BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Pengertian Persepsi
Kamus Besar Bahasa Inonesia (1998) mendefinisikan persepsi sebagai
tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, atau merupakan proses seseorang
mengetahui beberapa hal melalui panca indera. Sedangkan Ikhsan (2005:57)
persepsi adalah bagaimana orang-orang melihat atau menginterpretasikan
peristiwa, objek, serta manusia. Orang-orang bertindak atas dasar persepsi mereka
dengan mengabaikan apakah persepsi itu mencerminkan kenyataan yang
sebenarnya. Pada kenyataannya, masing-masing orang memiliki persepsi sendiri
atas suatu kejadian.
Matlin (dalam Iprianto, 2009:30) mendefinisikan persepsi sebagai suatu
proses yang melibatkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya dalam
memperoleh dan menginterprestasikan stimulus yang ditunjukkan indera, persepsi
juga merupakan kombinasi faktor dunia luar (stimulus visual) dan diri sendiri
(pengetahuan sebelumnya). Persepsi memiliki dua aspek yaitu : pengakuan pola
(pattern recognition) dan perhatian (attention). Artinya persepsi setiap personal tentang suatu peristiwa atau objek tergantung bagaimana personal tersebut
menyimpulkan informasi dan pesan yang ditentukan oleh suatu kerangka ruang
dan waktu.
Menurut Robbins (2003:88) persepsi dapat definisikan sebagai suatu
indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Persepsi suatu
individu terhadap suatu objek sangat mungkin memiliki perbedaan dengan
persepsi individu lainnya terhadap objek yang sama, fenomena ini disebabkan
oleh beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi. Sejumlah faktor memebentuk
dan kadang memutar balik persepsi, dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Sumber : Robbins (2003)
Faktor-faktor ini dapat berada pada pihak pelaku persepsi, dalam objeknya
atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu
dilakukan, melalui pelaku persepsi, target/ objek, situasi.
Faktor pada Faktor dalam situasi:
Waktu
Keadaan/ tempat kerja
K d i l
Factor pada target:
Pelaku persepsi, bila sorang individu memandang pada suatu objek dan
mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh
karakteristik pribadi dari pelaku persepsi individu itu. Target/objek,
karakteristik-karakteristik dari target yang akan diamati dapat mempengaruhi apa yang akan
dipersepsikan, inividu-individu yang luar biasa menarik maupun luar biasa tidak
menarik. Gerakan, bunyi, ukuran dan atribut-atribut lain dari target membentuk
kita memandanganya. Situasi, penting bagi kita melihat konteks objek dan
peristiwa., unsur-unsur lingkungan yang mempengaruhi persepsi kita.
Meskipun demikian, karena persepsi tentang objek dan peristiwa tersebut
bergantung pada suatu kerangaka dan waktu, maka persepsi akan bersifat
subjektif dan situasional. Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman
masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk dalam apa yang disebut sebagai faktor
fungisonal. Oleh karena itu, yang menentukan persepsi bukanlah jenis atau bentuk
stimulus tersebut. Sementara itu, faktor struktural berasal dari sifat fisik dan
tampak saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu.
2.1.2 Teori Atribusi
Teori yang dikembangkan oleh Fritz Heider ini mempelajari proses
bagaimana seorang menginterprestasikan suatu peristiwa, alasan, atau sebab
perilakunya. Perilaku seseorang oleh kombinasi antara kekuatan internal dan
eksternal. Dalam membuat penilaian terhadap orang lain, persepsi akan dikaitkan
Robbins (2003:92) juga mengemukakan hal yang sama bahwa
“teori atribusi merupakan dari penjelasan cara-cara manusia menilai orang
secara berlainan, tergantung pada makna apa yang dihubungkan ke suatu
perilaku tertentu. Pada dasarnya teori ini menyarankan bahwa jika
seseorang mengamati perilaku seseorang individu, orang tersebut berusaha
menentukan apakah perilaku itu disebabkan oleh faktor internal atau
eksernal yang tergantung pada tiga faktor:
1. Kekhususan (ketersendirian), merujuk pada apakah seseorang individu
memperlihatkan perilaku-perilaku yang berlainan. Yang ingin
diketahui adalah apakah perilaku ini luar biasa atau tidak. Jika luar
biasa, maka kemungkinan besar pengamat memberikan atribusi
eksternal kepada perilaku tersebut. Jika tidak, kelihatannya hal ini akan
dinilai sebagai sifat internal.
2. Konsensus, yaitu jika semua orang yang menghadapi suatu situasi
yang serupa bereaksi dengan cara yang sama. Contoh perilaku
karyawan yang terlambat akan memenuhi criteria ini jika karyawan
yang mengambil rute yang sama ke tempat kerja juga terlambat. Dari
perspektif atribusi, jika konsensus tinggi, diharapkan untuk
memberikan atribusi eksternal kepada keterlambatan karyawan ini.
Sementara itu, jika karyawan-karyawan lain yang mengambil rute
yang sama berhasil tiba secara tepat waktunya, maka kesimpulan
3. Konsitensi dicari dari tindakan seorang apakah orang tersebut
memberikan reaksi yang sama dari waktu ke waktu. Makin konsitensi
perilaku, maka hasil pengamatan semakin cenderung untuk
menghuungkan dengan sebab-sebab internal.”
Gambar 2.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Sumber : Robbins (2003)
2.1.3 Akuntansi Forensik
2.1.3.1 Pengertian Akuntansi Forensik
Tuanakotta (2010:4) Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin
akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk
penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan. Akuntansi forensik dapat
diterapkan di sektor publik maupun swasta, sehingga apabila memasukkan pihak
yang berbeda, maka akuntansi forensik menurut Crumbley (dalam Tuanakotta
2010:5), mengemukakan bahwa secara sederhana akuntansi forensik dapat
dikatakan sebagai akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang
tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses
peninjauan yudisial, atau tinjauan administratif. Definisi dari Crumbley
menekankan bahwa ukuran dari akuntansi forensik adalah ketentuan hukum
perundang – undangan, berbeda dari akuntansi yang sesuai dengan GAAP
(Generally Accepted Accounting Principles). Akuntansi forensik didefinisikan
sebagai analisis akuntansi yang dapat mengungkap penipuan, yang mungkin
sangat cocok untuk presentasi di pengadilan. Analisis semacam itu akan menjadi
dasar untuk resolusi diskusi, perdebatan, dan perselisihan. Seorang akuntan
forensik menggunakan pengetahuannya tentang akuntansi, studi hukum,
investigasi dan kriminologi untuk mengungkapkan fraud, menemukan bukti dan
selanjutnya bukti tersebut akan dibawa kepengadilan jika dibutuhkan
(Ramaswamy, 2007).
Bologna dan Lindquist (1987:87) mendefinisikan akuntansi forensik
sebagai aplikasi kecakapan financial dan sebuah mentalitas penyelidikan terhadap
isu-isu yang tak terpecahkan, yang dijalankan didalam konteks rules of evidence. Sedangkan Hopwood et al. (dalam Iprianto, 2009:33) lebih jauh mendefinisikan
akuntansi forensik adalah aplikasi keterampilan investigasi dan anlitik yang
bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah keuangan melaui cara-cara yang
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pengadilan atau hukum. Dengan
demikian investigasi dan analisis yang dilakukan harus sesuai dengan standar
yang ditetapkan oleh pengadilan atau hukum yang memiliki yuridiksi yang kuat.
Tuanakotta (2007:10) mengemukakan bahwa akuntansi forensik dahulu
digunakan untuk keperluan pembagian warisaan atau mengungkap kasus
pembunuhan, bermula dari penerapan akuntansi untuk memecahkan persoalan
hukum, maka istilah yang dipakai adalah akuntansi forensik dan bukan audit.
Sampai dengan saat ini dalam perkembangannya masih kelihatan akuntansinya,
dicontohkan dalam perhitungan ganti rugi baik dalam pengertian sengketa
maupun kerugian akibat kasus korupsi. Suryanto (dalam Iprianto, 2009:33) lebih
(misalnya penjualan atau pengeluaran tertentu) yang diindikasikan telah terjadi
tindak kecurangan baik dari laporan pihak dalam atau orang ketiga (tip off) atau, petunjuk terjadinya kecurangan (red flags). Dengan demikian akuntansi forensik sangat berperan dalam pengungkapan skandal-skandal keuangan yang ada di
Indonesia yang terutama korupsi.
Tuanakotta (2007:17) akuntansi forensik pada awalnya adalah perpaduan
yang paling sederhana antara akuntansi dan hukum (penggunaan akuntan forensik
dalam pembagian harta gono-gini). Di sini terlihat unsur akuntansinya, unsur
hitung menghitung besarnya harta yang akan diterima pihak (mantan) suami dan
(mantan) istri. Segi hukumnya dapat diselesaikan didalam atau luar pengadilan,
secara legitasi atau non legitasi.
Gambar 2.3
Diagram Akuntansi Forensik
Sumber : Tuanakotta (2007)
Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang tambahan (disamping
Akuntansi dan Hukum). Bidang tambahan ini adalah Audit, sehingga akuntansi
forensiknya dipresentasikan dalam tiga bidang.
Gambar 2.4
Diagram Akuntansi Forensik
Sumber : Tuanakotta (2007)
AKUNTANSI HUKUM
2.1.3.2 Lingkup Akuntansi Forensik
Tuanakotta (2007:41) dalam bukunya Akuntansi Forensik dan Audit
Investigatif mengemukakan bahwa lingkup akuntansi forensik menajawab “batas
wilayah” akuntansi forensik yang sekaligus mendefinisikan “apa”nya akuntansi
forensik dan akan “mengapa”nya akuntansi forensik.
1. Praktek di Sektor Swasta
Bologna dan Lindquist perintis mengenai akuntansi forensik (dalam
Tuanakotta, 2007:41) menekankan beberapa istilah dalam berbendaharaan
akuntansi, yakni: fraud auditing, forensic accounting, investigative accounting, litigation support, dan valuation analysis. Litigation support
merupakan istilah dalam akuntansi forensik bersifat dukungan untuk
kegiatan litigasi. Akuntansi forensik dimulai susudah ditemukan indikasi
awal adanya fraud. Audit investigasi merupakan bagian awal dari akuntansi forensik. Adapun valuation analysis berhubungan dengan
akuntansi atau unsure perhitungan. Misalnya dalam menghitung kerugian
Negara karena tindakan korupsi.
2. Praktek di Sektor Perintah
Akuntansi forensik pada sektor publik di Indonesia lebih menonjol
daripada akuntansi forensik pada sektor swasta. Secara umum akuntansi
forensik pada kedua sektor tidak berbeda, hanya terdapat perbedaan pada
tahap-tahap dari seluruh rangkaian akuntasi forensik terbagi-bagi pada
berbagai lembaga seperti lembaga pemeriksaan keuangan negara,
berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berfungsi sebagai
pressure group.
2.1.3.3Atribut, Krakteristik, Kualitas, Standar, Akuntansi Forensik
A. Atribut
Davia dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (Tuanakotta,
2007:45) member lima nasihat kepada seorang auditor pemula dalam melakukan
investigasi terhadap fraud, yakni:
1. Hindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara premature. Identifikasi lebih dulu, siapa pelaku (atau yang mempunyai potensi untuk
menjadi pelaku). Banyak auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan
temuan, dan tak bisa menjawab pertanyaan yang paling penting : who did it?
2. Fraud auditor harus mampu membuktikan “niat pelaku melakukan kecurangan” (perpetrator’s intent to comit fraud). Banyak kasus kecurangan kandas disidang pengadilan karena penyidik dan saksi ahli
(akuntan forensik) gagal membutikan niat melakukan kejahatan atau
pelanggaran. Tujuan proses pengadilan adalah menialai orang, dan bukan
mendengar celoteh berkepanjangan tentang kejahatannya. Padahal cerita
tentang kejahatan ini dibumbui dengan cerita tentang bagaimana sang
3. “Be creative, think like a perpetrator, do not be predictable. Seorang farud auditor harus kreatif, berpikir seperti pelaku kejahatan, jangan mudah ditebak.
4. Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan
persekongkolan (collusion conspiracy). Pengendalian intern bagaimanpu baiknya tidak dapat ,mencegah hal ini. Ada dua macam persengkongkolan:
a. Ordinary conspiracy, persengkongkolan bersifat sukarela, dan pesertanya memang mempunyai niat jahat.
b. Pseudo conspiracy, misalnya, seseorang tidak menyadari bahwa keluguannya dimanfaatkan oleh rekan kerjanya (contoh: memberikan
password komputernya).
5. Dalam memilih proactive fraud detection strategy (strategi untuk mempertimbangkan apakah kecurangan dilakukan didalam pembukuan
atau diluar pembukuan).
B. Karakteristik Seorang Pemeriksa Fraud
Tuanakotta (2007:49) menyatakan bahwa seorang pemeriksa
Fraud harus memiliki kemampuan unik. Disamping keahlian tehnis
seorang pemeriksa fraud yang sukses mempunyai kemampuan
mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih (mengikuti ketentuan perundang-undangan), dan akurat serta mampu
melaporkan fakta-fakta itu secara akurat dan lengkap. Kemampuan untuk
melaporkannya dengan akurat dan lengkap adalah sama pentingnya.
Pemeriksa fraud adalah gabungan anatara pengacara, akuntan, kriminolog, dan detektif (atau investigator).
Allan pinkerton (dalam Tuanakotta,2007:50) salah seorang private investigator sukses pada awal lahirnya profesi ini menyebutkan kualitas yang seharusnya dimiliki oleh seorang detektif adalah berhati-hati,
menjaga kerahasian pekerjaannya, kreatif, pantang menyerah, berani, dan
diatas segala – galanya jujur, disamping ketangguhannya mencari
informasi seluas-luasnya yang memungkinkannya menerapkan segera dan
secara efektif talentanya sebagai seorang detektif dengan kedalaman yang
diperlukan.
C. Kualitas Akuntan Forensik
Lindquist (dalam Tuanakotta, 2007:51) membagikan kuesioner
kepada staff Peat Marwick Lindquist Holmes. Diantara yang diajukannya
terdapat pertanyaan ini: Kualitas apa saja yang harus dimiliki seorang
akuntan forensik? Jawabannyapun beraneka ragam diantaranya:
Kreatif - kemampuan untuk melihat seseuatu yang orang
lain menganggap situasi bisnis yang normal dan
mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak
perlu merupakan situasi bisnis yang normal.
Rasa ingin tahu – keinginan untuk menemukan apa yang
Tak menyerah - kemampuan untuk maju terus pantang
mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung,
dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.
Akal sehat - kememapuan untuk mempertahankan
perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya, perspektif
anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan.
Business sense – kemampuan untuk memahami bagaimana
bisnis sesungguhya berjalan, dan bukan sekedar memahami
bagaimana transakasi dicatat.
Percaya diri – kemempuan untuk mempercayai diri dan
temuan kita sehinggga kita dapat bertahan dibawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela).
D. Standar
Tuanakotta (2007:52) Secara sederhana standar adalah ukuran
mutu. Karena itu dalam pekerjaan audit para auditor ingin menegaskan
standar mereka. Dengan standar ini pihak yang diaudit (auditee) pihak yang memakai laporan audit, dan pihak-pihak lain dapat menguku mutu
kerja si auditor. Hal yang sama juga ingin dicapai para investigator dan
Pickett (dalam Tuanakotta, 2007:52) merumuskan beberapa
standar untuk mereka yag melakukan investigasi terhadap fraud. Konteks yang mereka rujuk adalah investigasi atas fraud yang dilakukan oleh pegawai diperusahaan. Standar tersebut adalah:
Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang
diakui (accepted best practices).
Kumpulan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due
care) sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima dipengadilan.
Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman,
terlindungi dan indeks, dan jejak audit tersedia.
Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak azasi
pegawai dan senatiasa menghormatinya.
Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya
melakukan kecurangan, dan pada penuntut umum yang
mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum
administratif maupun hukum pidana.
Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh
target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.
Liput seluruh waktu tahapan kunci dalam proses
investigasi, termasuk perencanaan pengumpulan bukti dan
barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga,
pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti
catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan
persyaratan mengenai pelaporan.
2.2Tinjauan Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti Judul
Penelitian
Hasil Penelitian
1 Fleming (2008) West Virginia
University:
Forensic
Accounting
and Fraud
Investigstion
mengembangkan program akademik
baru untuk menghadapi akuntan
profesional dan auditor yaitu FAFI
(Forensic Accounting and Fraud Investigaton).
2 Ipprianto(2009) Persepsi
Akademisi
tidak terdapat perbedaan persepsi yang
signifikan antara akademisi dengan
praktisi terhadap kemampuan anallisis
deduktif, keahlian analitik, komunikasi
tertulis, pengetahuan tentang hukum
dan bersifat tenang. Hasil pengujian
hipotesis menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan persepsi yang signifikan
antara akademisi dengan praktisi
terhadap kemampuan pemikiran kritis,
fleksibilitas penyidikan, dan
komunikasi lisan.
3 Mulyanti (2012) Persepsi
Akademisi
Universitas
Sumatera
Utara
terhadap
adanya
Akuntansi
Forensik
Tidak terdapat perbedaan persepsi yang
signifikan terhadap variabel akuntansi
forensik sebagai alat untuk
mempercepat pemberantasan korupsi,
akuntansi forensik dimasukkan
kedalam kurikulum pendidikan, dan
mendapatkan perhatian dari pihak
perguruan tinggi. Hasil pengujian
hipotesis variabel akuntansi forensik
menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan untuk
akuntansi forensik tidak sama dengan
audit forensik, peluang karir dimasa
2.3Kerangka Konseptual
Sugiono (2006) Kerangka Konseptual merupakan penjelasan secara
teoritis antara variabel yang akan diteliti. Berdasarkan teori pendukung, maka
kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.5 Kerangka Konseptual
Sumber : Penulis (2014)
Persepsi Mahasiswa FS IAIN Sumatera Utara Persepsi Mahasiswa FEB
Universitas Sumatera Utara
1. Akuntansi forensik tidak sama dengan audit investigatif. 2. Akuntansi forensik berorientasi
pada etika dan hukum 3. Akuntansi Forensik sangat
berperan terhadap sebuah peluang karir yang menjajikan di masa yang akan datang.
4. Akuntansi forensik sebagai alat untuk mempercepat pemberantasan korupsi dan penanggulangan tindak penipuan
5. Akuntansi forensik dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan akuntansi.
6. Ada hubungan akuntansi forensik dengan perkembangan ilmu akuntansi.
7. Akuntansi forensik belum mendapatkan perhatian yang serius dari pihak perguruan tinggi. 1. Akuntansi forensik tidak sama
dengan audit investigatif. 2. Akuntansi forensik berorientasi
pada etika dan hukum. 3. Akuntansi Forensik sangat
berperan terhadap sebuah peluang karir yang menjajikan di masa yang akan datang.
4. Akuntansi forensik sebagai alat untuk mempercepat pemberantasan korupsi dan penanggulangan tindak penipuan
5. Akuntansi forensik dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan akuntansi.
6. Ada hubungan akuntansi forensik dengan perkembangan ilmu akuntansi.
7. Akuntansi forensik belum mendapatkan perhatian yang serius dari pihak perguruan tinggi.
Pada gambar di atas maka dapat dijelaskan bahwa, variabel-variabel yang
digunakan adalah:
1. Variabel Independen
Persepsi Mahasaiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera
Utara sebagai variabel bebas (X1)
Persepsi Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara sebagai
variabel bebas (X2)
2. Variabel Kontrol
Variabel Kontrol menurut Idrus (2009:80) adalah varibel yang yang
sengaja ditetapkan oleh peneliti jika ingin melakukan penelitian yang
sifatnya membandingkan. Pada penelitian ini maka yang menjadi variabel
kontrol adalah, akuntansi forensik tidak sama dengan audit investigatif,
akuntansi forensik berorientasi pada etika dan hukum, akuntansi forensik
sangat berperan terhadap sebuah peluang karir yang menjanjikan di masa
yang akan datang, akuntansi forensik sebagai alat untuk mempercepat
pemberantasan korupsi dan penanggulangan tindak penipuan, akuntansi
forensik dimasukkan kedalam kurikulum pendidikan akuntansi, ada
hubungan akuntansi forensik dengan perkembangan ilmu akuntansi,
akuntansi forensik belum mendapatkan perhatian yang serius dari pihak
perguruan tinggi.
3. Variabel Dependen
2.4Hipotesis
Ha1 : Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan
mahasiswa IAIN Sumatera Utara terhadap variabel akuntansi forensik
tidak sama dengan audit invetigatif.
Ha2: Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan
mahasiswa IAIN Sumatera Utara terhadap variabel akuntansi forensik
berorientasi pada etika dan hukum.
Ha3 : Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan
mahasiswa IAIN Sumatera Utara terhadap variabel akuntansi forensik
Sangat berperan terhadap sebuah peluang karir yang menjanjikan di masa
yang akan datang.
Ha4 : Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan
mahasiswa IAIN Sumatera Utara terhadap variabel akuntansi forensik
sebagai alat untuk mempercepat pemberantasan korupsi dan
penanggulangan tindak penipuan.
Ha5 : Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan
mahasiswa IAIN Sumatera Utara terhadap variabel akuntansi forensik
Dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan akuntansi.
Ha6: Terdapat perbedaan persepsi mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan
mahasiswa IAIN Sumatera Utara terhadap variabel Ada hubungan
akuntansi forensik dengan perkembangan ilmu akuntansi.
Ha7: Terdapat perbedaan persepsi akademisi mahasiswa Universitas Sumatera
forensik belum mendapat perhatian yang serius dari pihak perguruan