• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orientalisme timur atas timur wacana `Pembangunan` dalam program transmigrasi pemerintah orde baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Orientalisme timur atas timur wacana `Pembangunan` dalam program transmigrasi pemerintah orde baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat."

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)

vi ABSTRAK

Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dilakukan oleh orang Barat terhadap orang-orang Timur. Sebagaimana yang disampaikan oleh Edward W. Said dalam buku

Orientalism, orang-orang Barat selalu merasa diri lebih superior dari orang-orang

Timur yang mereka anggap inferior. Oleh karena itu, ketika bangsa Barat menjajah bangsa Timur, orang-orang Barat tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah orang-orang Timur melainkan orang-orang Barat merasa bahwa mereka telah membantu orang-orang Timur untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Dengan demikian, muncul anggapan bahwa orang-orang Timur tidak akan mampu menjalankan pemerintahannya dengan baik tanpa bantuan orang-orang Barat.

Bertolak dari kesadaran itu, penelitian ini berusaha melihat bagaimana orientalisme di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakolonial dengan fokus pada wacana pembangunan yang dibawa oleh pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan program transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Untuk melihat apakah kasus transmigrasi yang berlangsung di Melawi serupa dengan orientalisme yang terjadi di Timur Tengah, penelitian tesis ini menggunakan teori Orientalisme Edward Said. Dengan menggunakan teori orientalisme akan diketahui bagaimana cara pandang Barat dalam menilai Timur, juga digunakan oleh orang Timur untuk menilai sesama orang Timur.

Hasil penelitian tesis ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, Orientalisme itu tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia seperti Indonesia. Kedua, orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial lebih buruk lagi karena baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang Timur. Ketiga, berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa Orde Baru, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan di Melawi.

Kata Kunci: Orientalisme, Kolonialisme, Berlanjutnya Kolonialisme, Pemerintah

Orde Baru, Pembangunan, Program Transmigrasi.

(2)

vii ABSTRACT

The fundamental assumption in this thesis is that the orientalism happened in the Middle-East countries is done by the people of the West to the people in the East. As stated by Edward W. Said in Orientalism, the West always considers themselves as superior to the East. Therefore, when the West colonized the East, they believed that they were assisting the East to build their own government. As a result, a condition where the East is believed would not be able to administer its own government without the help from the West emerges.

Based on this understanding, this thesis would like to investigate how the orientalism in Indonesia keeps on going in the postcolonial era in the context of transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province by promoting the development discourse. In order to examine whether the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province is similar to the orientalism in the Middle-East, thus this thesis uses Edward Said’s Orientalism theory. This theory will lead us to the reality in the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province that the way the West perceived the East is also used by the East to perceive the East.

This thesis draws some conclusions. First, Orientalism is not only happens in the Middle-East, but also in Asia such as Indonesia. Second, Orientalism in postcolonial Indonesia is even worse since either the perpetrators or the victims are Indonesian (the East). Third, the continuity of colonialism in Indonesia under the New Order regime is reflected in the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province.

(3)

i

ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR

WACANA “PEMBANGUNAN” DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI,

KALIMANTAN BARAT

TESIS

Dibuat Sebagai Persyaratan Untuk Mendapat Gelar Magister Humaniora

(M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Disusun Oleh Septian Peterianus

126322001

MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Septian Peterianus.

Nomor Mahasiswa : 126322001

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR

WACANA “PEMBANGUNAN” DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI, KALIMANTAN

BARAT

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 15 Januari 2015 Yang menyatakan

(5)
(6)
(7)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Septian Peterianus

Nim : 126322001

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi kepentingan ilmu pengetahuan, saya menyerahkan sepenuhnya kepada pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR: WACANA “PEMBANGUNAN”

DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI, KALIMANTAN BARAT

Untuk menyimpan, menggunakan, serta mempublikasikan karya tesis ini demi kepentingan akademis tanpa harus meminta ijin maupun memberi royalti selama tetap mencantumkan nama penulis aslinya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, 15 Januari 2015

Hormat saya

(8)

vi

ABSTRAK

Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dilakukan oleh orang Barat terhadap orang-orang Timur. Sebagaimana yang disampaikan oleh Edward W. Said dalam buku

Orientalism, orang-orang Barat selalu merasa diri lebih superior dari orang-orang

Timur yang mereka anggap inferior. Oleh karena itu, ketika bangsa Barat menjajah bangsa Timur, orang-orang Barat tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah orang-orang Timur melainkan orang-orang Barat merasa bahwa mereka telah membantu orang-orang Timur untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Dengan demikian, muncul anggapan bahwa orang-orang Timur tidak akan mampu menjalankan pemerintahannya dengan baik tanpa bantuan orang-orang Barat.

Bertolak dari kesadaran itu, penelitian ini berusaha melihat bagaimana orientalisme di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakolonial dengan fokus pada wacana pembangunan yang dibawa oleh pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan program transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Untuk melihat apakah kasus transmigrasi yang berlangsung di Melawi serupa dengan orientalisme yang terjadi di Timur Tengah, penelitian tesis ini menggunakan teori Orientalisme Edward Said. Dengan menggunakan teori orientalisme akan diketahui bagaimana cara pandang Barat dalam menilai Timur, juga digunakan oleh orang Timur untuk menilai sesama orang Timur.

Hasil penelitian tesis ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, Orientalisme itu tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia seperti Indonesia. Kedua, orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial lebih buruk lagi karena baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang Timur. Ketiga, berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa Orde Baru, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan di Melawi.

Kata Kunci: Orientalisme, Kolonialisme, Berlanjutnya Kolonialisme, Pemerintah

Orde Baru, Pembangunan, Program Transmigrasi.

(9)

vii

ABSTRACT

The fundamental assumption in this thesis is that the orientalism happened in the Middle-East countries is done by the people of the West to the people in the East. As stated by Edward W. Said in Orientalism, the West always considers themselves as superior to the East. Therefore, when the West colonized the East, they believed that they were assisting the East to build their own government. As a result, a condition where the East is believed would not be able to administer its own government without the help from the West emerges.

Based on this understanding, this thesis would like to investigate how the orientalism in Indonesia keeps on going in the postcolonial era in the context of transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province by promoting the development discourse. In order to examine whether the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province is similar to the orientalism in the Middle-East, thus this thesis uses Edward Said’s Orientalism theory. This theory will lead us to the reality in the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province that the way the West perceived the East is also used by the East to perceive the East.

This thesis draws some conclusions. First, Orientalism is not only happens in the Middle-East, but also in Asia such as Indonesia. Second, Orientalism in postcolonial Indonesia is even worse since either the perpetrators or the victims are Indonesian (the East). Third, the continuity of colonialism in Indonesia under the New Order regime is reflected in the transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province.

(10)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

karena berkat dan penyertaannya penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah

ini. Penyertaan Tuhan Yesus dalam kehidupan penulis sungguh luar biasa,

sehingga tidak pernah sekalipun penulis merasa putus asa saat menghadapi cobaan

dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Untuk itu, pada kesempatan yang

berbahagia ini perkenankanlah penulis mengucapkan beribu-ribu terima kasih

kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara materi maupun

moril pada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.

Ucapan terima kasih yang pertama penulis sampaikan kepada seluruh staf

pengajar di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya yang selama ini telah

berjuang keras untuk memberikan ilmu dan mendidik penulis selama menempuh

studi di Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata

Dharma. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Prof. Dr. Agustinus

Supratiknya, Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr. Haryatmoko, S.J., Dr.

Budi Susanto, S.J., Dr. Bagus Laksana, S.J., Dr. Benny Juliawan, S.J, dan kepada

Mbak Desi seketaris IRB.

Secara khusus pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak

terima kepada kedua dosen pembimbing yakni, Dr. FX. Baskara T. Wardaya dan

Dr. Katrin Bandel yang selama ini telah dengan sabar meluangkan waktunya

untuk mendampingi penulis selama proses penyelesaian tesis ini dari awal hingga

(11)

ix Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para narasumber yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama

berlangsungnya proses penelitian di lapangan. Secara khusus penulis

mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhamad Nazarudin yang menjabat

sebagai Kepala Bagian di Dinas Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Selain

itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Geovani Anton

yang menjabat sebgai staf di Dinas Transmigrasi Kabupaten Melawi. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Matius yang menjabat sebagai

Seketaris Desa di SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi.

Selanjutnya tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada para

narasumber lainnya. Pertama, bapak Mahrudin peserta transmigrasi yang berasal

dari kota Jawa Barat. Kedua, bapak Rohim peserta transmigrasi yang berasal dari

kota Malang, Jawa Timur. Ketiga, bapak Siregar yang menjabat sebagai Kepala

Puskesmas di Kecamatan SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi. Keempat,

bapak Yusnono dari Institut Dayakologi kota Pontianak.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa penulis juga

menyampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman IRB angkatan 2012,

yang banyak memberikan masukan maupun tanggapan selama proses penulisan

tesis ini berlangsung. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan pada

Mbak Dwi, Nurani, Mas Saman, Taufik Darwis, Totok, Miko, Om Willy, Mbak

Ajeng, Mas Hendra, Perdinan, Om Rudi, dan Mbak Lani. Besar harapan penulis,

karya tesis ini dapat membantu penulis berpikir lebih kritis untuk menghasilkan

(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul ……….. i

Pernyataan Keaslian Karya ………..... ii

Halaman Pengesahan ……….... iii

Persetujuan Pembimbing ………..... iv

Abstrak ………... v

Abstract ……….. vi

Kata Pengantar ………..... vii

Daftar Isi ……….... viii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A.Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ……….. 12

C.Tujuan Penelitian ...……… 12

D.Pentingnya Penelitian ……… 14

E. Tinjauan Pustaka ……… 14

F. Kerangka Teoritis ……….. 24

F. 1. Teori Orientalisme Edward W. Said ………... 24

F. 2. Orientalisme dan Wacana Kolonial ………... 29

G.Teknik Pengumpulan Data ……….... 35

G. 1. Lokasi Penelitian ………... 35

G. 2. Jenis Penelitian ………... 35

G. 3. Sumber Data ………... 36

G. 4. Teknik Pengumpulan Data ……… 36

H. Sistematika Penulisan ……….... 37

BAB II IDEOLOGI KOLONIAL DI INDONESIA: DULU DAN SEKARANG ……….. 39

A.Orientalisme dalam Sejarah Indonesia ……….. 39

B. Ciri-ciri Orientalisme ………. 47

C.Dilema Orientalisme, Kolonialisme dan Imperalisme ………... 52

D.Kolonialisme dalam Sejarah Indonesia ……….. 56

E. Berlanjutnya Kolonialisme di Indonesia ……… 59

F. Transmigrasi sebagai Kolonialisme Internal ………. 60

G.Pembangunan sebagai Ideologi di Masa Pemerintahan Orde Baru ………... 66

H.Pemerintah Orde Baru dan Pelatihan Pembangunan ………. 69

I. Pembukaan Studi Politik di Indonesia ………... 73

J. Daerah-daerah “Tertinggal” dan Solusi Pembangunan ………. 77

(13)

xi

BAB III BERLANJUTNYA ORIENTALISME DI INDONESIA DAN PROGRAM TRANSMIGRASI ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI,

PROVINSI KALIMANTAN BARAT ……….

81

A.Transmigrasi dalam Sejarah Indonesia ……….. 81

B. Transmigrasi dalam Sejarah Kalimantan Barat ………. 87

C.Transmigrasi dalam Sejarah Kabupaten Melawi ………... 89

D.Orang Dayak dalam Wacana Transmigrasi ………... 91

E. Asal Mula Istilah Dayak ……… 96

F. Penelitian tentang Suku Dayak di Masa Pascakolonial ………. 101

G.Transmigrasi dan Pembangunan Nasional ………. 107

H.Pelatihan untuk Calon Peserta Transmigrasi ………. 110

I. Pembangunan dan “Solusi” Memajukan Daerah-daerah Transmigrasi ……. 113

J. Transmigrasi untuk “Mensejahterakan”……… 116

K. “Maju”-nya Sistem Pertanian Pulau Jawa ………. 119

L. “Buruk”-nya Sistem Pertanian Tradisional ……… 122

M.Catatan Penutup ………. 125

BAB IV PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU SEBAGAI BENTUK ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR …………... 127

A.Kebijakan Transmigrasi Pemerintah Orde Baru dan Orientalisme di Timur Tengah ………... 127

B. Orientalisme dan Kemampuan untuk Menguasai ……….. 131

C.Orientalisme dan Program Transmigrasi di Kabupaten Melawi ….……….. 134

D.Orientalisme di Kabupaten Melawi ………... 136

E. Transmigrasi di Kabupaten Melawi dan Orientalisme Timur atas Timur …. 140 F. Catatan Penutup ………. 146

BAB V PENUTUP ………. 148

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam bukunya Orientalism (1978), Edward W. Said mencoba untuk

mendefinisikan ulang istilah “orientalisme”. Menurut Said, ada tiga pengertian

mengenai orientalisme. Pertama, orientalisme sebagai sebuah bidang studi yang

mempelajari “orient” (Timur)dengan menggunakan kata “orient” (Timur) sebagai

tanda pengenalnya, sebagaimana sering dilakukan oleh para akademisi Barat

dalam mempelajari seputar dunia ketimuran. Kedua, orientalisme sebagai suatu

gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologi dan epistemologi antara

“Timur” dan (hampir selalu) “Barat”. Pengertian ini digunakan oleh orang-orang

dari berbagai kalangan, seperti para satrawan, filsuf, dan sebagainya. Ketiga,

orientalisme sebagai sebuah wacana dalam artian Foucauldian.1

Untuk memberi batasan mengenai kajian orientalisme, Said dalam buku

Orientalism mengambil konteks abad kedelapan belas sebagai suatu batasan

kajiannya. Menurut Said, orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai suatu

lembaga hukum (corporate institution) yang menangani permasalahan dunia

Timur. Dalam pandangan Said, berurusan dengan dunia Timur berarti juga

membuat istilah-istilah tentang Timur, menguasai cara pandangnya, dan

mendeskripsikannya dengan jalan mengajarinya, menempatinya, dan

(15)

mengaturnya. Dengan kata lain, orientalisme merupakan gaya Barat untuk

mendominasi, menata kembali, dan menguasai dunia Timur.2

Melalui buku Orientalism, Said ingin menunjukkan bagaimana budaya

Eropa mampu mendapatkan kekuatan dan identitasnya dengan cara menempatkan

diri mereka berhadapan dengan dunia Timur sebagai semacam wali atau

pelindung, bahkan sebagai “diri” (the self) yang tersembunyi.3 Dalam hal ini Barat

mendefinisikan diri dengan memposisikan dirinya berhadapan dengan Timur dan

menjelaskan bahwa Barat tidak seperti Timur. Barat juga mempersepsikan Timur

sebagai wujud dari sisi diri Barat yang tersembunyi. Dalam artian ini, orang-orang

Barat pada satu sisi juga merasa punya sisi “irasional” dan spiritual, namun hal

tersebut disembunyikan dan diposisikan berada di luar diri orang-orang Barat.

Said menunjukkan bahwa orientalisme yang merupakan suatu bidang kajian

mengenai dunia ketimuran ternyata bersumber dari keberadaan orang-orang

Inggris dan Prancis yang telah memiliki hubungan khusus dengan dunia Timur,

terutama India dan tanah injili sebelum awal abad XIX. Sejak awal abad XIX,

Inggris dan Prancis mendominasi dunia Timur. Akan tetapi, sesudah berakhirnya

Perang Dunia II dominasi tersebut diambil alih oleh Amerika Serikat dengan

melakukan pendekatan terhadap dunia Timur seperti yang pernah dilakukan oleh

Inggris dan Prancis. Namun, pendekatan yang digunakan AS lebih bersifat

akademis.

Said mengawali uraiannya tentang orientalisme dengan mengacu pada

asumsi dasar bahwa dunia Timur bukanlah sebuah fakta alam yang bersifat statis.

(16)

Dunia Timur tidak mata hadir seperti halnya Barat yang juga tidak

semata-mata ada.4 Oleh karena itu, untuk dapat memahami hal tersebut, Said lalu

mempelajari pernyataan Vico yang mengatakan bahwa manusia mengukir dan

menciptakan sejarahnya sendiri, bahwa apapun yang bisa manusia ketahui

merupakan sesuatu yang telah mereka ciptakan.5 Menurut Said jika pernyataan

Vico ditarik dalam konteks yang lebih luas, misalnya dalam konteks geografi,

maka dapat dipahami bahwa menurut Vico setiap manusia menciptakan lokalitas,

wilayah, serta tempat-tempat geografisnya sendiri. Misalnya, saat mereka

menciptakan “Barat” dan “Timur” merupakan konsekuensi dari faktor geografis,

kultural, dan historis.

Untuk dapat memahami Orientalisme secara utuh, menurut Said, ada tiga

pengertian (hal), yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, sangatlah keliru

jika menyimpulkan bahwa dunia Timur pada dasarnya merupakan sebuah ide atau

gagasan imajiner yang tidak memiliki realitas. Kedua, bahwa semua ide-ide,

kebudayaan, hingga sejarah tidak mungkin mampu dipelajari dan dipahami secara

sungguh-sungguh tanpa mempelajari kekuatan atau lebih tepatnya pembentukan

dari kekuasaan itu sendiri. Ketiga, jangan pernah beranggapan bahwa struktur

orientalisme tidak lebih dari struktur kebohongan atau merupakan mitos belaka,

yang jika kebenaran tentangnya diungkapkan maka dengan mudah akan

menghilang. Said meyakini bahwa orientalisme secara khusus lebih bermakna

sebagai suatu tanda kekuasaan Atlantik-Eropa atas dunia Timur daripada sebagai

4 Edward W. Said, hal. 4-5

(17)

sebuah wacana murni dan jujur mengenai Timur (seperti yang sering dituduhkan,

baik dalam karya akademis maupun kesarjanaan).6

Said dalam buku yang sama mengatakan bahwa tujuan dari penulisan buku

Orientalism adalah untuk menunjukkan bahwa orientalisme yang terjadi secara

sistematis tersebut merupakan bagian dari wacana kolonial. Dengan kata lain,

orientalisme mendukung kolonialisme Eropa. Begitupun sebaliknya, kolonialisme

Eropa atas negara-negara jajahan tidak akan terwujud tanpa dukungan

orientalisme. Dengan demikian, Said ingin mengatakan bahwa pada dasarnya

orientalisme dan kolonialisme itu sama-sama merupakan cara Barat untuk

menegaskan kekuasaan kolonialnya atas negara-negara yang menjadi wilayah

kekuasaan Barat.

Orientalisme sebagai sebuah gagasan memberikan gambaran tentang sosok

Barat yang dianggap lebih superior dari Timur yang dianggap inferior. Melalui

orientalisme, Barat berusaha untuk melegitimasi kekuasaannya atas dunia Timur

dengan cara menguasai dunia Timur melalui ilmu pengetahuan yang telah

diproduksi ulang oleh para intelektual Barat. Menurut Said, produksi ilmu

pengetahuan Barat atas Timur dapat dengan mudah ditemukan dalam

naskah-naskah literer dan buku-buku orientalis yang menggambarkan adanya perbedaan

nyata antara dunia Barat dengan dunia Timur.

Dalam pandangan Said, melalui reproduksi ilmu pengetahuan orang-orang

Barat yang telah mempelajari studi orientalisme akan merasa punya pengetahuan

obyektif mengenai apa itu Orient (Timur) sehingga mereka menciptakan Timur,

(18)

merekonstruksi citra tertentu tentang Timur yang seakan-akan citra tersebut

merupakan suatu “kebenaran” (murni).

Bagi Said, berbagai pandangan obyektif orang-orang Barat dalam

memandang Timur bukanlah suatu bentuk “kebenaran” (murni), melainkan

sebuah konstruksi yang digunakan oleh para orientalis Barat untuk mendominasi,

menata kembali, dan menghegemoni dunia Timur. Melalui ilmu pengetahuan

orientalisme yang dipelajari oleh orang-orang Barat, para orientalis membawa

pandangan abstrak mengenai dunia Timur yang seolah-olah menujukkan bahwa

orang-orang Barat lebih tahu tentang dunia Timur melebihi orang-orang Timur

sendiri.

Said mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang telah direproduksi Barat

mampu melegitimasi kekuasaannya atas dunia Timur. Untuk membuktikan hal

tersebut, Said lalu mengambil satu contoh kasus yang terjadi di Timur Tengah,

yaitu pendudukan Inggris atas Mesir. Menurut Said, orang-orang Inggris tidak

memahami pendudukan negaranya atas Mesir sebagai bentuk dari penjajahan,

melainkan sebagai upaya untuk membantu bangsa Mesir memerintah dirinya

sendiri.

Orang-orang Inggris merasa bahwa mereka mengenal orang-orang Mesir

dengan baik, dan tahu betul apa yang dibutuhkan oleh bangsa Mesir agar menjadi

bangsa yang maju. Orang-orang Barat meyakini bahwa ketika Inggris menduduki

Mesir tujuannya bukanlah untuk menjajah bangsa Mesir, melainkan untuk

membantu orang-orang yang ada di Mesir mendirikan pemerintahannya secara

(19)

Untuk menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan orientalisme mampu

merubah cara pandang Barat dalam menilai di dunia Timur Said lalu mempelajari

kutipan pidato dari salah satu anggota Parlemen Inggris bernama Arthur James

Balfour yang menyampaikan orasinya di depan Majelis Rendah Inggris. Dalam

pidatonya, Balfour menyampaikan bahwa pendudukan Inggris atas Mesir bukan

dimaksudkan untuk menjajah bangsa tersebut, melainkan untuk membawa

kebaikan bagi bangsa Mesir.

Dalam pidato yang dikutip oleh Said, Balfour mengatakan bahwa bangsa

Mesir adalah bangsa yang besar. Akan tetapi, orang-orang pribumi di Mesir tidak

memiliki kemampuan untuk memimpin negaranya sendiri. Oleh karena itu,

menurut Balfour, Inggris memang harus menduduki Mesir agar bisa membantu

orang-orang Mesir menyelenggarakan pemerintahannya di negara Timur Tengah

tersebut. Dalam pidato yang disampaikan tanggal 13 Juni 1910, Balfour

mengatakan:

(20)

work worthy of a philosopher that it is the dirty work, the inferior work, of carrying on the necessary labour.7

Pernyataan Balfour dalam pidatonya di atas seperti yang dikutip oleh Said,

berangkat dari asumsi bahwa Mesir memang harus diduduki oleh Inggris karena

menurut pandangan Balfour, orang-orang Mesir tidak akan mampu untuk

menyelenggarakan pemerintahan sendiri tanpa bantuan orang-orang Inggris. Bagi

Balfour, kehadiran orang-orang Eropa di Mesir akan membantu orang-orang

Mesir menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Untuk itu, Balfour kembali

berkata:

Is it a good thing for these great nations, I admit their greatness that this absolute government should be exercised by us? I think it is a good thing. I think that experience shows that they have got under it far better government than in the whole history of the world they ever had before, and which not only is a benefit to them, but is undoubletedly a benefit to the whole of the civilised West. We are in Egypt not merely for the sake of the Egyptians, though we are there for their sake; we are there also for the sake of Europe at large.8

Bagi Said, pernyataan sikap Balfour dalam pidatonya tentang penguasaan

Inggris di Mesir sangatlah kompleks. Said menilai bahwa dalam pidatonya itu

Balfour melupakan satu hal, yakni sikap orang-orang Mesir terhadap kehadiran

orang Inggris. Mengenai hal ini, Balfour tidak menjelaskan apa-apa ataupun

memberi bukti apakah orang-orang Mesir menghargai atau benar-benar menerima

kebaikan yang diberikan oleh pendudukan kolonial Inggris. Bukannya memberi

bukti, Balfaour justru menutup kemungkinan bagi orang-orang Mesir untuk

berbicara mengenai dirinya sendiri.

7Ibid, hal. 32-33

(21)

Dalam pandangan Said, Balfour benar-benar mengabaikan kerugian yang

dialami orang-orang Mesir akibat kehadiran Inggris. Hal ini terjadi karena Balfour

yakin bahwa orang Mesir sudah pasti akan menerima keberadaan

orang-orang Inggris di negara mereka. Menurut Said, pidato yang disampaikan Balfour

tentang Mesir di depan Parlemen Inggris yang disaksikan oleh orang-orang

Inggris sendiri menunjukkan bahwa orang-orang Barat merasa diri lebih superior

daripada orang-orang Timur yang mereka anggap inferior.

Menarik bahwa sikap-sikap orientalistik seperti itu tidak hanya terjadi di

Timur Tengah, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia lainnya, termasuk

Indonesia. Di Indonesia, sikap orientalistik pernah dilakukan oleh orang-orang

Eropa pada masa kolonial, secara khusus pemerintah Hindia Belanda terhadap

penduduk pribumi yang ada di wilayah Indonesia (dulunya Nusantara). Sikap

orientalistik tersebut ditunjukkan dengan berbagai kebijakan yang dilaksanakan

oleh pemerintah Hindia Belanda saat mereka menjajah Indonesia. Salah satu

kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mencerminkan sikap orientalistik

adalah dengan melaksanakan kebijakan kolonisasi.

Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, kebijakan kolonisasi ini

dilaksanakan atas pertimbangan bahwa sebagian besar penduduk pribumi yang

ada di Pulau Jawa menderita kemiskinan akibat kebijakan Tanam Paksa

(Cultuurstelsel), yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun

1830-1870).9 Kebijakan Tanam Paksa telah menyebabkan penderitaan bagi

(22)

sebagaian besar penduduk pribumi yang dipekerjakan secara paksa oleh

pemerintah kolonial Hindia Belanda demi mendapatkan keuntungan ekonomis.

Keprihatinan terhadap penduduk pribumi Indonesia yang dipekerjakan

secara paksa oleh pemerintahan Kolonial Belanda pada akhirnya melahirkan

Politik Etis yang merupakan politik balas budi terhadap penduduk pribumi

Indonesia. Politik Etis pada dasarnya berakar pada masalah kemanusiaan,

meskipun dalam pelaksanaannya politik ini juga digunakan untuk mencari

keuntungan ekonomis. Dalam melaksanakan Politik Etis, ada tiga tujuan pokok

yang hendak dicapai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Tiga tujuan tersebut

adalah10:

1. Edukasi, yakni memperluas bidang pengajaran dan pendidikan.

2. Irigasi (pengairan), yakni membangun dan memperbaiki pengairan dan

bendungan untuk keperluan pertanian.

3. Emigrasi, yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi

Tampak bahwa kebijakan kolonisasi pada masa pemerintahan kolonial

Hindia Belanda dilaksanakan atas pemahaman bahwa pemerintah Hindia Belanda

merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh penduduk pribumi di Pulau Jawa agar

bisa mengubah nasib mereka menjadi lebih sejahtera. Dengan melaksanakan

kebijakan kolonisasi, pemerintah Hindia Belanda merasa bahwa kebijakan

kolonisasi akan membantu orang-orang pribumi di Indonesia mengubah

(23)

kehidupan mereka yang tadinya miskin menjadi sejahtera dengan cara ikut

program kolonisasi.

Menariknya, pada masa pascakolonial kebijakan kolonisasi pemerintah

Belanda itu diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilaksanakan secara

besar-besaran oleh pemerintahan Orde Baru. Pada masa kemerdekaan Indonesia,

program kolonisasi berganti nama menjadi program transmigrasi, tepatnya pada

tahun 1948 oleh Kementerian Pembangunan dan Pemuda.11 Namun demikian,

meskipun namanya diganti, kebijakan ini tetaplah berkaitan dengan usaha

memindahkan penduduk dari daerah yang padat di Pulau Jawa menuju ke luar

Pulau Jawa.

Dengan melanjutkan kebijakan transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia

Belanda, pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru sebenarnya telah

melanjutkan kebijakan kolonial dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan

demikian, di masa pascakolonial pemerintah Orde Baru telah melanjutkan

kolonialisme bangsa Barat dengan tujuan untuk menguasai sumber daya

alam-sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah-daerah tujuan transmigrasi yang ada

di Indonesia.

Tesis ini ingin menunjukkan bahwa orientalisme di Indonesia terus berlanjut

pada masa pascakolonial. Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa

pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang

dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, secara khusus pemerintah Orde Baru di

Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Menurut pemerintah Orde Baru, tujuan

(24)

dilaksanakannya program transmigrasi adalah untuk memenuhi tiga hal. Pertama,

memindahkan penduduk dari Pulau Jawa menuju ke luar Pulau Jawa. Kedua,

melaksanakan proyek-proyek pembangunan di daerah-daerah yang konon

dianggap “tertinggal”. Ketiga, mensejahterakan seluruh penduduk yang mengikuti

program transmigrasi.

Program transmigrasi pemerintah Orde Baru yang berlangsung di

Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, pada tahun 1990-an, menunjukkan bahwa

pemerintah di Jakarta lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh penduduk lokal

(khususnya orang-orang Dayak) di Melawi agar menjadi maju melebihi

pengetahuan orang-orang Melawi sendiri. Bagi pemerintah Jakarta, program

transmigrasi di Kabupaten Melawi tidak hanya bertujuan untuk memindahkan

penduduk dari Pulau Jawa saja, melainkan juga bertujuan untuk membangun

daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.

Bagi pemerintah Orde Baru, program transmigrasi yang berlangsung di

Kabupaten Melawi bukan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, melainkan

lebih dimaksudkan untuk membantu orang-orang Dayak membangun

daerah-daerah mereka yang oleh pemerintah di Jakarta dianggap sebagai salah satu

daerah “tertinggal” dalam hal pembangunan nasional. Dalam pandangan

pemerintah di Jakarta, program transmigrasi adalah solusi untuk memajukan

daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.

Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi hanyalah

salah satu contoh yang dapat menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah

(25)

Kabupaten Melawi. Kasus transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi

juga menunjukkan bahwa praktek-praktek kolonial di Indonesia, yang dulunya

dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada masa pascakolonial dilanjutkan

oleh pemerintah Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde Baru.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari penjelasan latar belakang masalah di atas, ada beberapa

permasalahan yang bisa dikaji dalam penelitian tesis ini. Permasalahan itu dapat

dirumuskan dalam beberapa pertanyaan:

1. Bagaimana kolonialisme di Indonesia berlanjut pada masa pascakolonial,

secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru?

2. Apa wacana yang mampu melegitimasi kekuasaan pemerintah Orde Baru

terhadap penduduk lokal (orang-orang Dayak) di Kabupaten Melawi,

Kalimantan Barat?

3. Apakah wacana yang mengiringi kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan

oleh pemerintah Orde Baru di Melawi mempunyai kesamaan dengan

orientalisme yang terjadi terhadap Timur Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana telah disampaikan di depan dalam buku Orientalism, Edward

W. Said menjelaskan bagaimana orang-orang Barat membicarakan orang-orang

Timur. Dengan memakai konsep orientalisme, orang-orang Barat merasa dirinya

(26)

Barat merasa bahwa dirinya superior dari Timur, maka orang-orang Barat yang

sedang menguasai dunia Timur tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah

dunia Timur. Orang-orang Barat justru merasa bahwa mereka sedang berjuang

untuk membantu orang-orang Timur mendirikan pemerintahannya sendiri.

Dengan kata lain, orang Barat merasa bahwa tanpa bantuan Barat,

orang-orang di dunia Timur tidak akan mampu untuk mendirikan pemerintahannya

sendiri.

Tesis ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: pertama, memahami, mengetahui,

menganalisis, serta mencari tahu apakah kolonialisme di Indonesia pada masa

pascakolonial terus berlanjut atau tidak. Kedua, menunjukkan bahwa konsep

orientalisme itu tidak hanya digunakan oleh orang-orang Barat untuk menilai

dunia Timur, tetapi juga bisa digunakan oleh orang-orang Timur sendiri dalam

menilai sesama orang Timur.

Ketiga, menunjukkan bahwa kolonialisme yang berlanjut di Indonesia pada

masa pascakolonial, pelakunya bukanlah orang-orang Eropa pada umumnya

(pemerintah kolonial Hindia Belanda), melainkan pelakunya adalah pemerintah

Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde Baru. Keempat, menunjukkan

bahwa dengan melanjutkan program transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia

Belanda, pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru telah bertindak sebagai

agen kolonialisme baru dengan menjadikan suku Dayak di Kabupaten Melawi

(27)

D. Pentingnya Penelitian

Penelitian tesis ini menjadi sangat penting bagi penulis karena teori

Orientalisme Edward W. Said ternyata tidak hanya berlaku di negara-negara

Timur Tengah (Mesir), melainkan juga berlaku di negara-negara Asia lainnya

seperti Indonesia. Dengan kata lain, argumen Said mengenai orientalisme tidak

hanya digunakan oleh orang-orang Barat dalam memandang dunia Timur, akan

tetapi juga bisa digunakan oleh orang-orang Timur sendiri dalam memandang

sesama orang Timur.

Bertolak dari gagasan-gagasan di atas, tesis ini ditulis dengan beberapa

tujuan. Pertama, penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana teori Orientalisme

Edward W. Said tidak hanya berlaku di negara-negara Timur Tengah seperti

Mesir, akan tetapi juga berlaku di Indonesia. Kedua, tesis ini menjadi penting,

karena berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaannya adalah

penelitian ini tidak mengambil contoh kasus di negara-negara Timur Tengah,

melainkan mengambil kasus program transmigrasi yang berlangsung di

Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Ketiga, hasil dari penelitian ini diharapkan

mampu menambah khasanah kajian ilmu Humaniora yang dapat memberi manfaat

bagi penulis sendiri dalam mengembangkan Kajian Ilmu Budaya.

E. Tinjauan Pustaka

Di Indonesia, kajian tentang Orientalisme memang merupakan hal yang

asing karena belum banyak orang yang meneliti hal tersebut. Akan tetapi, bukan

(28)

Indonesia. Di kalangan akademisi sendiri, sejauh ini sudah ada karya tulis tesis

yang membicarakan mengenai Orientalisme. Hasan Basri (2010), menulis tesis

berjudul Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Buku Orientalisme Karya

Edward Said.12 Meskipun demikian, fokus penelitian Basri pada akhirnya menunjukkan dua hal. Pertama, Basri menunjukkan bahwa para intelektual

Muslim di Indonesia sulit untuk menerima perspektif kritis yang disampaikan oleh

Said dalam buku Orientalisme. Kedua, para peneliti di Indonesia, secara khusus

kaum intelektual Muslim, cenderung menerima dan mengafirmasi karya orientalis

Barat.

Dalam pandangan Basri, tujuan utama penulisan tesisnya adalah untuk

melihat respon intelektual Muslim di Indonesia terhadap buku Orientalisme Said.

Untuk melihat respon intelektual muslim Indonesia, Basri dalam tesisnya

menggunakan teori empat wacana Lacanian (Lacanian four discourses).13 Akan

tetapi, fokus Basri dalam penelitian tesis ini hanya ingin melihat bagaimana kaum

Muslim terdidik di Indonesia merespon buku karya Edward Said serta melihat

bagaimana implikasi buku Said terhadap kaum muslim Indonesia terdidik.

Hasil penelitian tesis Basri merupakan hasil karya tulis orang Indonesia

dalam merespon buku Orientalisme karya Edward Said. Meskipun demikian,

penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, baik itu yang

pernah diteliti oleh para akademisi Barat maupun oleh peneliti Indonesia. Dalam

penelitian ini, penulis ingin menguraikan bahwa argumen Said dalam bukunya

12 Tesis Hasan Basri. Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Buku Orientalisme Karya Edward Said. Mahasiswa IRB, 2010.

(29)

Orientalism dapat diperluas dengan mengambil contoh kasus di Indonesia. Dalam

kasus yang terjadi di Indonesia, penelitian ini ingin menunjukkan bahwa sikap

orientalistik ternyata juga bisa dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri terhadap

sesama orang Timur. Dalam buku Orientalism, Said menjelaskan bagaimana

orang-orang Barat memandang Timur dan membicarakannya. Oleh karena itu,

untuk memasuki wilayah Indonesia maka penulis akan menggunakan beberapa

literatur mengenai Indonesia yang ditulis oleh para peneliti Barat.

Sejauh ini sudah banyak para peneliti Barat yang menulis tentang Indonesia.

Namun, dalam penelitian ini penulis hanya akan menggunakan beberapa literatur

yang penulis anggap dapat membantu melihat permasalahan yang akan penulis

teliti. Simon Philpott (2000), misalnya menulis Rethinking Indonesia:

Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity.14 Menurut Philpott, Indonesia di masa kolonial dikuasai oleh orang-orang Eropa seperti, Portugis, Inggris, dan

Belanda yang menggunakan pendekatan filosofis, sedangkan di masa

pascakolonial hegemoni atas Indonesia yang awalnya dipengaruhi oleh Belanda

digantikan oleh Amerika Serikat dan Australia dengan menggunakan pendekatan

berbeda dari penjajah Belanda, yakni social sciences (akademis).

Dengan berakhirnya kolonialisme Eropa (Belanda) atas Indonesia, tidak

membuat bangsa Indonesia benar-benar terbebas dari pengaruh asing. Hal ini

tampak dari terus direproduksinya ilmu pengetahuan Barat di negara-negara Asia

yang baru saja merdeka, misalnya Indonesia. Sebagai sebuah negara yang baru

saja merdeka, bangsa Indonesia di masa pascakolonial memang telah terbebas dari

(30)

pengaruh pemerintah Belanda. Namun, pengaruh pemerintah Belanda atas

Indonesia di masa pascakolonial diambil alih oleh pemerintah Amerika Serikat

dengan cara menanamkan gagasan-gagasan Barat di bidang ekonomi dan kajian

politik.

Tujuan pemerintah AS menanamkan gagasan-gagasan Barat di Indonesia

adalah untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh komunis dan untuk menguasai

kembali Indonesia. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, pemerintah AS

mendirikan lembaga studi Ford Foundation yang bertugas untuk mengirim para

ilmuan Barat ke Indonesia. Selain bertugas mengirim ilmuan Barat ke Indonesia,

lembaga ini juga bertugas mengirim para pelajar Indonesia untuk belajar di

universitas-universitas yang ada di AS.

Menurut Philpott, Ford Foundation tidak hanya bertugas untuk mengirim

para ilmuan Barat ke Indonesia, melainkan juga ikut mendanai pendirian Modern

Indonesia Project di Cornell University yang oleh Philpott kajian ini bisa

dikatakan sebagai program studi tentang Indonesia paling berpengaruh selama

empat puluh tahun terakhir. Untuk menunjukkan hal tersebut, Philpott lalu

mengutip pernyataan Kahin yang mengatakan bahwa pengaruh intelektual Barat

atas Indonesia sudah tidak perlu lagi diragukan:

(e)ven Indonesian universities must use Cornell‟s elite-oriented studies to teach post-independence politics and history…”Most of the people at the university came from essentially bourgeois or bureaucratic families”, recalls Kahin. “They knew precious little of their society”.15

(31)

Tampak jelas, pernyataan Kahin yang dikutip oleh Philpott menunjukkan

bahwa hanya sedikit para elit Indonesia yang mengetahui tentang kehidupan

orang-orang di Indonesia dalam konteks diskursus baru setelah berakhirnya

Perang Dunia II. Namun, menurut Philpott, justru dari asumsi inilah genealogi

orientalis dari studi kawasan terlihat jelas. Dalam pandangan Philpott, cara

tradisional bisa digunakan untuk mengetahui bahwa “sejarah” tunduk pada ilmu

-ilmu sosial yang dianggap lebih superior.16

Selain itu, Philpott juga menyoroti reaksi kaum elit Indonesia dalam

menyikapi urusan pendanaan Ford Foundation. Dalam buku yang sama, Philpott

memberikan ilustrasi bagaimana ketika presiden Soekarno mengeluhkan

perubahan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menjadi „sekolah ekonomi,

statistik, dan administrasi bisnis yang bergaya AS, Presiden Soekarno justru

mendapat perlawanan dari lembaga Ford Foundation:

„When Sukarno threatened to put an end to Western economics‟ says John Howard, long-time director of Ford‟s International Training and Research Program, „Ford threatened to cut off all programs, and that changed Sukarno‟s direction.‟17

Kutipan di atas menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia yang sudah

merdeka dari tangan penjajahan Belanda, di masa pascakolonial ternyata sangat

bergantung pada bantuan pemerintah AS. Tampak jelas pula bahwa pendirian

lembaga Ford Foundation dimaksudkan untuk menanamkan pengaruh Barat atas

Indonesia dengan cara menanamkan gagasan-gagasan Barat seperti pembangunan

ekonomi dan politik yang berbasis ke AS. Pemberian beasiswa bagi pelajar

16Ibid, hal. 119

(32)

Indonesia serta pengiriman para ahli AS ke Indonesia merupakan bagian dari

usaha pemerintah AS untuk mereproduksi ilmu pengetahuan Barat di Indonesia.

George McTurnan Kahin (1970), menulis Nationalism and Revolution in

Indonesia.18 Dalam Bab I bukunya, Kahin menguraikan bahwa pengaruh

orang-orang Belanda terhadap kehidupan sosial penduduk pribumi di Indonesia dimulai

sejak perusahaan Belanda mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie

(VOC) tahun 1602. Tujuan dari pendirian ini adalah untuk memonopoli

ekspor-impor rempah-rempah dari Indonesia (dulunya Nusantara). VOC memusatkan

kegiatannya di Pulau Jawa dengan cara ikut campur dalam urusan politik dan

ekonomi. Namun pada tahun 1798 perusahaan VOC mengalami kebangkrutan

akibat ulah para pejabatnya yang melakukan korupsi. Tahun 1799 perusahaan

VOC ditutup dan wilayah kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda.

Setelah VOC ditutup, pemerintahan Belanda membuat kebijakan baru yang

bernama Cultivation System (Tanam Paksa) yang mewajibkan rakyat pribumi

untuk membayar pajak pada pemerintahan Belanda. Sistem ini pada akhirnya

hanya menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi. Selanjutnya, pada tahun

1901, berdiri sebuah perusahaan dagang Islam bernama Sarekat Dagang Islam,

yang awalnya hanya mengurusi perdagangan namun dalam perkembangannya

mengarah pada tujuan politik. Jadi, menurut Kahin, Sarekat Dagang Islam adalah

gerakan nasionalis pertama yang bersifat anti-kolonial. Setelah berdirinya

perusahaan dagang Islam, pada tahun 1906-1908 berdiri sebuah organisasi

nasionalis pertama, yaitu Boedi Utomo.

(33)

Bradley R. Simpson (2010) menulis buku Economists with Guns: Amerika

Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru.19 Dalam bukunya Simpson menguraikan bagaimana Indonesia pascakolonial dipengaruhi

oleh Amerika Serikat (AS) dalam hal politik, ekonomi, maupun budaya. Buku

karya Simpson ini menguraikan bagaimana pada masa pemerintahan Eisenhower,

AS berusaha untuk mengubah arah politik Indonesia dengan cara menggulingkan

presiden Soekarno yang oleh AS dianggap cenderung sosialis. Buku ini juga

menguraikan bagaimana usaha AS mengusai Indonesia karena dipengaruhi oleh

Perang Dingin. Pada masa Perang Dingin, tujuan utama bantuan AS pada

Indonesia menurut Simpson bersifat sangat politis. Tujuan politis ini bertujuan

untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh Uni Soviet.

Dalam penelitian ini, penulis ingin menunjukkan bahwa kolonialisme yang

terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial tidak lagi dilakukan oleh

orang-orang Barat pada umumnya, melainkan dilakukan oleh orang-orang-orang-orang Indonesia

sendiri terhadap sesama orang Indonesia. Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia

pada masa pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi

yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilanjutkan secara besar-besaran

oleh pemerintah Orde Baru.

Di Indonesia sendiri pada masa pascakolonial, kajian mengenai program

transmigrasi bukanlah hal yang asing. Sejauh ini sudah banyak para peneliti yang

menulis tentang kajian transmigrasi di Indonesia. Namun, di dalam penelitian ini

(34)

penulis hanya akan menggunakan beberapa literatur yang menurut penulis dapat

membantu dalam melihat persoalan transmigrasi di Indonesia.

Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun (1986), misalnya menulis

Transmigrasi di Indonesia (1905-1985).20 Mereka menyoroti permasalahan yang terjadi dalam program transmigrasi di Indonesia. Permasalahan transmigrasi yang

terjadi di Indonesia diakibatkan oleh adanya kontak budaya antara penduduk

pendatang dengan penduduk lokal. Kontak budaya tersebut diakibatkan adanya

pertemuan budaya baru dengan budaya lama. Jika tidak diatasi dengan baik, tidak

jarang akan menimbulkan gesekan antara penduduk pendatang dengan penduduk

lokal. Berbagai gesekan bisa terjadi karena faktor kesenjangan sosial antara

penduduk pendatang dengan penduduk pribumi.

Menurut Swasono, biasanya warga pendatang kehidupan ekonominya jauh

lebih baik dari warga lokal. Sebagai contoh, Swasono dan Singarimbun dalam

buku yang sama melakukan penelitian dengan mengambil lokasi transmigrasi di

wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Di

wilayah ini, program transmigrasi telah berhasil mengubah nasib penduduk

pendatang, sedangkan untuk penduduk lokal program transmigrasi dianggap gagal

menyejahterakan penduduk lokal.

H. J. Heeren (1979) menulis buku berjudul Transmigrasi di Indonesia.21

Heeren membahas persoalan transmigrasi yang terjadi di Indonesia, secara khusus

di Sumatera Selatan pada tahun 1952-1958. Penjelasannya dimulai dengan

mempertanyakan mengapa perlu adanya program transmigrasi di Indonesia.

20 Sri Edi Swasono, Masri Singarimbun. Tranmigrasi di Indonesia (1905-1985). Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.

(35)

Menurut Heeren, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemerintahan

melanjutkan program transmigrasi. Pertama, jumlah penduduk pulau Jawa

bertambah pesat, namun sebagian besar penduduknya menderita kemiskinan.

Kedua, pembangunan nasional dianggap tidak merata ke setiap daerah karena

hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh karena itu, pemerintahan melanjutkan

program transmigrasi dengan tujuan dapat memindahkan penduduk sekaligus

menyediakan lapangan kerja baru di lokasi transmigrasi. Namun, menurut Heeren,

program transmigrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 1905 hingga tahun

1974 di masa pemerintahan Orde Baru tidak berhasil mengatasi jumlah penduduk

pulau Jawa-Madura dan Bali yang setiap tahun terus meningkat.

Rukmadi Warsito dkk (1984), menulis Transmigrasi: dari Daerah Asal

sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman.22 Rukmadi Warsito dkk menjelaskan berbagai persoalan yang terjadi dalam kebijakan transmigrasi di

Indonesia. Menurut Warsito, ada tiga persoalan mendasar yang terjadi dalam

pelaksanaan program transmigrasi di Indonesia. Pertama, permasalahan dengan

daerah asal para transmigrasi. Kedua, benturan sosial budaya antara penduduk

pendatang dengan penduduk lokal. Ketiga, kerja sama dengan dinas terkait yang

berhubungan dengan kebijakan transmigrasi tidak maksimal. Rukmadi dkk dalam

buku yang sama menjelaskan bahwa kebijakan transmigrasi terjadi karena

permasalahan sosial masyarakat di pulau Jawa-Madura dan Bali yang sudah

terjadi sejak masa kolonial Belanda. Masalah kemiskinan dan kurangnya lahan

untuk pertanian memaksa pemerintahan Hindia Belanda menjalankan Politik Etis

(36)

yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi yang dialami

masyarakat pedesaan Jawa. Untuk itu pemerintahan Hindia Belanda

melaksanakan program ini dengan tujuan dapat mengatasi permasalahan sosial

masyarakat Jawa di pedesaan.

Menurut Warsito, kebijakan emigrasi telah dilaksanakan pada tahun 1905

melalui suatu program yang diberi nama kolonisasi. Tujuan dari program ini

adalah untuk mengatasi kemiskinan, sekaligus untuk mengatasi kepadatan

penduduk yang ada di pulau Jawa-Madura dan Bali. Di masa pemerintahan Orde

Baru, program ini diadopsi dan dilanjutkan oleh pemerintahan. Tujuan

pemerintahan Orde baru melanjutkan program ini adalah untuk mempercepat

pembangunan daerah yang ada di Indonesia. Rukmadi dkk, dalam buku yang

sama mengutip pidato presiden Soeharto di depan Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) yang berlangsung pada tanggal 16 Agustus 1975. Dalam

pidatonya, Soeharto menyampaikan bahwa ada empat tujuan dari transmigrasi

antara lain:

Pertama, transmigrasi bertujuan untuk memindahkan penduduk dari

pulau Jawa, Bali, Madura, dan Lombok ke pulau-pulau lain di Indonesia. Kedua, transmigrasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di daerah-daerah yang kurang padat penduduknya dan membutuhkan tenaga kerja. Ketiga, transmigrasi bertujuan untuk memperluas lahan pertanian agar produksinya dapat ditingkatkan.

Keempat, transmigrasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan

pertahanan nasional.23

Bertolak dari uraian buku-buku di atas, tampak bahwa penelitian tesis ini

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian tesis ini tidak akan

(37)

menguraikan menguraikan tentang kajian transmigrasi di Indonesia, melainkan

hanya memakai program transmigrasi sebagai salah satu contoh yang bisa

menunjukkan bahwa kolonialisme di Indonesia terus berlanjut pada masa

pascakolonial, secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru.

F. Kerangka Teoritis

F.1. Teori Orientalisme Edward W. Said

Tesis ini akan menggunakan teori orientalisme Edward W. Said untuk dapat

meneropong beberapa hal. Pertama, dengan menggunakan teori Orientalisme

Said, akan tampak bahwa orientalisme tidak hanya terjadi di negara-negara Timur

Tengah saja, melainkan juga terjadi di negara-negara lain seperti Indonesia.

Kedua, dengan menggunakan teori Orientalisme Said, akan tampak pula bahwa

sikap orientalistik ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap

orang Timur saja, melainkan juga dapat dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri

terhadap sesama orang Timur.

Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan

Barat hanyalah salah satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme itu

benar-benar terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial. Meskipun demikian,

orientalisme yang tercermin dalam program transmigrasi di Kabupaten Melawi,

berbeda dari orientalisme yang terjadi di Timur Tengah. Perbedaannya adalah

pelaku dari tindakan orientalistik di Indonesia bukan lagi orang-orang Barat pada

umumnya, melainkan baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama

(38)

Penggunaan teori Orientalisme Said juga dimaksudkan untuk melihat

apakah cara pandang pemerintah Indonesia (Orde Baru) di Jakarta memiliki

kesamaan dengan cara pandang orientalistik yang dilakukan oleh orang-orang

Barat terhadap orang-orang di Timur Tengah. Orientalisme yang terjadi di

negara-negara Timur Tengah telah menunjukkan bagaimana orang-orang Barat

mewacanakan orang-orang Timur. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan

kebijakan transmigrasi yang berlangsung di Indonesia, secara khusus di

Kabupaten Melawi, yakni dapat menunjukkan bagaimana orang-orang Timur

yang diwakili oleh pemerintah Orde Baru mewacanakan sesama orang Timur

(orang-orang Dayak).

Wacana tentang orang Dayak dapat dengan mudah ditemukan dalam

buku-buku penelitian yang sudah ada sejak masa kolonial hingga pascakolonial. Dari

hasil penelitian buku-buku tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang Dayak

memiliki karakter maupun sifat yang tidak jauh berbeda dari karakter orang-orang

Timur yang ada di negara-negara Timur Tengah. Misalnya, orang-orang Dayak

dalam banyak buku hasil penelitian disebutkan sebagai salah satu suku

“tertinggal”, yang manusianya masih dianggap “primitip”, terbelakang, dan belum

beradab.

Sebagaimana telah kita lihat dalam buku Orientalism, Said menjelaskan

bahwa orientalisme adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan pengetahuan

tentang dunia Timur yang diteliti oleh Barat. Menurut Said, pengetahuan tentang

Timur yang dipahami oleh orang-orang Barat mereka peroleh dari karya tulis

(39)

dengan mudah dapat dijumpai dalam buku-buku, novel, laporan-laporan

perjalanan, teks-teks orientalis, media televisi maupun karya sastra lainnya.

Dengan kata lain menurut Said, orang-orang Barat dapat mengetahui seperti apa

orang-orang Timur itu hanya dengan membaca karya-karya tulis orientalis.

Untuk mengkaji ulang orientalisme, Said menggunakan gagasan Foucault

tentang wacana (discourse) dalam buku The Archeology of Knowleadge dan

dalam buku Discipline and Punish. Gagasan Foucault tentang wacana digunakan

Said untuk mengidentifikasi kajian orientalisme. Menurut Said, tanpa mengkaji

orientalisme sebagai suatu diskursus, akan sangat sulit untuk memahami

orientalisme sebagai suatu disiplin keilmuan yang bekerja secara sistematis, yang

bersamaan dengannya kebudayaan Eropa mampu mengatasi bahkan menciptakan

dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, ilmiah dan imajinatif

yang berlangsung sejak masa pascapencerahan.24

Orientalisme, bagi Said, merupakan sebuah diskursus yang tidak hanya

berkaitan dengan satu kekuasaan politis saja, melainkan juga dihasilkan melalui

pertukaran berbagai jenis kekuasaan. Hubungan antara pengetahuan dan

kekuasaan yang dibongkar oleh Said menunjukkan bahwa pengetahuan yang

diciptakan oleh Barat telah berhasil merekonstruksi pikiran orang-orang Barat

dalam melihat dunia Timur. Melalui wacana orientalis yang merupakan bagian

dari wacana kolonial, orang-orang Barat ketika menjajah negara-negara Timur

merasa bahwa mereka lebih superior dari Timur yang dianggap inferior karena

menjadi daerah jajahan bangsa Barat.

(40)

Menurut Said, ada relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana Orientalisme.

Oleh karena itu, Said lalu membaginya ke dalam empat jenis kekuasaan. Pertama,

kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imperialisme). Kedua,

kekuasaan intelektual (mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan

lain). Ketiga, kekuasaan kultural (kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya

Timur memiliki kategori estetika kolonial, yang dengan sangat mudah bisa kita

jumpai di negara India, Mesir dan negara-negara bekas koloni lainnya). Keempat,

kekuasaan moral (apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan oleh Timur).

Empat jenis kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme menunjukkan

bahwa dunia Timur dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi Timur yang

sesuai dengan standar Barat.25

Dalam pandangan Said, melalui kajian orientalisme, seorang yang berpikir

secara orientalis akan merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang dunia Timur

dibandingkan dengan orang-orang Timur itu sendiri. Seorang orientalis akan

menganggap Timur sebagai objek dari kajiannya. Untuk membuktikan hal

tersebut, Said lalu memberi contoh bahwa seorang orientalis yang melakukan

perjalanan wisata (ziarah) ke negara-negara Timur seperti Mesir, India, Afrika dan

negara-negara Asia lainnya akan selalu membawa pandangan yang abstrak bahwa

mereka sudah mengetahui mengenai peradaban negara tersebut. Pandangan

semacam ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka terima dari membaca

naskah-naskah, teks-teks dan literatur yang menceritakan tentang dunia Timur,

sifat-sifat dari manusianya dan karakteristik yang dimiliki orang-orang Timur.

(41)

Dengan membaca teks-teks orientalis, orang-orang Barat akan mengetahui

seperti apa karakter serta sifat-sifat dari orang Timur. Said dalam bukunya yang

sama lalu mengutip pernyataan Lord Cromer yang mengatakan bahwa “bangsa

-bangsa Timur pada hakikatnya berwatak platonis,26 yang bisa dikaji, dipahami

atau diekspos, bahkan oleh seorang orientalis (atau penguasa bangsa-bangsa

Timur) sekalipun.”27 Pernyataan Cromer seperti yang dikutip Said menunjukkan

bahwa dianggap ada perbedaan signifikan antara orang-orang Barat dengan orang

Timur. Perbedaannya antara lain menyangkut soal kecerdasan dan pemikiran.

Orang-orang Barat, kata Cromer, adalah penalar yang baik. Pengetahuan mereka

mengenai ilmu pengetahuan tidak ada yang meragukannya. Orang Barat memiliki

pemikiran yang jenius dan sangat skeptis. Pemahaman orang Barat dalam melihat

sesuatu selalu menuntut bukti sebelum meyakini kebenarannya.

Orang-orang Timur menurut Cromer, tidak bisa berpikir dengan baik.

Kemampuan mereka mengenai logika tidak ada yang baik. Meskipun sejarah

mencatat bahwa orang-orang Arab kuno memiliki ilmu dialektika yang tinggi,

namun keturunan mereka tidak mewarisi kemampuan ini. Mereka tidak mampu

mengambil sebuah kesimpulan dari pernyataan yang sangat sederhana sekalipun.

Mereka bukan pemikir yang cerdas. Dalam menjelaskan sesuatu biasanya akan

sangat panjang lebar dan tidak jelas. Bahkan saat penjelasan mereka diuji,

orang-orang Timur akan mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Keterbatasan yang

26 Yang saya maksud dengan platonis (platonic essence), adalah semacam esensi yang tetap, tidak berubah (sifat ketimuran yang akan selalu terwujud kapanpun dan dimanapun di dunia Timur)

(42)

mereka miliki membuat mereka orang-orang Timur kelabakan jika pernyataan

mereka diuji.

Orang-orang Timur adalah makhluk yang mudah dikecoh, yang tidak

memiliki kemampuan untuk berusaha sendiri serta tidak memiliki inisiatif dalam

mengatasi masalah. Orang Timur dianggap suka “menjilat”, penuh dengan

kepura-puraan, licik serta tidak menyenangi binatang. Orang-orang Timur tidak

mengerti peradaban modern. Sebagai contoh, jika mereka berjalan di jalan raya

dan trotoar, otak mereka yang bermasalah tidak mampu untuk memahami apa

yang bisa dipahami oleh otak orang-orang Eropa yang cerdas bahwa

sesungguhnya trotoar dan jalan raya itu diciptakan untuk pejalan kaki.

Pernyataan Cromer di atas, seperti yang dikutip Said, hanyalah salah satu

contoh bagaimana orang-orang Barat menilai buruk orang-orang Timur. Oleh

karena itu tidaklah mengherankan jika orang-orang Barat merasa diri lebih

superior dari orang-orang Timur yang mereka anggap inferior. Dengan demikian,

tampak jelas bahwa wacana orientalisme juga berfungsi sebagai alat untuk

melegitimasi kolonialisme.

F.2. Orientalisme dan Wacana Kolonial

Ania Loomba dalam bukunya Colonialism/Postcolonialism telah menjelaskan bahwa sifat dari pengetahuan itu tidak polos, namun sangat berkaitan

dengan operasi-operasi kekuasaan.28 Menurut Loomba, Said mencoba untuk

menguraikan kembali bagaimana kajian formal tentang dunia Timur (yang

(43)

sekarang disebut Timur Tengah) dengan cara menggunakan naskah-naskah kunci

literer dan kultural, dengan mencoba mengkonsolidasikan cara-cara tertentu untuk

melihat, memikirkan, dan membantu berfungsinya kekuasaan kolonial. Apa yang

terjadi bukanlah materi yang telah dibahas oleh analis tradisional mengenai

kolonialisme, namun saat ini itu semua bisa terlihat sangat penting dalam

pembentukan serta berfungsinya masyarakat-masyarakat kolonial yang terjadi

dengan adanya buku Orientalism serta perubahan perspektif tentang ideologi dan

budaya.

Dalam pandangan Loomba, buku Orientalism karya Said bisa dikatakan

mampu untuk mengantarkan pada suatu jenis studi baru atas kolonialisme.

Loomba mengutip peryataan Said yang mengatakan bahwa penggambaran

“Timur” dalam berbagai buku, naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah

perjalanan, dan tulisan-tulisan Orientalis lainnya telah membantu terciptanya

suatu dikotomi antara Eropa dan wilayah-wilayah lainnya, suatu dikotomi yang

mampu menempati posisi sentral dalam pembentukan budaya Eropa dalam

mempertahankan serta menyebarluaskan hegemoni Eropa atas negeri-negeri lain

di luar Eropa. Tugas utama yang dilakukan oleh Said adalah menunjukkan

bagaimana pengetahuan tentang orang-orang non-Eropa adalah bagian dari sebuah

proses untuk mempertahankan kekuasaan atas mereka; menjadikan sebuah status

“pengetahuan” itu didemistifikasi, serta batas-batas antara yang ideologis dengan

(44)

Menurut Loomba, semua ilmu pengetahuan yang dimiliki para orientalis

yang sangat mengesankan itu disaring melalui bias kultural mereka karena “studi”

atas Timur itu bersifat tidak objektif melainkan bersifat:

A political vision of reality whose structure promoted the difference between the familiar (Europe, the West, „us‟) and the strange (the Orient, the East, „them‟). When one uses categories like Oriental and Western as both the starting and the end point of analysis, research, public policy. The result is usually to polarize the distinction-the Oriental becomes more Oriental, the Westerner more Western-and limit the human encounter between different cultures, traditions, and societies.29

Kutipan pernyataan Loomba di atas menunjukkan bahwa analisis wacana

memungkinkan kita menelusuri hubungan-hubungan antara yang kelihatan dengan

yang tersembunyi, yang dominan dengan yang marjinal, gagasan-gagasan dengan

lembaga-lembaga. Semuanya dapat memungkinkan kita melihat bagaimana

kekuasaan itu bekerja melalui bahasa, sastra, budaya, dan semua

lembaga-lembaga pemerintahan yang telah mengatur kehidupan kita sehari-hari. Dengan

menggunakan pengertian yang diperluas mengenai kekuasaan ini, Said mampu

meninggalkan pemahaman sempit dan teknis tentang otoritas kolonial serta

menunjukkan bagaimana otoritas ini berfungsi dengan menghasilkan suatu

“wacana” tentang Timur, yaitu dengan melahirkan struktur-struktur pemikiran

yang terdapat dalam produksi literer dan artistik, dalam tulisan-tulisan politis dan

ilmiah, terutama dalam penciptaan studi-studi Timur.30

Dalam pandangan Loomba, tesis dasar yang ingin disampaikan oleh Said

dalam bukunya Orientalism adalah bahwa Orientalisme atau studi mengenai dunia

29Ibid, hal. 45

(45)

Timur, pada akhirnya merupakan suatu visi yang bersifat politis mengenai realitas

yang wilayah strukturnya mengemukakan suatu perlawanan biner

Referensi

Dokumen terkait