ABSTRAK
Trinowismanto, Yosep. 2016. Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia 0 s.d 3 Tahun dalam Bahasa Sehari-hari (Suatu Tinjauan Psikolinguistik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas tentang pemerolehan bahasa pertama anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang tahap-tahap perkembangan bahasa anak dan mendeskripsikan proses pemerolehan bahasa dalam aspek fonologi, morfologi, sintaksis dan diksi. Subjek penelitian ini adalah anak-anak yang berusia 0 sampai 3 tahun yang berada dalam lingkugan peneliti.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, karena penelitian ini berisi gambaran mengenai tahap pemerolehan bahasa anak. penelitian ini juga memaparkan proses pemerolehan bahasa anak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap. Metode pertama yang digunakan oleh peneliti adalah metode simak. Adapun teknik yang digunakan dalam rangka melaksanakan metode simak itu adalah teknik catat dan teknik rekam. Dari catatan dan/atau rekaman pertuturan itulah data diperoleh sebagai bahan jadi penelitian pemerolehan bahasa pertama anak.
ABSTRACT
Trinowismanto, Yosep. 2016. The First Language Acquirement 0-3 Year(s) Old Kid in Daily Language. (A Psycholinguistics). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research discussed about the first language acquirement 0-3 year(s) old kid in daily language. The purpose of this research is to describe the process of language acquirement in the aspect of phonology, morphology, syntax, and diction. The subject of this research is 0-3 year(s) old children which is inside of the research environment.
The type of this research is qualitative descriptive, because this research is about the description about the children language acquirement stages. This research also describes about the children language acquirement process. The gathering-data method which is used in this research is observation and conversation method. The first method that is used by the researcher is the observation method. The technique that is used to conduct the observation method is taking-note technique and recording technique. From the notes and/or delivering record is the way data is collected as the research material of children’s first language acquirement.
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
ANAK USIA 0 s.d 3 TAHUN DALAM BAHASA SEHARI-HARI
(TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh :
Yosep Trinowismanto 101224043
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA
ANAK USIA 0 s.d 3 TAHUN DALAM BAHASA SEHARI-HARI
(TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh :
Yosep Trinowismanto 101224043
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini, saya persembahkan kepada :
Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan Santo Yosef.
Orangtua, Andreas Budiyono dan Valentina Suprihatinah.
Keempat kakak Aluysius Ari Budi Cahyadi, Elisabeth Natalia Kristiani,
Lusia Yuliani, dan Yustinus Ari Setyawan.
Keponakan, Karolus Inggil. Keluarga Besar Joyo Harsono.
Keluarga Besar Kismo Sudiro.
Para sahabat PBSI USD 2010.
Calon pendamping hidup yang akan ku jemput di ruang rindu.
MOTO
Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua (Aristoteles).
Terpuruk dalam masalah merupakan peluang hebat untuk kita (Albert Eisntein).
In the end, your success will speak for it self (Patrick Bet David).
Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang
ABSTRAK
Trinowismanto, Yosep. 2016. Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia 0 s.d 3 Tahun dalam Bahasa Sehari-hari (Suatu Tinjauan Psikolinguistik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas tentang pemerolehan bahasa pertama anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang tahap-tahap perkembangan bahasa anak dan mendeskripsikan proses pemerolehan bahasa dalam aspek fonologi, morfologi, sintaksis dan diksi. Subjek penelitian ini adalah anak-anak yang berusia 0 sampai 3 tahun yang berada dalam lingkugan peneliti.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, karena penelitian ini berisi gambaran mengenai tahap pemerolehan bahasa anak. penelitian ini juga memaparkan proses pemerolehan bahasa anak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap. Metode pertama yang digunakan oleh peneliti adalah metode simak. Adapun teknik yang digunakan dalam rangka melaksanakan metode simak itu adalah teknik catat dan teknik rekam. Dari catatan dan/atau rekaman pertuturan itulah data diperoleh sebagai bahan jadi penelitian pemerolehan bahasa pertama anak.
ABSTRACT
Trinowismanto, Yosep. 2016. The First Language Acquirement 0-3 Year(s) Old Kid in Daily Language. (A Psycholinguistics). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research discussed about the first language acquirement 0-3 year(s) old kid in daily language. The purpose of this research is to describe the process of language acquirement in the aspect of phonology, morphology, syntax, and diction. The subject of this research is 0-3 year(s) old children which is inside of the research environment.
The type of this research is qualitative descriptive, because this research is about the description about the children language acquirement stages. This research also describes about the children language acquirement process. The gathering-data method which is used in this research is observation and conversation method. The first method that is used by the researcher is the observation method. The technique that is used to conduct the observation method is taking-note technique and recording technique. From the notes and/or delivering record is the way data is collected as the research material of children’s first language acquirement.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak-anak Usia 0-3 Tahun Dalam Bahasa Sehari-hari Tinjauan Psikolinguistik” dengan baik dan lancar. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu dan
memperoleh gelar sarjana pendidikan dalam kurikulum Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia (PBSI), Jurusan Bahasa Dan Seni (JBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan dengan bantuan
dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rohandi, Ph.D., selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd. selaku ketua Program Studi PBSI,
yang telah banyak memberikan dukungan, pendampingan, nasihat, dan
saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang dengan
bijaksana, sabar, memotivasi, memberikan masukan yang sangat
berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen Program Studi PBSI, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta yang penuh dedikasi mendidik, mengarahkan,
membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberi motivasi kepada
penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.
5. Robertus Marsidiq, selaku karyawan sekretariat PBSI yang dengan
sabar memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam
6. Bapak Jumari, selaku ketua Yayasan Panti Asuhan Sayap Ibu, Sleman,
Yogyakarta yang telah mendukung dalam penelitian skripsi.
7. Staff dan Karyawan Panti Asuhan Sayap Ibu, Sleman, Yogyakarta yang
telah membantu penulis dalam penelitian skripsi.
8. Keluarga Besar Joyo Harsono dan Keluarga Besar Kismosudiro.
9. Kedua Orang tua tercinta, Bapak Andreas Budiyono, dan Ibu Valentina
Suprihatinah yang selalu mendukung, memotivasi, dan membantu
secara finansial kepada penulis.
10.Untuk kakak tercinta, Aluysius Ari Budi Cahyadi, Amd., Elisabeth
Natalia Kristiani, Amd.Kep., Lusia Yuliani, S.Pd., Yustinus Ari
Setyawan, S.T.
11.Karolus Inggil, Wisnu Saputra, Septi Puspitasari, Gisella Putri
Cahyaningtyas, dan Ari Wahyudi yang bersedia menjadi subjek
penelitian Penulis.
12.Elizabeth Tri Noviyani Nugroho, Amd.Kep. yang telah memberikan
pengalaman dan motivasi begitu besar kepada penulis.
13.Andreas Dwi Yunianto, Sebastianus Seno Kurniawan, S.Pd., I Putu
Ariyana, S.Pd., Dwi Kristanto Saputro, S.Pd., Deny Pradita Tri
Handaru, S.Pd., Wilvridus Yolesa Roosando, S.Pd., Krisantus
Roparman, S.Pd., Agustinus Adven Yudanto, Mateus Ananda Merfi
Aditya, S.Pd., Vanio Praba Pradipa, Pratama Adi Winata, S.Pd., Eko
Prasetyo, S.Pd., Agustina Marshella, Mega Yoshinta, S.Pd., Maria Tri
Wijayanti, S.Pd., Caecilia Dhany Anja Reny, S.Pd., Natalia Harsanti,
S.Pd., Maulida Reswari, S.Pd., Silviana Yudi Apsari, S.Pd., Anita
Sugiyatno, S.Pd., Brigita Familia, S.Pd., Fransiska Budi Fitriana, S.Pd.,
Devi Pusawati, S.Pd., Natalia Astra, Fransiska Isti Ningsih Puji Rahayu,
S.Pd., dan semua sahabat PBSI 2010 yang telah berdinamika bersama
selama menjalani perkuliahan di PBSI.
14. Dwi Adi Prasetyo, S.E., Andronikus Kresna Dewantara, S.Pd, Delitiria
Nehzra, Alit Pidegso, S.Pd., Zulvi Handoko, Sandy Kurniawan,
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang Masalah... 1
1.2Rumusan Masalah ... 5
1.3Tujuan Penelitian ... 6
1.4Manfaat Penelitian ... 6
1.5Batasan Istilah ... 7
1.6Sistematika Penyajian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10
2.1Penelitian Terdahulu ... 10
2.2Landasan Teori ... 13
2.2.1 Teori Perkembangan Bahasa Anak ... 16
2.2.2 Perkembangan Akuisisi Bahasa ... 20
2.2.3 Proses Akuisisi Bahasa ... 22
2.2.5 Ujaran, Mengerti Ujaran dan Pikiran ... 27
2.2.6 Perkembangan Ujaran ... 29
2.2.7 Perkembangan Sosial dan Komunikasi ... 30
2.2.8 Pemerolehan Dalam Bidang Fonologi ... 33
2.2.9 Pemerolehan Dalam Bidang Morfologi ... 42
2.2.10 Pemerolehan Dalam Bidang Sintaksis ... 48
2.2.11 Pemerolehan Dalam Bidang Diksi ... 52
2.3Kerangka Berpikir ... 62
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 63
3.1.Jenis Penelitian ... 63
3.2.Data dan Sumber Data ... 64
3.3.Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 64
3.4.Instrumen Penelitian ... 65
3.5.Teknik Analisis Data ... 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 67
4.1.Deskripsi Data ... 67
4.2.Analisis Data ... 68
4.2.1 Tahap Pemerolehan Bahasa Usia 0 s.d 3 Tahun ... 69
4.2.1.1Usia 0 – 1 Tahun ... 69
4.2.1.2Usia 1 – 2 Tahun ... 75
4.2.1.3Usia 2 – 3 Tahun ... 94
4.2.2 Pemerolehan Bahasa Usia 0 s.d 3 Tahun... 100
4.2.2.1Pemerolehan Fonologi. ... 101
4.2.2.1.1 Usia 0 – 1 Tahun ... 102
4.2.2.1.2 Usia 1 – 2 Tahun ... 104
4.2.2.1.3 Usia 2 – 3 Tahun ... 109
4.2.2.2Pemerolehan Morfologi ... 113
4.2.2.2.1 Usia 0 – 1 Tahun ... 114
4.2.2.2.3 Usia 2 – 3 Tahun ... 118
4.2.2.3Pemerolehan Sintaksis ... 123
4.2.2.3.1 Usia 0 – 1 Tahun ... 124
4.2.2.3.2 Usia 1 – 2 Tahun ... 125
4.2.2.3.3 Usia 2 – 3 Tahun ... 128
4.2.2.4Pemerolehan Diksi ... 132
4.2.2.4.1 Usia 0 – 1 Tahun ... 132
4.2.2.4.2 Usia 1 – 2 Tahun ... 132
4.2.2.4.3 Usia 2 – 3 Tahun ... 136
4.3.Pembahasan ... 139
BAB V PENUTUP ... 150
5.1Kesimpulan ... 150
5.2Saran ... 152
DAFTAR PUSTAKA ... 154
LAMPIRAN ... 156
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Komunikasi antara satu orang dengan yang lain itu sangat penting. Hal
yang paling penting dalam berkomunikasi yaitu menggunakan bahasa. Maksud
dan tujuan berbahasa adalah menyampaikan informasi seluas-luasnya dengan jelas
sebagai kebutuhan seseorang dengan yang lainnya. Setiap orang dibekali untuk
berbahasa ketika masih dalam kandungan. Secara tidak langsung ketika dalam
kandungan seseorang tersebut mendapatkan informasi yang dirangsang oleh
ibunya. Orang dewasa selalu terpesona pada perkembangan bahasa yang terjadi
pada anak-anak. Meskipun lahir tanpa bahasa, pada saat mereka berusia 3 atau 4
tahun, anak-anak secara khusus telah memperoleh beribu-ribu kosakata, sistem
fonologi dan gramatika yang kompleks, dan aturan kompleks yang sama untuk
bagaimana cara menggunakan bahasa mereka dengan sewajarnya dalam banyak
latar sosial.
Bahasa menurut Kridalaksana (dalam Chaer 2003:32), bahasa adalah
sistem lambang yang arbiter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial
untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sedangkan
definisi lain bahasa adalah alat komunikasi yang efektif antar manusia dalam
berbagai macam situasi. Bahasa dapat digunakan dalam penyampaian gagasan ide
dari pembicara ke pendengar atau penulis ke pembaca. Bahasa merupakan alat
tidak pernah lepas dari manusia, namun belum ada angka pasti berapa jumlah
bahasa di dunia (Crystal, dalam Chaer, 2003: 33). Bahasa berhubungan dengan
kebudayaan manusia, dimana kebudayaan manusia muncul setelah bahasa lahir
dan ada pula yang berpendapat bahwa bahasa merupakan pusat dari sebuah
kebudayaan. Bahasa dipandang sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan
merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Sebagai produk sosial atau
budaya, bahasa adalah wadah aspirasi sosial, perilaku masyarakat, dan wadah
penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat
pemakai bahasa itu (Sumarsono, 2002: 20). Bahasa dan kebudayaan selalu
terealisasi secara bersamaan, maksudnya ketika belajar bahasa asing maka terlebih
dahulu mengenal kebudayaannya sehingga terjadi timbal-balik di dalamnya.
Apabila tidak ada jalinan antara belajar bahasa dan kebudayaan mengakibatkan
proses belajar bahasa atau kebudayaan tidak maksimal.
Psikolinguistik termasuk salah satu cabang linguistik yang kerap
perkembangannya pesat karena membuka diri dalam temuan disiplin ilmu lain
sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan masalah pemerolehan bahasa
(language acguisition) serta komprehensi dan produksi bahasa (speech
comprehension and production). Psikolinguistik merupakan salah satu cabang
linguistik yang kompleks. Ahli psikolinguistik dituntut untuk dapat melakukan
analisis pada semua tataran linguistik
(fonologi-morfologi-sintaksis-wacana-semantik-pragmatik) dengan baik karena psikolinguistik berusaha memahami
bagaimana bahasa berbahasa di otak manusia. Selain itu, psikolinguistik juga
anugerah kodrati (innate properties) sebagaimana dicetuskan oleh Chomsky.
Kajian psikoliguistik akan memberi kajian yang bermanfaat untuk perencanaan
bahasa jika penelitian tentang pemerolehan bahasa pertama (child language
acquisition) ditingkatkan.
Menurut Pateda (1990: 42) terdapat beberapa teori yang digunakan untuk
meneliti perkembangan bahasa pada anak yaitu menurut Nababan (1988), Clara
dan W. Stern (1961), Aitchison (1976) dan menurut Lenne Berg (1975).
Perkembangan bahasa anak menurut Nababan terdiri dari empat tahap. Tahap I
Pengocehan (6 bulan), tahap II Satu Kata, Satu Frase (1 tahun), tahan III Dua kata,
Satu Frasa (2 tahun), tahap IV Menyerupai Telegram.
Perkembangan bahasa anak menurut Aitchison (dalam Harras dan Andika,
2009: 50-56) terdiri dari sepuluh tahap. Umur 0,3 (mulai dapat meraban), umur
0,9 (mulai terdengar pola intonasinya), umur 1,0 (dapat membuat kalimat satu
kata), umur 1,3 (haus akan kata-kata), umur 1,8 (menguasai kalimat dua kata),
umur 2,0 (dapat membuat kalimat empat kata, dapat membuat kalimat negatif,
menguasai infleksi, pelafalan vokal telah sempurna), umur 3,6 (pelafalan
konsonan mulai sempurna), umur 4,0 (penguasaan kalimat secara tepat, tetapi
masih terbatas), umur 5,0 (konstruksi morfologis telah sempurna), umur 10,0
(matang berbicara).
Pemerolehan bahasa oleh anak-anak dapat diketahui dengan mengadakan
penelitian mengenai bahasa anak itu sendiri. Penelitian ini penting karena bahasa
anak memang manarik untuk diteliti. Selain itu, hasil penelitiannya pun dapat
pula jelaslah bahwa fenomena pemerolehan bahasa relevan bagi perkembangan
teori linguistik
Pertumbuhan dan perkembangan berbeda pada setiap anak, tergantung
banyak hal, mulai dari masa anak dalam kandungan sampai dengan masa
kelahiran hingga masa pertumbuhan dan perkembangan setelah lahir. Faktor gen
apakah pria dan wanitanya merupakan orang-orang yang sehat, tidak membawa
sifat keturunan yang kurang, sehat, pada saat proses pembuahan dalam keadaan
sehat pula. Perawatan dan pemeliharaan selama masa kehamilan tetap terjaga,
sehingga janin dalam rahim tidak mengalami gangguan hingga proses
persalinannya apakah normal atau tidak. Selanjutnya adalah bagaimana proses
perawatan dan pemeliharaan anak oleh orangtuanya dalam masa tumbuh
kembang.
Proses pertumbuhan dan perkembangan akan sampai pada interaksi
dengan orang lain, umumnya pada lingkungan di sekolah anak dan khususnya
lingkungan di rumah terutama interaksi dengan orangtua si anak. Interaksi pada
anak umur 4 tahun sudah dapat dilakukan melalui komunikasi dengan berbicara.
Bagi orang tua yang tidak terlalu memperhatikan perkembangan anak akan
merasa heran apabila pada saat berkomunikasi dengan mereka, si anak akan
berbicara sesuatu yang belum pernah di dengar.
Perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak merupakan salah satu
aspek dari tahapan perkembangan anak yang seharusnya tidak luput dari
perhatian para pendidik pada umumnya dan orang tua pada khususnya.
hebat dan menakjubkan. Oleh sebab itulah masalah ini mendapat perhatian besar.
Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif sejak lama. Pada saat itu kita
telah mempelajari banyak hal mengenai bagaimana anak-anak berbicara,
mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit hal yang kita ketahui
mengenai proses aktual perkembangan bahasa. Masa bayi atau balita (di bawah
lima tahun) adalah masa yang paling signifikan dalam kehidupan manusia.
Seorang bayi dari hari ke hari akan mengalami perkembangan bahasa dan
kemampuan bicara, namun tentunya tiap anak tidak sama persis pencapaiannya,
ada yang cepat berbicara ada pula yang membutuhkan waktu agak lama. Untuk
membantu perkembangannya, ibu dapat membantu memberikan stimulasi yang
disesuaikan dengan keunikan masing-masing anak. Sejalan dengan perkembangan
kemampuan serta kematangan jasmani terutama yang bertalian dengan proses
bicara, komunikasi tersebut makin meningkat dan meluas.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud mengakaji
pemerolehan bahasa pertama pada anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa
sehari-hari ditinjau dari segi kajian psikolinguistik.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah utama penelitian adalah
Bagaimanakah tahap pemerolehan bahasa anak usia 0-3 tahun? Atas dasar
rumusan masalah utama, maka disusun dalam sub rumusan masalah sebagai
berikut
1. Bagaimanakah tahap pemerolehan bahasa anak usia 0-1 tahun pada
2. Bagaimanakah tahap pemerolehan bahasa anak usia 1-2 tahun pada
aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi?
3. Bagaimanakah tahap pemerolehan bahasa anak usia 2-3 tahun pada
aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan tahap pemerolehan bahasa pada anak usia 0-3 Tahun
dalam bahasa sehari-hari.
2. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa pada anak usia 0-1 Tahun Pada
tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi dalam bahasa
sehari-hari.
3. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa pada anak usia 1-2 Tahun Pada
tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi dalam bahasa
sehari-hari.
4. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa pada anak usia 2-3 Tahun Pada
tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi dalam bahasa
sehari-hari.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai
1) Manfaat Teoritis
Kajian-kajian yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat
memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang
Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak-anak Usia 0 s.d 3 Tahun
sebagai fenomena psikolinguistik yang baru.
2) Manfaat Praktis
a) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para penutur
dalam lingkup keluarga untuk mempertimbangkan pemerolehan
bahasa anak pada usia dini agar mengetahui batasan- batasan
pemerolehan bahasa pada anak dalam praktik berkomunikasi.
b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter
dalam lingkup keluarga yang merupakan salah satu faktor penting
yang berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa pada anak
usia dini.
1.5Batasan Istilah
1) Pemerolehan bahasa anak.
Proses pengucapan bahasa yang dialami oleh anak.
2) Linguistik.
Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (depdiknas, 2008:
832)
3) Psikolinguistik.
Ilmu yang mempergunakan bahasa sebagai obyek studi.
Perkembangan bahasa pada pada anak adalah proses pemerolehan
bahasa yang dialami kanak-kanak sejak lahir sampai kira-kira
menjelang usia sekolah. (Abdul Chaer, 2003: 221)
5) Keluarga.
Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang
menjadi tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar
dalam masyarakat (Depdiknas, 2008: 659).
1.6Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
batasan istilah, dan sistematika penelitian.
Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang pemerolehan bahasa pada anak
usia 0 s.d 3 tahun. Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori
tentang (1) penelitian-penelitian yang relevan, (2) psikolinguistik, dan (3) Kajian
teori.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang
akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan
diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik
pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data,
Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan
saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian pemerolehan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penelitian TerdahuluPemerolehan bahasa anak usia dini dalam kajian ilmu psikolinguistik
merupakan fenomena baru yang belum dikaji secara mendalam. Oleh karena itu,
penelitian psikolinguistik yang mendalami proses pemerolehan bahasa pada usia
dini belum banyak ditemukan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang pemerolehan bahasa
pertama ditinjau dari ilmu psikolinguistik sebagai penelitian yang relevan.
Penelitian-penelitian tentang pemerolehan bahasa pada usia dini yang ditemukan
oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Putri Nasution (2009),
Endang Rusyani (2008), dan Ana Lestari (2012).
Penelitian tentang perkembangan bahasa anak dilakukan oleh Putri
Nasution (2009) dengan judul Kemampuan Berbahasa anak usia 3 sampai 4
tahun (Pra Sekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan. Jenis penelitian ini
adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan kemampuan
berbahasa anak usia 3-4 Tahun di play Group Tunas Mekar Medan. Peneliti
menggunakan metode kualitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Pada
dasarnya, pemerolehan bahasa anak usia 3-4 Tahun dimulai dengan pemerolehan
fonologi, sintaksis, dan semantik. Penelitian ini mengamati kemampuan berbahasa
di antara anak-anak itu sendiri, baik dengan teman maupun dengan guru mereka.
anak-anak usia 3-4 Tahun mampu berbahasa baik dari pemerolehan fonologi, sintaksis,
dan semantik. Walaupun anak mampu namun dalam pemerolehan fonologi anak
mengalami pergantian sebuah bunyi yang disuarakan dengan bunyi yang tidak
disuarakan, yaitu pada pelafalan kata “mau” menjadi “mo” yang merupakan
pelepasan vokal [a] dan pengubahan vokal [u] menjadi [o], naka juga melakukan
pelepasan konsonan yang lemah yaitu konsonan [l] dalam kata yang memiliki dua
buah suku kata, anak melakukan proses reduplikasi, kemudian melakukan reduksi
atau penyederhanaan kelompok kata. Pada pemerolehan sintaksis, anak mampu
menggunakan kalimat-kalimat yang gramatikal dan pada pemerolehannya
semantik anak lebih cenderung menggunakan makna denotatif. Dengan demikian,
dapat dilihat bahwa anak dilahirkan dengan potensi mampu memperoleh bahasa
apa saja termasuk bahasa Indonesia. Kemampuan itu membawa anak seorang
anak mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap dari sederhana sampai
bentuk yang kompleks.
Penelitian yang mengkaji tentang perkembangan bahasa anak juga
dilakukan oleh Endang Rusyani (2008) dengan judul Pemerolehan Bahasa Anak
2,5 Tahun. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini
mendeskripsikan tentang pemerolehan bahasa anak pada usia 2,5 Tahun.
Pemerolehan data tidak melalui perlakuan (eksperimen). Subjek penelitian
sebagai sumber data dibiarkan bercakap-cakap secara alamiah. Percakapan
alamiah itu diharapkan memunculkan data yang bersifat alamiah. Data alamiah
teknik perekamar, dan pencatatan. Perekaman dilakukan pada saat terjadi
komunikasi antar keluarga.
Temuan penelitain ini menunjukan bahwa anak telah mampu menguasai
pemerolehan bahasa dari segi fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Pada umur
2,5 tahun, seorang anak yang normal sudah dapat mengucapkan fonem-fonem,
dan kata yang terbatas sesuai dengan lingkungannya dan benda-benda yang ada
disekitarnya. Di samping itu, kata-kata yang keluar adalah masih
terpotong-potong dan ucapannya masih terpeleset. Pada umur 2,3 sampai 2,5 tahun,
kata-kata yang diproduksinya sudah mulai bertambah dan mulai dari kata-kata-kata-kata benda
dan kata kerja. Perkernbangan perbendaharaan bahasanya sudah mulai dengan
kata-kata benda yang abstrak. Sementara kata-kata benda dan kata kerja juga
bertambah diakibatkan oleh repetisi dari pemerolehan baik dari lingkungan dan
keluarganya secara sadar maupun tidak sadar. Pada umur 2,5 tahun anak dapat
merangkai kata-kata secara sederhana, mulai dari satu, dua sampai tiga kata, dan
akhirnya membentuk kalimat. Kalimat sederhana yang dikemukakannya masih
berkisar pada urutan sederhana dan belum teratur. Namun makna kalimat itu
sudah dapat ditangkap baik dalam kalimat berita, kalimat imperatif ataupun
kalimat tanya yang diperoleyh sekitar umur 2,5 tahun.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Ana Lestari (2012) dengan
judul Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 3-6 Tahun Pada
Pendidikan Anak Usia Dini Bina Harapan. Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Subjek penelitian adalah anak usia 3-6 Tahun pada PAUD Bina
PAUD Bina Harapan memperoleh kosakata dasar pada kata benda, kata kerja,
kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata yang berhubungan dengan kekerabatan,
dan kata depan. Anak usia 3-6 tahun telah memperoleh kosakata turunan pada
imbuhan prefiks, imbuhan sufiks, imbuhan infiks, dan imbuhan konfiks dan anak
usia 3-6 tahun juga telah memperoleh kosakata ulang.
Ketiga penelitian di atas merupakan penelitaian yang mengkaji tentang
pemerolehan bahasa, khususnya pemerolehan bahasa pada aspek fonologi,
sintaksis, dan semantik. Ketiga penelitian di atas menemukan tiga hal penting
dalam pemerolehan bahasa yakni tentang pemerolehan fonologi, sintaksis, dan
semantik. Dengan mengacu dari ketiga penelitian tersebut, peneliti akan mengkaji
lebih dalam tentang pemerolehan bahasa anak, secara khusus tahap-tahap
pemerolehan bahasa anak dan pemerolehan bahasa anak pada aspek fonologi,
morfologi, sintaksis, dan diksi.
2.2Landasan Teori
Secara etimologi bahwa kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan
kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri
sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya
sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya saja objek materialnya
berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji
perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya
juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak juga bagian-bagian
dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang
sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan oleh karena itulah, telah lama
dirasakan perlu adanya kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh
hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Pada awal kerja sama antara kedua disiplin itu disebut linguistic
psychology dan ada juga yang menyebutnya psychology of language. Kemudian
sebagai hasil kerja sama yang lebih baik, lebih terarah dan lebih sistematis
diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin baru yang disebut psikolinguistik,
sebagai ilmu antar disiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik
itu sendiri baru lahir tahun 1954, yakni tahun terbitnya buku Psycholinguistics : A
Survey of Theory and Research Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood
dan thomas A. Sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang
berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada
waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh
manusia. Maka secara teoritis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari suatu
teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat
menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya (Chaer, 2009: 5-6).
Hartley (dalam Pateda, 1990: 11) mengakatan Psikolinguistik membahas
hubungan bahasa dengan otak dalam memori dan menghasilkan ujaran-ujaran
dalam akuisisi bahasa. Yang penting dalam bahasa ini adalah bagaimana memori
dapat dan menghasilkan ujaran-ujaran dan bagaimana akuisisi bahasa itu
pekerjaan otak. Tidak diketahui dengan pasti, ialah bagaimana proses pengolahan
bahasa sehingga berwujud satuan-satuan yang bermakna dan bagaimana proses
pengolahan satuan ujaran yang dikirim oleh pembicara sehingga dimengerti oleh
pendengar. Segala sesuatu berada dalam batas-batas kesadaran, baik pada
pembicara maupun pra pendengar.
Selanjutnya Robert Lado (dalam Tarigan, 1985: 3) mengatakan
psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi
telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan
bahasa, dan hal-hal yang ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah
dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah
atau sendiri-sendiri. Menurut Lado, psikolinguistik hanya merupakan pendekatan.
Pendekatan untuk menelaah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, dan hal-hal
lain yang ada kaitannya dengan aspek-aspek ini. Disini jelas bahwa objek
psikolinguistik adalah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, perubahan bahasa,
dan hala-hal lain yang ada hubungannya dengan aspek-aspek ini.
Langacker (dalam Pateda, 1990: 12) mengatakan psikolinguistik
merupakan telaah akuisisi bahasa dan tingkah laku linguistik terutama mekanisme
psikologis yang bertanggung jawab atas kedua aspek itu. Batasan ini menekankan
akuisisi bahasa dan tingkah laku linguistik. Akuisisi bahasa bersangkut-paut
dengan pemerolehan bahasa, sedangkan tingkah laku linguistik mengacu kepada
proses kompetensi dan performansi bahasa. Proses-proses tetap berada di dalam
Dari beberapa definisi diatas dapat dikatakan bahwa bahwa psikolinguistik
adalah ilmu yang membahas hubungan bahasa dengan otak, dan juga sebagai
pendekatan studi bahasa. Selain itu psikolinguisik juga membicarakan tentang
akuisisi bahasa, kedwibahasaan dan perubahan bahasa. Ilmu psikolingistik juga
membahas linguistik dan hubungan proses linguistis dengan persepsi dan kognisi.
2.2.1 Teori Perkembangan Bahasa Anak
Penelitian yang digunakan untuk meneliti perkembangan bahasa anak
tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotesis, atau teori psikologi yang
dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori
dalam perkembangan bahasa anak. Dua pandangan yang kontroversial itu
dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan nativisme yang
berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak bersifat alamiah (nature), dan
pandangan behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada
anak-anak bersifat suapan (nurture). Pandangan ketiga muncul di Eropa dan Jean
Piaget yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa adalah kemampuan yang
berasal dari pematangan kognitif, sehingga pandangannya pun disebut sebagai
kognitivisme (Chaer, 2009: 221).
a) Pandangan Nativisme atau Mentalisme
Nativisme atau mentalisme berpendapat bahwa selama proses
pemerolehan bahasa pertama, anak-anak sedikit demi sedikit membuka
kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini
tidak menganggap lingungkannya memiliki pengaruh dalam pemerolehan bahasa,
dengan yang disebut hipotesis pemberian alam. Kaum nativis berpendapat bahwa
bahasa sangat kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam
waktu singkat melalui metode seperti peniruan. Jadi pasti ada beberapa aspek
penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah
(Chaer, 2009: 222).
Chomsky (1965,1975) melihat bahasa itu bukan hanya kompleks, tetapi
juga penuh dengan kesalahan dan penyimpangan kaidah pada pengucapan atau
pelaksanaan bahasa. Manusia tidaklah mungkin belajar bahasa pertama dari orang
lain. Selama belajar meraka menggunakan prinsip-prinsip yang membimbingnya
menyusun tata bahasa.
Menurut Chomsky (1965) bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia.
Binatang tidak mungkin menguasai bahasa manusia. Pendapat ini landasi pada
tiga asumsi. Pertama, perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunakan (genetik),
pola perkembangan bahasa adalah sama pada semacam bahasa dan budaya, dan
lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam proses pematangan bahasa. Kedua,
bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat, anak berusia empat tahun sudah dapat
berbicara mirip dengan orang dewasa. Ketiga, lingkungan bahasa si anak tidak
dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan bahasa yang rumit dari
orang dewasa.
Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan dibekali “alat pemerolehan
bahasa” Language Acquistion Device (LAD). Alat ini merupakan pemberian
biologis yang sudah diprogramkan untuk merinci butir-butir yang mungkin dari
untuk memproses bahasa, tidak punya kaitan dengan kemampuan kognitif
lainnya.
b) Pandangan Behaviorisme
Kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama
dikendalikan dari luar si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui
lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris menganggap kurang tepat karena
istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, suatu yang dimiliki atau digunakan,
dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan suatu perilaku,
diantara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka
menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip
dengan perilaku lain harus dipelajari.
Menurut Skinner (1969) kaidah gramtikal atau kaidah bahasa adalah
perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan
sesuatu. Namun, kalau demikian anak dapat berbicara, bukan karena penguasan
kaidah sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan
dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya.
Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak menguasai
kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakan ciri-ciri penting
dari bahasa di lingkungannya. Mereka berpendapat rangsangan dari lingkungan
tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka
dipandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara
acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui
c) Pandangan Kognitivisme
Ahli psikologi yang pertama kali membicarakan pandangan kognitivisme
adalah Slobin (1971). Slobin mengatakan bahwa seoarn anak itu lahir dengan
seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan Chomsky LAD. Slobin
mengatakan bahwa yang dibwa lahir bukanlah pengetahuan seperangkat kategori
linguistik yang semesta, seperti yang dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur
dan aturan-aturan bahasa yang dibawa lahir itulah yang memungkinkan seorang
untuk mengolah data linguistik. Menurut Slobin, perkembangan umum kognitif
dan mental anak adalah faktor penentu perolehan bahasa. Seorang anak belajar
atau memperoleh bahasa pertama dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak
struktur dan fungsi bahasa, secara aktif ia burusaha untuk mengembangkan
batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan
batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan
keterampilan bahasanya menurut strategi persepsi yang dimilikinya. Menurut
Slobin perolehan bahasa anak sudah diselesaikan pada usia kira-kira pada usia 3-4
tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan
kognitif umum anak itu.
Jean Piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah
yang terpisah, melainkan salah satu daiatara beberapa kemampuan yang berasal
dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar; maka perkembangan
bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di
dalam kognisi, jadi urutannya perkembangan kognitif menentukan perkembangan
2.2.2 Perkembangan Akuisisi Bahasa
Perkembangan akuisisi bahasa berhubungan dengan kematangan
neoromuskularnya yang kemudian dipengaruhi oleh stimulus yang diperolehnya
setiap hari. Pada tahap awal tidak ada kontrol terhadap pola tingkah lakunya
termasuk tingkah lau berbahasa. Vokal anak dan otot-otot bicaranya bergerak
refleks. Pada bulan-bulan pertama otaknya berkembang dan mengatur mekanisme
syaraf sehingga dengan demikian gerakan refleks tadi sudah dapat dikontrol.
Refleks itu berhubungan dengan gerakan lidah, atau mulut. Misalnya anak akan
mengedipkan mata kalau cahaya berubah-ubah atau bibirnya akan bergerak-gerak
apabila sesuatu yang disentuhkan pada bibirnya (Pateda, 1990: 53).
Dalam memikirkan perkembangan akuisisi bahasa ada baiknya
membedakan kematangan anak berbicara dan kematangan untuk mendengar
pembicaraan orang lain. Kematangan mendengarkan disebut dengan kematangan
menerima (receptive language skills), dan kematangan mengeluarkan bunyi
bahasa (expressive language skills) adalah kematangan untuk berbicara.
Kematangan menerima lebih dahulu daripada kematangan berbicara meskipun
dalam perkembangan selanjutnya kedua kematangan ini saling berhubungan
(Pateda, 1990: 54).
Pada awal kelahirannya, anak belum dapat membahas stimulus yang
berasal dari manusia. Ia belum dapat membahas dengan kata-kata. Ia hanya
membalas dengan tertawa yang tentu saja diikuti oleh gerakan anggota tubuhnya,
misalnya tangan dan kaki. Pada usia 9 bulan ia mulai mereaksi dengan kata-kata
tinggi dalam awal kehidupan sebagai manusia. Selama 3 bulan berikutnya ia
belajar mengerti hubungan kata-kata barangkali yang ia dengar dan pada usia
setahun ia sudah dapat mereaksi terhadap kata yang mengandung makna
komando. Berbicara mengenai akuisisi bahasa, tentu tidak terlepas dai
perkembangan fisik. Perkembangan fisik dimaksud adalah perkembangan fisik
yang normal, karena perkembangan fisik yang tidak normal merupakan gangguan
dalam kematangan fisiknya. Perkembangan fisik berhubungan dengan
perkembangan motorik. Perkembangan motorik ini berupa :
a) Pada bagian kepala:
Koordiansi mata, lebih dahulu yang horizontal, lalu yang
verikaldan sesudah itu sirkuler.
Reaksimata terhadap objek bergerak.
Reaksi senyum.
Refleks pejam mata.
Kecakapan mengangkat kepala.
b) Pada lengan:
Posisi jari yang memungkinkan anak dapat memegang sesuatu.
Koordinasi mata-tangan yang memungkinkan pencapaian pegangan
yang tepat,
Kecakapan makan.
Kecakapan menggunakan satu tangan.
c) Pada tubuh :
Duduk sendiri yang akan tampak pada usia 9 atau 10 bulan.
Gerakan dari tegak sikap duduk yang akan tampak pada usia satu
tahun.
d) Pada kaki :
Kecakapan berjalan yang dimulai dari kecakapan menginjak dan
kemudian diikuti oleh kecakapan menjaga keseimbangan.
Kecakapan merayap, berpindah tanpa pertolongan kaki atau tangan.
Berjingkrak, gerakan berpindah karena bantuan kaki dan tangan.
Berdiri.
Berjalan, mulai dengan pertolongan.
Kecakapan diatas berlangsung samapi anak usia berumur 1,5 tahun. Umur
1,5-6 tahun kecakapan itu akan tampak, misalnya berlari, melompat, memanjat
(Pateda, 1990: 54-55).
2.2.3 Proses Akuisisi Bahasa
Telah ada keyakinan diantara sesama ahli psikolinguistik bahwa akuisisi
bahasa bersifat dinamis. Artinya bahwa akuisisi bahasa berlangsung dari tahap ke
tahap yang lain. Di dalam tahap perkembangan akuisisi ini terjadi, Pertama,
perubahan-perubahan, teuratama yang berhubungan dengan struktur bahasa.
Kedua, perkembangan ini ditentukan oleh interaksi personal, berfungsinya saraf
secara baik, dan proses kognitif. Ketiga, bahwa dalam akuisisi terjadi poroses
pemilihan kata-kata dan stuktur yang tidak dianalisis oleh anak. Keempat bahwa
teori yang digunakan bersifat umum. Lain dari kata itu telah disepakati pula
lain akuisisi bahasa bergantung pada lingkungan bahasa anak (Lowenthal, Et-al,
1982:303).
Akuisisi bahasa merupakan proses yang berkelanjutan dari satu fase ke
fase berikutnya. Konstruksi linguistik yang muncul merupakan rangkaian
konstruksi yang telah dikuasai sebelumnya, dan banyak diantaranya belum dapat
dijelaskan secara ilmiah. Saporta (dalam Pateda, 1990 ) menyatakan bahwa anak
tidak memiliki insting bawaan untuk meniru. Bayi belajar dengan jalan meniru
yang kemudian hasil tiruannya itu menjadi kebiasaan. Apa yang ditiru diulang
berkali-kali pada kesempatan yang berbeda. Setiap kali anak mengulanginya
karena kebutuhan, lingkungan anak menguatkannya. Miller dan Dollaerd
menyatakan bahwa kemampuan meniru menolong anak untuk merangkai
kata-kata yang dibutuhkannya.
Mowrer (Saporta, Ed., 1961: 333) menyatakan bahwa dalam tahapan
menggumam (cooing) dan meraban (babbling), anak selalu mengulanginya karena
bunyi-bunyi itu mirip denagn bunyi yang ia dengar dari ibunya. Mowrer juga
berpendapat bahwa anak membentuk kata dan kalimat yang dibutuhkannya karena
ada stimulus. Jadi, dalam proses akuisisi bahasa anak belajar kata atau kalimat
yang dibutuhkan dan gerakan mana yang diperlukan apabila sesuatu diinginkan
atau tidak diinginkan. Bersamaan dengan itu, anak mulai mengenal makna dan
berkemaknaan apa yang dikatakan dan didengarnya.
Stimulus yang diterimanya tentu bersifat global pada tahap awal. Stimulus
global itu lama-lama memperlihatkan perbedaan dalam urutan pengalamannya. Ia
dan error. Staats (Palermo, 1978: 18) menyatakan bahwa anak memperluas
bahasanya dengan jalam menambahkan kata yang dikuasainya pada kata atau
gabungan kata yang diucapkannya.
2.2.4 Tahap-tahap Perkembangan Bahasa
Menurut Aitchison (dalam Harras dan Andika, 2009: 50-56), tahap
kemampuan bahasa anak sebagai berikut.
Tahap Prkembangan Bahasa Usia
Menangis Lahir
Mendekur 6 minggu
Meraban 6 bulan
Pola intonasi 8 bulan
Tuturan Satu Kata 1 tahun
Tuturan dua kata 18 bulan
Infleksi kata 2 tahun
Kalimat Tanya dan Ingkar 2,5 tahun
Konstruksi yang jarang dan kompleks 5 tahun
Tuturan yang matang 10 tahun
a) Menangis
Menangis pada bayi mempunyai beberapa makna, seperti tangisan
untuk minta minum, minta makan, tangisan karena kesakitan, dan
sebagainya.
b) Mendekur
Mendekur sebenarnya sulit dideskpripsikan, karena bunyi yang
bunyi vokal yang dihasilkan orang dewasa. Tampaknya dengan
mendengkur si bayi melatih peranti alat ucapnya.
c) Meraban
Secara bertahap, bunyi konsonan akan muncul pada waktu anak itu
mendekur dan ketika anak mendekati enam bulan, ia masuk pada tahap
meraban. Secara impresif anak menghasilkan vokal dan konsonan
secara serentak.
d) Pola intonasi
Pada usia delapan atau sembilan bulan, anak mulai menirukan pola-pola
intonasi. Hasil tuturan anak mirip dengan yang dikatakan oleh ibunya.
Anak tampaknya mencoba menirukan percakapan dan hasilnya adalah
tuturan yang kadang-kadang tidak dipahami oleh orangtuanya atau
orang dewasa yang lain.
e) Tuturan satu kata (Holofrases)
Antara umur satu tahun dan delapan belas bulan anak mulai
mengucapkan tuturan satu kata. Jumlah kata yang diperoleh bervariasi
tergantung masing-masing anak. Biasanya variasi berupa kata mama,
papa, meong.
f) Tuturan dua kata
Pada tahap ini tuturan bersifat telegrafis, yaitu mengucapkan kata-kata
yang mengandung arti paling penting. Tuturan yang awalnya Ani susu
g) Infleksi kata
Secara gradual, kata-kata yang dianggap remeh atau tidak penting mulai
digunakan. Infleksi kata juga mulai digunakan. Kata-kata yang
dianggap remeh dan infleksi itu mulai merayap di antara kata benda dan
kata kerja yang digunakan oleh anak.
h) Kalimat tanya dan ingkar
Pada tahap ini anak sudah mulai memperoleh struktur kalimat yang
lebih rumit. Dalam bahasa Indonesia, anak mulai memperoleh kalimat
tanya seperti apa, siapa, dan kapan. Misalnya kalimat berbunyi apa
ini?, siapa orang itu?, dan kapan Ayah pulang? Sedangkan dalam
kalimat ingkar biasanya berupa kalimat kakak tidak nakal, ga mau
makan, ini bukan punya adik.
i) Konstruksi yang jarang dan kompleks
Pada usia lima tahun, anak secara mengesankan memperoleh bahasa.
Kemampuan bahasa terus berlanjut meskipun agak lamban. Tata bahasa
anak berusia lima tahun berbeda dengan tata bahasa orang dewasa.
Tetapi lazimnya mereka tidak menyadari kekurangan mereka dalam hal
itu.
j) Tuturan yang matang
Perbedaan tuturan anak dengan tuturan orang dewasa secara
pelan-pelan akan berkurang ketika usia anak itu semakin bertambah. Ketika
usianya mencapai sebelas tahun, anak mampu menghasilkan kalimat
2.2.5 Ujaran, Mengerti Ujaran dan Pikiran
Ketika seseorang ingin menguasai bahasa, ia belum mengerti lebih dahulu
apa yang akan dikataknnya sebelum ia menghasilkan ujarannya. Bagi seorang
anak tentu ia lebih banyak dan memperhatikan orang lain yang sedang berbicara.
Anak kecil tadi kemudian mengasosiasikan ujaran yang ia dengar dengan apa
yang terjadi setelah pembicara mengujarkan sesuatu. Misalnya seorang ibu
berkata kepada seorang anakyang sedang mengganggunya sementara ibu sedang
memasak. “Tunggu ya, ibu memasak dulu”. Anak akan memperhatikan perilaku
ibunya. Ia melihat setelah mengatakan “ Tunggu ya, ibu memasak dulu”, ibunya
bergegas menuangkan air kedalam periuk, lalu periuk diangkat dan disimpan atas
kompor. Setelah itu anak akan mengerti bahwa memasak adalah kegiatan
menuangkan air kedalam periuk dan disimpan diatas kompor.
Disini anak memperoleh kesempatan untuk lebih dahulu mendengarkan
ujaran orang lain. Ia mengasosiasikannya dengan kegiatan yang berhubungan
denfgan ujaran tersebut. Ia lebih banyak mendegarkan ujaran norang lain. Orang
yang ada disekitarnya banyak memberikan informasi tentang berbagai hal. Ia
selalu menghubungkan ujaran orang lain dengan kenyataan atau kejadian yang
berhubungan dengan ujaran itu. Baginya tiap bunyi yang berwujud ujaran
mempunyai makna. “Tanpa asosiasi dengan makna, ujaran tidak ada artinya atau
tidak mempunyai makna komunikatif baginya” (Steinberg, dalam Pateda 1990:
62)
Pada waktu anak belajar berbahasa, ia harus mendengarkan lebih dahulu
orang lain dihubungkannya dengan proses, kegiatan, benda dan situasi yang ia
saksikan. Ini berarti bahwa anak menghubungkan apa yang ia dengar melalui
proses pikirannya. Dengan kata lain proses berpikir menjadi dasar untuk mengerti
ujaran. Bagi anak, benda, proses, peristiwa harus berfungsi baginya, bahkan ia
merasa senang ketika makan pisang. Disini tampak bahwa pengertian pisang,
bendanya dan makna pisang melewati pengertian fungsi.
Namun demikian Eve Clarck (dalam Dato, 1975: 86) menyatakan bahwa
ada tiga kesulitan yang berkaitan dengan peranan fungsi itu dalam akuisisi makna.
Kesulitan itu adalah pertama, banyak contoh dimana fungsi dihubungkan dengan
bentuk. Kedua, pengetahuan tentang fungsi kadang-kadang diperoleh terlambat
dalam beberapa hal. Ketiga, banyak benda yang ternyata belum fungsi bagi anak,
misalnya kuda, lantai, langit. Kata-kata pisang, bubur, air, segera dipahami makna
karena kata-kata ini berfungsi bagi anak. Eve Clark (dalam Dato, 1975:91)
berpendapat bahwa ada tiga tahap akuisisi bahasa yang berhubungan dengan
makna yakni, (i) tidak ada kontras antara disni dan disana, (ii) hanya sebagian
yang kontras, misalnya hanya dalam stu konteks, dan (iii) kontras penuh, misalnya
bodoh dengan pandai, tebal dengan tipis.
Steinberg (dalam Pateda, 1990: 64) berpendapat bahwa perkembangan
bahasa tidak tergantung pada kematangan otak secara biologis, tetapi apa yang
dirasakan anak untuk mengujarkan apa yang dipikirkannya. Memang ada dua
pendapat yang bertentangan, yakni pandangan mekanis dan pandangan mentalis.
Pandangan mekanis mengatakan bahwa anak lahir tidak membawa apa-apa yang
anak lahir telah membawa potensi atau kapasitas bahasa yang akan berkembang
kalau kematangannya telah tiba.
2.2.6 Perkembangan Ujaran
Banyak bunyi yang dikeluarkan oleh bayi tetapi tidak semuanya
mempunyai wujud di dunia sekelilingnya. Tentu saja dalam ujaran bayi yang
mula-mula muncul yakni vokal, oleh karena vokal yang mudah diujarkan. Dengan
kata lain bunyi bahasa yang diujarkan bergantung pada tingkat kesulitan bunyi
bahasa itu. Itu sebabnya konsonan /th/ dalam kata thought, thing, thin jarang
segera terdengar jika dibandingkan dengan konsonan /m/ atau /n/.
Nakazima (dalam Steinberg, 1982: 148) melaporkan bahwa pada usia 6
bulan, anak-anak sudah dapat mengujarkan kata-kata dan kata-kata yang
bertekanan. Kenyataan ini telah mengarahkan kepada hal yang dipelajari melewati
pendengaran. Kadang-kadang meraban yang dapat ditafsirkan sebagai kata-kata,
baru muncul ketika bayi telah berumur setahun. Dalam pengujaran konsonan,
biasanya konsonan depan yang mengawali pengujaran konsonan belakang. Jadi
konsonan /m, b, t, d/ akan mendahului konsonan /k, g, x/, sedangkan pengujaran
vokal cenderung dari belakang kedepan. Jadi, vokal /o,u/ mendahului pengujaran
/i, e, a/.
Steinberg (1982: 149) berpendapat bahwa dalam pengujaran konsonan,
dapat kita bagi atas konsonan yang segera terlihat artikulasinya dengan konsonan
yang mudah diartikulasikan. Itu sebabnuya anak dahulu mengujarkan konsonan /
m, b, p/ karena konsonan-konsonan itu mudah dilihat alat berbicara yang
misalnya /f, s/ tidak segera dapat diujarkan karena alat bicara yang
mengahsilkannya tidak kelihatan. Hal ini dapat dihubungkan dengan kenyataan
yang menyatakan bahwa anak belajar melaui proses meniru. Hal yang ditiru tentu
harus dapat dilihat. Dipandang dari segi kemudahan mengujarkan, maka vokal /a/
lebih mudah diujarkan. Itu sebabya menurut steinberg vokal /a/ yang dahulu dapat
diujarkan jika dibandingkan dengan vokal yang lain, misalnya / i, e, o, u/.
2.2.7 Perkembangan Sosial dan Komunikasi
Ada pendapat bahwa sejak lahir bayi usia sekitar setahun dianggap belum
punya bahasa atau belum berbahasa (Poerwo, 1989). Kiranya anggapan ini belum
mencerminkan perilaku bayi yang sesungguhnya, sebab meskipun dikatakan
belum mempunyai bahasa, tetapi sebenarnya bayi itu sudah berkomunikasi.
Menangis merupakan salah satu cara pertama untuk berkomunikasi dengan dunia
sekitarnya.
Sesungguhnya semenjak lahir bayi sudah disetel secara biologis untuk
berkomunikasi, dia akan tanggap terhadap kejadian yang ditimbulkan oleh orang
sekitarnya (terutama ibunya). Daya lihat bayi yang paling baik berada pada jarak
kira-kira 20 cm, yakni jarak yang terjadi pada waktu interaksi rutin antara bayi
dan ibu, yaitu pada saat bayi menyusu pada ibunya, dalam jarak 20 cm itu. Oleh
karena itu, bayi akan membahas tatapan ibunya denagn melihat mata sang ibu
yang menarik perhatiannya. Kemudian bayi juga belajar bahwa sewaktu terjadi
saling tatap mata berarti ada komunikasi, antara dia dan ibunya.
Bayi memang sudah terlibat aktif dalam proses interaktif dengan ibunya
mengamati wajah ibunya. Pada minggu pertama kehidupannya dia sudah mulai
menirukan kegiatan menggerakan tangan, menjulurkan lidah, dan membuka
mulut. Menjelang usia satu bulan dia mulai menirukan tinggi rendah dan panjang
pendek suara ibunya.
Pada usia dua minggu bayi sudah dapat membedakan wajah ibunya dari
wajah orang lain. Dia sangat tanggap terhadap terhadap setiap orang yang
mendekatinya dan terutama tertarik untuk mengamati mata dan mulut; dan dia
akan bereaksi dengan senyum. Pada usia sekitar tiga minggu senyum bayi sudah
dapat disebut sebagai “senyum sosial”, sebab senyum itu diberikan sebagai reaksi
sosial terhadap rangsangan (berupa wajah atau suara ibu) dari luar.
Pada bulan kedua bayi semakin sering berkedut (cooing), bunyi seperti
bunyi burung merpati. Bayi berkedut jika berada dalam keadaan senang, misalnya
karena ada yang menemani, mengajak berbicara, mengajak bermain, dan
sebagainya. Menjelang usia tiga bulan kemampuan kognitif bayi sudah
meningkat, dia tidak tertarik pada wajah yang diam saja; dia mengaharapkan lebih
dari itu agar tetap berminat untuk berinteraksi. Dalam hal ini sang ibu pun tampak
menyesuaikan diri dengan sikap dan ekspresi wajahnya., berbicara lebih banyak,
dan dengan variasi suara yang dilebih-lebihkan. Terhadap sikap ibu yang baru ini
bayi merasa tertarik lagi, dan mau menanggapinya. Maka terjadilah kemajuan
setapak lagi dalam perkembangan kemampuan bayi untuk berkomunikasi.
Setapak demi setapak kemajuan interaksi dan komunikasi bayi semakin
bertambah. Ibu selalu menyesuaikan diri dengan tahap baru perkembangan bayi.
meningkat. Pada saat menjelang usia 12 minggu bayi mulai mengeluarkan suara
balasan jika ibu memberikan tanggapan terhadap suaranya. Hal ini berlangsung
terus sampai menjelang bayi berumur enam bulan.
Pada tahap berikutnya bayi mulai memahami pola gilir (turn talking) di
dalam berkomunikasi. Maksudnya adalah, dia mulai mengerti kapan dia harus
bereaksi terhadap rangsangan dari ibunya, dan kapan pula dia harus diam.
Permainan “ci-luk-ba” atau semacamnya semakin mempertajam kemampuan bayi
untuk memahami pola gilir di dalam komunikasi. Melaui permaina “ci-luk-ba”
itu bayi juga belajar mengakhiri suatu komunikasi. Dia mengerti, misalnya, kalau
ibu mengalihkan padangan ke arah lain, berarti permainan berhenti.
Menjelang usia lima bulan, bayi mulai menirukan suara dan gerak-gerik
orang dewasa secara sengaja, sehingga semakin meningkatlah perbendaharaan
ekspresi wajahnya. Lalu, pada usia lima bulan dia dapat bersuara dengan sikap
yang menunjukan rasa senang, rasa tidak senang, dan rasa ingin tahu.
Menjelang usia enam bulan miant bayi pada mainan dan benda-benda
semakin meningkat; tadinya minatnya lebih terarah pada manusia. Dia akan
tertarik dengan benda-benda yang digerakan atau yang berbunyi. Pada usia enam
bulan terjadi pergeseran minat, dia lebih tertarik pada enda daripada manusia.
Maka sejak itu, interaksi menjadi tiga serangkai yakni bayi, ibu, dan benda-benda.
Antara usia tujuh samapai dua belas bulan anak mulai lebih memegang
kendali didalam interaksi dengan ibunya. Anak belajar menyatakan keinginan atau
kehendak secara lebih jelas dan lebih efektif. Cara yang digunakan untuk
gerakan tangan. Pada mulanya gerakan tangan yang menyatakan keinginan itu
tanpa disertai suara, tetapi kemudian secara bertahap suara muncul menyertainya.
Von Reffler Engel mencatat bahwa anak laki-laki menyuarakan “e-e-e” untuk
meminta sesuatu, dan menyuarakan “u-u-u” jika tidak menyetujui sesuatu.
Sedangkan Dore (dalam Purwo, 1989) melaporkan telah mendengar empat anak
manusia sebelas bulan secara konsisten menyuarakan “a-a-a” untuk menyatakan
rasa senang, dan bunyi “e-e-e” untuk menyatakan protes.
2.2.8 Pemerolehan Dalam Bidang Fonologi
Pada saat dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya.
Pada umur 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan
bunyi konsonan atau vokal. Bunyi –bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya
karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi
seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan
(Dardjowidjojo, 2000: 63). Anak mendekutkan bunyi-bunyi yang beragam dan
belum jelas identitasnya.
Pada sekitar 6 bulan, anak mulai mencampurkan konsonan dengan vokal
sehingga membentuk apa yang dalam bahasa inggris disebut babbling, yang telah
diterjemahkan menjadi celotehan (Dardjowidjojo, 2000: 63). Celotehan dimulai
dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama
adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. Dengan
demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini
kemudian diulang sehingga muncul struktur seperti berikut.
Orang tua akan mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu
meskipun apa yang di benak anak tidaklah kita ketahui dan tidak bisa dipungkiri
bahwa celotehan itu hanya sekedar latihan artikulasi belaka. Konsonan dan
vokalnya secara bertahap berubah sehingga muncul seperti kata dadi, dida, tita,
dita, mama, mami, dan sebagainya. Konsonan pada akhir kata sampai dengan
umur sekitar 2;0 banyak yang tidak diucapkan sehingga kata mobil diucapkan /bi/.
Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan kelompok konsonan
sehingga kata Eyang Putri akan disapanya dengan eyang /ti/.
a) Teori Struktural Universal
Teori Struktural dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson (dalam
Chaer, 2009: 185-189), pada intinya teori ini mencoba menjelaskan pemerolehan
fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hukum-hukum
struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi. Dalam penelitiannya Jakobson
mengamati pengeluaran bunyi-bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel
(bablling) dan menemukan bahwa bayi yang normal mengeluarkan berbabagi
ragam bunyi dan vokalisasinya baik bunyi vokal maupun bunyi bunyi konsonan.
Namun, ketika bayi mulai memperolah “kata” pertamanya pada usia satu tahun,
maka kebanyakan bunyi-bunyi itu baru muncul kembalai beberapa tahun
kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menyimpulkan adanya dua tahap
pemerolehan fonologi, yaitu (1) tahap membabel prabahasa dan (2) tahap
pemerolehan bahasa murni.-
Pada tahap prabahasa bunyi-bunyi yang dihasilkan bayi tidak menunjukan
dengan masa pemerolehan bahasa berikutnya. Jadi, pada tahap membabel ini bayi
hanya melatih alat-alat vokal dengan cara mengeluarkan bunyi-bunyi tanpa tujuan
tertentu, atau bukan untuk berkomunikasi. Sebaliknya, pada tahap pemerolehan
bahasa yang sebenarnya bayi mengikuti suatu pemerolehan bunyi yang realtif
universal dan tidak berubah.
Jika tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya dimulai, maka akan terdapat
urutan peringkat perkembangan yang teratur dan tidak berubah, meskipun taraf
kemajuan tiap individu tidak sama. Perkembangan peringkat ini ditentukan oleh
hukum-hukum yang besrsifat universal yang oleh Jakobson disebut “the laws of
irreversible solidarty”.Perkembangan itu bergerak dari bentuk yang sederhana
kepada bentuk yang kompleks dan rumit. Kerumitan suatu bunyi ditentukan oleh
jumlah fitur (oposisi) yang dimiliki oleh bunyi itu dalam satu sistem. Jadi,
sebenarnya yang diperoleh oleh bayi bukanlah bunyi satu demi satu, melaikan
berupa oposisi-oposisi tau kontras fonemik, atau fitur yang berkontras.
Bunyi-bunyi bahasa-bahasa yang ada di dunia ini berbeda-beda, namun
hubungan-hubungan tertentu yang ada pada bunyi-bunyi ini sifatnya tetap.
Umpamanya, apabila suatu bahasa memiliki bunyi hambat velar seperti [g] maka
bahasa itu pasti mempunyai bunyi hambat alveolar seperti [t], dan juga hambat
bilabial seperti [b]. Jika suatu bahasa mempunyai bunyi hambat alveolar [t] dan
[d], maka bahasa itu juga pasti mempunyai bunyi hambat bilabial [b] dan [p];
tetapi belum tentu bahasa itu memiliki bunyi velar [g] dan [k]. Begitu juga apabila
suatu bahasa mempunyai konsonan frikatif [v] dan [s], maka bahasa itu pasti