HUBUNGAN ANTARA
SELF-CONTROL
DENGAN KENAKALAN
REMAJA PADA SISWA SMK NEGERI “X” SENTANI
OLEH
AGNES FLORIDA GEDI RAYA 802010033
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
HUBUNGAN ANTARA
SELF-CONTROL
DENGAN KENAKALAN
REMAJA PADA SISWA SMK NEGERI “X” SENTANI
Agnes Florida Gedi Raya Berta Esti Ari Prasetya
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
i Abstrak
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk
mengetahui signifikansi hubungan antara self-control dengan kenakalan
remaja. Sebanyak 102 siswa diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan
menggunakan teknik sampel insidental sampling. Metode penelitian yang
dipakai dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala
self-control dan skala kenakalan remaja. Teknik analisa data yang dipakai adalah
teknik korelasi product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien
korelasi(r) -0,033 dengan nilai signifikansi 0,371 (p > 0,05) yang berarti tidak
ada hubungan negatif yang signifikan antara self-control dengan kenakalan
remaja.
ii Abstract
This research is a correlational study aimed to determine the significance of
the relationship between self-control and juvenile delinquency. A total of 102
students were taken as samples by using insidental sampling technique. The
research method used in data collection methods scale, the scale of
self-control and scale delinquency. Data analysis technique is used a product
moment correlation technique. From the data analysis obtained correlation
coefficient (r) -0.033 with a significance value of 0.371 (p > 0.05), which
means no significant negative relationship between self-control and juvenile
delinquency.
1
PENDAHULUAN
Masa remaja mempunyai arti yang khusus karena di dalam proses
perkembangannya menempati fase yang tidak jelas. Remaja bukan termasuk golongan
anak maupun golongan dewasa. Masa remaja berada di antara masa anak-anak dan
masa dewasa sehingga masa remaja disebut juga masa peralihan. Masa remaja
berlangsung dari usia 12-21 tahun. Secara lebih rinci masa remaja dibagi ke dalam 3
tahap yaitu: usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja
tengah, dan usia 18-21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks, Knoers dan Haditono,
2002).
Dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan orang
tua dengan tujuan untuk menemukan jati dirinya. Proses memisahkan diri dari orang tua
diikuti dengan proses untuk mencari dan bergabung dengan teman-teman sebaya karena
merasa senasib. Perasaan senasib inilah yang membuat individu bergabung dalam
kelompok dan menaati peraturan didalamnya walaupun norma-norma kelompok
tersebut bertentangan dengan norma-norma yang baik (Monks, Knoers dan Haditono,
2002) . Perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma umum, adat-istiadat maupun
hukum formal dianggap sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat. Penyakit
sosial atau penyakit masyarakat ini apabila dilakukan oleh remaja maka akan
berkembang menjadi bentuk kenakalan remaja atau juvenile delinquency (Kartono,
2003).
Kenakalan remaja adalah perilaku negatif atau kenakalan anak-anak muda,
merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan
2
rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima di lingkungan sosial
sampai pelanggaran status hingga tindakan kriminal (Kartono, 2003).
Kenakalan remaja tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun bisa juga
terjadi di kota-kota kecil. Seiring dengan kemajuan pembangunan memberikan
pengaruh yang cukup berarti terhadap perkembangan dan perubahan nilai-nilai
kehidupan dalam masyarakat. Remaja yang mengalami kesulitan emosionalnya bisa jadi
akibat dari banyaknya tekanan dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan
mereka (Punker, 2010). Cara yang termudah bagi mereka untuk menyelesaikan
permasalahan mereka sendiri ialah dengan cara menghindar atau melarikan diri dari
persoalan tersebut. Situasi yang tidak lebih baik inilah yang banyak membuat sebagian
remaja memilih bersikap dan bertindak apatis, seperti tawuran, minum-minuman keras,
memakai obat-obatan terlarang dan lain sebagainya yang banyak dilakukan sebagai
perwujudan perilaku anti sosial. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar
dewasa ini sudah sangat memprihatinkan. Berbagai media masa memberitakan
mengenai berbagai bentuk tindak kekerasan pelajar yang bersifat fisik, misalnya saja
perkelahian antar pelajar (tawuran), pembunuhan, penodongan, perusakan sekolah,
pemerasan dan penganiayaan terhadap sesama pelajar sendiri (Punker, 2010).
Hal ini dapat dilihat dari data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
Anak) mencatat ada 229 kasus tawuran pelajar sepanjang Januari-Oktober 2013
(Hermawan, 2013). Kemudian Staf Ahli Gubernur DIY Agus Supriyono juga
menyampaikan bahwa menurut data BNN di tahun 2013 ini jumlah pengguna narkoba
dikalangan remaja di Indonesia 2013 mencapai angka 3,8 juta orang (Den, 2013).
Data dari Jayapura yang lain juga dapat dilihat dari berita Cendrawasih Pos yang
3
Selatan beserta tokoh masyarakat, Bani Tabuni, meminta agar aparat keamanan tegas
dalam menyikapi aksi kenakalan remaja, yang kerap terjadi di komplek belakang Kantor
Wali Kota Jayapura. Bani memaparkan, para remaja tersebut kerap kali berulah pada
malam hari, hingga sudah membuat resah masyarakat setempat, khususnya di RT 01-03/
RW IX, Distrik Jayapura Selatan (Fud, 2012).
Dari hasil persentase tentang kenakalan remaja secara nasional dan di Jayapura
secara khusus, penulis juga menemukan hal yang sama pada siswa SMK Negeri “X”
Sentani dari hasil observasi pada bulan Desember 2013 yang menunjukkan bahwa
siswa itu melakukan kenakalan remaja yang berupa tawuran dengan teman seangkatan,
adik kelas dan kakak kelas bahkan dengan siswa dari sekolah lain. Hal ini juga
diperkuat dengan hasil wawancara pada bulan Desember 2013 dengan salah satu guru
bimbingan konseling yang menyatakan bahwa sekolah ini sering mengalami tawuran
antar siswa di SMK Negeri “X” Sentani maupun tawuran dengan siswa dari sekolah
lain. Bahkan ada siswa yang memukuli gurunya, minum minuman keras di lingkungan
sekolah pada saat proses belajar mengajar berlangsung dan membolos pada saat proses
pembelajaran berlangsung hanya untuk bertingkah laku nakal diluar sekolah.
Salah satu faktor yang menyebabkan kenakalan remaja terjadi, ialah karena
ketidakmampuan dalam mengontrol diri. Kontrol diri merupakan kemampuan individu
untuk menentukan perilakunya berdasarkan standar tertentu seperti, moral, nilai, dan
aturan di masyarakat agar mengarah pada perilaku positif (Tangney, dalam Aroma dan
Suminar, 2012). Hal ini didukung oleh Aroma dan Suminar (2012) bahwa terdapat
hubungan negatif antara tingkat kontrol diri dengan kecenderungan perilaku kenakalan
4
Hasil penelitian sebelumnya oleh Aroma dan Suminar (2012) dengan judul
Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri Dengan Kecenderungan Perilaku Kenakalan
Remaja, menunjukkan hasil koefisien korelasi sebesar -0,318 yang berarti ada hubungan
negatif antara tingkat kontrol diri dengan kecenderungan perilaku kenakan remaja.
Menurut Hurlock (1996) masa remaja merupakan masa transisi antara kehidupan
anak-anak menuju ke kehidupan dewasa. Salah satu tugas perkembangan yang harus
dipenuhi oleh remaja adalah bergaul dengan kelompok pria dan wanita yang sebaya.
Perubahan ini terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat dimana siswa SMK Negeri
“X” Sentani hidup berkelompok-kelompok (membentuk geng) dengan teman sebayanya
dalam masyarakat. Zebua dan Nurdjayadi (2001), mengatakan konformitas adalah suatu
tuntutan yang tidak tertulis dari kelompok teman sebaya terhadap anggotanya tetapi
memiliki pengaruh yang kuat dan dapat menyebabkan munculnya perilaku-perilaku
tertentu pada anggota kelompok. Dalam masyarakat, siswa SMK Negeri “X” Sentani
selalu menunjukkan tindakan (kenakalan remaja) yang sebenarnya membuat masyarakat
terganggu namun tindakan tersebut sudah tidak dihiraukan lagi oleh masyarakat karena
masyarakat takut jika menegur maka siswa-siswa tersebut akan menyerang dengan
melempari rumah atau memukul anak mereka.
Dari uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti hubungan yang signifikan
antara antara self-control dengan kenakalan remaja pada siswa SMK Negeri “X”
Sentani. Dimana di sekolah tersebut, siswa sering melakukan kenakalan remaja seperti
membolos, minum-minuman keras dilingkungan sekolah, merokok, terlambat, memukul
5
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan negatif signifikan antara
self-controldengan kenakalan remaja pada siswa SMK Negeri “X” Sentani.
TINJAUAN PUSTAKA Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa Latin
juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda,
sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari bahasa latin
“delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya
menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau
peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja
adalah perilaku jahat atau kenakalan anakanak muda, merupakan gejala sakit (patologis)
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian
sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang (Kartono,
2003).
Sedangkan menurut Chadwick dan Top (1993), kenakalan remaja adalah suatu
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja karena keadaan yang penuh tekanan
yang menganggu stabilitas identitas mereka.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja
adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang
dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun
6
Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja
Menurut Chadwick dan Top (1993) dari hasil survei yang sudah dilakukan
terdapat bentuk-bentuk kenakalan remaja yaitu :
a. Pelanggaran terhadap orang meliputi pelanggaran dalam bentuk verbal dan fisik
terhadap sesama teman, pegawai/guru sekolah dan orang tua.
b. Pelanggaran terhadap status meliputi pelanggaran terhadap apa yang tidak normal
bagi remaja seperti minum-minuman beralkohol, penggunaan obat-obat terlarang
dan seks usia dini.
c. Pelanggaran terhadap barang meliputi pelanggaran berupa penjarahan, pencurian
dan vandalisme.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja
Menurut Santrock (2003) faktor-faktor kenakalan remaja sebagai berikut :
a. Identitas
Remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang
membatasi individu dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang
membuat individu merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada
individu tersebut, mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif
yang mungkin beberapa dari remaja ini akan mengambil bagian dalam tindak
kenakalan. Oleh karena itu, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk
identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak
7
lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah mempelajari perbedaan
antara tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, namun
remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal
membedakan tingkah laku tersebut, atau mungkin mereka sebenarnya sudah
mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang
memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku
mereka.
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan
serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah
laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan.
d. Jenis kelamin
Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial dari pada
perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah
terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu
bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap
sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.
f. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orang tua terhadap
aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang
8
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja
untuk menjadi nakal.
h. Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial
ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara
daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang memiliki banyak
privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini disebabkan kurangnya
kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan
yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa bahwa mereka akan
mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial.
Menjadi “tangguh” dan “maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja
dari kelas sosial yang lebih rendah. Status seperti ini sering ditentukan oleh
keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri
setelah melakukan kenakalan.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja.
Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati
berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau
penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai
dengan kemiskinan, pengangguran dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah.
Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir
adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan
9
Self-Control
Hurlock (1999) menyatakan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana
individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya. Mengatasi emosi
berarti mendeteksi suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk
merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan.
Menurut Chaplin (2002), kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing
tingkah laku, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah
laku impulsife.
Tangney, Baumeister, dan Boone (2004), menyatakan bahwa kontrol merupakan
hal yang perlu di pelajari dan dilakukan oleh siswa jika ingin berhasil dalam studi.
Aspek-aspek Self-Control
Tangney, Baumeister dan Boone (2004) menyebutkan self-control memiliki
aspek-aspek, yakni kontrol terhadap pemikiran (kognitif), kontrol terhadap impulse
(dorongan hati), kontrol terhadap emosi, dan kontrol terhadap unjuk kerja
(performance). Berikut ini penjelasan dari keempat domain tersebut:
1.Kontrol terhadap pemikiran (kognitif) adalah kemampuan dari individu untuk
mengendalikan pikiran sehingga menghasilkan sikap yang positif atau mengarah
kepada perilaku yang objektif.
2.Kontrol terhadap impulse (dorongan hati) adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan diri serta bertindak secara bijak terhadap setiap dorongan hati negatif
yang muncul secara tiba-tiba.
3.Kontrol terhadap emosi adalah kemampuan individu untuk memiliki kesadaran diri
10
4.Kontrol terhadap unjuk kerja adalah kemampuan individu untuk memperoleh nilai
yang lebih baik dalam jangka waktu panjang, karena mereka akan lebih baik dalam
mengerjakan tugas tepat waktu, mencegah dari aktivitas-aktivitas untuk
menunda-nunda waktu saat bekerja, belajar dengan efektif, memilih mata pelajaran dengan
tepat dan mampu menjaga emosi negatif yang merusak kinerja.
Dari aspek diatas maka penulis memilih aspek self-control yang dijelaskan oleh
Tangney, dkk (2004) yakni kontrol terhadap pemikiran (kognitif), kontrol terhadap
impulse (dorongan hati), kontrol terhadap emosi dan kontrol terhadap unjuk kerja
(performance).
Hubungan antara Self-Control dengan Kenakalan Remaja
Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai
penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori
perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan
perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena
perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan-perubahan lingkungan.
Menurut Hurlock (1999) salah satu ciri dari masa remaja yaitu masa remaja
dianggap sebagai periode peralihan atau masa transisi. Dalam hal ini peralihan tidak
berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan
lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya. Pada
masa transisi inilah yang menjadikan emosi remaja kurang stabil.
Hall (dalam Sarwono, 2000) menyebut masa ini sebagai masa topan badai
(“strum and drang)” yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak
akibat pertentangan nilai-nilai. Masa transisi inilah yang memungkinkan dapat
11
perilaku menyimpang atau dalam istilah psikologi disebut dengan istilah kenakalan
remaja (juvenile delinquency).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja antara lain identitas,
usia, jenis kelamin, harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah, proses
keluarga, pengaruh teman sebaya, kelas sosial ekonomi, kualitas lingkungan sekitar
tempat tinggal dan kontrol diri (self-control). Penelitian Praptiana (2013) menjelaskan
bahwa rendahnya kontrol diri pada individu dapat menyebabkan terjadinya perilaku
kejahatan. Ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Constance L. Chapple
(dalam Aroma dan Suminar, 2012) mengenai hubungan antara kontrol diri, pengaruh
peer group dan perilaku delinkuen remaja. Chapple menyebutkan bahwa korelasi antara
perilaku delinkuen dengan kontrol diri dijembatani oleh konformitas pada teman
sebaya, terutama teman sebaya yang berperilaku delinkuen. Chapple juga menyebutkan
bahwa korelasi antara kontrol diri dengan kenakalan remaja banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor eksternal, seperti keluarga, teman sebaya dan lingkungan tempat tinggal.
Kemudian Safitri (2014) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
kenakalan remaja terdiri dari dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Adapun faktor-faktor internal terdiri dari krisis identitas atau konsep diri dan kontrol
diri yang lemah. Adapun faktor eksternal terdiri dari keluarga, teman sebaya yang
kurang baik dan komunitas atau lingkungan yang kurang baik.
Santrock John (dalam Safitri, 2014) mengungkapkan bahwa kontrol diri yang
lemah yaitu remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang
dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku nakal.
Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku sesuai
12
mengetahui perbedaan dua tingkah laku yang sesuai dengan pengetahuannya agar tidak
terjerumus ke kenakalan remaja.
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara self-controldengan kenakalan remaja pada siswa SMK Negeri “X” Sentani.
METODE PENELITIAN Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi variable bebas adalah self-control dan yang
menjadi variable terikatnya ialah kenakalan remaja.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa SMK Negeri “X”
Sentani, yang berjumlah 761 siswa. Menurut Sugiyono (2012) sampel merupakan
sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel dalam
penelitian ini berjumlah 102 siswa SMK Negeri “X” Sentani. Metode yang digunakan
dalam pengambilan sampel adalah dengan insidental sampling.
Pengumpulan Data Dan Alat Ukur
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan Skala pengukuran psikologis, yang terdiri dari 2 skala, yaitu Skala
Self-Control dan Skala Kenakalan Remaja. Item dalam skala-skala tersebut dikelompokkan
dalam pernyataan favoriabel dan unfavoriabel dengan menggunakan 4 alternatif
jawaban dari skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S),
Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Keseluruhan data diperoleh dari
13
1. Skala Self-Control
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur self-control pada siswa SMK Negeri
“X” Sentani adalah skala self-control yang dikemukakan oleh Tangney, Baumeister dan
Boone (2004). Self-control ini diukur berdasarkan empat aspek, yaitu kontrol terhadap
pemikiran (kognitif), kontrol terhadap impulse (dorongan hati), kontrol terhadap emosi
dan kontrol terhadap unjuk kerja (performance). Skala ini disusun dengan dua jenis
pernyataan, yaitu favorable dan unfavorable yang menggunakan model Likert yang
sudah dimodifikasi dengan menghilangkan kategori jawaban yang berada di tengah.
Maka skala Likert tersebut mempunyai empat macam pilihan jawaban yaitu, sangat
sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Penyekoran ini
dilakukan dengan sistematika untuk item-item favorable, jawaban sangat sesuai (SS)
mendapat skor 4 dan bergerak menuju skor 1 untuk jawaban yang sangat tidak sesuai
(STS). Begitu juga dengan item-item unfavorable, jawaban sangat tidak sesuai (STS)
mendapat skor 4 dan bergerak menuju skor 1 untuk jawaban sangat sesuai (SS).
Semakin tinggi skor yang diperoleh pada skala ini, menunjukkan self-control semakin
tinggi atau positif, sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin
rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah pula self-control.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala self-control
yang terdiri dari 36 item, diperoleh 25 item yang lolos seleksi item dan sebanyak 11
item yang gugur dengan koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,360-0,568.
Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik
koefisien Alpha Cronbach, yang menurut Azwar (2012) bahwa suatu data dikatakan
14
koefisien Alpha pada skala self-control sebesar 0,896. Hal ini berarti skala self-control
reliabel.
2. Skala Kenakalan Remaja
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kenakalan remaja adalah skala
kenakalan yang dikemukakan oleh Chadwick dan Top (1993). Kenakalan ini diukur
berdasarkan tiga aspek, yaitu pelanggaran terhadap orang lain, pelanggaran terhadap
status dan pelanggaran terhadap barang.
Pada skala ini pernyataan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu favorable dan
unfavorable. Metode yang digunakan sebagai pola dasar pengukuran skala ini adalah
model Likert, yaitu skala Likert yang sudah dimodikasi dengan menghilangkan kategori
jawaban yang berada di tengah. Dengan demikian skala Likert tersebut mempunyai
empat macam pilihan jawaban yaitu, sering (S), kadang (K), pernah (P) dan tidak pernah
(TP). Penyekoran ini dilakukan dengan sistematika untuk item-item favorable, jawaban
sering (S) mendapat skor 4 dan bergerak menuju skor 1 untuk jawaban tidak pernah
(TP). Begitu juga dengan item-item unfavorable, jawaban tidak pernah (TP) mendapat
skor 4 dan bergerak menuju skor 1 untuk jawaban sering (S). Semakin tinggi skor yang
diperoleh pada skala ini, berarti kenakalan remaja tinggi. Sebaliknya, semakin rendah
skor yang diperoleh maka semakin rendah kenakalan remaja.
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala kenakalan
remaja yang terdiri dari 39 item, diperoleh 31 item yang lolos seleksi item dan sebanyak
8 item yang gugur dengan koefisien korelasi item total bergerak antara 0,335-0,645.
Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas adalah menggunakan teknik
15
reliabel apabila nilai Alpha Cronbachnya 0,8. Sehingga koefisien Alpha pada skala
kenakalan remaja sebesar 0,907 yang artinya skala tersebut reliabel.
HASIL PENELITIAN Uji Deskriptif Statistika
Tabel 1.
Uji Deskriptif Statistika Self-Control dan Kenakalan Remaja Descriptive Statistics
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa tidak ada siswa yang memiliki skor
self-control yang berada pada kategori sangat tinggi dan tinggi dengan persentase 0%,
35 siswa memiliki skor self-control yang berada pada kategori sedang dengan persentase
34,31%, 46 siswa memiliki skor self-control yang berada pada kategori rendah dengan
16
sangat rendah dengan persentase 20,59%. Berdasarkan rata-rata sebesar 50,19 dapat
dikatakan bahwa rata-rata self-control siswa berada pada kategori rendah. Skor yang
diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 25 sampai dengan skor
maksimum sebesar 69 dengan standard deviasi 11,789.
2. Variabel Kenakalan Remaja
kenakalan remaja yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 31,37%, 56
siswa memiliki skor kenakalan remaja yang berada pada kategori tinggi dengan
persentase 54,90%, 13 siswa memiliki skor kenakalan remaja yang berada pada kategori
sedang dengan persentase 12,75%, 1 siswa memiliki skor kenakalan remaja yang berada
pada kategori rendah dengan persentase 0,98% dan tidak ada siswa yang memiliki skor
kenakalan remaja yang berada pada kategori sangat rendah dengan persentase 0%.
Berdasarkan rata-rata sebesar 99,54, dapat dikatakan bahwa rata-rata kenakalan remaja
berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum
17
Kenakalan tersebut yang paling banyak dilakukan oleh siswa SMK Negeri “X”
Sentani adalah jenis pelanggaran terhadap status yaitu minum-minuman beralkohol,
mengisap ganja, meraba-raba tubuh orang lain, merokok, membaca buku atau majalah
seksual yang vulgar atau pornografi, menyaksikan film porno, video atau program tv,
melakukan hubungan seks di luar nikah, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, bolos
sekolah tanpa alasan, menyontek saat tes dan kabur dari rumah.
Tabel 4.
Jumlah siswa dalam pelanggaran terhadap status
Kategori Kenakalan Jumlah Siswa Persentase
Minum-minuman beralkohol 96 siswa 94,11 %
Mengisap ganja 92 siswa 90,19 %
Meraba-raba tubuh orang lain 99 siswa 97,05 %
Merokok 99 siswa 97,05 %
Membaca buku atau majalah seksual yang vulgar atau
pornografi
98 siswa 96,07 %
Menyaksikan film porno, video atau program tv 102 siswa 100 %
Melakukan hubungan seks di luar nikah 101 siswa 99,01 %
Mengkonsumsi obat-obatan terlarang 98 siswa 96,07 %
Bolos sekolah tanpa alasan 101 siswa 99,01 %
Menyontek saat tes 100 siswa 98,03 %
Kabur dari rumah 101 siswa 99,01 %
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas. Uji
18
Uji Normalitas
Tabel 5.
Uji Normalitas Self-Control Dengan Kenakalan Remaja One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Self-control
Kenakalan Remaja
N 102 102
Normal Parametersa Mean 50.19 99.54
Std. Deviation 11.789 12.711
Most Extreme Differences
Absolute .090 .098
Positive .067 .098
Negative -.090 -.061
Kolmogorov-Smirnov Z .904 .995
Asymp. Sig. (2-tailed) .387 .276
Pada skala self-control diperoleh hasil skor K-S-Z sebesar 0,904 dengan
probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,387 (p>0,05). Sedangkan pada skor
kenakalan remaja memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,995 dengan probabilitas (p) atau
signifikansi sebesar 0,276. Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi yang
19
Uji Linearitas
Tabel 6.
Uji Linearitas Self-Control Dengan Kenakalan Remaja ANOVA Table
Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,631 dengan signifikansi = 0,924
(p>0,05) yang menunjukkan hubungan antara self-control dengan kenakalan remaja
adalah linear.
Uji Korelasi
20
Tabel 7.
Uji Korelasi Antara Self-Control Dengan Kenakalan Remaja Correlations
Hasil koefisien korelasi antara self-control dengan kenakalan remaja, sebesar
-0,033 dengan signifikansi = 0,371 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang negatif dan signifikan antara self-control dengan kenakalan remaja pada
siswa SMK Negeri “X” Sentani.
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara self-control dengan
kenakalan remaja pada siswa SMK Negeri “X” Sentani, didapatkan hasil bahwa tidak
terdapat hubungan yang negatif signifikan antara self-control dengan kenakalan remaja
pada siswa SMK Negeri “X” Sentani. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi,
keduanya memiliki nilai r sebesar -0,033 dengan signifikansi sebesar 0,371 (p<0.05)
yang berarti kedua variabel yaitu self-control dengan kenakalan remaja tidak memiliki
hubungan yang negatif signifikan.
Dengan demikian, hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian
sebelumnya yang diteliti oleh Aroma dan Suminar (2012) yang menyatakan terdapat
21
remaja. Tidak adanya hubungan negatif antara self-control terhadap kenakalan remaja di
SMK Negeri “X” Sentani, mungkin dikarenakan self-contol bukan menjadi faktor utama
dalam kenakalan remaja. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara lanjutan yang
dilakukan oleh penulis dengan tiga orang siswa pada tanggal 22 April 2015, yang
dimana mereka mengatakan bahwa mereka (siswa) melakukan kenakalan remaja agar
mendapatkan pengakuan dari teman-temannya (teman sebaya), pengaruh lingkungan
sekitar dan ingin menunjukkan identitas diri sebagai orang yang berani. Hal ini dilihat
dari bagaimana siswa berperilaku dalam lingkungan sekolah, seperti: tidak mampu
mengendalikan emosi dengan baik kepada teman maupun terhadap gurunya,
kemampuan siswa untuk memperoleh nilai rendah (buruk) yang begitu mudah, dan
mudah tersinggung dan tidak bisa menerima pendapat dari orang lain. Selain itu juga,
jika ada siswa yang tidak mau ikut terlibat dalam perkumpulan kelompok (dalam hal ini
berkaitan dengan kenakalan remaja) maka siswa tersebut biasanya akan mendapatkan
perlakuan kurang baik seperti dicaci maki bahkan sampai dipukul. Sedangkan, jika
siswa dalam anggota kelompok mau menuruti apa yang dilakukan oleh kelompoknya,
maka biasanya mereka akan memberikan pujian secara verbal dan terkadang
diwujudkan melalui pesta minum-minuman keras.
Pernyataan di atas, juga didukung oleh hasil wawancara penulis dengan pihak
sekolah bahwa siswa yang berada di SMK Negeri “X” Sentani melakukan kenakalan
remaja bukan karena memiliki self-control yang rendah maupun tinggi melainkan
adanya faktor dari luar diri siswa seperti pengaruh dari teman-temannya. Ini dilihat dari
setiap kali siswa bermasalah atau melakukan kenakalan remaja, siswa mengatakan
mereka meniru tindakan tersebut dari lingkungan terdekat (keluarga) dan dari teman
22
perilaku remaja untuk menganut norma kelompok acuan, menerima ide atau
aturan-aturan kelompok yang mengatur cara remaja berperilaku.
Selain itu, Gunarsa (2009) yang mengatakan bahwa tugas seorang remaja dalam
tahapan perkembangannya ialah mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan
teman baik pria maupun wanita dalam mencapai peran sosial mereka, dan diharapkan
mereka dapat mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya. Seiring dengan perkembangannya, remaja pada umumnya berusaha untuk
menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat, sehingga mereka
berupaya untuk menentukan sikap dalam mencapai kedewasaan. Namun hal ini belum
nampak terlihat pada siswa SMK Negeri “X” Sentani, karena jika dilihat para siswa
tersebut masih menunjukkan tingkat kenalannya yang tinggi.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa
rata-rata (mean) 50,19 atau 45,1% siswa-siswi SMK Negeri “X” Sentani mengalami
self-control yang berada pada kategori rendah, sedangkan pada kenakalan remaja, siswa
SMK Negeri “X” Sentani rata-rata (mean) 99,54 atau 54,90% yang berada pada kategori
tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar siswa SMK Negeri “X” Sentani
memiliki tingkat self-control yang rendah dan tingkat kenakalan remaja yang tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara self-control dengan
kenakalan remaja pada siswa SMK Negeri “X” Sentani, diperoleh kesimpulan bahwa
tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara self-control dengan kenakalan remaja
pada siswa SMK Negeri “X” Sentani. Hal ini dapat dilihat dari koefisien korelasi antara
23
sebesar -0,033 dengan signifikansi 0,371 (p < 0,05). Dengan demikian, terlihat jelas para
siswa merasa self-control tidak berkorelasi dengan tingginya kenakalan remaja pada
mereka.
Saran
1. Guru dan sekolah diharapkan dapat membina para siswanya dan membuat iklim
sekolah yang lebih kondusif dari sebelumnya agar mereka tidak melakukan hal-hal
yang buruk atau hal-hal yang tidak diinginkan seperti tindakan kenakalannya.
2. Untuk peneliti selanjutnya, diharapkan dapat meneliti lebih lanjut penelitian ini
dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat digunakan, sehingga
terungkap faktor-faktor yang memengaruhi kenakalan remaja terutama di SMK
Negeri “X” Sentani seperti membangun pendampingan dari pihak guru kepada
siswa, relasi siswa dengan siswa, inteligensi, bakat, kematangan, latar belakang
kebudayaan, kurikulum, keadaan sekolah, dan teman bergaul. Hal ini karena, penulis
menyadari keelemahan dalam penelitian ini, karena siswa yang diambil sebagai
subjek penelitian hanya siswa kelas X, sehingga keterlibatan siswa kelas XI dan XII
24
DAFTAR PUSTAKA
Aroma, I. S., & Suminar, D. R. (2012). Hubungan antara tingkat kontrol diri dengan
kecenderungan perilaku kenakalan remaja. Jurnal Psikologi Pendidikan dan
Perkembangan, 01 (02) : 1-6.
Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baron, R. A., & Byrne, D. (1994). Psikologi Sosial. Jilid II Edisi Kesepuluh (terjemahan
Djuwita, R). Jakarta: Erlangga.
Chadwick, B. A., & Top, B. L. (1993). Religiosity and delinquency among LDS
adolescents. Artikel Religius Studies Center. Diunduh pada tanggal 20 Oktober
2014 dari
http://rsc.byu.edu/archived/latter-day-saint-social-life-social-research-lds-church-and-its-members/18-religiosity-and
Chaplin, J. P. (2002). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Den. (2013). Pengguna narkoba DIY tembus 97.432 orang: kedaulatan rakyat.
Retrieved from
http://krjogja.com/read/177964/2014-pengguna-narkoba-diy-tembus-97432-orang.kr.
Fud. (2012). Masyarakat minta polri sikapi masalah kenakalan remaja. Artikel
Cenderawasih Pos. diunduh pada tanggal 15 Oktober 2014 dari
http://www.cenderawasihpos.com/index.php?mib=berita.detail&id=5849.
Gunarsa, S. D. (2009). Dari anak sampai usia lanjut. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
25
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kartono, K. (2003). Patologi sosial 2: kenakalan remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P, dan Haditono, S.R. (2002). Psikologi Perkembangan
Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Praptiana, S. (2013). Pengaruh kontrol diri terhadap agresivitas remaja dalam
menghadapi konflik sebaya dan pemaknaan gender. Jurnal Sains Dan Praktik
Psikologi, 1 (1): 1-13.
Punker. (2010). Hubungan kontrol diri (self-control) dengan perilaku juvenile
delinquency pada pelajar SMAN 1 Sooko Kabupaten Mojokerto. Skripsi (tidak
diterbitkan). Depok. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Diunduh dari
http://skripsipsikologi-indonesia.blogspot.com/2010/06/hubungan-kontrol-diri-self-control.html.
Safitri, I. (2014). Hubungan konsep diri dengan kenakalan remaja kelas XI di SMK
Muhammadiyah 4 Kecamatan Lamongan Kabupaten Lamongan. Jurnal
Pendidikan, 01 (17): 12-19.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence:perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2000). Psikologi remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
26
Tangney, J. P., Baumeister, R. F., & Boone, A. L. (2004). High self-control predicts
good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal
of Personality, 72 (2): 271-322.
Zebua, A.S & Nurdjayadi, R.D. (2001). Hubungan antara Konformitas dan Konsep Diri