• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INFLASI DI PULAU JAWA: ANALISIS DATA PANEL OLEH ADITYA RAKHMAN H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INFLASI DI PULAU JAWA: ANALISIS DATA PANEL OLEH ADITYA RAKHMAN H"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INFLASI DI PULAU JAWA: ANALISIS DATA PANEL

OLEH

ADITYA RAKHMAN H14080100

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

RINGKASAN

ADITYA RAKHMAN. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa:

Analisis Data Panel (dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR)

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada perekonomian suatu negara. Inflasi membawa pengaruh buruk bagi perekonomian, antara lain yaitu dapat menurunkan kesejahteraan riil masyarakat yang berpenghasilan tetap dan menciptakan pengangguran. Sejarah mencatat inflasi di Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1998. Inflasi yang terjadi pada tahun 1966 disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang dibiayai dalam bentuk pencetakan uang, sedangkan inflasi yang terjadi pada tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi. Berdasarkan pengalaman Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru mengenai bahaya inflasi, pihak berwenang khususnya Bank Sentral telah melakukan berbagai upaya untuk memelihara kestabilan inflasi di dalam negeri. Namun sejak dimulainya era otonomi daerah pada tahun 2001, pengendalian inflasi semakin mendapat tantangan yang berat disebabkan semakin meluasnya sumber-sumber penyebab inflasi dan perbedaan faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di setiap wilayah di Indonesia (Brodjonegoro et al, 2005). Mengingat masih relatif terbatasnya studi mengenai inflasi regional dan cukup besarnya pengaruh yang diberikan Pulau Jawa terhadap perekonomian Indonesia membuat studi mengenai inflasi di Pulau Jawa ini menjadi penting dan menarik untuk dilakukan. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua kategori, demand pull inflation atau inflasi yang disebabkan oleh tarikan permintaan dan cost push inflation atau inflasi yang disebabkan oleh dorongan biaya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Setelah diketahui faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, kemudian dirumuskan beberapa implikasi kebijakan dalam rangka pengendalian inflasi. Cakupan sampel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah enam provinsi di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Banten. Penelitian ini menggunakan data sekunder provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan beberapa data nasional dan internasional dalam bentuk data panel yakni gabungan data time series dan cross section dari tahun 2001-2010. Data penelitian diperoleh dari BPS, BI, FAO, OPEC dan beberapa dari penelitian terdahulu serta literatur terkait.

Variabel yang diteliti antara lain adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum regional, kondisi infrastruktur jalan raya, harga minyak dunia dan harga pangan dunia. Metode analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi data panel dengan model penelitian yang mengacu pada penelitian Lestari (2003) dengan melakukan beberapa modifikasi pada variabel-variabel yang diteliti.

(3)

Hasil Pengujian mendapatkan metode terbaik untuk mengestimasi model penelitian adalah dengan metode regresi data panel first differencing melalui pendekatan Pooled Least Square (PLS). Estimasi dengan pendekatan PLS menunjukkan bahwa dari sisi permintaan inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel perubahan pengeluaran pemerintah dan tingkat pertumbuhan ekonomi (berpengaruh positif), sementara variabel perubahan jumlah uang beredar tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Dari sisi penawaran inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh variabel perubahan upah minimum, perubahan kondisi infrastruktur jalan raya serta perubahan harga minyak dunia (berpengaruh positif), sedangkan variabel perubahan harga pangan dunia tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Merujuk kepada hasil estimasi, sebaiknya BI bersama-sama dengan pemerintah pusat maupun daerah berkoordinasi dalam menentukan target inflasi dan memfokuskan arah kebijakan pada sumber-sumber utama yang memengaruhi inflasi terutama dari sisi penawaran karena menurut hasil estimasi inflasi lebih dipengaruhi dari sisi penawaran.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa inflasi di Pulau Jawa bukan semata-mata disebabkan oleh fenomena moneter, tetapi lebih merupakan fenomena fiskal. Hal tersebut juga sejalan dengan teori strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi di negara berkembang juga ikut disebabkan oleh kenaikan biaya produksi atau cost push inflation. Sementara itu, temuan penting lainnya dalam penelitian ini ternyata peningkatan pada perubahan kondisi infrastruktur jalan raya menjadi lebih baik malah mengakibatkan inflasi semakin meningkat. Setelah ditelusuri lebih lanjut, hal tersebut disebabkan oleh nilai ekspor komoditi di Pulau Jawa yang lebih rendah bila dibandingkan nilai impornya. Sehingga untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menambahkan variabel-variabel lain yang diperkirakan memengaruhi inflasi terutama variabel ekspor dan impor serta memperluas ruang lingkup penelitian menjadi provinsi- provinsi lain di Indonesia untuk melengkapi hasil penelitian ini agar lebih mampu untuk menjelaskan dinamika inflasi pada perekonomian regional di Indonesia.

Kata Kunci: Pulau Jawa, Inflasi Regional, Regresi Data Panel

(4)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI INFLASI DI PULAU JAWA: ANALISIS DATA PANEL

Oleh

ADITYA RAKHMAN H14080100

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(5)

Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa:

Analisis Data Panel Nama : Aditya Rakhman NIM : H14080100

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Hermanto Siregar, M.Ec., Ph.D NIP. 19630805 198811 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Tanggal Kelulusan:

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.

NIP. 19641022 198903 1 003

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2012

H14080100 Aditya Rakhman

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Aditya Rakhman lahir pada tanggal 04 Oktober 1990 di kota Surakarta, sebuah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Ashari Haryanto dan Wirastuti. Jenjang pendidikan formal penulis dimulai pada Taman Kanak-kanak Tunas Rimba Karang Mulya yang lulus pada tahun 1996, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Dasar Budi Luhur Ciledug dan lulus pada tahun 2002. Pendidikan penulis dilanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Islam Al-Azhar 10 Kembangan yang lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di Sekolah Menengah Umum Negeri 78 Jakarta dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan diterima sebagai mahasiswa Program Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB merupakan pilihan penulis dengan harapan besar dapat memperoleh ilmu dan menjadi media untuk pengembangan diri penulis.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti kegiatan dan organisasi dalam bidang kemahasiswaan antara lain penulis pernah menjadi wakil ketua divisi bidang informasi, promosi, dan komunikasi Hipotesa periode 2010/2011. Besarnya minat penulis dalam bidang olahraga juga membuat penulis aktif dalam berbagai lomba dibidang olahraga internal IPB. Beberapa prestasi yang pernah penulis raih antara lain meraih Runner Up Basket Putra Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) 2010, Peringkat 3 futsal SPORTAKULER FEM IPB 2010, Runner Up futsal SPORTAKULER FEM IPB 2011 dan Peringkat 3 Basket Putra SPORTAKULER FEM IPB 2011. Selain itu penulis juga aktif di kepanitiaan dalam beberapa acara internal kampus seperti Indonesian’s Economics Festival (INVEST) 2009 dan Economic Contest 2009 sebagai staff Publikasi, Dekorasi dan Dokumentasi (PDD).

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Inflasi di Pulau Jawa: Analisis Data Panel” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Hermanto Siregar yang telah memberikan bimbingan dan arahan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kesabaran dan keikhlasan beliau dalam memberi masukan baik teknis maupun teoritis sampai pada nasihat moril merupakan sesuatu yang berharga bagi penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap pihak yang telah memberikan kontribusi dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya adalah:

1. Kedua orang tua penulis, Bapak dan Mamah serta keluarga tercinta, adik penulis Chandranita Retno Satuti yang telah memberikan doa, motivasi, kasih sayang, materi dan dorongan moral, serta jasa besarnya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

2. Prof. Bambang Juanda selaku dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penyelesaian skripsi ini.

3. Widyastutik, M.Si selaku komisi pendidikan yang telah memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.

4. Dosen-dosen Departemen Ilmu Ekonomi yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membentuk pola pikir ilmiah penulis sehingga penulis terbantu dalam penyusunan skripsi ini.

(9)

5. Seluruh Staff Departemen Ilmu Ekonomi dan Staff Fakultas Ekonomi dan Manajemen atas kerjasamanya selama penulis menuntut ilmu di Departemen Ilmu Ekonomi.

6. Bapak Iwan M.Si dari Badan Pusat Statistik yang telah memberikan bantuan informasi dalam mencari dan mengolah data yang dibutuhkan dalam skripsi ini.

7. Teman-teman satu bimbingan Astary Pradipta Hadiputri dan Nisa Karami yang senantiasa memberikan bantuan, bertukar pikiran, dan berdiskusi selama proses penyelesaian skripsi ini.

8. Teman-teman satu angkatan yaitu Ilmu Ekonomi 45 yang saling memberi semangat dan dukungan selama masa perkuliahan.

9. Peserta seminar dalam memberi saran dan kritik terhadap skripsi.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam memberikan kontribusi penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang dimiliki.

Semoga karya ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis dan semua pihak yang membacanya serta memberikan tambahan wawasan bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2012

H14080100 Aditya Rakhman

(10)

Halaman

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

I. PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. 1.1. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. 1.2. Perumusan Masalah ... .5

1.3. Tujuan Penelitian ... .6

1.4. Manfaat Penelitian ... .6

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... .7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Definisi Inflasi ... 8

2.2. Inflasi Regional ... 8

2.3. Teori Inflasi ... Error! Bookmark not defined. 2.4. Jenis-Jenis Inflasi ... Error! Bookmark not defined. 2.5. Perhitungan Inflasi ... Error! Bookmark not defined. 2.6. Sumber-Sumber Inflasi ... Error! Bookmark not defined. 2.6.1. Jumlah Uang Beredar………...15

2.6.2. Pengeluaran Pemerintah………...16

2.6.3. Pertumbuhan Ekonomi……….16

2.6.4. Harga Minyak Dunia………17

2.6.5. Harga Pangan Dunia………17

2.6.6. Upah……….18

2.6.7. Kondisi Infrastruktur………18

(11)

2.8. Kerangka Pemikiran ... Error! Bookmark not defined.

2.9. Hipotesis Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

III. METODOLOGI PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined.

3.1. Jenis dan Sumber Data ... Error! Bookmark not defined.

3.2. Metode Analisis ... Error! Bookmark not defined.

3.2.1. Analisis Deskriptif………...28

3.2.2. Analisis Ekonometrika……….29

3.2.2.1. Pooled Least Square……….32

3.2.2.2. Fixed Effect Model………32

3.2.2.3. Random Effect Model………33

3.2.2.4. Pengujian Model…………..……….33

3.2.2.5 Metode Evaluasi Model……….35

3.2.3. Aplikasi Regresi Data Panel……….40

3.3. Perumusan Model Penelitian………...………...….41 IV. GAMBARAN UMUM ... Error! Bookmark not defined.

4.1. Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa .. Error! Bookmark not defined.

4.2. Hubungan Inflasi dengan Jumlah Uang Beredar dan Pengeluaran

Pemerintah ... Error! Bookmark not defined.

4.3. Hubungan Inflasi dengan Upah MinimumError! Bookmark not defined.

4.4. Hubungan Inflasi dan Kondisi InfrastrukturError! Bookmark not defined.

4.5. Hubungan Inflasi dengan Harga Minyak dan Harga Pangan DuniaError! Bookmark not de

(12)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined.

5.1. Pengujian Stasioneritas Data Panel ... 55

5.2. Tahapan pemilihan Pendekatan Model Terbaik ... 56

5.3. Tahapan Evaluasi Model ... 58

5.3.1. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika…....58

5.3.1.1. Uji Normalitas………...58

5.3.1.2. Uji Multikoliniearitas………58

5.3.1.3. Uji Heteroskedastisitas………..59

5.3.1.4. Uji Autokorelasi…………..………..59

5.3.2. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Statistika………...60

5.3.3. Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonomi………....62

5.3.3.1. Variabel Perubahan Pengeluaran Pemerintah……..…….62

5.3.3.2. Variabel Perubahan Harga Minyak Dunia………63

5.3.3.3. Variabel Perubahan Kondisi Infrastruktur………63

5.3.3.4. Variabel Perubahan Pertumbuhan Ekonomi……….65

5.3.3.5 Variabel Perubahan Upah Minimum……….65

5.4. Implikasi Kebijakan Pengendalian InflasiError! Bookmark not defined. VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined. 6.1. Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined. 6.2. Saran ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA………71

LAMPIRAN………...74

(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 2.1. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu... Error! Bookmark not defined.

3.1. Variabel, Data yang Digunakan dan SumbernyaError! Bookmark not defined.

5.1. Rangkuman Hasil Pengujian Panel Unit RootError! Bookmark not defined.

5.2. Nilai Statistik Model Inflasi di Pulau Jawa ... 60 5.3. Hasil Estimasi Model Inflasi di Pulau Jawa . Error! Bookmark not defined.

5.4. Neraca Perdagangan Provinsi Pulau Jawa...64 5.5. Implikasi Kebijakan Berdasarkan Hasil PenelitianError! Bookmark not defined.

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1.1. Inflasi Indonesia Periode 1961-2010 ... 2 1.2. Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007 ... Error! Bookmark not defined.

2.1. Demand Pull Inflation ... Error! Bookmark not defined.

2.2. Cost Push Inflation ... 14 2.3. Kerangka Pemikiran ... Error! Bookmark not defined.

4.1. Dinamika Inflasi Pulau Jawa terhadap Rata-Rata Inflasi Nasional 2001 - 2010 ... Error! Bookmark not defined.

4.2. Perbandingan Perubahan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 ... Error! Bookmark not defined.

4.3. Perbandingan Perubahan Laju Jumlah Uang Beredar terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 ... Error! Bookmark not defined.

4.4. Perbandingan Perubahan Laju Pengeluaran Pemerintah terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 ... Error! Bookmark not defined.

4.5. Perbandingan Perubahan Upah Minimum Regional terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2002-2010 ... Error! Bookmark not defined.

4.6. Perbandingan Kondisi Infrastruktur Terhadap Inflasi di Pulau Jawa 2001- 2010 ... Error! Bookmark not defined.

4.7. Perkembangan Harga Minyak Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa 2001-

2010...Er ror! Bookmark not defined.

4.8. Perkembangan Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia dan Inflasi di Pulau Jawa 2001-2010 ... 53

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Software Eviews 6... 75

2 Korelasi Antar Variabel Independen Pada Model 1st DifferencingError! Bookmark not defined 3 Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Pooled Least Square Model 1st

Differencing ... Error! Bookmark not defined.

4 Hasil Estimasi Model dengan Pendekatan Fixed Effect Model 1st

Differencing ... Error! Bookmark not defined.

5 Hasil Chow Test Model 1st Differencing ... Error! Bookmark not defined.

6 Hasil Uji Normalitas Model 1st Differencing .. Error! Bookmark not defined.

7 Grafik Standardized Residuals Model 1st DifferencingError! Bookmark not defined.

(16)

1.1 Latar Belakang

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sering terjadi pada perekonomian suatu negara. Gejala-gejala inflasi pada perekonomian ditandai dengan kenaikan harga-harga secara umum dan berlangsung secara terus menerus (kontinu) ini akan memengaruhi dan berdampak luas dalam berbagai bidang baik ekonomi, sosial maupun politik.

Inflasi membawa pengaruh yang buruk bagi perekonomian, antara lain yaitu dapat menurunkan kesejahteraan riil masyarakat yang berpenghasilan tetap.

Gaji buruh, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan karyawan swasta lainnya mengalami penurunan nilai riil, kendati nilai nominalnya tidak berubah. Inflasi yang terlampau tinggi akan mengakibatkan terjadinya overheating economy yang mengarah pada situasi resesi. Pada masa resesi pengusaha swasta akan mengadakan rasionalisasi melalui pembatalan investasi yang telah disetujui karena beban bunga yang terlampau tinggi disertai prospek usaha yang menurun drastis. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan masalah yang krusial di bidang ketenagakerjaan yaitu munculnya pengangguran.

Inflasi juga berdampak negatif pada neraca pembayaran yaitu menyebabkan naiknya harga-harga ekspor, sehingga produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk-produk luar negeri yang berakibat kepada turunnya neraca perdagangan. Selain itu, inflasi juga berpengaruh pada nilai tukar rupiah, yaitu tingginya inflasi membuat mata uang rupiah menjadi over valued yang akan berdampak pada isu devaluasi dan menyebabkan rush valuta asing.

Ketidakpercayaan terhadap rupiah mengakibatkan aliran modal keluar (capital outflow) yang akan berakibat buruk pada iklim investasi dalam negeri.

Sejarah mencatat inflasi di Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yaitu pada tahun 1966 dan tahun 1998. Inflasi pada tahun 1966 merupakan inflasi tertinggi pada era tahun 1960-an, sementara pada tahun 1998 merupakan inflasi tertinggi sejak era orde baru (Gambar 1.1). Hyperinflation yang terjadi pada tahun

(17)

1966 disebabkan oleh defisit anggaran belanja pemerintah yang kemudian dibiayai Bank Indonesia (BI) dalam bentuk pencetakan uang, sedangkan inflasi yang terjadi pada tahun 1998 disebabkan oleh krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang cukup tinggi.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012

Gambar 1.1. Inflasi Indonesia Periode 1961-2010

Berdasarkan pengalaman Rezim Orde Lama dan Rezim Orde Baru mengenai bahaya inflasi, pada tahum 1999 Bank Sentral Indonesia dalam hal ini BI mengeluarkan peraturan nomor 23/1999 mengenai perubahan sasaran pokok BI dari multiple objectives menjadi lebih terfokus kepada tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Hal tersebut tercantum dalam UU No.23 Tahun 1999.

Menurut UU No.23 Tahun 1999, tujuan utama Bank Sentral adalah untuk memelihara kestabilan rupiah. Definisi khusus dari memelihara kestabilan nilai rupiah adalah untuk mengendalikan laju inflasi dalam negeri. Dalam menjalankan

(18)

tugas pokoknya, Bank Sentral menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian sasaran-sasaran moneter.

Selain itu, BI pun mengeluarkan UU No.29/1999 mengenai indepedensi Bank Sentral. Peraturan tersebut memberikan keleluasaan bagi BI untuk menetapkan target inflasi tanpa campur tangan pihak manapun. Pada tahun 2005, terjadi amandemen UU tersebut dimana pemerintah yang akan menetapkan target inflasi dengan pertimbangan dari BI dan diharapkan BI dapat mencapai target tersebut.

Berbagai upaya Bank Sentral diatas dalam pengendalian inflasi tentunya semakin mendapat tantangan yang berat sejak dimulainya era otonomi daerah.

Meskipun banyak khalayak yang menganggap otonomi daerah sebagai fenomena politik, namun otonomi daerah juga membawa konsekuensi pada perekonomian regional. Salah satu dampak otonomi daerah terhadap perekonomian regional adalah terhadap inflasi regional. Mengingat salah satu pertimbangan pemerintah dalam menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah tingkat inflasi domestik. Pada era otonomi daerah, wilayah-wilayah diberikan kewenangan untuk mengelola perekonomian masing-masing, termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk menentukan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing-masing wilayah. Kebijakan ini mengakibatkan semakin meluasnya sumber-sumber inflasi yang akan membuat pengendalian inflasi menjadi semakin sulit (Brodjonegoro et al, 2005).

Jika melihat lebih cermat, rumitnya proses pengendalian inflasi oleh Bank Sentral disebabkan karena pada dasarnya pembentukan inflasi nasional merupkan angka agregat dari inflasi regional. Sebagai bukti, inflasi nasional dihitung berdasarkan rataan dari 66 kota yang disurvei oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Berdasarkan perhitungan tersebut, setiap wilayah masing-masing memiliki perbedaan tingkat komoditi yang dikonsumsi. Perbedaan tersebut mencakup harga serta kualitas komoditi tersebut, yang membedakan tiap wilayah. Hal ini dapat terjadi akibat perbedaan struktur biaya pada masing-masing wilayah seperti biaya hidup, biaya transportasi, pajak regional, tingkat upah, termasuk juga kondisi infrastruktur dan sebagainya. Secara umum, kajian inflasi regional lebih

(19)

mempertimbangkan bahwa masing-masing wilayah memiliki karakteristik inflasi yang berimplikasi kepada kebijakan pengendalian inflasi yang lebih spesifik.

Berdasarkan perhitungan rata-rata inflasi regional menurut bobotnya (persentase) pada pembentukan inflasi nasional yang dilakukan oleh BPS berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) pada tahun 2007, ditemukan fakta bahwa bobot Jakarta mencapai 22,49 persen atau yang tertinggi dalam pembentukan inflasi nasional, disusul oleh Surabaya (6,47 persen), Bandung (5,38 persen), Medan (4,67 persen), Semarang (3,48 persen), Palembang (2,96 persen), Makasar (2,56 persen), Padang (1,69 persen), Denpasar (1,53 persen), Banjarmasin (1,54 persen), dan gabungan 56 kota lainnya dengan porsi 47,23 persen (Gambar 1.2).

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012

Gambar 1.2. Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007

Fakta selanjutnya adalah empat dari lima kota dengan bobot persentase tertinggi dalam pembentukan inflasi nasional yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang merupakan ibukota provinsi yang berada pada regional yang sama (Pulau Jawa). Fakta ini didukung oleh pernyataan BI yang menyatakan bahwa pada tahun 2011 tiga provinsi di Pulau Jawa yaitu Daerah Khusus Ibukota (DKI)

22,49

6,47 5,38

4,67 2,96 3,48

2,56 1,69 1,53 1,54 47,23

Jakarta Surabaya Bandung Medan Semarang Palembang Makasar Padang Denpasar Banjarmasin Gabungan 56 Kota Lainnya

(20)

Jakarta, Jawa Barat dan Banten memiliki bobot hampir 50 persen dalam pembentukan inflasi nasional.

Disamping fakta-fakta diatas, Wimanda (2006) berargumen bahwa inflasi di suatu region memiliki keterkaitan dengan region lainnya. Setelah mengetahui keterkaitan antar inflasi wilayah tersebut, beliau kemudian mengklasifikasikan inflasi di suatu wilayah apakah sebagai leader atau sebagai follower. Lebih lanjut, penelitiannya mengkategorikan wilayah di Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sebagai leader, sehingga Inflasi yang terjadi pada wilayah tersebut cenderung memengaruhi inflasi di wilayah lain yang dikategorikan sebagai follower. Penelitiannya juga berpendapat bahwa apabila pemerintah dan Bank Sentral dapat mengendalikan inflasi pada wilayah yang dikategorikan sebagai leader maka inflasi nasional akan lebih mudah untuk dikendalikan.

Beberapa uraian diatas menjelaskan betapa pentingnya peranan inflasi regional dalam dinamika inflasi nasional di Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan perhatian khusus dalam menangani inflasi yang terjadi pada tataran wilayah khususnya Pulau Jawa. Mengingat masih relatif terbatasnya studi mengenai inflasi regional dan cukup besarnya pengaruh yang diberikan regional khususnya Pulau Jawa terhadap perekonomian Indonesia membuat studi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa menjadi sangat penting dan menarik untuk diteliti. Untuk itu, penelitian ini akan secara fokus menganalisis faktor- faktor yang berpengaruh dalam pembentukan inflasi di Pulau Jawa. Penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak berwenang khususnya Bank Sentral, sehingga dapat mengarahkan kebijakan moneternya untuk menjaga kestabilan nilai rupiah.

1.2 Perumusan Masalah

Meskipun inflasi merupakan salah satu persoalan ekonomi yang cukup rumit, bukan berarti inflasi tidak dapat dikendalikan. Untuk dapat mengendalikan inflasi caranya adalah dengan terlebih dahulu mendiagnosis jenis inflasi dan

(21)

penyebabnya. Pada negara-negara berkembang khususnya Indonesia, inflasi bukan semata-mata dipengaruhi oleh fenomena moneter saja, tetapi fenomena struktural juga turut memberikan pengaruh. Hal ini lebih disebabkan oleh struktur perekonomian Indonesia, terutama pada struktur perekonomian regionalnya yang berbeda satu sama lain.

Bila diidentifikasi berdasarkan penyebabnya inflasi dibagi menjadi dua kategori, pertama demand pull inflation atau inflasi yang disebabkan karena permintaan masyrakat akan komoditi barang dan jasa meningkat. Kedua, cost push inflation atau inflasi yang disebabkan karena kenaikan harga atas komoditi yang dipicu oleh naiknya biaya produksi. Dari analisa tersebut, diharapkan gambaran meneyluruh tentang perilaku inflasi di Pulau Jawa akan dapat terlihat secara lebih jelas.

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa?

2. Bagaimana implikasi kebijakan yang dilakukan dalam mengendalikan inflasi di Pulau Jawa?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa.

2. Merumuskan implikasi kebijakan pengendalian inflasi di Pulau Jawa.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak berkepentingan, antara lain:

(22)

1. Bagi pemerintah atau instansi terkait, penelitian ini bermanfaat untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa sehingga dapat diambil kebijakan yang tepat untuk pengendalian inflasi.

2. Bagi akademisi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan pada penelitian lainnya yang ingin menganalisis tentang inflasi.

3. Bagi penulis, diharapkan penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai inflasi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi. Pertama, memberikan gambaran umum mengenai dinamika inflasi di Pulau Jawa melalui analisis deskriptif. Kedua, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Ketiga, memberikan saran implikasi kebijakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah terkait dengan hasil penelitian.

Dalam penelitian ini cakupan sampel yang dianalisis adalah enam provinsi di pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur dan Banten. Penelitian ini terbatas pada Provinsi Banten yang baru terbentuk pada tahun 2000 sehingga periode analisis dalam penelitian ini terbatas pada tahun 2001-2010.

(23)

2.1 Definisi Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga- harga secara umum dan terus menerus (kontinu). Mankiw (2007) menyebutkan bahwa inflasi adalah seluruh kenaikan harga output dalam perekonomian. BPS (2008) mendefinisikan inflasi sebagai angka gabungan dari perubahan harga sekelompok komoditi barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat dan dianggap mewakili seluruh komoditi barang dan jasa yang dijual di pasar.

Dalam arti relatif, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu periode dimana kekuatan membeli dalam kesatuan moneter menurun atau terjadi kenaikan harga dari sebagian besar komoditi barang dan jasa secara terus menerus. Jika kenaikan komoditi hanya satu atau beberapa macam tidak dapat dikatakan telah terjadi inflasi, begitu juga kenaikan harga yang bersifat musiman seperti pada hari raya keagamaan dan hari libur. Sementara itu dalam arti luas, inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu kenaikan relatif dan memiliki porsi yang besar dalam tingkat harga umum.

Inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.

Dengan kata lain, harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukkan inflasi.

inflasi dapat dikatakan terjadi apabila tingkat harga yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil maka sudah dipastikan bahwa daya beli masyarakat semakin melemah dan akan mengakibatkan tingkat kesejahteraan akan semakin berkurang.

2.2 Inflasi Regional

Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi perusahaan ditentukan oleh permasalahan minimisasi biaya pengangkutan output atas beberapa lokasi alternatif dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi.

Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan sejenis untuk

(24)

terintegrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi perusahaan baik karena economies of scale, localization economies atau urbanization economies (Hoover dan Giarratani, 1989).

Teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan memperoleh pasar yang lebih luas demi mendapatkan keuntungan maksimum. Meskipun tidak secara langsung, teori lokasi sesungguhnya secara implisit menjelaskan mengenai permasalahan mekanisme perbedaan tingkat pembentukan harga antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur perekonomian di masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah.

2.3 Teori Inflasi

Atmadja (1999) menjelaskan, terdapat berbagai macam teori yang berusaha untuk menjelaskan inflasi dari berbagai sudut pandang. Teori tersebut, antara lain Teori Kuantitas Uang, Keynesian Model, Mark-up Model dan Teori Struktural.

Teori Kuantitas Uang adalah teori yang menekankan pada peranan jumlah uang beredar dan ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga terhadap timbulnya inflasi. Teori ini juga dikenal sebagai teori kaum monetaris (monetarist theory). Inti dari teori ini adalah sebagai berkut:

1. Inflasi hanya dapat terjadi apabila terjadi penambahan volume pada jumlah uang yang beredar dalam perekonomian.

2. Laju inflasi juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga pada masa yang akan datang.

Teori Keynesian Model, dasar dari terciptanya model inflasi Keynes ini adalah bahwa inflasi terjadi karena masyarakat menginginkan kehidupan diluar

(25)

batas kemampuan ekonomisnya, sehingga menyebabkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa efektif (permintaan agregat) mengalami peningkatan melebihi jumlah komoditi yang tersedia (penawaran agregat) di pasar, akibatnya terjadi inflationary gap pada perekonomian tersebut. Ketidakmampuan pasar dalam mencukupi permintaan barang dan jasa oleh masyarakat terjadi karena dalam jangka pendek sangat sulit untuk memenuhi kenaikan permintaan agregat tersebut.

Mark-up Model, teori ini mendasarkan pemikiran bahwa inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of production dan profit margin.

Dengan demikian, ketika terjadi kenaikan biaya produksi akan menyebabkan turunnya keuntungan yang didapat oleh perusahaan, yang berdampak kepada kenaikan harga jual komoditi di pasar.

Teori Struktural, teori ini merupakan cerminan teori inflasi yang terjadi pada negara-negara berkembang. Teori struktural menganggap inflasi bukan semata-mata fenomena moneter saja, melainkan juga merupakan fenomena struktural. Teori ini menekankan pada kekakuan harga dan struktur perekonomian negara berkembang. Terkait dengan perekonomian regional hal ini murni disebabkan oleh struktur perekonomian dan kekakuan harga pada masing-masing wilayah. Oleh karenanya fenomena inflasi yang muncul akibat perbedaan struktur perekonomian wilayah sering menjadi suatu permasalahan jangka panjang yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek. Menurut teori ini penyebab terjadi kekauan dan kesenjangan struktural pada perekonomian negara berkembang adalah sebagai berikut:

1. Supply dari sektor pertanian tidak elsatis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengejaran sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.

2. Cadangan valuta saing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatsan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku; input antara; maupun barang modal sangat dibutuhkan untuk

(26)

pembangunan menjadi terbatas pula. Akibat dari lambatnya pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.

3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibat timbulnya defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman luar negeri. Apabila pinjaman luar negeri sulit untuk didapat, maka pada umumnya defisit anggaran dibiayai melalui percetakan uang (printing of money).

2.4 Jenis-Jenis Inflasi

Boediono (1994) mengemukakan bahwa inflasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan pada:

1. Asal usulnya

a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation).

b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).

2. Tingkat keparahannya

a. Inflasi ringan (creeping inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level dibawah 10 persen per tahun.

b. Inflasi sedang (moderate inflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 10 sampai dengan 30 persen per tahun.

c. Inflasi berat, jika inflasi yang terjadi berada pada level antara 30 sampai dengan 100 persen per tahun.

d. Inflasi sangat berat (hyperinflation), jika inflasi yang terjadi berada pada level diatas 100 persen per tahun.

3. Sebab awalnya

Berdasarkan teori kuantitas, dijelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi adalah karena adanya kelebihan permintaan (demand) sehingga uang yang beredar di masyarakat bertambah banyak. Dalam teori ini sumber inflasi dibedakan menjadi dua yaitu demand pull inflation dan cost push inflation.

(27)

a. Demand Pull Inflation

Inflasi jenis ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (aggregate demand), sedangkan produksi berada pada keadaan yang hampir mendekati atau pada kondisi full employment. Dalam keadaan mendekati full employment, kenaikan permintaan total disamping menaikkan harga dapat juga menaikkan output. Dalam keadaan full employment, kenaikan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja. Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan kondisi keseimbangan output berada di atas atau melebihi output full employment maka akan menimbulkan inflationary gap. Inflationary gap inilah yang menyebabkan munculnya inflasi (Nophirin, 2009). Inflasi yang disebabkan oleh demand pull inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.1 dibawah ini:

Sumber : Nophirin, 2009

Gambar 2.1 Demand Pull Inflation b. Cost Push Inflation

Berbeda dengan demand pull inflation, cost push inflation biasanya ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Keadaan ini timbul akibat adanya penurunan dalam penawaran total (aggregate supply) sebagai konsekuensi kenaikan biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama, maka akan terjadi inflasi yang disertai dengan resesi ekonomi.

Kenaikan biaya produksi ini dapat timbul karena beberapa faktor diantaranya:

Inflationary AS Gap

AD2

AD3

AD4

AD1

QFE

Q1

P1

P2

P3

P4 P

(28)

1. Perjuangan serikat buruh yang berhasil untuk menuntut kenaikan upah.

2. Suatu industri yang bersifat monopolistis, memberikan kekuatan kepada produsen untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi.

3. Kenaikan bahan baku industri.

4. Pemerintah yang terlalu berambisi untuk menguasai sumber-sumber ekonomi dalam jumlah yang besar yang seharusnya dapat diserahkan kepada pihak swasta.

5. Adanya kebijakan pemerintah, baik bersifat ekonomi maupun non ekonomi yang dapat memicu kenaikan harga-harga (administred prices).

6. Pengaruh alam yang dapat menurunkan produksi dan menaikkan harga seperti musim kemarau panjang yang berakibat pada gagal panen.

7. Pengaruh inflasi dari luar negeri, terutama bagi negara-negara yang menganut sistem perekonomian terbuka seperti Indonesia.

Sedangkan menurut Lipsey (1995) menyatakan bahwa cost push inflation dapat disebabkan oleh:

1. Wage cost push inflation

Wage cost push inflation menyatakan bahwa kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi.

2. Price push inflation

Price push inflation atau juga dikenal dengan istilah administred price inflation menyatakan bahwa para produsen mempunyai kekuatan monopoli, dan mereka ingin sekali menaikkan harga, tetapi karena mereka mengkhawatirkan terjadinya ketidakpercayaan dari pihak pemerintah maka mereka menggunakan kenaikan dalam biaya produksi yang dapat dijadikan alasan untuk membenarkan terjadinya kenaikan harga.

3. Import cost push inflation

Import cosh push inflation terjadi karena dorongan biaya impor yang merupakan barang yang penting, umumnya bahan baku untuk produksi.

(29)

4. Structural rigidity inflation

Menekankan kekauan struktural, mengasumsikan bahwa sumber-sumber daya tidak dengan cepat beralih dari penggunaan yang satu ke penggunaan yang lain dan adalah mudah untuk menaikkan upah dan harga barang daripada menurunkannya. Mengingat bahwa upah dan harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor- sektor yang potensial. Sehingga proses penyesuaian upah dan harga di dalam sebuah perekonomain dengan adanya kekakuan struktural menyebabkan munculnya inflasi.

Nophirin (2009) menyatakan inflasi yang disebabkan oleh cost push inflation dapat ditunjukkan dengan Gambar 2.2 dibawah ini:

Sumber : Nophirin, 2009

Gambar 2.2 Cost Push Inflation

2.5 Perhitungan Inflasi

Menurut Mankiw (2007) Consumer Price Index (CPI) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. CPI berupa data yang mengukur rata-rata perubahan harga yang dibayarkan oleh

AS3 AS2 AS1

AD

Q2 Q1 QFE Q P1

P2

P3

P4

P

(30)

konsumen (dalam rata-rata) untuk sekelompok barang dan jasa tertentu. CPI disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK), yang mengukur harga rata-rata barang dan jasa yang dibeli oleh rata-rata konsumen disuatu negara, termasuk Indonesia. Perhitungan IHK dapat dirumuskan sebagai berikut:

………(2.1) dimana:

= Indeks Harga Konsumen pada tahun ke-t = Harga pada tahun ke-t

= Harga pada tahun sebelumnya

= Nilai konsumsi pada tahun sebelumnya = Nilai konsumsi pada tahun dasar

Setelah diperoleh IHK, maka inflasi dapat diketahui, perhitungan inflasi dengan laju inflasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

………(2.2) dimana:

= Inflasi pada tahun ke-t

= Indeks harga konsumen pada tahun ke-t

= Indeks harga konsumen pada tahun sebelumnya

2.6 Sumber-Sumber Inflasi 2.6.1 Jumlah Uang Beredar

Fisher (1930) dalam teorinya mengenai kuantitas uang menyatakan bahwa jumlah uang yang beredar dalam perekonomian adalah faktor yang mempunyai peranan penting dalam proses terjadinya inflasi. Menurut teori tersebut dalam setiap transaksi selalu ada pembeli dan penjual. Jumlah uang yang dibayarkan oleh pembeli harus sama dengan jumlah uang yang diterima penjual. Hal tersebut berlaku pula untuk seluruh perekonomian dalam suatu periode tertentu. Apabila terjadi kelebihan jumlah uang yang ditawarkan oleh bank sentral maka akan

(31)

berakibat kepada peningkatan uang yang dipegang oleh masyarakat sehingga memacu hasrat masyarakat untuk meningkatkan konsumsi. Jika peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik.

Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi dijelaskan oleh Keynes dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan agregat (demand pull inflation).

2.6.2 Pengeluaran Pemerintah Keynes dalam

Mekanisme transimisi dampak jumlah uang beredar terhadap inflasi dijelaskan oleh Keynes

Boediono (1994) menyatakan bahwa inflasi bukan hanya disebabkan oleh ekspansi moneter Bank Sentral saja melainkan juga melalui pengeluaran pemerintah. Menurut Keynes, apabila pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan harga atau akan memicu terjadi inflasi. Dengan kata lain, peningkatan pengeluaran pemerintah melalui kebijakan fiskal ekspansif akan mendorong perekonomian sektor riil untuk tumbuh. Produktivitas perekonomian tersebut kemudian akan berdampak baik pada peningktan permintaan akan barang input produksi maupun barang konsumsi sehingga menaikkan tingkat harga.

dalam Boediono (1994) oleh teori inflasi permintaan agregat (demand pull inflation).

2.6.3 Pertumbuhan Ekonomi

Mekanisme transmisi pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap inflasi dijelaskan oleh Mishkin (2001). Pertumbuhan ekonomi mencerminkan tingkat produktivitas masyarakat di negara tersebut. Semakin tinggi produktivitas menandakan semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Pertumbuhan

(32)

ekonomi juga akan menyebabkan semakin meningkatnya konsumsi pemerintah sehingga hal tersebut akan meningkatkan permintaan atas barang dan jasa konsumsi kedua pelaku perekonomian tersebut. Apabila peningkatan dalam keinginan untuk mengonsumsi barang tersebut tidak diimbangi dengan supply barang pada pasar, maka hal tersebut akan menimbulkan excess demand sehingga menyebabkan tingkat harga menjadi naik.

2.6.4 Harga Minyak Dunia

Mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi dijelaskan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup sehingga harga akan naik, karena hubungan keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi upah tetap, peningkatan harga minyak menyebabkan peningkatan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatkan harga.

2.6.5 Harga Pangan Dunia

Kenaikan harga pangan di belahan dunia merupakan fenomena unik bagi sebagian orang yang melihat kaitannya dengan perkembangan makroekonomi dan hubungannya dengan inflasi. Disadari atau tidak, peningkatan harga pangan secara logika dasar makroekonomi dapat menyebabkan peningkatan inflasi. Dalam kaitannya dengan negara berkembang, hal tersebut terjadi karena rata-rata konsumsi pangan menempati porsi terbesar dari dari tingkat konsumsi masyarakat.

Rahardja dalam Wahyuni (2011) menyatakan bahwa harga komoditas di Indonesia seperti gula, minyak goreng, kedelai dan jagung berhubungan dengan harga pangan dunia. Dalam periode sekitar satu tahun, satu persen kenaikkan rata- rata harga komoditas pangan dunia akan menyebabkan kenaikan sebesar satu persen harga pangan domestik di Indonesia. Komoditas yang lain akan merespon hal yang sama dengan waktu respon yang bervariasi. Kecepatan transmisi

(33)

terhadap guncangan harga pangan internasional juga berbeda-beda diantara provinsi di Indonesia.

2.6.6 Upah

Hubungan antara upah dan inflasi ditunjukkan oleh konsep cost push inflation. Konsep tersebut menyatakan bahwa kenaikan-kenaikan yang terjadi pada biaya upah, yang sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan permintaan merupakan penyebab awal terjadinya inflasi. Disamping itu kekakuan struktural menyebabkan harga-harga dan upah menjadi lebih mudah untuk naik daripada turun. Dengan menganggap bahwa upah dan harga-harga adalah kaku, maka tidak akan terlihat adanya penurunan upah dan harga pada sektor-sektor yang berkontraksi potensial. Mengingat buruh merupakan salah satu komponen penting produksi, maka suatu perusahaan akan bertindak rasional dengan menaikkan markup sehingga menyebabkan munculnya inflasi.

2.6.7 Kondisi Infrastruktur

Menurut teori pertumbuhan export base dan growth poles; kapasitas ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan wilayah dalam menarik suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment dari infrastruktur yang sudah terbangun. Infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan udara, rel kereta api dan pembangkit tenaga listrik, karena berhubungan secara langsung terhadap produktivitas suatu perusahaan (Cappelo dalam

Mengacu pada teori pertumbuhan ekonomi regional tersebut, maka diprediksikan bahwa peningkatan dalam kualitas infrastruktur dalam distribusi produk akan menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan mempengaruhi permintaan terhadap produk berupa input antara serta tingkat konsumsi. Secara agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian

Subekti, 2011).

(34)

suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif, namun jika yang terjadi sebaliknya dampaknya terhadap inflasi menjadi positif (Oosterhaven dan Elhorst, 2003).

2.7 Penelitian Terdahulu

Novi Lestari (2003) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum di dua puluh enam provinsi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM). Hasil regresi menunjukkan bahwa dari sisi permintaan agregat inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang beredar (berpengaruh negatif), pendapatan perkapita (berpengaruh positif), sedangkan investasi tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Dari sisi penawaran agregat inflasi dipengaruhi oleh upah (berpengaruh negatif), impor (berpengaruh positif), sedangkan investasi tahun lalu tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Penelitian ini menemukan bahwa inflasi regional juga dipicu oleh sisi penawaran agregat. Hal tersebut sesuai dengan teori strukturalis yang menyatakan bahwa inflasi pada negara berkembang juga disebabkan oleh naiknya biaya-biaya produksi.

Bambang P.S Brodjonegoro, Telissa Falianty dan Beta Y Gitaharie (2005) dalam Determinant Factors of Regional Inflation in Decentralized Indonesia meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional pada perekonomian yang ter-desentralisasi. Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) dan Vector Auto Regression (VAR) dalam menentukan determinan (moneter atau non-moneter) yang memiliki kontribusi terbesar terhadap inflasi pada perekonomian regional. Kemudian dilakukan estimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan FEM terhadap determinan yang paling dominan memengaruhi inflasi pada

(35)

perekonomian regional. Hasil yang didapat ternyata inflasi lebih dipengaruhi determinan non-moneter dengan faktor-faktor yang memengaruhi antara lain, Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran rutin pemerintah daerah dan biaya transportasi yang semuanya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi regional.

Rizki E Wimanda (2006) dalam Regional Inflation in Indonesia:

Characteristic, Convergence, and Determinants melakukan penelitian mengenai karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode Granger Causality dan koefisien korelasi untuk menganalisis karakteristik inflasi, metode koefisien konvergensi β untuk menganalisis konvergensi tingkat harga dan metode OLS untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi pada perekonomian regional. Hasilnya adalah banyak wilayah di Indonesia yang memiliki keterkaitan inflasi yang tinggi terutama regional pulau Jawa terhadap wilayah lainnya, inflasi regional di Indonesia cenderung divergen dan determinan yang paling memengaruhi inflasi pada perekonomian regional adalah ekspektasi inflasi dan perubahan nilai tukar.

Muhammad Z Hamzah dan Eleonora Solfida (2006) dalam Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia: Pendekatan Error Correction Model (ECM) meneliti tentang seberapa besar pengaruh yang diberikan jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar terhadap inflasi di Indonesia pada jangka pendek dan jangka panjang. Penelitian ini diestimasi dengan metode Error Correction Model (ECM). Hasil estimasi model dalam jangka pendek menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap laju inflasi. Sedangkan dalam jangka panjang, hasil estimasi menyimpulkan bahwa jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah dan nilai tukar memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap laju inflasi.

Reza Satrya Arjakusuma (2009) dalam Analisis Inflasi Regional di Indonesia melakukan penelitian untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya inflasi regional di Indonesia, terutama terkait apakah berasal dari demand-pull

(36)

inflation ataukah cost-push inflation. Penelitian ini diestimasi dengan metode VAR dan Vector Error Correction Model (VECM). Hasil estimasi menyimpulkan bahwa varaibel harga beras dunia paling mempengaruhi tingkat inflasi regional di Indonesia disusul dengan harga minyak dunia akibatnya hampir seluruh regional di Indonesia mengalami incomplete passthrough akibat guncangan harga beras dan minyak dunia.

John Beirne (2009) dalam Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Country-Specific and Global Factors melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan atau memicu terjadinya inflasi secara komprehensif pada sepuluh negara anggota baru dari Uni Eropa. Penelitian ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis System- Generalized Method of Moment (SYS-GMM). Hasil regresi menyimpulkan bahwa inflasi inersia, nilai tukar nominal efektif (NEER), defist fiskal, belanja pemerintah, investasi (PMTB), kondisi infrastruktur dan variabel-variabel yang menggambarkan tekanan inflasi yang berasal dari faktor global (harga minyak, harga pangan, shock nilai tukar dan aksesi uni eropa) berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di negara-negara yang diteliti.

Jun Nagayasu (2009) dalam Regional Inflation in China melakukan penelitian mengenai perkembangan dalam tingkat harga dan inflasi di dua puluh tujuh region di China. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode regresi data panel dengan pendekatan Random Effect Model (REM). Hasil estimasi menunjukkan bahwa inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh jumlah uang beredar M1&M2 (berpengaruh positif), kredit (berpengaruh positif), produktivitas (berpengaruh negatif) dan nilai tukar (berpengaruh positif). Secara keseluruhan disimpulkan bahwa semua parameter pada penelitian ini bersesuaian dengan teori ekonomi.

Dwi Wahyuni (2011) dalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi dari Sisi Penawaran meneliti faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan menyebabkan perubahan tingkat harga umum di Indonesia bila dilihat dari gangguan sisi penawaran. Penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode VAR dan VECM. Hasilnya adalah dalam jangka pendek variabel yang

(37)

berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi adalah nilai tukar rupiah, sedangkan dalam jangka panjang inflasi dipengaruhi oleh expected inflation, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, harga pangan dunia dan upah buruh riil.

Adji Subekti (2011) dalam Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi melakukan penelitian mengenai pengaruh variabel kebijakan dan non- kebijakan terhadap inflasi di Indonesia. Penelitian ini diestimasi dengan dengan metode regresi data panel dinamis First Difference-Generalized Method of Moment (FD-GMM) dan Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB). Hasil yang didapat adalah dinamika inflasi Indonesia di pengaruhi oleh variabel kebijakan:

inersia inflasi, fluktuasi nilai tukar, perubahan kondisi infrastruktur dan derajat keterbukaan perdagangan. Dinamika inflasi Indonesia juga dipengaruhi oleh variabel non kebijakan antara lain: penyesuaian upah, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri dan BI rate.

Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu

Penulis Judul Variabel Ekonomi Observasi Rentang Waktu Lestari (2003) Analisis Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia

IHK, Pendapatan Perkapita, Jumlah Uang Beredar, Investasi, Investasi Tahun Lalu, Impor dan Upah

26 Provinsi di Indonesia

1991- 2001

Brodjonegoro et al (2005)

Determinant Factors of

Regional Inflation in Decentralized Indonesia

IHK, PAD, Pengeluaran Rutin Pemerintah dan Biaya Transportasi

43 Kota di Indonesia

1990- 2002

Wimanda (2006)

Regional Inflation in Indonesia:

Characteristic, Convergence and Determinants

CPI, Nilai Tukar, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pengeluaran Rutin Pemerintah dan Pengeluaran Pembangunan

26 Provinsi di Indonesia

1991M9- 2004M12

(38)

Hamzah dan Solfida (2006)

Pengaruh Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar terhadap Inflasi di Indonesia:

Pendekatan Error Correction Model (ECM)

IHK, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran Pemerintah dan Nilai Tukar

Indonesia 1990- 2005

Arjakusuma (2009)

Analisis Inflasi Regional di Indonesia

Harga Minyak Dunia, Harga Beras Dunia, Output Gap, CPI dan Wholesale Price Inflation

48 Kota di Indonesia

2005M1- 2008M12

Beirne (2009) Vulnerability of Inflation in The New EU Member States to Country- Specific and Global Factors

HICP, NEER, Current Account Deficit, GDP Riil Perkapita, Pengeluaran Pemerintah, Harga Relatif, Tingkat Penganguran, Kapitalisasi Pasar Modal, Kredit Swasta Domestik, Rezim Nilai Tukar, Indeks Kebebasan Ekonomi, Indeks Reformasi Infrastruktur dan Derajat Keterbukaan Perdagangan

Bulgaria, Rep.Ceko, Estonia, Hungaria, Latvia, Lithuania, Polandia, Slovakia, Slovenia dan Rumania

1998Q1- 2007Q4

Nagasayu (2009)

Regional Inflation in China

Retail Price Index (RPI), jumlah uang beredar (M1&M2), Kredit perbankan, produktivitas,

pertumbuhan populasi dan Renminbi (RMB) exchange rate

26 Provinsi di China

1991- 2005

Wahyuni (2011)

Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Inflasi dari Sisi Penawaran

IHK, Harga Minyak Dunia, Harga Pangan Dunia, Nilai Tukar dan Upah

Indonesia 1998M1- 2010M12

(39)

Subekti (2011)

Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi

IHK, Output Gap, Nilai Tukar, Suku Bunga Nominal, Jumlah Uang Beredar, Pengeluaran

Pemerintah, Indeks Harga BBM, Upah Minimum Nominal, Kondisi Infrastruktur dan Derajat

Keterbukaan Perdagangan

26 Provinsi di Indonesia

1999- 2009

(40)

2.8 Kerangka Pemikiran

Sebagai konsekuensi dari era otonomi daerah pada tahun 2001 menyebabkan semakin meluasnya faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Indonesia. Dalam hal ini akan membuat proses pengendalian inflasi akan menjadi semakin rumit karena inflasi nasional pada dasarnya merupakan angka agregasi dari inflasi di masing-masing wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, pengidentifikasian faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa penting untuk dipahami untuk merumuskan kebijakan pengendalian inflasi yang tepat.

Berikut ini adalah gambaran dari kerangka pemikiran penelitian ini:

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi inflasi di Pulau Jawa. Variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini seperti jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, kondisi infrastruktur, harga minyak dunia dan harga pangan dunia.

Selanjutnya variabel-variabel tersebut akan dianalisis dengan menggunakan metode regresi data panel.

Indonesia

Otonomi Daerah

Inflasi Regional

Pulau Jawa Cost Push Inflation Demand Pull Inflation

Implikasi Kebijakan Indonesia

(41)

2.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu maka disusunlah beberapa hipotesis sementara, yaitu:

1. Jumlah uang beredar memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

2. Pengeluaran pemerintah memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

3. Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

4. Upah minimum memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

5. Kondisi infrastruktur memiliki hubungan yang negatif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

6. Harga minyak dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

7. Harga pangan dunia memiliki hubungan yang positif terhadap inflasi di Pulau Jawa.

(42)

3.1 Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yang merupakan data dunia dan satu variabel yang merupakan data nasional. Variabel yang merupakan data dunia yaitu harga minyak dunia dan harga pangan dunia, sedangkan variabel yang merupakan data nasional yaitu jumlah uang beredar. Penggunaan data harga minyak dunia dan harga pangan dunia mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu dan dimaksudkan untuk melihat dampak fenomena guncangan luar negeri terhadap perekonomian regional. Penggunaan data jumlah uang beredar pada level nasional, disebabkan tidak tersedianya data jumlah uang beredar pada level provinsi. Selebihnya penggunaan variabel lainnya merupakan data pada level provinsi.

Pengguanaan data IHK hanya pada lingkup ibu kota provinsi sebagai proksi dari inflasi mengacu pada penelitian Subekti (2011), yang menganggap bahwa ibukota provinsi sebagai pusat pertumbuhan yang akan mempengaruhi daerah lainnya yang berada pada provinsi yang sama cukup merepresentasikan tingkat harga pada level provinsi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa data tahunan periode 2001-2010 yang diambil dari publikasi resmi pemerintah. Variabel, data, satuan dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Proses pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bantuan paket program software Microsoft Office Excel 2007 dan Eviews 6.

(43)

Tabel 3.1 Variabel, Data yang Digunakan dan Sumbernya

Data (Variabel) Data yang digunakan Satuan Sumber Data Inflasi (P) Indeks Harga Konsumen

(IHK) Masing-Masing Ibu Kota Provinsi rebasing :

tahun dasar 2002

Indeks Badan Pusat Statistik

(BPS) Jumlah Uang

Beredar (M)

Jumlah Uang Beredar dalam Arti Sempit (M1)

Miliar Rupiah

Bank Indonesia (BI) Pengeluaran

Pemerintah (GEXP)

Pengeluaran Pemerintah Daerah

Miliar Rupiah

BPS

Pertumbuhan Ekonomi (Y)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) rebasing :

tahun dasar 2000

Juta Rupiah BPS

Harga Minyak Dunia (OIL_P)

Harga Minyak Dunia US$/Barel Organization of the Petroleum

Exporting Country (OPEC) Harga Pangan

Dunia (FOOD_P)

Indeks Harga Komoditi Pangan Dunia (55 Komoditi)

Indeks Food

Agricultural Organization

(FAO) Tingkat Upah

(W)

Upah Minimum Regional (UMR) Masing-Masing

Provinsi

Rupiah BPS

Kondisi Infrastruktur

(KI)

Rasio Panjang Jalan Raya dengan Kondisi Baik dan Luas Wilayah Provinsi

Km/Km2 BPS

3.2 Metode Analisis 3.2.1 Analisis Deskriptif

Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi.

Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai perkembangan laju inflasi yang terjadi di Pulau Jawa selama kurun waktu 2001-2010 dan juga untuk menggambarkan

(44)

hubungan antara inflasi dengan variabel-variabel yang memengaruhi pada peneltian ini.

3.2.2 Analisis Ekonometrika

Metode analisis ekonometrika yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis regresi data panel (pooled data). Data panel adalah gabungan dari data time series dan data cross section. Penggunaan metode data panel sudah banyak dipakai saat ini sebab adanya kelemahan dalam pendekatan metode cross section saja atau pendekatan time series. Jika hanya menggunakan metode cross section saja, pengamatan yang diamati hanya pada titik tertentu saja, sehingga perkembangan pengamatan tersebut dalam kurun waktu tertentu tidak dapat diestimasi. Pada pendekatan metode time series juga menimbulkan persoalan yaitu peubah-peubah yang diobservasi secara agregat hanya dari satu unit individu sehingga memberi peluang untuk menghasilkan estimasi yang sifatnya bias.

Penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan keterbatasan kedua metode analisis diatas. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh pendekatan metode cross section dan time series murni. Data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel, sebaliknya jika jumlah observasi berbeda maka disebut sebagai unbalanced panel.

Beberapa keunggulan dari penggunaan data panel dalam analisis ekonometrika dikemukakan oleh Baltagi (2005) yaitu, pertama mengontrol heterogenitas individu. Data panel menyatakan bahwa individu, perusahaan, tempat atau negara adalah heterogen. Dalam data panel terdiri dari besaran dan waktu sehingga ada banyak variabel-variabel lain yang mungkin menjadi state- invariant atau time-invariant yang dapat memengaruhi variabel dependen. Data panel memberikan peluang perlakuan setiap unit-unit individu yang dianalisis adalah heterogen. Kedua, data panel memberikan informasi yang lebih banyak dan beragam, meminimalisasi masalah kolinieritas antar variabel, meningkatkan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui hubungan antara paparan Pb dengan laju endap darah pada pekerja bagian pengecatan industri karoseri di Semarang..

Hasil uji statistik bobot gabah per malai tanaman padi yang tidak berbeda nyata pada dua teknik pemberian air pada tanaman padi tersebut menunjukkan bahwa bobot gabah per malai

Salah satu dari ini inter'ensi yang telah digunakan dalam studi yang berbeda pada pasien adalah Benson metode relaksasi (Sou 9i, 2# yang merupakan salah satu

Setelah APBD secara umum dibahas, maka perlu dikaji berapa besar investasi pembangunan khusus bidang Cipta Karya di daerah tersebut selama 3-5 tahun terakhir

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman hijauan pakan indigenous tertinggi di pegunungan kapur Gombong Selatan adalah pada wilayah dengan tingkat kerapatan

Berdasarkan dari uraian latar belakang serta perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut : Diduga,

pembelajaran peneliti menyadari masih kekurangan pada siklus II yang harus diperbaiki oleh peneliti mencakup perbaikan pada tahap praberbicara, saat berbicara,

Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang berhenti lebih dari 1 (satu) tahun karena diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat