BAB I
I.1 Latar Belakang Masalah
Trias politica yang disampaikan oleh Montesqiue, yakni pembagian
kekuasaan yang dibagi atas 3 kekuasaan yaitu: Legislatif (membuat
undang-undang), Eksekutif (melaksanakan undang-undang-undang), dan Yudikatif (mengawasi).
Inilah yang menjadi landasan awal pembagian kekuasaan dibidang politik. Hal ini
dimaksudkan agar tidak adanya saling rebut kekuasaan dan agar para elite politik
mengerti tugasnya masing-masing.
Di Indonesia sendiri, Legislatif/parlemen disebut dengan DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) yang kemudian dibagi lagi menjadi DPRD Provinsi dan
DPRD Kab/Kota. Dimana anggotanya sekarang ini dipilih langsung oleh rakyat.
Sebenarnya ada satu lagi parlemen di Indonesia, yaitu DPD (Dewan Perwakilan
Daerah), dimana anggotanya juga dipilih langsung oleh rakyat namun bedanya
dengan anggota DPR ialah DPD bukan berasal dari partai politik, melainkan
melalui jalur independent. Selain itu, DPD juga tidak ada di tingkat provinsi dan
Kab/kota. Namun yang akan kita bahas disini adalah mengenai DPR khususnya
kinerja DPRD Kab/Kota.
Seperti yang kita ketahui bahwa lembaga legislatif ((DPR/DPRD)
memiliki 3 fungsi (fungsi ini juga berlaku buat DPR Daerah) yakni: (1) Legislasi,
yaitu membuat undang-undang dalam hal ini peraturan daerah ;(2)
dan peraturan daerah yang telah dibuat; (3) Budgeting/Anggaran, yakni
bersama-sama dengan Kepala Daerah menyusun dan menetapkan APBD.1
Ada 4 komisi yang ada di DPRD Simalungun. Masing-masing komisi
memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan bidangnya.
Berikut adalah pembagian komisi di DPRD Simalungun periode 2009-2014: (1)
Komisi I, Bidang Pemerintahan; (2) Komisi II, Bidang Perekonomian; (3) Komisi
III, Bidang Keuangan; (4) Komisi IV, Bidang Pembangunan.2
Simalungun sebagai kabupaten terbesar saat ini di Sumatera Utara,
memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang jika dikembangkan dengan
baik akan dapat menjadikan Simalungun sebagai salah satu Kab/Kota dengan
PAD tertinggi. Namun buruknya pengelolaan administrasi, sarana yang kurang
memadai, bahkan tingginya politik uang didaerah ini, menjadikan daerah ini sulit
berkembang melebihi espektasi publik. Kinerja dari anggota dewan pun menjadi
sorotan. Anggota dewan yang semula diharapkan bisa menyalurkan aspirasi Komisi-komisi yang ada memiliki peran serta tanggung jawab
masing-masing. Pembagian komisi ini juga sebagai suatu cara agar tidak terjadinya saling
serobot dalam hal menjalankan tugas. Selain itu, anggota dewan juga diwajibkan
turun ke daerah pemilihannya sewaktu massa reses. Hal ini dimaksudkan agar
anggota dewan bisa lebih peka melihat, dan mendengarkan keluhan masyarakat
untuk kemudian ditindak lanjuti.
I.2. Permasalahan
1
. B.N Marbun, DPR Daerah &Pelaksanaannya, Jakarta :Radjawali Press, 1988, hal 8. 2
masyarakat Simalungun ternyata belum bisa memberikan pengaruh apa-apa.
Dalam hal administrasi misalnya, susahnya mengurus surat-surat penting di
Kabupaten Simalungun dan buruknya pelayanan terhadap publik ketika mengurus
surat-surat penting tersebut.
Misalnya dalam hal Budgeting (anggaran), untuk hal anggaran yang disini
mencakup hal penetapan RAPBD (Rancanangan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah) bersama-sama dengan Bupati Simalungun menjadi APBD, sudah berjalan
dengan baik. Dalam menetapkan APBD ini, DPRD Simalungun benar-benar
menaruh perhatian yang serius terhadap masalah yang terjadi dimasyarakat.
Sehingga nantinya APBD ini bisa tepat sasaran dan bermanfaat untuk
kesejahteraan masyarakat.3
Pada bidang controlling, terdapat hal yang sebaliknya. Biarpun ada masa
reses bagi anggota dewan, masa dimana anggota dewan turun kedaerahnya
masing-masing untuk melihat sudah sejauh mana kemajuan dan apa yang menjadi
permasalahan didaerah pemilihannya, namun kebanyakan hal itu tidak dilakukan.
Fokus pembangunan yang diarahkan ke Pamatang Raya sebagai ibu kota
Kabupaten Simalungun, ternyata membawa damapak yang tidak baik bagi daerah
lain. Contoh, jalan yang menghubungkan antara Kecamatan Bosar Maligas
dengan Kecamatan Bandar tepatnya dinagori Boluk kondisi jalannya sangat tidak
baik. Padahal jalan itu adalah satu-satunya jalan bagi warga yang ingin ke Nagori
Perdagangan. Nagori Perdagangan adalah tempat dimana masyarakat berbelanja
kebutuhan sehari-hari.
3
Contoh lainnya adalah kondisi pasar tradisional yang baru dibangun dan
diresmikan Pemkab Simalungun. Baru beberapa bulan diresmikan, listrik dipasar
tersebut diputus oleh pihak PLN. Alasannya adalah, pihak Pemerintah Kabupaten
Simalungun memiliki tunggakan utang ke pihak PLN yang belum dilunasi.
Lagi-lagi pedagang yang sudah membayar uang sewa yang menjadi korban. Kunjungan
jajaran Pemkab Simalungun dan anggota DPRD ternyata tidak membawa
perubahan apapun. Lagi-lagi kinerja anggota dewan dipertanyakan.
DPRD adalah pengawas eksekutif. Dalam menjalankan fungsinya ini,
Pemerintah Kabupaten Simalungun nampak kurang sekali. Beberapa PNS
Pemerintah kabupaten Simalungun mengatakan bahwa Bupati Simalungun terlalu
mendominasi dalam segala hal. Bahkan Legislatif pun seolah-olah takut kepada
dia. Senada dengan pegawai pemerintahan di Pemkab, beberapa warga juga
mengatakan DPRD sekarang tidak “bergigi”, alasan warga mengatakan demikian
adalah faktor Bupati yang terlalu mendominasi, sehingga apapun aspirasi yang
masuk ke dewan hampir tidak pernah didengarkan.
Hal yang menarik ternyata, Kabupaten Simalungun menempati posisi 7
daftar kabupaten/kota paling korup di Sumatera Utara. Hal ini menandakan
pengelolaan keuangan dikabupaten ini sangat tidak baik. Birokrasi yang serba
uang itulah yang terjadi didaerah ini. Bahkan untuk mengurus KTP warga harus
membayar sejumlah uang.4 Hal ini bertolak belakang dengan harapan pelayanan
terhadap masyarakat yang murah dan berkualitas.
4
I.3. Perumusan Masalah
Atas dasar latar belakang permasalahan kinerja anggota DPRD Kabupaten
Simalungun, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
“Apa yang menyebabkan rendahnya kualitas kinerja anggota DPRD Simalungun
periode 2009-2014 dalam bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan?”.
I.4. Pembatasan Masalah
Adanya pembatasan masalah guna memperjelas dan membatasi ruang
lingkup penelitian, serta untuk menghasilkan uraian yang sistematis. Adapun
batasan masalah dalam penelitian ini adalah: “Penulisan ini akan terbatas pada
kinerja anggota DPRD kabupaten Simalungun periode 2010-2015. dan kinerja
disini adalah berpusat kepada fungsi DPRD itu sendiri yaitu, fungsi pengawasan,
fungsi legislasi, dan fungsi anggaran. Adapun kinerja yang dimaksudkan adalah
kinerja anggota DPRD Simalungun periode 2009-2014 dalam 3 tahun ini.
I.5. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk melihat bagaimana sebenarnya kinerja dari anggota DPRD
Simalungun.
2. Untuk mengamati, apakah kinerja anggota DPRD Simalungun sudah
berjalan dengan semestinya atau tidak.
3. Menjelaskan bagaimana sebenarnya fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat
I.6. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis maupun metodologis, studi ini diharapkan mampu
memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan pendalaman studi
perwakilan politik di Indonesia.
2. Bagi penulis sendiri, untuk mengembangkan kemampuan berpikir penulis
melalui penelitian ini.
3. Bagi akademisi, dapat menjadi bahan acuan maupun referensi dalam
konteks ilmu politik di Indonesia.
4. Menambah pengetahuan masyarakat, yang dalam hal ini lebih di
prioritaskan kepada kinerja anggota dewan.
5. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada setiap orang
yang ingin maju sebagai anggota legislatif agar lebih mampu menguasai
dan memahami kinerja sebagai anggota dewan.
I.7 Kerangka Teori
Untuk memudahkan penelitian, diperlukan pedoman dasar berpikir yaitu
kerangka teori. Mustahil apabila seseorang menulis ataupun meneliti suatu
permasalahan tanpa menggunakan kerangka teori, karena penelitian ataupun
tulisan tersebut bisa dianggap tidak sah, bila dilihat dari syarat tulisan. Sebelum
teori sebagai landasan berpikir, untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti
menyoroti masalah yang telah dipilih.5
Selanjutnya, Singarimbun menyebutkan bahwa: “Teori merupakan
serangkaian asumsi, konsep dan konstruksi, definisi, dan proposisi untuk
menerangkan fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antara konsep. Ringkasnya, teori adalah hubungan suatu konsep dengan
konsep lainnya untuk menjelaskan gejala tertentu”.6
Dalam perwakilan politik, kita mengetahui ada 2 jenis perwakilan. Yakni
perwakilan langsung dan perwakilan tidak langsung. Sejarah perwakilan telah
mulai diperbincangkan dalam kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namun
pembahasan dalam bentuk konsep telah dimulai pada awal abad ke 14. Thomas
Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk membahas masalah
perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang berpengaruh
sampai dewasa ini diantaranya antara lain karena teori kemandirian wakil yang
dikemukakan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas
bertindak dan menentukan sikapnya terhadap wakil) dianggap sebagai permulaan
studi klasik terhadap perwakilan politik, disusul oleh sejumlah peneliti mulai dari
John Stuart Mill sampai dengan Karl Loewenstein. I.7.1 Teori Perwakilan Politik
7
5
Hadari Nawawi,Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987, hal 40.
6
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, Jakarta:LP3ES, 1989, hal 37.
7
Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia dan Pitkin
sudah lebih mendalam dari perwakilan politik. Perwakilan politik sebagai sebuah
praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum
teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan dilaksanakan oleh
beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno
dan Romawi. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara
yang di sebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan
secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang
tidak terlalu luas. Begitu juga pada zaman romawi kuno. Konsep perwakilan pada
saat itu ialah konsep perwakilan langsung. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu
masih terbatas mengingat kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya
permasalahan negara seperti saat ini.8
Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk berlangsungnya demokrasi
langsung sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani kuno. Kenyataanya
sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah
negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya masalah
politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi merupakan persoalan
yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era
sekarang. Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak
langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau
yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan
karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan feodal. Pada abad
pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah raja-raja/bangsawan yang sangat
8
feodalistis (monarchi feodal). Dalam kerajaan yang berbentuk feodal, kekuatan
berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan tanah yang kaya
(pengusaha). Mereka tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas tapi mereka
juga menguasai orang-orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan).
Apabila pada suatu saat menginginkan raja menginginkan penambahan tentara
dan pajak maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan
keinginannya dan maksud pada tuan tanah (Lord). Lama kelamaan praktek
semacam ini menurut raja tidak layak sehingga timbul pemikiran untuk
memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga kalau raja menginginkan
sesuatu, maka raja tinggal memanggil mereka.
Sebagai konsekuensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang
terdiri dari pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini
menjadi tempat meminta nasehat raja dalam rangka masalah-malasalah
kenegaraan terutama yang berhubungan dengan pajak. Secara pelan tapi pasti
lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut ‘’Curia Regis’’ dan
kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang.9
Kelahiran House of Lords adalah merupakan pertanda kelahiran lembaga
perwakilan pertama di era modern. House of lord dalam perjalannya mempunyai
kekuasaan yang sangat besar, maka raja berkehendak untuk mengurangi
kekuasaan dan hak-hak mereka, akibatnya timbul pertikaian antara raja dan kaum
ningrat (lords), dengan bantuan rakyat dan kaum borjuis kepada kaum ningrat
maka raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi. Karena rakyat dan kaum
9
menengah yang menjadi korban manakala raja membuat kebijakan, maka rakyat
minta agar rakyat mempunyai wakil dan diminta pendapat dan keterangannya
sebelum sebuah kebijakan dibuat. Karena yang pada awalnya kalangan yang
duduk dalam house of lord didukung oleh para rakyat dan kaum menengah yang
akhirnya kaum ningrat mendapatkan kemenangan, maka sejak saat itu pula
kedudukan rakyat dan kaum menengah menjadi kuat. Sebagai bagian dari
perwujudan agar terbentuk perwakilan rakyat maka lahirlah apa yang disebut
Magnum Consilium , yang terdiri dari para wakil rakyat yang perkembangan
selajutnya adalah bahwa house of commons mempunyai kekuatan yang semakin
bertambah. Mereka dapat membebaskan para menteri (perdana menteri) yang
mereka tidak sukai walaupun tidak berbuat kejahatan untuk turun dari kekuasaan,
kekuasaan yang demikian dilakukan dengan mengajukan ’’mosi tidak percaya’’
yang dapat mengakibatkan jatuh dan mundurnya sebuah kabinet dan itu
berlangsung sampai sekarang. Dalam konstitusi Inggris yang lebih berkuasa
adalah house of lord yang dipilih melalui pemilihan umum sedangkan house of
lord adalah kumpulan para lord yang terdiri dari para orang-orang yang dipilih
secara turun-temurun.10
Menurut Thomas Hobbes dalam bukunya “Leviathan” Kehidupan manusia
tidak terlepas dari suatu keterikatan sosial, karena kehidupan manusia senantiasa
berlandaskan kepada kepentingan. Perjanjian (keterikatan) sosial itu
mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan menyerahkan segenap kekuatan
dan kekuasaannya masing-masing kepada sebuah majelis, agar kepentingannya
tersalurkan bagai sebuah kanal. Terbentuknya majelis (dewan perwakilan) juga
10
merupakan bentuk sejati dari penyerahan hak dan kekuasaan manusia untuk
memerintah dirinya sendiri dalam sebuah komunitas bersama (politik). Namun
demikian, majelis pun harus dikenakan syarat yaitu ia harus menyerakan hak
kekuasaannya pada manusia-manusia yang telah memandatkannya apabila terjadi
perusakan moral majelis. Kekuasaan majelis bersifat ’’absolut’’ karena
keterikatan (perjanjian) sosial yang dibangun didasarkan atas penyerahan hak
yang dominan dari manusia-manusia kepada majelis dan bukan sebaliknya.
Karenanya, majelis (dan juga penguasa politik yang dimandatkan oleh perjanjian)
dapat menggunakan segala cara, termasuk kekerasan untuk menjaga ketenteraman
dan ketertiban. Penguasa harus menjadi “Leviathan” (binatang buas). Idealnya,
kekuasaan oleh satu majelis lebih baik dijalankan oleh satu orang (center of
power), karena jalan satu-satunya untuk mendirikan kekuasaan ialah dengan
menyerahkan kekuasaan dan kekuasaan seluruhnya pada satu orang. Sejatinya
dewan rakyat/majelis (perwakilan) dipegang oleh penguasa negara, sehingga
aspirasi kepentingan rakyat akan cepat terselesaikan daripada menunggu kerja
majelis yang penuh dengan perbantahan. Fokusnya majelis berada dalam heredity
power.11
Menurut Montesqiue Kekuasaan yang menampung, membicarakan dan
memperjuangkan keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan
peraturan adalah “legislatif”. Mutlak perlu dibentuk legisltif sebagai perwakilan
rakyat agar pembicaraan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak akan
bisa dipenuhi, tanpa perwakilan, maka yang terjadi adalah ’’suara minoritas
(minority sounds) hal yang mudah ditaklukkan oleh mayoritas kekuasaan. Dewan
11
rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan penguasa, menjadi
komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Realitanya,
masyarakat terdiri atas kelas utama yaitu rakyat pada umumnya dan kaum
bangsawan. Karenanya dalam lembaga perwakilan harus dibagi dalam dua kamar
(chamber) yaitu rakyat umum dan kaum bangsawan. Masing-masing mempunyai
hak veto yang dibuat tiap kamar. Prinsipnya, masing-masing kekuasaan politik
haruslah dibuat terpisah (trias politica) dan masing-masing memiliki wewenang
untuk saling mengawasi.12
Menurut mandat Imperatif, bahwa seorang wakil yang bertindak di
lembaga perwakilan harus sesuai dengan perintah (intruksi) yang diberikan oleh
yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh bertindak di luar perintah, sedangkan kalau
ada hal-hal atau masalah/persoalan baru yang tidak terdapat dalam perintah
tersebut maka sang wakil harus mendapat perintah baru dari yang diwakilinya.
Dengan demikian berarti akan menghambat tugas perwakilan tersebut, akibatnya
lahir teori mandat baru yang disebut mandat bebas.
Salah satu teori yang menjelaskan tentang lembaga perwakilan adalah
Teori Mandat. Dalam Teori Mandat ini dibagi lagi ke dalam 3 bagian. Teori yang
pertama ialah teori mandat bebas, teori mandat imperatif, dan teori mandat yang
ketiga ialah teori mandat representative. Teori mandat menjelaskan bahwa
seorang wakil dianggap duduk di lembaga Perwakilan karena mendapat mandat
dari rakyat sehingga disebut mandataris. Yang memberikan teori ini dipelopori
oleh Rousseau dan diperkuat oleh Petion.
12
Teori mandat bebas berpendapat bahwa sang wakil dapat bertindak tanpa
tergantung pada perintah (intruksi) dari yang diwakilinya. Menurut teori ini sang
wakil adalah merupakan orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki
kesadaran hukum dari masyarakat yang diwakilinya sehingga sang wakil
dimungkinkan dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya. Ajaran ini
dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Block Stone di Inggris. Dalam
perkembangan selanjutnya teori ini berkembang menjadi teori mandat
representatif.
Teori mandat representatif mengatakan bahwa sang wakil dianggap
bergabung dalam lembaga perwakilan, dimana yang diwakili memilih dan
memberikan mandat pada lembaga perwakilan, sehingga sang wakil sebagai
individu tidak ada hubungan dengan pemilihnya apalagi untuk meminta
pertanggungjawabannya. Yang bertanggung jawab justru adalah lembaga
perwakilan terhadap rakyat pemilihnya.13
Dalam teori perwakilan, biasanya ada 2 kategori yang dibedakan. Kategori
pertama ialah Perwakilan Politik (Polotical representation) dan Perwakilan
Fungsional (Fungsional Representation). Kategori kedua menyangkut peran
anggota parlemen sebagai pengemban “mandat” perwakilan (representation)
adalah konsep bahwa seseorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan
atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih
besar. Dewasa ini, anggota badan legislatif pada umumnya mewakili rakyat
13
melalui partai politik. Hal ini yang disebut dengan perwakilan politik (political
representation).14
Dari uraian tentang perwakilan politik dapat kita ambil kesimpulan, bahwa
dewasa ini perwakilan politik merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling
wajar. Disamping itu, beberapa negara merasa bahwa asas functional or
occupational representation perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui
kepentingannya disamping sistem perwakilan politik.
Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada
beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang
berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan berbagai
kepentingan dan kekuatan lain yang ada didalam masyarakat terutama dibidang
ekonomi. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan
mengikutsertakan wakil dari berbagai-bagai golongan yang dianggap memerlukan
perlindungan khusus. Misalnya, India mengangkat beberapa wakil dari golongan
Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari
golongan kebudayaan, kesusastraan, dan pekerjaan sosial diangkat sebagai majelis
tinggi.
15
14Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal
317.
15
I.7.2 Kinerja
Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak
memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah.
Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot
sehingga perusahaan/ instansi menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan
buruk organisasi yang mendalam berakibat dan mengabaikan tanda – tanda
peringatan adanya kinerja yang merosot.
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara kinerja ( prestasi kerja ) adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya.16
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson faktor-faktor yang
memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu; (1) Kemampuan mereka; (2)
Motivasi; (3)Dukungan yang diterima; (4) keberadaan pekerjaan yang mereka
lakukan, dan; (5) Hubungan mereka dengan organisasi.
Berdasarkaan pengertian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa
kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu
maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh
kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta
keinginan untuk berprestasi.
16
Menurut Gibson ada 3 faktor yang berpengaruh terhadap kinerja yaitu; (1)
Faktor Individu; (2) Faktor Psikologis; (3) Faktor Organisasi. Penilaian kinerja
pada dasarnya merupakan kunci guna mengembangkan organisasi.
Menurut Henry Simamora “ penilaian kinerja adalah proses yang dipakai
oleh organisasi untuk mengevaluasi pelaksanaan kerja individu karyawan”.
Pernah mendengar istilah “the right man in the right place”?. Itulah dasar
yang menjadikan penulis menghubungkan antara perwakilan politik dengan
kinerja. Apa lagi melihat fenomena saat ini, dimana orang-orang seperti latah
ikut-ikutuan terjun ke dunia politik. Tidak perduli dia tidak memiliki dasar pemahaman
politik yang kuat atau tidak. Hal inilah “mungkin” yang membuat kinerja anggota
dewan menjadi tidak karuan. Ketika orang-orang yang duduk di lembaga
perwakilan itu tidak tau apa yang akan mereka kerjakan maka, kinerja mereka bisa
dipastikan akan menurun bahkan cenderung tidak ada.
Perwakilan politik menggambarkan hubungan perwakilan yang tersusun
dalam suatu lembaga atau badan perwakilan di mana si wakil bertindak sebagai
wakil bagi rakyat yang diwakilinya. Hubungan ini menggambarkan derajat
keterikatan antara siwakil dengan yang diwakilinya. Yang erat kaitannya dengan
cara rekrutmen si wakil dan pelaksana tugas siwakil dalam rangka melaksanakan
fungsi lembaga atau badan perwakilan. Karena hubungan seperti itu, beberapa
pakar sering mencari tipe atau model representasi.
Jadi ketika orang yang tepat yang duduk dikursi lembaga legislatif, maka
ada harapan kalau kinerja Lembaga perwakilan kita akan mengalami peningkatan.
I.8. Metodologi Penelitian
Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial suda tentu membutuhkan
kecermatan. Sebagai suatu ilmu tentang metode atau tata cara kerja, maka
metodologi ialahpengetahuan tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan
instrumen penelitian. Konstruksi teknik dan instrumen yang baik dan benar akan
mampu menghimpun data secara objektif, lengkap dan dapat dianalisa utntuk
memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo, menjelaskan apa
yang diyakini dapat diketahui dari masalah penelitian yang akan dilakukan17
1. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi
terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu. Hasilnya kemudian
dicantumkan kedalam tabel-tabel frekuensi. I.8.1 Metode Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan metodologis, yaitu deskriptif. Penelitian
deskriptif ialah langkah-langkah melakukan reinterpretasi objektif tentang
fenomena-fenomena sosial yang terdapat dalam masalah yang diteliti. Penelitian
deskriptif biasanya memiliki 2 tujuan, yaitu:
2. Untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial tertentu, seperti
interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain.
Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar
variabel yang ada, tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang
menjelaskan variabel-variabel yang menyebabkan suatu gejala atau kenyataan
17
sosial. Karenanya, pada penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak
melakukan peengujian hipotesa (seperti yang dilakukan pada penelitiaan
eksplanatif) berarti tidak dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan
perbendaharaan teori.18
1. Memusatkan perhatian pada masalah yang ada pada saat penelitisn
dilakukan atau masalah-masalah yang bersifat faktual.
Penelitian seperti ini juga biasanya dilakukan tanpa hipotesa yang
dirumuskan terlalu ketat. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menguji hipotesa
melainkan hanya mendeskripsikan, membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematik, faktual dan akurat mengenai keadaan saat ini. Metode deskriptif
adalah suatu metode dalam meneliti suatu kelompok manusia, suatu obyek, suatu
kondisi, suatu sistem pemikiran maupun peristiwa pada masa sekarang.
Metode ini merupakan langkah-langkah melakukan representasi obyektif
tentang gejala-gejala yang terdapat didalam masalah yang diteliti. Ciri-ciri pokok
penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif adalah:
2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana
adanya,di iringi dengan interpretasinasional yang memadai.
Menurut nasir, gambaran penelitian deskriptif adalah sebagai studi untuk
menentukan fakta dengan interpretasi yang tepat. Melukiskan secara akurat
sifat-sifat dari beberapa fenomena individu atau kelompok, menentukan frekuensi
terjadinya suatu keberadaan untuk meminimalkan bias dan memaksimalkan
18
reabilitas. Analisisnya dikerjakan berdasarkan “exposy facto” yang artinya data
dikumpulkan, setelah semua kejadian berlangsung.19
Studi ini pada dasarnya bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi
penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode
deskrptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa ”metodologi kualitatif”
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. I.8.2 Jenis Penelitian
20
Penelitian kualitatif dimulai dengan mengumpulkan informasi dalam
situasi sewajarnya, untuk dirumuskan menjadi satu generalisasi yang dapat
diterima oleh akal sehat manusia. Masalah yang akan diungkapkan dapat
disiapkan sebelum mengumpulkan data atau informasi, akan tetapi mungkin saja
berkembang dan berubah selama kegiatan penelitian dilakukan. Dengan demikian
data/informasi yang dikumpulkan data terarah pada kalimat yang diucapkan,
kalimat yang tertulis dan tingkah laku kegiatan. Informasi dapat dipelajari dan Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kagiatan atau proses
penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek,
dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis
maupun praktis. Dari pengertian diatas jelaslah bahwa penelitian kualitatif bersifat
induktif, karena tidak dimulai dari hipotesa sebagai generalisasi, untuk diuji
kebenarannya melalui pengumpulan data yang bersifat khusus.
19
Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesi, 1983 hal. 105.
20
ditafsirkan sebagai usaha untuk memahami maknanya sesuai dengan sudut
pandang sumber datanya. Maka informasi yang bersifat khusus itu, dalam bentuk
teoritis melalui proses penelitian kualitatif tidak mustahil akan menghasilkan
teori-teori baru, tidak sekedar untuk kepentingan praktis saja.
Secara khusus, penelitian yang penulis gunakan dapat diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek penelitian
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta atau data
yang ada dikumpulkan, diklasifikasikan dan kemudian akan dianalisa. Pada
penelitian deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada penemun fakta-fakta
sebagaimana keadaan yang sebenarnya ditemukan. Karena itu dalam penelitian
ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun berbagai data, tetapi tidak
melakukan pengujian hipotesa.21
Penelitian ini mengambil lokasi penelitian pada DPRD Simalungun di
Pematang Raya, Kabupaten Simalungun. Adapun alasan dipilihnya daerah ini
sebagai lokasi penelitian adalah: I.8.3 Lokasi Penelitian
1. Melihat potensi daerah ini, baik SDA dan SDM yang bagus namun belum
dimaksimalkan dengan baik.
2. Karena tertarik melihat fenomena politik di Simalungun terkhusus sewaktu
pemilihan legislatif didaerah ini.
21
3. Melihat kinerja anggota dewan didaerah ini yang dilihat belum dirasakan
masyarakat Simalungun.
4. Melihat komposisi latar belakang sosial dan pendidikan dari wakil rakyat
didaerah ini.
I.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam melahirkan sebuah penelitian, ada beberapa metode yang biasa
digunakan untuk mengumpulkan data antara lain wawancara (interview),
observasi (observation), dan dokumentasi (documentation). Tatang M. Arifin
mengatakan, bahwa ada “data adalah segala keterangan atau informasi mengenai
segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian”. Dengan demikian tidak
semua informasi atau keterangan merupakan data, hanyalah sebagian dari
informasi, yakni berkaitan dengan penelitian.
Dalam suatu penelitian, disamping menggunakan metode yang tepat
diperlukan pula kemampuan memilih dan bahkan juga menyusun teknik dan alat
pengumpulan data yang relevan. Kecermatan dalam memilih dan menyusun
teknik dan alat pengumpul data ini sangat berpengaruh terhadap obyeksifitas hasil
penelitian. Mempertimbangkan hal tersebut, dan keharusan untuk memenuhi
validitas dan realibilitas dalam teknik pengumpulan datanya. Teknik ini adalah
cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis terutama berupa arsip-arsip
dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum,
dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.Untuk memperoleh
maka penulis dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Data Primer, yaitu penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan
data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan
dengan cara wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan
melakukan teknik tanya jawab langsung dengan beberapa orang yang
memiliki pengaruh pada lokasi penelitian atau daerah yang akan diteliti.
2. Data Sekunder, yaitu penelitian kepustakaan (Library research) yaitu
dengan mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta
bahan-bahan lain yang berkaitan dengan penelitian.
I.8.5 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses pengorganisasian dengan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema
permasalahan. Data yang telah dikumpulkan kemudian disusun, dianalisa, dan
disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang
ada. Data-data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya
I.9. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi
daripada skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan kedalam 4 bab
yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan
yang akan dibahas, pembatasan masalah yang akan diteliti, tujuan
mengapa diadakan penelitian ini, manfaat penelitian ini, dan metode
penelitian serta kerangka teori yang akan menjadi landasan pembahasan
masalah.
BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran dari lokasi penelitian di
Kabupaten Simalungun. Antara lain, sejarah singakat tentang daerah
tersebut, kondisi geografis, demografi penduduk, dan lain
BAB III : HASIL DAN ANALISA DATA
Pada bab ini data dan informasi disajikan dan dianalisa secara sistematis
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan
yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. Pada bab ini juga
akan terjawab pertanyaan apa yang dilihat dalam penelitian yang dilakukan, serta
berisi saran-saran, baik yang bermanfaat bagi penulis secara pribadi mupun bagi