• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teoritis

F. 1. Teori Orientalisme Edward W. Said

Tesis ini akan menggunakan teori orientalisme Edward W. Said untuk dapat meneropong beberapa hal. Pertama, dengan menggunakan teori Orientalisme Said, akan tampak bahwa orientalisme tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah saja, melainkan juga terjadi di negara-negara lain seperti Indonesia.

Kedua, dengan menggunakan teori Orientalisme Said, akan tampak pula bahwa

sikap orientalistik ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang Timur saja, melainkan juga dapat dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri terhadap sesama orang Timur.

Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat hanyalah salah satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme itu benar-benar terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial. Meskipun demikian, orientalisme yang tercermin dalam program transmigrasi di Kabupaten Melawi, berbeda dari orientalisme yang terjadi di Timur Tengah. Perbedaannya adalah pelaku dari tindakan orientalistik di Indonesia bukan lagi orang-orang Barat pada umumnya, melainkan baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang-orang Timur sendiri.

Penggunaan teori Orientalisme Said juga dimaksudkan untuk melihat apakah cara pandang pemerintah Indonesia (Orde Baru) di Jakarta memiliki kesamaan dengan cara pandang orientalistik yang dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang-orang di Timur Tengah. Orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur Tengah telah menunjukkan bagaimana orang-orang Barat mewacanakan orang-orang Timur. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan kebijakan transmigrasi yang berlangsung di Indonesia, secara khusus di Kabupaten Melawi, yakni dapat menunjukkan bagaimana orang-orang Timur yang diwakili oleh pemerintah Orde Baru mewacanakan sesama orang Timur (orang-orang Dayak).

Wacana tentang orang Dayak dapat dengan mudah ditemukan dalam buku-buku penelitian yang sudah ada sejak masa kolonial hingga pascakolonial. Dari hasil penelitian buku-buku tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang Dayak memiliki karakter maupun sifat yang tidak jauh berbeda dari karakter orang-orang Timur yang ada di negara-negara Timur Tengah. Misalnya, orang-orang Dayak dalam banyak buku hasil penelitian disebutkan sebagai salah satu suku

“tertinggal”, yang manusianya masih dianggap “primitip”, terbelakang, dan belum

beradab.

Sebagaimana telah kita lihat dalam buku Orientalism, Said menjelaskan bahwa orientalisme adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan pengetahuan tentang dunia Timur yang diteliti oleh Barat. Menurut Said, pengetahuan tentang Timur yang dipahami oleh orang-orang Barat mereka peroleh dari karya tulis intelektual Barat yang meneliti tentang dunia Timur. Hasil penelitian tersebut

dengan mudah dapat dijumpai dalam buku-buku, novel, laporan-laporan perjalanan, teks-teks orientalis, media televisi maupun karya sastra lainnya. Dengan kata lain menurut Said, orang-orang Barat dapat mengetahui seperti apa orang-orang Timur itu hanya dengan membaca karya-karya tulis orientalis.

Untuk mengkaji ulang orientalisme, Said menggunakan gagasan Foucault tentang wacana (discourse) dalam buku The Archeology of Knowleadge dan dalam buku Discipline and Punish. Gagasan Foucault tentang wacana digunakan Said untuk mengidentifikasi kajian orientalisme. Menurut Said, tanpa mengkaji orientalisme sebagai suatu diskursus, akan sangat sulit untuk memahami orientalisme sebagai suatu disiplin keilmuan yang bekerja secara sistematis, yang bersamaan dengannya kebudayaan Eropa mampu mengatasi bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, ilmiah dan imajinatif yang berlangsung sejak masa pascapencerahan.24

Orientalisme, bagi Said, merupakan sebuah diskursus yang tidak hanya berkaitan dengan satu kekuasaan politis saja, melainkan juga dihasilkan melalui pertukaran berbagai jenis kekuasaan. Hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan yang dibongkar oleh Said menunjukkan bahwa pengetahuan yang diciptakan oleh Barat telah berhasil merekonstruksi pikiran orang-orang Barat dalam melihat dunia Timur. Melalui wacana orientalis yang merupakan bagian dari wacana kolonial, orang-orang Barat ketika menjajah negara-negara Timur merasa bahwa mereka lebih superior dari Timur yang dianggap inferior karena menjadi daerah jajahan bangsa Barat.

24 Edward W. Said, hal. 3

Menurut Said, ada relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana Orientalisme. Oleh karena itu, Said lalu membaginya ke dalam empat jenis kekuasaan. Pertama, kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imperialisme). Kedua, kekuasaan intelektual (mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan lain). Ketiga, kekuasaan kultural (kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya Timur memiliki kategori estetika kolonial, yang dengan sangat mudah bisa kita jumpai di negara India, Mesir dan negara-negara bekas koloni lainnya). Keempat, kekuasaan moral (apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan oleh Timur). Empat jenis kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme menunjukkan bahwa dunia Timur dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi Timur yang sesuai dengan standar Barat.25

Dalam pandangan Said, melalui kajian orientalisme, seorang yang berpikir secara orientalis akan merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang dunia Timur dibandingkan dengan orang-orang Timur itu sendiri. Seorang orientalis akan menganggap Timur sebagai objek dari kajiannya. Untuk membuktikan hal tersebut, Said lalu memberi contoh bahwa seorang orientalis yang melakukan perjalanan wisata (ziarah) ke negara-negara Timur seperti Mesir, India, Afrika dan negara-negara Asia lainnya akan selalu membawa pandangan yang abstrak bahwa mereka sudah mengetahui mengenai peradaban negara tersebut. Pandangan semacam ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka terima dari membaca naskah-naskah, teks-teks dan literatur yang menceritakan tentang dunia Timur, sifat-sifat dari manusianya dan karakteristik yang dimiliki orang-orang Timur.

25Ibid

Dengan membaca teks-teks orientalis, orang-orang Barat akan mengetahui seperti apa karakter serta sifat-sifat dari orang Timur. Said dalam bukunya yang sama lalu mengutip pernyataan Lord Cromer yang mengatakan bahwa “bangsa -bangsa Timur pada hakikatnya berwatak platonis,26 yang bisa dikaji, dipahami atau diekspos, bahkan oleh seorang orientalis (atau penguasa bangsa-bangsa Timur) sekalipun.”27

Pernyataan Cromer seperti yang dikutip Said menunjukkan bahwa dianggap ada perbedaan signifikan antara orang-orang Barat dengan orang Timur. Perbedaannya antara lain menyangkut soal kecerdasan dan pemikiran. Orang-orang Barat, kata Cromer, adalah penalar yang baik. Pengetahuan mereka mengenai ilmu pengetahuan tidak ada yang meragukannya. Orang Barat memiliki pemikiran yang jenius dan sangat skeptis. Pemahaman orang Barat dalam melihat sesuatu selalu menuntut bukti sebelum meyakini kebenarannya.

Orang-orang Timur menurut Cromer, tidak bisa berpikir dengan baik. Kemampuan mereka mengenai logika tidak ada yang baik. Meskipun sejarah mencatat bahwa orang-orang Arab kuno memiliki ilmu dialektika yang tinggi, namun keturunan mereka tidak mewarisi kemampuan ini. Mereka tidak mampu mengambil sebuah kesimpulan dari pernyataan yang sangat sederhana sekalipun. Mereka bukan pemikir yang cerdas. Dalam menjelaskan sesuatu biasanya akan sangat panjang lebar dan tidak jelas. Bahkan saat penjelasan mereka diuji, orang-orang Timur akan mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Keterbatasan yang

26 Yang saya maksud dengan platonis (platonic essence), adalah semacam esensi yang tetap, tidak berubah (sifat ketimuran yang akan selalu terwujud kapanpun dan dimanapun di dunia Timur)

mereka miliki membuat mereka orang-orang Timur kelabakan jika pernyataan mereka diuji.

Orang-orang Timur adalah makhluk yang mudah dikecoh, yang tidak memiliki kemampuan untuk berusaha sendiri serta tidak memiliki inisiatif dalam

mengatasi masalah. Orang Timur dianggap suka “menjilat”, penuh dengan

kepura-puraan, licik serta tidak menyenangi binatang. Orang-orang Timur tidak mengerti peradaban modern. Sebagai contoh, jika mereka berjalan di jalan raya dan trotoar, otak mereka yang bermasalah tidak mampu untuk memahami apa yang bisa dipahami oleh otak orang-orang Eropa yang cerdas bahwa sesungguhnya trotoar dan jalan raya itu diciptakan untuk pejalan kaki.

Pernyataan Cromer di atas, seperti yang dikutip Said, hanyalah salah satu contoh bagaimana orang-orang Barat menilai buruk orang-orang Timur. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika orang-orang Barat merasa diri lebih

superior dari orang-orang Timur yang mereka anggap inferior. Dengan demikian,

tampak jelas bahwa wacana orientalisme juga berfungsi sebagai alat untuk melegitimasi kolonialisme.