LAJU EMISI GAS METAN (CH4
SKRIPSI
), SUHU UDARA DAN PRODUKSI PADI SAWAH IP 400 PADA FASE VEGETATIF MUSIM TANAM I AKIBAT
VARIETAS DAN BAHAN ORGANIK YANG BERBEDA
Oleh
TIMBUL SIMBOLON 070303021 ILMU TANAH
DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LAJU EMISI GAS METAN (CH4
SKRIPSI
), SUHU UDARA DAN PRODUKSI PADI SAWAH IP 400 PADA FASE VEGETATIF MUSIM TANAM I AKIBAT
VARIETAS DAN BAHAN ORGANIK YANG BERBEDA
Oleh
Timbul Simbolon 070303021/ILMU TANAH
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara Medan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Ir. Posma Marbun, MP.) (Ir. Fauzi. MP) NIP. 19670712 199303 2 002 NIP. 19571110 198601 1 003
DEPARTEMEN ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
This research was aimed to determine whether composting organic materials and varieties of rice plants of different IP 400 can reduce the rate of emissions of methane (CH4), the air temperature in rice vegetative phase and also
to know which varieties or organic matter are likely to be better in reducing the rate of gas emissions methane (CH4), air temperature and increase rice production
IP 400. This research was conducted in paddy fields and Development Research Institute, Village Market District Leaning Fence Merbau Deli Serdang (30 29 '51.33 "N and 980 54' 19.87" E) with a height of 30 meters above sea level where conducted from February 2012 to complete. This research used a randomized block design factorial with six combinations of treatments and three replications thus obtained eighteen experimental unit. Treatment consists of V1B0 (Inpari 1 +
Without Organic Materials), V1B1 (Inpari 1 + straw compost 9 kg), V1B2 (Inpari
1 + Cow Manure 9 kg), V2B0 (Ciherang + Without Organic Materials), V2B1
(Ciherang + Compost straw 9 kg), V2B2 (Ciherang + Cow manure 9 kg).
The results of this research indicate varieties of rice IP 400 and composted organic materials that have been able to suppress the emission rate at 42 days after planting, the air temperature and increase rice production IP 400, but did not suppress emission rate at 35 days after planting.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengomposan bahan organik dan varietas tanaman padi IP 400 yang berbeda dapat menekan laju emisi gas metan (CH4), suhu udara pada tanaman padi fase vegetatif juga mengetahui
bahan organik dan varietas mana yang cenderung lebih baik dalam menekan laju emisi gas metan (CH4), suhu udara dan meningkatkan produksi padi IP 400.
Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan Balai Penelitian dan Pengembangan, Desa Pasar Miring Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang (30 29’ 51,33” N dan 980 54’ 19,87” E) dengan ketinggian tempat 30 meter dpl dan Balai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (BK3) yang dilaksanakan dari bulan Februari 2012 sampai dengan selesai. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) faktorial dengan enam kombinasi perlakuan dan tiga ulangan sehingga diperoleh delapan belas unit percobaan. Perlakuan terdiri atas V1B0 (Inpari 1 + Tanpa Bahan Organik), V1B1 (Inpari 1 + Kompos Jerami 9
kg), V1B2 (Inpari 1 + Pupuk Kandang Sapi 9 kg), V2B0 (Ciherang + Tanpa Bahan
Organik), V2B1 (Ciherang + Kompos Jerami 9 kg), V2B2 (Ciherang + Pupuk
Kandang Sapi 9 kg).\
Hasil penelitian ini menunjukkan varietas tanaman padi IP 400 dan bahan organik yang telah dikomposkan mampu menekan laju emisi pada 42 HST, suhu udara dan meningkatkan produksi padi IP 400, tetapi tidak menekan laju emisi pada 35 HST.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini dengan
baik. Adapun judul skipsi ini adalah Laju Emisi Gas Metan (CH4), Suhu Udara Dan Produksi Padi Sawah Ip 400 Pada Fase Vegetatif Musim Tanam I Akibat Varietas dan Bahan Organik Yang Berbeda
Penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang
telah mendidik dan mendukung penulis selama ini. Penulis juga menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Ibu Ir. Posma Marbun, MP dan
Ir. Fauzi. MP selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing dan mengarahkan serta memberikan masukan berharga kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari dalam penyelesaian skripsi ini terdapat banyak
kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi seluruh pihak yang membutuhkan.
Medan, Januari 2013
DAFTAR ISI
Hipotesis Penelitian ... .…. 4
Kegunaan Penelitian ... .…. 4
Produksi dan Emisi Gas Metan dari Lahan Sawah...13
Pengukuran Fluks Emisi Gas Metan di Lapangan... 15
BAHAN DAN METODE
Pembuatan Kompos Jerami. ... 20
Pembuatan Kompos Kandang Sapi ... 20
Analisis Awal… ... 21
Persiapan Benih dan Persemaian ... 21
Pengolahan Tanah ... 22
Pemupukan ... 22
Pengolahan Air ... 22
Pemeliharaan ... 24
Panen ... 24
Pengambilan Sampel Gas di Lapangan ... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil………25 Pembahasan………...34
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan……….………..……….42 Saran……….…….43 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 1. Sumber dan Susunan Unsur Hara Jerami ... 8
2. Emisi CH4 dan Hasil Gabah dari Beberapa Pemberian Pupuk Kandang dan Jerami Padi yang Ditanam di Indonesia Per Musim Tanam ………..10
3. Kandungan Emisi yang terdapat pada kotoran sapi ... 19
4. Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap Laju Emisi (CH4)
(mg/m2/hari) pada Umur 35HST……….…36
5. Rataan Laju Emisi Metan (CH4) (mg/m2/hari) Akibat Varietas Tanaman
Padi IP 400 dan Bahan Organik yang Berbeda pada 42 HST………...…38
6. Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan Suhu Udara
(0C) Dalam Sungkup Pada Umur 35 HST……….39
7. RataanPengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan
Suhu Udara(0C) Dalam Sungkup Pada Umur 42 HST.……….40
8. Rataan Jumlah Anakan (batang) Tanaman Padi Sawah IP 400 Akibat Pengaruh Faktor Varietas Dan Pemberian Bahan Organik ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Deskripsi Padi Sawah Varietas Pandanwangi ... 57
2. Deskripsi Padi Sawah Varietas Ciherang………...58
2. Bagan Percobaan ... 59
3. Denah Tanaman ... 60
4. Sidik Ragam Emisi Metan (CH4) pada umur 35 HST ... 60
5 Sidik Ragam Emisi Metan(CH4 6. Sidik Ragam Suhu/ Tempratur udara ( ) pada umur 42 HST ... 61
o C) pada umur 35 HST ... 61
7. Sidik Ragam Suhu/ Tempratur udara (oC) pada umur 42 HST ... 62
8. Sidik Ragam Jumlah Anakan ... 63
9. Sidik Ragam Produksi Gabah per Petak ... 63
10. Analisis Awal ………...…64
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman 1. Histrogram Interaksi Varietas Padi IP 400 dan Bahan Organik Terhadap
Perubahan Laju Emisi (CH4) pada Umur 35 HST... 37
2. Histogram Hubungan Antara Varietas dengan Jumlah Anakan tanaman padi sawah IP 400 ... 42
3. Histogram Hubungan Antara Pemberian bahan Organik terhadap Jumlah Anakan Produktif Tanaman Padi Sawah IP 400 ... 43
4. Histogram Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman padi merupakan tanaman pangan terpenting di dunia, karena
lebih dari setengah penduduk Asia menggantungkan hidupnya pada beras yang
dihasilkan dari tanaman padi. Sekitar 1,75 miliar dari sekitar tiga miliar penduduk
Asia, termasuk 210 juta penduduk Indonesia menggantungkan kebutuhan
kalorinya dari beras. Sementara itu, dari sekitar 1,2 miliar penduduk di Afrika dan
Amerika Latin sebesar 100 juta diantaranya hidup dari beras (Andoko, 2002).
Berbagai upaya peningkatan produksi dan produktivitas telah dilakukan
pada tahun–tahun sebelumnya, namun hal ini belumlah cukup sehingga perlu
terobosan di tahun 2009 dan tahun-tahun berikutnya. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah dengan mengembangkan Indeks Pertanaman Padi 400 (IP Padi
400) yang merupakan pilihan menjanjikan guna meningkatkan produksi padi
nasional tanpa memerlukan tambahan fasilitas irigasi (badan litbang pertanian,
2009).
Dasar pertimbangan pengembangan padi IP 400 yaitu tersedianya varietas
yang super genjah (Ciherang dan Inpari 1). Inpari 1 mempunyai ketahanan
terhadap penyakit Hawar Daun Bakteri, tahan rebah dan umur tanaman yang
relatif pendek (93 hari). Produksi rata-rata varietas Inpari 1 mencapai 7,32 ton/ha
Gabah Kering Giling (GKG) dan varietas Ciherang mempunyai ketahanan
terhadap penyakit Hawar Daun Bakteri, tahan rebah dan Umur tanaman 103 hari,
untuk mencapai produksi tersebut adalah dengan menggunakan metode tanam SRI
(System of Rice Intensification) (Departemen Pertanian, 2008).
Selama ini teknik budidaya padi sawah menggunakan metode konvensional, yaitu dengan memberikan air (menggenangi lahan) selama fase vegetatif dan pada fase generatif lahan dikeringkan, namun dengan System of Rice Intensification (SRI) justru kebalikkannya, dimana selama fase vegetatif lahan dibiarkan dalam keadaan lembab dan pada fase generatif lahan digenangi hingga 10 hari menjelang panen. Lahan dibiarkan dalam keadaan lembab bertujuan untuk memperlancar aerasi dalam tanah sehingga tanah sampai retak-retak dan oksigen mudah masuk ke dalam tanah. Oksigen dibutuhkan bagi perkembangan akar sehingga pertumbuhan dan perkembangan akar bagus akibatnya pertumbuhan bagian atas tanaman juga akan sempurna (Barkelaar, 2001).
Untuk mendukung pengembangan batang dan perakaran yang baik
diperlukan juga bahan organik yang banyak karena penambahan bahan organik
dapat menambah hara, sehingga kandungan unsur hara dapat meningkat didalam
tanah dan mampu meningkatkan pertumbuhan serta produksi padi sawah. Hasil
penelitian penggunaan bahan organik, seperti sisa-sisa tanaman yang melapuk,
kompos dan pupuk kandang sapi dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah
serta efisiensi pemupukan. Dalam meningkatkan produksi padi perlu dilakukan
pelestarian lingkungan, termasuk mempertahankan kandungan bahan organik
tanah dengan memanfaatkan jerami padi. Penggunaan kompos jerami dan pupuk
kandang sapi dengan takaran 10 ton/ha dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi padi sawah serta memperbaiki sifat fisik-kimia tanah. Pemberian bahan
organik akan meningkatkan kandungan Nitrogen tanah sehingga mengurangi
Disamping itu, hasil penelitian PPLH-IPB pada tahun 2009 menyatakan
bahwa sektor kehutanan (deforestri) adalah sector yang menyumbang emisi gas
rumah kaca (GRK) terbesar di Indonesia yaitu 42,5% disusul energi dan
transportasi sebesar 40,9%; sedangkan sektor pertanian menyumbangkan 13,4%
emisi GRK. Pertanian padi terutama yang selalu tergenang merupakan sumber
dari tiga macam GRK yaitu : karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan
dinitrogen oksida (N2O), kontribusi masing-masing GRK tersebut terhadap
pemanasan global dari tanah sawah adalah berturut-turut sebesar 55%, 24% dan
15% (Setyanto, 2008).
Di bidang pertanian terutama pada budidaya padi sawah, upaya mitigasi
yang dapat dilakukan adalah dengan pemilihan varietas, pengelolaan air irigasi,
penggunaan pupuk yang ramah lingkungan dan juga penggunaan jerami padi yang
telah dikomposkan. Upaya pemecahan persoalan produksi dan peningkatan
produktivitas tanah sawah harus diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi
sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian upaya untuk menurunkan
tingkat emisi CH4 dari tanah sawah harus tetap dilakukan tanpa mengorbankan
produksi beras (Setyanto dan Prihasto, 2004).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang emisi CH4 pada lahan padi sawah IP 400 fase vegetatif akibat pemberian
berbagai bahan organik pada musim tanam I
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju emisi gas CH4,
suhu udara pada lahan padi sawah IP 400 fase vegetatif akibat pemberian
Hipotesis Penelitian
1. Varietas tanaman padi sawah mempengaruhi laju emisi gas CH4, suhu udara
dan produksi padi IP 400 di lahan padi sawah pada fase vegetatif musim tanam
I.
2. Bahan organik mempengaruhi laju emisi gas CH4, suhu udara dan produksi
padi IP 400 di lahan padi sawah pada fase vegetatif musim tanam I.
3. Interaksi antara Varietas tanaman padi sawah dan Bahan Organik
mempengaruhi laju emisi gas CH4,
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi petani padi
sawah untuk mendapatkan teknik budidaya dan cara pemberian jerami yang
terbaik bagi budidaya padi sawah nantinya (ramah lingkungan dan produksi
yang tinggi).
suhu udara dan produksi padi IP 400 di
lahan padi sawah pada fase vegetatif musim tanam I.
Kegunaan Penelitian
2. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian
Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,
TINJAUAN PUSTAKA
Padi IP 400
Padi IP 400 merupakan salah satu jenis program penanam padi yang
mengalami pengindentifikasian guna meningkatkan produksi padi tanpa
memerlukan tambahan fasilitas irigasi dan pembukan lahan baru. IP padi 400
artinya, petani dapat memanen hamparan sawah yang sama empat kali dalam
setahun. Untuk mendukung hal tersebut, dua strategi yang perlu dilakukan oleh
pengelola adalah rekayasa sosial dan rekayasa teknologi. Rekayasa sosial dalam
hal ini adalah berupa sosialisasi kepada petani tentang padi IP 400 dan Rekayasa
teknologi dalam hal ini adalah varietas unggul yang sangat genjah antara 80-104
hari yang mampu berproduksi tinggi, hemat air dengan irigasi berselang,
persemaian dapok atau culikan dan pengembangan sistem monitoring dini
sebelum tanam, persemaian, penanaman, dan sesudah pemanenan (Deptan 2009).
Pola Tanam
Penanaman padi IP 400 diterapkan berdasarkan pola hujan tahunan antara
Oktober-Maret adalah musim hujan dan April-September adalah musim kemarau.
Teknologi yang dibutuhkan harus sesuai dengan kondisi tersebut yaitu: 4 musim
tanam atau 3 bulan/musim, persedian air ada sepanjang tahun, semua kegitan
perlu dilaksanakan secara cepat atau bahkan ada kegitan secara tumpang tindih
atau persemaian dilakukan saat sebelum panen, padi ditanam dalam hamparan
secara serentak. Sebagai pendukung perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: pola
tanam dibagi atas 4 bagian dimana pola tanam I dilakukan antara
dilakukan antara April-Juni dan pola tanam ke IV dilakukan antara
Juli-September. Dimana pada pola tanam I dan III dengan menggunakan varietas padi
genjah >105-124 hari seperti Ciherang, IR64 dan Mekongga dan pada pola tanam
II dan IV dengan menggunakan varietas padi sangat genjah yang berumur antara
90-104 hari. Ha ini dilakukan untuk mencegah ledakan hama yang terjadi selama
masa tanam (Deptan 2009).
Varietas
Beberapa varietas padi yang dibudidayakan di lahan sawah irigasi seperti
Cisadane, Memberamo, IR64, IR36, Dodokan, Batang Anai mengemisi gas
metana lebih tinggi daripada yang dibudidayakan di lahan sawah tadah hujan
meskipun digenangi terus menerus, masing-masing dengan beda 246-282.
115-316, 121-125, 221, 208-337, dan 57 kg CH4/ha. Di ekosistem sawah tadah hujan,
varietas padi yang ditanam secara gogorancah atau tabela memberikan emisi
metana berbeda bilamana ditanam secara pindah (tapin). Emisi gas metana pada
padi gogorancah selama musim penghujan umumnya lebih tinggi daripada padi
tapin selama musim kering, dengan perbedaan sebesar 38, 126, 37, 45, 93, 52 kg
CH4
Persemaian dapat dilakukan dengan cara persemaian culikan yaitu dengan
menyemaikan benih 15 hari sebelum panen. Persemaian kering yang dilakukan di /ha pada masing-masing varietas Muncul, Way Apoburu, Tukad Balian,
Tukad Petanu, Ciherang, dan Cisantana. (BPLP Jawa tengah 2006).Varietas yang
dipilih untuk penanaman IP padi 400 sebaiknya didasarkan pada umur tanaman
dan ketahanan terhadap hama penyakit. Sebelum dilakukan penanaman, padi
terlebih dahulu disemaikan selama 15 hari (Wihardjaka, 2006).
darat sedangkan persemaian basah dilakukan di lahan sawah di luar areal yang
akan dipanen. Pemilihan jenis persemain yang akan dilakukan tergantung dengan
kondisi lahan dan jenis benih yang akan digunakan ( Deptan 2009).
Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah yang dilakukan dalam padi IP 400 dapat dilakukan
dengan Olah Tanah Sempurna (OTS) dan Tanpa Olah Tanah ( TOT). Olah tanah
sempurna dilakukan dengan membalikan tanah dengan bajak atau traktor lalu
menggenangi tanah dan dilakukan penanaman benih padi umur 21 hari. Tanpa
olah tanah dapat dilakukan apabila terbatasnya alat olah tanah dengan persyaratan
tanah tidak menggandung fraksir pasir yang tinggi dan mudah berlumpur bila
dilakukan penggairan. Pengolahan tanah tanpa olah tanah dilakukan dengan cara
pembersihan gulma, penggenangan 3 cm selama 4 hari lalu dikeringkan dan
ditanami benih umur 22 HSS dan dengan jarak tanam 20-25 cm (Deptan 2009).
Pengairan
Pengairan yang dilakukan dalam padi IP 400 dapat dilakukan dengan
sistem tanam pindah dan dengan sistem berselang. Sistem yang dilakukan
tergantung dengan kondisi, cara tanam dan ketersediaan air di sekitar lahan yang
digunakan (Deptan 2009).
Pengaruh Pemberian Jerami Terhadap Emisi Metan (CH4)
Bahan organik berupa jerami merupakan bahan amelioran penting dalam
menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut
Soepardi (1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan
Sumber dan susunan unsur hara bahan organik dari jerami segar dapat
dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Sumber dan Susunan Unsur Hara Jerami Segar.
Unsur Hara Jumlah (%) Sumber : Dinas Pertanian (2008) dalam Perdana (2008)
Kompos jerami padi merupakan sisa panen tanaman padi sawah yang telah didekomposisi oleh mikrobia perombak. Hasil penelitian Nuraini (2009) menunjukkan bahwa kompos jerami memiliki kandungan N-organik 0,91%;
N-NH4 0,06%; N-total 1,03%; P2O5 0,69%; C-organik 19,09% dan air 9,22%. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kandungan yang nyata antara kompos yang dibuat dengan menggunakan dekomposer dengan kompos tanpa dekomposer, namun pembuatan kompos yang menggunakan dekomposer lebih cepat dibandingkan dengan tanpa dekomposer.
Jerami yang mudah terdekomposisi merupakan bahan baku utama bagi bakteri metanogenik dalam membentuk CH4 di lahan sawah. Neue (1993), menghitung total
emisi CH4 dari lahan sawah dari total biomassa kalau dikembalikan ke dalam tanah,
dengan asumsi rata-rata 15% jerami, 50% gulma tanah dan seluruh akar tanaman ditambah biomassa aquatik (algae dan gulma); jumlah yang dikembalikan itu setiap tahun (kurang lebih setara 390 juta ton biomassa atau setara 156 juta t-1 karbon), dan 30% karbon yang dikembalikan tersebut diubah menjadi CH4, maka sekitar 62,4 Tg (terra gram
= 1012 g) CH4 akan dihasilkan dari lahan sawah setiap tahunnya di seluruh dunia.
Schutz et al. (1989) melaporkan bahwa penambahan jerami kering 3 ton/ha
dua kali lebih tinggi pada penambahan 5 ton/ha, dan 2,4 kali lebih tinggi pada penambahan 12 ton/ha. Sedangkan penambahan 60 ton/ha jerami memberikan emisi yang sama dengan pemberian 12 ton/ ha. Dari hasil penelitian tersebut ditemukan pula bahwa lahan sawah dengan penambahan jerami, urea dan amonium sulfat memberi emisi yang lebih tinggi dibanding lahan yang hanya sekedar diberi jerami (tanpa pemupukan). Yagi
and Minami (1990) menemukan bahwa penambahan jerami 6 ton/ha dapat meningkatkan emisi CH4 1,8 - 3,3 kali lebih besar dibanding hanya pemberian pupuk anorganik. Pada penambahan 9 ton/ha emisi CH4yang dihasilkan 3,5 kali lebih besar. Hal yang menarik
dari penelitian ini adalah bahwa penambahan jerami yang sudah menjadi kompos (terhumifikasi) tidak memberi emisi yang tinggi.
Penelitian Wihardjaka (2001) juga dengan menggunakan beberapa jenis
bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar
didapat dari pemberian pupuk kandang, pemberian jerami segar, kompos jerami
dan tanpa bahan organik.
Tabel 2. Emisi CH4 dan Hasil Gabah dari Beberapa Pemberian Pupuk Kandang dan Jerami Padi yang Ditanam di Indonesia Per Musim Tanam
Limbah ternak dapat lebih bermanfaat setelah melalui proses pengolahan,
kompos disebabkan oleh lama waktu yang dibutuhkan selama proses
pengomposan lebih kurang 2 bulan. Namun dengan adanya berbagai teknologi,
kotoran ternak dapat didekomposisi menjadi kompos dalam waktu yang lebih
singkat.
Kotoran sapi yang mengalami dekomposisi menghasilkan yang sebahagian
besar berupa CH4 (Metan) dan CO2
Jenis Gas
(karbondioksida). Proses dekomposisi dibantu
oleh beberapa mikroorganisme. Kandungan gas tersebut dapat dilihat pada tabel di
bawah.
Tabel 3. Kandungan Emisi yang Terdapat pada Kotoran Sapi
Jumlah (%)
Hewan ternak telah dikenal sebagai penyumbang emisi GRK. “Bayangan
Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow)”, laporan Organisasi Pangan dan
Pertanian PBB (FAO) tahun 2006 yang telah dikutip secara luas, memperkirakan
emisi sebesar 7.516 juta metrik ton ekuivalen CO2 per tahun, atau 18 persen emisi GRK dunia setiap tahun, dihasilkan oleh hewan ternak sapi, kerbau, domba,
kambing, unta, kuda, babi, dan unggas. Dengan jumlah sebesar itu, peternakan
sangat jelas memenuhi syarat untuk mendapat perhatian besar dalam mencari
bahwa peternakan dan hasil sampingnya sebenarnya bertanggung jawab atas
setidaknya 32.564 juta metrik ton CO2 per tahun, atau 51 persen dari seluruh emisi GRK dunia setiap tahun.
Suhu Udara
Secara umum iklim sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan
kimiafisik parameternya, seperti suhu, kelembaban, angin, dan pola curah hujan
yang terjadi pada suatu tempat di muka bumi. Iklim muncul akibat dari
pemerataan energi bumi yang tidak tetap dengan adanya perputaran/revolusi bumi
mengelilingi matahari selama kurang lebih 365 hari serta rotasi bumi selama 24
jam. Hal tersebut menyebabkan radiasi matahari yang diterima berubah
tergantung lokasi dan posisi geografi suatu daerah (Winarso, 2008).
Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata – rata dari pergerakan
molekul – molekul. Suhu suatu benda ialah keadaan yang menentukan
kemampuan benda tersebut, untuk memindahkan (transfer) panas ke benda –
benda lain atau menerima panas dari benda – benda lain tersebut. Dalam sistem
dua benda, benda yang kehilangan panas dikatakan benda yang bersuhu lebih
tinggi (Yani, 2009).
Suhu merupakan karakteristik yang dimiliki oleh suatu benda yang
berhubungan dengan panas dan energi. Jika panas dialirkan pada suhu benda,
maka suhu benda tersebut akan turun jika benda yang bersangkutan kehilangan
panas. Akan tetapi hubungan antara satuan panas dengan satuan suhu tidak
merupakan suatu konstanta, karena besarnya peningkatan suhu akibat penerimaan
panas dalam jumlah tertentu akan dipengaruhi oleh daya tampung panas (heat
Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam.
Fluktuasi suhu udara (dan suhu tanah) berkaitan erat dengan proses pertukaran
energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari, sebagian dari radiasi
matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-partikel padat yang
melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari akan menyebabkan suhu
udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah
intensitas cahaya maksimum tercapai. Intensitas cahaya maksimum tercapai pada
saat berkas cahaya jatuh tegak lurus, yakni pada waktu tengah hari (Lakitan,
2002).
Permukaan bumi merupakan permukaan penyerap utama dari radiasi
matahari. Oleh sebab itu permukaan bumi merupakan sumber panas bagi udara di
atasnya dan bagi lapisan tanah di bawahnya. Pada malam hari, permukaan bumi
tidak menerima masukan energi dari radiasi matahari, tetapi permukaan bumi
tetap akan memancarkan energi dalam bentuk radiasi gelombang panjang,
sehingga permukaan akan kehilangan panas, akibatnya suhu permukaan akan
turun. Karena perannya yang demikian maka fluktuasi suhu permukaan akan lebih
besar dari fluktuasi udara di atasnya (Lakitan, 2002).
Produksi dan Emisi Metan dari Lahan Sawah
Sumber utama emisi gas metan berasal dari aktifitas manusia (sumber
antropogenik). Hampir 70% total emisi metan berasal dari sumber antropogenik
dan sisanya (Sekitar 30%) berasal dari sumber-sumber alami (Mudiyarso and
Husin,1994). Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam proses produksi
Konsentrasi metan (CH4
Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasi oleh bakteri
metanotrof yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona
perakaran. Bakteri ini menggunakan metan sebagai sumber energi untuk
metabolisme. Sisa metan yang tidak teroksidasi dilepaskan atau diemisikan dari
lapisan bawah tanah ke atmosfir melalui tiga cara, yaitu: (1) proses difusi melalui
air genangan ; (2) gelembung gas yang terbentuk dan terlepas ke permukaan air
genangan melalui mekanisme ebulisi ; (3) gas metan yang terbentuk masuk ke ) sebagai salah satu komponen gas rumah kaca di
atmosfir ditentukan olah keseimbangan tanah sebagai sumber (source) dan rosot
(sink). Ekosistem dengan kondisi anaerob dominan, terutama akibat
penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan
sumber utama emisi metan. Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah
sawah pada dasarnya dipengaruhi oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu
produksi metan dan konsumsi metan (Rudd and Taylor, 1980).
Pengenangan adalah kerakteristik dari sistem irigasi tanah sawah. Pada
kondisi tergenang, kebutuhan oksigen yang tinggi dibandingkan laju
penyediannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang
sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana
tersedia oksigen dan lapisan reduktif atau enaerobik di bawahnya dimana tidak
tersedia oksigen bebas (Patrick and Reddy, 1978).
Metan diproduksi sebagai hasil akhir dari proses mikrobial melalui proses
dekomposisi bahan organik secara anaerobik oleh bakteri metanogen (Zehnder
and Stumm, 1988; Neue, 1993; Murdiyarso dan Husin 1994; Ohta., 2006). Bakteri
dalam jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusi dalam
pembuluh aerenkimia untuk selanjutnya terlepas ke atmosfir
(Rennenberg, et al., 1992).
Pengukuran Fluks Emisi CH4 di Lapangan
Pengukuran fluks emisi CH4 di lapangan dilaksanakan dengan metode
sungkup statik yang terbuat dari polycarbonat yang berukukuran 50 cm x 50 cm x
100 cm yan dilengkapi dengan termometer untuk mengukur suhu di dalam
sungkup, serta fan kecil untuk mempertahankan agar udara di dalam sungkup
homogen. Jarum suntik digunakan untuk mengambil sampel gas dari dalam
sungkup.
Sampel gas CH4 diambil pada 35, 42, 55 dan 81 HST, masing-masing gas
CH4 diambil setelah tanaman padi disungkupi selama 10 menit untuk setiap
perlakuan. Dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00 – 09.00 karena pada saat
itu akar tanaman akan menghasilkan gas CH4 dalam jumlah yang besar. Fluks
emisi pada pukul 07.00 – 09.00 WIB merupakan fluks rata-rata. Saat pengukuran fluks emisi CH4
Pengambilan sampel gas CH
, sungkup diletakkan di atas alas aluminium dengan hati-hati.
Saat petak dalam kondisi ada genangan, bagian bawah sungkup yang diletakkan
pada alas aluminium berada di bawah permukaan air. Saat pengukuran dalam
kondisi tanpa genangan, alas aluminium diberi air sebelum sungkup dipasangkan
di atasnya. Hal ini dilakukan untuk mengisolasi udara dalam sungkup terhadap
pengaruh udara dari luar.
4 dari dalam sungkup dilakukan dengan jarum
suntik ukuran 10 ml. Untuk menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan
dengan kertas aluminium foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi
matahari selama pengambilan contoh gas CH4. Jarum suntik tersebut selanjutnya
disimpan di dalam wadah tertutup yang berisi es batu agar tidak terpengaruh udara
luar dan untuk mempertahankan suhu tetap di bawah 50C karena gas CH4 akan
menguap pada suhu di atas 50C. Penetapan konsentrasi gas CH4 dilakukan dengan
menggunakan peralatan Gas Chromatography, dengan mengirimkan sampel gas
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan Balai Penelitian dan
Pengembangan (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara), Desa
Pasar Miring Kecamatan Pagar Merbau Kabupaten Deli Serdang (30 29’ 51,33” N dan 980 54’ 19,87” E) dengan ketinggian tempat 30 meter dpl yang dilaksanakan dari bulan Februari 2012 sampai dengan selesai.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu : jerami padi untuk pembuatan kompos,
pupuk kandang sapi untuk pupuk kandang, benih padi sebagai objek percobaan,
larutan EM-4, urine kambing sebagai pestisida, kotoran ayam sebagai pupuk
organik dan Aluminium Foil untuk membungkus jarum suntik dari pengaruh
cuaca luar.
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sungkup
plastik yang berukuran yaitu ( p x l x t ) adalah 50 cm x 50 cm x 100 cm yang di
dalamnya terdapat termometer untuk mengukur suhu di dalam sungkup, fan yang
berguna untuk menghomogenkan suhu dalam sungkup, dan jarum suntik untuk
mengambil sampel gas dari dalam sungkup, serta alat-alat laboratorium lainnya.
Alat-alat yang digunakan di lapangan antara lain cangkul dalam pengolahan lahan
dan pembersihan gulma, label nama untuk penanda perlakuan, meteran untuk
pembuatan plot.
Metode penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
Faktorial dengan 2 (dua) faktor perlakuan yaitu : Varietas Padi dan pemberian
Bahan Organik dengan 3 ulangan.
Masing-masing perlakuan tersebut adalah :
1. Varietas Padi Sawah (V) V1 = Varietas Impari I
V2 = Varietas Ciherang
2. Bahan Organik (B) B0 = Kontrol
B1 = Kompos Jerami (10 ton/ha atau 9 kg/plot)
B2
V
= Pupuk Kandang Sapi (10 ton/ha atau 9 kg/plot)
Bagan petak kombinasi sebagai berikut :
1B0 V2B1 V1B1
V1B1 V1B2 V2B0
V1B2 V2B0 V1B0
V2B0 V1B1 V2B2
V2B1 V2B2 V1B2
V2B2 V2B0 V2B1
Jumlah kombinasi perlakuan : 6
Jumlah ulangan : 3
Jumlah plot penelitian : 18
Luas plot : 3 m x 3 m
Jarak antar ulangan : 1 m
Jarak tanam : 30 cm x 30 cm
Jumlah tanaman per plot : 100 tanaman
Jumlah tanaman seluruhnya : 1800 tanaman
Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, metode analisis data yang akan digunakan untuk
menarik kesimpulan adalah (Hanafiah, 2003) :
Yijk = + i + j + k + ()jk + ijk
Yijk : Nilai pengamatan dari blok ke-i, faktor perlakuan varietas padi sawah
ke-j dan faktor perlakuan bahan organik taraf ke-k.
µ : Nilai tengah.
i : Pengaruh dari blok taraf ke-i.
j : Pengaruh perlakuan varietas padi sawah pada taraf ke-j.
k : Pengaruh perlakuan bahan organik pada taraf ke-k.
()jk : Pengaruh interaksi antara varietas pada taraf ke-j dan pemberian
bahan organik pada taraf ke-k.
εijk : Efek galat pada blok ke-i, varietas padi sawah pada taraf ke-j dan
pemberian bahan organik pada taraf ke-k.
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Lahan
Persiapan lahan merupakan pelaksanaan pertama dalam pelaksanaan
penelitian. Satu minggu sebelum mengolah tanah, petakan sawah diberi air sampai
cukup untuk melunakkan tanah sawah. Keadaan tanah sawah sebaiknya sedikit
basah. Kemudian petakan sawah dicangkul berkeliling dari bagian luar (tepi)
menuju ke bagian tengah petakan sehingga diperoleh hasil yang baik. Tanah
dibentuk dalam 18 petakan yang berasal dari 6 petak percobaan untuk setiap
ulangan, dimana pada penelitian ini terdapat 3 ulangan (blok) dengan ukuran 3
meter x 3 meter, jarak antar petak 50 cm dan jarak antar ulangan 1 meter.
Pembuatan Kompos Jerami
Jerami segar dipotong-potong sepanjang ± 3 cm dan direndam selama 1 malam. Perendaman ini bertujuan agar jerami tetap lembab.
Bahan aktif EM-4, gula pasir, dedak dan sekam dicampur dan diaduk sampai rata serta dibagi atas 4 bagian.
Jerami ditumpuk dimana di atas lembaran plastik dimana jerami tersebut dibuat menjadi 4 lapisan.
Pada lapisan jerami pertama (1/4 bagian jerami) ditaburkan bahan aktif 1/4 bagian dan dipercikkan air untuk menjaga kelembabannya.
Setelah itu, tumpukkan kembali lapisan jerami kedua (1/4 bagian jerami) dan taburkan kembali bahan aktifnya ¼ bagian. Demikian seterusnya hingga jerami habis. Tinggi tumpukan jerami dibuat kurang dari 1,5 m agar memudahkan dalam pembalikannya.
Tumpukan ditutup rapat dengan plastik agar terlindung dari hujan dan panas dan diletakkan ditempat yang terlindung dari cahaya matahari secara langsung.
Suhu tumpukan dipertahankan antara 40-50oC, bila suhu naik > 50o
Kompos jerami siap digunakan setelah 3 - 4 minggu.
C dilakukan pembalikan dan didiamkan sebentar agar suhu turun lalu ditutup kembali.
Pembuatan Pupuk Kandang Sapi
Kotoran sapi yang sudah ditiriskan dipindahkan ke tempat pembuatan kompos dan dicampur dengan dekomposer EM-4, gula pasir, dedak dan sekam kemudian diaduk secara merata.
Sekali seminggu diaduk dan dibalik secara merata untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan. Pada minggu pertama diharapkan terjadi peningkatan suhu sampai 70 0
Pada minggu ke empat kompos ini telah matang dengan warna pupuk kandang coklat kehitaman bertekstur remah dan tidak berbau.
C untuk mematikan pertumbuhan biji gulma sehingga kompos yang dihasilkan dapat bebas dari biji gulma.
Kemudian pupuk kandang diayak/disaring untuk mendapatkan bentuk yang seragam serta memisahkan dari bahan yang tidak diharapkan ( misalnya batu dan potongan kayu).
Analisis Awal
Analisis awal dilakukan terhadap tanah sawah,pupuk kandang sapi dan
kompos sapi dan kompos jerami. Analisis sampel tanah terdiri dari : pH,
C-organik, N-total, P-tersedia dan K-tukar. Analisis pupuk kandang sapi dan
kompos jerami terdiri dari : C-organik, N-total, C/N, P-total dan K-total.
Persiapan Benih dan Persemaian
Benih sebelum disemai diuji terlebih dahulu di dalam larutan air garam.
Larutan air garam tersebut adalah larutan yang apabila dimasukan telur maka telur
tersebut akan terapung. Benih dimasukkan ke dalam larutan garam tersebut, benih
yang baik adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut dan benih yang
terapung sebaiknya dibuang saja. Benih yang telah diuji dalam larutan air garam
tadi diambil dan dibersihkan dari garam dengan cara merendam dan membilasnya
dalam air. Setelah selesai, benih kemudian ditiriskan dan diperam selama 2 hari.
Penyemaian padi dilakukan pada media tanah yang dicampur pupuk organik di
dalam wadah segi empat ukuran 50 x 50 cm selama 7 hari. Setelah umur 8 – 15
hari dimana benih telah berdaun 2 helai maka benih sudah siap ditanam.
Pengolahan tanah dengan tujuan untuk mendapatkan struktur tanah yang
lebih baik bagi tanaman. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam
sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk
mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
Pemupukan
Pemberian pupuk dasar Urea sebesar 200 kg/ha SP-36 100 kg/ha dan KCl
100 kg/ha. Pemupukan Urea dilakukan dua kali, yaitu pemupukan pertama pada
satu hari sebelum tanam (2/3 bagian), pemberian pupuk kedua (1/3 Bagian)
dilakukan pada saat primordia bunga (40 HST). Pupuk SP-36 dan KCl diberikan
seluruhnya satu hari sebelum tanam. Pemberian pupuk kandang sapi dan kompos
jerami (sebagai perlakuan) diberikan 1 minggu sebelum tanam dangan cara
dicampur dengan tanah secara merata pada setiap petakan.
Pengelolaan Air
Pengelolaan air dilakukan dengan cara terputus (intermitten). Batas atas
irigasi adalah macak-macak genangan 1 – 2 cm (pada fase vegetatif). Batas bawah
irigasi adalah saat kondisi air saat di lahan terlihat retak halus dan bila ini terjadi
maka dilakukan perendaman air sesaat lamanya kemudian dibuat macak-macak
kembali. Pembuangan kelebihan air (karena hujan) perlu dilakukan dengan
memperhatikan kondisi ketersediaan air. Pada musim hujan, kelebihan air
langsung dibuang agar kondisi retak halus dapat tercapai. Sebaliknya pada musim
kemarau saat ketersediaan air terganggu, kelebihan air dibiarkan tetap
menggenangi lahan sehingga saat irigasi terganggu tanaman tidak kekurangan air.
Pada saat primordia tanaman diairi terus-menerus setinggi 1-2 cm, kemudian
lahan sawah dikeringkan sekitar 10 hari sebelum panen untuk mempercepat dan
Pemeliharaan
Tanaman dipelihara dari gangguan hama dan gulma. Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) dilakukan jika serangan hama masih rendah. Apabila jumlah
populasi serangan sangat tinggi digunakan pestisida yang sesuai dengan hama
yang sesuai dengan hama dan penyakit yang menyerang, dengan dosis anjuran.
Panen
Panen harus memperhatikan umur padi dan cara pemanenan serta tinggi
potongan 20 cm dari bawah agar tanah dapat segera ditanami panen padi yang
ideal dilakukan pada saat padi matang fisiologis pada saat kadar air gabah sekitar
22% - 26% atau 90 - 95% gabah dari malai yang sudah kuning.
Pengambilan Sampel Gas di Lapangan
Pengambilan sampel gas dilakukan pada waktu umur tanaman 35, 42 HST,
55 HST dan 81 HST dengan menggunakan sungkup statik, sungkup diletakkan
pada plot percobaan dimana posisi kaki sungkup ditekan masuk kedalam tanah
sampai bagian bawah sungkup berada di atas permukaan tanah dengan kondisi
bawah sungkup rapat dengan permukaan tanah yang bertujuan agar udara dari luar
tidak masuk ke dalam sungkup, dan apabila kondisi lahan tergenang air maka
posisi bawah sungkup diletakkan di bawah permukaan air atau tepat diletakkan di
permukaan tanah.
Setelah posisi sungkup sudah tepat dihidupkan fan atau kipas yang
terdapat di dalam sungkup yang bertujuan untuk menghomogenkan udara atau
suhu di dalam sungkup dan biarkan selama 45 menit untuk pengambilan sampel
pada menit ke-15, menit ke-30 dan menit ke-45 pada setiap perlakuan. Setelah itu
sampel gas diambil dengan menggunakan jarum suntik yang berukuran 10 ml
tiap perlakuan, hal ini bertujuan agar tidak terjadinya kesalahan dalam penentuan
sampel gas.
Cara pengambilan sampel dengan jarum suntik dilakukan di bagian atas
sungkup, bagian atas sungkup terbuat dari gabus yang memiliki ketebalan 2 cm.
Gabus berfungsi agar pada saat jarum disuntikkan dan dicabut menembus atas
sungkup atau bagian gabus, udara yang berada di luar tidak masuk kedalam
sungkup atau sebaliknya udara yang berada di dalam sungkup tidak keluar. Untuk
menghindari kebocoran, segera setelah pengambilan sampel gas maka jarum
suntik ditutup dengan sumbat karet kemudian dibungkus dengan kertas aluminium
foil yang berfungsi untuk mengurangi panas radiasi matahari selama pengambilan
contoh gas, dan kemudian dimasukkan ke dalam wadah termos tertutup berisi es
batu sehingga tidak terpengaruh udara luar dan suhu dipertahankan tetap dibawah
50C karena gas CH4 akan menguap pada suhu di atas 50C. Kemudian sampel gas
dianalisis di laboratorium dengan menggunakan alat gas kromatografi yang
dilengkapi dengan electron capture detector ( ECD).
Fluks (F) dari gas CH4 yang lepas dari satu luasan tanah sawah dihitung berdasarkan persamaan yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:
F=
F : Fluks gas CH4 (mg/m2/hari)
dc/dt : Perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm/menit) Vch : Volume boks (m3)
Ach : Luas boks (m2) mW : Berat molekul CH4 (g)
mV : Tetapan volume molekul CH4 (22.41 l) T : Suhu rata-rata selama pengambilan sampel (0 Nilai273,2: Tetapan suhu kelvin
Parameter yang Diamati 1. Emisi Gas CH4 (mg/m2/jam)
Emisi gas CH4 diukur pada saat tanaman padi berumur 35, 42, 55 dan 81
HST (10 Hari sebelum Panen) dengan metode GC-MS (Gas
Chromatography-Mass Spectra)
2. Suhu Udara(o
3. Jumlah Anakan
C)
Suhu udara diperoleh dari udara bebas yang diukur setiap hari dan
sungkup yang diukur pada saat tanaman padi berumur 35, 42, 55 dan 81 HST (10
Hari sebelum Panen) dengan menggunakan termometer udara.
Jumlah anakan dihitung setiap rumpun pada masa vegetatif
4. Produksi gabah per petak (g)
Pengamatan dilakukan pada saat panen, yang dilakukan dengan menimbang berat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Laju Emisi Metan (CH4) Akibat Varietas Tanaman Padi dengan IP 400 dan Bahan Organik yang Berbeda Pada Fase Vegetatif Umur 35 HST dan 42 HST.
Emisi Umur 35 HST
Daftar sidik ragam laju emisi Metan (CH4) pada umur 35 HST akibat
varietas dan pemberian bahan organik dan sidik ragam disajikan pada lampiran 5.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa varietas tanaman padi dengan indeks
pertanaman (IP) 400 dan bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap laju
emisi gas metan (CH4) pada pengambilan sampel umur 35 HST sedangkan
interaksi antara varietas dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap laju emisi
Metan (CH4) pada 35 HST .
Tabel 4. Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap Laju Emisi (CH4) (mg/m2
Perlakuan
/hari) pada Umur 35 HST
Laju Emisi Pada Umur 35 HST
Varietas Inpari I (V1)
B0 = tanpa bahan organik
B1
B2 = pupuk kandang sapi 7,22 c
Varietas Ciherang (V2)
B0 = tanpa bahan organik
B1 = kompos jerami
B2
1,71 a 2,13 ab 2,35 ab = pupuk kandang sapi
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5%
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada umur 35 HST laju emisi metan tertinggi
terdapat pada varietas Inpari I dengan pupuk kandang sapi (V1B2) yang berbeda
dengan varietas dengan kompos jerami (V1B1), varietas tanpa perlakuan (V1B0),
varietas Ciherang dengan pupuk kandang sapi (V2B2), varietas Ciherang dengan
kompos jerami (V2B1) dan varietas Ciherang tanpa perlakuan bahan organik
(V2B0). Emisi tertinggi kedua terdapat pada varietas Inpari I dengan kompos
jerami (V1B1) yang berbeda dengan varietas inpari 1 tanpa bahan organik (V1B0)
dan varietas Ciherang tanpa bahan organik (V2B0), namun tidak berbeda dengan
varietas Ciherang dengan kompos jerami (V2B1) dan varietas Ciherang dengan
pupuk kandang sapi (V2B2). Emisi tertinggi ketiga terdapat pada varietas
Ciherang dengan pupuk kandang sapi dan kompos jerami (V2B2 dan V2B1) yang
tidak berbeda dengan tanpa perlakuan pada varietas Inpari I dan Ciherang (V1B0
dan V2B0)
Histogram pengaruh interaksi varietas dan bahan organik terhadap laju
Gambar 1. Histrogram Interaksi Varietas Padi dengan IP 400 dan Bahan Organik Terhadap Perubahan Laju Emisi (CH4) pada Umur 35 HST.
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pada umur 35 HST laju emisi metan tertingi terdapat pada perlakuan varietas Inpari I dengan pupuk kandang sapi (V1B2) yaitu 7,22 mg/m2/hari dan yang terendah terdapat pada perlakuan varietas Inpari I dan Ciherang tanpa diberikan bahan organik 1.71 mg/m2/hari.
Laju Emisi Umur 42 HST
Daftar sidik ragam laju emisi metan (CH4) dapat dilihat pada lampiran 6.
Dari sidik ragam tersebut diketahui bahwa varietas tanaman padi dengan IP 400,
bahan organik dan interaksi varietas tanaman padi dengan IP 400 dengan bahan
organik tidak berpengaruh nyata ternyata terhadap laju emisi metan (CH4) pada
42 HST.
Tabel 5. Rataan Laju Emisi Metan (CH4) (mg/m2
Bahan Organik
/hari) Akibat Varietas Tanaman Padi dengan IP 400 dan Bahan Organik yang Berbeda pada 42 HST
Varietas
Rataan Inpari I (V1) Ciherang (V2)
B0 (tanpa bahan organik) 3.26 2.17 2.71
B1 (kompos jerami) 2.42 2.13 2.27
Rataan 2.73 2.29
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa meskipun varietas tanaman padi dengan
IP 400, bahan organik dan interaksi varietas dan bahan organik tidak berpengaruh
nyata terhadap laju emisi metan (CH4) pada 42 HST, namun kecenderungan emisi
metan tertinggi akibat pengaruh perlakuan varietas terdapat pada varietas Inpari I
(V1) yaitu 2.73 mg/m2/hari yang diikuti oleh varietas Ciherang (V2) yaitu 2.29
mg/m2/hari. Pada pengaruh pemberian bahan organik yang memiliki emisi metan yang cenderung tinggi terdapat pada tanpa bahan organik (B0) yaitu 2.71
mg/m2/hari, kemudian pada pupuk kandang sapi (B2) yaitu 2.54 mg/m2/hari dan
kompos jerami (B0) dengan emisi 2.27 mg/m2/hari.
Pengaruh Varietas Tanaman Padi dengan IP 400 dan Bahan Organik Terhadap Suhu Udara pada Fase Vegetatif Umur 35 HST dan 42 HST.
Suhu 35 HST
Daftar sidik ragam suhu udara 35 HST dapat dilihat pada lampiran 7. Dari sidik ragam diperoleh bahwa varietas tanaman padi dengan IP 400 dan pemberian bahan organik serta interaksi varietas dan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan suhu udara pada tanaman padi dengan IP 400 fase vegetatif umur 35 HST.
Tabel 6.Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan Suhu Udara(0
Bahan Organik
C) Dalam Sungkup Pada Umur 35 HST.
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa suhu yang cenderung tertinggi akibat pengaruh varietas tanaman padi dengan IP 400 terdapat varietas pada varietas Ciherang (V2) yaitu 25,50 0C dan yang terendah terdapat pada varietas Inpari 1 yaitu 25,39 0C. Pada pengaruh pemberian bahan organik, diketahui suhu yang cenderung tertinggi terdapat pada
perlakuan tanpa bahan organik (B0) yaitu 25.58 oC yang diikuti pupuk kandang sapi (B2) yaitu 25.41 0C.
Suhu 42 HST
Daftar sidik ragam suhu udara 42 HST dapat dilihat pada lampiran 8. Dari sidik ragam diperoleh bahwa varietas tanaman padi dengan IP 400 dan pemberian bahan organik serta interaksi varietas dan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan suhu udara pada tanaman padi dengan IP 400 fase vegetatif umur 42 HST.
Tabel 7.Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Kenaikan Suhu Udara(0
Bahan Organik (B)
C) Dalam Sungkup Pada Umur 42 HST.
Varietas (V)
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa suhu yang cenderung tertinggi akibat pengaruh varietas tanaman padi dengan IP 400 terdapat pada varietas Ciherang (V2) yaitu 32.11 0C dan yang terendah terdapat pada varietas Inpari 1 yaitu 31.44 0C. Pada pengaruh
pemberian bahan organik, diketahui suhu yang cenderung tertinggi terdapat pada
(B0) yaitu 31.67 0C dan yang terendah pada perlakuan kompos jerami (B1) dengan 31.67 0
Bahan Organik C.
Jumlah Anakan Tanaman Padi Sawah IP 400 (batang)
Daftar sidik ragam jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400 akibat
perlakuan varietas tanaman padi dengan IP 400 dan pemberian bahan organik
yang berbeda disajikan pada tabel lampiran 9. Hasil sidik ragam menunjukkan
bahwa perlakuan varietas yang berbeda berpengaruh nyata terhadap jumlah
anakan pada tanaman padi sawah IP 400. Demikian juga halnya dengan perlakuan
pemberian bahan organik yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah
anakan produktif pada tanaman padi sawah. Interaksi varietas dengan pemberian
bahan organik berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah anakan produktif pada
tanaman padi sawah IP 400.
Pada Tabel 8 disajikan rataan dan uji Duncan rataan jumlah anakan
tanaman padi sawah IP 400 akibat pengaruh faktor varietas dan pemberian bahan
organik.
Tabel 8.Rataan Jumlah Anakan (batang) Tanaman Padi Sawah IP 400 Akibat Pengaruh Faktor Varietas Dan Pemberian Bahan Organik
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5%
Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah anakan tanaman padi sawah IP 400
antara varietas Ciherang (V2) berbeda dengan varietas Inpari 1 (V1). Jumlah
anakan varietas Inpari 1 (24.21) lebih banyak dibanding dengan varietas Ciherang
(22.16).
Hubungan antara varietas padi dengan jumlah anakan tanaman padi
sawah IP 400 pada varietas Inpari 1 disajikan pada gambar 2.
Gambar 2. Histogram Hubungan Antara Varietas dengan Jumlah Anakan tanaman padi sawah IP 400
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa jumlah anakan tanaman padi sawah IP
400 tertinggi terdapat pada varietas Inpari 1 (V1) yaitu 24.21 anakan/rumpun dan
Dari Tabel 8 dapat juga dilihat bahwa pemberian pupuk kandang sapi (B2)
sangat berbeda dengan tanpa pemberian bahan organik (B0) dan tidak berbeda
dengan pemberian bahan organik kompos jerami (B1) terhadap jumlah anakan
tanaman padi sawah IP 400. Pemberian bahan organik kompos jerami (B1) tidak
berbeda dengan tanpa pemberian bahan organik (B0) terhadap jumlah anakan
tanaman padi sawah IP 400.
Hubungan antara pemberian bahan organik dengan jumlah anakan
tanaman padi sawah IP 400 disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Histogram Hubungan Antara Pemberian bahan Organik terhadap Jumlah Anakan Produktif Tanaman Padi Sawah IP 400
Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa jumlah anakan tanaman padi sawah IP
400 tertinggi pada perlakuan pemberian bahan organik kompos jerami dan puuk
kandang sapi (B2) sebanyak 25.18 batang/rumpun, dan yang terendah pada
anakan produktif. Ada kecendrungan peningkatan jumlah anakan tanaman padi
sawah IP 400 dengan pemberian pupuk kandang sapi sebanyak 10 ton/ha.
Produksi Padi dengan IP 400 Akibat Varietas dan Bahan Organik yang Berbeda
Daftar sidik ragam produksi gabah padi dengan IP 400 akibat varietas dan bahan organik yang berbeda dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari hasil sidik ragam diperoleh bahwa pemberian bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap hasil produksi padi dengan IP 400 sedangkan varietas yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi dengan IP 400 dan interaksi antara bahan organik dan varietas berpengaruh
nyata terhadap produksi padi dengan IP 400.
Tabel 9.Rataan Produksi Padi Sawah Pengaruh Varietas dan Bahan Organik.
Perlakuan Bobot Padi (gram)
Varietas Inpari I (V1)
Varietas Ciherang (V2)
B0 = tanpa bahan organik
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti tidak berbeda pada taraf uji 5%
terendah terdapat pada varietas Inpari I dengan perlakuan tanpa bahan organik yaitu 4486,03 gram/plot.
Gambar 3. Histogram Interaksi Varietas dan Bahan Organik Terhadap Produksi Tanaman Padi dengan IP 400 (gr / plot)
Dari gambar 3 diatas diperoleh bahwa varietas Inpari 1 (V1) perlakuan pupuk kandang sapi (B2) adalah produksi paling besar yaitu 5.500.71 gr/plot yang berbeda terhadap varietas Ciherang perlakuan pupuk kandang sapi (V2B2) yaitu 5.006,37 gr/plot dan berbeda dengan varietas Inpari 1 perlakuan tanpa bahan organik (V1B0) yaitu 4.486,03 gr/plot, dan varietas Ciherang dengan perlakuan tanpa bahan organik (V2B0
Demikian juga hal dengan varietas Ciherang dengan perlakuan pupuk kandang sapi (V
) yaitu 4.880,25 gr/plot,serta varietas Inpari 1 dengan perlakuan kompos jerami yaitu 4.904,13 gr/plot, namun tidak berbeda dengan varietas Ciherang perlakuan kompos jerami yaitu 5.294,73 gr/plot.
Pembahasan
Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Laju Emisi Metan (CH4) Pada Tanaman Padi Sawah IP 400
Pengamatan fluks emisi metan baru mulai dilakukan pada awal fase vegetatif yaitu pada umur tanaman 35 HST dan 42 HST yang merupakan fase vegetatif. Varietas dan bahan organik berpengaruh nyata terhadap laju emisi metan pada 35 HST dan fluks laju emisi metan tertinggi terdapat pada varietas inpari I perlakuan pupuk kandang sapi (V1B2) yaitu 7.22 mg/m2/hari, dan laju emisi metan terendah terdapat pada varietas inpari 1 dan ciherang tanpa perlakuan bahan organik yaitu 1.71 mg/m2
Varietas dan bahan organik tidak berpengaruh nyata terhadap laju emisi metan pada umur padi 42 HST dengan fluks emisi metan yang cenderung tertinggi pada varietas inpari I tanpa perlakuan bahan organik yaitu 3.26 mg/m
/hari. Hal ini disebabkan oleh emisi yang dihasilkan oleh varietas yang berbeda, varietas inpari I mengemisi metana lebih tinggi dibandingkan dengan varietas ciherang. Setyanto et al mengatakan bahwa varietas inpari I mengemisi 195,7 Kg/ha/musim sedangkan varietas ciherang 170,5 Kg/ha/musim. Selain itu, bahan organik yang diaplikasikan pada lahan padi sawah mengalami proses dekomposisi pada kondisi lahan yang cenderung tergenang pada fase vegetative umur 35 HST menyebabkan emisi metan yang dihasilkan cenderung tinggi.
2/hari dan emisi yang cenderung
terendah terdapat pada varietas ciherang perlakuan kompos jerami dengan 2.13 mg/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh kondisi air pada lahan sawah macak-macak atau pengairan terputus, sehingga lahan tidak selalu tergenang yang menyebabkan proses mengemisi metana juga menurun. Rendahnya emisi metan yang dihasilkan pada kondisi macak-macak (pengairan terputus) disebabkan tidak terjadinya reduksi yang tajam pada tanah sehingga dekomposisi secara anaerobic tidak mendominasi dan fluks menunjukkan kecendrungan menurun seiring dengan penurunan pemberian air sampai dengan
Metan merupakan hasil akhir dari proses bahan organik secara anaerobik oleh bakteri metanogen. Sebagai proses biologi, perombakan bahan organik secara anaerobik dikendalikan oleh karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi lingkungan tanaman padi yang berpengaruh terhadap aktifitas bakteri penghasil metan. Bakteri ini hanya aktif bila kondisi tanah yang reduktif telah tercapai akibat penggenangan.
Pola ini sesuai dengan pernyataan hou et al. (2000), bahwa fluks emisi metan musiman akan meningkat pada fase pembentukan anakan dan mencapai puncaknya pada fase pembungaan. Selanjutnya akan menurun dan akhirnya tidak terdeteksi, seiring dengan proses pengeringan lahan menjelang panen.
Dari penelitian ini, masing – masing varietas menghasilkan emisi yang berbeda, hal ini disebabkan periode tumbuh yang berbeda-beda dari varietas tersebut sehingga supplay eksudat akar bagi bakteri metanogen untuk pembentukan CH4
Sumber bahan organik yang ditambahkan sangat menentukan pembentukan metan di lahan sawah. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Wihardjaka (2001) dengan menggunakan beberapa jenis bahan organik pada tanah sawah memberikan hasil bahwa emisi metan terbesar didapat dari penambahan Jerami segar, kompos Jerami dan
juga berbeda. Varietas Ciherang memiliki fotosintesis yang lebih baik dibanding Inpari 1, sehingga eksudat akar berupa senyawa karbon yang mudah terdegradasi lebih banyak dihasilkan. Jumlah dan susunan akar tanaman juga mempengaruhi proses pembentukan eksudat akar,
semakin banyak dan merata perakaran tanaman, semakin besar distribusi eksudat ke dalam lapisan tanah.(setyanto et al, 2004)
tanpa bahan organik. Bahkan menurut Hadi (2001) pengomposan jerami padi dapat mereduksi emisi metan sampai separuhnya.
Bahan organik berupa jerami merupakan bahan ameliorant penting dalam
menunjang kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut
Soepardi (1983), setengah dari kapasitas tukar kation tanah berasal dari bahan
Menurut Yagi and Minami 1990, Schutz et al. 1989. pemberian bahan
organik umumnya mempertinggi emisi gas metana dari lahan sawah.
Pembenaman jerami ke dalam tanah nyata meningkatkan laju emisi gas metana
dibandingkan pemberian pupuk kandang atau kompos. Secara keseluruhan kajian
di Balingtan menunjukkan bahwa penggantian varietas padi mampu menekan laju
emisi CH4 sebesar 10-66% dan Pemakain bahan organic yang sudah mengalami
dekomposisi lanjut atau matang juga berperan menurunkan emisi sebesar 10-25% organik. Bahan organik juga merupakan salah satu sumber hara mikro tanaman, selain sebagai sumber energi dari sebagian mikroorganisme tanah. Dalam memainkan peran tersebut, bahan organik sangat tergantung dari sumber bahan penyusunnya.
Gas metan juga akan dihasilkan melalui proses dekomposisi kotoran ternak
yang berlangsung secara anaerobik atau ketika proses perabukan dengan
menggunakan pupuk kandang. Menurut Corton et al. 2000, pemberian bahan
organik berupa pupuk kandang sapi pada padi menyebabkan laju emisi gas metana
lebih tinggi daripada padi yang diberikan jerami yang telah dikomposkan.
Pemberian bahan organik dengan nisbah C/N rendah diprediksi lebih
menguntungkan dalam meningkatkan hasil tanaman dan menurunkan emisi gas
metana. Karbon yang terdapat dalam bahan organik memiliki laju imobilisasi
Pengaruh Varietas dan Bahan Organik Terhadap Suhu Udara pada Lahan Padi Sawah IP 400
Pengukuran suhu di dalam sungkup dilakukan pada saat pengambilan
sampel metan dari dalam sungkup. Varietas dan bahan organik tidak berpengaruh
nyata terhadap suhu udara, dapat dilihat bahwa kenaikan suhu udara cenderung
tertinggi umur 35 HST terjadi pada varietas Ciherang tanpa diberikan bahan
organik (V2B0) yaitu 26 0C sedangkan cenderung terendah terdapat pada varietas
Ciherang dengan diberikan kompos jerami (V2B2) yaitu 25 0C, sedangkan umur
42 HST suhu yang cenderung tertinggi terdapat pada varietas ciherang perlakuan
pupuk kandang sapi yaitu sebesar 32.67 0C sedangkan suhu yang cenderung terendah terdapat pada varietas inpari I tanpa diberikan bahan organik (V1B0)
yaitu sebesar 30.67 0C. 0
Berlangsungnya aktifitas bakteri metanogen menurut Husin (1994), pada
lahan padi sawah di daerah tropis yaitu berkisar antara 24 oC hingga 34 oC. Adanya perbedaan suhu pada tiap umur tanaman selain karena pengaruh varietas
dan bahan organik yang berbeda faktor lingkungan juga berpengaruh pada
kenaikan suhu di dalam sungkup, seperti faktor cuaca pada saat pengambilan
sampel. Dari hasil pengukuran suhu kondisi cuaca yang cerah rata-rata kenaikan
suhu di dalam sungkup lebih tinggi bilah dibandingkan pada kondisi cuaca yang
mendung ataupun hujan. Pada penelitian ini, perbedaan angka suhu udara yang
sangat besar pada 35 HST dan 42 HST adalah suhu udara luar yang juga memiliki
Kenaikan suhu di dalam sungkup dipengaruhi oleh emisi Metan (CH4)
pada padi sawah, hal ini dapat kita lihat dari hasil penelitian bahwa suhu udara
yang diukur di dalam sungkup lebih besar atau lebih panas dari suhu udara luar
saat pengambilan sampel, pada 35 HST rataan suhu udara luar adalah 24.5 0C dan pada sungkup memiliki rataan 25.44 0C sedangkan pada 42 HST memiliki rataan suhu udara luar 31.5 0C dan rataan suhu dalam sungkup sebesar 31.78 0C
Pengaruh Jumlah Anakan Padi Terhadap Laju Emisi Metan (CH4) Akibat Varietas
dan Bahan Organik yang Berbeda
Dari sidik ragam diperoleh bahwa varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan dan pemberian bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah anakan padi sawah IP 400. Rataan jumlah anakan tertinggi terdapat pada varietas inpari I dengan perlakuan pupuk kandang sapi (V1B2) sebesar 26.57 anakan sedangkan rataan jumlah anakan terendah terdapat pada varietas ciherang tanpa perlakuan bahan organik sebesar 20.57 anakan. Hal ini disebabkan oleh varietas itu sendiri, dimana deskripsi inpari I memiliki jumlah anakan lebih banyak dibanding dengan varietas ciherang dan unsure hara yang dikandung oleh bahan organik seperti kompos jerami dan pupuk kandang sapi.
Berdasarkan hasil Penelitian diatas Jumlah anakan pada varietas Inpari I
lebih banyak dibandingakan rataan jumlah anakan pada varietas Ciherang. Hasil Seperti sudah disebutkan, bahwa tanaman padi bertindak sebagai media bagi pelepasan CH4 yang dihasilkan dari dalam tanah ke atmosfir, melalui pembuluh aerenkimia daun, batang dan akar padi. Bentuk kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkimia setiap padi yang berbeda akan mempengaruhi kemampuan tanaman padi
analisis laju emisi metan terbesar terdapat pada Varietas Inpari I, hal tersebut
terjadi akibat jumlah anakan Inpari I yang lebih banyak dibandingkan dengan
varietas Ciherang. Semakin banyak jumlah anakan membuat pembuluh
aerenkimia daun, batang dan akar padi juga semakin banyak, dan emisi CH4 yang
dihasilkan juga semakin banyak melalui pembuluh aerenkim dan eksudat akar
anakan padi sawah.
Dari sidik ragam diperoleh bahwa intekasi varietas dan bahan organik
bepengaruh nyata terhadap produksi padi dengan IP 400 , dan dari Tabel 9 diatas
diperoleh bahwa produksi gabah padi sawah dengan IP 400 tertinggi terdapat pada
varieetas inpari 1 dengan perlakuan pupuk kandang sapi yaitu 5500,71 gram/petak
(V
Demikian pula biomass yang dihasilkan dari tanaman jumlah biomass akar
juga mempengaruhi emisi metan. Pada fase awal pertumbuhan tanaman padi
banyak eksudat akar yang dilepas ke rizosfir sebagai hasil samping metabolisme
karbon tanaman (Setyanto, 2004). Makin banyak biomass akar yang terbentuk
maka emisi metan makin tinggi pula.
Produksi Gabah Per Petak Tanaman Padi Sawah IP 400 Akibat Varietas dan Bahan Organik yang Berbeda
1B2) , sedangkan yang terendah terdapat pada varietas inpari 1 dengan tanpa
perlakuan bahan organik (V1B0) yaitu 4486,03 gram/petak. Dari hasil
keseluruhan, rataan produksi padi sawah dengan IP 400 tertinggi terdapat pada
varietas Ciherang, yaitu 5060,45 gram/petak sedangkan rataan produksi gabah
varietas Inpari I adalah 4963.624 gram/petak. Hal ini sesuai dengan deskripsi
dengan varietas Inpari I yaitu mencapai 8,5ton/Ha dan 7,3 ton/Ha untuk varietas
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Varietas (Inpari I dan Ciherang) berpengaruh sangat nyata terhadap laju emisi
metan (CH4
2. Bahan organik berpengaruh sangat nyata terhadap laju emisi metan (CH ) pada 32 HST, dan berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan
padi namun tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan suhu dalam sungkup
dan produksi gabah pada lahan padi sawah IP 400 fase vegetatif musim tanam
I
4
3. Interaksi antara Varietas dan Bahan organik berpengaruh nyata terhadap laju emisi metan (CH
)
pada 35 HST dan produksi gabah per petak serta jumlah anakan padi, namun
tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan suhu dalam sungkup pada lahan
padi sawah IP 400 fase vegetatif musim tanam I
4
Saran
Untuk menekan laju emisi metan (CH4) dan meningkatkan produksi padi sawah
yang maksimal disarankan untuk para petani menggunakan Varietas Ciherang dan menggunakan bahan organik yang telah dikomposkan pada budidaya padi sawah IP400.
) pada 35 HST dan produksi gabah per petak namun tidak
berpengaruh nyata terhadap kenaikan suhu udara dalam sungkup dan jumlah