• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKEMBANGAN PEREDARAN NARKOTIKA DAN PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERKEMBANGAN PEREDARAN NARKOTIKA DAN PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERKEMBANGAN PEREDARAN NARKOTIKA DAN PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA

A. Perkembangan Peredaran Narkotika

Pada zaman prasejarah di negeri Mesopotamia (sekitar Irak sekarang ), dikenal suatu barang yang namanya “Gil” artinya “bahan yang menggembirakan”. Gil ini lazimnya digunakan sebagai obat sakit perut, kemampuan Gil sangat terkenal pada saat itu, dan Gil menyebar di dunia Barat sampai Asia dan Amerika.18

Di Tiongkok bahan sejenis Gil disebut dengan candu yang sudah dikenal sejak tahun 2735 sebelum Masehi. Candu pernah menghancurkan Tiongkok pada tahun 1840-an yaitu dipergunakan sebagai subversif oleh inggris, sehingga menimbulkan suatu perang yang terkenal dalam sejarah, yaitu Perang Candu (The Opiun War) pada tahun 1839-1842, yang dimenangkan oleh Inggris setelah berhasil merusak mental lawannya melalui candu. Proses pengolahan candu pada zaman dahulu masih sangat sederhana, salah satu prosesnya ialah menghilangkan bau, yakni dengan cara dicampur dengan air sulingan dan disimpan dalam guci 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) bulan, setelah kering baru dipergunakan untuk keperluan pengobatan.19

Sejalan dengan perkembangan kolonisasi maka perdagangan candu semakin tumbuh subur dan pemakaian candu secara besar-besaran dilakukan

18

Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, “Menanggulangi Bahaya Narkotika”, Jakarta tahun 1985, halaman 31.

19

(2)

dikalangan ethnis cina, terutama di negara-negara jajahan ketika itu, termasuk Indonesia yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda.20

Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui Single

Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961.21 Masalah ini menjadi begitu penting mengingat bahwa obat-obat (narkotika) itu adalah suatu zat yang dapat merusak fisik dan mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep dokter.

Peredaran penyalahgunaan narkotika yang terjadi di Indonesia sangat bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha – usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, disamping untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan

20

Sumarmo Ma’some, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, CV. Haji Masagung, 1987, halaman 5.

21

Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, halaman 30.

(3)

perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai – nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama – sama yaitu berupa jaringan yang dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara rapi dan sangat rahasia.

Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah sangat memperihatinkan. Kalau dulu, peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar di wilayah perkotaan, kini tidak ada satupun kecamatan, atau bahkan desa di republik ini yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap obat terlarang itu. Kalau dulu peredaran dan pecandu narkoba hanya berkisar pada remaja dan keluarga mapan, kini penyebarannya telah merambah kesegala penjuru strata sosial ekonomi maupun kelompok masyarakat dari keluarga melarat hingga konglomerat, dari pedesaan hingga perkotaan, dari anak muda hingga yang tua – tua.22

Maraknya pengedaran dan penggunaan narkotika akhir-akhir ini menyebabkan timbulnya kekhawatiran di kalangan masyarakat. Sasaran peredaran dan penggunanya bukan hanya tempat-tempat hiburan malam, tetapi sudah merambah kedaerah pemukiman kampus dan bahkan kesekolah-sekolah.

22

F.Agsya, 2010, Undang-Undang Narkotika dan Undang-Undang Psikotropika, Asa Mandiri, Jakarta, halaman 6

(4)

Beberapa pengamat pendidikan bahkan meyakini di Indonesia tidak ada lagi satupun kampus terbebas dari peredaran narkotika.23

Adapun data pengungkapan kasus narkotika yang berhasil diungkap Polri tahun 2007 sampai tahun 2011 seperti tabel berikut ini :

No Tahun Jumlah 1. 2007 11.380 2. 2008 10.008 3. 2009 11.135 4. 2010 17.834 5. 2011 19.045 Jumlah 69.402

Sumber : Direktorat Tindak Pidana Narkoba, Maret 2012

Tidak terlepas dari akibat yang ditimbulkan oleh penggunaan, perlu dicermati pula mengapa penggunaan narkotika meningkat akhir-akhir ini. Timbul suatu pertanyaan, sebenarnya apa yang menyebabkan mereka menggunakan narkotika. Para pemakai bukannya tidak mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh pemakaian narkotika tersebut. Mereka mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukannya, baik dari segi fisik maupun psikis, sebab kebanyakan pemakai berasal dari kalangan yang berpendidikan, akan tetapi itu tidak menghentikan mereka untuk mengkonsumsi narkotika.

Pada umumnya secara keseluruhan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana narkotika dapat dikelompokkan menjadi :

23

M.Wresiniro,Masalah Narkotika Psikotropika dan Obat-Obat Berbahaya, (Jakarta : Yayasan Mitra Bintibmas, 1999), halaman 413

(5)

1. Faktor internal pelaku 2. Faktor eksternal pelaku24

Ad.1. Faktor internal pelaku

Ada berbagai macam penyebab kejiwaan yang dapat mendorong seseorang terjerumus kedalam tindak pidana narkotika, penyebab internal itu antara lain sebagai berikut :

a. Perasaan Egois

Merupakan sifat yang dimiliki oleh setiap orang. Sifat ini seringkali mengdominasi perilaku seseorang tanpa sadar, demikian juga bagi orang yang berhubungan dengan narkotika/para pengguna dan pengedar narkotika. Pada suatu ketika rasa egoisnya dapat mendorong untuk memiliki dan atau menikmati secara penuh apa yang mungkin dapat dihasilkan dari narkotika.

b. Kehendak ingin bebas

Sifat ini adalah juga merupakan suatu sifat dasar yang dimiliki manusia. Sementara dalam tata pergaulan masyarakat banyak, norma-norma yang membatasi kehendak bebas tersebut. Kehendak ingin bebas itu muncul dan terwujud kedalam perilaku setiap kali seseorang dihimpit beban pemikiran maupun perasaan. Dalam hal ini, seseorang yang sedang dalam himpitan tersebut melakukan interaksi dengan orang lain sehubungan dengan narkotika, maka dengan sangat mudah orang tersebut akan terjerumus pada tindak pidana narkotika.

24

A.W., Widjaya, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, (Bandung :Armico, 1985) halaman 25

(6)

c. Kegoncangan Jiwa

Hal ini pada umumnya terjadi karena salah satu sebab yang secara kejiwaan hal tersebut tidak mampu dihadapi/diatasinya. Dalam keadaan jiwa yang labil, apabila ada pihak-pihak yang berkomunikasi dengannya mengenai narkotika maka ia akan dengan mudah terlibat tindak pidana narkotika

d. Rasa Keingintahuan

Perasaan ini pada umumnya lebih dominan pada manusia yang usianya masih muda, perasaan ingin ini tidak terbatas pada hal-hal yang positif, tetapi juga kepada hal-hal yang sifatnya negatif. Rasa ingin tahu tentang narkotika, ini juga dapat mendorong seseorang melakukan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana narkotika.

Ad. 2. Faktor eksternal pelaku

Faktor-faktor yang datang dari luar ini banyak sekali, diantaranya yang paling penting adalah sebagai berikut :

a. Keadaan Ekonomi

Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2(dua), yaitu keadaan ekonomi yang baik dan keadaan ekonomi yang kurang atau miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhannya dengan mudah. Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sangat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut.

(7)

Dalam hubungannya dengan narkotika, bagi orang-orang yang tergolong dalam keadaan ekonomi yang baik dapat mempercepat keinginan-keinginan untuk mengetahui, menikmati, dan sebagainya tentang narkotika. Sedangkan bagi yang keadaan ekonominya sulit dapat juga melakukan hal tersebut, tetapi kemungkinannya lebih kecil daripada mereka yang ekonominya cukup.

Berhubung narkotika tersebut terdiri dari berbagai macam dan harga, maka dalam keadaan ekonomi yang bagaimanapun narkotika dapat beredar dan dengan sendirinya tindak pidana narkotika dapat saja terjadi.

b. Pergaulan atau lingkungan

Pergaulan ini pada pokoknya terdiri dari pergaulan atau lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah atau tempat kerja dan lingkungan pergaulan lainnya. Ketiga lingkungan tersebut dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap seseorang, artinya akibat yang ditimbulkan oleh interaksi dengan lingkungan tersebut, seseorang dapat melakukan perbuatan yang baik dan dapat pula sebaliknya. Apabila dilingkungan tersebut narkotika dapat diperoleh dengan mudah, maka dengan sendirinya kecenderungan melakukan tindak pidana narkotika semakin besar.

c. Kemudahan

Kemudahan disini dimaksudakan dengan semakin banyaknya beredar jenis-jenis narkotika dipasar gelap maka akan semakin besar pula peluang terjadinya tindak pidana narkotika.

(8)

d. Kurangnya Pengawasan

Pengawasan disini dimaksudkan adalah pengendalian terhadap persediaan narkotika, penggunaan, dan peredarannya. Jadi tidak hanya mencakup pengawasan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga pengawasan oleh masyarakat. Pemerintah memegang peranan penting membatasi mata rantai peredaran, produksi, dan pemakaian narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan ini, maka pasar gelap, produksi gelap, dan populasi pecandu narkotika akan semakin meningkat. Pada akhirnya, keadaan semacam itu sulit untuk dikendalikan. Disisi lain keluarga merupakan inti dari masyarakat seyogyanya dapat melakukan pengawasan intensif terhadap anggota keluarganya untuk tidak terlibat dalam perbuatan yang tergolong pada tindak pidana narkotika. Dalam hal kurangnya pengawasan seperti yang dimaksud diatas, maka tindak pidana narkotika, bukan merupakan perbuatan yang sulit untuk dilakukan.

e. Ketidaksenangan dengan Keadaan Sosial

Bagi sesorang yang telah terhimpit oleh keadaan sosial maka narkotika dapat menjadikan sarana untuk melepaskan diri dari himpitan tersebut, meskipun sifatnya hanya sementara. Tapi bagi orang-orang tertentu yang memiliki wawasan, uang, dan sebagainya, tidak saja dapat menggunakan narkotika sebagai alat yang melepaskan diri dari hipitan keadaan sosial, tetapi lebih jauh dapat dijadikan alat bagi pencapaian tujuan-tujuan tertentu.

(9)

Kedua faktor tersebut tidak selalu berjalan sendiri-sendiri dalam suatu peristiwa pidana narkotika, tetapi dapat juga merupakan kejadian yang disebabkan karena kedua faktor tersebut saling mempengaruhi secara bersama.

Peredaran gelap narkotika di Indonesia melalui beberapa jalur, yakni jalur darat, jalur udara, jalur laut. Peredaran narkotika lewat jalur darat dapat terjadi karena lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di wilayah perbatasan. Peredaran gelap narkotika melalui laut juga kerap dilakukan. Indonesia yang merupakan negara kepulauan tentu banyak memiliki lautan yang dapat berfungsi sebagai pintu masuk kedalam negeri ini. Masalahnya tidak semua wilayah laut yang ada di Indonesia ini mendapatkan perhatian dan pengawalan yang optimal dari pemerintah. Luasnya lautan yang dimiliki Indonesia tidak diimbangi dengan jumlah personel yang mencukupi. Akibatnya beberapa wilayah perbatasan laut indonesia menjadi tidak terjaga. Celah inilah yang banyak diincar oleh pengedar narkotika luar untuk dapat membawa masuk narkotika mereka ke Indonesia melalui jalur laut. Peredaran gelap narkotika melalui jalur udara juga mengkhawatirkan. Berkali-kali dinas bea dan cukai bandara menggagalkan penyelundupan narkotika membuktikan kalau penyelundupan narkotika melalui jalur bandara sangatlah sering dilakukan. Ketersediaan alat pendeteksi yang canggih mutlak diperlukan agar penyelundupan narkotika melalui bandara tersebut tidak dapat lolos dari pemeriksaan, karena cara dan modus yang dilakukan untuk menyelundupkan narkotika melalui jalur udara ini semakin hari semakin beragam.

(10)

Indonesia menjadi sasaran ekspor utama negara-negara produsen narkotika seperti Belanda dan Iran. Harga 1 butir ekstasi di Belanda hanya bekisar Rp. 3000. Ekstasi itu kemudian diselundupkan ke Malaysia dan harganya meningkat menjadi Rp 30.000. Dari Malaysia, ekstasi diedarkan ke Indonesia dan harganya menjadi Rp 300.000 per butir. Sementara untuk sabu asli Iran, di negara asalnya Rp 100 juta per kilogram. Sabu itu kemudian diselundupkan ke Malaysia harganya menjadi Rp 300 juta. Tiba di Indonesia, harga sabu itu menjadi Rp 1,5 miliar.25

Peredaran gelap narkotika yang dilakukan dari Negara Malaysia karena antara Indonesia dengan Malaysia memiliki letak geografis yang sangat dekat. Sehingga menjadi salah satu alasan mudah masuknya berbagai jenis narkotika. Tidak hanya memiliki batas perairan, antara Indonesia juga memiliki perbatasan darat yang cukup luas yakni di sebelah utara Pulau Kalimantan.

Selain melalui jalur resmi penerbangan dan pelabuhan, para pengedar narkotika asal Malaysia juga biasa memanfaatkan jalur tidak resmi baik jalur tidak resmi perbatasan darat maupun perairan. Penyelundupan narkotika kerap terjadi di perbatasan Entikong Malaysia, Tanjung Balai Karimun, Dumai, termasuk Aceh hingga Batam yang memiliki kawasan bebas perdagangan26. Adapun sasaran peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia adalah meliputi Jakarta, Bali,

25 http://megapolitan.kompas.com/read/2012/10/04/17240495/Harga.Mahal.Buat.Indonesi a.Jadi.Sasaran.Ekspor.Narkotika 26 http://www.suarapembaruan.com/home/peredaran-narkoba-dari-negara-tetangga-semakin-marak/20945

(11)

Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Lampung, Banten, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Aceh.27

B. Pengaturan hukum penyalahgunaan narkotika di Indonesia

Dalam sejarah, perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu :

1. Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika;

Latar belakang digantinya Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1976 ini dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976, diantaranya adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan sehubungan dengan perkembangan sarana perhubungan modern baik darat, laut maupun udara yang berdampak pada cepatnya penyebaran perdagangan gelap narkotika di Indonesia. Ditambah lagi dengan kemajuan dibidang pembuatan obat-obatan, ternyata tidak cukup memadai bila tetap memakai undang-undang tersebut. Dalam Verdovende Middellen Ordonantie hanya mengatur tentang perdagangan dan penggunaan narkotika. Narkotika tidak saja diperlukan dalam dunia pengobatan, tetapi juga dalam penelitian untuk tujuan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu dibuka kemungkinan untuk mengimpor narkotika dan mengekspor obat-obtan yang mengandung narkotika, menanam, memelihara Papaver, Koka, dan Ganja.

Undang-undang ini mengatur secara lebih luas mengenai narkotika dengan memuat ancaman pidana yang lebih berat dari aturan sebelumnya. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

27

http://www.immcnews.com/Hari-Anti-Narkoba-2012/daerah-tujuan-peredaran

(12)

a. Mengatur jenis-jenis narkotika ;

Dalam undang-undang ini jenis-jenis narkotika , yaitu : Tanaman Papaver, Opium Mentah, Opium Masak, Opium Obat, Morfina, Tanaman Koka, Daun Koka, Kokaina Mentah, Kokaina, Ekgonina, Tanaman Ganja, Damar Ganja, garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina, bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika.

b. Pidananya sepadan dengan jenis-jenis narkotika yang digunakan;

Beberapa perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut :

Pasal 23 ayat (1) dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 :

(a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Koka atau tanaman Ganja;

(b) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000.- (limabelas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman Papaver.

Pasal 23 ayat (2) dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (2), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat 2 :

(13)

(a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

(b) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 ayat (3) dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (3), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (3) :

a. dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

b. dipidana dengan pidana penjara selama-selamanya 10 (sepuluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 ayat (4) dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (4), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (4) :

a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama -lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

(14)

b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

Pasal 23 Ayat (5) dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. Berdasarkan Pasal 36 ayat (5), barangsiapa melanggar Pasal 23 ayat (5) :

a. dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama -lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman, Ganja;

b. dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut narkotika lainnya.

c. Mengatur tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika ;

Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis akibat penggunaan atau penyalahgunaan narkotika. Rehabilitasi adalah usaha memulihkan untuk menjadikan pecandu narkotika hidup sehat jasmaniah dan atau rohaniah sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilannya, pengetahuannya serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.

(15)

Dalam usaha pemulihan tersebut dapat dilakukan oleh lembaga milik pemerintah maupun swasta ( Pasal 33 ayat 3 )

d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika meliputi penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas pengangkutan serta penggunaan narkotika;

Untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan kepada lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan dapat diberi izin oleh Menteri Kesehatan untuk menanam, meracik, memproduksi, memperdagangkan, serta penggunaan narkotika.

2. Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67. Adapun yang menjadi latar belakang diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini yaitu peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Selain itu perubahan tersebut mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikan Bangsa

(16)

Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.

Undang-undang baru tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan pada faktor-faktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Mengatur penggolongan dan jenis-jenis narkotika lebih terperinci.

Dalam undang-undang ini narkotika dibedakan atas 3 golongan, yaitu : narkotika golongan I yang terbagi atas 26 jenis, narkotika golongan II yang terbagi atas 87 jenis, narkotika golongan III yang terbagi atas 14 jenis. Yang membedakan antara tiap-tiap golongan adalah potensi ketergantungannya. Narkotika golongan I mempunyai potensi ketergantungan sangat tinggi, narkotika golongan II mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan, narkotika golongan III mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

b. Pengaturan tentang peredaran, penyaluran, penyerahan

Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan

(17)

perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk keperluan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Penyaluran narkotika yang berasal dari importer hanya dapat disalurkan kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu. Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada eksportir, pedagang besar farmasi tertentu, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, rumah sakit, dan lembaga ilmu pengetahuan tertentu. Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pedagang besar farmasi tertentu lainnya, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu, rumah sakit, lembaga ilmu pengetahuan, dan eksportir. Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada rumah sakit pemerintah, puskesmas, balai pengobatan pemerintah tertentu. ( Pasal 36).

Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek,, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit, puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, pasien. Penyerahan narkotika oleh rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan kepada pasien berdasarkan resep dari dokter. ( Pasal 39 )

c. Peran serta masyarakat

Masyarakat mempunyai kesempatan untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkotika. Upaya pencegahan dan pemberantasan itu dapat berupa melaporkan kepada pihak yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan

(18)

peredaran gelap narkotika dan bagi pelapor akan diberikan jaminan keamanan dan perlindungan.

Atas jasanya dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, pemerintah memberikan penghargaan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

d. Sanksi pidana penjara dan denda lebih berat

Hal itu dapat kita lihat dalam ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman papaver, tanaman koka atau tanaman ganja Pada Pasal 36 ayat 1 (a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Barangsiapa secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman papaver, tanaman koka atau tanaman ganja. Apabila perbuatan tersebut menyangkut tanaman koka dan ganja dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah).

Pada Pasal 78 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman atau memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana

(19)

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, tanaman papaver, tanaman koka atau tanaman ganja termasuk dalam Golongan I. Sanksi pidana penjara menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai tanaman ganja dan tanaman koka dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika adalah 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya adalah 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Sementara dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1976 Tentang Narkotika sanksi pidana penjaranya setinginggi-tingginya adalah 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Kedua, tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. Pada Pasal 36 ayat 2 (a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, barangsiapa tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja.

Pasal 80 ayat 1 (a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana

(20)

penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

Sangat terlihat jelas perbedaan sanksi pidana penjara dan pidana denda antara Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika berkaitan dengan tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika jenis tanaman ganja dan tanaman koka. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika ancaman pidana penjaranya adalah selama-lamanya 12 (dua belas) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika ancaman pidananya adalah pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);

Ketiga, tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain. Pada Pasal 36 ayat 6 (a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, barangsiapa tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) apabila perbuatan tersebut menyangkut daun Koka atau tanaman Ganja;

Pasal 84 (a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Barangsiapa tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain,

(21)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Perbedaan sanksi pidana penjara dan pidana denda antara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika berkaitan dengan tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain jenis tanaman ganja dan tanaman koka. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika ancaman pidana penjaranya adalah selama -lamanya 6 (enam) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

e. Kriminalisasi bagi orang tua atau wali

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika memberikan ancaman hukuman pidana 6 bulan kurungan atau denda paling banyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) bagi orang tua atau wali yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang belum cukup umur menggunakan narkotika untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan ( Pasal 86 ayat 1 ).

Istilah cukup umur sesuai dengan pengertian yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(22)

3. Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang disahkan pada 12 Oktober 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.

Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam undang-undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan

(23)

lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Mengatur penggolongan dan jenis-jenis narkotika

Dalam undang-undang ini narkotika dibedakan atas 3 golongan, yaitu : narkotika golongan I yang terbagi atas 65 jenis, narkotika golongan II yang terbagi atas 86 jenis, narkotika golongan III yang terbagi atas 14 jenis. Terjadi perubahan penambahan jenis golongan I, dimana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 golongan I hanya terdiri dari 26 jenis. Untuk golongan II juga terjadi perubahan penurunan, dimana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 golongan II terdiri dari 87 jenis. Sedangkan untuk golongan III tidak ada perubahan penurunan ataupun penambahan jenis. Hanya saja terjadi perubahan jenis narkotika di dalam Golongan III tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, narkotika jenis campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan narkotika tidak lagi masuk dalam golongan III dan diganti dengan

Buprenorfina.

b. Pengobatan dan Rehabiltasi

Melalui undang-udang ini, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial menjadi kewajiban bagi para pecandu. Undang-undang ini juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi

(24)

tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri . (Pasal 54)

c. Kewenangan BNN dan Penyelidikan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prekursor narkotika (Pasal 64). Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat untuk mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 106).

Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimiliki penyelidik dan penyidik.

d. Peran Serta Masyarakat

Selain memberikan kewenangan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam undang-undang ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika.

(25)

e. Ketentuan Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memiliki kencederungan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 49 pasal dari 155 pasal yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu kewenangan yang besar bagi BNN yang berkembang menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, serta mengajukan langsung berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum dalam tindak pidana narkotika.

Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai berikut :

1. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam tindak pidana narkotika. Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal undang-undang ini dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.

(26)

Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memperkuat asumsi bahwa undang-undang tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Adapun beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :

Pasal 111

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 112

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 113

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(27)

(2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

f. Acaranya bersifat khusus

Acara dalam tindak pidana narkotika berbeda dengan acara dalam tindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perbedaannya terletak pada :

1. Lamanya penangkapan

Dalam KUHAP sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) lamanya penangkapan adalah satu hari. Sedangkan acara dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang diatur dalam Pasal 76 ayat (1) adalah pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik. Kewenangan penangkapan tersebut dapat pula diperpanjang yang diatur dalam Pasal 76 ayat (2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.

2. Alat Bukti

Alat bukti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Pasal 184 adalah :

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli

(28)

c. Surat d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Berdasarkan Pasal 86 ayat (1), penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam Pasal 86 ayat (2), alat bukti yang dimaksud dapat berupa :

a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

1. tulisan, suara, dan/atau gambar;

2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau

3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

(29)

C. Pihak – pihak terkait dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika

Adapun pihak-pihak yang terkait dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut :

1. Badan Narkotika Nasional (BNN)

Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba, penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan

(30)

berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba.

Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus miningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordina si penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang makin serius. Oleh karenanya

(31)

berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN, sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi:

1. mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan

2. mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

Mulai tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden,

(32)

Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN.

Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.

Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke propinsi dan kabupaten/kota. Di propinsi dibentuk BNN Propinsi, dan di kabupaten/kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden.28

Dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika ini BNN mempunyai tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang dimuat dalam Pasal 70, adapun tugas BNN adalah :

28

(33)

a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

c. Berkoordinasi dengan kepala kepolisian republik negara indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

h. Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika.

i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan tehadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

(34)

Adapun yang menjadi wewenang Penyidik BNN dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Pasal 75 adalah sebagai berikut :

a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

b. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

c. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;

d. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

e. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

g. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

h. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional;

i. melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;

(35)

j. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan;

k. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

l. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat

(DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;

m. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;

n. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman; o. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat

perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; p. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang

disita;

q. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;

r. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

s. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Disamping wewenang tersebut, berdasarkan Pasal 80 Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 juga berwenang :

a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;

(36)

b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;

c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa; d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;

f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;

g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara

lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

(37)

Apabila memperhatikan pada perundang-undangan nasional, ada beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum diberikannya wewenang kepada PPNS untuk melakukan penyidikan di antaranya:

a. Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. b. Pasal 1 angka 11 dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia;

Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

Diberikannya wewenang untuk melaksanakan tugas penyidikan kepada PPNS, di satu sisi tentunya akan memudahkan dalam pengungkapan suatu tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat kepolisian dalam melakukan penyidikan, seperti kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, sarana-prasarana pendukung, serta anggaran. Namun, di sisi lain banyaknya institusi penyidik berpotensi menimbulkan tarik menarik kewenangan antar institusi, terlebih apabila masing-masing institusi penyidik mengedepankan ego, yang dapat berujung pada terhambatnya proses penegakan hukum.

(38)

Oleh karena itu, dalam mengantisipasi munculnya ketidaksinkronan dalam melaksanakan tugas penyidikan, khususnya antara penyidik Polri dan PPNS, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan solusi terkait kedudukan kedua institusi tersebut yakni sebagai berikut:

1. Penyidik pegawai negeri sipil berkedudukan di bawah: a) Koordinasi penyidik Polri;

b) Di bawah pengawasan penyidik Polri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP)

2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP)

3. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP)

4. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP)

5. Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat

(39)

(3) KUHAP). Yang perlu mendapat perhatian dalam hal penghentian penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil adalah meskipun pada saat pelaporan tindak pidana yang sedang disidiknya, penyidik pegawai negeri sipil cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada penyidik Polri, tidak perlu diberitahukan kepada pununtut umum, namun dalam hal penghentian penyidikan, disamping harus memberitahukan penghentian tersebut kepada penyidik Polri, juga harus memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada penuntut umum.

Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang narkotika dan prekursor narkotika adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.29 Penyidik tersebut di dalam menjalankan tugasnya mempunyai wewenang yang diatur dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, yakni :

a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

b. memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

29

(40)

e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;

g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

h. menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Referensi

Dokumen terkait

penampilan produk bisa dilihat dari tanpak rasa, bau, dan bentuk dari produk. 8) Kesan Kualitas (perceived quality), sering dibilang merupakan hasil dari

Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah : (1) Memperoleh pemahaman dari unsur-unsur kebudayaan universal masyarakat Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang,

Pada ekstrak buah pisang warna benedict yaitu biru, pisang masak yang berwarna cokelat tua + benedict warnanya menjadi biru, warna pisang (masak) + benedict (dipanaskan) menjadi

Hasil analisa menunjukan bahwa nilai optimum kekasaran permukaan pada proses pembubutan paduan Magnesium AZ31 menggunakan Responce Surface Methode Box-Behnken Design

Kemampuan sumber daya dalam proses implementasi kebijakan anggaran pengembangan kompetensi aparatur belum berjalan optimal, hal ini ditandai dengan masih ditemui 17 OPD

No. Mengoreksi pembacaan puisi tentang lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Mampu mengoreksi pembacaan puisi tentang lafal, intonasi dan ekspresi. Mampu mengoreksi

122 pembuatan akta kelahiran, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pengurusan pembagian warisan, dan lain-lain. Karena beberapa masalah tersebut membutuhkan

Film yang dirancang adalah film fiksi pendek yang ditujukan untuk remaja akhir di wilayah perkotaan dengan konsep penyutradaraan yang ingin menyampaikan bahwa pelaku