.2 Gastroretentive Drug Delivery System

Sistem penghantaran obat yang tertahan di lambung atau Gastroretentive Drug Delivery System (GRDDS) merupakan bentuk sediaan yang dapat tetap

berada di lambung selama beberapa jam sehingga secara signifikan memperpanjang waktu tinggal obat di lambung. Peningkatan waktu retensi lambung meningkatkan bioavailabilitas, mengurangi limbah obat, dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang larut dalam lingkungan pH tinggi. Hal ini juga cocok untuk pengiriman obat lokal untuk perut dan bagian proksimal dari usus kecil. Adapun metode untuk membuat sediaan tinggal di lambung adalah:

- Penggunaan bentuk sediaan yang memiliki berat jenis yang lebih rendah dari cairan lambung sehingga menghasilkan daya apung dalam cairan lambung. - Penggunaan bahan yang berat jenisnya tinggi: bahan dengan berat jenis tinggi

(˃2.5g/cm3) akan mempunyai waktu tinggal yang lama di saluran cerna. Hal ini dapat dicapai dengan penambahan bahan seperti barium sulfat.

- Sistem bioadhesi, sistem yang mempunyai daya lekat terhadap mukosa lambung.

- Pemberian obat atau bahan bahan tambahan farmasi yang memperlambat motilitas saluran cerna.

(4)

9 2.3 Floating Drug Delivery System

Sistem penghantaran obat terapung atau Floating Drug Delivery System (FDDS) memiliki berat jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan cairan lambung sehingga mengapung dalam lambung tanpa dipengaruhi waktu pengosongan lambung dengan waktu yang diperpanjang. Ketika sistem terapung dalam kandungan lambung, obat secara perlahan terlepas dengan laju yang diinginkan. Setelah lepasnya obat, sistem yang tersisa dikosongkan dari lambung. Kondisi ini menghasilkan peningkatan waktu pengosongan lambung dan pengendalian yang lebih baik terhadap fluktuasi kadar obat dalam plasma (Mishra & Gupta, 2012).

2.3.1 Pembagian sistem floating

Sistem penghantaran floating dibagi berdasarkan pada variabel formulasinya: effervescent dan sistem non-effervescent.

(5)

10

2.3.2 Bentuk sediaan floating non-effervescent

Sistem non-effervescent ini bekerja dengan mekanisme pengembangan polimer, bioadhesif dari polimer pada lapisan mukosa saluran pencernaan. Pada umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Biasanya juga digunakan bentuk matriks dari polimer seperti polimetakrilat, poliakrilat, polistiren, dan bioadhesif polimer yaitu kitosan dan karbopol (Goyal, et al., 2011).

2.3.3 Bentuk sediaan floating effervescent

Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer yang dapat mengembang seperti HPMC, kitosan, senyawa polisakarida lain, dan berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat, asam sitrat atau asam tartrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga ketika kontak dengan cairan lambung, gas karbondioksida (CO2) akan terlepas dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini menyebabkan sediaan mengapung (Goyal, et al., 2011).

2.3.4 Keuntungan Floating Drug Delivery System

Keuntungan Floating Drug Delivery System ini meliputi:

a) Menguntungkan untuk obat yang dimaksudkan untuk aksi lokal di lambung misalnya: Antasida.

(6)

11

c) Zat yang bersifat asam seperti aspirin dapat mengiritasi lambung ketika bersentuhan dengan dinding lambung. Oleh karena itu, formulasi FDDS mungkin berguna untuk pemberian aspirin dan obat-obatan lain dengan sifat yang sama.

d) Menguntungkan untuk obat-obat diserap di lambung misalnya: garam ferro, Antasida.

e) Meningkatan penyerapan obat, karena terjadi peningkatan waktu tinggal di lambung dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan (Arunachalam, et al., 2011).

2.3.5 Kerugian Floating Drug Delivery System

Kerugian Floating Drug Delivery System meliputi:

a) Sistem floating tidak sesuai untuk obat-obat yang memiliki masalah kelarutan atau stabilitas pada cairan lambung.

b) Obat-obatan seperti nifedipine yang diserap di seluruh saluran pencernaan dan yang menjalani metabolisme lintas pertama tidak sesuai sebagai kandidat FDDS karena pengosongan lambung yang diperlama dapat menyebabkan penurunan bioavailabilitas sistemik.

c) Keterbatasan penerapan FDDS untuk obat yang mengiritasi mukosa lambung.

d) Salah satu kelemahan dari sistem floating adalah sistem ini membutuhkan jumlah cairan yang cukup banyak di lambung, sehingga bentuk sediaan obat dapat terapung dan bekerja secara efisien dalam cairan lambung. e) Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan

(7)

12 2.4 Ranitidin HCl

2.4.1 Uraian bahan

Gambar 2.2 Struktur ranitidin HCl

Rumus Molekul : C13H22N4O3S.HCl

Nama Kimia : N-{2-{{{5-{(Dimetilamino)metil}-2-furanil}metil}tio}etil}-N’-metil-2-nitro- 1,1-etenadiamina, hidroklorida

Berat Molekul : 350,87

Pemerian : Serbuk hablur; putih sampai kuning pucat; praktis tidak berbau; peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu lebih kurang 140o, disertai peruraian.

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air; cukup larut dalam etanol dan sukar larut dalam kloroform (Ditjen POM, 1995).

2.4.2 Mekanisme Kerja

Ranitidin HCl menghambat produksi asam dengan cara berkompetisi secara reversibel dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada membran basolateral sel-sel parietal (Goodman dan Gillman, 2007).

2.4.3 Farmakokinetik

(8)

13

antagonis reseptor-H2 yang berikatan dengan protein. Sejumlah kecil obat mengalami metabolisme di hati. Baik produk yang dimetabolisme maupun yang tidak dimetabolisme akan disekresikan oleh ginjal dengan cara filtrasi dan sekresi tubular renal (Goodman dan Gillman, 2007).

2.4.4 Kegunaan

Ranitidin HCl digunakan untuk pengobatan tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dyspepsia episodic kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum akibat H.pylori, sindrom Zollinger Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat (Sukandar, et al., 2008).

2.4.5 Efek Samping

Secara keseluruhan insidensi reaksi merugikan yang timbul akibat pemakaian antagonis reseptor-H2 adalah rendah (<3%). Efek samping yang umumnya ringan meliputi diare, sakit kepala, mengantuk, kelelahan, nyeri otot, dan konstipasi. Ranitidin hanya memiliki 10% efek relatif terhadap aktifitas sitokrom P450 sehingga memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan simetidin. Ginekomastia pada pria dan galaktorea pada wanita dapat muncul akibat ikatan simetidin pada reseptor androgen dan penghambatan hidroksilasi estradiol yang dikatalisasi oleh sitokrom P450 (Goodman dan Gillman, 2007). 2.4.6 Dosis

Dosis Ranitidin HCl adalah 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sebelum tidur malam (Sukandar, et al., 2008).

2.5 Alginat

(9)

14

bakteri. Alginat adalah kopolimer yang tersusun dari α-L-Guluronat dan β -D-Mannuronat. Alginat komersil umumnya diproduksi dari Laminaria hyperborean, Macrocystis pyrifera, Laminaria digitata, Ascophyllum nodosum, Laminaria

japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea Antarctica, dan

Sargassum sp (Draget, et al., 2005).

Tabel 2.2 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field (Draget, et al., 2005).

Jenis FG FM FGG FMM FGM,MG

Laminaria japonica

Laminaria digitata

Laminaria hyperborea, blade

Laminaria hyperborea, stipe

Laminaria hyperborean, outer cortex

Lessonia nigerescens

Ecklonia maxima

Macrocystis pyrifera

Durviella antarctia

Ascophyllum nodosum, fruiting body

Ascophyllum nodosum, old tissue

0,35

(10)

15

asam mannuronat yang lebih tinggi dibandingkan asam guluronat mempunyai struktur yang tidak kaku atau lebih fleksibel (Draget, et al., 2005).

2.5.1 Struktur kimia

Alginat termasuk dalam kopolimer yang tidak bercabang, alginat tersusun dari (1→4) β-D-mannuronat (M) dan α-L-guluronat (G). Melalui hidrolisis parsial dengan asam klorida, alginat dapat dibagi menjadi tiga fraksi. Dua dari fraksinya adalah berupa homopolimer yang terdiri dari molekul asam guluronat (G) dan asam mannuronat (M), dan fraksi ketiga terdiri dari gabungan asam mannuronat dan asam guluronat dengan jumlah yang sama. Dari sini dapat disimpulkan bahwa alginat terdiri dari homopolimer M dan G serta bagian MG yang mempunyai gugus sama (Draget, et al., 2005).

(11)

16 2.5.2 Sifat alginat

Kelarutan alginat dalam air ditentukan oleh tiga parameter, yaitu:

• pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan adanya

muatan elektrostatik pada residu asam uronat

• Kekuatan ionik total zat terlarut juga memainkan peranan penting (efek

salting out kation-kation non gelling), dan

• Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi kelarutan

(Draget, et al., 2005).

Alginat secara luas digunakan pada pambuatan produk makanan dan sediaan farmasi oral maupun topikal. Alginat dipilih karena sifatnya yang non toksik dan juga tidak mengiritasi. Pada pembuatan tablet dan kapsul, alginat digunakan sebagai pengikat dan bahan desintegran pada konsentrasi 1-5% w/w. Alginat juga banyak digunakan sebagai bahan pengental dan suspending agent pada pembuatan pasta, krim, gel, dan juga sebagai stabilizing agent pada pembuatan emulsi minyak dalam air (Rowe, et al., 2009).

2.6 Eudragit

Eudragit merupakan produk dagang dari Rohm GmbH & Co. KG, Darmstadt di German yang pertama kali dipasarkan tahun 1950. Eudragit dibuat dengan polimerisasi asam akrilat dan asam metakrilat atau esternya seperti butyl ester atau dimethylaminoethyl ester (Nikam, et al., 2011).

(12)

17 Eudragit E

R1, R3= CH3 R2= H R4=CH3 Eudagit FS R1= H R2= H, CH3 R3=CH3 R4=CH3

Eudragit RL dan Eudragit RS R1=H, CH3

R2=CH3, C2H5 R3=CH3

R4= CH2CH2N(CH3)3+Cl-

Eudragit NE 30 D dan Eudragit NE 40 D

R1, R3= H, CH3 R2, R4= CH3, C2H5

Gambar 2.4 Gambar struktur Eudragit (Rowe, et al.,2009)

Eudragit biasanya digunakan dalam penyalutan film kapsul dan tablet. Film dengan karakteristik kelarutan yang berbeda dapat dihasilkan, tergantung dari jenis polimer yang digunakan. Keterangan dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Salah satu aplikasi penggunaan Eudragit yaitu dalam pembuatan sediaan

(13)

18 Tabel 2.3 Jenis dan pemerian dari Eudragit

Nama Bentuk Pelarut yang Direkomendasikan Aseton, alkohol Aseton, alkohol Air

Aseton, alkohol Aseton, alkohol

(14)

19

tahapan pelepasan obat dari bentuk sediaanya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik.

Laju dimana suatu padatan melarut didalam suatu pelarut dapat dihitung dengan persamaan:

atau

Keterangan:

M: Massa zat terlarut D: Koefisien difusi dari zat terlarut Cs: Kelarutan zat padat S: Luas permukaan kontak

C: Konsentrasi zat terlarut h: Ketebalan lapisan difusi V: Volume larutan

Dalam teori disolusi dianggap bahwa lapisan difusi air atau lapisan cairan stagnan dengan ketebalan h ada pada permukaan zat padat yang sedang terdisolusi. Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner dimana molekul-molekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari Cs sampai C. Di belakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi percampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang sama C, pada seluruh fase bulk (Martin, et al., 1993).

(15)

20

2.7.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi 1. Faktor fisikokimia dari obat

a. Kelarutan obat

Kelarutan obat dalam air adalah faktor yang sangat menentukan laju disolusi dari suatu sediaan. Semakin tinggi kelarutan maka akan semakin tinggi pula laju disolusi.

b. Ukuran partikel obat

Peningkatan laju disolusi dapat dicapai dengan cara pengurangan ukuran partikel, dimana dengan pengurangan ukuran partikel sediaan akan meningkatkan luas permukaan sediaan yang kontak dengan larutan sehingga akan meningkatkan laju disolusi.

c. Bentuk kristal obat

Sediaan padat memiliki berbagai karakteristik bentuk seperti amorf, kristal, hidrat dan polimorf yang juga sangat berpengaruh terhadap laju disolusi. Sebagai contoh bentuk amorf dari novobiocin mempunyai kelarutan yang lebih besar dan laju disolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk kristalnya.

2. Faktor yang berhubungan dengan bentuk sediaan obat a. Faktor formulasi

(16)

21 b. Diluen dan desintegran

Peningkatan konsentrasi desintegran (pati dari 5%-20%) menghasilkan peningkatan laju disolusi. Penambahan bahan yang bersifat hidrofobik akan menurunkan kontak luas permukaan obat sedangkan dengan penambahan bahan hidrofilik akan meningkatkan kontak luas permukaan sehingga akan meningkatkan laju disolusi dari obat.

c. Efek bahan pengikat dan bahan penggranulasi

Perbedaan bahan pengikat yang digunakan pada pembuatan tablet akan menghasilkan profil disolusi yang berbeda pula. Granulasi basah adalah yang paling umum digunakan untuk meningkatkan laju disolusi dari bahan obat yang kurang larut dengan cara pemasukan bahan hidrofilik ke permukaan granul.

3. Faktor faktor yang berhubungan uji disolusi a. Suhu

Kelarutan obat sangat tergantung pada suhu. Oleh karena itu, suhu harus dijaga ketat selama disolusi dan dijaga perbedaannya tidak lebih dari 0,5o. Pada umumnya, suhu disolusi dijaga 37oC selama disolusi.

b. pH medium disolusi

Pada umumnya dalam penelitian digunakan medium berupa 0,1 N HCl atau larutan buffer yang pH-nya disesuaikan dengan pH cairan lambung (pH 1,2).

c. Tegangan permukaan medium disolusi

(17)

22 d. Viskositas medium disolusi

Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat (Gennaro, 2000).

2.7.2 Metode disolusi

United States Pharmacopeia (USP) XXX memberi beberapa metode

resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu: a. Metode Keranjang

Metode keranjang menggunakan bejana yang dibuat dari gelas atau bahan yang inert, dan transparan dan silinder berbentuk keranjang. Bejana disolusi dimasukkan ke dalam penangas air yang cocok dan dengan ukuran yang tepat atau dipanaskan dengan alat yang cocok seperti jaket pemanas. Penangas air atau alat pemanas diatur sedemikian rupa sehingga suhu pada bejana dapat dijaga 37±0,5oC sepanjang pengujian dan dijaga suhu tetap konstan. Kecepatan pengadukan didasarkan pada kecepatan putaran batang penyangga dimana harus dijaga dengan teliti sesuai dengan monografi dari obatnya dengan deviasi ±4%.

b. Metode Dayung

Menggunakan alat yang sama seperti alat 1 (metode keranjang), kecuali keranjang yang ada pada alat 1 diganti dengan dayung sebagai pengaduk. Batang penyangga diatur sedemikian rupa supaya jaraknya dari pusat tidak lebih dari 2 mm dari poros vertikal dari bejana dan berputar secara halus sehingga tidak ada pengaruh signifikan yang dapat mempengaruhi hasil pengujian. Jarak antara dasar dayung dengan sampel (dasar labu) selama pengujian berada pada rentang 25±2 mm dan dijaga tetap konstan.

(18)

23 c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Gambar

Gambar 2.1 Mekanisme sistem floating
Tabel 2.2 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga yang ditentukan dengan spektroskopi NMR high-field (Draget, et al., 2005)
Gambar 2.3 Struktur kimia alginat
Gambar 2.4  Gambar struktur Eudragit (Rowe, et al.,2009)
+3

Referensi

Dokumen terkait

pengetahuan faktual dan konseptual dalam bahasa yang jelas dan logis dan sistematis, dalam karya yang estetis dalam gerakan yang mencerminkan anak sehat, dan dalam

and the ``social embedded- ness of its object of analysis'' (Maurice et al., 1992), little light is in e€ect shed on the social or historical roots of observed di€erences. 81)

 Melalui lagu, siswa dapat memperkenalkan diri dengan menyebut nama panggilanD.  Melalui permainan “Suara siapakah itu?”, siswa dapat mendengar perbedaan warna

(a) Rangkaian saklar untuk menyalakan sebuah LED yang bekerja dengan arus 20 mA dan arus basis yang besarnya tidak lebih

Karya pengabdian banyak yang tidak wajar hanya beda tanggal misal satu hari tempatnya beda -beda informasi ak kenaikan jabatan/pangkat. Jurnal Nasional dan Internasional

Universitas Negeri

Universitas Negeri

Analisis Pengaruh Return on Equity, Debt to Equity Ratio dan Financial Laverage Terhadap Stock Return Pada Bank Syariah Yang Terdaftar di BEI dan DES dengan