ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan signifikansi antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada dewasa awal yang sedang berpacaran. Hipotesis penelitian ini, yaitu (1) ada hubungan positif antara perfeksionisme self oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) ada hubungan positif antara perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik controlling (3) hubungan positif antara perfeksionisme
socially prescribed dengan manajemen conflik non confrontation. Subjek penelitian sebanyak 101 orang dengan
rentang usia mulai dari 18 tahun sampai dengan 25 tahun. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Pengumpulan data dilakukan menggunakan google doc yang disebarkan melalui media online. Koefisien reliabilitas dari skala perfeksionisme adalah 0,82 pada self-oriented, 0,62 pada other-oriented, dan 0,71 pada socially
prescribed perfectionism dan koefisien reliabilitas dari skala manajemen konflik adalah 0,90 pada gaya manajemen
konflik cooperative, 0,82 pada gaya manajemen konflik nonconfrontation, dan 0,85 pada gaya manajemen konflik
controlling. Koefisien korelasi yang diperoleh dari penelitian ini adalah : (1) 0,208 (p=0,019) pada perfeksionisme self oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) 0,185 (p=0,032) pada perfeksionisme other oriented dengan
manajemen konflik controlling dan (3) 0,304 (p=0,001) pada perfeksionisme socially priscribed dengan manajemen konflik nonconfrontative. Hal ini menunjukan bahwa : (1) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perfeksionisme self oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik controlling (3) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perfeksionisme socially prescribed dengan manajemen conflik non confrontation.
The research aimed to know the signification relation between type of perfectionism and style of conflict management of early adult who are in dating relationships. The hypotheses of the research are (1) there is a positive relation between the self oriented perfectionism and the cooperative conflict management, (2) there is a positive relation between the other oriented perfectionism and the controlling conflict management, (3) there is a positive relation between the socially prescribed perfectionism and the non-confrontational conflict management. The subjects of the research are 101 people whose range of aged is from 18 until 25 years old. The type of the research is a correlational research. The data of the research is collected through Google doc that is spread through the online media. The reliabilities coefficient of the perfectionism scale shows 0.82 on the self oriented, 0.62 on the other oriented, and 0.71 on the socially prescribed perfectionism. On the other hand, the reliability coefficient of the conflict management scale shows 0.90 on cooperative type of management conflict, 0.82 on non-confrontation type of management conflict, and 0.85 on controlling type of management conflict. The correlations coefficient gained from the research are (1) 0.208 (p=0,019) on the self oriented perfectionism and the cooperative management conflict, (2) 0.185 (p=0,032) on the other oriented perfectionism and the controlling management conflict, (3) 0.304 (p=0,001) on the socially prescribe perfectionism and the non-confrontational conflict management. The result shows that (1) there is a significant positive relation between self oriented perfectionism and cooperative conflict management, (2) there is a significant positive relation between other oriented perfectionism and controlling conflict management, (3) there is a significant positive relation between socially prescribe perfectionism and non-confrontational conflict management.
SEDANG MENJALANI HUBUNGAN PACARAN Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Agatha Asih Widiningrum 129114006
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Dunia tidak akan berubah untukmu tetapi kamu yang harus memberanikan diri
untuk mengubah dunia
-tha-
STOP LOOKING FOR PEOPLE TO CLAP FOR YOU. CLAP FOR
YOURSELF
v
Karya ini secara khusus dipersembahkan untuk
Tuhan Yesus, keluarga, dan sahabat
Ibu dan Bapak, my loving parents
Kakak-kakakku tercinta : mbak yeni, mas andi, mas anton
Para sahabat
Dan orang-orang yang telah memberikan segala pelajaran, pengalaman,
kebahagian maupun kesedihan bagiku
vii
HUBUNGAN ANTARA TIPE PERFEKSIONISME DENGAN GAYA MANAJEMEN KONFLIK PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG
SEDANG MENJALANI HUBUNGAN PACARAN Agatha Asih Widiningrum
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan signifikansi antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada dewasa awal yang sedang berpacaran. Hipotesis penelitian ini, yaitu (1) ada hubungan positif antara perfeksionisme self oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) ada hubungan positif antara perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik controlling (3) hubungan positif antara perfeksionisme socially
prescribed dengan manajemen conflik non confrontation. Subjek penelitian sebanyak 101 orang
dengan rentang usia mulai dari 18 tahun sampai dengan 25 tahun. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Pengumpulan data dilakukan menggunakan google doc yang disebarkan melalui media online. Koefisien reliabilitas dari skala perfeksionisme adalah 0,82 pada
self-oriented, 0,62 pada other-self-oriented, dan 0,71 pada socially prescribed perfectionism dan koefisien
reliabilitas dari skala manajemen konflik adalah 0,90 pada gaya manajemen konflik cooperative, 0,82 pada gaya manajemen konflik nonconfrontation, dan 0,85 pada gaya manajemen konflik
controlling. Koefisien korelasi yang diperoleh dari penelitian ini adalah : (1) 0,208 (p=0,019) pada
perfeksionisme self oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) 0,185 (p=0,032) pada perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik controlling dan (3) 0,304 (p=0,001) pada perfeksionisme socially priscribed dengan manajemen konflik nonconfrontative. Hal ini menunjukan bahwa : (1) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perfeksionisme self
oriented dengan manajemen konflik cooperative (2) terdapat hubungan positif yang signifikan
antara perfeksionisme other oriented dengan manajemen konflik controlling (3) terdapat hubungan positif yang signifikan antara perfeksionisme socially prescribed dengan manajemen conflik non confrontation.
viii
DATING RELATIONS Agatha Asih Widiningrum
ABSTRACT
The research aimed to know the signification relation between type of perfectionism and style of conflict management of early adult who are in dating relationships. The hypotheses of the research are (1) there is a positive relation between the self oriented perfectionism and the cooperative conflict management, (2) there is a positive relation between the other oriented perfectionism and the controlling conflict management, (3) there is a positive relation between the socially prescribed perfectionism and the non-confrontational conflict management. The subjects of the research are 101 people whose range of aged is from 18 until 25 years old. The type of the research is a correlational research. The data of the research is collected through Google doc that is spread through the online media. The reliabilities coefficient of the perfectionism scale shows 0.82 on the self oriented, 0.62 on the other oriented, and 0.71 on the socially prescribed perfectionism. On the other hand, the reliability coefficient of the conflict management scale shows 0.90 on cooperative type of management conflict, 0.82 on non-confrontation type of management conflict, and 0.85 on controlling type of management conflict. The correlations coefficient gained from the research are (1) 0.208 (p=0,019) on the self oriented perfectionism and the cooperative management conflict, (2) 0.185 (p=0,032) on the other oriented perfectionism and the controlling management conflict, (3) 0.304 (p=0,001) on the socially prescribe perfectionism and the non-confrontational conflict management. The result shows that (1) there is a significant positive relation between self oriented perfectionism and cooperative conflict management, (2) there is a significant positive relation between other oriented perfectionism and controlling conflict management, (3) there is a significant positive relation between socially prescribe perfectionism and non-confrontational conflict management.
x
Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menginspirasi para pembaca.
Penyusunan skripsi ini terselesaikan atas bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus yang telah menginspirasi penulisan skripsi ini dari awal hingga
akhir, juga yang telah memberikan hikmat, pengertian, dan dorongan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma yang turut memberikan motivasi selama
penulisan skripsi ini.
3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M. Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma
4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., Psi selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu sabar membimbing dan memotivasi penulis menyusun skripsi
xi
nasihat, dan motivasi untuk mengembangkan diri.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
berbagi ilmu, pengalaman, dan memberikan inspirasi untuk berkarya di dunia
psikologi.
7. Bapak dan ibu, terima kasih untuk dukungan dan kepercayaan padaku, juga terimakasih selalu memberikan kasih sayang yang sangat berlimpah untukku,
I’m nothing without you, you’re my everything.
8. Mbak Yeni, mas Andi, mas Anton yang selalu menjaga dan bisa diandalkan
kapanpun dan dimanapun untuk adik kecilnya ini thankyou, I love you all.
9. Tephi, Melani, Gaby, Rezky terima kasih untuk canda, tawa, dan
dukungannya selama ini. Masa-masa kuliahku tidak akan spesial tanpa kalian
10.Theo, sahabatku yang bisa diandalkan dikala susah dan senang, tong
sampahku yang bisa membuatku nyaman berbagi cerita apapun tanpa merasa
dinilai. Thankyou so much
11.Sahabat-sahabatku dari masa alay sampai sekarang : pipin, lupi, M.U, oksa,
xiv
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Manajemen Konflik ... 26
C. Dewasa Awal ... 32
1. Pengertian Dewasa Awal ... 32
2. Hubungan Romantis pada Dewasa Awal ... 33
D. Hubungan Romantis ... 36
1. Periode Hubungan Romantis ... 36
E. Kecenderungan Konflik Dalam Hubungan ... 38
F. Hubungan Antara Tipe Perfeksionis dengan Gaya Manajemen Konflik pada Individu Dewasa Awal yang Berpacaran ... 40
G. Hipotesis ... 48
BAB III METODE PENELITIAN... 49
A. Jenis Penelitian ... 49
B. Variabel Penelitian ... 49
C. Definisi Operasional... 50
1. Perfeksionisme ... 50
2. Manajemen Konflik ... 51
D. Subjek Penelitian ... 53
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 54
1. Metode ... 54
2. Alat Pengumpulan Data ... 55
3. Reliabilitas ... 56
F. Validitas dan Reliabilitas ... 59
1. Validitas ... 59
2. Seleksi Item ... 59
3. Reliabilitas ... 65
G. Metode Analisis Data ... 67
1. Uji Asumsi ... 67
a. Uji Normalitas ... 67
b. Uji Linieritas ... 68
2. Uji Hipotesis ... 68
xv
C. HASIL PENELITIAN ... 76
1. Uji Asumsi ... 76
a. Uji Normalitas ... 76
b. Uji Linieritas ... 78
c. Uji Hipotesis ... 79
D. PEMBAHASAN ... 81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Keterbatasan Penelitian ... 91
C. Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 93
xvi
Table 3 Blue Print Skala Perfeksionisme ... 61
Table 4 Blue Print Skala Manajemen Konflik Setelah Uji Coba ... 63
Table 5 Blue Print Skala Manajemen Konflik Setelah Penyusunan Ulang... 64
Tabel 6 Deskripsi usia subjek penelitian ... 72
Tabel 7 Deskripsi jenis kelamin subjek penelitian ... 72
Tabel 8 Deskripsi lama subjek manjalani hubungan pacaran ... 73
Tabel 9 Deskripsi status pacaran subjek penelitian ... 73
Tabel 10 Deskripsi data penelitian ... 74
Tabel 11 Hasil Mean Teoritis dan Mean Empiris ... 75
Tabel 12 Hasil Uji Normalitas Skala Perfeksionisme dan Manajemen Konflik ... 77
Tabel 13 Hasil Uji Lineritas ... 78
Tabel 14 Hasil skor korelasi antara perfeksionis self oriented dengan manajemen konflik cooperative ... 79 .
xvii
LAMPIRAN 1. Skala Perfeksionisme ... 98
LAMPIRAN 2. Skala Manajemen Konflik dalam relasi romantis ... 108
LAMPIRAN 3. Reliabilitas Skala ... 126
LAMPIRAN 4. Uji Deskriptif Mean Empiris ... 127
LAMPIRAN 5. Uji Normalitas Data ... 131
LAMPIRAN 6. Uji Linieritas ... 133
1
Berpacaran merupakan kebutuhan penting terutama bagi dewasa awal, hal ini
karena berpacaran merupakan salah satu bentuk dari relasi romantis yang menjadi
tugas utama bagi dewasa awal. Hubungan pacaran bertujuan untuk membentuk
hubungan asmara dengan pasangan. Dalam tahap ini, individu dewasa awal
mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam. (Santrock,
2012).
Akan tetapi, dalam berpacaran terdapat berbagai konflik yang dapat
menyebabkan rusaknya suatu hubungan. Hal ini dapat dilihat dari survey yang telah
dilakukan oleh peneliti kepada 24 individu dewasa awal yang sedang berpacaran
dimana terdapat beberapa hal yang menjadi konflik dalam berpacaran.
Konflik-konflik yang paling sering disebutkan oleh responden adalah tidak adanya pengertian,
berbeda pendapat, kepedulian yang kurang, dan komunikasi yang buruk. Hal ini juga
diperkuat dengan sebuah penelitian yang dinyatakan oleh Brandenberger (2002)
adalah ketidaksepakatan, dan tidak memiliki waktu bersama yang cukup
(Brandenberger, Amanda, 2007).
Hal-hal tersebut dapat berpengaruh pada kualitas hubungan yang buruk. Padahal, baik-buruknya suatu kualitas hubungan sangat penting dalam pembentukan identitas individu dewasa awal (Barry, Madsen, Nelson, Carrol, & Badger, 2009, dalam Papalia,2014).
Untuk menangani konflik tersebut maka diperlukan adanya suatu cara
penyelesaian. Hal ini karena konflik dalam suatu hubungan sesungguhnya dapat
berpengaruh positif atau negatif tergantung pada cara penyelesaian konflik tersebut.
Jika konflik ditangani dengan cara yang baik maka hal ini akan berpengaruh baik bagi
perkembangan pribadi dan juga membuat seseorang lebih memahami diri sendiri dan
orang lain (Wood, 2007). Namun, apabila konflik tidak ditangani dengan cara yang
tepat maka dapat merusak suatu hubungan (Supratiknya, 1995).
mempengaruhi tingkat stress dalam hubungan, keintiman dan kepuasan dalam hubungan tersebut (Stolarski, Maciej, Slawomir, Postek, Magdalena, Smieja, 2011).
Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik atau pihak
ketiga yang menyusun dan menerapkan strategi konflik untuk mengendalikan konflik
agar menghasilkan hasil yang diinginkan (Wirawan, 2010). Manajemen konflik
dibagi menjadi tiga gaya, yaitu gaya cooperative, gaya nonconfrontation dan gaya
controlling. Ketiga gaya tersebut dikelompokan menjadi manajemen konflik yang
bersifat destruktif dan manajemen konflik yang bersifat konstruktif.
Seseorang yang memiliki manajemen konflik konstruktif cenderung akan
menggunakan penyelesaian konflik yang positif dan berusaha untuk menjaga
hubungan dengan pihak yang berkonflik sehingga tetap dapat membangun hubungan
yang harmonis (Mardianto, Adi., Koentjoro., & Esti, 2000). Gaya manajemen konflik
yang bersifat konstruktif adalah gaya cooperative. Seseorang yang memiliki gaya ini
dapat menyelesaikan konflik yang ada dengan menggunakan pandangan orang lain
dan menggunakan win-win solution sebagai teknik selanjutnya (Beebe, Steven A,
dkk, 1996).
Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rusbult (1991) menyatakan
bahwa hubungan akan menjadi kuat ketika individu menggunakan gaya cooperative
menyatakan bahwa pemecahan masalah secara positif yang melibatkan perilaku aktif
dan konstruktif, adalah prediksi yang baik dari kualitas relasional dan stabilitas
(Kurdek, 1994, dalam A. J. Merrola, 2014).
Sebaliknya, manajemen konflik destruktif mengacu pada satu pihak yang
berusaha untuk mengubah struktur hubungan dan membatasi pilihan pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan yang sepihak. Konflik dapat menjadi destruktif ketika
orang melihat perbedaan mereka dari pandangan kalah menang (win-lose) daripada
melihat dari solusi yang memungkinkan setiap individu untuk mendapat keuntungan.
Jika individu menganggap bahwa satu orang akan kalah, maka iklim kompetitif yang
dihasilkan akan menghalangi kerjasama dan fleksibilitas (Beebe, 1996). Selain itu,
konflik menjadi tidak terselesaikan disebabkan salah satu pihak menarik diri. Hal ini
dilakukan dengan pikiran bahwa pihak yang lain akan dirugikan dengan keputusan ini
(Chandra, Robby I, 1992).
Dalam hal ini, gaya nonconfrontation dan gaya controlling termasuk dalam
manajemen konflik destruktif. Gaya nonconfrontation adalah gaya pendekatan untuk
manangani konflik dengan cara mundur, baik dengan menghindari konflik atau
memberikannya kepada orang lain, salah satu bentuk dari gaya ini adalah menarik diri
dan menghindar (Beebe, Steven A, dkk, 1996). Sedangkan gaya controlling adalah
membuat keputusan berdasarkan penilaiannya. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Kurdek (1994) menyatakan bahwa gaya manajemen konflik yang
termasuk dalam sifat destruktif ini berkorelasi signifikan negative dengan kepuasan
hubungan. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi gaya manajemen konflik ini
maka akan semakin rendah kepuasan hubungan yang dimiliki.
Manajemen konflik sendiri memiliki peran penting dalam menyelesaikan
konflik dalam hubungan pacaran. Salah satu hal yang berkontribusi menimbulkan
konflik dalam hubungan pacaran adalah sifat perfeksionisme (Barbato & D’Avanzo,
2009, dalam Mackinon, Sean P & Simon B. Sherry, martin, Dayna, 2012).
Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett adalah keinginan untuk mencapai
kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri, standar yang
tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki harapan
kesempurnaan pada dirinya (Pranungsari, Dessy, 2010). Perfeksionisme dibagi
menjadi dua bagian, yaitu perfeksionisme interpersonal dan perfeksionisme
intrapersonal. Pada perfeksionisme interpersonal terdapat dua tipe perfeksionisme,
yaitu other oriented perfectionism dan socially prescribed perfectionism. Sedangkan
pada perfeksionisme intrapersonal terdapat satu tipe, yaitu self oriented perfectionism.
Seseorang yang memiliki perfeksionisme interpersonal other oriented
standar-standarnya. Hal ini membuat orang dengan other oriented perfectionism cenderung
memperhatikan kesalahan orang lain secara berlebihan, mengevaluasi dan bereaksi
berlebihan terhadap kegagalan orang lain (Paul, L. Hewitt., Goldon, L. Flett., Wendy,
Turnbull Donovan., & Samuel, F. Mikail, 1991). Oleh karena itu, individu
perfeksionis memiliki sikap kurang percaya, menyalahkan orang lain, dan
membangun rasa permusuhan terhadap orang lain.
Selanjutnya pada individu yang memiliki socially prescribed perfectionism
akan cenderung merasa bahwa orang lain menuntut dan mengharapkan dirinya untuk
selalu berhasil mencapai prestasi dengan standar yang tidak realistis (Blatt, 1995
dalam Aditomo, Anindito., & Sofia, Retnowati, 2004). Hal ini membuat individu
dengan socially prescribed perfectionism juga merasa tuntutan atau harapan tersebut
harus dipenuhi untuk mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari lingkungan.
Oleh karena itu, mereka memiliki ketakutan yang besar terhadap evaluasi negatif dari
orang lain dan cenderung menghindari penolakan dari orang lain (Hewitt & Armada
2004, dalam Mee, Foo Fatt, 2015).
Akan tetapi, hal ini dapat berbeda ketika seseorang memiliki perfeksionisme
intrapersonal self oriented. Hal ini karena individu ini akan memiliki potensi adaptif
sebagai hasrat yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar.
untuk mencapai kesempurnaan serta berusaha untuk menghindari kegagalan (Paul, L.
Hewitt., & Goldon, L. Flett, 1991). Hal tersebut juga membuat self oriented
perfectionism tidak memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku intrapersonal
(Michelle, Haring., & Paul, L. Hewitt, 2003). Individu dengan self oriented
perfectionism memiliki kaitan dengan sikap altruisme sosial, kemampuan untuk
mengerti pesan nonverbal dari oranglain dan mengajak atau melibatkan orang lain
dalam percakapan (Flett & Hewitt & De Rosa, 1990 dalam Flett, Gordon L, 2003).
Hal ini mungkin dapat memudahkan individu perfeksionisme self oriented dalam
menjalin hubungan dengan orang lain dan membantunya dalam menyelesaikan
permasalahan yang mereka hadapi.
Dengan demikian, peneliti melihat bahwa penelitian ini penting untuk
dilakukan karena pada penelitian-penelitian sebelumnya lebih banyak membahas
tentang permasalahan yang dihadapi oleh individu perfeksionis dalam hubungan
mereka. Hal ini tampak pada beberapa penelitian tentang perfeksionisme yang
menyatakan bahwa individu perfeksionisme memiliki keintiman dan kepuasan
hubungan yang rendah dalam hubungan (Stober, Joachim, 2012). Selain itu individu
perfeksionisme juga memiliki kepercayaan dan penyesuaian diri yang rendah dalam
hubungan mereka (Flett, Gordon. L., Paul, L. Hewitt., Brenley, Shapiro., & Jill
Akan tetapi peneliti belum menemukan penelitian yang secara spesifik
membahas tentang hubungan antara perfeksionisme dengan manajemen konflik
terutama pada hubungan pacaran. Padahal, manajemen konflik sangatlah penting
dalam membangun dan mempertahankan suatu hubungan, terutama dalam hubungan
pacaran pada individu perfeksionisme. Hal ini karena konflik dalam hubungan dapat
membahayakan atau malah menguntungkan tergantung pada manajemen konfliknya
(Gottman, 1994).
Berdasarkan penjelesan yang sudah dijabarkan tersebut hal ini mendorong
peneliti untuk mencari tahu hubungan perfeksionisme dengan manajemen konflik
pada dewasa awal yang sedang menjalani hubungan pacaran.
A.Rumusan masalah
1. Apakah terdapat hubungan antara tipe perfeksionisme dengan gaya manajemen
konflik pada individu dewasa awal yang sedang menjalani hubungan pacaran?
B.Tujuan Penelitian
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan signifikan antara tipe
perfeksionisme dengan gaya manajemen konflik pada individu dewasa awal yang
C.Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan
ilmu psikologi kepribadian dan psikologi sosial.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
managemen konflik dan perfeksionisme pada individu dewasa awal yang
menjalani hubungan pacaran.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan gambaran tentang sifat perfeksionisme dan gaya manajemen
konflik yang digunakan individu dewasa awal pada hubungan pacaran yang
mereka jalani.
b. Dapat memberikan wawasan pada individu dewasa awal tentang manajemen
konflik yang digunakan oleh individu perfeksionisme dalam menangani
10
A. Perfeksionisme
1. Pengertian Perfeksionisme
Perfeksionisme menurut Hewit dan Flett adalah kecenderungan untuk
mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang tinggi untuk diri sendiri,
standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki
pengharapan kesempurnaan untuk dirinya (Pranungsari, Dessy, 2010).
Yang (2012) berpendapat bahwa perfeksionisme merupakan suatu
disposisi kepribadian yang ditandai dengan berjuang untuk mencapai
kesempurnaan dan standar pribadi yang sangat tinggi disertai dengan terlalu
kritis mengevaluasi diri sendiri serta kekhawatiran tentang penilaian dari
individu lain (Fellicia, F., Elvinawaty, R., & Hartini, S, 2014).
Menurut Cheng (2001) perfeksionisme adalah standar yang cukup
tinggi dari perbuatan individu yang diikuti dengan kecenderungan evaluasi
Dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perfeksionis
merupakan kecenderungan untuk mencapai kesempurnaan yang diikuti
dengan standar yang tidak realistis. Dengan demikian, peneliti menggunakan
teori menurut Hewit dan Flett untuk mendefinikan Perfeksionisme, yaitu
kecenderungan untuk mencapai kesempurnaan diikuti dengan standar yang
tinggi untuk diri sendiri, standar yang tinggi untuk orang lain, dan percaya
bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan untuk dirinya dan
memotivasi (Pranungsari, Dessy, 2010).
2. Tipe Perfeksionisme
Dalam Multidimentional Perfectionism Scale, terdapat tiga tipe
perfeksionisme yang terbagi atas dua bagian, yaitu intrapersonal dan
interpersonal. Intrapersonal (Paul, L. Hewitt., Goldon, L. Flett., Wendy,
Turnbull Donovan., & Samuel, F. Mikail, 1991) yaitu self-oriented
perfectionism, dan dua tipe lainnya yaitu other-oriented perfectionism dan socially prescribed perfectionism merupakan interpersonal (Gordon, L. Flett.,
Menurut Hewit dan Flett, perfeksionisme dibagi menjadi tiga tipe, yaitu :
a. Perfeksionisme Self Oriented
Perfeksionisme self-oriented terkait dengan kecenderungan untuk
menetapkan standar yang amat tinggi terhadap diri dan kritik dan
pengawasan diri berlebihan yang membuat seseorang tidak bisa menerima
kesalahan atau kegagalan. Tipe perfeksionisme ini mengandung hasrat
untuk terus-menerus berusaha agar tidak pernah salah atau gagal.
Perfeksionisme self oriented memiliki potensi adaptif sebagai hasrat
yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar.
Penetapan standar pribadi yang terlalu tinggi dan kaku juga menuntut
kesempurnaan dari diri sendiri tidak terkait dengan permasalahan relasi
dengan orang lain (Mackinnon, Sean., Simon, Sherry., Martin. Antony.,
Sherry. Stewart., Dayna. Sherry., Nikola Hartling, 2012).
Perfeksionisme self oriented juga memiliki kemampuan berfikir secara
konstruktif dam memiliki kemampuan menyelesaikan masalah secara
positif. Selain itu, seseorang dengan perfeksionisme self oriented
memiliki kemungkinan untuk mampu menyesuaikan diri ketika
,David. M., Kirk, Blankstein., Jennifer, Halsall., Meredith, Williams., &
Gary Winkworth, 2000).
b. Perfeksionisme other-oriented
Perfeksionisme other-oriented terkait dengan kecenderungan individu
menuntut agar orang lain memenuhi standar-standar yang amat tinggi.
Selain itu, ia memiliki perhatian berlebihan terhadap kesalahan orang lain,
dan mengevaluasi orang lain dan bereaksi berlebihan pada kegagalan
orang lain (Paul, L. Hewitt., Goldon, L. Flett., Wendy, Turnbull
Donovan., & Samuel, F. Mikail, 1991).
Individu yang memiliki other oriented perfectionism tinggi akan
memiliki harapan sangat tinggi atau tidak realistis pada orang lain,
mengharapkan orang lain untuk berusaha kompulsif, otoriter,
mendominasi, termotivasi oleh kebutuhan untuk mengurangi nilai orang
lain sehingga meningkatkan diri mereka (Hewitt & Armada 2004, dalam
Mee, Foo Fatt, 2015).
c. Perfeksionisme yang socially prescribed
Perfeksionisme yang socially prescribed adalah kecenderungan
merasa bahwa orang lain menuntut dan mengharapkan dirinya untuk
Tuntutan yang datang dari orang lain ini terkait dengan perasaan individu
perfeksionis yang merasa bahwa hal itu harus dipenuhi untuk
mendapatkan penerimaan dan penghargaan dari lingkungannya (Blatt,
1995 dalam Aditomo, Anindito., & Sofia, Retnowati, 2004).
Dalam hal ini, emosi negatif dapat terjadi ketika individu perfeksionis
merasa tidak mampu memenuhi harapan orang lain dan keyakinan bahwa
orang lain tidak realistis dalam harapan mereka atupun keduanya. Hal ini
karena individu dengan tingkat socially prescrbed perfectionism yang
tinggi fokus pada memenuhi standar orang lain sehingga mereka
menunjukan rasa takut yang lebih besar terhadap evaluasi negatif dan
menempatkan perhatian yang lebih besar untuk memperoleh perhatian dari
orang lain tetapi berusaha menghindari penolakan orang lain (Hewitt &
Armada 2004, dalam Mee, Foo Fatt, 2015).
3. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian tentang perfeksionisme telah banyak dilakukan
oleh para peneliti, penelitian yang juga banyak diteliti yaitu mengenai relasi
berbagai gangguan interpersonal yang mempengaruhi kehidupan sosial
mereka sehari-hari (Stoeber, J, 2012).
Berikut ini adalah beberapa kaitan antara perfeksionisme dalam relasi
interpersonal :
Dalam studi yang melibatkan sekumpulan mahasiswa juga
menjelaskan bahwa other oriented perfectionism dikaitkan dengan gaya
interpersonal, seperti sombong, dominan, perhitungan, dan pendendam (Hill,
Zrull, & Turlington, 1997 dalam Stoeber, J, 2012).
Penelitian lain menyatakan bahwa socially prescribed perfectionism
dan other oriented perfectionism juga berasosiasi dengan penyesuaian
psikososial yang buruk (Stoeber, Joachim, 2012). Hal ini membuat
perfeksionis dikaitkan dengan berbagai perilaku interpersonal yang mungkin
dapat mempengaruhi kualitas hubungan yang dibangun dan diperlihara oleh
perfeksionis (Flett, Gordon L, 2003). Sedangkan self-oriented perfectionism
lebih terkait dengan gangguan intrapersonal, yaitu standar personal yang
menyebabkan tipe ini lebih berinteraksi dengan stresor-stresor prestasi
(Hewitt & Flett, 2004).
Self-oriented perfectionism memiliki asosiasi dengan kemampuan
dapat melibatkan orang lain dalam percakapannya, selain itu self oriented
perfectionism memiliki sikap altuisme sosial (Flett, Hewitt & De Rosa, 1991
dalam Dunkley ,David. M., Kirk, R. Blankstein., Jennifer, Halsall., Meredith,
Williams., & Gary Winkworth, 2000). Selain itu, penelitian lainnya yang
meneliti tentang personal standar perfeksionis yang memiliki kesamaan
dengan self oriented perfectionism menemukan bahwa tipe ini memiliki
kemampun dalam membangun dan mempertahankan hubungan (Dunkley
,David. M., Kirk, 2000).
Burns (1983) mendiskusikan tentang emosional individu perfeksionis
(socially prescribed perfectionism) yang menyatakan bahwasanya mereka
memiliki kepercayaan untuk tidak boleh mengekspresikan perasaaan
negatif/perasaan cemas dan depresi karena mereka takut diejek oleh orang
lain, sehingga mereka cenderung untuk mengontrol emosi mereka dan
pengungkapan emosi yang rendah (Gordon, L. Flett., Paul, L. Hewitt., &
Tessa De Rosa, 1996).
Sebuah penelitian tentang kemampuan penyesuaiaan diri dan
kemampuan sosial pada perfeksionis menemukan bahwa socially prescribed
malu/segan yang tinggi dan ketakutan akan evaluasi negative, juga harga diri
sosial yang rendah.
Temuan lainnya menyatakan bahwa socially prescribed perfectionism
cenderung sensitif dan individu yang menghindar mencoba untuk
menampilkan kesan palsu dengan cara pengontrolan emosi. Hal ini terjadi
karena socially prescribed perfectionism berfokus pada emosi dan kurangnya
penerimaan diri didalam situasi yang menyebabkan stress (Dunkley ,David.
M, 2000).
Sedangkan pada other oriented perfectionism memperlihatkan
tendensi yang stabil untuk menuntut orang lain dan permusuhan pada orang
lain. tipe ini juga memiliki banyak stress dan konflik dalam hubungan
interpersonal (Flett, Gordon. L., Paul, L. Hewitt., Brenley, Shapiro., & Jill
Rayman. 2001). Adanya hal tersebut juga mempengaruhi penyesuaian diri dan
dukungan yang rendah antar pasangan.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Flett, Gordon L (2003)
menyatakan bahwa other oriented perfectionism dan socially prescrbed
perfectionism memiliki kaitan dengan berbagai gangguan interpersonal yang
dengan berbagai perilaku yang mungkin dapat mengganggu dan merusak
hubungan intrapersonal.
Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 116 mahasiswa ditemukan
bahwa hubungan romantis pada individu perfeksionisme memiliki tingkat
kepuasan hubungan yang rendah pada dirinya dan pasangannya. Hal ini juga
menyebabkan tingkat komitmen yang rendah dalam hubungan romantis
(Stober, Joachim, 2012).
Penelitian lainnya yang dilakukan pada 58 pasangan mahasiswa
memberikan hasil bahwa individu yang memiliki harapan perfeksionisme
pada pasangan mereka memiliki kualitas hubungan yang rendah dibandingkan
dengan individu yang tidak memiliki harapan perfeksionis pada pasangannya
(Arcuri Anna, 2013).
Menurut Hable, Hewitt & Flett (1999) yang meneliti tentang tipe
perfeksionis dan tingkat kepuasan seksual pada 74 pasangan suami istri dan
pasangan cohabiting menemukan bahwa pasangan dengan socially prescribed
perfectionism memiliki kepuasan seksual yang rendah (Flett, Gordon. L.,
Paul, L. Hewitt., Brenley, Shapiro., & Jill Rayman, 2001).
Menurut sebuah penelitian kekhawatiran pada evaluasi yang dialami
kepedulian, ketergantungan, keintiman dan juga seksualitas ( Dunkley, David
M, Kirk, R.B, Jennifer, H, Meredith, W, Gary, W, 2000). Selain itu,
perfeksionisme memiliki kontribusi untuk terjadinya konflik dalam hubungan.
Hal ini karena permasalahan perfeksionisme menyebabkan permusuhan, tidak
pengertian, keinginan untuk menolak konflik dan menyebabkan peningkatan
gejala depresi pada kedua belak pihak (Barbato & D’Avanzo, 2009, dalam
Mackinon, Sean P & Simon B. Sherry, martin, Dayna, 2012).
B. Manajemen Konflik 1. Pengertian Konflik
Menurut Minnery, konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua
atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan
oleh perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut
menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap hal tersebut.
Konflik adalah proses yang terjadi ketika tindakan satu orang
mengganggu tindakan orang lain. Potensi konflik meningkat apabila interaksi
antar individu sering terjadi dan mencakup lebih banyak aktivitas dan isu, dan
akan semakin meningkat dalam hubungan pacaran yang lebih serius (Brakier
& Kelley, 1979).
Konflik dapat membahayakan atau mungkin malah menguntungkan
suatu hubungan, tergantung pada cara penyelesaiannya. Rusaknya suatu
hubungan sesungguhnya disebabkan oleh kegagalan mengelola konflik secara
konstruktif (Supratiknya, 1995).
2. Pengertian Manajemen Konflik
Manajemen konflik merupakan proses pihak yang terlibat konflik atau
pihak ketiga yang menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk
mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan
(Wirawan, 2010). Sedangkan, menurut Winardi (1994) manajemen konflik
adalah gaya atau pendekatan seseorang dalam menghadapi suatu situasi
konflik.
Menurut Wood (2007) manajemen konflik didefinisikan sebagai
keterampilan dalam hubungan interpersonal yang dianggap sangat penting
karena jika seseorang tidak memiliki manajemen konflik maka masalah
Dalam penelitian ini dapat disumpulkan bahwa manajemen konflik
adalah suatu gaya yang digunakan oleh pihak yang berkonflik dalam upaya
untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi.
3. Gaya Manajemen Konflik
Menurut Gottman dan Korkoff (dalam Kurdek, Lawrence A, 1994)
terdapat dua jenis manajemen konflik, yaitu manajemen konflik yang
konstruktif dan manajemen konflik yang destruktif. Manajemen konflik
konstruktif adalah pengelolaan konflik yang membantu membangun
pengertian baru dan membentuk pola baru di dalam hubungan (Beebe, Steven
A, dkk, 1996). Memperlihatkan suatu perbedaan dapat membuat hubungan
yang lebih memuaskan dalam jangka panjang.
Manajemen konflik disebut konstruktif apabila dalam upaya untuk
menyelesaikan konflik, individu berusaha untuk menjaga hubungan antara
pihak-pihak yang berkonflik sehingga masih memungkinkan pihak-pihak
yang berkonflik untuk berinteraksi secara harmonis (Mardianto, Adi.,
Koentjoro., & Esti hayu purnamaningsih, 2000).
Sedangkan, manajemen konflik deskruktif adalah membongkar
hubungan tanpa memulihkannya. Jika kedua individu tidak puas akan hasil
Tanda dari konflik destruktif yaitu kurang fleksibel dalam merespon orang
lain. Konflik dapat menjadi destruktif ketika orang melihat perbedaan mereka
dari pandangan kalah menang (win-lose) daripada melihat dari solusi yang
memungkinkan setiap individu untuk mendapat keuntungan. jika individu
menganggap bahwa satu orang akan kalah, maka iklim kompetitif yang
dihasilkan akan menghalangi kerjasama dan fleksibilitas (Beebe, 1996).
Pada manajemen konflik destruktif, satu pihak akan berusaha untuk
mengubah struktur hubungan dan membatasi pilihan pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan yang sepihak. Selain itu, adanya konflik menjadi
tidak terselesaikan disebabkan salah satu pihak menarik diri. Hal ini dilakukan
dengan pengetahuan bahwa pihak yang lain akan dirugikan dengan keputusan
ini (Chandra, Robby I, 1992).
Manajemen konflik konstruktif merupakan bentuk penyelesaian
masalah dengan cara positive problem solving. Sedangkan Manajemen konflik
destruktif menekankan pada penyelesaian konflik dengan cara menyerang
atau lepas kontrol, withdrawl (menarik diri), dan compliance (menyerah dan
tidak membela diri) (Mardianto, Adi., Koentjoro., & Esti hayu
Menurut Beebe, Steven A, dkk (1996) manajemen konflik terbagi
menjadi tiga gaya, yaitu :
a. Gaya Nonconfrontation
Gaya nonconfrontation merupakan gaya pendekatan untuk manangani
konflik dengan cara mundur, baik dengan menghindari konflik atau
memberikannya kepada orang lain (Beebe, Steven A, dkk, 1996). Menurut
Chandra, Robby I (1992) gaya ini merupakan gaya seseorang menyadari
konflik yang ada tetapi memilih untuk menghindar atau menekan kenyataan
konflik tersebut.
Salah satu bentuk dari gaya ini adalah withdrawing (manarik diri) dan
menghindar. Individu dengan gaya manajemen konflik ini selalu menyerah
ketika berhadapan dengan konflik. Mereka merasa tidak nyaman dengan
adanya konflik sehingga mereka memilih untuk menyerah sebelum konflik
meningkat. Respon membujuk, menarik diri, dan memberikan sebuah respon
yang melambangkan gaya non konfrontatif (Beebe, Steven A, dkk, 1996).
Orang yang menggunakan gaya ini tidak pernah memperlihatkan
responsif dengan intensitas situasi, cepat setuju dengan orang lain untuk
menghindari konflik, dan mencoba untuk menghindari konfrontasi sebisa
mungkin. Mereka terlihat seperti orang yang memiliki orientasi pada orang
lain (other-orientated) tetapi faktanya mereka hanya sedang melindungi diri
mereka sendiri.
b. Gaya Controlling
Controlling style merupakan manajemen konflik dengan cara
mendominasi orang lain dan membuat keputusan berdasarkan penilaiannya.
Individu yang memiliki controlling style pada umumnya memanajemen
konfliknya dengan filosofi win-lose solution.
Gaya controlling dikenal juga sebagai gaya kompetisi, yaitu gaya yang
digunakan seseorang bila ia berusaha untuk mencapai sasarannya atau tetap
meneruskan minatnya tanpa melihat akibatnya pada orang lain yang terlibat
konfli. Ia cenderung untuk bersaing dan mendominasi (Chandra, Robby I,
1992).
Mereka yang memiliki gaya ini memiliki keinginan untuk menang
dalam suatu konflik dan hanya fokus pada dirinya sehingga mereka
ini seringkali menyalahkan orang lain atau memilih mengabaikan daripada
bertanggungjawab terhadap konflik (Beebe, Steven A, dkk, 1996).
Jika strategi ini tidak berjalan, para pengontrol ini akan mencari cela
untuk kekuasaan koersif. Mereka mungkin mencoba melakukan serangan
pribadi, ancaman dan peringatan. Contoh : pacar yang mengatakan “ jika
kamu tidak berhenti memanggil namaku, aku akan pergi meninggalkanmu”
dia menggunakan ancaman dengan kekuatannya untuk dapat pergi (Beebe,
Steven A, dkk, 1996).
c. Gaya Cooperative
Cooperative style, pendekatan cooperative dalam memanajemen
konflik mereka menggunakan pada other-orientation strategies dan
menggunakan win-win solution sebagai teknik selanjutnya.
Gaya ini juga diartikan sebagai gaya yang digunakan apabila
seseorang ingin menyelesaikan konflik dengan memuaskan semua pihak dan
mencari hasil yang saling menguntungkan (Chandra, Robby I, 1992).
Individu dengan gaya cooperative fokus pada kepentingan bersama
dan mendorong orang lain untuk menghasilkan opsi untuk memecahkan
mendeskripikan masalah tanpa membuat penilaian atau evaluasi tentang
kepribadian, fokus pada kepentingan bersama yang menekankan pada
kepentingan umum, nilai, dan tujuan. Selain itu, mereka mencoba melihat
berbagai pilihan untuk memecahkan masalah dan mencari solusi yang dapat
memuaskan kedua pelah pihak.
Dalam penelitian ini, peneliti mengelompokan ketiga gaya tersebut
menjadi manajemen konflik yang konstruktif dan manajemen konflik yang
destruktif. Gaya cooperative masuk kedalam menajemen konflik konstruktif.
Sedangkan, gaya controlling dan gaya nonconfrontation masuk kedalam
manajemen konflik destruktif. (Mardianto, Adi., Koentjoro., & Esti hayu
purnamaningsih, 2000).
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Manajemen Konflik
Gaya manajemen konflik dipilih berdasarkan beberapa faktor, seperti
kepribadian kita, siapa lawan kita dalam berkonflik, waktu dan tempat
terjadinya konfrontasi, dan faktor situasi lainnya (Beebe, Steven A, dkk,
1996).
Menurut Wirawan (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi
a. Asumsi mengenai konflik :
Asumsi orang mengenai konflik akan berpengaruh pada pola
prilakunya dalam menghadapi konflik. Seseorang yang
menganggap konflik sebagai suatu hal yang buruk akan menekan
lawan konfliknya dengan menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi. Sebaliknya, seseorang yang menganggap bahwa konflik
merupakan hal yang baik dan toleran terhadap konflik maka ia
akan menggunakan gaya manajemen konflik konflik kompromi
dan kolaborasi.
b. Persepsi mengenai penyebab konflik :
Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik
menentukan kehidupan dan harga dirinya akan berupaya untuk
memenangkan konflik. Sebaliknya ketika orang menganggap
penyebab konflik tidak penting kehidupan dan harga dirinya maka
ia akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam
memanajemen konfliknya.
c. Ekspektasi atas reaksi lawan konflik :
Seseorang yang menyadari bahwa ia menghadapi konflik akan
Jika ia memprediksikan bahwa lawan konfliknya akan
menggunakan strategi kompetisi dan agresi maka ia akan
menghadapi lawannya dengan manajemen konflik kompetisi da
melawan agresi lawan konfliknya.
d. Pola komunikasi dalam interaksi konflik :
Dalam menghadapi suatu konflik diperlukan interaksi komunikasi
antara pihak yang terlibat konflik. Jika proses komunikasi berjalan
baik maka pesan kedua belah pihak akan saling dimengerti dan
diterima secara persuasive. Hal ini menunjukan kemungkinan
bahwa pihak yang berkonflik akan menggunakan manajemen
konflik kolaborasi dan kompromi tinggi. Sebaliknya, jika
komunikasi berjalan buruk dengan menggunakan kata-kata keras
dan kotor, serta agresif, ada kemungkinan kedua belah pihak akan
menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi.
e. Kekuasaan yang dimiliki :
Jika pihak yang terlibat konflik merasa mempunyai kekuasaan
lebih besar dari lawan konflik, maka ia akan memiliki
kemungkinan yang besar untuk tidak mengalah dalam interaksi
kehidupannya. Sebaliknya, jika ia mempunyai kekuasaan lebih
rendah dan memprediksikan bahwa dirinya tidak bisa menang
dalam konflik, ia akan menggunakan gaya manajemen konflik
kompromi, akomodasi atau menghindar.
f. Pengalaman dalam menghadapi situasi konflik :
Proses interaksi konflik dan gaya manajemen konflik yang
digunakan dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam
menghadapi konflik dan menggunakan gaya manajemen konflik
tertentu. Contoh : seorang avokat yang menggunakan manajemen
konflik dalam membela kliennya dipengaruhi oleh pengalaman
yang sudah ia dapatkan sehingga ia dapat membela kliennya
dengan manajemen konflik kompetisi, walaupun mungkin
kliennya salah.
g. Sumber yang dimiliki :
Salah satu hal yang mempengaruhi gaya manajemen konflik yang
digunakan seseorang. Sumber-sumber tesebut antara lain
kekuasaan, pengetahuan, pengalaman, dan uang. Gaya manajemen
kompetisi memiliki kemungkinan yang kecil untuk digunakan oleh
karena ia kemungkinan besar akan menggunakan gaya menghindar
atau akomodasi.
h. Jenis kelamin :
Sejumlah penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan gaya
manajemen konflik yang digunakan oleh wanita dan laki-laki.
i. Kecerdasan emosional :
Hal yang diperlukan dalam memanajemen konflik. Hal ini
diperkuat oleh Lee Fen Ming (2003) dalam desertasinya yang
mengemukakan bahwa kesuksesan manajemen konflik
memerlukan keterampilan yang berkaitan dengan kecerdasan
emosional.
j. Kepribadian :
Salah satu hal yang juga mempengaruhi manajemen konflik.
Seseorang yang memiliki kepribadian pemberai, garang, tidak
sabaran, dan berambisi untuk menang akan cenderung memilih
gaya kepemimpinan berkompetisi. Sedangkan orang yang penakut
dan pasif cenderung untuk menghindari konflik.
Organisasi tentara, tim olah raga, pondok pesantren, dan biara
dengan norma perilaku yang berbeda menyebabkan para
anggotanya memiliki kecenderungan untuk memilih gaya
manajemen konflik yang berbeda. Dalam masyarakat Barat, anak
semenjak kecil diajarkan untuk berkompetisi. Disisi lain, di
masyarakat Indonesia, anak diajarkan untuk berkompetisi atau
menghindari konflik.
l. Prosedur dalam pengambilan keputusan saat konflik terjadi :
Organisasi yang sudah mapan umumnya mempunyai prosedur
untuk menyelesaikan konflik. Dalam prosedur tersebut, gaya
manajemen konflik pimpian dan anggota organisasi akan
tercermin.
m. Situasi konflik dan posisi dalam konflik :
Seseorang dengan kecenderungan gaya manajemen konflik
berkompetisi akan mengubah gaya manajemen konfliknya jika
menghadapi situasi konflik yang tidak mungkin ia menangkan.
Gaya manajemen konflik dapat berubah tergantung pada situasi
dan orang yang dihadapi.
Seseorang yang terlibat konflik akan cenderung untuk
menggunakan manajemen konflik yang sama pada orang yang
sama atau pada oranglain. Peluang tersebut akan lebih besar ketika
ia menang terhadap orang tersebut ketika menggunakan
manajemen konflik tertentu.
o. Keterampilan komunikasi :
Seseorang yang memiliki kemampuan komunikasi yang buruk
akan mengalami kesulitan jika menggunakan gaya manajemen
konflik kompetisi, kolaborasi, atau kompromi. Hal ini karena
ketiga gaya tersebut memerlukan kemampuan komunikasi yan
tinggi untuk berdebat dengan lawan konflik. Di sisi lain, gaya
manajemen konflik menghindar dan akomodasi tidak akan
memerlukan banyak deat dan argumentasi.
C. Dewasa Awal
1. Pengertian Dewasa Awal
Masa dewasa awal merupakan masa transisi antara masa remaja menuju
masa dewasa (Santrock, 2011). Masa dewasa awal terjadi dari usia 18-25
kesempatan untuk merubah hidup mereka ke arah yang lebih positif
(Santrock, 2003). Menurut Erikson masa dewasa memasuki tahap keenam
perkembangan psikososial, yaitu intimasi versus isolasi (Santrock, 2003).
Pada tahap ini dewasa awal dituntut untuk saling berkomitmen atau
menghadapi rasa pengasingan diri dan keterpakuan pada diri sendiri
(self-absorption).
2. Hubungan Romantis pada Dewasa Awal
Salah satu ciri seseorang dikatakan dewasa yaitu adanya keinginan
untuk mengekprorasi identitas, terutama relasi romantis. Hal ini membuat
perkembangan hubungan intimasi menjadi tugas penting dari masa dewasa
awal. Intimasi menjadi persoalan utama pada dewasa awal karena emosi
dalam hubungan romantis juga dikaitkan dengan pencapaian identitas pada
dewasa awal (Barry, Madsen, Nelson, Carrol, & Badger, 2009, dalam
Papalia,2014). Unsur penting dari keintiman adalah pengungkapan diri
(self-disclosure), yaitu membuka informasi penting tentang diri sendiri kepada
orang lain (Collins & Miller, 1994 dalam Papilia Olds Feldman, 2009).
Keintiman dan tetap intim dapat tercipta melalui sikap saling terbuka, dan
hormat yang timbal balik ( Harvey & Omarzu, 1997; Reis & Patrick, 1996,
dalam Papilia Olds Feldman, 2009).
Pasangan yang memiliki intimasi yang tinggi akan sangat
memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan pihak lain, menghormati dan
menghargai satu sama lain, dan memiliki saling pengertian. Mereka juga
saling berbagi dan merasa saling memiliki, saling memberi dan menerima
dukungan emosional dan berkomunikasi secara intim. Namun, bila dewasa
awal tidak dapat menjalin komitmen pribadi dengan orang lain, maka mereka
beresiko menjadi terlalu terisolasi dan terpaku pada diri sendiri
(self-absorbed).
Sebuah hubungan akan mencapai keintiman emosional manakala
kedua pihak saling mengerti, terbuka, saling mendukung, dan merasa bisa
berbicara mengenai apa pun juga tanpa merasa takut ditolak. Mereka juga
akan berusaha menyelaraskan nilai dan keyakinan tentang hidup, meskipun
tentu saja ada perbedaan pendapat dalam beberapa hal. Mereka mampu untuk
saling memaafkan dan menerima, khususnya ketika mereka tidak sependapat
atau berbuat kesalahan (Santrock, 2008). Hal ini membuat dewasa awal
mengomunikasikan emosi, menyelesaikan konflik, mempertahankan dan
komitmen.
Ketika dewasa awal memiliki ketidakmampuan mengembangkan
relasi yang bermakna dengan orang lain dapat melukai kepribadian dewasa
awal. Hal ini dapat mendorong mereka untuk tidak mau mengakui,
mengabaikan, atau menyerang orang-orang yang dianggap menimbulkan
frustasi. Kadangkala prilaku ini juga dapat mengarah pada depresi dan isolasi,
sehingga menyebabkan individu memiliki sikap tidak mempercayai orang lain
(Santrock, 2011).
Kualitas hubungan romantis sangat berpengaruh pada pencapaian
pembentukan rasa identitas. Dalam sebuah studi dari 710 individu peralihan
dewasa, status pencapaian identitas diasosiasikan dengan perasaan kuat akan
persahabatan, penghargaan, efeksi, dan dukungan emosi terhadap hubungan
romantis (Barry, Madsen, Nelson, Carrol, & Badger, 2009, dalam Papalia,
2014).
Sebuah penelitian yang menemukan bahwa dalam situasi yang
membuat stress, dewasa awal yang memiliki hubungan dengan orang lain
lebih kecil untuk mengalami distress, cemas, depresi, atau bahkan meninggal
(Cohen, 2004 dalam Papalia, 2009).
Menurut beberapa psikolog dimulainya kedewasaan tidak ditandai
oleh kriteria eksternal, tetapi oleh indikator internal seperti otonomi, kontrol
diri, dan tanggung jawab pribadi (Papila, 2009). Menurut Erikson, resolusi
pada tahap ini menghasilkan kekuatan cinta: pengabdian timbal balik antara
pasangan yang telah memilih dan membagi kehidupan mereka secara
bersama-sama (Papila ,2009).
D. Hubungan Romantis
1. Periode Hubungan Romantis
Menurut Reese-Weber & Johnson, (2012) Terdapat tiga tahap
pengembangan hubungan romantis, yaitu :
a. Honeymoon Phase
Fase bulan madu mencakup tingkat gairah dan kegembiraan tinggi saat
pasangan saling mengenal satu sama lain. Pada fase ini, hubungan terjalin
cukup santai dan melibatkan sebagian besar interaksi positif karena
pasangan mempresentasikan diri mereka dengan baik. Pasangan melihat
Pada fase ini mereka akan menggambarkan dirinya secara positif dan
mengabaikan kesalahan pasangan mereka. Dalam fase ini pasangan mulai
menentukan sifat hubungan seperti memberi label satu sama lain sebagai
pacar (Fletcer, Garth, dkk, 2000).
Periode pacaran 1-3 bulan merupakan fase awal dalam perkembangan
hubungan. Pada tahap ini kepercayaan secara konsisten mendapat rating
tertinggi. Hasil ini menyiratkan bahwa tingkat kepercayaan yang cukup
tinggi bisa jadi merupakan prasyarat untuk kencan pertama bahkan terjadi.
Namun, kepercayaan pada tahap awal pengembangan hubungan lebih
berpusat pada prediktabilitas dan ketergantungan (bukan pada keyakinan).
Periode 3 bulan dalam suatu hubungan juga cenderung memiliki penilaian
dan persepsi ideal tentang pasangan dan hubungan yang stabil (Weber,
Marla, 2015).
b. Defining Phase
Fase ini pasangan sudah menentukan keseriusan dan umur panjang
hubungan. Negosiasi harapan untuk hubungan dapat menghasilkan
peningkatan tingkat keintiman dan konflik, termasuk agresi, selama fase
ini. Pada fase ini pasangan akan merasa nyaman satu sama lain, mereka
sebelumnya tetapi masih diinvestasikan dalam hubungan. Selain itu
pasangan pada fase ini lebih rela mendiskusikan isi-isu yang tidak mereka
setujui (Fletcer, Garth, dkk, 2000).
c. Established Phase
Fase ini yang mencakup hubungan yang lebih berkomitmen dan
berorientasi pada masa depan. Meskipun demikian, keintiman mungkin
akan terus meningkat pada fase yang lebih mapan lagi. Pada tahap ini
pasangan akan lebih memikirkan tentang harapan bersama akan hubungan
mereka. Mereka akan mereasa lebih mengenal pasangannya dengan baik
dan memiliki arah pada hubungan tersebut (Fletcer, Garth, dkk, 2000).
E. Kecenderungan Konflik Dalam Hubungan
Menurut Brandenberger (2002) terdapat beberapa jenis konflik yang
paling umum muncul dalam hubungan intim, yaitu kecemburuan,
ketidaksepakatan, dan tidak memiliki waktu bersama yang cukup
(Brandenberger, Amanda, 2007).
Menurut Guerrero, Andersen, & Afifa (2001) terdapat 4 tingkatan
a. Tingkat pertama, pasangan berdebat tentang hal yang spesifik seperti
perilaku-perilaku yang konkrit. Salah satunya ketika pasangan marah
dikarenakan cara anda dalam menangani Sesuatu yang tidak sesuai
dengan dirinya, seperti cara membersihkan atau menata barang.
b. Tingkat kedua, ketika pasangan berdebat tentang peraturan dan
norma relasional. Salah satunya masalah yang sering terjadi dalam
hal ini adalah melupakan hari ulang tahun pasangan atau hari yang
penting bagi pasangan. Selain itu, tidak memberi kabar pada
pasanagn juga menjadi salah satu persoalan.
c. Tingkat konflik ketiga, pasangan memperdebatkan tentang berbagai
ciri kepribadian. Misalnya perbedaan kepribadian antara anda dan
pasangan karena umur yang terpaut jauh.
d. Tingkat konflik yang terakhir, memperbedatkan tentang proses
konflik itu sendiri (metakonflik). Dalam hal ini menuduh pasangan
anda mengomel atau cemberut, mengamuk, tidak mendengarkan,
F. Hubungan Antara Tipe Perfeksionisme Dengan Gaya Manajemen Konflik Pada Individu Dewasa Awal Yang Berpacaran
Perfeksionisme merupakan keinginan untuk mencapai kesempurnaan
dengan standar yang tinggi untuk dirinya, standar yang tinggi untuk orang
lain, dan percaya bahwa orang lain memiliki pengharapan kesempurnaan
untuk dirinya (Pranungsari, Dessy, 2010). Perfeksionis dibagi menjadi dua,
yaitu perfeksionis interpersonal dan perfeksionis intrapersonal. Perfeksionis
interpersonal dilihat dari adanya keinginan untuk menetapkan standar yang
tinggi bagi orang lain (other oriented perfectionism) dan merasa orang lain
menetapkan standar yang tinggi untuk dirinya (socially perceived
perfectinisme). Perfeksionis interpersonal sendiri seringkali dikaitkan dengan
berbagai permasalahan dalam relasi romantis, seperti permasalahan terhadap
keintiman, kepercayaan, dan kepedulian (Dunkley David M, dkk, 2000).
Padahal, hal-hal tersebut sangat diperlukan dalam membangun sebuah
hubungan romantis yang juga merupakan salah satu kebutuhan penting dalam
masa perkembangan dewasa awal (Santrock, 2012).
Seseorang dengan gaya other oriented perfectionism akan memiliki
harapan sangat tinggi atau tidak realistis sehingga menimbulkan tendensi
meningkatkan nilai diri mereka dengan cara mencari kesalahan dari
pasangannya (Hewitt & Armada 2004, dalam Mee, Foo Fatt, 2015). Hal ini
memungkinkan seseorang dengan tipe other oriented perfectionism memiliki
gaya controlling dalam memanajemen konflik mereka.
Manajemen konflik dengan gaya controlling menekankan pada cara
mendominasi orang lain dan membuat keputusan berdasarkan penilaiannya.
Individu yang memiliki controlling style pada umumnya memanajemen
konflik dalam hubunganya dengan filosofi win-lose solution. Individu dengan
gaya ini memiliki keinginan untuk menang dalam suatu konflik dan hanya
fokus pada dirinya sehingga mereka mengabaikan perasaan ataupun pendapat
dari pasangannya (Beebe, Steven A, dkk, 1996). Sedangkan, pada
perfeksinisme socially prescribed perfectionism yang didominasi oleh
perasaan bahwa orang lain memiliki harapan yang berlebihan pada dirinya
akan membuat ia merasa bahwa orang lain memberikan kritik negatif terhadap
dirinya (Pranungsari, Dessy, 2010). Hal ini membuat individu perfeksionis
memiliki standar yang kaku dan tidak realistis, meragukan kemampuan
mereka untuk sukses terutama pada peran standar sosial yang menyebabkan
kecemasan sosial (Hewitt, Paul L, 1991). Hal ini juga dikaitkan dengan
(Hill, Zrull, & Turlington, 1997; Hewitt & Flett, 2004; Sherry, Hukum,
Hewitt, Flett, & Besser, 2008). Individu dengan tipe socially prescribed
perfectionism akan fokus untuk memenuhi standar dari pasangannya sehingga
mereka menunjukan rasa takut yang lebih besar terhadap evaluasi negatif dan
menempatkan perhatian yang lebih besar untuk memperoleh perhatian dari
pasangan tetapi berusaha menghindari penolakan dari pasangannya tersebut.
Hal ini membuat individu dengan socially prescribed perfectionism
memiliki kemungkinan untuk menggunakan gaya manajemen konflik
nonconfrontation yang merupakan gaya pendekatan untuk manangani konflik
dengan cara mundur, baik dengan cara withdrawing (manarik diri) atau
menghindar. Hal ini membuat mereka cenderung merasa tidak nyaman
dengan adanya konflik sehingga mereka memilih untuk menyerah sebelum
konflik meningkat. Respon-respon yang muncul pada gaya ini adalah
membujuk, menarik diri, dan memberikan sebuah respon yang melambangkan
gaya non konfrontatif (Beebe, Steven A, 1996). Kedua gaya manajemen
konflik ini membuat individu perfeksionisme cenderung untuk menggunakan
manajemen konflik yang destruktif, yaitu manajemen konflik dengan cara
Hal ini berbeda dengan seseorang yang memiliki perfeksionisme
intrapersonal yaitu self-oriented perfectionism, seseorang dengan pefeksionisme self oriented akan cenderung memiliki potensi adaptif sebagai
hasrat yang sehat untuk mencapai prestasi atau menghasilkan karya besar.
Selain itu, seseorang dengan self oriented perfectionism memiliki kemampuan
sosial, seperti kemampuan untuk mengerti pesan nonverbal orang lain dan
dapat melibatkan orang lain dalam percakapannya. Hal ini membuatnya
memiliki kemampun dalam membangun dan mempertahankan hubungan
(Dunkley ,David. M, 2000).
Hal-hal tersebut memungkinkan individu perfeksionis intrapersonal
self oriented untuk menyelesaikan konflik yang ada dengan menciptakan win-win solution dan fokus pada kepentingan bersama dengan gaya cooperative
(Beebe, Steven A, dkk, 1996). Dengan gaya ini maka penyelesaian masalah
dalam hubungan romantisnya dapat diselesaikan dengan manajemen konflik
konstruktif, yaitu berusaha untuk melakukan positive problem solving dan
manjaga hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik agar tetap harmonis
Berikut adalah skema hubungan antara tipe perfeksionisme dengan gaya
manajemen konflik pada individu dewasa awal yang sedang menjalani hubungan
Perfeksionisme Interpersonal
Perfeksionisme Other Oriented
Melihat Kesalahan Orang Lain Secara
Berlebihan
Keinginan untuk Menang dari
Orang lain
Otoriter
Membuat Keputusan sepihak
Gaya Controlling
Manajemen Konflik Destruktif
Menetapkan Standar yang Tinggi pada Orang
Lain
Perfeksionisme Interpersonal
Perfeksionisme Socially Prescribed
Merasa Orang lain Menetapkan standar yang
tinggi
Menghindar dari masalah
Meragukan Kemampuannya
Menyerah Sebelum Masalah
menjadi Besar
Gaya Nonconfrontation
Manajemen Konflik Destruktif
Takut pada Evaluasi dari orang
lain
Perfeksionisme Intrapersonal
Perfeksionisme Self Orientation
Kemampuan Sosial yang Baik
Mendeskripsikan Masalah dengan
Baik
Mengerti Orang Lain
Fokus pada Kepentingan
Bersama
Gaya Cooperatif
Manajemen Konflik Konstruktif
Kemampuan Mempertahankan
Hubungan
G. Hipotesis
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitiannya
sebagai berikut :
1. Ada hubungan positif antara tipe perfeksionisme other oriented dengan
manajemen konflik gaya controlling.
2. Ada hubungan positif antara tipe perfeksionisme socially prescribed dengan
manajemen konflik gaya nonconfrontatif.
3. Ada hubungan positif antara tipe perfeksonisme self oriented dengan
49
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional, yaitu penelitian dengan
menggunakan karakteristik yang berupa hubungan antara dua variabel atau lebih (
Supratiknya, 1998 ). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menyelidiki
variasi pada suatu variabel berkaitan dengan