• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN HAYATI ( Biological Control ) SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENDALIAN HAYATI ( Biological Control ) SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

PENGENDALIAN HAYATI ( Biological Control ) SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

Maria Heviyanti

Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Samudra, Langsa Abstrak

Kajian penulisan tentang Pengendalian Hayati sebagai Salah Satu Komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dilakukan di Desa Alue Merbau Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat petani di Desa Alue Merbau tentang pentingnya pengendaliaan hayati, sebagai pengendalian yang ramah lingkungan, Efektif dan Efisien. Didalan suatu ekosistem terjadi hubungan timbal balik baik intra maupun antar spesies, yang disebut sebagai rantai makanan. Prinsip pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (biological control agen), seperti predator, parasitoid dan patogen. Pengendalian hayati memiliki keuntungan dan kelemahan. Dilihat dari fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi predator, parasitoid dan patogen. Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa serangga lain. Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang antropoda lainnya. Patogen adalah golongan mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga sakit dan akhirnya mati. Mikroorganisme yang dapat menjadi patogen adalah virus, bakteri, protozoa, jamur, riketsia dan nematoda. Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam, penggunaan varietas yang tahan hama OPT, pengendalian secara fisik atau mekanik, pengendalian secara genetik, penggunaan pestisida secara selektif, penggunaan OPT dengan peraturan atau karantina, ini merupakan teknologi PHT.

(2)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

Pendahuluan A. Latar Belakang

Pengendalian hayati sebagai

komponen utama PHT pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan

musuh alami untuk mengendalikan

populasi hama yang merugikan.

Pengendalian hayati sangat

dilatarbelakangi oleh berbagai

pengetahuan dasar ekologi terutama teori

tentang pengaturan populasi oleh

pengendali alami dan keseimbangan

ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas

parasitoid, predator dan patogen

merupakan pengendali alami utama hama yang bekerja secara "terkait kepadatan populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang

meningkat sehingga mengakibatkan

kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami

untuk menjalankan fungsi alaminya.

Apabila musuh alami kita berikan

kesempatan berfungsi antara lain dengan introduksi musuh alami, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap musuh alami, musuh alami dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.

Meskipun praktek pengendalian hayati telah dilakukan ratusan tahun yang lalu di daratan Cina, pengendalian hayati yang pertama kali didokumentasikan ialah pada tahun 1762, ketika burung Mynah dibawa dari India ke Mauritius untuk memangsa hama belalang. Secara ilmiah keberhasilan pengendalian hayati pertama yang tercatat adalah pengendalian hama kutu berbantal pada kapas Icerya purchasi di California, Amerika Serikat dengan mengintroduksikan predator dari Australia yaitu kumbang vedalia, Rodolia cardinalis pada tahun 1888. Setelah keberhasilan tersebut kemudian ratusan jenis hama telah berhasil dikendalikan dengan cara hayati. Banyak hama di Indonesia berhasil dikendalikan dengan memasukkan musuh

alami terutama sebelum tahun 1950-an

sewaktu pestisida belum banyak

digunakan oleh petani. Salah satu jenis hama adalah hama belalang pedang Sexava sp yang menyerang kelapa yang dapat berhasil dikendalikan oleh parasitoid telur

Leefmansia bicolor di Sulawesi Utara.

Juga hama ulat daun kubis (Plutella

xylostella) di Jawa Barat berhasil

dikendalikan oleh parasitoid Diadegma sp. Introduksi parasitoid telur Chelonus sp dari wilayah Bogor ke Flores untuk mengendalikan ngengat mayang kelapa (Batracedra spp). Pembiakan massal parasitoid telur Trichogramma spp dan lalat Jatiroto (Diatraeophaga striatalis) sangat membantu mengendalikan serangan penggerek batang tebu pada tahun 1972.

Selanjutnya pada 1975 telah

diintoduksikan kumbang moncong

Neochetina eichhorniae dari Flores ke

Bogor untuk pengendalian eceng gondok.

Introduksi kumbang Curinus

coreolius dari Hawai dilakukan untuk

mengendalikan hama kutu loncat lamtoro

Heteropsylla sp tahun 1986. Dari tahun

1950 sampai 1970an pengendalian hayati pamornya berkurang akibat penggunaan pestisida kimia yang sangat dominan di seluruh dunia.

Sebagai sasaran teknologi PHT

adalah : 1) Peningkatan produksi

pertanian, 2) Peningkatan penghasilan dan kesejahteraan petani, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara

ekonomi tidak merugikan dan 4)

Pengurangan resiko pencemaran

Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan (Anonim, 2004).

Konsep PHT muncul dan berkembang

sebagai koreksi terhadap kebijakan

pengendalian hama secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengakibatkan dampak samping yang

(3)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

kesehatan petani itu sendiri maupun masyarakat secara luas.

Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian

berupa timbulnya dampak buruk

penggunaan pestisida, dapat

dikelompokkan atas 3 bagian: (1).

Pestisida berpengaruh negatip terhadap

kesehatan manusia, (2). Pestisida

berpengaruh buruk terhadap kualitas

lingkungan, dan (3). Pestisida

meningkatkan perkembangan populasi

jasad penganggu tanaman. Di Kota Langsa, khususnya di Desa Alue Merbau, Kecamatan Langsa Timur, merupakan daerah yang masih banyak sekali terdapat beberapa jenis musuh alami yang diketahui dapat menjaga keseimbangan ekosistem, akan tetapi akhir-akhir ini musuh alami tersebut makin berkurang dan jarang untuk dapat ditemui lagi, sebagai missal ada beberapa jenis spesies burung, dan juga serangga yang dikenal sebagai pengendali alami hama serangga, saat ini sulit diketemukan dan mungkin saja sedang

menuju kepunahan. Salah satu

penyebabnya adalah akibat pengaruh buruk pestisida terhadap lingkungan, yang tercemar melalui rantai makanan.

Dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penulisan

dengan judul:”Pengendalian Hayati

(Biological Control) sebagai Salah Satu

Komponen Pengendalian Hama

Terpadu (PHT)” Penulisan ini

merupakan salah satu bentuk penulisan ilmiah dan diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah, akademisi dan masyarakat khususnya petani di Desa Alue Merbau, tentang pengendalian hayati

yang ramah lingkungan.efektif, dan

efesien.

B. Tujuan penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk

memberikan pemahaman kepada

masyarakat petani di Desa Alue Merbau, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa, tentang pentingnya pengendaliaan hayati, sebagai suatu teknik pengendalian yang ramah lingkungan, Efektif dan Efisien. Pembahasan

A. Prinsip Pengendalian Hayati

Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan

secara sengaja memanfaatkan atau

memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979 mendefinisikan Pengendalian Hayati sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh

alami sehingga kepadatan populasi

organisme tersebut berada di bawah

rata-ratanya dibandingkan bila tanpa

pengendalian.

Ada beberapa ahli yang meluaskan pengertian pengendalian hayati sebagai

usaha pengendalian hama yang

mengikutsertakan organisme hidup.

Varietas tahan hama, manipulasi genetik,

dan penggunaan serangga mandul

dimasukkan sebagai bagian teknik

pengendalian hayati. Untuk selanjutnya dalam kuliah kita gunakan pengertian pengendalian hayati yang pertama.

Pengendalian Alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh karena bekerjanya musuh

alami, tetapi juga oleh komponen

ekosistem lainnya seperti makanan, dan cuaca.

Pengendalian hayati dalam

pengertian ekologi didifinisikan sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alam hingga kepadatan

populasi organisme tersebut berada

dibawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian.

(4)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

Menurut Untung (2006). Prinsip

pengaturan populasi organisme oleh

mekanisme saling berkaitan antar anggota suatu komonitas pada jenjang tertentu juga

terjadi didalam agroekosistem yang

dirancang manusia. Musuh alami sebagai

bagian dari agroekosistem memiliki

peranan menentukan dalam pengaturan dan pengendalian populasi hama. Sebagai faktor yang bekerjanya tergantung dari kepadatan yang tidak lengkap (imperfectly

density dependent) dalam kisaran tertentu,

populasi musuh alami dapat

mempertahankan populasi musuh alami tetap berada disekitar batas keseimbangan dan mekanisme umpan

balik negatif. Kisaran keseimbangan tersebut dinamakan Planto Homeostatik. Diluar plato homeostatik musuh alami

menjadi kurang efektif dalam

mengembalikan populasi kearas

keseimbangan. Populasi hama dapat

meningkat menjahui kisaran keseimbangan akibat bekerjanya factor yang bebas kepadatan populasi seperti cuaca dan akibat tindakan manusia dalam mengelola lingkungan pertanian.

Menurut Jumar (2000). Pengendalian hayati memiliki keuntungan yaitu : (1).

Aman artinya tidak menimbulkan

pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan ternak, (2) tidak menyebabkan resistensi hama, (3) musuh alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya, dan (4) bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan

telah setabil atau telah terjadi

keseimbangan antara hama dan musuh alaminya.

Selain keuntungan pengendalian hayati juga terdapat kelemahan atau kekurangan seperti: (1) hasilnya sulit diramalkan dalam waktu yang singkat, (2) diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarana, (3) dalam hal pembiakan di laboratorium

kadang-kadang menghadapi kendala

karena musuh alami menghendaki kondisi

lingkungan yang kusus dan (4) teknik

aplikasi dilapangan belum banyak

dikuasai.

AGENS PENGENDALIAN HAYATI Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies serangga termasuk serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang organisme lain. Bagi

serangga yang diserang organisme

penyerang disebut "musuh alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir

semua kelompok organisme dapat

berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di luar serangga. Kelompok musuh alami yang paling penting adalah dari golongan serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya musuh alami atau agens pengendalian hayati dapat kita kelompokkan menjadi parasitoid, predator, dan patogen. 1. Parasitoid

Parasitoid adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang lain yang lebih besar yang merupakan

inangnya. Serangan parasit dapat

melemahkan inang dan akhirnya dapat membunuh inangnya karena parasitoid makan atau mengisap cairan tubuh inangnya. Untuk dapat mencapai fase

dewasa suatu parasitoid hanya

memerlukan satu inang. Dengan demikian parasitoid adalah serangga yang hidup dan makan pada atau dalam serangga hidup lainnya sebagai inang. Inang akan mati jika perkembangan hidup parasitoid telah lengkap.

Parasitoid merupakan serangga

yang memarasit serangga atau binatang artropoda yang lain. Parasitoid bersifat

parasitik pada fase pradewasanya

sedangkan pada fase dewasa mereka hidup

bebas tidak terikat pada inangnya.

Umumnya parasitoid akhirnya dapat

(5)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

yang mampu melengkapi siklus hidupnya sebelum mati. Parasitoid dapat menyerang setiap instar serangga. Instar dewasa merupakan instar serangga yang paling jarang terparasit.

Oleh induk parasitoid telur dapat diletakkan pada permukaan kulit inang atau dengan tusukan ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang. Larva yang keluar dari telur menghisap

cairan inangnya dan menyelesaikan

perkembangannya dapat berada di luar tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai

endoparasitoid). Contoh ektoparasit

adalah Campsomeris sp yang menyerang uret sedangkan Trichogramma sp yang memarasit telur penggerek batang tebu dan padi merupakan jenis endoparasit. Fase inang yang diserang pada umumnya adalah telur dan larva, beberapa parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang menyerang imago. Larva parasitoid yang sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh larva inang yang sudah mati kemudian memintal kokon untuk memasuki fase pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul dari kokon pada waktu yang tepat untuk kemudian meletakkan telur pada tubuh

inang bagi perkembangan generasi

berikutnya.

Parasitoid soliter merupakan

suatu spesies parasitoid yang

perkembangan hidupnya terjadi pada satu tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu individu parasitoid. Contoh parasitoid soliter antara lain Charops sp (famili Ichneumonidae). Parasitoid gregarius adalah jenis parasitoid yang beberapa individu dapat hidup bersama-sama dalam tubuh satu inang. Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus schoenobii. Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali.

Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya tercatat sebagai parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera,

Neuroptera, dan Strepsiptera. Namun dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak

mengandung parasitoid adalah

Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa

famili yang termasuk Chalcidoidea.

Sedangkan dalam ordo Diptera famili

Tachinidae merupakan famili yang

terpenting. Tetrastichus schoenobii

memiliki kemampuan memarasit

kepompong penggerek batang padi

bergaris, penggerek batang padi kuning

dan penggerek batang padi putih.

Apanteles artonae memarasit larva Chilo

sp dan Artona catoxantha. Pertanaman pisang yang terserang Erionata thrax dapat dikendalikan oleh parasitoid Xanthopimpla

sp. Parasitoid Trichogrammatoidea

batrae-batrae cukup efektif memparasit

telur penggerek polong kedelai (Etiella spp).

Keuntungan atau kekuatan

pengendalian hama dengan parasitoid adalah:

a. Daya kelangsungan hidup ("survival") parasitoid tinggi.

b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau

sedikit individu inang untuk

melengkapi daur hidupnya.

c. Populasi parasitoid dapat tetap

bertahan meskipun pada aras populasi yang rendah.

d. Sebagian besar parasitoid bersifat

monofag atau oligofag sehingga

memiliki kisaran inang sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi parasitoid memiliki respons numerik yang baik terhadap perubahan populasi inangnya.

Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa kelemahan atau masalah yang biasanya dihadapi di lapangan dalam menggunakan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati adalah: a. Daya cari parasitoid terhadap inang

seringkali dipengaruhi oleh keadaan cuaca atau faktor lingkungan lainnya yang sering berubah.

(6)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

b. Serangga betina yang berperan utama

karena mereka yang melakukan

pencarian inang untuk peletakan telur. c. Parasitoid yang memiliki daya cari

tinggi biasanya menghasilkan telur sedikit.

Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh alami

yang berupa parasitoid. Fenomena

serangga parasitoid menyerang parasitoid

lain sebagai inangnya disebut

hiperparasitasi sedangkan parasitoid

tersebut disebut hiperparasitoid. Apabila kelompok parasitoid yang memarasit hama

disebut parasitoid primer maka

kelompok hiperparasitoid disebut

parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder masih mungkin diserang oleh parasitoid tersier. Brachymeria sp yang menyerang kepompong Charops sp merupakan salah

satu contoh hiperparasitasi. Adanya

parasitoid sekunder perlu diperhitungkan dalam setiap usaha pengendalian hayati

dengan menggunakan predator atau

parasitoid. 2. Predator

Predator merupakan organisme

yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang, predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator yang monofag dan oligofag. b. Predator umumnya memiliki ukuran

tubuh yang lebih besar dibandingkan mangsanya. Namun ada beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang tidak lebih besar daripada mangsanya, contohnya semut yang

mampu membawa mangsa secar

berkelompok.

c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga

harus memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang

memungkinkan predator mampu

membunuh mangsanya. Beberapa

predator dilengkapi dengan

kemampuan bergerak cepat, taktik penangkapan mangsa yang lebih baik daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan yang lebih besar, memiliki daya jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang berkembang

dengan baik untuk menangkap

mangsanya seperti kaki depan belalang

sembah (Mantidae), mata besar

(capung).

d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik fase pradewasa maupun fase dewasa.

e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi predator betina dan jantan dan juga

fase pradewasa semuanya dapat

mencari dan memperoleh mangsa. f. Sebagian besar predator mempunyai

banyak pilihan inang sedangkan

parasitoid mempunyai sifat tergantung

kepadatan yang tinggi. Predator

memiliki daya tanggap rendah

terhadap perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur

populasi hama umumnya kurang

terutama untuk predator yang polifag. Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Beberapa famili predator yang terkenal

adalah kumbang kubah (Coleoptera:

Coccinellidae), kumbang tanah

(Coleoptera: Carabidae), undur-undur

(Neuroptera: Chrysopidae), kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk

(7)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

jangkerik (Orthoptera: Gryllidae),

Kepinding air (Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum (Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae).

Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis

secara tepat karena kerumitan dan

dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian

hayati kedua agens tersebut harus

dimanfaatkan secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut.

3. Patogen

Golongan mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga sakit dan akhirnya mati. Patogen adalah salah satu faktor hayati yang turut serta

dalam mempengaruhi dan menekan

perkembangan serangga hama. Karena mikroorganisme ini dapat menyerang dan menyebabkan kematian serangga hama, maka patogen disebut sebagai salah satu musuh alami serangga hama selain

predator dan parasitoid dan juga

dimanfaatkan dalam kegiatan

pengendalian. Beberapa patogen dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama bagi populasi serangga tetapi ada banyak pathogen

pengaruhnya kecil terhadap gejolak

populasi serangga.

Penggunaan patogen sebagai

pengendali hama sejak abab ke-18 yaitu pengendali hama kumbang moncong pada bit gula, Cleonus punctiventus dengan menggunakan sejenis jamur. Kelompok

serangga dalam kehidupan diserang

banyak patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, riketsia dan nematoda.

a) Bakteri

Bakteri yang biasa digunakan adalah bakteri yang menghasilkan spora. Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri penghasil spora merupakan bakteri yang sangat penting yang saat ini banyak digunakan sebagai insektisida mikrobia. Contoh bakteri yang biasa digunakan sebagai berikut. Cth - Bacillus popiliae sebagai pathogen dari kumbang jepang

Popilie japonica dan kumbang skarabia

lainya – Bacillus thuringiensis sangat efektif dalam mengendalikan larva dari ordo Lepidoptera dan larva nyamuk. b) Jamur

Jamur yang menginfeksi serangga disebut Jamur Entopatogenik. Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur entopatogenik dan sekitar 100 genera jamur. Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk kedalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan tetapi langsung masuk kedalam tubuh melalui kulit atau integumen. Setelah konodia jamur masuk kedalam tubuh serangga,

jamur memperbanyak diri melalui

pembentukan hife dalam jaringan

epicutikula, epidermis, hemocoel serta

jaringan-jaringan lainnya, dan pada

akhirnya semua jaringan dipenuhi oleh miselia jamur. Disamping itu juga ada beberapa jamur yang dapat mempengaruhi pigmentasi serangga dan menghasilkan

toksin yang sangat mempengaruhi

fisiologis serangga.

Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain kepadatan inang, kesediaan

spora, cuaca terutama angin dan

kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin kencang sangat membantu penyebaran konidia dan pemerataan infeksi pathogen pada seluruh individu populasi inang. Contoh : jamur yang sering dipakai dalam

(8)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

pengendalian dengan patogen jamur

adalah: Cth. Jamur Metarhizium anisopliae digunakan untuk mengendaliakan hama

Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa

dan juga hama awereng hijau yang meyerang tanaman padi.

c) Virus

Saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari serangga antropoda. Virus-virus antropoda sebagian besar masuk dalam

genera Nucleopolyhidrovirus,

Granulavirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan Nodavirus. Diantara ke-6

genera ini jenis NPV

(Nucleopolyhidrovirus) merupakan genus terpenting karena 40 % jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk jenus ini. Selain NPV ada jenus lain yaitu

GV (Granulavirus), CPV

(Cytoplasmic Polyhidrosis Virus) dan kelompok lain yang lebih kecil jumlahnya. Larva serangga terinfeksi oleh

virus umumnya melemah pada saluran pencernaan makanan ini terjadi sewaktu

larva makan bagian tanaman yang

mengandung polyhidra. d) Nematoda

Disamping virus, jamur dan bakteri juga ada banyak spesies nematode yang bersifat parasitik terhadap serangga hama, baik yang bersifat parasit obligat maupun fakultatif. Dari 19 famili yang menyerang serangga Famili Mermithidae merupakan famili yang paling banyak/terpenting terdiri atas 50 genera dan 200 spesies. Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk kedalam tubuh serangga melalui kutikula dan masuk kedalam homocoel, setelah berganti kulit beberapa kali maka nematoda dewasa keluar dari tubuh serangga, dan serangga mati sebelum atau sesudan nematoda keluar.

Keuntungan menggunakan

nematoda entomopagen adalah

kemampuan mematikan inang sangat cepat, karena serangan nematoda akan

mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah aplikasi. Tubuh serangga akan lemas terjadi penurunan aktivitas dan terjadi perubahan warna tubuh menjadi

merah kecoklatan jika terserang

Steinernema spp dan hitam jika terserang Heterorhabditis spp. Nematoda akan

berkembangbiak dalam tubuh serangga inang sampai menghasilkan keturunan yang sangat banyak. Contoh nematoda yang sering digunakan untuk pengendalian hayati adalah: Nematoda Steinernema spp dapat mengendalikan hama dari Ordo Lepidoptera dan Coleoptera.

e) Protozoa dan Riketsia

Spesies-spesies protozoa yang

patogenik terhadap serangga pada

umumnya termasuk dalam sub kelompok Mikrosporodia. Telah dikenal kurang lebih 250 spesies mikrospodia yang menyerang serangga. Tiga jenis mikrosporodia yang telah dikenal antara lain Nosema locustae, N. Acridopagus dan N. Cuneatum telah di

jadikan sebagai agen hayati untuk

mengendalikan hama

belalang kususnya di Amirika.

Penyebaran mikrosporadia melalui makanan dan dipindahkan dari induk yang

terinfeksi keketurunanya. Pengaruh

mikrosporodia terhadap kehidupan inang relatif lambat dan gejala luarnya sangat bervariasi. Mikrosporodia tersebar luas

secara alami dapat menjadi factor

mortalitas yang penting bagi serangga

inangnya. Jenis rikettsia banyak

menyerang kumbang. Kematian akibat riketsia akan terjadi 1-4 bulan setelah aplikasi atau lebih lama dibandingkan kematian akibat agen hayati seperti jamur, bakteri, nematoda dan virus. Contoh Protozoa dan Rikettsia yang dapat dipakai dalam pengendalian hayati adalah: Cth.

Cocodia mampu menginfeksi hama

(9)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

C. Strategi Pengendalian Hayati

Teknik pengendalian hayati dengan menggunakan parasitoid dan predator yang

dilakukan sampai saat ini dapat

dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu, Konservasi, Introduksi, dan Augmentasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut berbeda tetapi dalam pelaksanaanya sering digunakan secara bersama.

a) Konservasi

Menurut Rukmana. dan sugandi, (2002). Musuh alami mempunyai andil yang sangat besar dalam pembangunan pertanian berwawasan lingkungan karena daya kendali terhadap hama cukup tinggi dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Agar upaya ini dapat berlangsung dan berkesinambungan secara terus-menerus musuh alami perlu dijaga

kelestariaanya. Melindungi dan

mempertinggi populasi musuh alami yang dapat digunakan sebagai pengendali hama yang ada dialam baik sebagai parasitoid, predator maupun patogen. Tujuannya

adalah menghindari tindakan-tindakan

yang dapat mengganggu kelestarian

populasi musuh alami misalnya dengan

memakai sistem tanam yang lebih

beraneka ragam, menanam dan

melestarikan tanaman berbunga sebagai makanan dari musuh alami, menekan pemakaian pestisida yang berlebihan, melestarikan tanman liar yang mendukung inang alternatif parasitoid atau mangsa alternatif predator.

Pelepasan musuh alami sebaiknya

dilakukan saat kondisi lingkungan

mendukung aktifitasnya, misalnya pagi atau sore hari, sehingga saat kondisinya lingkungan kurang mendukung seperti

cuaca panas, musuh alami telah

mempersiapkan diri untuk mengantisipasi. Selain itu pelepasan dilakukan saat

populasi hama mulai meningkat

meninggalkan batas keseimbangan alami. 1. Introduksi

Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di daerah asal hama tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya telah dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat.

Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi kumbang vedalia, Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai Icerya

purchasi yang menyerang perkebunan

jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut berasal dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan pada hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap,

substansial maupun parsial. Di Indonesia pengendalian dengan

introduksi parasitoid yang berhasil antara

lain introduksi parasitoid Pediobius

parvulus dari Fiji pada sekitar tahun

1920-an ke Indonesia y1920-ang ditujuk1920-an untuk

pengendalian hama kumbang kelapa

Promecotheca reichei. Pada beberapa

daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat

mendekati 100%. Juga pemasukan

parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan

populasi hama kelapa Brontispa

longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor pernah dimasukkan dari pulau

Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid

Chelonus sp dimasukkan dari Bogor ke

pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra (Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada tahun 1986-1990 yaitu

(10)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk pengendalian hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp.

Keuntungan penggunaan pengendalian hayati klasik dengan introduksi adalah:

a. Agens pengendalian hayati yang

dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap hama sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme lain,

b. Sekali telah menetap di suatu tempat,

agens pengendali tersebut akan

berkembang sendiri dan tidak

diperlukan pemasukan yang berulang-ulang,

c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas lapangan maupun petani, d. Semua pihak diuntungkan baik petani

kaya maupun petani miskin,

e. Dari perhitungan manfaat dan biaya (Benefit Cost) sangat menguntungkan dibandingkan penggunaan pestisida. 2. Augmentasi

Teknik augmentasi atau teknik

peningkatan merupakan aktivitas

pengendalian hayati yang bertujuan

meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara augmentasi yaitu pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem agar dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami mampu menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat ditingkatkan.

Pelepasan sejumlah populasi

musuh alami di ekosistem secara teknik augmentasi sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik introduksi.

Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang

dilepaskan. Tiga cara pelepasan periodik adalah:

a. Pelepasan Inokulatif

Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam satu tahun dengan tujuan agar musuh

alami tersebut dapat mengadakan

kolonisasi dan menyebar luas secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada aras keseimbangannya.

b. Pelepasan Suplemen

Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling

diketahui populasi hama mulai

meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan pelepasan untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali

berfungsi dan dapat mengendalikan

populasi hama.

c. Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal

Pelepasan inundatif mengharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat terutama setelah ratusan ribu atau jutaan individu

parasitoid atau predator dilepaskan.

Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut penggunaan "insektisida biologi" karena dalam hal ini musuh alami seakan-akan diharapkan dapat bekerja secepat insektisida kimiawi dalam penurunan populasi hama.

D. Keterpaduan Dengan Komponen PHT Lain

Sesuai dengan konsep dasar

Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pengendalian hayati memegang peranan yang sangat penting karena pengendalian ini sangat menentukan semua usaha teknik pengendalian yang lain secara bersamaan ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsi dari musuh alami

(11)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

sehingga populasi hama tetap berada dibawah ambang ekonomi.

Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah pengendalian hama yang memiliki dasar ekologis dan menyadarkan diri pada faktor-faktor mortalitas alami seperti musuh alami dan cuaca serta mencari teknik pengendalian yang mendatangkan

gangguan sekecil mungkin terhadap

faktor-faktor tesebut. PHT menggunakan

pestisida hanya setelah adanya

pemantauan populasi hama yang sistemis

dan pemamtauan musuh alami

menunjukan diperlukannya penggunaan

pestisida. Secara ideal program

pengendalian hama terpadu,

mempertimbangkan semua kegiatan

pengendalian hama yang ada. Dalam PHT musuh alami, cara-cara bercocok tanam,

varietas tanaman, agensia mikrobia,

memanipulasi genetik, senyawa kimia tertentu ( seperti sex attraktan/penarik serangga kelamin tertentu ) dan pestisida menjadi faktor tergabung dalam proses pengendalian hama.

Prinsip dasar PHT bukan bertujuan atau cara pengendalian melainkan suatu metode ilmiah untuk mengendalikan hama

(OPT) agar secara ekonomis tidak

merugikan, dan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk mencapai Sasaran atau tujuan dari PHT yaitu : Produktivitas pertanian mantap tinggi, kesejahteraan petani meningkat, populasi hama atau kerusakan yang ditimbulkannya secara ekonomis tidak merugikan, kualitas dan keseimbangan lingkungan terpelihara. Selain sasaran dan tujuan, yang tidak kalah penting adalah adanya Strategi PHT.

Strategi Pengendalian Hama

Terpadu yaitu dengan cara : Memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama secara optimal baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pengendalian hama ( OPT ) lebih menekankan pada : cara-cara nonkimiawi ( budidaya tanaman sehat dan pemanfaatan musuh alami). Penggunaan pesticida selektif pada saat populasi hama mencapai ambang ekonomi atau abang pengendali hama OPT Selain

PHT ekologi ada juga teknologi PHT dengan cara : Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam, penggunaan

varietas yang tahan hama OPT,

pengendalian secara fisik atau mekanik,

Pengendalian secara genetic (jantan

mandul), penggunaan pestisida secara

selektif, penggunaan OPT dengan

peraturan atau karantina. KESIMPULAN

1. Didalam suatu ekosistem terjadi

hubungan timbal balik baik intra

maupun antarspesies, mekanisme

hubungan tersebut adalah predasi yang kemudian akan disebut sebagai rantai makanan.

2. Prinsip pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan

cara biologi, yaitu dengan

memanfaatkan musuh-musuh

alaminya( agen pengendali biologi ), seperti predator, parasit dan patogen.

3. Pengendalian hayati memiliki

keuntungan dan kelemahan.

4. Dilihat dari fungsinya musuh alami

dapat dikelompokkan menjadi,

Parasitoid, Predator dan Patogen.

5. Parasitoid dapat digolongkan

berdasarkan fase tubuh inang yang diserang: Parasitoid telur, Parasitoid

telur – larva, Parasitoid larva,

Parasitoid larva – pupa, Parasitoid pupa, Parasitoid imago.

6. Predator adalah binatang atau serangga

yang memangsa serangga lain.

Predator merupakan organisme yang

hidup bebas dengan memakan,

membunuh atau memangsa serangga lain.

7. Patogen adalah golongan

mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga sakit dan akhirnya mati. Mikroorganisme yang dapat menjadi patogen adalah virus, bakteri, protozoa, jamur, riketzia dan nenatoda.

8. Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam, penggunaan varietas

(12)

AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016

yang tahan hama OPT, pengendalian

secara fisik atau mekanik,

Pengendalian secara genetik,

penggunaan pestisida secara selektif, Penggunaan OPT dengan peraturan

atau karantina, ini merupakan

teknologi PHT.

DAFTAR PUSTAKA

_____, 2004. Pedoman Pengendalian Penyakit Tugro Pada Tanaman Padi. Direktorat Perlindungan Pangan, Dirjen Tanaman Pangan Deptan. Jakarta.

Chincholkar, S.B., 2007. Biological

Control Of Plant Disease.

Haworth Food & Agricultural

Products Press, New York,

London, Oxford.

Flint L. M dan Van den Bosch. R,. 2000. Pengendalian Hama Terpadu,

Sebuah Pengantar. Kanisius.

Yogyakarta.

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta.

Rukmana.R. dan Sugandi. 2002. Hama

Tanaman dan Teknik

Pengendaliaanya,Kanisius.Yogy akarta.

Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Gajah Mada University Press. Yoyakarta. Van Driesche and Thomas, S.B.Jr. 2000.

Biological Control, Kluwer

Academic Publisher, Boston,

Referensi

Dokumen terkait

2.1 arsen terlarut arsen dalam air yang dapat lolos melalui saringan membran berpori 0,45 μm 2.2 arsen total banyaknya arsen yang terlarut dan tersuspensi dalam air 2.3 kurva

Dalam tradisi Yunani, istilah hermeneutika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan (dewa) dalam mitologi Yunani Kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan

 Penambahan zpt NAA dan Kinetin memberikan pengaruh terhadap jumlah tunas, jumlah akar pada kultur in vitro eksplan daun tembakau (Nicotiana tabacum L. Prancak 95).  Respon

Pembangunan /Rehabilitasi Infrastruktur Pedesaan Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur Peningkatan Kapasitas Aparatur Kecamatan.. 11 Senderan dan Betonisasi jalan

Pada Pasal 36 ayat 6 (a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, barangsiapa tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika

Hasil tahanan dan daya efektif kapal yang diperoleh dari hasil Besarnya tahanan dan daya efektif kapal yang dibutuhkan untuk mencapai kecepatan 15 knot pada kapal dengan bulbous bow

Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara dua fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh kinerja keuangan, pertumbuhan potensial, ukuran perusahaan, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan cash