• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review: Prospek Zat Warna Alam Dari Ekstrak Kayu Sebagai Bahan Untuk Pewarnaan Kulit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Review: Prospek Zat Warna Alam Dari Ekstrak Kayu Sebagai Bahan Untuk Pewarnaan Kulit"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Review: Prospek Zat Warna Alam Dari Ekstrak Kayu Sebagai Bahan Untuk

Pewarnaan Kulit

Emiliana Kasmudjiastuti

Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9 Yogyakarta 55166, Indonesia Telp. (0274) 512929, Fax. (0274) 563655

e-mail: emil_bbkkp@yahoo.com

ABSTRAK

Zat warna alam untuk kulit yang berasal dari bahan kayu atau kulit kayu merupakan zat

warna mordan dan dikenal dengan nama wood dyes. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan

tersebut umumnya berupa tanin, flavonoid dan kuinon yang menghasilkan warna kuning, coklat dan merah. Penggunaan zat warna alam dari kayu mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah mempunyai efek menyamak, mempunyai daya isi pada kulit, dengan garam metal yang berbeda akan memberikan warna yang berbeda. Kelemahannya, jika digunakan secara berlebihan, kulit yang dihasilkan bersifat kaku. Makalah ini membahas prospek zat warna alam dari ekstrak

kayu secang (Caesalpinia sappan L), nangka (Artocarpusheterophyllus), tegeran (Maclura

cochichinensis), kulit kayu tingi (Ceriops tagal) dan mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) untuk

pewarnaan kulit. Zat warna alam dari ekstrak kayu tersebut dapat diaplikasikan pada berbagai jenis kulit seperti kulit ikan kakap, kulit kaki ayam, kulit ular, kulit biawak, kulit perkamen dari kulit kerbau dan kulit domba. Secara umum hasil uji ketahanan gosok cat (kelunturan warna) menunjukkan hasil yang baik (tidak luntur).

(2)

The Prospect of Natural Dyes from Wood Extract asLeather Dyeing: a Review

Emiliana Kasmudjiastuti

Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9 Yogyakarta 55166, Indonesia Telp. (0274) 512929, Fax. (0274) 563655

e-mail: emil_bbkkp@yahoo.com

ABSTRACT

Natural dyes for leather from wood or bark are mordant dyes and are known as wood dyes. The chemical compounds contained in the material are generally tannins, flavonoids and quinones that produce yellow, brown and red. The use of natural dyes from wood has advantages and disadvantages. The advantages is having the effect of tanning, has the fullness on the skin, with different metal salts will give a different color. The disadvantage, if used in excess, the resulting skin is rigid. This paper discusses the prospects of natural dye from secang wood extract (Caesalpinia sappan L), jackfruit (Artocarpus heterophyllus), tegeran (Maclura cochichinensis), bark (Ceriops tagal) and mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) for leather dyeing. Natural dyes extract of the wood extract can be applied to various skin types such as fish skin, chicken leg skin, snake skin, lizard skin, parchment skin of buffalo skin and sheep skin. In general the results of the rub fastness test show good results (not fade).

(3)

PENDAHULUAN

Zat warna alam digunakan sebagai pewarna makanan, katun, sutera, wool dan kulit sejak

jaman pra sejarah (Samanta & Agarwal, 2009). Perkembangan selanjutnya penggunaan zat warna

alam tergeser dengan diketemukan zat warna sintetis, karena lebih unggul sifat ketahanan

warnanya, tidak mudah pudar, mudah diproduksi, arah warna lebih bervariasi, dan harganya lebih

murah dibanding zat warna alam (Indrianingsih & Darsih, 2013).Munculnya zat warna sintetis

mengurangi konsumsi zat warna alam yang dikonsumsi sebagian besar di industri kulit sampai

pertengahan abad ke-19.Aplikasi zat warna sintetis tersebar luas di industri kulit dan memiliki

beberapa efek negatif. Zat warna sintetis dihasilkan dari minyak bumi dan sumber-sumber tar

batubara (Devi et al., 2013),tidak hanya menghancurkan lingkungan selama sintesisnya namun juga

bila limbah dibuang ke badan air setelah proses pewarnaan (Gupta et al., 2013). Limbah tersebut

sulit diolah melalui proses pengolahan air limbah secara konvensional karena sangat larut dalam air

(Padhi, 2012). Disamping itu berbahaya bagi kesehatan manusia (Sudha et al., 2014),karena dapat

menembus ke dalam kulit manusia, menghancurkan ekosistem (Kant,2012) dan beracun bagi

keanekaragaman hayati perairan (Danazumi & Bichi, 2010).Beberapa zat warna sintetis

mengandung aromatic amines, disinyalir dapat menyebabkan kanker (Bordingnon et al., 2012).

Zat warna alam dari sumber tanaman (Belemkar & Ramachandran, 2015) adalah ramah

lingkungan, renewable, non toxic, sustainable, warna lembut (Pervaiz et al., 2016), secara

komersial dapat membantu meningkatkan perekonomian negara (Upadhyay & Choudhary, 2014).

Zat warna berbasis tanaman mudah diperoleh, substratnya harum dan lembut (Pervaiz etal., 2016).

Mengingat adanya konsekuensi penggunaan zat warna sintetis dan standar lingkungan yang

ketat, maka penggunaan zat warna alam meningkat dengan cepat di abad 21 (Bose, 2012).Kini zat

warna alam dari berbagai sumber tanaman (kayu, daun, bunga, dan biji) telah banyak dimanfaatkan

dan diaplikasikan dan dikomersialisasikan khususnya pada produk batik dan makanan, sedang

untuk industri kulit kurang diminati, biasanya hanya sebagai produk kerajinan (Lee et al., 2102)dan

merupakan niche market. Pecinta alam saat ini, orang-orang yang sadar akan kesehatan dan

berpikiran hijau mulai menekankan penggunaan zat warna alam(Karaboyaci, 2014).

Sumber-sumber zat warna alam dari tumbuhan sangat luas dan tiap-tiap bagian di dunia ini

mempunyai jenis-jenis tumbuhan yang berbeda yang menghasilkan zat warna (Mann, 1981).

Indonesia kaya akan sumber daya alam berupa tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan zat

warna dan belum dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai bahan pewarna untuk kulit. Selama

ini penggunaan bahan dari tumbuhan lokal untuk kulit, hanya sebatas penggunaannya sebagai bahan

(4)

menyebabkan warna ke arah coklat. Sebagai contoh pinang (Areca catechu), gambir (Uncaria

gambir), bakau (Mangrove sp) dan akasia (Acacia decureus wild).

Beberapa penggunaan zat warna alam untuk pewarnaan kulit yang telah dilakukan antara

lain logwood, fustic, dan hypernic. Zat warna logwood menghasilkan berbagai macam warna jika

digunakan dengan mordan yang berbeda, dengan alum memberikan warna ungu kemerahan, dengan

kapur memberikan warna ungu gelap, dengan ferro sulfat memberikan warna hitam keunguan dan

dengan copper memberikan warna merah tua (Koteswara, 1985).Fustic dengan kapur memberikan

warna oranye, dengan alum memberikan warna kuning terang, dengan ferro sulfat memberikan

warna hijau tua (Mann, 1981). Hypernic dapat menghasilkan warna merah, violet dan coklat

(Thorstensen, 1985). Zat warna alam lainnya adalah peach wood, red wood, oak. Tanaman tersebut

banyak tumbuh di Amerika selatan, Brazil, Nicaragua, Peru (Sarkar, 1995).

Indonesia kaya akan sumber zat warna alam dari bahan kayu atau kulit kayu. Oleh karena

itu perlu digali dan dikembangkan penggunaannya untuk diaplikasikan pada kulit. Dalam tulisan ini

difokuskan pada penggunaan zat warna alam dari kayu secang (Caesalpinia sappan L); kayu

tegeran (Maclura cochinchinensis), kayu nangka (Artocarpus heterophyllus), kulit kayu tingi

(Ceriops tagal), dan kulit kayu mahoni (Swieteniamahagoni JACQ) untuk pewarnaan kulit,

mengingat ketersediaan bahan relatif mudah diperoleh dibandingkan bahan lainnya.

Karakteristik Zat Warna Alam dari Kayu atau Kulit Kayu

Menurut Sarkar (1995), zat warna alam (natural dyestuffs) untuk kulit umumnya dalam

bentuk kayu (wood) atau kulit kayu (bark) sehingga dikenal dengan wood dyes. Zat warna alam

dibagi dalam dua tipe yaitu zat warna alam monochromatic yaitu warna tidak berubah dengan

adanya mordan dan zat warna alam polygenetic yaitu warnanya berubah karena adanya mordan

(Lee et al., 2012). Umumnya zat warna alam dari sumber kayu merupakan zat warna mordan

(Sarkar, 1995).

Dalam kayu atau kulit kayu pada tumbuhan terdapat jenis pigmen antara lain adalah tanin,

flavonoid, dan kuinon. Secara umum tanin dibedakan menjadi dua, yaitu tanin yang dapat

dihidrolisis (hydrozable tannin) dan tanin terkondensasi (condensed tannin). Berdasarkan warna

yang dihasilkan, tanin diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu clear tannin, yellow tannin, dan red –

brown tannin (Bechtold, 2009). Penggunaan tanin dari bagian tanaman sebagai bahan penyamak

nabati akan menimbulkan warna yang merupakan efek sekunder dari proses penyamakan. Menurut

Holleman (1985),tanin adalah campuran turunan digalloil dari glukosa yang dapat larut dalam air

sebagai koloida, biasanya tidak berwarna, namun kadang-kadang berwarna coklat kekuningan atau

(5)

anthocyanin (tak berwarna), akan berwarna setelah bereaksi dengan garam metal, sehingga

kadang-kadang digunakan sebagai pewarna disamping sebagai bahan penyamak. Flavonoid merupakan

senyawa polifenol yang memiliki 15 atom karbon yang terdiri atas dua cincin aromatik yang

dihubungkan oleh tiga atom karbon, dengan struktur dasar flavon dan flavane yang dapat

memberikan warna pada kulit. Sebagai contoh Acaciacatechu, Mangrove sp, Phyllanthus emblica

L, dan Terminalia catappa L(Lemmens, 1992) serta Uncaria gambir (Sarkar, 1995). Kuinon

merupakan senyawa kimia yang dapat menghasilkan zat warna alami, salah satu tipe kuinon yaitu

antrakuinon dapat memberikan warna merah, yaitu alizarin (Bechtold, 2009).

Penggunaan zat warna alam dari ekstrak kayu atau kulit kayu mempunyai beberapa

keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya adalah mempunyai efek menyamak pada kulit,

meningkatkan daya isi (fullness) pada kulit, dengan garam metal yang berbeda akan memberikan

warna yang bervariasi dan dapat memberikan warna yang sama pada bagian daging (flesh) dan nerf

(grain). Kelemahannya adalah dalam jumlah yang berlebihan akan memberikan sifat kulit yang

keras (Sarkar, 1995).

Senyawa kimia yang terdapat dalam kayu secang adalah asam galat, brazilin, brazilein,

oscimene, resin, delta α phellardrene dan tanin (Hariana, 2006). Brazilin merupakan pigmen warna pada secang yang berwarna kuning termasuk flavonoid, bila teroksidasi menjadi brazilein berwarna

merah dan larut dalam air. Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar matahari.

Brazilein termasuk golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Senyawa isoflavonoid merupakan

golongan yang mempunyai kerangka C3-C6-C3. Pigmen brazilein, seperti halnya brazilin, memiliki

warna berbeda-beda tergantung tingkat keasaman lingkungannya. Warna merah tajam dan cerah

didapat pada kondisi pH netral (pH 6-7). Warna ini akan bergesar ke arah merah keunguan dengan

semakin meningkatnya pH. Sebaliknya pada pH rendah (pH 2-5) brazilein memiliki warna kuning.

Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi stabilitas pigmen brazilein. Temperatur dan

pemanasan, sinar ultraviolet, oksi-dator dan reduktor, serta keberadaan metal dapat memengaruhi

kecepatan degradasi pigmen. Pigmen brazilein akan terdegradasi dengan cepat ketika temperatur

lingkungan semakin tinggi (Pewarna alami untuk pangan, 2012).

Senyawa kimia zat warna dalam kayu tegeran (Maclura cochinchinensis) termasuk

golongan flavonoid, alkaloid, steroid, saponin, dan tanin (Swargiary & Ronghang, 2013). Flavonoid

utamanya adalah morin (C15H10O7) yang berwarna kuning (Konkiatpaiboon et al., 2016; Swargiary

& Ronghang, 2013).

Senyawa kimia zat warna dalam kayu nangka (Artocarpus heterophyllus) antara lain morin,

sianomaklurin, flavon, tanin, flavonoid: morusin, artokarpin, artonin E, sikloartobilosanton, dan

(6)

dengan asam akan berwarna kuning pucat dan dengan basa berwarna kuning kearah coklat

(Suwadji dkk, 1980).

Senyawa kimia zat warna dalam kulit kayu tingi (Cerios tagal) adalah tanin, trimeric, dan

anthocyanidin (Yemirta, dkk 2000).Senyawa kimia zat warna dalam kayu mahoni (Swietenia

mahagoni JACQ) adalah tanin, flavonoid, triterpenoid, alkaloid, dan saponin (Ningsih, 2010).

Metode Ekstraksi Zat Warna Alam

Metode ekstraksi adalah suatu metode untuk mendapatkan senyawa kimia dari bahan–bahan

alam. Banyak metode ekstraksi yang digunakan untuk mendapatkan zat warna alam dari sumbernya

tergantung dari sifat-sifat zat warna maupun komponen lain yang ada bersama zat warna tersebut.

Beberapa metode ekstraksi zat warna alam dari tanaman yaitu: metode perkolasi dingin, pelarut

yang digunakan adalah air, etanol, atau kombinasi pelarut dan diperlukan waktu untuk perendaman;

perkolasi panas, pelarut yang digunakan adalah pelarut organik seperti heksana, bensena, kloroform

dan metanol, atau dapat menggunakan kombinasi pelarut dengan suhu tertentu atau sampai

mendidih; metode aqueous, pelarut yang digunakan adalah air, dipanaskan pada suhu dan waktu

tertentu; metode super critical fluid extraction, yaitu pengembangan teknologi konvensional untuk

ekstraksi, media yang digunakan adalah gas CO2; microwave, merupakan ekstraksi yang lebih

cepat, kualitas yang dihasilkan bagus dan energi yang dibutuhkan rendah; dan metode ultrasonik

(Indrianingsih & Darsih, 2013).

Ada beberapa faktor yang memengaruhi proses ekstraksi diantaranya selektifitas, polaritas,

dan suhu. Pelarut yang mempunyai derajat polaritas tinggi, cenderung dapat mengekstrak

bahan-bahan organik lebih banyak yang ada dalam bahan-bahan baku. Pelarut polar seperti ethanol, dan methanol

akan menghasilkan rendemen cukup tinggi, namun untuk methanol produk yang dihasilkan

tercampur dengan bahan organik lain seperti minyak nabati, sehingga menyulitkan proses

pembuatan puder. Penggunaan air sebagai pelarut, meskipun rendemennya lebih rendah

dibandingkan dengan menggunakan methanol atau ethanol (Indrianingsih dan Darsih, 2013), tetapi

lebih mudah dalam proses puderisasi dan kualitasnya yang dihasilkan lebih baik (Murbantan et al.,

1997).

Mordanting

Wood dyes merupakan zat warna mordan, dengan garam metal akan menghasilkan warna

yang bervariasi tergantung jenis mordan yang digunakan. Mordan disebut juga dengan striker,

mordere, maupunbite yang merupakan bahan kimia berupa garam-garam metal seperti, chrome, tin,

(7)

penyerapan warna (Sarkar, 1995) dan sebagai jembatan kimia antara molekul zat warna dengan

molekul jaringan yang diwarnai, sehingga membuat warna menjadi permanen (Musa et al., 2009;

Indrianingsih & Darsih, 2013). Garam metal sebagai mordan dapat memperbaiki ketahanan warna

seperti ketahanan terhadap pencucian, gosok, sinar matahari dan panas (Mughal et al., 2012).

Keberadaan gugus fungsional seperti hidroksil atau karbonil, nitroso yang terdapat pada zat warna

alam menyebabkan zat warna tersebut dapat mengikat ion logam pada mordan (Indrianingsih

&Darsih, 2013). Penambahan mordan bisa dilakukan sebelum pewarnaan, selama pewarnaan dan

setelah pewarnaan, tetapi yang paling baik adalah penggunaan mordan secara simultan (selama

pewarnaan) dibandingkan sebelum dan sesudah pewarnaan karena warna menjadi rata (Lee et al.,

2012). Lebih lanjut Lee et al.(2012) menyatakan bahwa hasil pewarnaan menggunakan mordan

Aluminium (Al2 (SO4)318H2O) warnanya sama dengan warna aslinya (tidak ada perubahan warna)

karena tidak membentuk kompon kompleks dengan zat warna alam berbeda dengan penggunaan

mordan ferro sulfat ( FeSO47H2O).

Menurut Inayat et al. (2010), untuk mordan bisa digunakan asam oksalat, asam asetat dan

asam sitrat dengan perbandingan 1 : 3 (v/v) yang diaplikasikan setelah pewarnaan menggunakan

kulit kayu walnut. Sifat ketahanan gosok cat (basah dan kering) sampel kulit paling optimal

menggunakan asam oksalat dan asam oksalat merupakan mordan yang ramah lingkungan sebagai

alternatif penggunaan metal sebagai mordan. Penggunaan mordan akan memengaruhi sifat-sifat

kulit seperti, ketahanan terhadap pencucian, ketahanan keringat dan ketahanan gosok cat. Jeruk

nipis dan daun jambu biji juga dapat digunakan sebagai mordan yang ramah lingkungan untuk

pewarnaan kulit perkamen (Darmawati, 2016).

Aplikasi Zat Warna Alam pada Kulit

Hasil aplikasi zat warna alam dari kayu secang (Caesalpinia sappan L); kayu tegeran

(Maclura cochinchinensis); kayu nangka (Artocarpus heterophyllus); kulit kayu tingi (Ceriops

tagal), dan kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) pada beberapa jenis kulit disajikan pada

Tabel 1.

PEMBAHASAN

Aplikasi zat warna alam pada kulit sudah lama digunakan sejak jaman pra sejarah, kemudian

tergeser dengan munculnya zat warna sintetis yang mudah penggunaannya dengan arah warna yang

lebih bervariasi dibandingkan dengan zat warna alam. Dalam konteks kembali ke alam (back to

nature), maka kini penggunaan zat warna alam mulai dibangkitkan kembali. Aplikasi zat warna

alam pada produk tekstil dan batik, serta makanan telah banyak diteliti dan dikembangkan dengan

(8)

diteliti dan dikembangkan khususnya untuk bahan zat warna alam yang berasal dari kayu atau kulit

kayu dari tumbuhan lokal di Indonesia.

Tabel 1. Hasil aplikasi zat warna alam dari kayu secang, tegeran, nangka, tingi dan mahoni pada berbagai jenis kulit

Jenis ekstrak kayu/kulit

kayu

Jenis kulit Jenis Mordan Warna yang dihasilkan Ular kobra Krom, Alum Merah 3/4 4/5 Kasmudjiastuti(2006) Biawak Krom, Alum Merah 4/5 4/5 Kasmudjiastuti (2006) Ular kobra Krom,Alum Kuning 4 4/5 Kasmudjiastuti (2006) Biawak Krom, Alum Kuning 5 5 Kasmudjiastuti (2006), Nangka Ikan kakap Alum Kuning 3/4 4 Kasmudjiastuti

&Widhiati (2002) Ular kobra Krom, Alum Kuning 3 4 Kasmudjiastuti(2006) Ular python Alum Kuning 4 4 Kasmudjiastuti & Kaki ayam Ferro sulfat Coklat tua 5 5 Kasmudjiastuti (2011)

Kandungan pigmen/zat pewarna dalam kayu adalah tanin, flavonoid dan kuinon.Zat warna

alam dari sumber kayu bila digunakan sebagai bahan pewarna untuk kulit, mempunyai keuntungan

dan kelemahan. Keuntungannya selain dapat memberikan warna tertentu pada kulit, dapat pula

(9)

meningkatkan daya isi (fullness) pada kulit, dengan garam metal yang berbeda akan memberikan

warna yang bervariasi dan dapat memberikan shade yang sama pada bagian daging (flesh) dan nerf

(grain). Kelemahannya adalah dalam jumlah yang berlebihan akan memberikan sifat kulit yang

keras. Mordan yang digunakan selain garam metal (Aluminium, ferro sulfat), ternyata dapat

digunakan asam oksalat, asam asetat, asam sitrat, jeruk nipis, ekstrak daun jambu (Guajava) yang

lebih ramah lingkungan. Penggunaan mordan dalam aplikasi zat warna alam sebagai jembatan

kimia antara molekul zat warna alam dengan molekul kulit, sehingga akan memperbaiki sifat

ketahanan warna terhadap bahan ang diberi warna.

Banyak metode ekstraksi untuk mendapatkan zat warna dari bahan /sumber kayu dengan

berbagai macam pelarut, namun paling praktis adalah penggunaan air sebagai pelarut, meskipun

rendemennya lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan methanol atau ethanol, tetapi proses

puderisasi lebih mudah dan kualitasnya yang dihasilkan lebih baik.

Indonesia kaya akan sumber daya alam berupa tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan

zat warna dan belum dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai bahan pewarna untuk kulit. Selama

ini penggunaan bahan dari dari tumbuhan lokal untuk kulit, hanya sebatas penggunaannya sebagai

bahan penyamak (bahan penyamak nabati), walaupun efek sekunder dari proses penyamakan kulit

dapat menyebabkan warna ke arah coklat. Sebagai contoh pinang (Areca catechu), gambir (Uncaria

gambir), bakau (Mangrove sp) dan akasia (Acacia decureus wild).

Kayu secang (Caesalpinia sappan), kayu tegeran (Maclura cochichinensis), kayu nangka

(Artocarpus heterophyllus) kayu tingi (Ceriops tagal) dan kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni

JACQ) berasal dari tanaman lokal Indonesia, bahan mudah didapat, kapasitasnya sebagai zat warna

alam terbukti dapat diaplikasikan kulit. Beberapa penelitian telah dilakukan aplikasinya terhadap

kulit sapi, domba dan khususnya pada kulit non konvensional (ular, ikan, biawak, kaki ayam) dan

secara umum memberikan hasil ketahanan warna yang baik. Untuk penggunaan zat warna alam,

perlu dipikirkan ketersediaan bahan dan kontinyuitas serta kemudahannya diaplikasikan pada kulit

dengan hasil yang baik dari segi ketahanan warnanya. Ekstrak kayu secang akan menghasilkan

warna merah dengan mordan ferro sulfat akan menghasilkan warna ke unguan dan telah cukup

banyak dilakukan penelitian pada berbagai jenis kulit. Sedangkan untuk kayu tegeran dan nangka

yang sama-sama memberikan warna kuning, namun berbeda shadenya, kulit kayu tingi yang

menghasilkan warna coklat kemerahan, dengan mordan ferro sulfat akan menghasilkan warna

coklat tua serta kulit kayu mahoni dengan mordan ferro sulfat akan memberikan warna coklat tua,

belum banyak dilakukan penelitian.

Untuk itu masih diperlukan penelitian-penelitian yang lebih seksama agar kulit yang

(10)

membuka peluang untuk meningkatkan jumlah warna. Dengan demikian jumlah macam warna

alami itu seakan-akan tak terbatas jumlahnya dan akan menghasilkan suatu warna yang unik.

Selama ini untuk memproduksi zat warna alam dalam bentuk siap pakai,belum tersedia di pasar

atau siap pakai dalam bentuk puder, sehingga dalam pemakainnya masih dalam bentuk ekstrak

larutan, dan kelemahannya adalah kesulitan dalam mencapai keseragaman warna. Namun demikian

justru itu yang unik, exotic yang menjadikan keunggulan dari zat warna alam, dapat dijadikan

produk hand made, produk kerajinan dan merupakan niche market.

Penggunaan zat warna alam untuk kulit lebih cocok diaplikasikan pada kulit non

konvensional (kulit ikan, reptil) dan kulit suede yang tidak memerlukan pigmen pada perlakuan

finishing, sehingga warna yang dihasilkan nampak alami.

KESIMPULAN

Zat warna alam dari sumber kayu umumnya berupa flavonoid dan tanin, dalam aplikasinya

diperlukan mordan yang berfungsi sebagai sarana pelekatan antara molekul zat warna dengan

jaringan/serat yang akan diberi warna. Pengambilan zat warna alam yang paling mudah dan

ekonomis adalah dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut air. Mordan yang digunakan selain

berupa garam-garam metal seperti alum dan ferro sulfat juga dapat digunakan asam oksalat, asam

sitrat, asam asetat yang lebih ramah lingkungan. Penggunaan mordan dapat dilakukan sebelum

pewarnaan, selama pewarnaan atau setelah pewarnaan yang dapat memperbaiki ketahanan warna.

Aplikasi zat warna alam dari kayu secang (Caesalpinia sappan L) sudah banyak diteliti pada

berbagai jenis kulit seperti kulit ikan kakap, nila, kulit ular, biawak, domba (suede), kerbau

(perkamen) dan sapi (di emboss) yang memberikan warna merah. Sedang zat warna alam dari kayu

tegeran (Maclura cochichinensis), kayu nangka (Artocarpus heterophyllus) kayu tingi (Ceriops

tagal) dan kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) belum banyak diteliti aplikasinya pada

kulit. Untuk itu perlu di bangkitkan kembali penggunaan zat warna alam untuk kulit, sekaligus

merupakan tantangan bagi para peneliti untuk mengembangkan penggunaan zat warna alam pada

produk kulit, karena sementara ini zat warna alam jenis tersebut sudah banyak dikembangkan dan

diaplikasikan pada produk tekstil dan batik.

DAFTAR PUSTAKA

Belemkar, S., & Ramachandran, M.(2015). Recent trends in Indian textile industry- Exploring novel

Natural dye products and resources. International Journal on Textile Engineering and

(11)

Bechtold, T., Mussak, R., Mahmud, A.A., Ganglberger, S.(2006). Extraction of Natural Dyes for Textile dyeing from coloured plant wastes released from the food and beverage industry. Journal of Science of Food and Agriculture, 86(2), 233-242

Bordingnon, S., Gutterres, M.,Velho, S.K.,Fuck, W.F., Schor, A.V.,Cooper, M., Bresolin, L.

(2012). Novel Natural Dyes for Eco-Friendly Leather Articles. Aqeic, Vol 63 (4), 2012

Bose, S., and Nag, S.(2012). Isolation of Natural Dyes from the flower of Hibiscus Rosasinensis. American Journal of Pharmtech Research, 2, 762-770

Dan’Azumi, S and Bichi,M.H. (2010).Industrial pollution and heavy metals profile of Challawa

River in Kano, Nigeria. Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation, (5(1)

Darmawati, E., Triatmojo, S., Arief, D.R. (2015). Application of Natural Dye Substances on Crust

Suede Sheep Skin by Dyeing Methods using Jumputan Techniques. Proceedings of The

6stInternational Seminar on Tropical Animal Production Intregated Approach in Developing

Sustainable Tropical Animal Production, 778-784. October 20-22,2015, Yogyakarta

Indonesia.

Darmawati, E., Santosa, U., Sudarmadji. (2016). The application of Natural Dye from Secwood

(Caesalpinia sappan L) on crust cattle leather by dyeing methods using techniques.

N.Baboby et al/1st International Conference Biodiversity Proceedings 22-23 November

2016, 1-6

Devi, M., Ariharan, V.N., Nagendra,P.P.( 2013), Annato: Eco friendly and potensial source for

natural dye. International Research Journal of Pharmacy 4(6).

http://doi:10.7897/2230-8407.04623

Ersam, T. (2001). Senyawa Kimia Makromolekul Beberapa Tumbuhan Artocarpus Hutan

Tropika Sumatera Barat. (Thesis). ITB Bandung

Gupta, V.K., Kumar, R.,Nayak, A., Saleh, T.A., and Barakat, M.A. (2013). Adsorptive removal of

dyes from aqueous solution onto carbon nanotubes: a Review. Advances in Colloid and

Interface Science, 193, 24-34. https://doi.org/10.1016/j.cis.2013.03.003

Hariana dan Arief (2008). Tumbuhanobat dan khasiatnya Seri 3, Penebar Swadaya, Depok

Holeman (1985). Kimia Organik. Jakarta-Groningen

Inayat, A., Khan, S.R., Waheed, A.,Deeba, F. (2010). Applications of Eco friendly natural dyes on

leather using different mordants. Proc. Pakistan Acad. Sci. 47(3): 131-135

Indrianingsih, A.W and Darsih,C.(2013). Natural Dyesfrom Plants Extract and its Applications in

Indonesian.Textile Small Medium Scale Enterprise. 11(1), Juni 2013

Kant, R. (2012). Textile dyeing industry an environmental hazard. Natural Science, 4(1),22-30.

Karaboyaci, M.(2014). Recycling of rose wastes for use in natural plant dye and industrial

application. The Journal of Textille Institute 105(11), 1160-1166.

(12)

Kasmudjiastuti, E., dan Widhiati (2000). Kajian Penggunaan Alum terhadap sifat-sifat kulit ular

tersamak dengan warna kayu nangka. Prosiding Seminar Nasional Industri Kulit, Karet dan

Plastik, 166-172. Yogyakarta 8 Juli 2000

Kasmudjiastuti, E., dan Widhiati (2002). Pengaruh penggunaan bahan pewarna alam dari ekstrak

kayu terhadap sifat fisis kulit ikan kakap. Majalah barang Kulit, Karet dan Plastik Vol

VIII(2), 3-9. http://dx.doi.org/10.20543/mkkp.v18i1.265

Kasmudjiastuti, E.(2006). Penggunaan zat warna alam untuk kulit non konvensional, Majalah Kulit,

Karet dan Plastik, 22(1) 20-25. http://dx.doi.org/10.20543/mkkp.v22i1.330

Kasmudjiastuti, E. (2011). Penggunaan Mordan Ferro Sulfat pada proses Pewarnaan Kulit Kaki

Ayam menggunakan Limbah Kayu Mahoni. Prosiding Workshop Penelitian dan

Pengembangan Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta 19 Oktober 2011

Konkiatpaiboon,S., Tungsukruthai, P.,Sriyakool, K.,Pansuksan, K., Tunsirikongkon, A., &

Pandith, H. (2016). Determination of Morin in Maclura cochinchinensis Heartwood by

HPLC. Journalof Chromatograpic Science, 55(3), 346-350.

https://doi.org/10.1093/chromsci/bmw191

Lee,S.C., Shin, E.C., Kim, W.J., and Park, S.M.(2012). Dyeing Process for Improving Properties of

Black Color using Natural Dyes and Mordant, The Journal of American Leather Chemistry

Association , Vol 107 (2), 33-69

Koteswara (1985). Dyeing and Finishing of Leather, Central Leather Research Institute, Adyar

Madras 600-020

Lemmens and Soetjipto, W.(1992). Dye and Tannin Producing Plants, Prosea Bogor

Mann, I.(1981). Teknik Penyamakan Kulit untuk pedesaan. Penerbit Angasa Bandung

Mughal, A.T., Shamsheer, B., Zaheer, S. (2012). Eco friendly leather dyes extracted from Plants

Bark (Book Lambart). Publisher IAP Lambert Academic Publishing, Publication

Saarbrucken, Germany.

Murbantan, A. M., Rosjidi, M., & Saputra, H. (1997). Proses ekstraksi dan powderisasi zat warna

alam. Laporan Penelitian Industri Kecil dan Menengah, ISSN, 1410-9891.

Musa, A.E., Madhan, B., Madhulatha, W., Raghava Rao, J., Gasmelseed, G.A., & Sadulla, S.

(2009). Coloring of Leather using Henna Natural alternative material for dyeing. The

Journal of American Leather Chemists Association, 104(5), 183-190.

Ningsih, F. (2010). Kandungan Flavonoid kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) dan

toksisitas akutnya terhadap mencit. Thesis. Fakultas Matematika dan ilmu pengetahuan alam. Institut Pertanian Bogor.

Padhi., B.S. (2012).Pollution due to synthetic dyes toxicity & carcinogenicity studies and

(13)

Pervaiz, S., Mughal, T.A., Khan, F.Z. (2016). Green Fashion Colours: A Potential Value for

Punjab Leather Industry to Promote Sustainable Development. Pakistan Journal of

Contemporary Sciences A Multidisciplinary Journal I(I): 28 -36

Pewarna alami untuk pangan(2012). Seafast center 2012

Samanta, D.A.,& Agarwal, P. (2009). Application of natural Dyes on textiles. Indian Journalof

Fibre & Textile Research, Vol 34, December 2009, pp 384-399.

Sarkar, K.T. (1995). Theory Practice Leather Manufacture, The CLS Press Madras

Sudha, M., Saranya, A.,Selvakumar, G., Sivakumar, N.(2014), Microbial degradation of Azo

Dyes: A. Review. International Journal of Current Microbiology and Applied Science,

3(2), 670-690.

Suwadji, Sutikno, &Handayani, D. (1980). Inventarisasi tanaman yang menghasilkan zat warna

guna keperluan Industri makanan, minuman. Departemen Perindustrian, BPPI, Laporan

Penelitian Balai Penelitian Kimia Semarang.

Swargiary, A., & Ronghang, B. (2013). Screening of Phytochemical Constituents, Antioxidant and

Antibacterial Properties of Methanolic Bark Extracts of Maclura cochinchinensis. Corner

International Journal of Pharma and Bio Science (IJPBS), 4(4), 449-459.

Thorstensen, T.C. (1985). Practice Leather Technology. Robert E.Krieger Publishing Co. New

York

Upadhyay, R.,&Choudhary, M.S.(2014). The Barks as a source og natural dyes from the forest of

Madhya Pradesh. Global Journal of Bioscience and Biotechnology, 3(1), 97-99

(14)

Gambar

Tabel 1. Hasil aplikasi zat warna alam dari kayu secang, tegeran, nangka, tingi dan mahoni pada berbagai jenis kulit

Referensi

Dokumen terkait

Pemegang Kad Baharu MATTA - Hong Leong Credit Card “Kepada Bank yang baru diluluskan” dan Pemegang Kad Sedia Ada Kepada Bank yang melakukan satu (1) leretan runcit dalam masa 45

Implikasinya dalam dunia pendidikan, kepala sekolah selaku pimpinan harus senantiasa mengusahakan agar: (1) perilaku kepemimpinannya bisa seefektif mungkin dengan

Hal-hal yang dikoordinasikan mengenai perangkat pembelajaran (kalender pendidikan, rincian minggu efektif,PROTA, PROMES, silabus, RPP, KKM), pembuatan rencana

Nasution (2010) dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Fungsi dan Makna Fukushi Chotto dalam Komik Klinik Dr. Kouto Karya Takatoshi Yamada Ditinjau dari Segi

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah manajemen modal kerja, pertumbuhan penjualan dan ukuran perusahaan

Selain penerapan akuntansi atas pendapatan pada jasa telekomunikasi, salah satu kewajiaban yang harus dilakukan perusahan di Indonesia adalah didalam bidang

Guru menurut persepsi peserta didik telah bersikap mendukung (positif) terhadap peserta did- ik dalam proses belajar, hal ini tergambar dari si- kap: (1) guru peduli dalam

Kajian Ray dan Miller (1991) berkaitan peranan komunikasi berstruktur dan sokongan sosial ke atas tekanan kerja dan kehabisan tenaga (burnout) mendapati penglibatan