• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIVERSITAS GENETIK INTRA DAN INTER SPESIES SAPI BALI DARI SUMBAWA DAN SAPI ACEH BERDASARKAN ANALISIS MIKROSATELIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DIVERSITAS GENETIK INTRA DAN INTER SPESIES SAPI BALI DARI SUMBAWA DAN SAPI ACEH BERDASARKAN ANALISIS MIKROSATELIT"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

DIVERSITAS GENETIK INTRA DAN INTER SPESIES SAPI BALI DARI

SUMBAWA DAN SAPI ACEH BERDASARKAN ANALISIS

MIKROSATELIT

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh:

Prasasti Wahyu Haryati

M0406048

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri

dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka gelar

kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan /atau dicabut.

Surakarta, Juli 2011

Prasasti Wahyu H

(4)

commit to user

iv

Diversitas Genetik Intra dan Inter Spesies Sapi Bali dari Sumbawa dan Sapi Aceh Berdasarkan Analisis Mikrosatelit

Prasasti Wahyu Haryati

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK

Sapi-sapi yang terdapat di Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik tersebut salah satunya disebabkan karena adanya diversitas genetik. Salah satu penanda genetik untuk mengetahui diversitas genetik adalah mikrosatelit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui diversitas genetik intra dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh berdasarkan analisis mikrosatelit.

Penelitian ini menggunakan sampel darah sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh yang di ambil menggunakan metode venopuncture, masing-masing sebanyak 20 individu. DNA diekstrak dari total darah dengan menggunakan teknik Wizard Genomic Purification System. Fragmen DNA diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer berturut-turut ETH225, TGLA227, INRA005, BM1824 dan MM12. DNA produk PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamid 12% yang dilanjutkan dengan metode pewarnaan ethidium bromida. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program POPGENE version 1.31.

Hasil analisis alel-alel mikrosatelit menunjukkan bahwa jumlah alel setiap lokus pada intra maupun inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh bervariasi antara 1 sampai 3 alel. Rata-rata nilai Shannon's Information index pada intra spesies sapi Bali dari Sumbawa adalah 0.45, intra spesies sapi Aceh 0.75, sedangkan pada inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh 0.75. Rata-rata nilai heterozigositas pada intra spesies sapi Bali dari Sumb awa 0.46, intra spesies sapi Aceh 0 68, sedangkan pada inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh 0.57. Hasil ini menunjukkan bahwa keragaman genetik pada intra spesies sapi Aceh lebih tinggi dibandingkan intra spesies sapi Bali dari Sumbawa dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh.

Kata kunci : Sapi Bali dari Sumbawa, sapi Aceh, mikrosatelit, diversitas

(5)

commit to user

v

Genetic Diversity Intra and Inter Species Bali Cattle from Sumbawa and

Aceh Cattle BasedMicrosatellite Analysis

Prasasti Wahyu Haryati

Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta

ABSTRACT

The cattle were found in Indonesia have different characteristics. One of the difference characteristics due to genetic diversity. One of the genetic markers to determine genetic diversity is a microsatellite. The purpose of this study was to investigate intra and inter genetic diversity of Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle based microsatellite analysis.

This study used blood samples from Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle took with venopuncture methods, each of 20 individuals. Total DNA extracted from blood by using the Wizard Genomic Purification System. DNA fragment was amplified by PCR using the primers are ETH225, TGLA227, INRA005, BM1824 and MM12. DNA PCR product was detected using of 12% polyacrylamide gel electrophoresis followed by ethidium bromide staining method. Data were analyzed using the program POPGENE version 1:31.

Results of analysis of microsatellite alleles indicated that the number of alleles per locus in the intra and inter species Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle varies between 1 to 3 alleles. The average value of Shannon's Information index on intra species Bali cattle from Sumbawa was 0,45, intra species Aceh cattle 0,75, while the inter species of Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle were 0,75. The average value of heterozygosity in intra species of Bali cattle from Sumbawa was 0,46, intra-species of Aceh cattle was 0,68, while the inter species of Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle were 0,57. These results suggest that genetic diversity intra species in Aceh cattle was higher than intra species Bali cattle from Sumbawa and inter-species Bali cattle from Sumbawa and Aceh cattle.

Key words: Bali cattle from Sumbawa, Aceh cattle, microsatellite, genetic

(6)

commit to user

vi

MOTTO

Belajarlah dari kesalahan orang lain. Anda tak dapat hidup lebih lama untuk melakukan semua kesalahan itu sendiri.

(Martin Vanbee)

Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka

menyukainya atau tidak.

(Aldus Huxley)

Bersikaplah kukuh seperti batu karang yang tidak putus-putusnya dipukul ombak, ia tidak saja berdiri kukuh, bahkan ia menenteramkan amarah ombak dan

gelombang itu

(Marcus Aurelius)

Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis, dan pada kematianmu semua orang menangis

sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum.

(Mahatma Gandhi)

Kita melihat kebahagiaan itu seperti pelangi, tidak pernah berada diatas kepala kita sendiri, tetapi selalu berada diatas kepala orang lain.

(7)

commit to user

vii

PERSEMBAHAN

Dengan hati yang tulus dan penuh rasa syukur kupersembahkan skripsi ini untuk:

Allah SWT yang menjadikan aku lebih sabar, lebih semangat menjalani

hidup dan selalu yakin bahwa Engkau selalu memberiku yang terbaik.

Bapak Dwijo Martono dan ibu Partini yang selalu memberikan motivasi,

nasehat, kasih sayang serta do’a yang tiada hentinya.

Adikku Darmadi yang selalu memberikan motivasi

Mohammad Syaiful yang selalu memberikan motivasi dan kasih sayang

(8)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq, hidayah, serta

inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan

judul “Diversitas Genetik Intra Dan Inter Jenis Sapi Bali dari Sumbawa Dan Sapi Aceh Berdasarkan Analisis Mikrosatelit”, yang merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar kesarjanaan strata 1 (S1) pada jurusan Biologi, Fakultas

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, para sahabat dan para pengikut yang diridhoi-Nya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian penulisan skripsi ini adalah

atas sumbangsih materi maupun pemikiran dari berbagai pihak. Oleh karena itu,

dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terimakasih yang

sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah

membantu penulis, terutama kepada Yang Terhormat :

Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc. Ph.D., selaku dekan FMIPA Universitas

Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian untuk keperluan

skripsi.

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si., selaku ketua jurusan Biologi FMIPA

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan arahan serta ijin

penelitian skripsi .

Prof. Dr. Okid Parama Astirin, MS., selaku pembimbing akademik yang

telah memberikan bimbingan, arahan serta dukungan.

Prof. Drs. Sutarno, M.Sc. Ph.D., selaku dosen pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan, arahan serta dukungan selama penelitian hingga

(9)

commit to user

ix

Dr. Artini Pangastuti, M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, arahan serta dukungan selama penelitian hingga

selesainya penyusunan skripsi.

Prof. Drs. Suranto, M.Sc.Ph.D., selaku dosen penelaah I yang telah

memberikan bimbingan dan petunjuk selama penelitian hingga selesainya

penyusunan skripsi.

Dr. Sugiyarto, M.Si., selaku dosen penelaah II yang telah memberikan

bimbingan dan petunjuk selama penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi.

Segenap dosen dan staf jurusan Biologi, FMIPA UNS atas segala bentuk

dukungan yang diberikan.

Keluarga besar Dwijo Martono, atas dukungan dan doanya. Keluarga besar

biologi 2006 FMIPA UNS untuk semangat, kebersamaan, dan persaudaraan yang

luar biasa.

Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan

penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik

yang membangun dari para pembaca akan sangat membantu. Semoga skripsi ini

dapat bermanfaat bagi kita semua.

Surakarta, Juli 2011

(10)

commit to user

A. Latar Belakang Masalah……….……...

(11)

commit to user

xi

BAB III. METODE PENELITIAN ………...

A. Waktu dan tempat penelitian ………...…………...

B. Bahan dan Alat ……….……...…….

1. Bahan……….………....

2. Alat ……….………..…………....

C. Cara Kerja…..………...…………...

1. Pengambilan Sampel Darah………...………..…... 2. Ekstraksi DNA………...…………..…. 3. Uji Kualitas Dan Kuantitas DNA………...………....

4. Amplifikasi DNA mikrosatelit dengan Polymerase Chain

Reaction(PCR)…..………..…….

5. Analisis produk PCR dan deteksi alel DNA………... D. Analisa Data………...………...……....

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….

A.Diversitas Genetik Intra Spesies ... .………...……… B.Diversitas Genetik Inter Spesies ... .………...………

(12)

commit to user

xii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.

Tabel 2.

Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

.

Sekuen nukleotida primer mikrosatelit...

Keragaman alel mikrosatelit tiap individu pada setiap lokus mikrosatelit yang dianalisis...

Jumlah dan frekuensi alel intra spesies sapi Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatetlit...

Parameter keragaman genetik intra spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh pada 5 lokus mikrosatelit...

Parameter diversitas genetik inter spesies sapi Balidari Sumbawa dan sapi Aceh pada 5 lokus mikrosatelit...

17

30

31

33

(13)
(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1.

Lampiran 2.

Hasil elektroforesis sampel sapi Bali dari Sumbawa pada gel

poliakrilamid 12% dengan pewarnaan ethidium

bromida………...

Pola elektroforesis sampel Sapi Aceh pada gel poliakrilamid

12% dengan pewarnaan ethidium bromida... 50

(15)

commit to user

xv

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Keterangan

AFLP Amplified fragment length polymorphism

APS Ammonium Peroxodisulfate Solution

BPTU Balai Pembibitan Ternak Unggul

dNTP deoksiribonukleotida trifosfat

ETBR ethidium bromide

He heterozigositas

Ho Homozigositas

I Shannon's Information index

Na observed number of alleles

Ne Effective number of alleles

PCR Polymerase Chain Reaction

PIC Polymorphic Information Content

PO Peranakan Ongole

RAPD Random Amplified Polymorphism DNA

RFLP Restriction Length polymorphisms

SSR simple sequence repeat

TAE Tris Acetic Acid

TEMED N,N,N',N' Tetramethylethylene - diamine

(16)

commit to user BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sapi-sapi yang terdapat di Indonesia mempunyai karakteristik yang

berbeda-beda. Perbedaan karakteristik tersebut salah satunya disebabkan karena

adanya diversitas genetik, yang dimungkinkan oleh adanya program-program

introduksi sapi impor yang dilakukan pemerintah (Johari et al., 2007). Di

Indonesia terdapat banyak sapi lokal seperti sapi Bali, sapi Aceh, sapi Madura,

sapi Ongole, sapi Peranakan Ongole (PO) dan sapi Pesisir. Di antara sapi-sapi

lokal di Indonesia, sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh merupakan bangsa sapi

yang mempunyai potensi dan nilai ekonomi untuk dikembangkan sebagaimana

sapi unggulan lain yang terdapat di Indonesia.

Sapi Bali dari Sumbawa adalah sapi hasil domestikasi dari banteng yang

mempunyai keunggulan dalam daya reproduksi, daya adaptasi dan persentase

karkas yang tinggi. Sapi Bali memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh sapi dari

bangsa lainnya dan merupakan sumber daya genetik asli Indonesia (Riasari,

2010). Sapi Aceh mempunyai keunggulan antara lain daya reproduksi tinggi,

mampu berkembang pada kondisi lahan marginal, kualitas karkas tinggi, dan rasa

lebih enak (Basri, 2010). Berdasarkan keunggulan yang dimiliki oleh sapi Bali

dari Sumbawa dan sapi Aceh tersebut, maka apabila kedua jenis sapi disilangkan

akan menghasilkan breed sapi yang unggul baik dari segi kualitas maupun

(17)

commit to user

Diversitas genetik pada sapi dan juga pada hewan-hewan ternak lainnya

mengalami penurunan sangat cepat (Hall dan Bradley,1995; Hammond dan

Leitch, 1995). Pemilihan suatu jenis sapi tertentu karena

pertimbangan-pertimbangan keunggulan ekonomis dalam hal produksi telah menurunkan

diversitas genetik, dan bahkan menjadi salah satu mekanisme utama yang sangat

potensial menurunkan diversitas genetik.

Diversitas genetik merupakan dasar perkawinan silang bagi hewan ternak

(Buis et al., 1994) karena informasi ini dapat digunakan sebagai titik awal untuk

meningkatkan kuantitas dan kualitas jenis melalui seleksi buatan. Pengetahuan

mengenai pola-pola variabilitas genetik dari masing-masing jenis akan membantu

pengembangan program persilangan, dan merupakan pengetahuan awal yang

diperlukan dalam konservasi sumber genetik (Kidd et al., 1974).

Analisis diversitas genetik dalam organisme tingkat tinggi telah banyak

digunakan dalam memperkirakan keterkaitan genetik dan keanekaragaman dalam

dan di antara spesies. Penanda molekuler adalah molekul yang dapat digunakan

untuk melacak gen yang diinginkan dalam genotipe yang diperiksa. Identifikasi

populasi hewan dapat dilakukan berdasarkan sifat-sifat morfologi, DNA, dan

protein. Marka DNA merupakan kandidat terbaik untuk efisiensi evaluasi dan

identifikasi populasi hewan memisahkan marka DNA sebagai gen tunggal dan

mereka tidak terpengaruh oleh lingkungan sebagai penanda morfologis (Chambers

dan MacAvoy, 2000).

Aplikasi penanda genetik dapat digunakan untuk seleksi, pemuliaan dan

(18)

commit to user

berbagai teknik meliputi: teknik Restriction Length polymorphisms (RFLP),

Random Amplified Polymorphism DNA (RAPD), Amplified fragment length

polymorphism (AFLP) , dan mikrosatelit (Sumantri, 2007). Analisis mikrosatelit

merupakan salah satu penciri genetik yang sudah diaplikasikan secara meluas

dalam bidang peternakan, uji keturunan, mengidentifikasi sejumlah sifat dengan

nilai ekonomis tinggi pada banyak spesies. Hal ini dikarenakan DNA mikrosatelit

sangat polimorfik dan terdapat banyak dalam DNA genom (Bawden dan Nicholas,

1999). Informasi tentang diversitas genetik dan kekerabatan genetik pada hewan

ternak termasuk sapi sangat penting dalam usaha meningkatkan mutu genetik sapi

untuk memperoleh bibit unggul. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini

dilakukan untuk mengidentifikasi diversitas genetik pada populasi sapi Bali

-Sumbawa dan sapi Aceh.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah adakah diversitas

genetik intra dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh berdasarkan

(19)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi

diversitas genetik intra dan inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh

berdasarkan analisis mikrosatelit.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui adanya diversitas genetik

antara sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh yang dapat digunakan sebagai dasar

dalam upaya lanjut untuk peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi ternak

(20)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Sapi Bali dari Sumbawa

Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai potensi

genetik dan nilai ekonomis yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai

ternak potong. Sapi Bali tersebar di berbagai wilayah Indonesia seperti Bali,

Lombok, Sumbawa, Flores, Sulawesi, Jawa Tengah, Sumatera dan Kalimantan

(Wiliamson dan payne, 1993). Namun, sapi Bali sebagian besar diternakkan

oleh petani-peternak dengan sistem pertanian yang masih konvensional

sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Pulau Sumbawa merupakan

bumi sejuta sapi. Disana sapi-sapi lokal Indonesia khususnya sapi Bali banyak

di kembang biakkan dan di pelihara. Sapi Bali yang berkembang biak di pulau

Sumbawa mempunyai bentuk dan karakteristik sama dengan sapi Bali yang

ada di Bali (Entwistle et al., 2001). Berikut ini adalah gambar morfologi sapi

Bali dari Sumbawa.

(21)

commit to user

Sapi Bali adalah domestikasi dari banteng (Bibos banteng Syn. Bos

sondaicus) yang telah terjadi sejak zaman prasejarah. Namun, ada juga yang

menduga bahwa sapi Bali adalah asli berasal dari pulau Bali yang dalam

perkembangan selanjutnya dapat mempertahankan kemurniaannya (Gunawan

et al, 2004).

Sapi Bali memiliki ciri-ciri sebagai berikut warna putih dan pada

bagian belakang paha, pinggiran bibir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam,

bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang

jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling ideal

disebut tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis

dengan dahi mengarah kebelakang sedikit melengkung ke bawah dan pada

ujungnya mengarah kebawah dan kedalam, tanduk berwarna hitam. Ciri lain

dari sapi Bali yaitu bulunya ketika dilahirkan berwarna merah bata pada jantan

dan betina. Pada saat dewasa, pada sapi Bali jantan warna bulu berubah

menjadi hitam, sedangkan sapi Bali betina tetap berwarna merah bata

(Hardjosubroto, 1994). Bentuk tubuh sapi Bali menyerupai banteng, tetapi

ukuran tubuh lebih kecil akibat proses domestikasi, warna bulu untuk betina

merah bata sedangkan jantan dewasa kehitam-hitaman dan pada

tempat-tempat tertentu baik jantan maupun betina di bagian keempat kakinya dari

sendi kaki sampai kuku dan dibagian pantatnya berwarna putih (Sugeng,

1992). Sapi Bali dari Sumbawa rata-rata lingkar dadanya kecil dan agak pipih

(22)

commit to user

Sapi Bali merupakan ternak yang mempunyai dua peranan penting di

masyarakat yaitu sebagai sapi potong dan sapi kerja. Sapi Bali memiliki daya

toleransi / adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan (Djagra et al., 2002).

Adaptabilitas sapi Bali terhadap lingkungan baik, baik secara langsung (suhu,

kelembaban, angin) dan yang tidak langsung (lahan, pakan, hama penyakit)

lebih baik dibanding breed sapi lain yang ada di indonesia (Darmadja, 1980).

Oleh karena itu, sapi bali harus dipertahankan keberadaannya dengan cara

meningkatkan populasi serta mutu genetiknya.

2. Sapi Aceh

Sapi Aceh merupakan sapi lokal yang terdapat di Aceh Sumatera dan

diminati sebagai ternak potong. Sapi tersebut masih terdapat beberapa variasi

warna tubuh (Namikawa et al., 1982). Berikut ini adalah gambar morfologi

sapi Aceh.

Gambar 2. Sapi Aceh (Abdullah, 2008).

Sapi Aceh merupakan turunan dari sapi ongole dengan sapi setempat.

Pada umumnya, sapi Aceh mempunyai pola dasar warna rambut coklat merah,

coklat hitam, hitam, putih, dan warna menjangan. Umumnya sapi Aceh

(23)

commit to user

dan bertanduk. Bobot badan sapi jantan berumur 3 - 4 tahun berkisar antara

300 - 400 kg, sedangkan sapi betina pada umur yang sama beratnya berkisar

antara 200 - 300 kg (Gunawan, 1998). Sapi Aceh secara fenotipik terdapat

perbedaan dengan sapi PO meski sama-sama keturunan dari sapi Ongole. Sapi

PO mempunyai warna rambut kelabu kehitaman, sedangkan sapi Aceh

memiliki pola dasar warna rambut bervariasi. Bobot badan sapi-sapi Aceh

pada semua tingkat umur lebih rendah daripada bobot badan sapi PO pada

tingkat umur yang sama. Demikian juga dengan semua ukuran tubuh sapi

Aceh lebih rendah dari ukuran-ukuran tubuh sapi PO (Abdullah, 2008).

Sapi Aceh mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk

seperti krisis pakan, air dan pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur

panas dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional (Gunawan, 1998). Sapi

Aceh tersebar luas di daerah Aceh dan daerah Sumatera utara, terutama pada

daerah-daerah yang berbatasan dengan Aceh Timur (Siregar, 2003).

3. Diversitas Genetik

Diversitas genetik terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam

satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, atau di

antara individu dalam populasi. Pada spesies suatu identifikasi tingkat

keragaman, terutama pada lokus-lokus yang mempunyai sifat bernilai penting

mempunyai keterkaitan dengan seleksi dalam program pemuliaan

(Handiwirawan dan Subandriyo, 2004).

Diversitas genetik merupakan suatu keanekaragaman genetik yang

(24)

commit to user

adanya keanekaragaman morfologis, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak

ada individu-individu yang sama didunia ini. Keanekaragaman ini dikarenakan

oleh adanya variasi gen-gen yang mengkodekan morfologi makhluk hidup

tersebut, serta adanya pengaruh lingkungan. Keanekaragaman genetik dapat

terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA. Perubahan ini

mungkin dapat mempengaruhi fenotipe suatu organisme yang dapat dilihat

dengan mata telanjang, atau mempengaruhi reaksi individu terhadap

lingkungan tertentu. Secara umum keanekaragaman genetik dari suatu

populasi dapat terjadi karena adanya mutasi, rekombinasi, atau migrasi gen

dari satu tempat ke tempat lain (Suryanto, 2003).

Diversitas genetik dalam populasi merupakan modal dasar aplikasi

teknologi pemuliaan dalam pemanfaatan hewan. Diversitas genetik populasi

yang digambarkan dalam keragaman penampilan hewan adalah refleksi

informasi genetik yang dimilikinya. Sebagai ilustrasi sapi Bali yang hidup di

pulau Bali memiliki kontruksi gen-gen yang berbeda dengan populasi sapi

pesisir yang ada di Sumatera Barat. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat

dinyatakan dalam kemampuan adaptasi, besarnya tubuh, dan ketahanan

penyakit. Komponen ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan

menyesuaikan diri (adaptasi) terhadap perubahan lingkungan seperti degradasi

kualitas lingkungan sebagai media tumbuh hewan. Perbedaan penampilan ini

disebabkan selama domestifikasi, tipe-tipe atau bangsa-bangsa hewan terpisah

secara genetik karena adanya penyesuaian (adaptasi) dengan masing-masing

(25)

commit to user

berbeda (Muladno 2006). Noor (2008) mengatakan adanya kemampuan

adaptasi hewan disebabkan hewan memiliki kemampuan menghasilkan lebih

dari satu alternatif bentuk morfologi, status fisiologi, dan tingkah laku sebagai

reaksi terhadap perubahan lingkungan (pengaturan ekspresi gen).

Perkembangan sejumlah penanda molekuler dewasa ini telah

memungkinkan untuk melakukan identifikasi terhadap perubahan-perubahan

genetik yang terjadi dalam suatu persilangan serta hubungannya dengan

perubahan sifat kuantitatif dan sifat kualitatif ternak. Selain itu, penanda

molekuler juga dapat digunakan untuk membedakan antara suatu ras ternak

dengan lainya terutama dalam kaitannya dengan upaya pelestarian dan

menjaga kemurnian dari ras tersebut (Maskur et al., 2007).

4. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis

untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu

dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985

oleh Kary B. Mullis. Metode PCR tersebut sangat sensitif. Sensitivitas tersebut

menjadikan PCR dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA.

Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan gen-gen berkopi tunggal

dari sekelompok sekuan genom (Mullis dan Faloona, 1989). Kelebihan lain

metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan dengan menggunakan

komponen dalam jumlah sangat sedikit (Yuwono T, 2006).

Empat komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan,

(26)

commit to user

yaitu sepasang DNA utas tunggal atau sekuen oligonukleotida pendek (15 – 25

basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3)

deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP,

dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi

sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah buffer.

Primer dirancang untuk memiliki sekuen yang komplemen dengan

DNA template, jadi dirancang agar menempel mengapit daerah tertentu yang

diinginkan (Yepyhardi, 2009). Primer – primer yang digunakan (primer sense

dan primer antisense) sebaiknya mempunyai nilai Tm (melting temperatur)

yang serupa. Tm adalah suhu pada saat setengah dari molekul DNA

mengalami denaturasi. Nilai Tm oligonukleotida dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Tm = 20C x (A+T) + 40C x (G+C) (Yuwono, 2006).

Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan

denaturasi DNA template sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double

stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi

DNA dilakukan dengan menggunakan panas (950C) selama 1-2 menit,

kemudian suhu diturunkan menjadi 550C sehingga primer akan menempel

(annealing) pada cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Primer

akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang

komplementer dengan sekuen primer. Amplifikasi akan lebih efisien jika

dilakukan pada suhu yang lebih rendah (370C), tetapi biasanya akan terjadi

mispriming yaitu penempelan primer pada tempat yang salah. Pada suhu yang

(27)

commit to user

secara keseluruhan efisiensinya akan menurun.

Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang

mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai DNA cetakan pada

ujung 5’-fosfat, dan oligonukleotida yang kedua identik dengan sekuen pada

ujung 3’-OH rantai DNA cetakan yang lain. Proses annealing biasanya

dilakukan selama 1–2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida

primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 720C selama

1,5 menit. Pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi

rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan.

Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan

hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan

adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru

hasil polimerasi selanjutnya akan di denaturasi lagi dengan menaikkan suhu

inkubasi menjadi 950C. Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan

berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya.

(28)

commit to user

Reaksi – reaksi seperti yang sudah dijelaskan tersebut diulangi lagi

sampai 25 – 30 siklus sehingga pada akhir siklus akan didapatkan molekul –

molekul DNA rantai ganda yang baru hasil polimerasi dalam jumlah yang jauh

lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang digunakan.

Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi DNA target di

dalam campuran reaksi. Paling sedikit, diperlukan 25 siklus untuk

melipatgandakan satu kopi sekuen DNA target di dalam DNA genom mamalia

agar hasilnya dapat di lihat secara langsung, misalnya dengan elektroforesis

gel agarose (Sambrook et al., 1989).

5. DNA Mikrosatelit

Salah satu penanda molekuler yang sangat populer dewasa ini adalah

mikrosatelit. Mikrosatelit adalah runutan DNA pendek berulang 2 sampai 6

basa nukleotida dan dapat berulang 10-100 kali, runutan yang paling banyak

ditemukan pada mamalia adalah (dC-dA)n dan (dT-dG) n (Moore et al.,

1991). Mikrosatelit merupakan salah satu penanda genetik yang sudah

diaplikasikan secara meluas dalam bidang peternakan. Selain untuk uji test

keturunan, dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah sifat dengan

nilai ekonomi tinggi dikarenakan DNA mikrosatelit sangat polimorfik dan

terdapat banyak dalam DNA genom (Bawden dan Nicholas, 1999).

Mikrosatelit (SSR = simple sequence repeat) merupakan salah satu

marka molekuler yang berupa urutan di-nukleotida sampai tetra-nukleotida

yang berulang dan berurutan. Mikrosatelit merupakan marka genetik yang

(29)

commit to user

tingkat tinggi, serta mudah dan tidak terlalu mahal untuk dianalisis dengan

menggunakan PCR (Muljopawiro, 2007).

Aplikasi penanda genetik molekuler untuk seleksi dan pemuliaan dapat

meningkatkan mutu genetik ternak (Bawden dan Nicholas, 1999). Mikrosatelit

merupakan penanda genetik yang sering digunakan untuk mempelajari sistem

perkawinan dan struktur populasi (Steffen et al., 1993), pautan (linkage),

pemetaan kromoson, dan analisa populasi (Silva et al., 1999). Mikrosatelit

banyak digunakan oleh peneliti sebagai marka karena keberadaanya

melimpah, bersifat kodominan dan sangat polimorfik (Bennett, 2000). Berikut

hasil penelitian terdahulu mengenai amplifikasi DNA mikrosatelit sapi dengan

primer ILSTS068, yang identik dengan kerbau :

Gambar 4. Urutan nukleotida sapi marker mikrosatelit (ILSTS068) dan identik dengan kerbau. garis tebal menunjukkan urutan primer (Navani et al, 2002). Marka mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan

(30)

commit to user

meliputi seluruh genom, terutama pada organisme eukariotik. Pasangan primer

mikrosatelit (forward dan reverse) diamplifikasi dengan PCR berdasarkan

hasil konservasi daerah yang diapit (flanking-region) marka untuk suatu gen

pada kromosom. Menurut Powell et al. (1996), beberapa pertimbangan untuk

penggunaan marka mikrosatelit dalam studi genetik di antaranya (1) marka

terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat

tinggi (banyak alel dalam lokus), sifatnya kodominan dan lokasi genom dapat

diketahui; (2) merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan

ketepatan yang sangat tinggi; (3) merupakan alat bantu yang sangat akurat

untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi

genotip untuk karakter yang diinginkan; (4) studi genetik populasi dan analisis

diversitas genetik. Kelemahan teknik ini adalah marka SSR tidak tersedia pada

semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer baru membutuhkan

waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal.

Beberapa laporan menunjukkan adanya asosiasi yang signifikan antara

lokus mikrosatelit dengan sifat kuantitatif seperti sifat produksi susu

(Kantanen et al., 2000), lemak karkas (Fitzsimmons et al., 1998), perbedaan

tingkat fertilitas (Oliveira et al., 2002) dan efisiensi reproduksi (João et al.,

(31)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Penelitian tentang variasi genetik terhadap sapi pedaging di Indonesia

terutama sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh belum banyak dilakukan.

Berawal dari penelitian mengenai diversitas genetik pada sapi Bali dari Sumbawa

dan sapi Aceh, maka akan dapat dilakukan suatu penelitian lebih lanjut dengan

tujuan untuk pemuliaan, konservasi maupun peningkatan produksi daging pada

sapi pedaging.

Gambar 5. Alur kerangka pemikiran Sapi Bali dari Sumbawa dan Sapi Aceh

Teknik PCR-Mikrosatelit

Diversitas genetik

Pemuliaan Sapi

Seleksi buatan Perkawinan silang

(32)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Universitas Sebelas Maret

Surakarta dan Laboratorium Biologi MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 sampai Januari 2011.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel darah sapi

Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh. Pengambilan sampel darah sapi Bali dari

Sumbawa di Kecamatan Marongge, Kabupaten Sumbawa, sedangkan

pengambilan sampel darah sapi Aceh di BPTU (Balai Pembibitan Ternak

Unggul) Sapi Aceh Indrapuri – Nanggroe Aceh Darussalam. Masing-masing

sampel darah sebanyak 20 individu yang disimpan dalam venoject berisi

EDTA.

Bahan kimia yang digunakan untuk penelitian dibagi dalam beberapa

bagian sesuai tahapan penelitian, yaitu:

 Ekstraksi DNA yaitu: Wizard Genomic DNA Purification Kit dari Promega

(cell lysis solution, nuclei lysis solution, protein presipitation solution,

DNA rehydration), isopropanol, etanol 70%, sampel darah Sapi Bali dari

(33)

commit to user

 Uji Kuantitas DNA yaitu: DNA hasil lisis dan aquades sebagai blangko.

 Uji kualitas DNA yaitu: DNA hasil lisis, ultra pure DNA Grade agarose

1% dari Bio Rad, 1X TAE buffer (Tris Acetic Acid), blue loading dye dan

ethidium bromida.

 PCR MIX yaitu: Go Tag Green master mix (Promega, USA), Nuclease

Free Water dari Ambion, 5 primer mikrosatelit (BM1824, ETH225,

INRA005, MM12, dan TGLA227) dari SIGMA, DNA hasil lisis

diencerkan 10X.

 Analisis Mikrosatelit yaitu: 10X TBE buffer (Tris Borate), 10% APS

(Ammonium Peroxodisulfate Solution), N,N,N',N' Tetramethylethylene -

diamine (TEMED), aquades steril, Blue loading dye, acrylamid:bis (19:1)

30%, Urea, 100 - 1500 base pare DNA Moleculare Weight Marker, buffer

TBE 1X dan ethidium bromida (EtBr).

2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifuge Hettich

Mikro 22R (Jerman), satu set micropipet (ukuran 10 , 200 , 1.000 ),

satu set tips (10 , 200 , 1.000 , tabung mikro 1,5 ml (Axygen), tabung

mikro 0,6 ml, satu set alat elektroforesis horisontal dan power supply (Bio

Rad), satu set alat elektroforesis vertikal dan power supply (Bio Rad),

microwave, inkubator, waterbath (Julabo), Gene Amplification PCR system

9700 Thermo Cycler (Applied Biosystem), Autoclave (Ogawa Saiki Co.),

Erlenmeyer, gelas ukur, tabung venoject, vortex mixer (Gemmy Industrial

(34)

commit to user

elektrik (Denver Instrumen), UV transluminator , kamera digital dan geldoc

(Vilber Lourmat).

C. Cara Kerja

1. Pengambilan Sampel Darah

Sampel darah diambil sebanyak 3 ml dari masing – masing individu

(20 individu sapi Bali dari Sumbawa dan 20 individu sapi Aceh) secara

venopuncture menggunakan venoject dengan ukuran 10 ml yang berisi EDTA

untuk mencegah terjadinya pembekuan darah . Darah disimpan pada suhu

-200C untuk digunakan langsung dalam penelitian ini dan sebagai referensi di

kemudian hari.

2. Ekstraksi DNA

DNA diekstrak dari total darah dengan menggunakan teknik Wizard

Genomic Purification System tahun 2010 (Promega, Madison USA). DNA

diekstrak langsung dari total darah. Sebanyak 300 mikroliter total darah

dimasukkan kedalam 1,5 tabung mikrosentrifuse yang steril dan berisi 450

larutan pelisis sel (cell lysis solution), dicampur dan diinkubasi pada suhu

kamar selama 10 menit untuk melisis sel darah merah yang mungkin masih

tercampur. Sel darah putih kemudian di sentrifugasi pada kecepatan 14.000g

(gravitasi) selama 20 detik untuk memperoleh endapan sel darah putih.

Supernatan (bening bagian atas) yang terbentuk diambil dan dibuang,

kemudian tabung mikrosentrifuse yang berisi endapan sel darah putih divortek

selama 3–5 menit agar sel–sel darah putih memisah secara sempurna.

(35)

commit to user

mikrosentrifuse yang berisi suspensi tersebut, kemudian dicampur dengan

menggunakan pipet sebanyak 5 – 6 kali untuk melisis sel–sel darah putih.

Kemudian di inkubasi selama 15 menit pada suhu 370C. Setelah itu sampel

didinginkan pada suhu kamar selama 5 menit, yang dilanjutkan dengan

penambahan 60 protein precipitation solution untuk membentuk precipitat

protein kedalam lisat, kemudian dihomogenkan dengan vortek selama 10 – 20

detik dan disentrifugasi pada 14.000g selama 3 menit untuk membentuk

endapan protein.

Supernatan diambil dan dipindahkan kedalam tabung mikrosentrifuse

steril yang baru yang sebelumnya telah diisi dengan 150 isopropanol.

Campuran yang diperoleh dicampur dengan sempurna dengan membolak –

balikkan tabung mikrosentrifuse sampai terbentuknya materi seperti benang

berwarna putih. DNA kemudian disentrifugasi pada kecepatan 14.000g selama

1 menit pada suhu kamar. Supernatan dibuang kemudian ditambah 300

ethanol 70% dan tabung yang berisi larutan DNA dan ethanol ini dibolak–

balik untuk mencuci endapan DNA dan juga sisi–sisi tabung mikrosentrifuse.

DNA kemudian diendapkan dengan sentrifugasi pada kecepatan 14.000g

selama 1 menit. Ethanol diambil dengan hati-hati, kemudian tabung

mikrosentrifuse dibalik dan dibiarkan dibuka untuk mengeringkan DNA.

Setelah kering, 100 larutan DNA rehydration solution ditambahkan

kedalam tabung dan DNA direhidrasi dengan cara inkubasi pada waterbath

(36)

commit to user

suhu 2- 80C sampai penggunaan berikutnya (Certificate of Analysis; WizardTM

Genomic DNA Purification System, Promega Corporation, 2010).

3. Uji Kualitas dan Kuantitas DNA

DNA yang diperoleh dari hasil ekstraksi di uji kualitas dan

kuantitasnya. Uji kualitas DNA dilakukan dengan elektroforesis horisontal

menggunakan gel agarose 1% dalam buffer TAE (Tris-EDTA). Uji dilakukan

dengan mencampur 5 DNA yang akan dicek dan 2 loading dye. 1% gel

agarose dibuat dengan melarutkan 0,48 mg serbuk agarose dalam 48 ml 1 x

buffer TAE (Tris-EDTA) . Selanjutnya campuran buffer tersebut dipanaskan

dalam microwave pada suhu sedang (medium) selama 2 menit. Setelah itu

Erlenmeyer dikeluarkan dari microwave dan ditunggu sampai suhu turun

menjadi suhu kamar (hangat), selanjutnya larutan gel agarose dituangkan ke

dalam cetakan yang sebelumnya telah dipasangi sisir dan ditunggu hingga gel

mengeras. Setelah gel mengeras sisir diangkat dengan hati-hati untuk

menghindari rusaknya gel agarose, maka akan terbentuk sumuran – sumuran

kecil. Selanjutnya gel dimasukkan ke dalam tangki yang berisi 1X buffer TAE

(Tris-EDTA) sampai terendam, kemudian sampel (DNA dan Loading dye) di

masukkan ke dalam sumuran-sumuran kecil pada gel agarose. Proses

elektroforesis berlangsung selama 30 menit pada 85 volt, setelah proses selesai

gel agarose direndam dalam ethidium bromida. Ethidium bromida dibuat

dengan mencampurkan 2 tetes EtBr yang dilarutkan dengan 100 ml aquades.

(37)

commit to user

kemudian difoto dengan menggunakan kamera digital. Apabila terdeteksi

adanya pita berarti ekstraksi DNA dari sampel berhasil.

Uji kuantitas DNA dilakukan dengan metode spektrofotometri pada

panjang gelombang 260 nm. Menurut formula yang digunakan dalam

perhitungan menggunakan alat RNA/DNA kalkulator menyatakan bahwa

absorbansi A260 1,0 sesuai untuk 50 µg/mL DNA murni untai ganda, maka

kadar DNA sampel dapat dicari melalui perhitungan

berikut :

X(µg/mL) =

Keterangan :

X : kadar DNA yang dicari

A260 : absorbansi sampel DNA pada panjang gelombang 260 nm

DNA dikatakan murni jika rasio kedua nilai tersebut berkisar antara 1,8 – 2,0.

Jika nilai rasio lebih kecil dari 1,8 maka masih ada kontaminasi protein

didalam larutan (Ratnayani K et al, 2009).

4. Amplifikasi DNA mikrosatelitdengan Polymerase Chain Reaction (PCR)

DNA yang diperoleh langsung digunakan untuk reaksi PCR yang

dilakukan dalam mesin PCR (Applied Biosystem). Fragmen DNA

diamplifikasi dengan PCR menggunakan primer berturut-turut ETH225,

TGLA227, INRA005, BM1824 dan MM12.

Berikut sekuen nukleotida dari masing-masing primer yang akan

(38)

commit to user

Tabel 1. Sekuen nukleotida primer mikrosatelit

Marker Sekuen primer Letak

kromosom

oligonukleotida primer (primer forward dan reserve), 6 l Go Taq Green dan

5 l nuclease free water dalam 0,6 ml tabung effendorf. Kondisi reaksi

amplifikasi PCR amplifikasi DNA sebagai berikut: satu tahap reaksi

denaturasi awal pada suhu 950C selama 5 menit, diikuti dengan 30 siklus

amplifikasi yang masing-masing siklus terdiri dari: denaturasi pada suhu 950C

selama 60 detik, annealing dengan suhu berdasarkan Tm primer selama 60

detik, dan exstention pada suhu 720C selama 1 menit; diikuti dengan satu

(39)

commit to user

5. Analisis produk PCR dan deteksi alel DNA

Hasil amplifikasi dengan PCR difraksinasi dengan elektroforesis gel

poliakrilamid 12% yang dilanjutkan dengan pewarnaan dengan ethidium

bromida. Berdasarkan Qiagen Supplemantary Ptotocol Gel Poliakrilamid 12%

dibuat dengan cara mencampurkan bahan-bahan berikut : 7,2 gram urea,

buffer TBE 10X 1,5 ml dan 5,4 ml 30% akrilamid : bis akrilamid (19 : 1) pada

erlenmeyer, selanjutnya ditambahkan dengan aquabides sampai 15 ml.

Selanjutnya larutan dipanaskan dalam microwave selama 9 detik dengan

power level tinggi sampai seluruh larutan terlarut dengan sempurna. Setelah

larutan tercampur sempurna kemudian ditambahkan 75 µ l 10% ammonium

persulfat (APS) kemudian ditambahkan dengan segera 7,5 µ l N,N,N’,N’

Tetramethylethylenediamine (TEMED) dan tetap diaduk perlahan. Setelah

penambahan APS dan TEMED, larutan poliakrilamid 12% segera dituangkan

kedalam cetakan agar larutan tidak mengalami polimerisasi. Untuk resep

dengan volume 15 ml digunakan cetakan dengan ukuran 7x10 cm.

Tahap selanjutnya adalah persiapan sampel. Denaturasi sampel

dilakukan pada suhu 950C selama 2 menit dan dilanjutkan dengan

memasukkan dalam pecahan es. Selanjutnya gel dipasang pada alat dan

dilanjutkan dengan memasukkan sampel hasil PCR dan marker ke dalam

sumuran. Harus dipastikan bahwa dalam tahapan ini tidak lebih dari 20 menit

supaya sampel tetap berada pada keadaan dingin. Selanjutnya power supply

dinyalakan dan diatur pada 120 volt dan 400 miliamper. Running dilakukan

(40)

commit to user

mencapai daerah munculnya pita maka running dapat dihentikan dan tangki

elektroforesis dapat dikosongkan dari buffer. Selanjutnya pindahkan gel

perlahan-lahan dari plate dan siap dilakukan pewarnaan dengan ethidium

bromide. Gel poliakrilamid direndam dalam ethidium bromida selama 15

menit. Ethidium bromida dibuat dengan mencampurkan 1 µl EtBr yang

dilarutkan dengan 100 ml aquades.

Elektroforesis gel poliakrilamid mampu memisahkan DNA lebih

sempurna dengan jumlah sampel yang dibutuhkan lebih sedikit (Allen et al.,

1984). Hasil pemisahan fragmen DNA dideteksi dengan geldoc. Pita hasil

amplifikasi kemudian dicatat dan diberi nilai. Setiap pita DNA yang muncul

dibandingkan ke marker untuk mengetahui panjangnya. Satu posisi migrasi

yang sama dianggap sebagai satu tipe atau alel.

D. Analisis Data

Analisis data molekuler dilakukan berdasarkan hasil skoring pita DNA

yang muncul pada plate. Skoring dilakukan dengan cara: pita yang paling bawah

diberi sandi A dan selanjutnya B, C, dan seterusnya sampai pita paling atas.

Keragaman genotipe tiap-tiap individu dapat ditentukan dari pita-pita DNA yang

ditemukan. Masing-masing sampel dibandingkan berdasarkan ukuran (marker)

yang sama dan dihitung frekuansi alelnya. Frekuensi alel dihitung berdasarkan

rumus Nei (1987) :

Dimana : Xi = frekuensi alel ke-i

nij = jumlah individu yang bergenotipe ii

(41)

commit to user

n

PIC = 1 -

∑ Pij

2

j=1

nii = jumlah individu yang bergenotipe ij

n = jumlah sampel

Derajat heterozigositas (ĥ) dihitung berdasarkan frekuensi alel pada tiap lokus

DNA dengan rumus Nei (1987) :

Keterangan :

Xi = frekuensi alel

ĥ = nilai heterozigositas lokus

Tingkat polimorfisme (PIC = Polimorphism Information Content) dari

primer yang digunakan dihitung untuk masing-masing marka SSR (Botstein et al,

1980) dengan formula:

dimana ij merupakan frekuensi alel i dan j.

Untuk jumlah alel, frekuensi alel, Effective number of alleles, derajat

homozigositas, dan derajat heterozigositas antara sapi Bali - Sumbawa dan sapi

Aceh dapat dianalisis dengan menggunakan program POPGENE version 1.31 (Yeh

dan Yang, 1999).

(42)

commit to user

Skema cara kerja dalam penelitian ini tergambar dari bagan di bawah ini :

Gambar 5: Bagan alir kerangka kerja. Skoring Pita DNA

(Nei, 1987) Deteksi alel (Gel Doc) Uji Kualitas DNA Uji Kuantitas DNA

(Spectrofotometri)

Ekstraksi DNA

(Wizard Genomic Purification Kit, (Promega, USA))

Cek DNA (Elektroforesis Gel

Agarose 1%) )

Amplifikasi DNA

Mikrosatelit dengan PCR

Analisis Produk PCR

(Elektroforesis Gel Polyacrylamid 12%)

Analisis Data Pengambilan Sampel

(43)

commit to user BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Diversitas Genetik Intra Spesies

Polimorfisme dari kedua genom spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi

Aceh ditetapkan dari hasil amplifikasi DNA dengan primer pengapit mikrosatelit

yang diseparasi dengan elektroforesis gel poliakrilamid dan dilanjutkan dengan

teknik pewarnaan ethidium bromide. Elektroforesis gel poliakrilamid mampu

memisahkan DNA lebih sempurna dengan jumlah sampel yang dibutuhkan lebih

sedikit (Allen et al., 1984). Adapun untuk menentukan jumlah alel dilakukan

sesuai petunjuk Leung et al (1993) dengan asumsi bahwa semua pita DNA dengan

laju migrasi yang sama, diasumsikan sebagai lokus yang homolog. Pada studi ini,

dilakukan terhadap dua populasi sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh

berdasarkan 5 lokus mikrosatelit (TGLA227, ETH225, BM1824, INRA005 dan

MM12). Semua lokus mikrosatelit yang dipergunakan berhasil teramplifikasi.

Dalam penentuan jenis alel, meskipun setiap lokus menunjukkan jenis alel yang

sama (misal alel A pada mikrosatelit ETH225 dengan INRA 005), alel tersebut

sebenarnya berbeda karena masing-masing lokus mikrosatelit mencirikan genotip

berbeda. Jadi, dalam hal ini alel A pada mikrosatelit ETH225 berbeda dengan alel

A pada mikrosatelit INRA005 demikian seterusnya. Akan tetapi, untuk antar

spesies maka ketentuan alel berlaku sama, artinya alel A dengan ukuran tertentu

dari mikrosatelit ETH225 yang terdapat pada spesies sapi Bali dari Sumbawa

(44)

commit to user

ditunjukkan contoh hasil amplifikasi mikrosatelit dengan primer pengapitnya pada

salah satu spesies sapi (sapi Bali dari Sumbawa).

Gambar 5. Hasil PCR dengan primer mikrosatelit ETH225 pada genom spesies sapi Bali dari Sumbawa individu no 1-9 secara berurutan bergenotipe AC, AC, AC, AC, AC, AC, AA, AB, dan AB

Keragaman genotipe dari setiap lokus pada dasarnya mencerminkan

polimorfisme alel dari setiap lokus yang bersesuaian. Pengukuran keragaman

genetik 40 sampel spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh dengan

menggunakan 5 lokus mikrosatelit, menunjukkan semua lokus pada spesies

sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh adalah polimorfik, sedangkan lokus

BM1824 dan INRA005 pada sapi Bali dari Sumbawa dan lokus TGLA227 pada

sapi Aceh adalah monomorfik (satu alel). Setiap lokus mempunyai genotip dari

satu sampai tiga macam. Lokus yang mempunyai tiga macam genotip adalah

lokus ETH225 dan MM12 pada sapi Bali dari Sumbawa, lokus BM1824,

INRA005 dan MM12 pada sapi Aceh. Sedangkan lokus yang hanya mempunyai

satu macam genotip adalah lokus BM1824 dan INRA005 pada sapi Bali dari

(45)

commit to user

macam genotip adalah lokus TGLA227 pada sapi Bali dari Sumbawa, lokus

ETH225 pada sapi Aceh. Dilihat dari macam genotip yang dihasilkan, setiap lokus

mempunyai jumlah alel bervariasi antara satu sampai tiga alel. Jumlah alel

sebagian besar lokus adalah tiga alel. Jumlah alel terendah terdapat pada lokus

BM1824 dan INRA005 pada sapi Bali dari Sumbawa serta lokus TGLA227 pada

sapi Aceh.

Table 2. keragaman alel mikrosatelit tiap individu pada setiap lokus mikrosatelit yang dianalisis

Hasil amplifikasi PCR terhadap DNA mikrosatelit menunjukkan bahwa

jumlah alel bervariasi antara 1 sampai 3. Jumlah alel dan frekuensi alel yang

terdeteksi untuk setiap lokus pada sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh

(46)

commit to user

Table 3. Jumlah dan frekuensi alel intra spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatelit

lokus Sapi Bali dari Sumbawa Sapi Aceh

na f na f

Keterangan : Na.: Observed number of alleles ; f = Allele Frequency

Frekuensi alel adalah proporsi alel yang ada dalam suatu populasi (Hartl,

1988). Masing-masing lokus memiliki alel dengan jumlah berbeda-beda. Pada

sapi Bali dari Sumbawa untuk lokus TGLA227 terdapat 2 alel dengan frekuensi

alel A (0,53) dan alel B (0,47). Pada lokus ETH225 terdapat 3 alel dengan

frekuensi dari yang tertinggi alel A (0,75), C (0,15) dan yang terendah B (0,10).

lokus BM1824 dan INRA005 hanya mempunyai 1 alel dengan frekuensi alel A

(1,00) dalam keadaan homozigot. Lokus MM12 memiliki 3 alel dengan

masing-masing frekuensi alel A (0,53), B (0,42), dan C (0,05). Secara keseluruhan jumlah

alel yang terdeteksi pada sapi Bali dari Sumbawa berkisar antara 1 - 3 dengan

rata- rata 2. Frekuensi alel tertentu yang lebih besar atau sama dengan 0,95,

maka alel tersebut digolongkan monomorfik (Hartl, 1988). Dari kelima lokus

tersebut terdapat dua lokus yang monomorfik yaitu lokus BM1824 dan INRA005

dengan frekuensi alel 1,00. Pada sapi Aceh untuk lokus TGLA227 hanya memiliki

(47)

commit to user

dan MM12 masing- masing terdapat 3 alel tetapi terdapat perbedaan frekuensi.

Lokus ETH225 dengan frekuensi alel dari yang tertinggi alel A (0,50), B (0,40)

dan terendah alel C (0,10). Lokus BM1824 dengan frekuensi alel masing-masing

A (0,68), B (0,12), dan C (0,20). Lokus INRA005 dengan frekuensi alel

masing-masing A (0,58), B (0,20), dan C (0,22). Lokus MM12 dengan frekuensi alel

masing-masing A (0,17), B (0,27), dan C (0,55). Secara keseluruhan jumlah alel

yang terdeteksi pada sapi Aceh berkisar antara 1 - 3 dengan rata-rata 2,6. Namun

jumlah alel yang terdeteksi pada sapi Aceh lebih banyak dibanding pada sapi Bali

dari Sumbawa, untuk lokus yang monomorfik hanya pada lokus TGLA227.

Hasil pada studi ini berbeda dengan hasil penelitian terdahulu, pada sapi

Bali untuk lokus INRA005 terdapat 2 alel, ETH225 4 alel dan BM1824 5 alel,

sedangkan pada sapi Aceh untuk lokus INRA005 terdapat 6 alel, ETH225 12 alel

dan BM1824 7 alel (Abdullah et al., 2008). Pada sapi Hariana dan Hissar untuk

lokus TGLA227 5 alel, MM12 3 alel (Rehman dan Khan, 2009). Rendahnya

jumlah alel yang terdeteksi pada penelitian ini mungkin disebabkan antara setiap

individu pada populasi sampel yang digunakan masih ada hubungan kekerabatan

yang dekat.

Analisis sederhana untuk mengetahui diversitas genetik intra spesies sapi

bali dari Sumbawa dan sapi Aceh dapat dilakukan dengan menghitung nilai

jumlah alel, frekuensi alel, Effective number of alleles, homozigositas,

heterozigositas, Shannon's Information index dan PIC pada ke 5 lokus pada kedua

populasi tersebut. Beberapa parameter diversitas genetik pada spesies sapi Bali

(48)

commit to user

Tabel 4. Parameter keragaman genetik intra spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatelit. Keterangan: Ne.: Effective number of alleles [Kimura and Crow (1964)]; I.: Shannon's Information index [Lewontin (1972)]; Ho.: Observed Homozigocity; He.: Observed Heterozigocity,. PIC.: Polymorphism Information Content.

Effective number of alleles (Ne) merupakan perkiraan jumlah alel dengan

menyesuaikan frekuensinya pada nilai PIC. Ne terendah yaitu 1,00 pada spesies

Bali dari Sumbawa (BM1824; INRA005) dan Aceh (TGLA227) sedangkan nilai

tertinggi terdapat pada spesies Aceh yaitu sebesar 2,45 (MM12). Nilai Ne rata-rata

yaitu sebesar 1,57 untuk spesies Sapi Bali dari Sumbawa dan 2,03 untuk Sapi

Aceh. Nilai Ne rata-rata yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dari nilai

Ne rata-rata pada Sapi Hariana dan Sapi Hissar yang secara berturut-turut 2,87

dan 2,89 yang diteliti oleh Rehman dan Khan tahun 2009. Penelitian Pandey et al

(2006) pada Sapi Kherigarh dari India memiliki nilai Ne rata-rata sebesar 3,77.

Nilai effective number of alleles secara keseluruhan lebih kecil dibandingkan nilai

observed number of alleles (Ne < Na) adalah karena terjadi fluktuasi jumlah

populasi pada masa lalu. Juga terdapat kontribusi dari mutasi (delesi) yang terjadi

pada populasi yang diakibatkan oleh mutasi-keseimbangan seleksi (Crow dan

(49)

commit to user

hewan berhubungan dengan variabilitas genetik yang diperlukan untuk

memperkirakan nilai koefisien inbreeding. Karena peningkatan koefisien

inbreeding untuk satu generasi F dapat diperkirakan dari nilai Ne (F=1/2 Ne) .

Untuk mengetahui ukuran diversitas gen dapat dilihat berdasarkan

Shannon's Information index. Pada spesies sapi Bali dari Sumbawa, nilai

Shannon's Information index terbesar terdapat pada lokus MM12 (0,85)

sedangkan yang terendah terdapat pada lokus BM1824 dan INRA005 (0).

Rata-rata nilai Shannon's Information index pada sapi bali dari Sumbawa adalah 0,45.

Sedangkan pada sapi Aceh nilai Shannon's Information index terbesar terdapat

pada lokus MM12 (0,99) sedangkan yang terendah terdapat pada lokus TGLA227

(0). Rata-rata nilai Shannon's Information index pada sapi Aceh adalah 0,75. Nilai

I pada penelitian ini jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan penelitian

Pandey et al (2006) terhadap sapi Kherigarh di India, memiliki nilai I sebesar

1,46.

Analisis sederhana untuk mengetahui heterozigositas genetik dari spesies

sapi Bali-Sumbawa dapat dilakukan dengan menghitung heterozigositas pada ke 5

lokus yang kemudian didapatkan pula nilai tengah atau rata-rata heterozigositas

populasi tersebut. Nilai heterozigositas tiap lokus pada spesies sapi Bali dari

Sumbawa sangat bervariasi yaitu antara 0 sampai 1. Pada spesies sapi Bali dari

Sumbawa nilai heterozigositas terbesar terdapat pada lokus TGLA227 (He= 0.95),

sedangkan yang tidak menunjukkan adanya heterozigositas terdapat pada lokus

BM1824 dan INRA005 (He= 0). Hal ini berbanding terbalik dengan nilai

(50)

commit to user

Bali dari Sumbawa adalah pada lokus BM1824 dan INRA005 (Ho= 1,00),

sedangkan yang terendah terdapat pada lokus TGLA227 (Ho=0,05). Rata-rata

nilai heterozigositas pada sapi Bali dari Sumbawa adalah 0,46, sedangkan

rata-rata homozigositasnya adalah 0,54 . Gambaran nilai heterozigositas lebih rendah

daripada nilai homozigositas (He < 50%) yang masih ditemukan pada populasi

sampel sapi Bali dari Sumbawa berdasarkan marker mikrosatelit ini dapat

mengindikasikan bahwa bangsa sapi Bali dari Sumbawa diduga mengalami

seleksi ke arah peningkatan silang dalam (inbreeding), dan ada kecenderungan

pula menurunnya beberapa karakter fenotipik dibandingkan sebelumnya.

Nilai heterozigositas tiap lokus pada spesies sapi Aceh berbeda dengan

nilai heterozigositas pada spesies sapi Bali dari Sumbawa, pada sapi Aceh untuk

nilai heterozigositas terbesar terdapat pada lokus ETH225 (He= 1) ), sedangkan

yang terendah terdapat pada lokus TGLA227 (He= 0). Rata-rata nilai

heterozigositas pada sapi Aceh adalah 0,68, sedangkan rata-rata nilai

homozigositas pada sapi Aceh adalah 0,32. Nilai heterozigositas pada penelitian

ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Abdullah et al. (2008) dengan

menggunakan 16 lokus mikrosatelit, rata-rata heterozigositas sapi Aceh He (0,62)

dan sapi Bali He (0,49). Rehman dan Khan (2009) melaporkan rata-rata

heterozigositas pada Sapi Hariana 0,51 dan and sapi Hissar 0,47 sedangkan pada

sapi Kherigarh 0,574 (Pandey et al., 2006).

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa heterozigositas pada sapi Aceh

cukup tinggi. Laju heterozigositas yang tinggi diakibatkan oleh adanya silang luar

(51)

commit to user

(2008), menjelaskan bahwa out breeding berpengaruh dalam meningkatkan

proporsi gen-gen yang heterozigot (individu yang genotipnya memiliki dua gen/

alel yang berbeda) dan menurunkan proporsi gen yang homozigot (individu yang

genotipnya memiliki dua gen/ alel yang sama). Faktor-faktor yang mempengaruhi

tingginya heterozigot antara lain overdominan (heterosis positif), perbedaan

frekuensi gen antara jantan dan betina, perkawinan yang tidak terpilih atau

assortative mating (Baker, 1994). Kemungkinan lain adalah ada aliran gen dari

bangsa-bangsa sapi lain yang masuk ke dalam populasi sapi Aceh karena

program inseminasi buatan yang diterapkan di Aceh telah menimbulkan

segregasi gen-gen sapi lain yang beragam dan meluas dalam populasi sapi Aceh

dan dapat juga karena belum ada seleksi yang dilakukan. Menurut Muladno

(2006), DNA mikrosatelit memiliki laju perubahan basa nukleotida tinggi yang

disebabkan adanya perubahan jumlah ulangan dari urutan basa bergandengan

mencapai 10-3/gamet/generasi. Laju perubahan mikrosatelit dipengaruhi oleh

motifnya. Mikrosatelit dengan motif dinukleotida memiliki laju mutasi 1,5-2 kali

lebih cepat dibandingkan dengan motif tetra-nukleotida.

Frekuensi alel digunakan pula untuk menentukan nilai PIC, yaitu suatu

nilai yang dapat digunakan sebagai penentu derajat informasi tingkat polimorfik

dari suatu marker yang digunakan (Botstein et al., 1980). Berdasarkan kriteria

Botstein et al nilai PIC yang terletak antara (0,25 < PIC < 0,5) dikategorikan

sebagai lokus yang cukup informatif, sedangkan PIC > 0,5 sangat informatif

untuk analisis genetika populasi. Pada penelitian ini nilai Polymorphic

(52)

commit to user

lokus TGLA227 sebesar 0,50, lokus ETH225 sebesar 0,41, lokus BM1824 sebesar

0, lokus INRA005 sebesar 0, dan untuk lokus MM12 sebesar 0,54. Pada Sapi

Aceh untuk lokus TGLA227 sebesar 0, lokus ETH225 sebesar 0,58, lokus

BM1824 sebesar 0,48, lokus INRA005 sebesar 0,57 dan pada lokus MM12

sebesar 0,59. Pada spesies sapi Bali dari Sumbawa terdapat dua lokus yang tidak

menunjukkan adanya polimorfik yaitu lokus BM1824 dan INRA005 dengan nilai

PIC 0, namun berbeda pada spesies sapi Aceh untuk kedua lokus tersebut

menunjukkan adanya polimorfik. Lokus TGLA227 pada spesies sapi Aceh yang

tidak menunjukkan adanya polimorfik, namun polimorfik pada spesies sapi Bali

dari Sumbawa. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda dengan hasil

penelitian Zhou et al. (2005) terhadap lokus mikrosatelit yang sama pada lima

jenis ternak lokal di Cina yaitu ETH225, BM1824, TGLA227 pada penelitian

yang dilakukan Zhou et al. (2005) lokus ETH225, BM1824 dan TGLA227

ketiganya memiliki nilai PIC > 0,50. Penelitian yang dilakukan oleh Pandey et al.

(2006), terhadap sapi Kherigarh di India menyebutkan bahwa nilai PIC untuk

lokus INRA005 dan ETH225 > 0,50. Penelitian yang dilakukan Sodhi et al.

(2006), terhadap Sapi Zebu di India menyebutkan hal yang sebaliknya, yaitu

bahwa nilai PIC untuk lokus ETH225 < 0,50. Berdasarkan perbedaan data-data

tersebut maka dapat disimpulkan bahwa lokus mikrosatelit yang sama memiliki

optimasi kerja yang berbeda untuk jenis ternak yang berbeda.

Adapun rata-rata polimorfisme alel yang rendah pada sapi lokal spesies

sapi Bali dari Sumbawa 0,29 dan sapi Aceh 0,44 dalam studi ini kemungkinan

(53)

commit to user

yang diduga masih belum maksimal mewakili populasi yang ada serta memiliki

diversitas letak geografis yang sangat jauh sehingga memungkinkan terjadinya

keragaman genetik akibat proses seleksi. Menurut Meadows et al. (2006), hal ini

disebabkan adanya beberapa faktor potensial, diantaranya faktor seleksi, sistem

perkawinan, atau pola migrasi, serta mekanisme lain yang berakibat pada

rendahnya jumlah alel efektif untuk ukuran populasi.

Hal lain adalah budaya masyarakat setempat, yang sangat membatasi

ternak jantannya digunakan sebagai sumber genetik sehingga penggunaan

pejantan sangat terbatas. Hal ini dimungkinkan karena selama ini peternak cukup

protektif terhadap perkawinan silang sehingga sumbangan keragaman genetik

dari luar cukup rendah. Namun, juga tidak diikuti dengan transfer atau

perpindahan pejantan dari breed yang sama antar peternak yang secara geografis

letaknya cukup jauh, sehingga memungkinkan terjadinya pemanfaatan antar

pejantan. Kenyataan lain, peternak rakyat lebih senang memelihara induk

daripada pejantan dengan tujuan reproduksi, yakni mendapatkan pedet daripada

penggemukan pejantan. Namun, dengan pertimbangan bahwa kualitas sapi Bali

sebagai ikon sapi lokal Indonesia yang saat ini kenyataannya cenderung menurun

secara genetis, maka sebenarnya dengan memanfaatkan beberapa marka

mikrosatelit maupun gen yang telah diketahui, maka masih dapat dilakukan

seleksi lebih lanjut untuk mendapatkan kualitas sapi lebih baik (Winaya, 2010).

Namun dari studi ini yang menunjukkan bahwa semua lokus teramplifikasi

pada semua populasi sampel, maka mikrosatelit ini dapat diuji lebih lanjut untuk

(54)

commit to user

breed lokal. Untuk menjamin akurasi serta kestabilan alel yang dihasilkan, maka

penggunaan marka mikrosatelit tersebut sebaiknya perlu dilakukan uji lebih

lanjut atau berulang kali, misal dengan uji keturunan (pedigree) dan segregasi

Mendel dengan menggunakan jumlah individu lebih banyak serta cakupan

geografis yang luas sehingga dapat digunakan untuk estimasi evaluasi genetik

maupun filogenetik bagi ternak-ternak domestik di Indonesia ataupun yang

terkait dapat ditetapkan berdasarkan penanda ini.

B. Diversitas Inter Spesies

Pada diversitas inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh ini

memiliki jumlah alel antara 2 - 3 dengan rata-rata jumlah alel lebih besar

dibanding pada intra spesies yaitu sebesar 0,28. Frekuensi alel bervariasi antara

0,06 – 0,84, frekuensi alel tertinggi terdapat pada lokus BM1824 alel A (0,84) dan

terendah pada lokus BM1824 alel B (0,06). Beberapa parameter diversitas genetik

inter spesies sapi Bali dari Sumbawa dan sapi Aceh dapat dilihat pada tabel 5.

Table 5. Parameter keragaman genetik inter spesies Bali dari Sumbawa dan Aceh pada 5 lokus mikrosatelit.

Gambar

Tabel 1. Sekuen nukleotida primer mikrosatelit......................................
Gambar  1. Sapi Bali dari Sumbawa...........................................................
Gambar 1. Sapi Balicommit to user  dari Sumbawa
Gambar 3. Reaksi amplifikasi DNA dengan teknik PCR commit to user (Vierstraete, 1999)
+7

Referensi

Dokumen terkait

litura dari kelompok pengujian larva instar kedua dan ketiga yang berhasil keluar dari pupa memiliki abnormalitas pada bagian sayap yakni kedua pasang sayapnya

(3) Usaha guru membuat model pembelajaran sebagai referensi siswa. Lebih lanjut Thompson menyarankan bahwa pentingnya pengembangan profesional para pendidik yang

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang) yang bertujuan untuk memperoleh data perbedaan hasil

Adanya peningkatan menunjukkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran semi guided inquiry dapat mengembangkan keterampilan menganalisis asumsi dan keterampilan

TEBAL PERKERASAN DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA (RUAS JALAN KRASAK – PRINGAPUS)..

Pada bahasa pendidikan film ini sesuai tujuan yang diharapkan Noer memiliki. beberapa pesan nasehat kehidupan namun secara keseluruhan film ini

 Fluida panas bumi muncul ke permukaan dengan cepat. (&gt;

• Pastikan kabel daya tidak terjepit di antara tembok dan rak atau meja tempat proyektor berada, dan jangan pernah menutupi kabel daya dengan bantalan atau benda lain.. •