AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
PENGENDALIAN HAYATI ( Biological Control ) SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)
Maria Heviyanti
Dosen Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Samudra, Langsa Abstrak
Kajian penulisan tentang Pengendalian Hayati sebagai Salah Satu Komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dilakukan di Desa Alue Merbau Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat petani di Desa Alue Merbau tentang pentingnya pengendaliaan hayati, sebagai pengendalian yang ramah lingkungan, Efektif dan Efisien. Didalan suatu ekosistem terjadi hubungan timbal balik baik intra maupun antar spesies, yang disebut sebagai rantai makanan. Prinsip pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (biological control agen), seperti predator, parasitoid dan patogen. Pengendalian hayati memiliki keuntungan dan kelemahan. Dilihat dari fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi predator, parasitoid dan patogen. Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa serangga lain. Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang antropoda lainnya. Patogen adalah golongan mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga sakit dan akhirnya mati. Mikroorganisme yang dapat menjadi patogen adalah virus, bakteri, protozoa, jamur, riketsia dan nematoda. Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam, penggunaan varietas yang tahan hama OPT, pengendalian secara fisik atau mekanik, pengendalian secara genetik, penggunaan pestisida secara selektif, penggunaan OPT dengan peraturan atau karantina, ini merupakan teknologi PHT.
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
Pendahuluan A. Latar Belakang
Pengendalian hayati sebagai
komponen utama PHT pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan
musuh alami untuk mengendalikan
populasi hama yang merugikan.
Pengendalian hayati sangat
dilatarbelakangi oleh berbagai
pengetahuan dasar ekologi terutama teori
tentang pengaturan populasi oleh
pengendali alami dan keseimbangan
ekosistem. Musuh alami yang terdiri atas
parasitoid, predator dan patogen
merupakan pengendali alami utama hama yang bekerja secara "terkait kepadatan populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang
meningkat sehingga mengakibatkan
kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami
untuk menjalankan fungsi alaminya.
Apabila musuh alami kita berikan
kesempatan berfungsi antara lain dengan introduksi musuh alami, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap musuh alami, musuh alami dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Meskipun praktek pengendalian hayati telah dilakukan ratusan tahun yang lalu di daratan Cina, pengendalian hayati yang pertama kali didokumentasikan ialah pada tahun 1762, ketika burung Mynah dibawa dari India ke Mauritius untuk memangsa hama belalang. Secara ilmiah keberhasilan pengendalian hayati pertama yang tercatat adalah pengendalian hama kutu berbantal pada kapas Icerya purchasi di California, Amerika Serikat dengan mengintroduksikan predator dari Australia yaitu kumbang vedalia, Rodolia cardinalis pada tahun 1888. Setelah keberhasilan tersebut kemudian ratusan jenis hama telah berhasil dikendalikan dengan cara hayati. Banyak hama di Indonesia berhasil dikendalikan dengan memasukkan musuh
alami terutama sebelum tahun 1950-an
sewaktu pestisida belum banyak
digunakan oleh petani. Salah satu jenis hama adalah hama belalang pedang Sexava sp yang menyerang kelapa yang dapat berhasil dikendalikan oleh parasitoid telur
Leefmansia bicolor di Sulawesi Utara.
Juga hama ulat daun kubis (Plutella
xylostella) di Jawa Barat berhasil
dikendalikan oleh parasitoid Diadegma sp. Introduksi parasitoid telur Chelonus sp dari wilayah Bogor ke Flores untuk mengendalikan ngengat mayang kelapa (Batracedra spp). Pembiakan massal parasitoid telur Trichogramma spp dan lalat Jatiroto (Diatraeophaga striatalis) sangat membantu mengendalikan serangan penggerek batang tebu pada tahun 1972.
Selanjutnya pada 1975 telah
diintoduksikan kumbang moncong
Neochetina eichhorniae dari Flores ke
Bogor untuk pengendalian eceng gondok.
Introduksi kumbang Curinus
coreolius dari Hawai dilakukan untuk
mengendalikan hama kutu loncat lamtoro
Heteropsylla sp tahun 1986. Dari tahun
1950 sampai 1970an pengendalian hayati pamornya berkurang akibat penggunaan pestisida kimia yang sangat dominan di seluruh dunia.
Sebagai sasaran teknologi PHT
adalah : 1) Peningkatan produksi
pertanian, 2) Peningkatan penghasilan dan kesejahteraan petani, 3) Populasi OPT dan kerusakan tanaman tetap pada aras secara
ekonomi tidak merugikan dan 4)
Pengurangan resiko pencemaran
Lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebihan (Anonim, 2004).
Konsep PHT muncul dan berkembang
sebagai koreksi terhadap kebijakan
pengendalian hama secara konvensional, yang sangat utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan pestisida oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan biaya produksi dan mengakibatkan dampak samping yang
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
kesehatan petani itu sendiri maupun masyarakat secara luas.
Akhir-akhir ini disadari bahwa pemakaian pestisida, khususnya pestisida sintetis ibarat pisau bermata dua. Dibalik manfaatnya yang besar bagi peningkatan produksi pertanian, terselubung bahaya yang mengerikan. Tak bisa dipungkiri, bahaya pestisida semakin nyata dirasakan masyarakat, terlebih akibat penggunaan pestisida yang tidak bijaksana. Kerugian
berupa timbulnya dampak buruk
penggunaan pestisida, dapat
dikelompokkan atas 3 bagian: (1).
Pestisida berpengaruh negatip terhadap
kesehatan manusia, (2). Pestisida
berpengaruh buruk terhadap kualitas
lingkungan, dan (3). Pestisida
meningkatkan perkembangan populasi
jasad penganggu tanaman. Di Kota Langsa, khususnya di Desa Alue Merbau, Kecamatan Langsa Timur, merupakan daerah yang masih banyak sekali terdapat beberapa jenis musuh alami yang diketahui dapat menjaga keseimbangan ekosistem, akan tetapi akhir-akhir ini musuh alami tersebut makin berkurang dan jarang untuk dapat ditemui lagi, sebagai missal ada beberapa jenis spesies burung, dan juga serangga yang dikenal sebagai pengendali alami hama serangga, saat ini sulit diketemukan dan mungkin saja sedang
menuju kepunahan. Salah satu
penyebabnya adalah akibat pengaruh buruk pestisida terhadap lingkungan, yang tercemar melalui rantai makanan.
Dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat judul penulisan
dengan judul:”Pengendalian Hayati
(Biological Control) sebagai Salah Satu
Komponen Pengendalian Hama
Terpadu (PHT)” Penulisan ini
merupakan salah satu bentuk penulisan ilmiah dan diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah, akademisi dan masyarakat khususnya petani di Desa Alue Merbau, tentang pengendalian hayati
yang ramah lingkungan.efektif, dan
efesien.
B. Tujuan penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada
masyarakat petani di Desa Alue Merbau, Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa, tentang pentingnya pengendaliaan hayati, sebagai suatu teknik pengendalian yang ramah lingkungan, Efektif dan Efisien. Pembahasan
A. Prinsip Pengendalian Hayati
Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan
secara sengaja memanfaatkan atau
memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979 mendefinisikan Pengendalian Hayati sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh
alami sehingga kepadatan populasi
organisme tersebut berada di bawah
rata-ratanya dibandingkan bila tanpa
pengendalian.
Ada beberapa ahli yang meluaskan pengertian pengendalian hayati sebagai
usaha pengendalian hama yang
mengikutsertakan organisme hidup.
Varietas tahan hama, manipulasi genetik,
dan penggunaan serangga mandul
dimasukkan sebagai bagian teknik
pengendalian hayati. Untuk selanjutnya dalam kuliah kita gunakan pengertian pengendalian hayati yang pertama.
Pengendalian Alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh karena bekerjanya musuh
alami, tetapi juga oleh komponen
ekosistem lainnya seperti makanan, dan cuaca.
Pengendalian hayati dalam
pengertian ekologi didifinisikan sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alam hingga kepadatan
populasi organisme tersebut berada
dibawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian.
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
Menurut Untung (2006). Prinsip
pengaturan populasi organisme oleh
mekanisme saling berkaitan antar anggota suatu komonitas pada jenjang tertentu juga
terjadi didalam agroekosistem yang
dirancang manusia. Musuh alami sebagai
bagian dari agroekosistem memiliki
peranan menentukan dalam pengaturan dan pengendalian populasi hama. Sebagai faktor yang bekerjanya tergantung dari kepadatan yang tidak lengkap (imperfectly
density dependent) dalam kisaran tertentu,
populasi musuh alami dapat
mempertahankan populasi musuh alami tetap berada disekitar batas keseimbangan dan mekanisme umpan
balik negatif. Kisaran keseimbangan tersebut dinamakan Planto Homeostatik. Diluar plato homeostatik musuh alami
menjadi kurang efektif dalam
mengembalikan populasi kearas
keseimbangan. Populasi hama dapat
meningkat menjahui kisaran keseimbangan akibat bekerjanya factor yang bebas kepadatan populasi seperti cuaca dan akibat tindakan manusia dalam mengelola lingkungan pertanian.
Menurut Jumar (2000). Pengendalian hayati memiliki keuntungan yaitu : (1).
Aman artinya tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan ternak, (2) tidak menyebabkan resistensi hama, (3) musuh alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya, dan (4) bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan
telah setabil atau telah terjadi
keseimbangan antara hama dan musuh alaminya.
Selain keuntungan pengendalian hayati juga terdapat kelemahan atau kekurangan seperti: (1) hasilnya sulit diramalkan dalam waktu yang singkat, (2) diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarana, (3) dalam hal pembiakan di laboratorium
kadang-kadang menghadapi kendala
karena musuh alami menghendaki kondisi
lingkungan yang kusus dan (4) teknik
aplikasi dilapangan belum banyak
dikuasai.
AGENS PENGENDALIAN HAYATI Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies serangga termasuk serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang organisme lain. Bagi
serangga yang diserang organisme
penyerang disebut "musuh alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir
semua kelompok organisme dapat
berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di luar serangga. Kelompok musuh alami yang paling penting adalah dari golongan serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya musuh alami atau agens pengendalian hayati dapat kita kelompokkan menjadi parasitoid, predator, dan patogen. 1. Parasitoid
Parasitoid adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang lain yang lebih besar yang merupakan
inangnya. Serangan parasit dapat
melemahkan inang dan akhirnya dapat membunuh inangnya karena parasitoid makan atau mengisap cairan tubuh inangnya. Untuk dapat mencapai fase
dewasa suatu parasitoid hanya
memerlukan satu inang. Dengan demikian parasitoid adalah serangga yang hidup dan makan pada atau dalam serangga hidup lainnya sebagai inang. Inang akan mati jika perkembangan hidup parasitoid telah lengkap.
Parasitoid merupakan serangga
yang memarasit serangga atau binatang artropoda yang lain. Parasitoid bersifat
parasitik pada fase pradewasanya
sedangkan pada fase dewasa mereka hidup
bebas tidak terikat pada inangnya.
Umumnya parasitoid akhirnya dapat
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
yang mampu melengkapi siklus hidupnya sebelum mati. Parasitoid dapat menyerang setiap instar serangga. Instar dewasa merupakan instar serangga yang paling jarang terparasit.
Oleh induk parasitoid telur dapat diletakkan pada permukaan kulit inang atau dengan tusukan ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang. Larva yang keluar dari telur menghisap
cairan inangnya dan menyelesaikan
perkembangannya dapat berada di luar tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai
endoparasitoid). Contoh ektoparasit
adalah Campsomeris sp yang menyerang uret sedangkan Trichogramma sp yang memarasit telur penggerek batang tebu dan padi merupakan jenis endoparasit. Fase inang yang diserang pada umumnya adalah telur dan larva, beberapa parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang menyerang imago. Larva parasitoid yang sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh larva inang yang sudah mati kemudian memintal kokon untuk memasuki fase pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul dari kokon pada waktu yang tepat untuk kemudian meletakkan telur pada tubuh
inang bagi perkembangan generasi
berikutnya.
Parasitoid soliter merupakan
suatu spesies parasitoid yang
perkembangan hidupnya terjadi pada satu tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu individu parasitoid. Contoh parasitoid soliter antara lain Charops sp (famili Ichneumonidae). Parasitoid gregarius adalah jenis parasitoid yang beberapa individu dapat hidup bersama-sama dalam tubuh satu inang. Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus schoenobii. Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali.
Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya tercatat sebagai parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera,
Neuroptera, dan Strepsiptera. Namun dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak
mengandung parasitoid adalah
Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa
famili yang termasuk Chalcidoidea.
Sedangkan dalam ordo Diptera famili
Tachinidae merupakan famili yang
terpenting. Tetrastichus schoenobii
memiliki kemampuan memarasit
kepompong penggerek batang padi
bergaris, penggerek batang padi kuning
dan penggerek batang padi putih.
Apanteles artonae memarasit larva Chilo
sp dan Artona catoxantha. Pertanaman pisang yang terserang Erionata thrax dapat dikendalikan oleh parasitoid Xanthopimpla
sp. Parasitoid Trichogrammatoidea
batrae-batrae cukup efektif memparasit
telur penggerek polong kedelai (Etiella spp).
Keuntungan atau kekuatan
pengendalian hama dengan parasitoid adalah:
a. Daya kelangsungan hidup ("survival") parasitoid tinggi.
b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau
sedikit individu inang untuk
melengkapi daur hidupnya.
c. Populasi parasitoid dapat tetap
bertahan meskipun pada aras populasi yang rendah.
d. Sebagian besar parasitoid bersifat
monofag atau oligofag sehingga
memiliki kisaran inang sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi parasitoid memiliki respons numerik yang baik terhadap perubahan populasi inangnya.
Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa kelemahan atau masalah yang biasanya dihadapi di lapangan dalam menggunakan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati adalah: a. Daya cari parasitoid terhadap inang
seringkali dipengaruhi oleh keadaan cuaca atau faktor lingkungan lainnya yang sering berubah.
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
b. Serangga betina yang berperan utama
karena mereka yang melakukan
pencarian inang untuk peletakan telur. c. Parasitoid yang memiliki daya cari
tinggi biasanya menghasilkan telur sedikit.
Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh alami
yang berupa parasitoid. Fenomena
serangga parasitoid menyerang parasitoid
lain sebagai inangnya disebut
hiperparasitasi sedangkan parasitoid
tersebut disebut hiperparasitoid. Apabila kelompok parasitoid yang memarasit hama
disebut parasitoid primer maka
kelompok hiperparasitoid disebut
parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder masih mungkin diserang oleh parasitoid tersier. Brachymeria sp yang menyerang kepompong Charops sp merupakan salah
satu contoh hiperparasitasi. Adanya
parasitoid sekunder perlu diperhitungkan dalam setiap usaha pengendalian hayati
dengan menggunakan predator atau
parasitoid. 2. Predator
Predator merupakan organisme
yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang, predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator yang monofag dan oligofag. b. Predator umumnya memiliki ukuran
tubuh yang lebih besar dibandingkan mangsanya. Namun ada beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang tidak lebih besar daripada mangsanya, contohnya semut yang
mampu membawa mangsa secar
berkelompok.
c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga
harus memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang
memungkinkan predator mampu
membunuh mangsanya. Beberapa
predator dilengkapi dengan
kemampuan bergerak cepat, taktik penangkapan mangsa yang lebih baik daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan yang lebih besar, memiliki daya jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang berkembang
dengan baik untuk menangkap
mangsanya seperti kaki depan belalang
sembah (Mantidae), mata besar
(capung).
d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik fase pradewasa maupun fase dewasa.
e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi predator betina dan jantan dan juga
fase pradewasa semuanya dapat
mencari dan memperoleh mangsa. f. Sebagian besar predator mempunyai
banyak pilihan inang sedangkan
parasitoid mempunyai sifat tergantung
kepadatan yang tinggi. Predator
memiliki daya tanggap rendah
terhadap perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur
populasi hama umumnya kurang
terutama untuk predator yang polifag. Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Beberapa famili predator yang terkenal
adalah kumbang kubah (Coleoptera:
Coccinellidae), kumbang tanah
(Coleoptera: Carabidae), undur-undur
(Neuroptera: Chrysopidae), kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
jangkerik (Orthoptera: Gryllidae),
Kepinding air (Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum (Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae).
Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis
secara tepat karena kerumitan dan
dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian
hayati kedua agens tersebut harus
dimanfaatkan secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut.
3. Patogen
Golongan mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga sakit dan akhirnya mati. Patogen adalah salah satu faktor hayati yang turut serta
dalam mempengaruhi dan menekan
perkembangan serangga hama. Karena mikroorganisme ini dapat menyerang dan menyebabkan kematian serangga hama, maka patogen disebut sebagai salah satu musuh alami serangga hama selain
predator dan parasitoid dan juga
dimanfaatkan dalam kegiatan
pengendalian. Beberapa patogen dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama bagi populasi serangga tetapi ada banyak pathogen
pengaruhnya kecil terhadap gejolak
populasi serangga.
Penggunaan patogen sebagai
pengendali hama sejak abab ke-18 yaitu pengendali hama kumbang moncong pada bit gula, Cleonus punctiventus dengan menggunakan sejenis jamur. Kelompok
serangga dalam kehidupan diserang
banyak patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, riketsia dan nematoda.
a) Bakteri
Bakteri yang biasa digunakan adalah bakteri yang menghasilkan spora. Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri penghasil spora merupakan bakteri yang sangat penting yang saat ini banyak digunakan sebagai insektisida mikrobia. Contoh bakteri yang biasa digunakan sebagai berikut. Cth - Bacillus popiliae sebagai pathogen dari kumbang jepang
Popilie japonica dan kumbang skarabia
lainya – Bacillus thuringiensis sangat efektif dalam mengendalikan larva dari ordo Lepidoptera dan larva nyamuk. b) Jamur
Jamur yang menginfeksi serangga disebut Jamur Entopatogenik. Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur entopatogenik dan sekitar 100 genera jamur. Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk kedalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan tetapi langsung masuk kedalam tubuh melalui kulit atau integumen. Setelah konodia jamur masuk kedalam tubuh serangga,
jamur memperbanyak diri melalui
pembentukan hife dalam jaringan
epicutikula, epidermis, hemocoel serta
jaringan-jaringan lainnya, dan pada
akhirnya semua jaringan dipenuhi oleh miselia jamur. Disamping itu juga ada beberapa jamur yang dapat mempengaruhi pigmentasi serangga dan menghasilkan
toksin yang sangat mempengaruhi
fisiologis serangga.
Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain kepadatan inang, kesediaan
spora, cuaca terutama angin dan
kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin kencang sangat membantu penyebaran konidia dan pemerataan infeksi pathogen pada seluruh individu populasi inang. Contoh : jamur yang sering dipakai dalam
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
pengendalian dengan patogen jamur
adalah: Cth. Jamur Metarhizium anisopliae digunakan untuk mengendaliakan hama
Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa
dan juga hama awereng hijau yang meyerang tanaman padi.
c) Virus
Saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari serangga antropoda. Virus-virus antropoda sebagian besar masuk dalam
genera Nucleopolyhidrovirus,
Granulavirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan Nodavirus. Diantara ke-6
genera ini jenis NPV
(Nucleopolyhidrovirus) merupakan genus terpenting karena 40 % jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk jenus ini. Selain NPV ada jenus lain yaitu
GV (Granulavirus), CPV
(Cytoplasmic Polyhidrosis Virus) dan kelompok lain yang lebih kecil jumlahnya. Larva serangga terinfeksi oleh
virus umumnya melemah pada saluran pencernaan makanan ini terjadi sewaktu
larva makan bagian tanaman yang
mengandung polyhidra. d) Nematoda
Disamping virus, jamur dan bakteri juga ada banyak spesies nematode yang bersifat parasitik terhadap serangga hama, baik yang bersifat parasit obligat maupun fakultatif. Dari 19 famili yang menyerang serangga Famili Mermithidae merupakan famili yang paling banyak/terpenting terdiri atas 50 genera dan 200 spesies. Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk kedalam tubuh serangga melalui kutikula dan masuk kedalam homocoel, setelah berganti kulit beberapa kali maka nematoda dewasa keluar dari tubuh serangga, dan serangga mati sebelum atau sesudan nematoda keluar.
Keuntungan menggunakan
nematoda entomopagen adalah
kemampuan mematikan inang sangat cepat, karena serangan nematoda akan
mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah aplikasi. Tubuh serangga akan lemas terjadi penurunan aktivitas dan terjadi perubahan warna tubuh menjadi
merah kecoklatan jika terserang
Steinernema spp dan hitam jika terserang Heterorhabditis spp. Nematoda akan
berkembangbiak dalam tubuh serangga inang sampai menghasilkan keturunan yang sangat banyak. Contoh nematoda yang sering digunakan untuk pengendalian hayati adalah: Nematoda Steinernema spp dapat mengendalikan hama dari Ordo Lepidoptera dan Coleoptera.
e) Protozoa dan Riketsia
Spesies-spesies protozoa yang
patogenik terhadap serangga pada
umumnya termasuk dalam sub kelompok Mikrosporodia. Telah dikenal kurang lebih 250 spesies mikrospodia yang menyerang serangga. Tiga jenis mikrosporodia yang telah dikenal antara lain Nosema locustae, N. Acridopagus dan N. Cuneatum telah di
jadikan sebagai agen hayati untuk
mengendalikan hama
belalang kususnya di Amirika.
Penyebaran mikrosporadia melalui makanan dan dipindahkan dari induk yang
terinfeksi keketurunanya. Pengaruh
mikrosporodia terhadap kehidupan inang relatif lambat dan gejala luarnya sangat bervariasi. Mikrosporodia tersebar luas
secara alami dapat menjadi factor
mortalitas yang penting bagi serangga
inangnya. Jenis rikettsia banyak
menyerang kumbang. Kematian akibat riketsia akan terjadi 1-4 bulan setelah aplikasi atau lebih lama dibandingkan kematian akibat agen hayati seperti jamur, bakteri, nematoda dan virus. Contoh Protozoa dan Rikettsia yang dapat dipakai dalam pengendalian hayati adalah: Cth.
Cocodia mampu menginfeksi hama
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
C. Strategi Pengendalian Hayati
Teknik pengendalian hayati dengan menggunakan parasitoid dan predator yang
dilakukan sampai saat ini dapat
dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu, Konservasi, Introduksi, dan Augmentasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut berbeda tetapi dalam pelaksanaanya sering digunakan secara bersama.
a) Konservasi
Menurut Rukmana. dan sugandi, (2002). Musuh alami mempunyai andil yang sangat besar dalam pembangunan pertanian berwawasan lingkungan karena daya kendali terhadap hama cukup tinggi dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Agar upaya ini dapat berlangsung dan berkesinambungan secara terus-menerus musuh alami perlu dijaga
kelestariaanya. Melindungi dan
mempertinggi populasi musuh alami yang dapat digunakan sebagai pengendali hama yang ada dialam baik sebagai parasitoid, predator maupun patogen. Tujuannya
adalah menghindari tindakan-tindakan
yang dapat mengganggu kelestarian
populasi musuh alami misalnya dengan
memakai sistem tanam yang lebih
beraneka ragam, menanam dan
melestarikan tanaman berbunga sebagai makanan dari musuh alami, menekan pemakaian pestisida yang berlebihan, melestarikan tanman liar yang mendukung inang alternatif parasitoid atau mangsa alternatif predator.
Pelepasan musuh alami sebaiknya
dilakukan saat kondisi lingkungan
mendukung aktifitasnya, misalnya pagi atau sore hari, sehingga saat kondisinya lingkungan kurang mendukung seperti
cuaca panas, musuh alami telah
mempersiapkan diri untuk mengantisipasi. Selain itu pelepasan dilakukan saat
populasi hama mulai meningkat
meninggalkan batas keseimbangan alami. 1. Introduksi
Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di daerah asal hama tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya telah dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat.
Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi kumbang vedalia, Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai Icerya
purchasi yang menyerang perkebunan
jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut berasal dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan pada hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap,
substansial maupun parsial. Di Indonesia pengendalian dengan
introduksi parasitoid yang berhasil antara
lain introduksi parasitoid Pediobius
parvulus dari Fiji pada sekitar tahun
1920-an ke Indonesia y1920-ang ditujuk1920-an untuk
pengendalian hama kumbang kelapa
Promecotheca reichei. Pada beberapa
daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat
mendekati 100%. Juga pemasukan
parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan
populasi hama kelapa Brontispa
longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor pernah dimasukkan dari pulau
Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid
Chelonus sp dimasukkan dari Bogor ke
pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra (Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada tahun 1986-1990 yaitu
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk pengendalian hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp.
Keuntungan penggunaan pengendalian hayati klasik dengan introduksi adalah:
a. Agens pengendalian hayati yang
dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap hama sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme lain,
b. Sekali telah menetap di suatu tempat,
agens pengendali tersebut akan
berkembang sendiri dan tidak
diperlukan pemasukan yang berulang-ulang,
c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas lapangan maupun petani, d. Semua pihak diuntungkan baik petani
kaya maupun petani miskin,
e. Dari perhitungan manfaat dan biaya (Benefit Cost) sangat menguntungkan dibandingkan penggunaan pestisida. 2. Augmentasi
Teknik augmentasi atau teknik
peningkatan merupakan aktivitas
pengendalian hayati yang bertujuan
meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara augmentasi yaitu pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem agar dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami mampu menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat ditingkatkan.
Pelepasan sejumlah populasi
musuh alami di ekosistem secara teknik augmentasi sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik introduksi.
Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang
dilepaskan. Tiga cara pelepasan periodik adalah:
a. Pelepasan Inokulatif
Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam satu tahun dengan tujuan agar musuh
alami tersebut dapat mengadakan
kolonisasi dan menyebar luas secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada aras keseimbangannya.
b. Pelepasan Suplemen
Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling
diketahui populasi hama mulai
meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan pelepasan untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali
berfungsi dan dapat mengendalikan
populasi hama.
c. Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal
Pelepasan inundatif mengharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat terutama setelah ratusan ribu atau jutaan individu
parasitoid atau predator dilepaskan.
Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut penggunaan "insektisida biologi" karena dalam hal ini musuh alami seakan-akan diharapkan dapat bekerja secepat insektisida kimiawi dalam penurunan populasi hama.
D. Keterpaduan Dengan Komponen PHT Lain
Sesuai dengan konsep dasar
Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pengendalian hayati memegang peranan yang sangat penting karena pengendalian ini sangat menentukan semua usaha teknik pengendalian yang lain secara bersamaan ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsi dari musuh alami
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
sehingga populasi hama tetap berada dibawah ambang ekonomi.
Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah pengendalian hama yang memiliki dasar ekologis dan menyadarkan diri pada faktor-faktor mortalitas alami seperti musuh alami dan cuaca serta mencari teknik pengendalian yang mendatangkan
gangguan sekecil mungkin terhadap
faktor-faktor tesebut. PHT menggunakan
pestisida hanya setelah adanya
pemantauan populasi hama yang sistemis
dan pemamtauan musuh alami
menunjukan diperlukannya penggunaan
pestisida. Secara ideal program
pengendalian hama terpadu,
mempertimbangkan semua kegiatan
pengendalian hama yang ada. Dalam PHT musuh alami, cara-cara bercocok tanam,
varietas tanaman, agensia mikrobia,
memanipulasi genetik, senyawa kimia tertentu ( seperti sex attraktan/penarik serangga kelamin tertentu ) dan pestisida menjadi faktor tergabung dalam proses pengendalian hama.
Prinsip dasar PHT bukan bertujuan atau cara pengendalian melainkan suatu metode ilmiah untuk mengendalikan hama
(OPT) agar secara ekonomis tidak
merugikan, dan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk mencapai Sasaran atau tujuan dari PHT yaitu : Produktivitas pertanian mantap tinggi, kesejahteraan petani meningkat, populasi hama atau kerusakan yang ditimbulkannya secara ekonomis tidak merugikan, kualitas dan keseimbangan lingkungan terpelihara. Selain sasaran dan tujuan, yang tidak kalah penting adalah adanya Strategi PHT.
Strategi Pengendalian Hama
Terpadu yaitu dengan cara : Memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama secara optimal baik secara ekologis maupun secara ekonomis, pengendalian hama ( OPT ) lebih menekankan pada : cara-cara nonkimiawi ( budidaya tanaman sehat dan pemanfaatan musuh alami). Penggunaan pesticida selektif pada saat populasi hama mencapai ambang ekonomi atau abang pengendali hama OPT Selain
PHT ekologi ada juga teknologi PHT dengan cara : Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam, penggunaan
varietas yang tahan hama OPT,
pengendalian secara fisik atau mekanik,
Pengendalian secara genetic (jantan
mandul), penggunaan pestisida secara
selektif, penggunaan OPT dengan
peraturan atau karantina. KESIMPULAN
1. Didalam suatu ekosistem terjadi
hubungan timbal balik baik intra
maupun antarspesies, mekanisme
hubungan tersebut adalah predasi yang kemudian akan disebut sebagai rantai makanan.
2. Prinsip pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan
cara biologi, yaitu dengan
memanfaatkan musuh-musuh
alaminya( agen pengendali biologi ), seperti predator, parasit dan patogen.
3. Pengendalian hayati memiliki
keuntungan dan kelemahan.
4. Dilihat dari fungsinya musuh alami
dapat dikelompokkan menjadi,
Parasitoid, Predator dan Patogen.
5. Parasitoid dapat digolongkan
berdasarkan fase tubuh inang yang diserang: Parasitoid telur, Parasitoid
telur – larva, Parasitoid larva,
Parasitoid larva – pupa, Parasitoid pupa, Parasitoid imago.
6. Predator adalah binatang atau serangga
yang memangsa serangga lain.
Predator merupakan organisme yang
hidup bebas dengan memakan,
membunuh atau memangsa serangga lain.
7. Patogen adalah golongan
mikroorganisme atau jasad renik yang menyebabkan serangga sakit dan akhirnya mati. Mikroorganisme yang dapat menjadi patogen adalah virus, bakteri, protozoa, jamur, riketzia dan nenatoda.
8. Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam, penggunaan varietas
AGROSAMUDRA, Jurnal Penelitian Vol. 3 No. 1 Jan – Juni 2016
yang tahan hama OPT, pengendalian
secara fisik atau mekanik,
Pengendalian secara genetik,
penggunaan pestisida secara selektif, Penggunaan OPT dengan peraturan
atau karantina, ini merupakan
teknologi PHT.
DAFTAR PUSTAKA
_____, 2004. Pedoman Pengendalian Penyakit Tugro Pada Tanaman Padi. Direktorat Perlindungan Pangan, Dirjen Tanaman Pangan Deptan. Jakarta.
Chincholkar, S.B., 2007. Biological
Control Of Plant Disease.
Haworth Food & Agricultural
Products Press, New York,
London, Oxford.
Flint L. M dan Van den Bosch. R,. 2000. Pengendalian Hama Terpadu,
Sebuah Pengantar. Kanisius.
Yogyakarta.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta.
Rukmana.R. dan Sugandi. 2002. Hama
Tanaman dan Teknik
Pengendaliaanya,Kanisius.Yogy akarta.
Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Gajah Mada University Press. Yoyakarta. Van Driesche and Thomas, S.B.Jr. 2000.
Biological Control, Kluwer
Academic Publisher, Boston,