ATTACHMENT SEBAGAI PREDIKTOR TINGKAT PASSION PADA
INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MENJALANI PERNIKAHAN JARAK
JAUH
Clarissa Felita Andriani
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah tingkat passion pada individu dewasa awal yang menjalani pernikahan jarak jauh dapat diprediksi oleh secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment dan avoidant fearfull attachment. Variabel prediktor dalam penelitian ini adalah empat jenis attachment yaitu, secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment dan avoidant fearfull attachment dan variabel kriteriumnya adalah passion. Subjek dalam penelitian ini adalah individu dengan usia 20-40 tahun dan sedang menjalani pernikahan jarak jauh. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 124 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala attachment dan skala passion yng dibuat sendiri oleh peneliti. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dengan Software Statistical Package for Social Sciences (SPSS) versi 23.0 for Windows. Dari hasil analisis didapatkan nilai R2 sebesar 0,407 atau 40,7 %, yang artinya sebanyak 40,7% variabel gaya
attachment berpengaruh terhadap tingkat passion. Selain itu, hasil analisis menunjukkan bahwa secure attachment (t=2,864, p=0,005 ; p<0,05) dan dismissing attachment (t=-2,354, p=0,020 ; p<0,05) mampu memprediksi tingkat passion pada individu dewasa awal yang menjalani pernikahan jarak jauh, yang berarti hipotesis pertama dan ketiga diterima. Selain itu, hipotesis kedua dan keempat yang menyatakan preoccupied attachment (t=-1,241, p=0,217 ; p>0,05) dan avoidant fearfull attachment (t=-1,608, p=0,111 ; p>0,05) mampu memprediksi tingkat passion pada individu yang menjalani pernikahan jarak jauh, ditolak.
ATTACHMENT AS PREDICTOR OF PASSION LEVEL ON EARLY ADULTHOOD INDIVIDUALS WHO HAVE LONG DISTANCE MARRIAGE
Clarissa Felita Andriani ABSTRACT
This study aims to see whether the level of passion, of an individual early adulthood who have long-distance marriage can be predicted by secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment and avoidant fearful attachment. The predictor variables in this study were four different types of attachment namely secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment and avoidant fearful attachment, while the criterion variable was passion. The predictor variables in this study were four different types of attachment namely secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment and avoidant fearful attachment while the criterion variable was passion. The subject of this study were individuals within 20 to 40 years old who were having long distance marriage. The total subject of the study were 124 participants. The measuring instrument that used in this study was attachment scale and scale of passion, made by the researcher. The Data analysis used in this research was a multiple regression analysis with the software Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 23.0 for Windows. As the results of the analysis obtained 0,407 or 40,7%, which means as many as 40,7% the attachment style influence the level of passion. The analysis showed that secure attachment (t = 2.864, p = 0.005; p <0.05) and dismissing attachment (t = -2.354, p = 0.020; p <0.05) were able to predict the level of passion in early adulthood individuals who were undergoing long distance marriage, which means the first and third hypothesis was accepted. In addition, the second and fourth hypothesis which stated preoccupied attachment (t = 1.241, p = 0.217; p> 0.05) and avoidant attachment fearful (t = -1.608, p = 0.111; p> 0.05) were able to predict the level passion in individuals who undergo long-distance marriage, was rejected.
ATTACHMENT SEBAGAI PREDIKTOR TINGKAT PASSION PADA
INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MENJALANI PERNIKAHAN JARAK
JAUH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Clarissa Felita Andriani NIM : 119114181
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Rencana Tuhan selalu terbaik,
Dan lebih baik dari
Apa yang sudah kita rencanakan
If you cannot do great things,
Do small things in a great way
-Napoleon Hill-
You never know how
STRONG
You are..
Until being strong is the
ONLY choice you have
Dengan penuh rasa syukur dan bangga, aku persembahkan skripsi ini untuk
Tuhan Yesus Kristus,
Keluargaku tercinta, papa, mama, kakak, adik serta seluruh keluarga besarku,
vi
ATTACHMENT SEBAGAI PREDIKTOR TINGKAT PASSION PADA
INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MENJALANI PERNIKAHAN JARAK
JAUH
Clarissa Felita Andriani
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah tingkat passion pada individu dewasa awal yang menjalani pernikahan jarak jauh dapat diprediksi oleh secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment dan avoidant fearfull attachment. Variabel prediktor dalam penelitian ini adalah empat jenis attachment yaitu, secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment dan avoidant fearfull attachment dan variabel kriteriumnya adalah passion. Subjek dalam penelitian ini adalah individu dengan usia 20-40 tahun dan sedang menjalani pernikahan jarak jauh. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 124 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala attachment dan skala passion yng dibuat sendiri oleh peneliti. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dengan Software Statistical Package for Social Sciences (SPSS) versi 23.0 for Windows. Dari hasil analisis didapatkan nilai R2 sebesar 0,407 atau 40,7 %, yang artinya sebanyak 40,7% variabel gaya
attachment berpengaruh terhadap tingkat passion. Selain itu, hasil analisis menunjukkan bahwa secure attachment (t=2,864, p=0,005 ; p<0,05) dan dismissing attachment (t=-2,354, p=0,020 ; p<0,05) mampu memprediksi tingkat passion pada individu dewasa awal yang menjalani pernikahan jarak jauh, yang berarti hipotesis pertama dan ketiga diterima. Selain itu, hipotesis kedua dan keempat yang menyatakan preoccupied attachment (t=-1,241, p=0,217 ; p>0,05) dan avoidant fearfull attachment (t=-1,608, p=0,111 ; p>0,05) mampu memprediksi tingkat passion pada individu yang menjalani pernikahan jarak jauh, ditolak.
vii
ATTACHMENT AS PREDICTOR OF PASSION LEVEL ON EARLY ADULTHOOD INDIVIDUALS WHO HAVE LONG DISTANCE MARRIAGE
Clarissa Felita Andriani ABSTRACT
This study aims to see whether the level of passion, of an individual early adulthood who have long-distance marriage can be predicted by secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment and avoidant fearful attachment. The predictor variables in this study were four different types of attachment namely secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment and avoidant fearful attachment, while the criterion variable was passion. The predictor variables in this study were four different types of attachment namely secure attachment, preoccupied attachment, dismissing attachment and avoidant fearful attachment while the criterion variable was passion. The subject of this study were individuals within 20 to 40 years old who were having long distance marriage. The total subject of the study were 124 participants. The measuring instrument that used in this study was attachment scale and scale of passion, made by the researcher. The Data analysis used in this research was a multiple regression analysis with the software Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 23.0 for Windows. As the results of the analysis obtained 0,407 or 40,7%, which means as many as 40,7% the attachment style influence the level of passion. The analysis showed that secure attachment (t = 2.864, p = 0.005; p <0.05) and dismissing attachment (t = -2.354, p = 0.020; p <0.05) were able to predict the level of passion in early adulthood individuals who were undergoing long distance marriage, which means the first and third hypothesis was accepted. In addition, the second and fourth hypothesis which stated preoccupied attachment (t = -1.241, p = 0.217; p> 0.05) and avoidant attachment fearful (t = -1.608, p = 0.111; p> 0.05) were able to predict the level passion in individuals who undergo long-distance marriage, was rejected.
ix
KATA PENGANTAR
Puji Syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Attachment Sebagai Prediktor Tingkat Passion
Pada Individu Dewasa Awal Yang Menjalani Pernikahan Jarak Jauh” dapat
diselesaikan dengan baik. Hal ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si, selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
3. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi, Psi. selaku dosen pembimbing akademik
yang memberikan arahan dan bimbingan selama masa studi dengan penuh
kesabaran. Semoga ilmu yang Ibu berikan dapat saya jadikan bekal untuk
masa depan.
4. Ibu Debri Pristinella, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan arahan, bimbingan, kritik dan saran dalam penulisan skripsi
ini dengan penuh kesabaran.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
x
selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
6. Seluruh staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang
telah banyak membantu melancarkan proses pembelajaran selama masa studi
di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
7. Seluruh responden yang bersedia membantu saya dalam pengisian kuisioner.
Terima kasih atas bantuan dan kerja samanya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
8. Kedua Orang tuaku, Yustinus Widodo Soemarsono dan Veronica Rina
Hartati. Terimakasih atas kasih sayang, nasehat, kesabaran, serta doa dan
dukungan yang telah diberikan..
9. Kakak-kakakku, Alvita Wina Kartika dan Brian Fernaldi Anggadha serta
adikku yang besar, Davin Aditya Wicaksono. Terimakasih atas doa dan
dukungan yang diberikan.
10.Teman, sahabat, saudara dan pacar terbaik, Yudhianto Tobias Paramartha
yang selalu menemaniku saat suka dan duka. Terima kasih atas dukungan,
canda dan tawa yang diberikan dan terima kasih sudah menjadi pendengar
yang baik saat aku berkeluh kesah. Semoga hubungan kita selalu diberkati
oleh Tuhan.
11.Sahabat-sahabat terbaik, teman-teman Psikologi 2011. Terima kasih untuk
suka duka yang kita rasakan bersama, canda dan tawa serta perjuangan
xi
12.Sahabat-sahabat terbaikku sejak SMA. Terima kasih untuk semangat yang
diberikan terus-menerus untuk menyelesaikan tugas akhir ini. Semoga
persahabatan kita selalu diberkati.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Yogyakarta, 16 Mei 2016
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
BAB II
xiii
A. Attachment ... 14
1. Definisi attachment ... 14
2. Aspek attachment ... 16
3. Proses pembentukkan attachment ... 17
4. Faktor dan kondisi pembentuk attachment ... 20
5. Jenis-jenis attachment ... 21
B. Passion ... 27
1. Definisi passion ... 27
2. Faktor yang mempengaruhi passion ... 27
3. Aspek passion ... 30
C. Dewasa awal ... 34
1. Definisi masa dewasa awal ... 34
2. Tugas perkembangan masa dewasa awal ... 35
3. Perkembangan psikososial masa dewasa awal ... 37
D. Pernikahan ... 38
1. Definisi pernikahan ... 38
2. Definisi pernikahan jarak jauh ... 40
3. Strategi dalam menjaga pernikahan jarak jauh ... 42
4. Pernikahan jarak jauh pada masa dewasa awal ... 45
E. Dinamika prediksi gaya attachment bagi tingkat passion pada individu dewasa awal yang menjalani pernikahan jarak jauh ... 46
xiv
G. Hipotesis ... 58
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis penelitian ... 59
B. Variabel penelitian ... 59
C. Definisi operasional variabel penelitian ... 59
1. Gaya attachment ... 59
2. Passion ... 60
D. Metode dan alat pengumpulan data ... 61
1. Metode pengumpulan data ... 61
2. Instrumen penelitian ... 62
E. Subjek penelitian ... 65
F. Validitas dan reliabilitas alat pengumpulan data ... 66
1. Validitas ... 66
2. Reliabilitas ... 67
G. Uji coba alat ukur ... 69
1. Subjek ... 69
2. Pelaksanaan uji coba ... 69
3. Seleksi item ... 70
H. Teknik analisis data ... 74
1. Uji asumsi ... 74
a. Uji normalitas ... 74
xv
c. Uji asumsi regresi ... 75
2. Uji hipotesis ... 76
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Subjek penelitian ... 77
B. Pelaksanaan penelitian ... 77
C. Deskripsi subjek ... 78
D. Deskripsi hasil penelitian ... 83
E. Analisis data ... 85
1. Uji asumsi ... 85
a. Uji normalitas ... 85
b. Uji linearitas ... 86
c. Uji multikolinieritas ... 87
d. Uji heteroskedastisitas ... 88
e. Uji autokorelasi ... 89
2. Uji hipotesis ... 89
F. Pembahasan ... 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 104
B. Saran ... 104
DAFTAR PUSTAKA ... 106
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skor item-item favorable pada skala gaya attachment ... 62
Tabel 2. Skor item-tem unfavorable pada skala gaya attachment ... 62
Tabel 3. Blueprint skala gaya attachment sebelum seleksi item ... 63
Tabel 4. Skor item-item favorable pada skala passion ... 64
Tabel 5. Skor item-item unfavorable pada skala passion ... 64
Tabel 6. Bluprint skala passion sebelum seleksi item ... 64
Tabel 7. Reliabilitas skala gaya attachment sebelum uji coba ... 68
Tabel 8. Reliabilitas skala gaya attachment setelah uji coba ... 68
Tabel 9. Reliabilitas skala passion sebelum uji coba ... 69
Tabel 10. Reliabilitas skala passion setelah uji coba ... 69
Tabel 11. Blueprint skala gaya attachment setelah seleksi item ... 71
Tabel 12. Distribusi item skala penelitian gaya attachment ... 72
Tabel 13. Blueprint skala passion setelah seleksi item ... 73
Tabel 14. Distribusi item skala penelitian passion ... 73
Tabel 15. Jenis kelamin subjek ... 78
Tabel 16. Usia subjek ... 78
Tabel 17. Pendidikan terakhir ... 79
Tabel 18. Pekerjaan ... 79
Tabel 19. Usia pernikahan ... 80
Tabel 20. Alasan menjalani pernikahan jarak jauh ... 81
xvii
Tabel 22. Subjek tinggal dengan ... 82
Tabel 23. Pasangan subjek tinggal dengan ... 83
Tabel 24. Deskripsi data penelitian ... 83
Tabel 25. Kategorisasi passion ... 84
Tabel 26. Hasil uji normalitas residu ... 85
Tabel 27. Hasil uji linearitas ... 86
Tabel 28. Hasil uji multikolinieritas ... 87
Tabel 29. Hasil uji heteroskedastisitas ... 88
Tabel 30. Hasil uji autokorelasi ... 89
Tabel 31. Koefisien determinasi ... 90
Tabel 32. Uji F ... 90
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Model attachment ... 19
Gambar 2. Prediksi secure attachment bagi tingkat passion pada dewasa awal
yang menjalani pernikahan jarak jauh ... 52
Gambar 3. Prediksi preoccupied attachment bagi tingkat passion pada dewasa
awal yang menjalani pernikahan jarak jauh ... 53
Gambar 4. Prediksi dismissing attachment bagi tingkat passion pada dewasa awal
yang menjalani pernikahan jarak jauh ... 54
Gambar 5. Prediksi avoidant fearfull attachment bagi tingkat passion pada dewasa
xix
DAFTAR LAMPIRAN
A. Skala penelitian sebelum uji coba ... 113
B. Skala penelitian ... 130
C. Reliabilitas skala attachment ... 141
1. Reliabilitas skala attachment sebelum uji coba ... 141
2. Hasil sebelum seleksi item skala attachment ... 141
3. Hasil seleksi item skala attachment ... 143
4. Reliabilitas skala attachment setelah uji coba ... 144
5. Reliabilitas skala attachment per jenis ... 145
D. Reliabilitas skala passion ... 146
1. Reliabilitas skala passion sebelum uji coba ... 146
2. Hasil sebelum seleksi item skala passion ... 146
3. Hasil seleksi item skala passion ... 148
4. Reliabilitas skala passion setelah uji coba ... 150
5. Reliabilitas skala passion per aspek ... 150
E. Data demografik ... 152
F. Deskripsi hasil penelitian ... 156
G. Uji asumsi regresi ... 156
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah menjalin hubungan
intim dengan lawan jenis maupun sesama jenis, belajar hidup dengan suami
atau istri, mulai membentuk keluarga, mengasuh anak, menjalankan rumah
tangga, menemukan kelompok sosial, menerima tanggung jawab warga negara,
dan mulai bekerja (Monks, Knoers, & Haditono, 1996 ; Papalia dan Feldman,
2014). Salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah menjalin
hubungan intim dengan lawan jenis dalam ikatan pernikahan.
Pernikahan adalah hubungan timbal balik antar pasangan berdasarkan
emosi, kekeluargaan dan ketergantungan dalam hal seksual (Lemme, 1995).
Pada dasarnya, pernikahan dapat memberikan keintiman, komitmen,
persahabatan, afeksi, pemuasan seksual dan kesempatan pertumbuhan
emosional serta sebagai sumber identitas dan harga diri (Gardiner, Kosmitzky
dan Myers, dalam Papalia, 2009). Undang-undang No. 1 tahun 1974, pasal 1
menyebutkan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai pasangan suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Pernikahan merupakan
ikatan yang dibangun untuk melegitimasi suatu relasi seksual (Ratus dkk,
2008). Dalam suatu perkawinan, masing-masing pasangan akan memperoleh
memiliki teman untuk bertukar pikiran (Ginanjar, 2009). Dalam kehidupan
nyata, setiap pasangan suami istri memiliki pola kehidupan yang berbeda satu
sama lain. Ada beberapa pasangan suami istri yang setelah menikah tetap
tinggal bersama dan ada pula pasangan suami istri yang harus tinggal terpisah
karena tuntutan pekerjaan atau studi (Dewi dan Basti, 2008). Hal tersebut
membuat mereka menjalani pernikahan jarak jauh.
Alasan individu menjalani pernikahan jarak jauh adalah studi, mengejar
karir, gaji yang lebih besar dan untuk kesetaraan wanita dalam dunia kerja
(Ferree dan Hochshild dalam Forsyth dan Gramling, 1998). Selain itu,
pernikahan jarak jauh juga membuat jenjang sosial lebih cepat naik, karena
individu lebih memilih untuk bekerja di daerah dengan biaya hidup yang lebih
tinggi dan keluarga tinggal di daerah dengan biaya hidup yang lebih rendah.
Dewasa ini, banyak individu yang menjalani pernikahan jarak jauh yang
dikarenakan adanya tuntutan pekerjaan atau mengejar karier. Hal ini sesuai
peryataan Maines (dalam Margiani dan Iga, 2013) yang menyatakan bahwa
pernikahan jarak jauh merupakan pernikahan terpisah antara suami dan istri
yang didasari komitmen karena tuntutan karier dan pekerjaan. Seperti juga
pada pernikahan pada umumnya, suami dan istri memiliki
kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh pasangannya masing-masing.
Menurut Harley dan Chalmers (Satidarma, 2001) menyebutkan bahwa ada
kasih sayang, kebutuhan berkomunikasi, kebutuhan dukungan keluarga,
kebutuhan kebersamaan keluarga, dukungan keuangan, kejujuran dan
keterbukaan, penampilan fisik, kebersamaan dan kebutuhan seksual.
Pernikahan jarak jauh mengakibatkan tidak terpenuhinya beberapa
kebutuhan, salah satunya adalah kebutuhan seksual. Dalam pernikahan jarak
jauh, kebutuhan seksual tidak dapat terpenuhi setiap saat karena kondisi
terpisah dengan pasangan. Hal ini bertolak belakang dengan salah satu tujuan
pernikahan yaitu pemuasan kebutuhan seksual (Papalia, 2009). Berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu individu yang menjalani
pernikahan jarak jauh dengan usia 28 tahun, ia mengatakan bahwa dirinya
bertemu dengan pasangannya 6 bulan sekali karena pasangannya menjadi TKI
di luar negeri. Intensitas yang cukup lama untuk bertemu membuat kebutuhan
seksual tidak dapat terpenuhi. Hal ini bertentangan dengan data rata-rata
frekuensi individu untuk melakukan hubungan seksual adalah 9 kali dalam
sebulan (Call dkk dalam Sprecher dan McKinney, 1993).
Pada wanita atau istri yang menjalani pernikahan jarak jauh, hidup
terpisah dengan suami merupakan tantangan yang cukup berat. Kelelahan fisik
akibat rutinitas untuk mengurus rumah tangga akan mengakibatkan kelelahan
psikologis yang berpengaruh dalam tingkah laku sehari-hari. Hal ini
berdampak pada perilaku agresif yang muncul saat mengasuh anak. Namun,
kemungkinan terjadinya perilaku agresif tersebut dapat diminimalisir karena
Pernikahan jarak jauh juga rentan mengalami perselingkuhan. Terdapat
kasus mengenai seorang wanita yang harus tinggal terpisah dengan suaminya
karena suami harus bekerja sebagai TKI di Malaysia. Suami sudah bekerja
selama 1 tahun 3 bulan di Malaysia. Selama ditinggal suami bekerja di
Malaysia, wanita tersebut melakukan hubungan seksual dengan seseorang yang
diketahui tetangganya sendiri (www.tribunnews.com).
Perselingkuhan terjadi bila dua orang terlibat dalam hubungan seksual dan
emosional dan salah satu darinya sudah menikah atau menjalani komitmen
(Baswardono,2003). Beberapa ahli membedakan faktor pendorong
perselingkuhan antara pria dan wanita. Faktor pendorong pria melakukan
perselingkuhan adalah suasana baru, pengalaman seks, percaya mengenai citra
kejantanannya, tidak mampu mengendalikan godaan dan jatuh cinta (Eriany,
2004). Sedangkan, faktor pendorong wanita melakukan perselingkuhan adalah
jatuh cinta, mencari keintiman hubungan dekat dan menginginkan seks yang
menyenangkan (Baswardono,2003 ).
Perselingkuhan memberikan dampak seperti, mengalami stress yang
mengakibatkan kecemasan dan kegelisahan sehingga menjadi sulit tidur, sering
terbangun di tengah malam dan lebih sensitif terhadap suara. Selain itu,
individu akan sulit berkonsentrasi dan kehilangan kepercayaan dalam
kemampuan berinteraksi sehingga akan menarik diri (Spring dan Spring,
2000). Selain itu, perselingkuhan juga mengakibatkan prestasi kerja yang
menurun, sering timbul keributan dan pertengkaran pada pasangan (Eriany,
Data statistik menunjukkan bahwa frekuensi perceraian di Indonesia
memiliki angka yang cukup tinggi. Pada tahun 2011 kasus perceraian terjadi
sebanyak 258.119 kejadian, tahun 2012 sebanyak 372.577 kejadian dan tahun
2013 sebanyak 324.527 kejadian. Adanya perselingkuhan merupakan penyebab
kedua terbesar terjadinya perceraian setelah faktor ekonomi. Menurut Prof. Dr.
Dadang Hawari sebagai konsultan perkawinan, perceraian disebabkan karena
perselingkuhan. Di negara barat, sebanyak 75% suami pernah melakukan
selingkuh dan 25% istri juga pernah melakukan perselingkuhan. Di Indonesia
belum ada statistik yang pasti, namun dari kasus yang ditangani oleh Prof. Dr.
Dadang Hawari 90% kasus retaknya pernikahan disebabkan oleh
perselingkuhan suami dan 10% perselingkuhan istri (www.kompasiana.com).
Dari data tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan seks merupakan kebutuhan
yang sangat penting dalam hubungan pernikahan.
Seks atau seksual merupakan kata yang merujuk pada struktur anatomi
organ reproduksi dan kepuasan seksual. Dengan kata lain, seks merupakan hal
yang merujuk pada aktivitas fisik yang melibatkan organ seks untuk tujuan
reproduksi atau kesenangan, dengan contoh masturbasi, memeluk, mencium
dan hubungan intim. Seks juga berhubungan dengan perasaan, pengalaman dan
dorongan yang merangsang seperti fantasi dan pikiran seksual, dorongan
seksual atau perasaan tertarik secara seksual terhadap orang lain. Menurut
(Ratus dkk, 2008), human sexuality merujuk pada cara bagaimana individu
merupakan salah satu komponen cinta pada pernikahan yang terdapat pada
teori Sternberg.
Pernikahan dibangun atas dasar cinta. Menurut teori segitiga cinta
(triangular subtheory of love), tiga elemen atau komponen dari cinta adalah
intimacy, passion dan commitment. Intimacy adalah perasaan emosi yang
mengandung kehangatan, kedekatan, kepercayaan, keterikatan dan keterbukaan
diri. Passion adalah daya tarik fisik dan seksual terhadap orang lain.
Commitment adalah elemen kognitif mengenai pembuatan keputusan tentang
mempertahankan relasi meskipun relasi tersebut menghadapi masalah serta
keputusan untuk mencintai dan tinggal dengan orang yang dicintai. Passion
atau gairah merupakan salah satu komponen yang sangat penting karena
manusia merupakan makhluk seksual (Santrock, 2011).
Menurut Sternberg (1997), kebutuhan-kebutuhan yang ada di dalam
pernikahan seperti nurturance, succorance, kebutuhan akan afeksi, kebutuhan
untuk dominan, submission dan aktualisasi diri berkontribusi terhadap
munculnya pengalaman mengenai passion. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
berkaitan dengan kebahagiaan dalam pernikahan. Dalam pernikahan, jika
kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat terpenuhi maka akan memiliki
kebahagiaan dalam pernikahan yang cukup tinggi (Blazer, 1963). Passion juga
merupakan dorongan yang dikarakteristikkan dengan physiological arousal
dan keinginan untuk bersama dengan individu lain (Baumeister & Bratslavsky,
seksual, pemenuhan kebutuhan seksual dan fenomena lain yang berkaitan
dalam hubungan cinta atau relasi romantis (Sternberg, 1997).
Dalam hubungan cinta, kebutuhan seksual akan mendominasi dan penting
(Ratus dkk ,2008). Penelitian yang dilakukan oleh Cuber & Harof (dalam
Anindyadjati, Budiarto dan Monica, 2006) mengungkapkan bahwa situasi
perkawinan yang sering terjadi adalah pada awal perkawinan passion dan
keromantisan tinggi dan lama kelamaan keromantisan tersebut memudar.
Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang baru saja menikah akan lebih
menunjukkan kemesraan dengan bergandengan tangan atau berangkulan.
Dengan kata lain, passion merupakan elemen fisiologis yang menyebabkan
seseorang merasa ingin dekat secara fisik, menikmati atau merasakan sentuhan
fisik atau melakukan hubungan seksual dengan pasangannya. Passion
merupakan salah satu komponen cinta yang didalamnya mengandung unsur
emosi. Emosi dibentuk dari pengalaman pengalaman yang terjadi sepanjang
hidup, salah satunya dalam proses attachment.
Attachment merupakan ikatan emosional yang dibina antara anak dengan
ibu sejak masa bayi. Responsivitas, keberadaan, dan aksesbilitas figur
attachment akan mengembangkan internal working model atau working model
(Feeney dan Noller, 1996 ; Hazan dan Shaver, 1987). Internal working model
merupakan representasi mental yang meliputi pengetahuan mengenai relasi
dengan figur attachment, seperti penolakan dan penerimaan yang dimiliki
melalui hubungan sehari-hari dengan ibunya yang kemudian mempengaruhi
working model merupakan hal yang sangat penting karena titik permulaan dari
hubungan individu dengan individu lainnya. Apa yang dipelajari individu saat
proses attachment akan digeneralisasikan di kemudian hari, salah satunya
adalah relasi romantis pada saat ia dewasa.
Bartholowmew dan Horowitz (1991) menyebutnya internal working
memory sebagai representasi mental diri (model of self) dan representasi mental
akan orang lain (model of others). Representasi mental akan diri merupakan
pandangan individu terhadap dirinya sendiri yang menghasilkan gambaran
penilaian mengenai berharganya diri individu tersebut. Representasi mental
akan orang lain merupakan pandangan terhadap orang lain yang menghasilkan
gambaran penilaian mengenai seberapa orang lain dapat dipercaya dan dapat
memberikan dukungan dan perlindungan yang dibutuhkan.
Individu dengan secure attachment memiliki model of self dan model of
other positif. Individu dengan secure attachment memiliki harga diri yang
tinggi. Individu memiliki gambaran positif terhadap orang lain sehingga ia
mudah mencari kedekatan interpersonal dan merasa nyaman dalam hubungan
yang mereka jalin (Baron dan Byrne, 2005). Hubungan yang dijalani oleh
individu secure attachment cenderung lama, dengan komitmen dan
memuaskan. Selain itu, individu dengan secure attachment tidak mudah marah,
tidak ingin bermusuhan dengan orang lain dan mengharapkan hasil yang positif
dari konflik (Shaver, Brennan, Mikulincer, dalam Baron dan Byrne, 2005).
Individu dengan preoccupied attachment memiliki model of self yang
attachment merasa nyaman dengan kedekatan namun terkadang individu
merasa orang-orang disekitar enggan menjalin hubungan dekat dengan dirinya
(Feeney dan Noller, 1996). Memburuknya suatu hubungan mendorong
terjadinya depresi karena individu memiliki kebutuhan untuk dicintai (Baron
dan Byrne, 2005).
Individu dengan dismissing attachment memiliki model of self yang
positif dan model of other yang negatif. Individu dengan dismissing attachment
merupakan individu yang mandiri. Individu akan memilih untuk tidak
bergantung pada orang lain dan tidak membiarkan orang lain untuk bergantung
pada dirinya (Feeney dan Noller, 1996). Selain itu, individu juga merasa sangat
layak untuk berhubungan dekat dengan orang lain (Baron dan Byrne, 2005).
Individu dengan fearful attachment memiliki model of self yang negatif
dan model of other yang negatif. Individu dengan fearful attachment sangat
menginginkan menjalin hubungan intim dengan orang lain namun mereka
sangat sulit percaya terhadap orang lain dan bergantung pada orang lain.
Individu juga merasa khawatir jika dirinya akan tersakiti bila menjalin
hubungan intim dengan orang lain (Feeney dan Noller, 1996). Selain itu,
individu dengan fearful attachment memiliki harga diri yang rendah. Individu
tidak mengalami keintiman dan kesenangan dalam interaksi dengan pasangan
romantis yang mereka miliki (Tidwell, Reis, dan Shaver dalam Baron dan
Byrne 2005).
Hazan dan Shaver (1987) mengemukakan bahwa hubungan cinta yang
antara orang tua dan anak-anak. Pola attachment seorang anak dengan orang
tuanya memberikan penjelasan kepada anak mengenai arti sebuah hubungan.
Hubungan yang dibina sejak kecil dengan orang tuanya akan memberikan
pengaruh saat anak membangun hubungan dengan pasangannya di masa
dewasa. Survey yang dilakukan oleh Hazan dan Shaver (1987) mengenai
keterkaitan antara cinta dengan pola attachment, mendapatkan hasil pola
attachment pada masa kanak-kanak akan berjalan paralel dengan attachment
pada orang dewasa (adult attachment) terutama kelekatan pada hubungan cinta.
Hazan dan Shaver (1987) juga mengungkapkan bahwa bayi dengan
pengasuh utamanya dan pasangan suami istri dalam ikatan pernikahan
memiliki beberapa ciri yang sama, diantaranya keduanya akan merasa aman
ketika yang lain dekat dan responsif, dapat merasakan keintiman secara fisik
dan melakukan kegiatan bersama. Ikatan pernikahan yang dilakukan pada
pasangan suami istri akan mengandung tiga komponen cinta menurut Sternberg
yaitu intimacy, passion dan commitment. Beberapa peneliti melakukan studi
mengenai kaitan attachment dengan komponen cinta Sternberg.
Penelitian yang dilakukan oleh Vebrianingsih (2011), mengenai gaya
kelekatan sebagai prediktor tingkat keintiman dalam hubungan berpacaran
pada individu dewasa awal dengan subjek sebanyak 64 orang didapatkan hasil
bahwa gaya kelekatan aman mampu memprediksi tingkat keintiman dalam
hubungan berpacaran, sedangkan gaya kelekatan terokupasi, gaya kelekatan
takut menghindar dan gaya kelekatan menolak tidak mampu memprediksi
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kelekatan tidak aman dengan
komitmen.
Penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2014) mengenai hubungan
antara kelekatan tidak aman dan komitmen pada wanita dewasa awal yang
berpacaran di Yogyakarta dengan subjek sebanyak 203 orang mendapatkan
hasil bahwa ada hubungan antara kelekatan tidak aman dan komitmen pada
wanita dewasa awal yang berpacaran di Yogyakarta. Individu pada masa
dewasa mempunyai tugas perkembangan untuk menjalin hubungan romantis
melalui tahap berpacaran sebelum masuk ke dalam tahap pernikahan.
Penelitian yang dilakukan oleh Marasabessy (2012) mengenai perbedaan
cinta berdasarkan teori segitiga cinta Sternberg antara wanita dengan pria masa
dewasa awal dengan 60 subjek (30 pria dan 30 wanita) dihasilkan bahwa tidak
ada perbedaan intimacy secara signifikan antara pria dan wanita, dan ada
perbedaan passion dan commitment secara signifikan antara pria dan wanita
pada dewasa awal. Hasil penelitian ditemukan bahwa passion dan commitment
pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita. Peneliti menyarankan untuk
menambahkan variabel yang berkaitan dengan cinta seperti pacaran jarak jauh.
Penelitian sebelumnya meneliti mengenai tingkat intimacy dan hubungan
komitmen dengan kelekatan pada hubungan berpacaran. Setelah individu
menjalani proses berpacaran, mereka akan melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Melihat banyaknya dewasa awal yang sudah menikah dan mengambil
keputusan untuk menjalani pernikahan jarak jauh untuk mengejar karier,
jauh karena komponen pasiion tidak dapat dipenuhi setiap saat oleh pasangan.
Sejauh ini komponen passion belum banyak diteliti. Padahal terdapat
dampak tertentu bila passion sebagai salah satu komponen cinta diabaikan
seperti perselingkuhan. Disaat yang bersamaan, perselingkuan juga rentan
dialami oleh pasangan yang menjalani pernikahan jarak jauh. Berdasarkan
hal-hal tersebut maka peneliti ingin mengetahui attachment sebagai prediktor
tingkat passion pada dewasa awal yang menikah dan manjalani pernikahan
jarak jauh.
B. Rumusan Masalah
Apakah secure attachment, preoccupied attachment, dismissing
attachment dan avoidant fearfull attachment dapat menjadi prediktor bagi
tingkat passion pada dewasa awal yang menjalani pernikahan jarak jauh ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat passion pada dewasa awal
yang menjalani pernikahan jarak jauh berdasarkan secure attachment,
preoccupied attachment, dismissing attachment dan avoidant fearfull
attachment.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan di
bidang Pskologi Sosial dan Psikologi Perkembangan, khususnya mengenai
attachment dan passion pada dewasa awal yang menjalani pernikahan jarak
2. Manfaat Praktis
a. Bagi subyek yang menjalani pernikahan jarak jauh
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah subyek mengetahui gaya
attachment yang dapat mendukung peningkatan passion dalam
menjalankan pernikahan jarak jauh.
b. Bagi yang akan menjalani pernikahan jarak jauh
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan evaluasi
bagi individu yang menjalani pernikahan jarak jauh sehingga mereka dapat
memahami gaya attachment yang mereka miliki dan dapat menjaga
hubungan pernikahan jarak jauh dengan pasangan, dengan melihat tingkat
14
BAB II
DASAR TEORI
A.Attachment
1. Definisi attachment
Attachment mengacu pada relasi antara dua orang yang memiliki
perasaan kuat satu sama lain dan melakukan banyak hal unttuk
mempertahankan relasinya. Dalam bahasa psikologi perkembangan,
attachment adalah adanya relasi antara figur sosial dengan dengan fenomena
yang dianggap mencerminkan karakteristik yang baik. Dalam psikologi
perkembangan, figur sosial yang dimaksud adalah bayi dengan seseorang
atau pengasuhnya dan fenomenanya adalah ikatan yang terjalin diantara
mereka (Bowlby dalam Santrock 1995). Attachment atau kelekatan
merupakan ikatan emosional yang kuat antara bayi dengan pengasuhnya.
Responsifitas, kepedulian dan keberadaan figur attachment merupakan
gagasan yang membentuk internal working model. Internal working model
adalah representasi mental yang meliputi pengetahuan mengenai relasi
dengan figur attachment, seperti penolakan dan penerimaan yang dimiliki
melalui hubungan sehari-hari dengan ibunya yang kemudian mempengaruhi
cara pandang terhadap diri (self) dan figur attachment (other) (Feeney dan
Noller, 1996).
Menurut Papalia dan Feldman (2014), attachment adalah timbal
balik, ikatan emosional yang bertahan antara infant dengan pengasuhnya
dengan individu dengan mengutamakan responsifitas dan kepedulian dari
figur attachment (Kail dan Cavanaugh, 2010).
Bowlby (1991) menjelaskan bahwa attachment merupakan suatu
proses yang akan dijalani oleh setiap individu sejak lahir sampai meninggal.
Bowlby juga menjelaskan bahwa attachment dapat berkembang selama
masa dewasa. Ikatan emosional antara anak dan pengasuhnya memiliki
ikatan emosional yang sama pada individu dewasa yang menjalin hubungan
romantis (Hazan dan Shaver, 1987). Hal ini diperkuat dengan penelitian
yang dilakukan Crowell dkk. (2002) bahwa attachment yang dibentuk pada
masa anak-anak akan stabil pada individu dewasa yang sudah menikah.
Hubungan romantis pada masa dewasa awal merupakan proses attachment
atau proses dekat dengan orang lain. Setiap individu memiliki proses yang
berbeda-beda karena setiap individu memiliki sejarah pembentukan
attachment yang bervariasi.
Menurut Hazan dan Shaver (Anindyadjati dkk, 2006)
mengungkapkan bahwa anak dan pengasuh memiliki ciri-ciri yang sama
dengan pasangan suami istri. Ciri-ciri tersebut antara lain keduanya merasa
aman ketika yang lain dekat dan responsif dan merasa tidak aman jika
pasangan/pengasuh tidak responsif, keduanya dapat merasakan keintiman
secara fisik dan keduanya melakukan kegiatan bersama.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa attachment pada dewasa awal adalah relasi antara dua orang yang
banyak hal unttuk mempertahankan dan menjaga kualitas relasinya dalam
hubungan romantis merasakan keintiman secara fisik dan keduanya
melakukan kegiatan bersama. Relasi yang dijalin akan membentuk skema
kognitif yang mempengaruhi cara pandang terhadap diri dan orang lain.
2. Aspek attachment
Menurut Armsden dan Greenberg (1987), terdapat 3 aspek dalam
membentuk attachment. 3 aspek tersebut adalah :
a. Komunikasi
Komunikasi yang dijalin antara individu dengan figur attachment
akan membentuk ikatan emosional yang kuat antara individu dengan figur
attachment (Barrocas, 2012). Individu yang memiliki tingkat komunikasi
yang tinggi pada saat bayi dengan figur attachment menganggap bahwa
komunikasi komponen yang penting untuk mengkomunikasikan kebutuhan
dan tujuannya dalam menjalin hubungan intim (Feeney dan Noller, 1996)
b. Kepercayaan
Kepercayaan dibangun oleh individu melalui hubungan yang
dijalin dengan figur attachment melalui proses belajar bahwa figur
attachment secara kosisten selalu ada dan responsif dalam memenuhi
kebutuhan mereka (Barrocas, 2012). Kepercayaan dapat didefinisikan
sebagai perasaan yang aman dan keyakinan bahwa orang lain akan
memenuhi kebutuhan. Kepercayaan merupakan hasil dari relasi yang sangat
kuat dengan pasangan. Relasi yang dimaksud adalah relasi yang dijalin oleh
lain (Collins dan Repinsky dalam Barrocas 2012). Kualitas dalam suatu
hubungan dapat dicirikan dengan adanya keterbukaan dan saling percaya
(Noller dalam Barrocas 2012).
c. Alienasi
Alienasi adalah rasa terasing, penghindaran dan penolakan dari
figur attachment. Perasaan ini akan muncul ketika figur attachment tidak
ada saat individu membutuhkan (Barrocas, 2012). Pengalaman alienasi
membuat individu tidak mampu mengkomunikasikan kebutuhan dan tujuan
dalam menjalani hubungan intim. Setiap jenis attachment memiliki tingkat
alienasi yang berbeda, pada secure attachment tingkat alienasi tergolong
rendah karena figur attachment yang responsif dan tepat dalam memberikan
kebutuhan. Pada preoccupied attachment, dismissing attachment dan
avoidant fearfull attachment tingkat alienasi cukup tinggi karena sifat figur
attachment yang tidak konsisten dan tidak tepat dalam pemenuhan
kebutuhan serta tidak responsif dan sifat penolakan dari figur attachment.
3. Proses pembentukan attachment
Menurut Papalia dan Feldman (2014), attachment adalah timbal balik,
ikatan emosional yang bertahan antara infant dengan pengasuhnya dan mereka
saling berkontribusi pada kualitas hubungan yang dijalin. Attachment terbentuk
dari relasi dengan individu dengan mengutamakan responsifitas dan kepedulian
figur attachment (Kail dan Cavanaugh, 2010). Selain itu, keberadaan figur
attachment juga sangat diperlukan dalam pembentukan attachment. Jika orang
anak akan mengembangkan internal working memory dan relasi yang positif
serta dapat mengeksplorasi lingkungan dengan percaya diri (Feeney dan
Noller, 1996). Responsifitas, kepedulian dan keberadaan figur attachment
merupakan gagasan yang membentuk internal working model. Internal
working model adalah representasi mental yang meliputi pengetahuan
mengenai relasi dengan figur attachment, seperti penolakan dan penerimaan
yang dimiliki melalui hubungan sehari-hari dengan ibunya yang kemudian
mempengaruhi cara pandang terhadap diri (self) dan figur attachment (other)
(Feeney dan Noller, 1996). Bartholowmew dan Horowitz (1991)
mengembangkan internal working memory sebagai representasi mental diri
(model of self) dan representasi mental akan orang lain (model of others) pada
attachment di masa dewasa awal. Representasi mental akan diri merupakan
pandangan individu terhadap dirinya sendiri yang menghasilkan gambarn
penilaian mengenai berharganya diri individu tersebut. Representasi mental
akan orang lain merupakan pandangan terhadap orang lain yang menghasilkan
gambaran penilaian mengenai seberapa orang lain dapat dipercaya dan dapat
memberikan dukungan dan perlindungan yang dibutuhkan.
Bartholomew (dalam Feeney dan Noller, 1996) mengemukakan bahwa
model of self dan model of others dapat dikombinasikan untuk memberikan
definisi pada empat gaya attachment pada individu dewasa. Oleh sebab itu,
empat gaya attachment pada individu dewasa didasari oleh dua dimensi yaitu
obyek dari mental models (self dan other) dan perasaan tentang obyek tersebut
individu agar diterima sehingga mampu menjalin relasi, sedangkan representasi
mental diri yang negatif mengharapkan bahwa orang lain akan merespon
dirinya secara negatif seperti tidak diterima sehingga cukup sulit menjalin
relasi. Representasi mental akan orang lain yang positif mengakibatkan
harapan yang positif kepada orang lain, misalnya kepercayaan. Representasi
mental akan orang lain yang negatif mengakibatkan harapan yang negatif
kepada orang lain, misalnya ketidakpercayaan (Bartholomew dan Horowitz,
1991).
Individu dengan secure attachment memiliki model of self dan model of
other positif. Individu dengan preoccupied attachment memiliki model of self
yang negatif dan model of other yang positif. Individu dengan dismissing
attachment memiliki model of self yang positif dan model of other yang
negatif. Individu dengan fearful attachment memiliki model of self yang
negatif dan model of other yang negatif (Bartholomew dan Horowitz, 1991).
Berikut merupakan tabel adult attachment :
Model of self
Positif Negatif
Positif
Secure attachment Preoccupied attachment
Model of other
Dismissing attachment Avoidant fearfull attachment
Negatif
4. Faktor dan kondisi pembentuk attachment
Menurut Papalia, dkk (2009) terdapat dua faktor yang mempengaruhi
pembentukan attachment. Faktor-faktor tersebut adalah
a. Sesitivitas figur
Sensivitas figur dapat diartikan sebagai kepekaan figur kelekatan terhadap
kebutuhan-kebutuhan individu. Selain itu, sensitivitas figur dapat diartikan
pula sebagai sejauh mana figur kelekatan mengetahui kebutuhan-kebutuhan
individu.
b. Responsivitas figur
Responsitivitas figur dapat diartikan sebagai cara figur kelekatan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu. Dalam hal ini, sangat diperlukan
responsivitas figur kelekatan. Respon figur kelekatan diharapkan mampu
merespon indvidu sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan.
Pikunas (dalam Ervika, 2005) menyatakan bahwa gaya kelekatan
dapat dibentuk dalam beberapa kondisi. Kondisi yang membentuk kelekatan
adalah
a. Pengasuh individu
Kelekatan akan timbul jika adanya interaksi antara individu dengan
orang dewasa sebagai figur lekat. Interaksi yang terjadi antara individu
dengan orang dewasa harus bersifat intensif. Dalam penelitian ini,
interaksi berlangsung antara individu dengan pasangannya. Menurut
bahwa anak dan pengasuh memiliki ciri-ciri yang sama dengan pasangan
suami istri. Ciri-ciri tersebut antara lain keduanya merasa aman ketika
yang lain dekat dan responsif dan merasa tidak aman jika
pasangan/pengasuh tidak responsif, keduanya dapat merasakan
keintiman secara fisik dan keduanya melakukan kegiatan bersama.
b. Komposisi keluarga
Individu memiliki kemungkinan untuk memilih anggota keluarga
atau orang-orang terdekatnya untuk dijadikan figur kelekatan. Figur
kelekatan yang akan dipilih adalah individu yang mampu responsif
terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Dalam penelitian ini, figur kelekatan
yang utama adalah pasangan hidup. Namun tidak menutup kemungkinan
pula figur kelekatannya adalah orang lain. Menurut Baldwin dan Holmes
(dalam Calhoun dan Acocella, 1995) yang dimaksud orang lain adalah
orang tua, teman sebaya, saudara, dan masyarakat.
5. Jenis-jenis attachment
Bartholomew (dalam Feeney dan Noller, 1996) mengemukakan bahwa
model of self dan model of others dapat dikombinasikan untuk memberikan
definisi pada empat gaya attachment pada individu dewasa. Oleh sebab itu,
empat gaya attachment pada individu dewasa didasari oleh dua dimensi yaitu
obyek dari mental models (self dan other) dan perasaan tentang obyek tersebut
(positif dan negatif). Berikut macam-macam gaya attachment yang diuraikan
a. Secure attachment (gaya kelekatan aman)
Individu dengan secure attachment memiliki model of self dan
model of other positif. Individu dengan secure attachment memiliki harga
diri yang tinggi. Individu memiliki gambaran positif terhadap orang lain
sehingga ia mudah mencari kedekatan interpersonal dan merasa nyaman
dalam hubungan yang mereka jalin (Baron dan Byrne, 2005). Hubungan
yang dijalani oleh individu secure attachment cenderung lama, dengan
komitmen dan memuaskan (Shaver dan Brennan dalam Baron dan Byrne,
2005). Menurut Mikulincer (dalam Baron dan Byrne, 2005), individu
dengan secure attachment tidak mudah marah, tidak ingin bermusuhan
dengan orang lain dan mengharapkan hasil yang positif dari konflik.
Individu dengan secure attachment tidak mudah bergantung dan tidak ingin
menghindar. Selain itu, individu juga memiliki sikap kelayakan diri dan
harapan bahwa orang lain dapat menerima dan responsif (Bartholomew dan
Horowitz, 1991).
Dalam hal seksualitas, Hazan et. al (1994) dalam Shaver dan
Schachner (2004) menyatakan bahwa individu dengan secure attachment
terbuka terhadap pengalaman seksual dan menikmati berbagai aktivitas
seksual. Individu juga menikmati kontak fisik dengan pasangannya. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Bogaert dan Sadava (2002) didapatkan hasil
bahwa individu dengan secure attachment memiliki daya tarik fisik yang
tinggi. Selain itu, individu dengan secure attachment cenderung melakukan
Dalam menjalin hubungan interpersonal, individu dengan secure
attachment akan mudah untuk dekat dengan orang lain. Selain itu, individu
juga tidak khawatir jika orang lain dekat dengan mereka dan ketika orang
lain meninggalkan mereka (Shaver, Hazan, and Bradshaw dalam Weber dan
Harvey, 1994). Oleh karena itu, individu dengan secure attachment akan
mudah untuk menjalin komunikasi dengan orang lain, begitu juga dengan
pasangannya. Berkaitan dengan komunikasi seksual, individu dengan secure
attachment mampu menyampaikan mengenai apa yang disukai, tidak
disukai dan keinginan dalam hal seksualitas dengan pasangannya.
b. Preoccupied attachment (gaya kelekatan terpreokupasi)
Individu dengan preoccupied attachment memiliki model of self
yang negatif dan model of other yang positif. Individu memiliki
pandangan yang negatif tentang dirinya sendiri namun memiliki harapan
yang positif bahwa orang lain akan mencintai dan menerima (Baron dan
Byrne, 2005). Individu dengan preoccupied attachment memiliki
ketergantungan yang tinggi dengan pasangannya dan mencari kedekatan
dalam hubungan. Hal ini dikarenakan individu dengan preoccupied
attachment memiliki rasa malu karena merasa “tidak pantas” menerima
cinta dari orang lain dan terus berusaha untuk menerima keadaan dirinya
(Lopez dkk, dalam Baron dan Byrne, 2005).
Individu dengan preoccupied attachment merasa nyaman dengan
kedekatan dan sangat cemas akan keberlangsungan hubungannya
terjadinya depresi karena individu memiliki kebutuhan untuk dicintai
(Baron dan Byrne, 2005). Oleh karena itu, individu dengan preoccupied
attachment cenderung bergantung dengan orang lain terutama dengan
pasangannya. Individu dengan preocuupied attachment memiliki sikap
ketidaklayakan diri, namun individu memandang orang lain positif
(Bartholomew dan Horowitz, 1991).
Saat menjalin hubungan interpersonal, individu dengan
preoccupied attachment selalu merasa cemas jika pasangannya tidak
benar-benar mencintainya atau individu ingin terus bersama dengan
pasangan mereka. Individu sering diliputi rasa cemburu dan emosi yang
tidak menentu. Pasangan individu dengan preoccupied attachment sering
merasa enggan karena individu menuntut untuk selalu dekat dengan
pasangannya (Shaver, Hazan, dan Bradshaw dalam Weber dan Harvey,
1994). Berkaitan dengan seksualitas, individu dengan preoccupied
attachment memiliki ketakutan atau kecemasan mengenai daya tarik fisik
dan seksual terhadap pasangannya. Selain itu, individu juga melakukan
hubungan seksual untuk mempertahankan hubungan (Schachner &
Shaver, 2004). Komunikasi seksual antara individu preoccupied
attachment dengan pasangannya menjadi kurang baik karena individu
sering diliputi emosi yang tidak menetu dan dapat menimbulkan
c. Dismissing attachment (gaya kelekatan menolak)
Individu dengan dismissing attachment memiliki model of self
yang positif dan model of other yang negatif. Individu dengan dismissing
attachment merupakan individu yang mandiri. Individu akan memilih
untuk tidak bergantung pada orang lain dan tidak membiarkan orang lain
untuk bergantung pada dirinya (Feeney dan Noller, 1996). Oleh sebab
itu, individu dengan dismissing attachment akan menghindari hubungan
romantis karena mereka sangat menjaga dirinya dari kekecewaan akan
hubungan romantis, menjaga kualitas kemandirian dengan selalu
mengandalkan dirinya sendiri sehingga tidak mudah disakiti oleh orang
lain (Baron dan Byrne, 2005). Individu dengan dismissing attachment
akan sering mengalami konflik saat menjalin hubungan dengan orang
lain. Hal tersebut dikarenakan individu merasa layak untuk menjalin
hubungan akrab namun tidak mempercayai pasangan.
Berkaitan dengan seksualitas individu dengan dismissing
attachment melakukan hubungan seksual dikarenakan dorongan situasi
sosial, seperti norma sosial dan pengaruh dari orang-orang sekitarnya
(Schachner dan Shaver, 2004). Kualitas komunikasi seksual individu
dengan pasangannya kurang karena individu memiliki sikap tidak
percaya terhadap pasangan yang membuat tidak mampu
mengkomunikasikan mengenai kebutuhan seksualnya. Oleh karena itu,
individu dengan dismissing attachment akan sulit untuk menjalin
langsung dan memilih kontak tidak langsung seperti e-mail (McGowan,
Daniels dan Byrne dalam Baron dan Byrne, 2005).
d. Avoidant-fearful attachment (gaya kelekatan takut-menghindar)
Individu dengan avoidant fearful attachment memiliki model of
self yang negatif dan model of other yang negatif. Individu dengan
avoidant fearful attachment sangat menginginkan menjalin hubungan
intim dengan orang lain namun mereka sangat sulit percaya terhadap
orang lain dan bergantung pada orang lain. Individu juga merasa
khawatir jika dirinya akan tersakiti bila menjalin hubungan intim dengan
orang lain (Feeney dan Noller, 1996). Selain itu, individu dengan
avoidant fearful attachment memiliki harga diri yang rendah. Individu
tidak mengalami keintiman dan kesenangan dalam interaksi dengan
pasangan romantis yang mereka miliki (Tidwell, Reis dan Shaver dalam
Baron dan Byrne 2005). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
individu dengan avoidant fearful attachment adalah individu yang
menginginkan kedekatan dengan orang di sekitarnya namun takut disakiti
atau ditolak oleh orang lain. Sikap menghindari akan muncul sebagai
bentuk dari penolakan dan ketakutan dari orang-orang disekitarnya,
termasuk pasangannya.
Individu dengan avoidant fearful attachment merasa tidak nyaman
saat menjalin kedekatan dengan orang lain dan sulit mempercayai orang
lain sepenuhnya (Shaver, Hazan dan Bradshaw dalam Weber dan
fearfull attachment akan melakukan hubungan seksual karena merasa
takut ditinggalkan olrh pasangannya. Selain itu, kualitas komunikasi
seksual dengan pasangan kurang baik karena rasa tidak percaya terhadap
pasangannya. Oleh karena itu, individu akan menghindari hubungan
interpersonal dengan pasangannya sehingga komunikasi tidak berjalan
dengan baik.
B.Passion
1. Definisi passion
Passion juga merupakan dorongan yang dicirikan dengan
physiological arousal dan keinginan untuk bersama dengan individu lain
(Baumeister dan Bratslavsky, 1999). Physiological arousal
dimanifestasikan dalam daya tarik fisik dan seksual, komunikasi seksual,
pemenuhan kebutuhan seksual dan fenomena lain yang berkaitan dalam
hubungan cinta atau relasi romantis (Sternberg, 1997). Selain itu, Ratelle
(dalam Carbonneau dan Vallerand, 2013) mendefinisikan romantic passion
merupakan kecenderungan yang kuat untuk menginvestasikan waktu dan
energi kepada pasangan atau orang yang memiliki hubungan penting dengan
individu tersebut.
Passion menekankan pada intensnya perasaan yang muncul dari
daya tarik fisik dan daya tarik seksual. Individu akan mengalami
ketertarikan fisik secara nyata, selalu memikirkan orang yang dicintainya
sepanjang waktu, melakukan kontak mata yang intens saat bertemu,
mengalami perasaan sejahtera, ingin selalu bersama yang dicintai, memiliki
energi yang besar untuk melakukan sesuatu demi pasangan mereka
(Wisnuwardhani dan Mashoedi, 2012). Passion diartikan juga sebagai
elemen fisiologis yang menyebabkan individu ingin dekat secara fisik,
menikmati atau merasakan sentuhan fisik serta melakukan hubungan
seksual dengan pasangan hidupnya. Passion meliputi sentuhan fisik,
berpegangan tangan, merangkul, memeluk, mencium atau berhubungan
seksual (Dariyo, 2003).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, passion merupakan suatu
emosi, perasaan yang intens dan elemen fisiologis yang dialami individu ,
yang dikarakteristikan dengan phsychological arousal dan
menginvestasikan waktu dan energi untuk bersama dengan individu lain.
Phsychological arousal dimanifestasikan dalam daya tarik fisik dan seksual,
komunikasi seksual, perilaku seksual dan pemenuhan kebutuhan seksual
lainnya.
2. Faktor yang mempengaruhi passion
a. Emosi
Emosi merupakan perasaan atau afeksi yang dapat melibatkan
rangsangan fisiologis, pengalaman sadar dan mengekspresikan perilaku.
Menurut pendekatan dua dimensi, emosi diklasifikasikan dalam dua
dimensi besar yaitu afek negatif yang merujuk pada emosi negatif dan afek
positif yang merujuk pada emosi positif (King, 2010). Beberapa studi
kesenangan erotis atau kesenangan lainnya merupakan emosi positif yang
dapat meningkatkan passion. Sedangkan pengalaman yang tidak
menyenangkan, kecemasan, ketakutan, kemarahan, malu, cemburu,
kesendirian dan kesedihan merupakan emosi negatif yang dapat
memperendah tingkat passion (dalam Hatfield dan Rapson, 1987).
b. Gender
Baumeister dan Bratslavsky (1999) menyatakan bahwa gender
mempengaruhi passion pada individu. Laki-laki memiliki emosi yang
lebih reaktif dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan
laki-laki memiliki tingkat passion yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan (Baumeister dan Bratslavsky, 1999; Sumter, Valkenburg &
Peter 2013).
c. Usia
Penelitian yang dilakukan Sumter, Valkenburg dan Peter (2013)
mengenai persepsi komponen cinta sepanjang masa hidup diperoleh hasil
bahwa individu pada tahap dewasa muda memiliki tingkat passion yang
lebih tinggi dan individu pada tahap remaja awal memiliki tingkat passion
yang lebih rendah.
d. Kualitas komunikasi
Kualitas komunikasi berkaitan dengan kualitas waktu yang
digunakan dalam menjalin hubungan pernikahan. Kualitas waktu
didefinisikan sebagai waktu yang fokus dan tidak terputus dengan
memberikan kesempatan untuk melakukan percakapan dan melakukan
aktivitas bersama yang bermanfaat. Penelitian yang dilakukan oleh
Aronson dan Linder (1965 dalam Baumeister dan Bratslavsky 1999)
menunjukkan bahwa passion dihasilkan dari komunikasi untuk
mengevaluasi dan mengenal dekat orang lain.
Komunikasi yang efektif pada pasangan akan mengurangi kesalah
pahaman, menurunkan tingkat frustasi dan meningkatkan kepuasan seksual
dan gairah / passion dalam hubungan. Komunikasi dilakukan untuk
menyampaikan apa yang diinginkan dan dibutuhkan pasangan termasuk
dalam hal seksualitas(Ratus dkk, 2008).
3. Aspek passion
Beberapa tokoh mendefinisikan bahwa passion merupakan suatu emosi
yang dicirikan dengan physiological arousal dan keinginan untuk bersama
dengan individu lain (Baumeister dan Bratslavsky, 1999). Physiological
arousal dimanifestasikan dalam daya tarik fisik dan seksual, komunikasi
seksual, pemenuhan kebutuhan seksual dan fenomena lain yang berkaitan
dalam hubungan cinta atau relasi romantis (Sternberg, 1997). Selain itu,
menurut Baumeister dan Bratslavsky (1999) menjelaskan bahwa perilaku
seksual dan ekstraversi merupakan aspek dari passion. Dari beberapa
pengertian tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa daya tarik fisik, daya
tarik seksual, komunikasi seksual dan ekstraversi merupakan aspek yang
a. Daya tarik fisik
Daya tarik fisik adalah kombinasi karakteristik wajah dan tubuh
yang dilihat sebagai satu kesatuan yang menarik (Baron dan Byrne, 1997).
Dalam survei internet BBC di seluruh dunia, laki-laki akan menilai bahwa
daya tarik fisik pasangan merupakan hal yang penting sedangkan
perempuan lebih menilai bahwa kejujuran, rasa humor, dan kebaikan lebih
penting (Lippa dalam Myers, 2012). Beberapa penelitian menemukan
bahwa daya tarik fisik merupakan penentu utama dalam daya tarik seksual
(Langlois dkk dalam Ratus dkk, 2008). Baumeister dan Bratslavsky (1999)
mengatakan bahwa ketertarikan yang kuat pada individu dapat membentuk
passion.
b. Daya tarik seksual
Daya tarik seksual merupakan perpaduan antara wajah dan tubuh
yang dapat memunculkan gairah pada individu (Ratusdkk,2008). Berbagai
penelitian telah membandingkan faktor yang mempengaruhi daya tarik
seksual dengan daya tarik lainnya memiliki kesamaan. Nevid (dalam
Sprecher dan McKinney 1993) menjelaskan bahwa ciri-ciri fisik,
karakteristik demografis dan kualitas personal kedalam dua tipe relasi
yaitu sebagai relasi seksual dan relasi jangka panjang yang bermakna.
Laki-laki dan perempuan menyatakan bahwa karakteristik personal lebih
penting dibandingkan karakteristik fisik dalam dalam relasi jangka panjang
yang bermakna. Disisi lain, laki-laki lebih mementingkan ciri-ciri fisik di