• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II IDEOLOGI KOLONIAL DI INDONESIA: DULU DAN

A. Orientalisme dalam Sejarah Indonesia

Pada masa kolonial, Indonesia setidaknya pernah didominasi oleh empat kekuatan imperial yakni Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Dari keempat kekuatan imperial tersebut, Belanda adalah negara Eropa yang paling lama menjajah Indonesia. Namun, setelah berakhirnya kolonialisme di Indonesia, dominasi pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia diambil alih oleh Amerika Serikat disertai dengan Australia dengan menggunakan pendekatan berbeda dari Belanda maupun Jepang, yakni pendekatan akademis untuk dapat menguasai Indonesia. Pengaruh Amerika Serikat atas Indonesia setidaknya dapat dilihat dari tiga hal yaitu: politik, ekonomi, dan budaya.

Simon Philpott (2000), menulis Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory,

Authoritarianism and Identity.35 Untuk menjelaskan orientalisme yang terjadi di Indonesia, Philpott memberikan definisi mengenai orientalisme dengan mengacu pada buku Said Orientalism. Menurut Philpott, orientalisme pada dasarnya merupakan cara berpikir yang menerima pemisahan yang tegas dan mendasar antara Orient dan Occident. Philpott lalu mengutip pernyataan Said yang mengatakan bahwa:

Under the general heading of knowledge of the Orient, and within the umbrella of Western hegemony over the Orient during the period from the end of the eighteenth century, there emerged a complex Orient suitable for study in the academy, for display in the museum, for reconstruction in the colonial office, for theoretical illustration in anthropological, biological, linguistik, racial, and historical theses about mankind and the universe, for instances of economic and sociological theories of development, revolution, cultural personality, national or religious character. Additionally, imaginative examination of things Oriental was based more or less exclusively upon a sovereign Western consciousness out of whose unchallenged centrality an Oriental world emerged, first according to a detailled logic governed not simply by empirical reality but by a battery of desires, repressions, investments, and projections.36

Menurut Philpott, Edward Said dalam menjelaskan Orientalisme banyak berhutang pada pemikiran Michael Foucault. Akan tetapi, baik Said maupun Foucault sama-sama tidak memiliki pengaruh yang banyak terhadap studi politik Indonesia. Oleh karena itu, Philpott dalam menguraikan kajian atas studi politik di Indonesia berangkat dari ide-ide yang ditawarkan oleh Foucault dan Said. Menurut Philpott, hampir serupa dengan saat Indonesia pada masa kolonial yang

35 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity.

New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000.

36 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity.

menjadi subjek dari agenda penelitian budaya, di masa pascakolonial Philpott

tertarik pada “Indonesia” yang dihasilkan melalui kajian politik. Indonesia pada masa pascakolonial adalah “Indonesia” yang sangat banyak dipengaruhi oleh

gagasan dari Amerika Serikat. Pengaruh kuat yang diterima dari AS dapat dilihat dari: kekuatan militer, ekonomi, dan kekuatan kultural/intelektual AS yang bersifat intergral dengan cara memunculkan Indonesia dalam studi ilmu-ilmu sosial pascaPerang Dunia II.

Dalam buku yang sama, Philpott berpendapat bahwa Indonesia telah diproduksi, ditandai secara khusus oleh teori serta asumsi diskursus mengenai politik Indonesia. Buku Rethinking Indonesia, mencoba untuk mengeksplorasi Indonesia sebagai sebuah negara yang muncul dari berbagai upaya yang panjang dalam studi politik pasca Perang Dunia II. Dalam pandangan Philpott, Indonesia memiliki keunikan tersendiri dan secara historis Indonesia bersifat spesifik, dengan artian bahwa Indonesia dicirikan oleh lingkungan di mana ia dikaji dan ditulis. Oleh karena itu, dalam pandangan Philpott, diskursus tentang Perang Dingin, antikomunisme, teori modernisasi, teori ketergantungan, analisis perbandingan rezim, politik kebudayaan, negara industri baru, dan nilai-nilai Asia, semuanya telah mengambil bagian dalam memberi kontribusi pada “penciptaan”

Indonesia ini.37

Dalam buku yang sama, Philpott berpendapat bahwa dalam upaya memahami dan menjelaskan politik di Indonesia, para ilmuan, pemerintahan, pekerja sosial, dan diplomat Barat terpaksa menggunakan kategori-kategori serta

37 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity.

konsep-konsep yang hingga saat ini telah berhasil menjadikan Indonesia

bermakna bagi audiens “Barat”.38

Dengan kata lain, Philpott melalui kajiannya tentang Indonesia ingin mengatakan bahwa sejak masa kolonial hingga pascakolonial Indonesia tetap menjadi objek dari reproduksi kolonialisme Eropa.

Pada bagian awal buku Rethinking Indonesia, Philpott menunjukkan bagaimana pengetahuan tentang Indonesia telah membantu terciptanya diskursus orientalis. Untuk menjelaskan hal ini Philpott menunjukkan bagaimana peneliti Barat mendefinisikan wilayah yang sekarang biasa disebut dengan nama Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, Philpott lalu mengutip buku karya George Earl yang memberikan beragam istilah untuk menggambarkan sebuah

wilayah yang ia pahami sebagai entitas geografis yang khusus: “Kepulauan

India”, “Kepulauan”, “Kepulauan Timur India”, “India Timur”, “Pulau India”, “India”, dan terkadang Earl menggunakan istilah “India Belanda” untuk

menggambarkan wilayah Indonesia saat itu.39

Menurut Philpott, sebelum Earl, orang Barat lainnya seperti Sir Joseph

Banks juga merujuk pada wilayah yang sama dengan menggunakan istilah „Pulau Timur India‟, „Pulau di sebelah timur‟, „Hindia Timur‟, „Hindia‟, „Pulau Kecil di sebelah Timur‟, dan „India‟. Orang Barat lainnya seperti William Marsden

menyebut wilayah tersebut dengan istilah, “Kepulauan India”, “Hindia Timur”, “Kepulauan Malaya”, dan “Polinesia”. Sedangkan Stamford Raffles menggambarkan Indonesia dulu sebagai „Pulau di sebelah Timur‟, „Hindia Timur‟, „Pulau India‟, „Pulau Kecil Asia‟, „Kepulauan Malaya‟, „Kepulauan‟, dan

38Ibid, hal. xx

39 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity.

„Pulau Malaya‟.40

Banyaknya istilah yang digunakan untuk memberi nama pada apa yang sekarang dikenal dengan kepulauan Indonesia, menurut Philpott, dikarenakan wilayah Indonesia saat itu merupakan sesuatu yang aneh dan tidak familiar bagi kebanyakan orang Eropa yang melintasi wilayah tersebut.

Sampai pada abad ke-19 Masehi, istilah yang paling sering digunakan oleh orang Eropa untuk memberi nama pada wilayah yang luasnya terbentang dari negara Pakistan modern hingga kepulauan Indonesia itu adalah „India‟. Akan

tetapi, menurut Philpott, pada tahun 1850, Earl mencatat bahwa sudah waktunya untuk memberikan nama khusus pada wilayah kepulauan India yang manusianya terdiri atas ras berkulit coklat tersebut. Pada saat itu, terlintas dalam pikiran Earl

untuk memberi nama wilayah kepulauan „India‟ dengan nama „Indu-nesian‟ yang

diambil dari bahasa Latin Indus (India) dan bahasa Yunani Nesos (Pulau). Meskipun Earl pada akhirnya menolak menggunakan istilah ini. Peneliti lain yang merupakan teman Earl sendiri, yaitu James Logan, mengakui persamaannya

dengan Earl dalam penciptaan dan penggunaan istilah „Indonesia‟. Saat itu, Logan

menulis:

The name Indian Archipelago is too long to admit of being used in an adjective or in an ethnographical form. Mr Earl suggests the ethnographical Indunesians but rejects it in favour of Malayunesians. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders, I have no affection for the multiplication of semigrecian words, and would gladly see all nesias wiped off the map if good Saxon equivalents could be substituted. The term has some claim however to be located

40Ibid, hal. 1

in the region, for in the slightly different from of nusa it is perhaps as ancient in the Indian Archipelago as in Greece.41

Philpott menjelaskan bahwa karya Earl dan Logan bukanlah sebuah karya leluhur Indonesia kontemporer. Namun, diskursus pemerintahan kolonial, antropologis, ahli etnografi, pedagang, serta penulis lain merupakan bagian dari ikhtiar panjang dan tidak pasti yang di kemudian hari menjadi Indonesia. Menurut Philpott, pemberian nama Indonesia sendiri berarti pengidentifikasian karakteristiknya, batas-batas spasialnya, serta memutuskan siapakah yang bisa dimasukkan sebagai orang Indonesia dan siapa pula yang tidak. Dengan kata lain, bagi Philpott, Indonesia adalah suatu invensi.42

Tampak bahwa Indonesia sejak masa kolonial telah dijadikan objek penelitian oleh orang-orang Eropa. Tampak pula bahwa kolonialisme yang terjadi di Indonesia pada masa kolonial pelakunya adalah pemerintahan Hindia Belanda yang menjadikan penduduk pribumi Nusantara (sekarang Indonesia) sebagai korban dari berbagai tindakan penindasan fisik maupun non-fisik. Ketika menjajah Nusantara, orang-orang Belanda merasa bahwa kehadiran mereka akan membantu penduduk pribumi di Nusantara mendirikan pemerintahannya sendiri.

Pandangan semacam ini disebabkan oleh pandangan pemerintah Belanda yang menganggap bahwa penduduk pribumi Nusantara tidak akan mampu mendirikan pemerintahannya di Nusantara tanpa bantuan pemerintah Belanda. Oleh karena itu, untuk dapat membantu penduduk pribumi Nusantara menjalankan pemerintahan dengan baik, maka orang-orang Belanda menduduki

41Ibid, hal. 2

Nusantara dan mendirikan pemerintahan yang berpusat di Pulau Jawa dengan Batavia sebagai ibu kota pemerintahannya.

M. C. Ricklefs (2005), menulis buku berjudul Sejarah Indonesia

Modern.43 Dalam buku tersebut Ricklefs mengatakan bahwa kedatangan

bangsa-bangsa Eropa yang pertama ke wilayah Asia Tenggara berlangsung pada abad keenam belas.44 Orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara pertama kali adalah bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Pada mulanya kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara hanya bertujuan untuk kepentingan perdagangan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya orang-orang Eropa terutama Belanda mulai memiliki kepentingan politik karena wilayah Nusantara merupakan kawasan strategis untuk mengembangkan perdagangan, terutama perdagangan rempah-rempah.

Sartono Kartodirdjo (1992), dalam buku Pengantar Sejarah Indonesia

Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, menyatakan bahwa

kedatangan bangsa-bangsa Eropa seperti Belanda ke wilayah Nusantara memang banyak dipengaruhi oleh motif-motif ekonomi. Namun, hal ini bukan berarti bahwa faktor-faktor lainnya tidak berpengaruh. Justru sebaliknya, menurut Sartono, beberapa contoh telah menunjukkan bahwa sejarah imperialisme Belanda adalah manifestasi-manifestasi dari idealisme politik dan agama.45 Menurut Kartodirdjo, bagaimanapun bentuknya kolonialisme Belanda di Indonesia saat itu bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Namun, faktor lain seperti

43 M.C. Ricklefs (2005). Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

44M.C. Ricklefs (2005). hal. 31.

45Sartono Kartodirdjo (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 5

liberalisme, humanisme, dan kristianisme juga turut serta dalam membentuk kolonialisme di Indonesia.

Dalam buku Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra (2008), Nyoman Kutha Ratna berpendapat bahwa tidak benar jika kolonialisme di Indonesia hanya dilatarbelakangi oleh motif-motif ekonomi semata. Sebelum tahun 1870, perkembangan kolonialisme memang didominasi oleh faktor ekonomi. Namun, setelah itu faktor-faktor lain seperti militer, agama, dan kebudayaan pada umumnya bersama-sama ikut berperan dalam menopang kepentingan ekonomi tersebut.46 Oleh karena itu, menurut Nyoman, ekspansi bangsa Barat ke dunia Timur didasari atas tujuan untuk mencari keuntungan ekonomi, kekuasaan, dan penyebaran agama Kristen yang secara metaforis disingkat dengan istilah 3G (Gold, Glory, dan God).

Bagi Nyoman, sejarah kolonialisme di Indonesia harus dipahami sebagai paham yang telah menjiwai bangsa-bangsa Barat untuk menguasai Timur maupun dipahami sebagai ideologi yang telah menghantui bangsa-bangsa Timur yang pernah mengalami penjajahan bangsa Barat, seperti Indonesia. Menurut Nyoman, secara historis kolonialisme di Indonesia bisa diartikan sebagai bagian dari hegemoni politik dan penguasaan ekonomi. Penguasaan tersebut dilakukan bersamaan dengan eksploitasi sumber daya alam yang telah berlangsung sejak awal abad ketujuh belas. Berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), yang bertujuan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah Nusantara menjadi bukti bahwa kehadiran orang-orang Belanda di Nusantara

46 Nyoman Kutha Ratna. hal.23

bertujuan untuk menghegemoni.47 Hegemoni politik dan sistem eksploitasi telah membawa perubahan besar dalam berbagai bidang seperti: sistem birokrasi, industrialisasi, transportasi, edukasi, komunikasi, dan berbagai bentuk hubungan sosial lainnya.

Menurut Nyoman, untuk memahami orientalisme yang dilakukan atas Indonesia, kita harus memulainya dengan memahami arti kolonialisme dan imperialisme. Kasus yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru bukan lagi soal orang-orang Barat memandang rendah orang Indonesia, melainkan orang Indonesia sendiri yang memandang rendah sesama orang Indonesia. Oleh karena itu, orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda dengan kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh orang-orang Belanda terhadap penduduk Indonesia saat mereka menjajah Indonesia. Dengan kata lain, orientalisme yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru merupakan kolonialisme yang berlanjut dari pemerintahan kolonial Belanda beralih ke pemerintahan Indonesia, secara khusus Orde Baru.