• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Penelitian Fisibilitas layanan alat suntik steril (LASS) dan distribusi kondom untuk narapidana.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Laporan Penelitian Fisibilitas layanan alat suntik steril (LASS) dan distribusi kondom untuk narapidana."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Peneliti

Nisaa Nur Alam

Nurlita Triani

Maria S. Herlan

Iqbal Damaris

Shelly Iskandar

Ardhani Suryadarma

Anton M. Djajaprawira

Bachti Alisjahbana

(2)

ii

SUSUNAN LAPORAN

Halaman

Daftar susunan laporan ii

Daftar Tabel iv

Daftar Gambar iv

Daftar Istilah dan Singkatan v

RINGKASAN 1

PENDAHULUAN 2

METODOLOGI 4

Metode penelitian 4

Etika Penelitian 5

HASIL PENELITIAN 6

TAHAP 1 : ASSESSMENT PERILAKU BERISIKO TERKAIT PENGGUNAAN NARKOBA SUNTIK DAN HUBUNGAN SEKS TIDAK AMAN DALAM LAPAS

6

A. Wawancara mendalam pada WBP berisiko tinggi 6

1. Proses pencarian responden 6

2. Proses pengambilan data 6

3. Temuan hasil wawancara pada WBP penasun dalam lapas 8

4. Temuan hasil wawancara pada WBP pelaku seks berisiko dalam lapas 9

5. Kesulitan dan kelemahan 10

B. Survey pada Warga binaan 10

1. Proses pencarian responden 10

2. Proses pengambilan data 10

3. Karakteristik responden 11

4. Temuan hasil survey pada WBP terkait penggunaan Narkoba dalam lapas 11

5. Temuan hasil survey pada WBP terkait perilaku seks berisiko dalam lapas 12

6. Kesulitan dan kelemahan 13

C. Wawancara kepada petugas lapas 13

1. Proses pencarian responden 13

2. Proses pengambilan data 13

(3)

iii

4. Kesulitan dan kelemahan 15

D. Kesimpulan 15

E. Rekomendasi 15

TAHAP 2 : DISEMINASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) 16

A. Diseminasi hasil penelitian assessment 16

B. Rencana tindak lanjut (RTL) 16

C. Kesimpulan 19

D. Tantangan 19

TAHAP 3 : IMPLEMENTASI PROGRAM HARM REDUCTION 20

A. Persiapan implementasi 20

1. Workshop Persiapan implementasi program Layanan Adiksi 20

2. Peer Educator (PE) sebagai penjangkau 21

3. Sosialisasi pada seluruh petugas lapas 22

B. Implementasi Layanan Adiksi 22

C. Temuan implementasi penyediaan cairan bleaching dan kondom 23

D. Kesimpulan dan rekomendasi 24

E. Tantangan 24

KESIMPULAN PENELITIAN 25

Gambaran umum proses penelitian 25

Time line penelitian 26

Kesimpulan hasil kegiatan 26

Kesulitan dan kelemahan 27

(4)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik respoden WBP pengguna Narkoba suntik 7

Tabel 2. Jenis Narkoba yang dilaporkan pernah digunakan dalam Lapas 11

Tabel 3. Karakteristik petugas lapas yang dilakukan wawancara 14

Tabel 4. Time line penelitian 26

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema pengguna Narkoba suntik dalam Lapas 12

Gambar 2. Skema perilaku seks berisiko dalam Lapas 13

(5)

v

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

1. Bleaching : Pencuci hamaan

2. Ditjenpas : Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

3. Enumerator : Petugas lapangan yg membantu tugas tim survei dalam kegiatan pencacahan atau pengumpulan data

4. FGD : Focus Group Discussion atau diskusi kelompok terarah

5. Hard Core (pada pengguna opioda)

: Pengguna opioda yang telah bertahun-tahun menggunakan opioda suntikan

6. Harm Reduction : Pengurangan dampak buruk

7. HIV : Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia

8. Informed consent : Persetujuan yang diberikan oleh responden kepada enumerator/peneliti untuk menjadi responden penelitian setelah mendapatkan penjelasan atau informasi.

9. Lapas : Lembaga Pemasyarakatan, institusi dimana para penghuninya telah mendapatkan vonis oleh hakim

10. LASS : Layanan Alat Suntik Steril

11. LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

12. Metadon : Opioid sintetik berbentuk cair dikonsumsi dengan cara diminum

13. Narkoba : Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif,

Adalah obat, bahan, zat dan bukan tergolong makanan; jika diminum , dihisap, ditelan, atau disuntikan dapat mennyebabkan ketergantungan dan berpengaruh terhadap kerja otak, dan fungsi vital organ tubuh lain (jantung, peredaran darah, pernapasan dll).

14. Peer Educator/PE : Pendidik sebaya bagi warga binaan

15. Penasun : Pengguna Narkoba suntik

16. PTRM : Program Terapi Rumatan Metadon

17. Putaw : Istilah jalanan untuk Heroin, zat turunan opioid yang terkuat

18. Rutan : Rumah Tahanan Negara, tempat penahanan tersangka tindakan pidana

19. Sakaw : Gejala ketagihan Narkoba

20. Shabu : Istilah jalanan untuk methamfetamin berbentuk kristal, dikonsumsi secara dihisap dan bisa juga disuntik

21. VCT : Voluntary Counseling and Testing; Tes dan Konseling Sukarela untuk HIV

(6)

1

Laporan Penelitian

Fisibilitas layanan alat suntik steril (LASS) dan distribusi kondom

untuk narapidana

Nisaa Nur Alam1, Nurlita Triani1, Maria S. Herlan1, Iqbal Djamaris1, Shelly Iskandar2, Ardhany Suryadarma3, Anton Mulyana Djajaprawira3, Bachti Alisjahbana2

1Lapas Narkotika Banceuy Bandung Indonesia, 2Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS. Hasan Sadikin Indonesia, 3Yayasan Rumah Cemara Bandung Indonesia

RINGKASAN

Latar Belakang

Prevalensi HIV dalam lingkungan penjara di seluruh dunia diperkirakan jauh lebih tinggi daripada di populasi umum. Di Lapas Banceuy, pada tahun 2009 diketahui prevalensi HIV mencapai 7.2% dan pada pengguna narkoba suntik sebesar 21% warga binaan. Banyak program terkait Harm Reduction telah dilaksanakan di Lapas/Rutan tetapi Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan distribusi kondom masih menjadi polemik karena program tersebut berbenturan dengan aturan yang ada.

Penelitian tentang fisibilitas program LASS dan distribusi kondom bagi warga binaan di Lapas perlu dilakukan untuk mengetahui tren perilaku berisiko yang dilakukan dalam lapas, serta mengetahui penerimaan warga binaan dan petugas terhadap program LASS dan distribusi kondom, hambatan dan kendalannya.

Metode

Penelitian di lapas Banceuy ini merupakan Action Research dengan menggunakan mixed method sequential. Penelitian kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam pada 9 warga binaan yang memiliki risiko tinggi penularan HIV. Crossectional study dilakukan pada 307 warga binaan yang dipilih secara acak. Data dikumpulkan menggunakan anonymous self-administered questionnaires. Hasil dari penelitian kualitatif dan kuantitatif tersebut digunakan menjadi dasar wawancara mendalam dan kelompok diskusi terarah pada petugas dan pejabat lapas.

Diseminasi hasil penelitian dilakukan kepada pimpinan dan pejabat di jajaran Lapas Banceuy dengan tujuan advokasi tindak lanjut. Program Harm Reduction yang diusulkan untuk diujicobakan adalah LASS dan distribusi kondom pada warga binaan.

Hasil Penelitian

Terdapat perilaku berisiko penularan HIV di Lapas Banceuy. Penggunaan narkoba dengan cara disuntikan dilakukan oleh 2.6% warga binaan dan 1.6% menggunakan jarum suntik bekas. Perilaku seks tidak aman dalam lapas dilakukan oleh 1.9% warga binaan dan terdapat 1 orang warga binaan yang mengaku berhubungan seks dengan sesama warga binaan. Penggunaan narkoba di Lapas juga cukup tinggi yaitu 51% dan narkoba yang paling banyak digunakan adalah Shabu, Ganja, dan Heoin. Hampir semua petugas menolak adanya LASS, karena berbenturan dengan aturan. Sedangkan sebagian warga binaan penasun menolak dengan alasan takut terstimulasi dan memperparah adiksi mereka. Program distribusi kondom, tidak ada penolakan yang berarti.

Kesimpulan dan Rekomendasi

(7)

2

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Prevalensi HIV dalam lingkungan penjara di seluruh dunia diperkirakan jauh lebih tinggi daripada di populasi umum1. Hal ini disebabkan karena para pengguna obat-obatan banyak yang terlibat kasus hukum dan dipenjarakan. Di Indonesia, lebih dari seperempat warga binaan di lapas/rutan ditahan karena permasalahan yang berkaitan dengan penyalahgunaan

narkoba2.

Lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah tempat terkonsentrasinya populasi yang berisiko. Estimasi prevalensi HIV di Lapas/Rutan di Indonesia berkisar antara 1,1% pada WBP pria, dan 6% pada WBP wanita. Infeksi menular seksual yaitu sifilis mencapai 5,1% pada WBP pria dan 8.5% pada WBP wanita3.

Di Lapas Banceuy, pada tahun 2009 diketahui prevalensi HIV mencapai 7.2% dan pengguna narkoba suntik sebesar 21% WBP4. Selain itu WBP Lapas Banceuy juga terindikasi mempunyai riwayat perilaku seks berisiko dari riwayat penggunaan napza suntik sebelumnya (18%), Seks tidak aman tanpa kondom (42%), dan ditato oleh yang bukan professional (61%)5.

Beban ini merupakan tantangan berat bagi lapas/rutan yang mempunyai keterbatasan sumber daya. Sementara secara umum, penjara sudah mengalami beban ganda seperti kelebihan kapasitas, sanitasi yang buruk, dan layanan kesehatan yang kurang berkualitas. Apabila hal ini dibiarkan tampa intervensi, dengan adanya perilaku berisiko diantara mereka akan

meningkatkan risiko terjadinya penularan HIV selama periode penjara6.

Banyak program yang telah berhasil dilaksanakan di Lapas/Rutan terkait Harm Reduction, tetapi Layanan alat suntik steril (LASS) dan distribusi kondom masih menjadi polemik. Di penjara

dilarang ada peredaran narkoba, dengan demikian maka tidak perlu ada penggunaan alat suntik untuk injeksi narkotika, sehingga LASS bagi narapidana dianggap tidak perlu.

Tetapi pada kenyataannya, banyak ditemukan narapidana yang menggunakan narkoba dalam penjara dan menggunakan alat suntik secara bergantian terutama di lapas/rutan yang

mempunyai jumlah penghuniyang besar7. Hal ini menunjukkan bahwa ada peredaran narkoba dalam penjara. Penggunaan narkotika secara bersama-sama tanpa alat suntik steril dapat mempercepat penyebaran HIV. Hal itulah yang menyebabkan perlu adanya LASS bagi narapidana. Dengan pertimbangan tersebut, serta berdasarakan hasil penelitian Ditjenpas & HCPI (2010) disarankan adanya uji coba program LASS pada lapas/rutan yang mempunyai kebutuhan dengan menyediakan tata kebijakan sebagai payung dalam penyelenggaraan LASS dalam lingkungan penjara

Seks merupakan kebutuhan dasar manusia, seperti halnya kebutuhan akan makan, air, dan menghindari sakit8, kondisi ini akan memotivasi manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun di dalam penjara, pemenuhan kebutuhan seksual merupakan kebutuhan yang terhambat pemenuhannya. Karena lingkungan yang terbatas dan mereka berada dalam satu lingkungan seks yang sama dalam jangka waktu tertentu, sangat memungkinkan terjadinya pemenuhan melalui hubungan seks sejenis9. Hal ini juga akan diperparah dengan siatuasi over kapasitas yang biasa terjadi di lapas/rutan di Indonesia.

(8)

3

Kondom adalah suatu alat kontrasepsi sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mencegah penularan HIV dan penyakit menular lainnya melalui hubungan seksual. Mempromosikan kondom untuk narapidana dapat mencegah terjadinya penularan penyakit, tetapi dapat pula dianggap melegalkan seks bebas, sehingga membutuhkan strategi yang tepat dalam mempromosikan kondom di dalam penjara.

Dari hasil penelitian yang dilakukan Ditjenpas-Kemenkumhan dan HCPI pada Tahun 2010, Ujicoba LASS direkomendasikan untuk lapas yang terindikasi ada penggunaan narkoba suntik, bertujuan menegakkan prosedur layanan dan mempelajari dampak-dampaknya. Rekomendasi ujicoba LASS ini dengan mempertimbangkan penolakan dan/atau keraguan terhadap efektifitas LASS dalam menekan penularan HIV. Distribusi kondom malah sudah diterapkan di Lapas Klas IIA Denpasar.

Lapas Banceuy adalah lapas yang difungsikan sebagai lapas narkotika yang hampir seluruh penghuninya adalah dengan kasus narkotika, baik pengguna, pengedar, maupun

Bandar/produsen. Lapas Banceuy mempunyai masalah over kapasitas, kapasitas hanya untuk 700 orang tetapi dihuni oleh ±1400 warga binaan (WBP). Dengan karakteristik tersebut maka Lapas Banceuy dipandang perlu dilakukan asesmenmengenai perilaku berisiko di dalam lapas dengan tujuan melihat fisibilitas program LASS dan distribusi kondom bagi warga binaan di Lapas.

Tujuan

1. Mengetahui gambaran situasi umum pemakaian narkotika suntik dan hubungan seksual di dalam lapas

2. Mengetahui seberapa banyak warga binaan yang memerlukan dan tertarik dalam program LASS dan distribusi kondom bagi warga binaan di Lapas.

3. Mengetahui penerimaan petugas lapas terhadap program LASS dan distribusi kondom bagi warga binaan di Lapas.

(9)

4

METODOLOGI

Metode Penelitian

Penelitian ini berjalan selama kurang-lebih satu tahun yang dibagi dalam tiga tahap, yaitu Tahap Asesmen pada perilaku berisiko dalam lapas, Tahap pengembangan rencana tindak lanjut (RTL) dan Tahap terakhir adalah Implementasi.

Tahap 1. Asesmenperilaku berisiko terkait penggunaan Narkoba suntik dan hubungan seks tidak aman dalam lapas

Penelitian pada tahap pertama ini adalah Mixed method, Cross-sectional study dan study

explorative. Tujuan dilakukan asesmen adalah untuk mengetahui gambaran situasi umum

pemakaian narkotika suntik dan hubungan seksual di dalam lapas serta mengetahui penerimaan petugas dan warga binaan terhadap program LASS dan distribusi kondom bagi warga binaan di dalam lapas.

Pengambilan data dilakukan kurang lebih selama tiga bulan Mei – Juli 2014, yang dilakukan dalam 3 bagian, yaitu ;

a. Wawancara mendalam pada warga binaan yang berisiko tinggi.

Pengambilan data awal dilakukan pada Sembilan warga binaan yang mempunyai risiko tinggi dengan cara wawancara mendalam. Tujuh orang yang pernah menyuntik narkoba dan dua orang yang pernah melakukan hubungan seks dalam lapas.

Metode Snowball sampling dilakukan dengan menanyakan kepada responden pertama kemungkinan adanya warga binaan yang dapat menjadi informan lainnya.

Wawancara mendalam pada WBP berisiko tinggi dilakukan oleh enumerator yang direkrut dari LSM yang bergerak dalam Harm Reduction. Untuk mencari responden yang bersedia diwawancara, enumerator melakukan pendekatan terlebih dahulu terhadap subyek yang menjadi kandidat responden.

b. Survey pada warga binaan

Hasil data kualitatif pada WBP berisiko tinggi menjadi dasar dilakukan pengambilan data dengan cara survey pada WBP yang terpilih menjadi responden penelitian dengan metode

Simple Random sampling. WBP yang menolak mengisi kuesioner dan yang buta huruf

merupakan kriteria eksklusi penelitian ini.

Pengambilan data survey dilakukan pada minggu ke-3 dan ke-4 Bulan Juni. Terdapat 307 orang WBP yang berhasil mengisi kuesioner dengan anonimus self-administered questioner.

c. Wawancara mendalam pada petugas

(10)

5

Tahap 2. Diseminasi dan rencana tindak lanjut (RTL)

Pada tahap ini dilakukan diseminasi hasil penelitian tahap satu dan merencanakan implementasi program Harm Reduction, khususnya program LASS dan distribusi kondom bagi warga binaan di Lapas. Proses tahap 2 ini direncanakan untuk dua bulan, tetapi pada kenyataannya berjalan selama kurang lebih tiga bulan, yaitu September sampai dengan Nopember 2015.

Tujuan dilaksanakannya tahap ini adalah;

- Memberikan informasi gambaran situasi umum pemakaian narkotika suntik dan hubungan seksual di dalam lapas berdasarkan hasil asesmen.

- Untuk mendapatkan dukungan program Harm Reduction yang perlu dilakukan di lapas

Tahap 3. Implementasi program Harm Reduction

Implementasi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan internal Lapas Banceuy pada Tahap 2. Tujuan dari tahap implementasi ini adalah adanya penanganan masalah adiksi di Lapas Banceuy. Uji coba implementasi program dilakukan selama tiga bulan untuk dievaluasi.

Etika penelitian

Semua subyek penelitian mendapatkan informasi secara jelas, relevan dan cukup untuk memberikan pilihan dan memutuskan untuk menjadi responden penelitian. Informed consent

dilakukan pada semua subjek penelitian dan hanya responden yang sudah diberi informasi dan menyetujui yang akan diwawancarai

Untuk menjamin etika dan kepentingan publikasi protokol dan dokumen-dokumen penyerta lain dari penelitian ini akan diajukan ke Komite Etik, Fakultas Kedokteran UNPAD/Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.

(11)

6

HASIL PENELITIAN

TAHAP 1 : ASESMEN PERILAKU BERISIKO TERKAIT PENGGUNAAN

NARKOBA SUNTIK DAN HUBUNGAN SEKS TIDAK AMAN DALAM

LAPAS

A.

Wawancara mendalam pada WBP berisiko tinggi

1.

Proses pencarian responden

Subyek penelitian pengguna narkoba suntik diperoleh dari daftar pengunjung klinik lapas yang sudah datang untuk konseling dan tes HIV sukarela, dan mengakui menggunakan narkoba suntik dalam lapas. Peneliti dan pihak klinik mempertemukan mereka kepada pewawancara.

Subyek penelitian untuk wawancara tentang pelaku seks tidak aman tidak mudah untuk bisa ditemukan, karena Informasi mengenai adanya responden yang sesuai hanya diperoleh dari berita informal (gossip). Berdasarkan laporan yang noninformal, didapatkan seorang WBP yang berperilaku berbeda (kemayu), dan dicurigai kerap melakukan hubungan seks dengan sesama WBP (gay). Pewawancara kemudian melakukan pendekatan kepada WBP tersebut agar bersedia menjadi responden penelitian.

Informed consent dilakukan sebelum responden diwawancara. Pewawancara memberikan

informasi secara jelas, relevan dan cukup kepada subyek penelitian untuk memberikan pilihan dan memutuskan menjadi responden penelitian..

Responden berikutnya untuk wawancara mendalam kemudian diperoleh dari responden pertama (snow ball sampling). Responden penelitian yang telah diwawancara diminta untuk mengajak temannya yang mempunyai perilaku berisiko yang sama untuk menjadi responden penelitian. Beberapa responden tersebut memberikan informasi tambahan terkait responden yang lain. Ada beberapa calon responden yang menolak menjadi responden, karena ini adalah isu yang sangat sensitif bagi mereka untuk di bicarakan secara terbuka.

Perolehan responden berikutnya didapat dari pengguna narkoba suntik dalam lapas sebanyak tujuh orang.Responden sebagai pelaku seks berisiko dalam lapas sebanyak dua orang.

Proses pencarian responden dan wawancara mendalam yang dilakukan pada warga binaan berisiko tinggi memakan waktu selama kurang lebih 50 hari. Hal ini terjadi karena kesulitan mendapatkan responden yang bersedia diwawancara, terutama pada perilaku seks tidak aman dalam lapas.

2.

Proses pengambilan data

(12)

7

Tabel 1. Karakteristik respoden WBP pengguna Narkoba suntik

Responden Umur Kategori Masuk Banceuy

Lama di

Banceuy Kasus

1. MR 27 Thn Penasun 2010 43 Bln Ganja (Pengedar) 2. DB 24 Thn Penasun 2012 24 Bln -

3. TM 39 Thn Penasun 2010 41 Bln Ganja (Bandar) 4. RD* 35 Thn Penasun 2008 Putaw (pengguna) 5. AC 34 Thn Penasun 2012 20 Bln Putaw (pengguna) 6. AL 31 Thn Penasun 2012 -

7. RC 31 Thn Penasun 2013 17 Bln Shabu-Shabu 8. DM 33 Thn Penasun 2012 20 Bln Ganja& Shabu (Bandar) 9. IY 30 Thn Seks tidak aman 2011 36 Bln Ganja (Pengguna) 10. IB 25 Thn Seks tidak aman 2011 36 Bln Ganja (Pengguna)

Wawancara mendalam dilakukan oleh enumerator dari LSM penggiat program Harm Reduction, yang sudah biasa berhadapan dengan orang berisiko tinggi. Informasi awal mengenai subyek penelitian didapat dari tim klinik yang telah mempunyai beberapa nama warga binaan yang mengaku menggunakan narkoba suntik dalam lapas dan dicurigai melakukan hubungan seks tidak aman dalam lapas.

Enumerator sebelum melakukan wawancara melakukan pendekatan dahulu dengan calon subyek penelitian dengan tujuan sosialisasi penelitian yang akan dilakukan dengan harapan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari subyek penelitian untuk bersedia menjadi responden.

Wawancara memakan waktu berkisar setengah sampai dengan 2 jam, tergantung kesediaan responden untuk menceritakan apa yang ditanyakan enumerator. Tidak sedikit responden yang tidak mengakui atau menceritakan semua pertanyaan yang dilontarkan, diketahui dari pengakuan enumerator adanya kesenjangan informasi saat sebelum wawancara dengan saat wawancara menggunakan recorder.

Informasi tentang perilaku seks berisiko hanya tergali dari sepasang kekasih „gay‟. Kekasih pasangan „gay‟ pada awalnya tidak mau diwawancara, atas dorongan

(13)

8

3.

Temuan hasil wawancara pada WBP penasun dalam lapas

Dari hasil wawancara diketahui bahwa hampir semua jenis narkoba beredar di lapas, terutama jenis Shabu. Narkoba masuk melalui besukan, dilempar dari luar penjara, dan melalui petugas. Narkoba bisa masuk dalam lapas karena ada permintaan dari

pengguna. Pengadaan narkoba khususnya Heroin, biasanya tergantung dari permintaan dari dalam.

“Barang masuk lewat kunjungan, bisa di tempel di badan, kebanyakan cewek, cewek bisa nyimpen dimana saja…. kebanyakan sih masuk, dari pada yang gagalnya…”

[Mr_idu_086]

“Uang duluan yang masuk, jadi pas datang barang, yang punya uang itu langsung nyamperin… sehari saja bahan udah ga ada di dia [Bandar]. Jadi mereka [Bandar] gak

mau ambil risiko….” [Yg_idu_48]

Walau cukup banyak yang menggunakan Heroin, tetapi hanya sebagian kecil saja yang menggunakan alat suntik sebagai cara mengkonsumsinya. Pemakaian Heroin mereka tergantung dari kebutuhan dan ketersediaan bahan yang mereka punya. Kebanyakan mereka bisa mengkonsumsi Heroin setiap hari sampai Heroinnya habis, dan dosisnyapun semakin meningkat.

Hampir semua penasun yang diwawancara mengatakan pernah menggunakan alat suntik bekas pakai atau tidak steril dan juga pernah berbagi alat suntik dengan sesama

pengguna Heroin, bahkan pernah berbagi alat suntik dengan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).

“Pernah [pakai Putau] disuntik satu kali, sharing enam orang. Ya…. satu orang punya masing-masing [bahan paket] seratus, entar dikelilingin aja [satu] suntikannya…” [Ac_idu_025]

“Saya HIV positif, tapi mereka juga memang mau [sharing jarum].. karena memang sudah basic-nya junky...” [Rd_idu_035]

Alat suntik sangat sulit ditemui dalam lapas. Selain diselundupkan melalui kunjungan, jarum suntik juga diperjualbelikan. Karena demikian sulitnya menemukan jarum suntik, alat sutik bekas pakaipun mereka simpan untuk pemakaian berikutnya. Tidak jarang alat suntik mereka pinjamkan dan berpindah-pindah tangan. Ada juga yang menjadikan alat suntik sebagai modal memperoleh bahan Heroin untuk mereka gunakan.

Berbagi alat suntik tampa pembersihan terlebih dahulu kerap dilakukan apabila mereka sudah tidak bisa tahan akan gejala putus zat yang mereka rasakan. Bahan bleaching

untuk pembersihan alat suntikpun sangat sulit ditemukan dalam lapas. Sehingga, apabila mereka tidak menemukannya, pembersihan alat suntik hanya menggunakan air bersih biasa.

“Saya sendiri, apa lagi pas lagi nagih-nagihnya kita tidak peduli jarum suntik bekas siapa. Tahu risikonya sangat besar buat kita, untuk penularan HIV tersebut, tapi ahh….

waktunya lagi pengen, langsung saja!” [DB_idu_010]

(14)

9

memberi efek sangat besar bagi penasun yang sudah/ingin berhenti menggunakan narkoba suntik.Tetapi WBP penasun yang „hard core‟ yang menyatakan bahwa “Ada atau tidak ada LASS, penasun aktif akan selalu menggunakan dan mencari bahan dan

jarumnya tampa melihat risiko yang dihadapi”.

Kebanyakan responden menyatakan sebaiknya ada upaya lain selain LASS sebagai alternatif penanganan adiksi di lapas. Upaya pengawasan masuknya narkoba ke dalam lapas juga harus ditingkatkan (Supply Reduction).

Emang kalau dari dampak baiknya mengurangi penularan HIV, cuman dampak jeleknya justru makin banyak akses untuk mereka memakai [putau]… jadinya jadi banyak jungky

lagi.. Makin mewabah” [Yg_idu_078]

4.

Temuan hasil wawancara pada WBP pelaku seks berisiko dalam lapas

Dua warga binaan yang berhasil diwawancara terkait perilaku seks berisikonya, merupakan pasangan kekasih „gay‟. Mereka menceritakan pengalamannya selama di Lapas Banceuy, sebelum dan setelah mereka menjadi pasangan kekasih.

Hubungan seks di lapas dipicu oleh adanya WBPyang dicurigai sebagai penyuka sesama (gay). Pengajak yang juga warga binaan melakukan pendekatan dengan maksud

mengajak WBP tersebut untuk melakukan hubungan seks. Mengkonsumsi Narkoba juga mempengaruhi pelaku untuk melakukan hubungan seks berisiko.

Hubungan seks terjadi bila WBP tersebut memberikan respon positif. Respon yang diberikan bukan berdasarkan materi semata, tetapi lebih karena adanya ketertarikan WBP gay tersebut kepada WBP yang mengajak.

“Pada awalnya dia tuh iseng; „mau gak seks ama gua?‟. Ada satu orang, berani banget., bilangnya begini; „Ih gue mau dong cucos sama elo…” (YY_seks_001)

“Awal-awalnya sih bercanda; „Mau ga ngelayanin saya?‟…. kata dia;„Oke-oke aja sih,

wani piro ?‟ katanya. Awalnya becanda.. Mungkin karena lagi tidak kontrol karena pengaruh kimia lah, lagi pake narkoba, ngajakin, dia ngejawabnya seperti itu, terus kontek-kontek, terus akhirnya dia mau, yaa ngelakuin…”(BG_seks_002)

Mereka mengetahui risiko dari perilaku berisiko mereka terhadap penularan HIV. Karena sulit mencari kondom, saat melakukan hubungan seks, mereka tidak pernah menggunakan

kondom. Untuk pelicin, mereka biasa menggunakan “lotion” dan/atau “air ludah” .

Mereka sangat mendukung adanya distribusi kondom di lapas. Karena mereka meyakini ada WBP lain yang gay atau melakukan hubungan seks dengan sesama jenis dalam lapas. Selain karena aturan yang melarang hubungan seks dalam lapas, hambatan terbesar dalam distribusi kondom bagi WBP adalah dari pelaku seks sendiri yang merasa malu akan perilaku berisiko yang dilakukannya.

“Kalau kondom engga pernah [pake]. Pelicin Pake lotion atauludah” (BG_seks_002)

(15)

10 “Kalau misalkan diadakan kondom disini (klinik lapas), paling hambatannya pada warga binaan, mereka ga akan jujur untuk meminta kondom. Yang paling sulitnya itu membuka aib kita sendiri itu.. pada intinya itu” (BG_seks_002)

5.

Kesulitan dan kelemahan

 Tidak sedikit responden perilaku berisiko merasa tidak aman saat wawancara dilakukan dengan alat perekam elektronik, sehingga informasi penting tidak banyak tergali

 Responden pelaku seks berisiko hanya dua orang, sehingga data yang didapat tidak kaya akan informasi.

 Pada saat wawancara, responden pelaku seks berisiko minta ditemani oleh

kekasihnya. Sehingga informasi yang didapat terbatas pada hubungan seks dengan pasangannya saja

B.

Survey pada Warga binaan

1.

Proses pencarian responden

Dalam menentukan responden penelitian dilakukan simple random sampling pada daftar WBP di Lapas Banceuy secara keseluruhan. Semua WBP mempunyai probabilitas yang sama untuk menjadi responden penelitian. Jumlah subyek penelitian ditentukan sebanyak 25% dari jumlah total WBP di Lapas Banceuy yang berkisar 1200 orang.

Pemilihan subyek penelitian dilakukan pada 300 WBP ditambah 10%, yaitu 330 subyek penelitian. Dari 330 WBP yang terpilih, sekitar 307 WBP yang menjadi responden penelitian (93%). Dari 307 yang mengisi dan mengembalikan kuesioner, pada

pertanyaan mengenai penggunaan narkoba dalam lapas di jawab oleh 263 responden (85.7 %) dan pertanyaan mengenai perilaku seks tidak aman dalam lapas dijawab oleh 259 responden (84.4%).

2.

Proses pengambilan data

Pengambilan data survey dilakukan pada minggu ke-3 dan ke-4 Bulan Juni 2014 dengan

anonimus self-administered questioner. Dalam proses ini responden mengisi sendiri kuesioner yang dibagikan dengan tidak mencantumkan identitas sebagai salah satu upaya

mempetahankan confidentiality. Responden menyimpan sendiri kuesioner yang telah diisi dalam kotak yang sudah disiapkan.

Pengambilan data survey dilakukan secara bertahap, sebanyak 100 orang perhari selama 3 hari. Responden yang tidak datang di hari pengambilan data di mintakan datang di hari ke 4. WBP yang terpilih menjadi subyek penelitian dipanggil ke Aula Lapas Banceuy untuk diberikan informasi untuk memberikan pilihan dan memutuskan menjadi responden penelitian. WBP yang buta huruf dan menolak menjadi responden menjadi kriteria eksklusi penelitian ini.

(16)

11

3.

Karakteristik responden

Karkateristik 307 orang responden WBP yang berhasil mengisi kuesioner kebanyakan mereka berusia dewasa muda antara 26 – 35 tahun (43.3%), 64% sudah atau pernah menikah, dan kebanyakan berpendidikan SMP keatas.

Sebagian besar (91%) kasus hukum WBP terkait narkoba, 47% diantaranya sebagai pengguna, 19.4% sebagai pengguna dan pengedar, 28.7% sebagai pengedar, dan 2.9% sebagai Bandar.

Sembilan puluh lima persen responden melaporkan pernah menggunakan narkoba. Ganja, shabu dan alkohol adalah yang dilaporkan paling banyak digunakan. Sedangkan Heroin digunakan oleh 14.3% responden. Riwayat penasun diketahui sebanyak 9.3%.

Untuk riwayat perilaku seks, diketahui bahwa 85.7% responden pernah berhubungan seks dan 65.7% diantaranya berperilaku berisiko. Lebih dari setengah dari responden

(56.4%) mempunyai tato dan sebanyak 36.2% mempunyai aksesoris kelamin (tasbeh).

4.

Temuan hasil survey pada WBP terkait penggunaan Narkoba dalam lapas

Dari 307 responden, hanya 171 responden (55.7%) yang menjawab pertanyaan terkait ketersediaan Narkoba dalam lapas. Hampir semua jenis narkoba tersedia dalam lapas. Shabu adalah zat narkoba yang menjadi peringkat pertama yang paling sering ditemui WBP (28%) selanjutnya ganja (22.8%), Alkohol (10.5%), kemudian Heroin (9.4%). Dari 263 responden, terdapat 135 responden (51.2%) yang mengaku pernah menggunakan narkoba dan 2.6% menggunakan narkoba suntik dalam lapas.

Dari 135 responden yang mengakui menggunakan Narkoba dalam lapas, hanya 93 orang (60.8%) yang bersedia menjawab jenis narkoba yang dikonsumsinya. Ganja adalah jenis narkoba yang paling banyak dikonsumsi ( 73 %), Shabu ada di urutan kedua (70%), Alkohol dikonsumsi oleh 48.9% responden dan pengguna Heroin mencapai 34.4%, tetapi pengguna Heroin dengan cara disuntikkan hanya 5.4% (Tabel 2).

Tabel 2. Jenis Narkoba yang dilaporkan pernah digunakan dalam Lapas

N=93* (%)

Menggunakan, pernah dengan

disuntikkan

Menggunakan, dengan cara dihisap (drag)

Total pengguna

Tidak menggunakan

Heroin 5.4 29 34.4 65.6

Diazepam 1.1 4.3 5.4 94.6

Ekstasi - 8.6 8.6 91.4

Shabu 3.2 66.7 69.9 30.1

Subutex - 3.2 3.2 96.8

Suboxone 1.1 2.2 3.3 96.8

Methadone - 8.6 8.6 91.4

Ketamin - 2.2 2.2 97.8

Kodein - 3.2 3.2 96.8

Benzo - 32.3 32.3 67.7

Ganja 1.1 72 73.1 26.9

Alkohol - 48.9 48.9 51.1

(17)

12 Pernah suntik

narkoba di lapas n=8

Tidak menjawab n=2

Pakai narkoba suntik bulan ini?

n=6

Setiap hari n=2

1mg sekali n=1

Tidak nyuntik bulan ini n=3

2-3x sehari1x sehari

Tidak Pernah sharing AS n=1 AS selalu dibersihkan dahulu n=3 AS kadang-kadang dibersihkan n=1 AS selalu

dibersihkan dahulu Air bersih Jenis cairan yang digunakan untuk pembersihan*; Air bersih n=4Air panas n=1Bleaching n=4 Tidak pakai AS bekas n=1 Pernah pakai AS bekas n=5 N=307 Pake narkoba Di Lapas n=135 (51.3) TIDAK pake narkoba n=128 (48.7) Tidak Pernah suntik narkoba n=118 Tidak menjawab n=9

Pakai AS bekas? n=6

Tidak menjawab

n=2

PernahsharingAS dengan 2 –5 orang

n=4

Keterangan :

* Jawaban boleh lebih dari satu AS : Alat Suntik

: Perilaku berisiko :Missing data

Gambar 1. Skema pengguna Narkoba suntik dalam Lapas

Dari hasil eksplorasi terkait penggunan narkoba suntik dalam lapas. Dari delapan orang (2.6%) yang mengaku menggunakan narkoba suntik dalam lapas, ada lima orang yang mengaku pernah memakai jarum bekas. Dan empat diantaranya pernah sharing alat suntik dengan 2 – 5 orang dalam suatu waktu (Gambar 1).

5.

Temuan hasil survey pada WBP terkait perilaku seks berisiko dalam lapas

Definisi hubungan seks dalam penelitian ini adalah dua orang atau lebih yang melakukan aktifitas seksual, tidak terbatas pada hubungan seks dengan penetrasi. Dari 307

responden, hanya 11.1% yang pernah berhubungan seks dalam lapas selama masa hukuman berjalan. Kebanyakan mereka melakukannya dengan pasangan tetapnya (73.5%) yang dilakukan di Ruang Kunjungan, selebihnya mereka melakukannya dengan bukan pasangan tetap(17.6%). Hanya 2 orang (5.9%) yang melakukannya dengan wanita pekerja seks (WPS), dan tercatat ada 1 orang (2.9%) yang mengaku pernah berhubungan seks dengan sesama WBP yang dilakukan di kamar mandi/ blok hunian.

(18)

13

N=307 (%)

Tidak pernah hub. seks n=31 (10.1)

Tidak menjawab n=13 (4.2) Pernah hub. seks

n=263 (85.7)

Pernah hub. seks dalam Lapas

n=34 Pasangan seks di Lapas : Pasangan Tetap n=25 Sesama WBP n=1 Wanita Pekerja Seks n=2 Lain-lain n=3

Tidak menjawab n=3 Tidak menjawab

n=12 Tidak pernah hub. seks

dalam lapas n=217

Tidak pakai kondom n=10 Tidak menjawab n=2 Hub. Seks sebulan terakhir n=12 Tidak menjawab n=4 Tidak Hub. Seks

sebulan terakhir n=18

Gambar 2. Skema perilaku seks berisiko dalam Lapas

6.

Kesulitan dan kelemahan

 Pengisian kuesioner tidak didampingi secara intensif oleh enumerator, sehingga adanya kemungkinan responden tidak teliti saat mengisi kuesioner.

Anonimous mempersulit peneliti untuk mengembalikan kembali kuesioner yang tidak

lengkap terisi untuk dilengkapi responden. Hal ini menyebabkan banyaknya yang tidak ada (missing) data saat analisa.

C.

Wawancara kepada petugas lapas

1.

Proses pencarian responden

Pengumpulan informasi dari petugas lapas dilakukan pada 19 orang petugas.

Wawancara mendalam dilakukan pada pejabat struktural selaku penentu kebijakan, dan Diskusi Kelompok terarah atau focus group discussion (FGD) dilakukan pada dua

kelompok yaitu kelompok staf pembinaan dan staf keamanan dan ketertiban.

Pengambilan sampel pada petugas dilakukan dengan Purposive sampling, dengan

mempertimbangkan hanya divisi tertentu saja yang terkait dengan perilaku berisiko pada WBP, yaitu Seksi Pembinaan dan Anak Didik (Binadik), Seksi Kesatuan Pengamanan Lapas (KPLP) dan Seksi Keamanan dan Tata Tertib (KamTib).

2.

Proses pengambilan data

Petugas lapas yang berhasil diwawancara ada 19 orang, Tujuh orang pejabat struktural yang dilakukan wawancara mendalam dan 12 orang staf pembinaan dan staf

keamanan/ ketertiban yang diwawancara melalui FGD.

Isu yang ditanyakan kepada responden berdasarkan hasil asesmenpada Tahap satu, untuk mendapatkan informasi mengenai sikap dan opini petugas terkait isu penelitian tersebut.

(19)

14

setelah FGD selesai. Wawancara dilakukan oleh enumerator dari peneliti Universitas Padjadjaran (UNPAD). Informed consent dilakukan sebelum responden diwawancara.

Tabel 3. Karakteristik petugas lapas yang dilakukan wawancara

No Jabatan Jenis Kelamin Umur Pendidikan Jenis

wawancara

1. Kalapas Laki – laki S2 Indepth

2. Ka. KPLP Laki – laki 52 S1 Indepth

3. Kasi Adm Kantib Laki – laki 46 S1 Indepth

4. Kasi Binadik Laki – laki 45 S1 Indepth

5. Kasubsi Bimpas Laki – laki 36 S2 Indepth

6. Kasubsi Pelaporan

dan Tartib Laki – laki 47 S1 Indepth

7. Kasubsi Keamanan Laki – laki 47 S1 Indepth

8. Staf bimpas 1 Perempuan 44 SMA FGD

9. Staf Bimpas 2 Perempuan 47 S1 FGD

10. Staf Bimpas 3 Laki – laki 34 S1 FGD

11. Staf Bimpas 4 Laki – laki 53 S1 FGD

12. Staf Registasi Laki – laki 41 S1 FGD

13. Staf KPLP 2 Laki – laki 41 S1 FGD

14. Staf KPLP 3 Perempuan 54 SMEA FGD

15. Staf KPLP 4 Laki – laki 54 SMA FGD

16. Karupam Laki – laki 44 S1 FGD

17. Staf Adm.Kamtib Laki – laki 43 S1 FGD

18. Staf Adm.Kamtib Perempuan 50 SMA FGD

3.

Temuan hasil wawancara pada petugas lapas

Dari hasil wawancara diketahui bahwa kebanyakan petugas lapas menyatakan bahwa pasti ada WBP yang menggunakan narkoba dalam lapas, termasuk narkoba yang disuntikkan. Mereka juga menyakini bahwa ada pula yang berhubungan seks dengan sesama WBP.

Tanggapan terhadap program LASS, hampir semua petugas menyatakan tidak setuju karena tidak ada payung hukum dalam lingkungan pemasyarakatan, yang bisa menjadi dasar dilakukannya program tersebut. Dari petugas pembinaan, ada yang menyakan mennyetujui program LASS di lapas sebagai upaya terakhir, apabila tidak ada langkah lain yang bisa ditempuh.

(20)

15

4.

Kesulitan dan kelemahan

 Pada saat wawancara, responden petugas merasa tidak nyaman saat wawancara

direkam, sehingga banyak pernyataan yang terkesan „normatif‟ dan diulang-lang saat menjawab pertanyaan yang sensitif.

 Pada saat diskusi kelompok terfokus, tidak sedikit responden petugas yang pasif, sehingga hanya beberapa orang responden yang memberikan kontribusi pendapat dan opini yang diharapkan.

D.

Kesimpulan

 Sebanyak 51.3% WBP pernah menggunakan narkoba dalam lapas.

 Zat Narkoba masuk kedalam lapas melalui besukan/kunjungan, dengan cara dilempar dari luar lapas, atau melalui petugas.

 Prevalensi penggunaan narkoba suntik di Lapas adalah 2.6 % dari total responden.

 Sebanyak 34.4% responden pernah menggunakan heroin di dalam Lapas. Sebesar 26% mengkonsumsi heoin hanya dengan cara di hisap di hidung langsung (di drag).

 Hampir semua pengguna narkoba suntik pernah berbagi jarum dan/atau menggunakan alat suntik tidak steril.

 Terdapat keraguan mengenai kebutuhan program LASS, karena beberapa WBP penasun takut terstimulasi untuk menggunakan Narkoba suntik dengan adanya LASS.

 Aktivitas seks dilakukan oleh 11.1% WBP yang dkebanyakan dilakukan di ruang kunjungan. Sebagian besar (73.5% dari kelompok ini) melibatkan pasangan tetap.

 Tedapat 1.9% WBP yang berhubungan seks beresiko, baik dengan pengunjung (bukan pasangan tetap) dan WBP lain.

 Program pengadaan kondom diperlukan oleh WBP di kelompok ini, namun masih terdapat keraguan mengenai bagaimana cara memperolehnya.

E.

Rekomendasi

 Program LASS diperlukan di dalam Lapas tetapi masih diperlukan strategi yang tepat dalam cara pelaksanaannya

 Distribusi kondom diperlukan dalam lapas, namun juga masih dibutuhkan cara yang tepat dalam mendistribusikannya.

 Pada WBP yang benar benar memerlukan, bahan bleaching serta Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan distribusi kondom dapat diberikan secara selektif dan ditentukan oleh dokter/perawat klinik

 Perlunya advokasi ke jenjang yang lebih tinggi untuk mendapatkan dukungan pelaksanaan program Harm Reduction (LASS dan distribusi kondom) di lapas.

(21)

16

TAHAP 2 : DISEMINASI DAN RENCANA TINDAK LANJUT (RTL)

A.

Diseminasi hasil penelitian asesmen

Diseminasi hasil penelitian dilaksanakan pertama kali pada Tanggal 1 September 2015 kepada Kepala dan pejabat struktural Lapas Banceuy, khususnya para pejabat seksi

pembinaan, seksi keamanan dan tata tertib. Karena hasil penelitian yang dianggap penting oleh Kalapas, maka diseminasi dilakukan ulang untuk semua pejabat struktural Lapas Banceuy, pada Tanggal 2 Oktober 2015 .

Diseminasi dihadiri juga oleh pihak luar yaitu dari Yayasan Rumah Cemara sebagai donor penelitian dan Pusat Studi TB-HIV Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran sebagai institusi yang melaksanakan penelitian.

Tanggapan Kalapas dan jajarannya mengenai hasil penelitian ini, kebanyakan mereka merasa terkejut denngan hasil penelitian yang telah dilakukan. Beliau tidak menduga adanya sebanyak 2.6 % masih menggunakan narkoba suntik didalam Lapas, dan bahwa obat atau zat narkoba masih bisa masuk.

Dari pihak UNPAD sebagai pelaksana penelitian memberikan penjelasan mengenai syarat dan aturan suatu penelitian untuk mendapatkan hasil yang mendekati dengan yang sebenarnya. Dan penelitian ini telah melalui semua prosedur tersebut untuk mencapai hasil yang baik sesuai yang diharapkan.

Pengajuan oleh peneliti untuk mensosialisasikan hasil penelitian ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu pihak Kanwil dan Ditjenpas di Kementerian, tidak disetujui oleh Kalapas. Kalapas menganggap hasil penelitian ini menunjukan kelemahan internal dalam tubuh lapas, sehingga disarankan untuk menangani masalah ini oleh internal lapas, tidak perlu melibatkan pihak institusi dari jenjang yang lebih tinggi.

B.

Rencana tindak lanjut (RTL)

Dengan persetujuan Kalapas, maka beberapa pertemuan selanjutnya dilakukan untuk membahas rencana upaya penanganan masalah perilaku berisiko terkait penggunaan narkoba dan hubungan seks tidak aman dalam lapas.

Untuk menentukan rencana tindak lanjut, permasalahan dan rencana penanganannya dirumuskan terlebih dahulu. Untuk mempermudah pemetaan permasalahan, maka dibuatlah framework rencana penanganan adiksi di lapas (Gambar 3).

Permaslahan dibagi dalam tiga bagian yaitu supply reduction, demand reduction, dan Harm

Reduction. Bagian keamanan dan tata tertib bertanggung jawab terhadap pencegahan

masuknya narkoba ke dalam lapas (supply reduction). Bagian pembinaan dan kesehatan bertanggung jawab terhadap pengurangan permintaan akan narkoba dari warga binaan (demand reduction) dan pengurangan dampak buruk (Harm Reduction).

1. Pencegahan masuknya Narkoba ke dalam Lapas (Supply Reduction)

Narkoba masuk ke dalam lapas melalui 3 cara yaitu melalui pengunjung, pelemparan dari luar lapas, dan melalui petugas. Adapun upaya yang direncanakan oleh petugas keamanan dan tata tertib lapas adalah sebagai berikut:

(22)

17

- Untuk pencegahan pelemparan narkoba dari luar lapas, perlu penambahan CCTV di hampir semua bagian sudut lapas.

- Perlu adanya pembinaan secara berkala kepada petugas lapas untuk memberikan kesadaran dan motivasi kerja yang positif.

Semua rencana diatas memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan merupakan agenda kalapas untuk diajukan kepada pemerintah dalam RAPBN. Walaupun demikian, petugas keamanan dan tata tertib lapas akan berusaha melakukan pengawasan lebih ketat untuk pencegahan masuknya narkoba kedalam lapas.

2. Pengurangan permintaan Narkoba dari Warga binaan (Demand Reduction)

Adanya permintaan narkoba dari warga binaan pecandu karena masalah adiksi mereka tidak ditangani dengan sesuai. Apabila ada layanan untuk penanganan adiksi

diharapkan permintaan akan narkoba akan berkurang. Untuk pengguna heroin, Program terapi rumatan metadon (PTRM) sudah dilaksanakan di Lapas Banceuy. Untuk adiksi selain heroin, belum ada upaya penanganannya.

Pertemuan khusus dengan bidang pembinaan merumuskan beberapa kegiatan yang di tentukan berdasarkan situasi saat ini dan fisibilitas dilihat dari SDM dan waktu kegiatan. Upaya yang mungkin bisa dilakukan Lapas Banceuy adalah adanya memasukan program pengelolaan adiksi ini di kegiatan rehabilitasi Therapeutic Community (TC), dan

pengembangan klinik adiksi.

3. Pengurangan dampak buruk (Harm Reduction)

Program Harm Reduction yang pertama kali diusulkan adalah LASS. Pelaksanaan program ini tidak mendapatkan dukungan, karena dikhawatirkan memberikan konsep bahwa penggunaan narkoba suntik adalah legal di dalam lapas. Hal ini sulit diterima karena secara tegas telah dinyatakan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan, bahwa jarum suntik yang dapat didefinisikan sebagai senjata tajam dan penggunaan narkoba adalah dilarang11. Penggunaan jarum suntik yang memungkinkan dipakai adalah di klinik untuk pengobatan. Jadi penggunaan LASS, memang akhirnya hanya bisa dilakukan di klinik pada pasien WBP yang mengalami adiksi berat.

Disamping ini, disepakati bahwa bagi yang membutuhkan akan disediakan cairan

bleachinging di klinik bagi yang membutuhkan. Warga binaan yang membutuhkan, akan

diberi cairan bleachinging/kondom bila mereka meminta ke pihak klinik.

Penggunaan kondom sebenarnya tidak mendapatkan penolakan serius. Hanya untuk mendistribusikan kondom, kendala operasional masih dirasakan. Permasalahannya adalah kebanyakan warga binaan akan sungkan untuk meminta kondom, karena malu untuk menyampaikan kebutuhan ini. Dalam hal ini kesepakatan yang diambil adalah kondom tetap bisa di distribusikan di klinik bagi yang membutuhkan. Keberadaan layanan ini akan di informasikan melalui peer educator dengan pendampingan khusus.

(23)

18

Cara Masuk: - Dilempar - Via kunjungan - Via Petugas - Adiksi/suges - Gang. psikiatri - Ingin mencoba

Permintaan dari dalam Ketidak tersediaan jarum suntik Penularan penyakit Pemakaian Narkoba Narkoba masuk ke Lapas Pemakaian Narkoba Suntik PTRM

Framework

Penanganan Adiksi di Lapas

Maximum Security

Demand Reduction

Harm Reduction

Supply Reduction

Pelaku seks beresiko [LSL] Perilaku seks beresiko PTRM Therapeutic Community Klinik Adiksi LASS Bleaching Kondom

Gambar 3. Framework rencana penanganan Adiksi di Lapas

Khusus pengajuan program LASS dan distribusi kondom untuk WBP secara keseluruhan tidak bisa dilaksanakan karena tidak didukung oleh hampir semua petugas lapas. Hal ini terutama dikarenakan tidak adanya regulasi untuk menjadi dasar. Walaupun untuk indikasi pengobatan, bagian keamanan dan tata tertib lapas bersikukuh bahwa

pengguna narkoba dalam lapas, dalam bentuk apapun, walaupun dalam program Harm

Reduction, adalah pelanggar hukum. Wajib dilakukan sanksi hukuman yang berlaku.

Visi ini berbeda dengan petugas kesehatan yang melihat keuntungan program ini untuk mengurangi dampak buruk penyebaran penyakit HIV, Hepatitis C dan IMS. Sehingga mereka yang berisiko tinggi harus mendapatkan penanganan yang sesuai.

Dari pertemuan ke pertemuan selanjutnya tidak ada titik temu mengenai penanganan pengguna narkoba suntik dan pelaku seks berisiko di lapas. Pada akhirnya Kalapas memberikan saran untuk tiap bagian melaksanakan tugasnya masing-masing dengan baik. Petugas kesehatan yang mempunyai pertimbangan dari segi kesehatan,

dipersilahkan membuat program penanganan yang sesuai bagi warga binaan Lapas Banceuy, tetapi apabila petugas keamanan/tata tertib menemukan adanya warga binaan yang menggunakan narkoba dalam lapas tetap akan ditindak.

(24)

19

4. Team building

Team building diperlukan untuk membangun kerjasama diantara sesama anggota dalam

tim. Tim penanggulangan Narkoba di Lapas Banceuy terdiri dari petugas kesehatan dan petugas pembinaan, yang mempunyai latar belakang dan tugas fungsi yang berbeda. Untuk membantu dalam membentuk kesinergian dalam mencapai goals dan tujuan yang dibuat, maka Team building perlu dilaksanakan.

Team building akan direncanakan lebih lanjut oleh pihak pembinaan Lapas Banceuy.

C.

Kesimpulan

 Hasil kegiatan ini sudah dapat merumuskan konsep-konsep perbaikan yang perlu dilakukan pada Lapas baik dari sisi keamanan dan ketertiban, pembinaan baik berupa edukasi, rehabitiliasi, pengobatan, dan pengurangan dampak buruk.

 Masih terdapat hambatan untuk penyampaian hasil dan pengembangan tindak lanjut hasil penelitian ini. Oleh karena itu kegiatan sosialisasi dan advokasi ke pejabat struktural Kanwil dan Ditjenpas pada Kementerian Hukum dan HAM belum bisa dilakukan.

 Program LASS dan distribusi kondom untuk program pengurangan dampak buruk secara terbuka tidak disetujui dilakukan di dalam lapas karena belum adanya regulasi atau payung hukum dari Kementerian Hukum dan HAM RI untuk menjadi dasar.

 Telah disepakati bahwa penyediaan cairan bleaching dan pemberian kondom bagi yang membutuhkan sebagai upaya pengurangan dampak buruk yang akan dilaksanakan di Lapas Banceuy.

D.

Tantangan

 Belum ada regulasi atau payung hukum dari Kementrian Hukum dan HAM RI tentang program LASS dan distribusi kondom di lapas, sehingga pengelolaan dampak buruk dari penggunaan narkoba dan perilaku seks berisiko perlu ditangani secara terfokus pada yang benar benar membutuhkan.

 Tidak adanya ijin untuk melakukan diseminasi hasil penelitian dan advokasi ke jenjang yang lebih tinggi (Kanwil dan Ditjenpas), sehingga sulit untuk menyarankan perlu adanya regulasi ke pihak kementerian terkait program LASS dan distribusi kondom di lapas.

(25)

20

TAHAP 3 : IMPLEMENTASI PROGRAM

HARM REDUCTION

Tahap ini sangat sulit untuk dilaksanakan karena isu yang sangat sensitif. Walaupun sudah telah disepakati bahwa penyediaan cairan bleaching dan pemberian kondom bagi yang membutuhkan sebagai upaya pengurangan dampak buruk yang akan dilaksanakan di Lapas Banceuy, tetapi saat pelaksanaannya tetap dirasakan ada hambatan.

Bersamaan dengan rencana implementasi ini, Lapas Klas IIA Banceuy Bandung ditunjuk oleh pemerintah sebagai salah satu UPT Pemasyarakatan tempat rehabilitasi bagi warga binaan pemasyarakatan dalam rangka menyikapi kondisi Indonesia yang berstatus darurat Narkoba

yakni “GERAKAN REHABILITASI 100.000 PENGGUNA NARKOBA”. Hal ini sejalan dengan Lapas

Banceuy yang merencanakan implementasi terkait program layanan adiksi dan program Harm Reduction.

Pada awalnya, mulai implementasi program adalah bulan Januari 2015, tetapi baru terrealisasi pada bulan April 2015 karena berbarengan dengan program pemerintah untuk rehabilitasi.

A.

Persiapan Implementasi

Sehubungan dengan rencana gerakan rehabilitasi dan untuk menindak lanjuti hasil penelitian ini, maka dilakukan persiapan implementasi. Banyak pertemuan internal klinik, bagian

pembinaan, dan peneliti untuk merumuskan strategi yang sesuai dalamtahap implementasi ini. Adapun persiapan implementasi dalam kegiatan utamanya diuraikan sebagai berikut:

1. Workshop persiapan implementasi program Layanan Adiksi

Workshop ini merupakan langkah pertama dalam persiapan implementasi yang

dilakukan pada Tanggal 15 April 2015 dengan semua petugas kesehatan dan petugas pembinaan untuk merencakan implementasi dalam menangani masalah adiksi dan melaksanakan program Harm Reduction dalam lapas.

Adapun hasil workshop ini, merencanakan layanan yang bisa dan memungkinkan untuk dilaksanakan, yaitu:

Rehabilitasi Therapeutic Community (TC)

Karena TC adalah program pemerintah melalui BNN, sehingga Lapas Banceuy hanya mempersiapkan strategi dalam pelaksanaan TC dan pembagian tugas. Untuk juklak dan juknis mengacu kepada BNN. Sarana ini akan diisi edukasi mengenai bahaya narkoba suntik, seks tidak aman, dan juga memberikan informasi layanan klinik adiksi. Bagi warga binaan yang membutuhkan, akan mendapatkan layanan khusus dalam bentuk

pendampingan khusus dan penangan adiksi khusus dalam klinik adiksi.

Pendampingan khusus

Adalah suatu kegiatan yang mengadopsi dari petugas yang menjadi wali bagi warga binaan, program ini pernah di rencanakan sejak lama oleh bagian pembinaan. Beberapa warga binaan yang mempunyai masalah adiksi dan terbuka untuk bekerja sama dengan konselor akan di dampingi khusus oleh bagian pembinaan. Bagi warga binaan yang memerlukan pendekatan kedokteran, akan di salurkan ke pusat layanan kuratif di klinik adiksi.

(26)

21

Kelompok dukungan sebaya (KDS)

Kelompok dukungan sebaya (KDS) bagi penderita HIV sudah dibentuk sejak Tahun 2007 yang diawali dengan pertemuan rutin yang di prakarsai oleh seorang petugas kesehatan lapas. Kelompok sebaya ini akan dikembangkan bukan pada hanya pada HIV positif, tetapi juga pada semua yang mengalami adiksi dan membutuhkan dukungan sebaya. Kegiatan ini akan tetap dijalankan sebagai bagian yang penting dari keseluruhan layanan yang di sampaikan oleh bagian pembinaan.

Klinik adiksi

Adalah klinik yang akan melayani warga binaan yang perlu penganangan klinis atas adiksinya. Warga binaan ini akan dikelola oleh beberapa petugas kesehatan yang sudah terlatih mengelola adiksi. Kegiatan ini akan didukung oleh konsultan psikiatri dan dokter dokter residen psikiatri yang akan datang secara rutin setiap minggu. Layanan adiksi yang akan dilaksanakan adalah :

- Konseling, baik konseling individu maupun konseling adiksi - Asesmen dengan menggunakan Addiction Severity Index

- Detoks simptomatik

Layanan Harm Reduction

a. Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM)

Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) sudah dilaksanakan sejak Tahun 2007. Merupakan program penanganan dampak buruk bagi pengguna heroin, terutama yang disuntikkan. Selama ini, PTRM masih merupakan program tunggal untuk

penanganan dampak buruk, dan perlu dioptimalkan upaya untuk sosialisasi dan KIE pada seluruh warga binaan, karena masih banyak pengguna heroin suntik yang belum mengakses layanan ini.

b. Penyediaan cairan bleaching

Karena LASS tidak boleh dilaksanakan di lapas, maka upaya yang bisa dilakukan adalah penyediaan cairan bleaching di klinik. Warga binaan yang memerlukan cairan

bleaching boleh meminta ke klinik, dan diupayakan dilakukan konseling sebelum cairan

bleaching diberikan.

c. Penyediaan kondom pada warga binaan yang membutuhkan

Kondom sudah tersedia di klinik yang merupakan bantuan dari dinas kesehatan setempat, tetapi tidak didistribusikan terbuka pada warga binaan karena adanya pertentangan. Kondom akan diberikan kepada warga binaan yang membutuhkan (yang berisiko tinggi).

2. Peer Educator (PE) sebagai penjangkau

Persiapan berikutnya dari klinik lapas adalah mengumpulkan Peer Educator (PE) atau pendidik sebaya untuk mempersiapkan penjangkauan bagi warga binaan yang

membutuhkan program Harm Reduction. Peer Educator (PE) atau pendidik sebaya adalah warga binaan yang sudah dilatih untuk dapat memberikan KIE mengenai kesehatan kepada sesama warga binaan. Mereka diberi informasi mengenai program yang akan dilaksanakan dan pelaksanaan tugas yang akan mereka kerjakan sebagai penjangkau.

(27)

22

penjelasan mengenai program kesehatan yang mempertimbangkan dampak buruk dari perilaku berisiko yang mereka lakukan, sehingga diadakannya layanan Harm Reduction

ini.

Anggota Peer Educator diharapkan aktif menjangkau warga binaan yang berisiko tinggi untuk upaya sosialisasi program dan mengedukasi mengenai resiko akan perilaku berisiko mereka. Disampaikan juga bahwa klinik mempunyai persedian cairan bleaching dan kondom untuk diberikan kepada yang memerlukan. Anggota PE diminta bantuannya untuk menyebarkan informasi ini kepada sesama warga binaan yang sekiranya membutuhkan Mereka yang membutuhkan layanan ini akan diberikan cairan bleaching dan/atau kondom yang mereka perlukan. Satu orang fasilitator (seorang perawat lapas) akan membantu mereka dengan menyediakan konseling mengenai kebutuhan mereka.

3. Sosialisasi pada seluruh petugas lapas

Sambil kegiatan berjalan, pada Tanggal 8 Mei 2015 sosialisasi program layanan adiksi dan Harm Reduction dilakukan pada seluruh petugas Lapas Banceuy. Sosialisasi dihadiri oleh Kalapas, seluruh pejabat struktural, Bagian Adiksi Universitas Padjadjaran (UNPAD) sebagai narasumber, dan 40 orang petugas lapas.

Program Harm Reduction merupakan isu yang sensitif bagi kebanyakan petugas lapas. Pendekatan yang dilakukan untuk mensosialisasikan program Harm Reduction yang akan dilaksanakan digabungkan dengan program penanganan adiksi lainnya, yaitu klinik adiksi dan rehabilitasi dengan metode Therapeutic Community (TC).

Sesi pertama dari sosialisasi adalah pemberian kuliah mengenai pengetahuai adiksi dasar bagi petugas yang diberikan oleh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Kemudian di presentasikan hasil penelitian sebagai pengetahuan petugas akan situasi terkini masalah adiksi dan perilaku seks di Lapas Banceuy. Presentasi terakhir adalah program Rehabilitasi TC.

Saat diskusi disampaikan juga pentingnya penanganan pada perilaku berisiko.

Penyediaan cairan bleachinging dan kondom di klinik, hanya diperuntukan bagi warga binaan dengan perilaku berisiko tinggi.

Secara umum hasil sosialisasi menunjukkan bahwa program bisa di terima oleh para semua jajaran lapas.

B.

Implementasi Layanan Adiksi

Implementasi program layanan adiksi secara umum dilaksanakan bersama-sama. Klinik adiksi berjalan mendukung program Rehabilitasi TC yang dilakukan, juga menjadi induk dari

program Harm Reduction.

Rehabilitasi Therapeutic Community (TC)

Rehabilitasi dilaksanakan sejak Bulan Mei 2015. Program ini merupakan program pemerintah melalui BNN, sehingga banyak bantuan yang diterima Lapas Banceuy, diantaranya SDM konselor adiksi, logistik untuk operasional rehabilitasi berlangsung.

Sebelum program rehabilitasi dimulai, klinik adiksi melakukan asesmen dengan menggunakan

Addiction Severity Indeks kepada semua calon klien rehabilitasi.

Konseling adiksi dilaksanakan secara intensif pada klien yang membutuhkan layanan.

(28)

23

Klinik adiksi

Adalah klinik yang akan melayani warga binaan yang perlu penganangan klinis atas adiksinya. Warga binaan ini yang mempunyai keluhan putus zat diberikan terapi

berdasarkan keluhan yang diderita. Bagi pengguna heroin, dirujuk pada program terapi rumatan metadon (PTRM).

Adapun kegiatan yang sudah dilaksanakan klinik adiksi adalah :

- KIE kesehatan dan masalah adiksi

- Konseling, baik konseling individu maupun konseling adiksi - Asesmen dengan menggunakan Addiction Severity Index

- Detoks simptomatik

Layanan Harm Reduction

Program PTRM sudah berjalan sejak Tahun 2007 dan terus dilakukan sosialisasi pada semua warga binaan.

Program Harm Reduction yang baru, yaitu penyediaan cairan bleaching dan kondom, dilaksanakan sebagai program uji coba untuk dapat dievaluasi. Karena program ini

merupakan kebijakan lokal klinik maka sosialisasi program hanya dilakukan secara terbatas, yaitu melalui pemberdayaan Peer Educator (PE).

Isu penelitian yang sensitif dan dukungan dari petugas lapas yang kurang (terutama seksi keamanan dan seksi tata tertib), merupakan tantangan untuk pelaksanaan program ini. Warga binaan yang berperilaku beresiko kemungkinan tidak akan mau mengakses layanan karena mengganggap layanan ini berbenturan dengan peraturan lapas.

Tanpa sosialisasi secara terbuka, penyampaian informasi melalui sebaya warga binaan, diharapkan informasi mengenai layanan program akan tersampaikan dan warga binaan yang berperlaku berisiko mau mengakses layanan ini.

C.

Temuan implementasi penyediaan cairan

bleaching

dan kondom

Kegiatan implementasi yang dilakukan untuk dapat dievaluasi berjalan selama tiga bulan, yaitu Bulan April – Juni 2015.

Setiap anggota PE melakukan penjangkauan mencari target melalui informasi dari sesama teman warga binaannya. Informasi yang didapat ditindaklanjuti dengan melakukan

pendekatan ke target. Anggota PE ada juga yang menjadi pelaku penggunaan Narkoba suntik dalam lapas, sehingga penjangkauan untuk pengguna Narkoba suntik tidak sulit dilakukan.

Hal sulit yang dirasakan anggota PE adalah menjangkau warga binaan yang melakukan aktivitas seks tidak aman. Menurut pengakuan anggota PE, warga binaan yang melakukan hubungan seks tidak aman dalam lapas, hanya orang yang mempunyai hubungan yang dekat dengan anggota PE (teman dekat/teman sekamar), yang mau mengakses layanan dan meminta kondom.

Walau ada beberapa anggota PE yang juga pengguna Narkoba suntik dalam lapas, tetapi tidak ada yang secara terbuka meminta cairan bleaching khusus untuk melakukan sterilisasi alat suntik, walaupun melalui pendekatan konseling. Adapun permintaan cairan bleaching

lainnya berasal dari salon lapas untuk mencucihamakan alat-alat salon yang telah digunakan.

(29)

24

itu, para pengguna Narkoba suntik dalam lapas menyadari bahwa apa yang dilakukannya itu (menggunakan Narkoba) melanggar aturan. Sehingga mereka tidak ada yang berani meminta cairan bleaching untuk keperluan sterilisasi alat suntik. Diantara mereka (anggota PE) ada yang meminta cairan bleaching dengan alasan untuk keperluan mencuci baju.

Dari hasil penjangkauan oleh PE, di temukan ada warga binaan yang memerlukan kondom. Warga binaan yang membutuhkan kondom tersebut enggan meminta sendiri dan tidak mau identitasnya terungkap pihak klinik karena merasa malu dan takut, sehingga kondom

dimintakan melalui anggota PE tersebut. Dengan demikian pihak klinik tidak bisa melakukan asesmen, KIE, dan konseling yang diperlukan.

Dari hasil penjangkauan tersebut, klinik telah memberikan cairan bleaching dua botol (@500 ml) kepada anggota PE dan Salon lapas. Kondom dan pelumasnya telah didistribusikan sebanyak 3 set, setiap satu kali permintaan. Selama evaluasi, terdapat dua kali permintaan kondom kepada klinik melalui PE dan identitas warga binaan yang meminta tersebut tidak diketahui.

D.

Kesimpulan dan rekomendasi

 Beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan (seperti Rehabilitasi TC, kelompok dukungan sebaya, dan pengelolaan kesehatan di klinik) dianjurkan untuk di isi dengan informasi dan edukasi baru yang mungkin meningkatkan keberhasilan pengelolaan adiksi di lapas Banceuy.

 Program LASS hanya akan dilakukan dalam bentuk kegiatan bleaching dan reuse jarum. Dan ini hanya akan dilakukan dengan pengawasan petugas kesehatan di klinik dalam ruang lingkup program Harm Reduction. Selama periode implemantsi belum ada permintaan bahan bleaching untuk khusus penggunaan sterilisasi alat suntik.

 Program distribusi kondom sudah disiapkan dan diberikan di klinik Lapas. Semua WBP yang membutuhkan dapat mengaksesnya disini. Terdapat permintaan kondom dan identitas warga binaan yang meminta tidak diketahui.

 Masih diperlukan upaya mencari cara strategis agar warga binaan yang berisiko tinggi bisa mengakses layanan dengan rasa aman dan nyaman, tampa rasa takut dan malu.

E.

Tantangan

 Sosialisasi belum dilakukan secara menyeluruh, sehingga adanya kemungkinan warga binaan dengan perilaku berisiko, tidak terpapar informasi adanya layanan penyediaan bahan bleaching dan/kondom bagi yang membutuhkan.

 Penjangkauan baru dilakukan melalui pemberdayaan Peer Educator (PE), sehingga cakupan penyebaran informasi hanya terbatas pada sebagian kecil warga binaan yang dicurigai berperilaku berisiko.

 Karena permintaan kondom dilakukan melalui PE, maka warga binaan yang meminta kondom tidak bisa dilakukan asesmen, KIE, dan konseling yang diperlukan.

 Program ini masih belum tersosialisasi secara menyeluruh dan warga binaan yang

membutuh layanan inipun masih takut untuk mengakses layanan, terutama para pengguna narkoba suntik.

(30)

25

KESIMPULAN PENELITIAN

Gambaran umum proses penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan dahulu sosialisasi mengenai penelitian ini kepada Kepala Lapas Banceuy, Pejabat Struktural, dan staf pembinaan, staf keamanan dan tata tertib. Diundang serta perwakilan dari Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, serta mitra jejaring. Tujuan dari sosialisasi ini untuk memberi informasi kepada undangan, tim peneliti yang terdiri dari petugas kesehatan Lapas Banceuy, Yayasan Rumah Cemara, dan Pusat Studi TB – HIV Universitas Padjadjaran Bandung, akan mengadakan penelitian mengenai fisibilitas program LASS dan distribusi kondom bagi Narapidana. Dengan demikian, diharapkan ada dukungan semua pihak terutama dari pimpinan dan pejabat di lingkunan Lapas Banceuy.

Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap asesmen, tahap diseminasi dan rencana tindak lanjut, dan tahap implementasi. Penelitian tahap pertama, diawali kepada sekitar 15 warga binaan yang diduga berisiko tinggi yang dilakukan wawancara mendalam. Pada hasil wawancara yang didapat, hanya 9 wawancara yang dapat dilakukan analisa, yaitu Tujuh orang dari pelaku pengguna narkoba suntik dan dua orang pelaku seks berisiko dalam lapas.

Kemudian dilakukan pengisian kuesioner kepada 307 warga binaan yang dipilih secara acak. Petugas Lapas juga dilakukan pengukuran melalui Focus Group Disscussion (FGD) kepada staf pembinaan dan staf keamanan/tata tertib. Kalapas dan para pejabat struktural dibidang pembinaan dan keamanan/tata tertib juga dilakukan pengukuran melalui wawancara mendalam.

Pada saat penelitian tahap pertama berlangsung, Lapas Banceuy mengalami pergantian

pimpinan. Walau Kalapas sebelumnya dilakukan wawancara mendalam, Kalapas yang baru pun dilakukan wawancara mendalam. Hal ini dilakukan bertujuan untuk sosialisasi secara tidak

langsung mengenai penelitian yang sedang berlangsung, juga menggali sikap dan opini pimpinan baru terkait isu penelitian untuk pengumpulan data penelitian.

Tahap dua diawali dengan diseminasi hasil penelitian yang dilaksanakan pada Tanggal 1 September 2014 kepada Kalapas dan Pejabat dibagian pembinaan dan keamanan/ tata tertib. Hasil penelitian yang disampaikan merupakan kenyataan yang membuat Kalapas dan jajarannya merasa terkejut dan malu. Hasil penelitian ini dianggap merupakan citra buruk lapas, sehingga rencana diseminasi ke jenjang yang lebih tinggi (Kanwil dan Ditjenpas Kemenkumham RI) untuk upaya advokasi, tidak mendapat respon yang positif.

Walau demikian, upaya terus dilakukan melalui pertemuan-pertemuan untuk upaya advokasi, minimal di lingkungan Lapas Banceuy, untuk dapat merencanakan upaya tindak lanjut dari hasil penelitian yang telah didapat. Dengan berbagai kendala yang dihadapi untuk dapat

melaksanakan program Harm Reduction di Lapas, akhirnya terdapat kesepakatan program yang dapat diimplementasikan dalam Lapas Banceuy.

(31)

26

Narapidana atau Tahanan dilarang melakukan perbuatan asusila dan/atau penyimpangan seksual; dilarang mempunyai benda tajam; dilarang mengkonsumsi Narkoba. Apabila

Narapidana dan Tahanan diketahui melakukan hal yang tercantum dalam pasal 4, akan ditindak sesuai dengan jenis hukuman disiplin yang berlaku11. Hal ini secara tidak langsung berbenturan dengan program LASS dan distribusi kondom dalam lapas.

Tahap terakhir adalah tahap implementasi yang mendapat hambatan yang cukup besar dengan kurangnya dukungan dari pihak keamanan dan tata tertib. Sosialisasi tidak dilakukan secara terbuka, hanya melalui pemberdayaan Peer Educator (PE) atau pendidik sebaya, sehingga informasi hanya diterima oleh beberapa warga binaan yang dicuriga berperilaku berisiko saja. Karena keterbatasan yang ada, warga binaan yang ingin mengakses layananpun merasa tidak aman dan merasa terancam, sehingga identitasnya pun tidak ingin diketahui oleh pihak klinik.

Time Line

Penelitian

Lama waktu penelitian ini adalah 14 bulan, sejak Bulan Mei 2014 dan berakhir pada bulan Juli 2015 . Penelitian ini berjalan tidak sesuai dengan rencana waktu, terutama pada Tahap Dua dan Tahap Tiga. Tahap tiga terrealisasi setelah Lapas Banceuy ditunjuk pemerintah untuk mengikuti

„Gerakan rehabilitasi bagi pecandu Narkoba”, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan

menggunakan program tersebut untuk mendukung program Harm Reduction yang akan kita laksanakan.

Tabel 4. Time line penelitian

Tahun 2014 Tahun 2015

Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Juli Tahap 1 Penyusunan

Laporan Tahap1 Tahap 2 Tahap 3 Penyusunan

Laporan Final

Kesimpulan hasil kegiatan

 Sebanyak 51.3% WBP pernah menggunakan narkoba dalam lapas. Sebanyak 34.4% responden pernah menggunakan heroin di dalam Lapas, sebagian kecil diantaranya menggunakan Heroin dengan disuntikkan (2.6 %). Hampir semua pengguna narkoba suntik pernah berbagi jarum dan/atau menggunakan alat suntik tidak steril.

(32)

27

 Terdapat kebutuhan akan program LASS, tetapi beberapa WBP penasun mempunyai

keraguan dan cenderung tidak menyetujui adanya program LASS dalam lapas. Mereka takut semakin terstimulasi untuk menggunakan Narkoba suntik dan memperparah masalah adiksi mereka.

 Program pengadaan kondom diperlukan oleh WBP di kelompok ini, namun masih terdapat keragu-raguan cara mendistribusikannya.

 Karena belum adanya regulasi sebagai payung hukum, upaya pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba suntik hanya dilakukan dengan menyediakan cairan bleaching bagi yang membutuhkan.

 Dalam periode implementasi program, belum ada permintaan bahan bleaching untuk khusus penggunaan sterilisasi alat suntik.

 Program distribusi kondom dapat dilaksanakan karena kebijakan internal lapas dengan tidak boleh didistribusikan secara luas, hanya didistribusikan langsung kepada warga binaan yang berisiko tinggi. Terdapat permintaan kondom kepada klinik, tetapi identitas warga binaan yang meminta tidak diketahui.

 Advokasi ke jenjang yang lebih tinggi harus diupayakan dalam upaya permintaan dibuatnya regulasi ke kementerian Hukum dan HAM RI.

 Selama belum ada regulasi mengenai program Harm Reduction terutama program LASS dalam Lapas/Rutan, kecil kemungkinan program LASS dapat terlaksana.

Kesulitan dan kelemahan

 Tidak adanya ijin untuk melakukan diseminasi hasil penelitian dan advokasi ke jenjang yang lebih tinggi (Kanwil dan Ditjenpas), sehingga sulit untuk menyarankan perlu adanya regulasi ke pihak kementerian terkait program LASS dan distribusi kondom di lapas.

 Belum ada regulasi atau payung hukum dari Kementrian Hukum dan HAM RI, sehingga program LASS dan distribusi kondom akan sulit dilaksanakan di lapas.

 Anggapan pimpinan lapas bahwa adanya penggunaan narkoba dalam lapas merupakan citra buruk lapas, sehingga masalah adiksi yang terjadi di lapas disarankan untuk ditangani oleh internal lapas sendiri, tidak perlu keterlibatan jenjang yang lebih tinggi. Kemungkinan dilakukan advokasi pada saat ini sangat kecil.

(33)

28

Kepustakaan

1 UNAIDS (1997) Prison and AIDS: Technical Update [Internet].

http://www.unodc.org/documents/hiv-aids/UNAIDS%20prison %20and%20AIDS.pdf

2 Pusat Informasi dan Komunikasi, Dep. Hukum dan HAM RI. Penanggulangan HIV-AIDS di LP/Rutan 2009 – 2013, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta [Internet].

http://hukum ham.info/images//penanggulangan%20hiv%20aids-17%20jun%2008.pdf

3 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Penelitian Prevalensi HIV dan Sifilis serta Perilaku

Berisiko di kalangan WBP pada 24 Lapas/Rutan di 13 Propinsi 2010. Jakarta – 2010.

4 Nelwan EJ, Van Crevel R, Van der Ven A et al, Human immunodeficiency virus, hepatitis B and hepatitis C in an Indonesian prison: prevalence, risk factors and implications of HIV screening. Tropical Medicine and International Health. 2010. 15 (12).1491–1498.

5 Isa A, et Al. Knowledge and risk behavior among inmates in Banceuy Narcotic Prison. ICAAP 9

Publication. Indonesia. 2009.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik respoden WBP pengguna Narkoba suntik
Tabel 2. Jenis Narkoba yang dilaporkan pernah digunakan dalam Lapas
Gambar 1. Skema pengguna Narkoba suntik dalam Lapas
Gambar 2. Skema perilaku seks berisiko dalam Lapas
+4

Referensi

Dokumen terkait

Efek pemberian ekstrak teh hijau pada wanita dewasa pegawai Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta yang mengalami overweight dan obesitas dapat menurunkan total lemak tubuh (TLT)

Berdasarkan uraian latar belakang dan data yang diperoleh maka perlu dilakukan penelitian tentang Hubungan Frekuensi ANC dan Pengetahuan Tentang Tablet Besi dengan

Peneliti juga mendapatkan pengalaman dalam melakukan pemeriksaan operasional secara nyata di perusahaan karena peneliti dapat mengimplementasikan dan mempraktikkan ilmu

Penciptaan lukisan ini untuk mengekspresikan gagasan sesuai dengan ekspresi pribadi dan penggambaran tentang bentuk pemandangan alam persawahan serta hamparan pesawahan

Pada gambar 2 nilai tertinggi didapatkan pada kategori unsur 3, 4 dan 6 yaitu sebesar 0,99 yang artinya dari hampir 366 orang responden menilai bahwa petugas layanan di

ketika pertahanan dari inang tidak mampu atau tidak dapat menghancurkan bakteri patogen maka pemberian bakteriosidal dapat membunuh mikroba patogen dengan beberapa kondisi

Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat laut - tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan

Christie menyatakan (1999) beberapa prasasti yang ditemukan di Dieng yang sekarang menjadi koleksi Museum Nasional antara lain, prasasti Dieng III yang ditulis