1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyebab suatu penyakit tidak hanya dikarenakan kelainan pada
fisiologi tubuh seseorang namun juga karena adanya gangguan psikologis.
Gangguan psikologi atau gangguan kejiwaan banyak ditemui di tengah
masyarakat, mulai ringan hingga berat. Berbagai penelitian pun dilakukan untuk
mencari penanganan yang tepat. Salah satu masalah kejiwaan yang masih kurang
dipahami masyarakat adalah gangguan bipolar. Selain itu penelitian maupun
jurnal masih jarang mengangkat tentang penyakit gangguan bipolar. Gangguan
bipolar adalah salah satu penyakit mental yang paling umum, parah, dan persisten
(Ikawati, 2011). Gangguan Bipolar atau juga dikenal sebagai mania-depresif
merupakan gangguan otak yang menyebabkan perubahan yang tidak normal
dalam suasana hati, energi, tingkat aktivitas, dan kemampuan untuk melaksanakan
kegiatan sehari-hari (NIMH, 2008).
Prevalensi gangguan bipolar I (satu atau lebih episode mania atau
campuran) adalah 0,4% sampai 1,6%, dan untuk bipolar II disorder (episode
depresi berulang besar dengan episode hypomania) adalah sekitar 0,5%.
Gangguan bipolar I terjadi sama pada pria dan wanita, sedangkan bipolar II
adalah sekitar 3:2 (Drayton&Weinstein, 2008). Episode mania lebih
terjadi terutama pada orang muda, sedangkan episode depresi mendominasi dalam
kelompok usia yang lebih tua. Usia onset gangguan bipolar sangat bervariasi.
Rentang usia baik untuk bipolar I dan bipolar II adalah dari masa kanak-kanak
sampai 50 tahun, dengan usia rata-rata sekitar 21 tahun. Kebanyakan kasus
dimulai ketika mereka berusia 15-19 tahun (Ikawati, 2011).
Analisis pola pengobatan pada pasien gangguan bipolar diperlukan
salah satunya untuk mengetahui bagaimana pengobatan pada pasien gangguan
bipolar memberikan outcome membaik dari episode yang sedang dialami pasien.
Di sisi lain, pasien gangguan bipolar memiliki tingkat ketidakpatuhan untuk
farmakoterapi yang relatif tinggi, diperkirakan mencapai 32-45% dari pasien yang
diobati (Rothbaum & Astin, 2000). Sedangkan penyakit gangguan kejiwaan
seperti gangguan bipolar memang belum mendapat perhatian yang cukup dari
banyak kalangan.
Peneliti memilih Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta karena rumah sakit
ini adalah rumah sakit jiwa di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang
menjadi rujukan untuk pasien dengan gangguan psikologi, salah satunya
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik pasien gangguan bipolar yang dirawat di Rumah
Sakit Grhasia Yogyakarta dari tahun 2009-2011?
2. Bagaimana pola pengobatan pasien gangguan bipolar yang sedang mengalami
perawatan di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta tahun 2009-2011?
3. Apakah pengobatan gangguan bipolar di RS Grhasia pada tahun 2009-2011
sudah tepat berdasarkan standar American Psyciatric Association 2002, yang
meliputi tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
a. Mengetahui profil penggunaan obat dan pola pengobatan pasien gangguan
bipolar yang dirawat di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta pada tahun
2009-2011.
b. Mengetahui pelaksanaan terapi pada pasien gangguan bipolar di Rumah
Sakit Grhasia Yogyakarta pada tahun 2009-2011.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik pasien gangguan bipolar yang dirawat di
Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta tahun 2009-2011.
b. Mengetahui jenis obat dan variasi jumlah obat yang diresepkan kepada
pasien gangguan bipolar di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta tahun
c. Mengetahui diagnosis, golongan obat, dosis obat yang diberikan dan
perkembangan gejala yang dialami pasien gangguan bipolar selama
pengobatan di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta tahun 2009-2011.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran mengenai karakteristik pasien dan pola pengobatan gangguan bipolar yang dirawat di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta dari
tahun 2009-2011.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi rumah sakit dalam
pelayanan medik.
3. Bagi peneliti, menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam
penelitian.
4. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai studi pendahuluan dan referensi untuk
E. Tinjauan Pustaka
1. Bipolar
a. Definisi bipolar
Gangguan bipolar adalah suatu gangguan yang ditandai
dengan perubahan mood antara rasa girang yang ekstrim dan depresi
yang parah. Orang dengan gangguan bipolar (bipolar disorder)
seperti mengendarai suatu roller coaster emosional, berayun dari
satu ketinggi rasa girang ke kedalaman depresi tanpa adanya
penyebab eksternal (Nevid, dkk, 2005).
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV Text
Revision ( DSM-IV TR ) mengklasifikasikan gangguan bipolar
menjadi 6 macam, yaitu:
1) Depresi berat (major depressive): terjadi episode depresi
berat (tunggal atau kambuhan) tanpa ada ada mania dan
hipomania.
2) Distimic (Dysthymic): perasaan depresi lebih sering dari
pada tidak, setidaknya dialami 2 tahun (tetapi tidak masuk
dalam kriteria depresi berat).
3) Bipolar I: terjadi episode mania atau episode campuran
4) Bipolar II: terjadi episode depresi mayor dan diikuti satu
atau lebih episode hipomania atau episode campuran.
5) Siklotimik (Cyclothymic): ditandai dengan sejumlah
periode tanda depresi tetapi tidak mengarah pada kriteria
episode depresi mayor. Setidaknya 2 tahun mengalami gejala
yang disertai episode hipomania.
6) Bipolar non-spesifik: ditandai dengan episode mania tetapi
kriterianya tidak sama dengan bipolar I, bipolar II atau
Siklotimik. (Hirschfeld, dkk., 2002)
b. Epidemiologi
Gangguan bipolar relatif tidak umum terjadi, sekitar 1% - 3%
dari populasi orang dewasa mengalami gangguan bipolar baik
bipolar I atau bipolar II. Angka prevalensi semasa hidup yang
dilaporkan oleh sebuah survey nasional bahwa antara 0,4%-1,6%
untuk bipolar 1 dan sekitar 0,5% untuk bipolar II di Amerika Serikat
(APA, 2000). Sedangkan jumlah yang menderita ganguan bipolar di
Indonesia tidak diketahui dengan pasti.
Tidak seperti depresi mayor, prevalensi gangguan bipolar I
tampak hampir sama pada pria dan wanita. Namun, pada pria, onset
dari gangguan bipolar I biasanya dimulai dengan suatu episode
suatu episode depresi mayor. Sedangkan gangguan bipolar II terlihat
lebih umum terjadi pada wanita (APA, 2000).
Usia onset untuk gangguan bipolar I terentang dari masa
anak-anak (5–6 tahun) sampai 50 tahun atau bahkan lebih lanjut pada
kasus yang jarang, dengan rata-rata usia adalah 30 tahun (Kaplan,
dkk., 1996).
c. Etiologi
Penyebab pasti dari gangguan bipolar belum diketahui secara
tepat. Gangguan bipolar dianggap sebagai penyakit genetik yang
kompleks yang mempengaruhi lingkungan dan disebabkan oleh
berbagai kelainan neurobiologic (Drayton & Weinstein,
2008). Diperkirakan beberapa faktor dapat dapat menjadi penyebab
terjadinya seseorang mendapat gangguan bipolar, antara lain :
1) Faktor genetik
Sebanyak 80%-90% pasien dengan gangguan bipolar memiliki
riwayat keluarga yang juga memiliki gangguan mood (misal,
gangguan bipolar, depresi, siklotimia atau dysthymia). Keluarga
derajat pertama pasien dengan gangguan bipolar memiliki
prevalensi sebesar 15%-35% berawal dari gangguan mood dan
5%-10% memiliki risiko langsung mengalami gangguan
Pada penelitian saudara kembar, angka kejadian gangguan
bipolar 1 pada kedua saudara kembar monozigot adalah 33% -
90% dan untuk gangguan depresif berat, angka kejadian pada
kedua saudara kembar monozigot adalah 50%. Pada kembar
dizigot angkanya berkisar 5% -25% untuk menderita gangguan
bipolar I dan 10% - 25% untuk penderita gangguan depresif
berat (Kaplan, dkk., 1997).
Penelitian lain menyebutkan bahwa antara 4% sampai 24% dari
mereka yang memiliki keluarga dengan bipolar I juga akan
mungkin mengalami bipolar. Untuk bipolar II, pengaruh faktor
ini lebih rendah, dimana individu yang memiliki orang tua atau
saudara didiagnosis dengan bipolar II hanya berisiko sekitar
1% sampai 5% untuk mengalami ganggaun mood (Akiskal,
1995).
2) Faktor biokimia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan
di dalam metabolit amin biogenic di dalam darah, urin, dan
cairan serebrospinalis pada pasien gangguan mood. Amin
biogenic (Norepinefrin dan serotonin) merupakan dua
neutransmiter yang paling berperan dalam patofisiologis
gangguan mood (Kaplan, dkk, 1996). Apabila Norepinefrin
epinefrin menyebabkan depresi, sebaliknya peningkatan kadar
keduanya menyebabkan mania (Ikawati, 2011).
Serotonin merupakan neurotransmiter aminergic yang paling
sering dihubungkan dengan depresi. Penurunan serotonin dapat
menyebabkan depresi. Pada beberapa pasien yang bunuh diri
memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di cairan
serebrospinalnya. Selain kedua senyawa diatas, ada dopamine
yang memiliki peranan dalam depresi dan mania pula. Data
menunjukkan aktivitas dopamine yang menurun pada depresi
dan meningkat pada mania (Kaplan, dkk, 1996).
Ketidakseimbangan hormonal dan gangguan dari sumbu
hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terlibat dalam homeostatis
dan respon stress juga dapat berkontribusi pada gambaran
klinis gangguan bipolar (Ikawati, 2011).
3) Faktor lingkungan
Telah lama diamati bahwa peristiwa yang menyebabkan stress
sering mendahului episode pertama dan dapat meningkatkan
serta memperpanjang waktu pemulihan dari gangguan mood
Kehamilan juga merupakan stress tertentu untuk wanita dengan
riwayat penyakit mania-depresif dan dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya psikosis postpartum (Ikawati, 2011).
d. Patofisiologi
Patofisiologi gangguan bipolar belum dapat diketahui dengan
pasti. Namun, orang yang kembar dan keluarga menunjukkan bahwa
gangguan bipolar memiliki komponen genetik. Bahkan, kerabat
tingkat pertama orang dengan gangguan bipolar sekitar 7 kali lebih
mungkin untuk mengembangkan gangguan bipolar daripada
lingkungan (Soreff, 2012).
Banyak teori telah diajukan mengenai patofisiologi gangguan
bipolar, teori yang paling popular berpendapat bahwa gangguan
bipolar disebabkan ketidakseimbangan neurotransmitter norepinefrin
yang diperkirakan menyebabkan gejala gangguan bipolar (Ikawati,
2011). Hipotesis lain berasal dari penelitian Coppen dan timnya
pada tahun 1960-an, yang menjumpai bahwa kadar natrium pada
syaraf menyebabkan hipereksitabilitas syaraf yang menjadi
kemungkinan terjadinya gangguan bipolar (Ikawati, 2011).
Penggunaan dari beberapa substansi yang mempengaruhi
sistem syaraf pusat (misalnya, alkohol, antidepresan, kafein,
stimulant sistem syaraf pusat, halusinogen atau ganja) dapat
e. Prognosis
Gangguan bipolar memiliki tingkat yang cukup signifikan
untuk morbiditas dan mortilitas. Di Amerika Serikat selama bagian
awal 1990-an, sekitar 25%-50% dari orang-orang dengan gangguan
bipolar usaha bunuh diri, dan 11% benar-benar melakukan bunuh
diri (Stephen, 2012).
Pasien dengan Bipolar I memiliki prognosis yang lebih buruk
daripada pasien dengan depresi. Dalam 2 tahun pertama setelah
episode awal, 40-50% dari pasien mengalami serangan mania. Hanya
50-60% dari pasien dengan BPI (Bipolar I) yang mendapat litium
untuk mengontrol gejala mereka. Kira-kira 7% dari pasien tersebut
mengalami gejala tidak terulang, 45% dari pasien mengalami episode
lebih dari satu dan 40% terus memiliki gangguan persisten. Sering
kali, pergantian antara episode depresi dan mania dipercepat dengan
usia (Kaplan, dkk, 1996).
Faktor yang memperburuk prognosis :
1) Riwayat pekerjaan yang buruk / kemiskinan
2) Disertai dengan penyalahgunaan alkohol
3) Disertai dengan gejala psikotik
f. Manifestasi Klinis
Gangguan bipolar dibedakan menjadi 2 yaitu gangguan
bipolar I dan II. Gangguan bipolar I atau tipe klasik ditandai dengan
adanya 2 episode yaitu mania dan depresi, sedangkan gangguan
bipolar II ditandai dengan hipomania dan depresi (Lubis, 2009).
Episode mania yaitu pada kelompok ini terdapat efek yang
meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan
aktivitas fisik mental, dalam berbagai derajat keparahan. Sedangkan
episode depresi ditandai dengan gejala utama yaitu: afek depresi,
kehilangan minat dan kegembiraan, serta kekurangan energi yang
menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya
aktivitas. Hipomania yaitu derajat gangguan yang lebih ringan dari
mania, afek meninggi atau berubah disertai peningkatan aktivitas
menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturur-turut,
pada suatu derajat intensitas dan bertahan melebihi siklotimia serta
tidak ada halusinasi atau waham (Mansjoer, 1999).
Pasien dengan gangguan bipolar juga bisa mendapat episode
campuran yang didefinisikan sebagai terjadinya simultan gejala
mania dan depresi. Episode campuran terjadi hingga 40% dari semua
episode dan lebih umum pada pasien lebih muda dan tua serta wanita
(Drayton & Weinstein, 2008). Serta dapat juga mengalami siklus cepat ; yaitu bila terjadi paling sedikit empat episode – depresi,
hipomania atau mania – dalam satu tahun. Seseorang dengan siklus cepat jarang mengalami bebas gejala dan biasanya terdapat adanya kesulitan dalam hubungan interpersonal atau pekerjaan. Siklus ultra ceoar yaitu episode mania, hipomania, dan episode depresi bergantian dengan sangat cepat dalam beberapa hari. Gejala dan hendaknya lebih berat bila dibandingkan dengan siklotimia dan sangat sulit diatasi. Symptom psikotik kasus berat, pasien bisa mengalami gejala psikotik. Gejala psikotik yang paling sering yaitu: halusinasi (auditorik, visual, atau bentuk sensasi lainnya) dan waham (APA, 2011).
Dibawah ini adalah kriteria diagnostik yang tertera dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-text Revision (DSM-IV TR).
Tabel I. Kriteria Diagnostik dari Episode Depresi
1. Lima (atau lebih) gejala berikut telah ada hampir setiap hari selama periode 2-minggu yang sama dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya; setidaknya salah satu gejala adalah perasaan depresi atau kehilangan minat atau kesenangan:
a. Perasaan tertekan atau sedih hampir sepanjang hari
b. Kurang bersemangat atau kesenangan dalam kegiatan semua, atau hampir semua, sepanjang hari.
c. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet, peningkatan berat badan (misalnya, perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam sebulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan.
e. Agitasi psikomotorik atau keterbelakangan mental (diamati oleh orang lain, tidak hanya subjektif perasaan kegelisahan atau sedang melambat)
f. Kelelahan atau kehilangan energi
g. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak pantas selayaknya (yang mungkin delusi)
h. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi (baik subjektif atau diamati oleh orang lain)
i. Terus berpikiran tentang kematian (tidak hanya rasa takut mati), berulang keinginan bunuh diri tanpa rencana tertentu, atau usaha bunuh diri sebelumnya atau rencana tertentu untuk melakukan bunuh diri
2. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran.
3. Gejala menyebabkan tekanan klinis secara signifikan atau dalam sosial, pekerjaan, atau fungsi dari bidang-bidang penting lainnya.
4. Gejala yang tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung zat (misalnya, penyalahgunaan obat, pengobatan lainnya) atau kondisi medis umum (misalnya, hipotiroidisme).
5. Gejala yang tidak bisa diperhitungkan dalam keadaan berkabung (yaitu, setelah kehilangan orang yang dicintai) dan tetap bertahan selama lebih dari 2 bulan atau ditandai dengan gangguan fungsional, berkeinginan bunuh diri, gejala psikotik, atau psikomotorik keterbelakangan.
Tabel II. Kriteria Diagnostik dari Episode Mania
1. Periode yang berbeda dari normal dan terus-menerus meningkat, expansive dan mudah tersinggung . Berlangsung setidaknya 1 minggu.
2. Selama periode gangguan mood, tiga (atau lebih) gejala berikut telah bertahan dan telah pada tingkat yang signifikan:
a. Meningkat diri atau kebesarannya
b. Menurun kebutuhan untuk tidur (misalnya, merasa cukup istirahat setelah 3 jam tidur)
c. Lebih banyak bicara daripada biasa atau ada tekanan untuk terus berbicara.
d. Pikirann yang tidak teratur atau pikiran yang saling bersliweran.
e. Distractibility (yaitu perhatian terlalu mudah tertarik pada hal yang tidak penting atau ada rangsangan dari luar yang tidak relevan).
f. Peningkatan dalam berbagai macam kegiatan (misal, aktivitas sosial, aktivitas di tempat kerja atau sekolah, atau seksual) atau agitasi psikomotorik.
g. Keterlibatan yang berlebihan dalam kegiatan menyenangkan yang memiliki potensi tinggi untuk mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan (misalnya berfoya-foya, ketidakbijaksanaan dalam seksual, atau tidak bisa menjalankan investasi bisnis dengan benar).
3. Gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran. 4. Gangguan mood dapat ;
a. terjadi hingga cukup parah yang menyebabkan penurunan fungsi kerja, kegiatan sosial atau hubungan dengan orang lain.
b.memerlukan rawat inap untuk mencegah kerugian atas diri sendiri atau orang lain, atau
c. memiliki gejala-gejala psikotik.
5. Gejala yang tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung zat (misalnya, penyalahgunaan obat, obat atau pengobatan lainnya) atau kondisi medis umum (misalnya, hipertiroidisme).
Tabel III.Kriteria Diagnostik Episode Hipomania
1. periode berbeda dari normal dan terus-menerus meningkat, expansive atau mudah tersinggung, berlangsung setidaknya 4 hari.
2. selama periode gangguan mood, tiga (atau lebih) gejala berikut telah ada dan telah hadir ke tingkat yang signifikan:
a. Meningkat diri atau kebesarannya
b. Menurun kebutuhan untuk tidur (misalnya, merasa cukup beristirahat hanya dengan tidur 3 jam)
c. Lebih banyak bicara daripada biasanya atau ada tekanan untuk terus berbicara
d. Pikirann yang tidak teratur atau pikiran yang saling bersliweran.
e. Distractibility (yaitu, perhatian terlalu mudah tertarik penting atau tidak relevan rangsangan eksternal)
f. Peningkatan dari berbagai macam kegiatan (baik sosial, di tempat kerja, sekolah, atau seksual) atau agitasi psikomotorik
g. Keterlibatan yang berlebihan dalam kegiatan menyenangkan yang memiliki potensi tinggi untuk mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan (misalnya berfoya-foya, ketidakbijaksanaan dalam seksual, atau tidak bisa menjalankan investasi bisnis dengan benar).
3. Episode dikaitkan dengan tegas perubahan dalam fungsi yang seperti biasanya orang ketika tidak gejala.
4. Gangguan dalam suasana hati dan perubahan dalam fungsi yang diamati oleh orang lain.
5. Episode yang penyebabnya tidak cukup parah ditandai penurunan dalam hubungan sosial atau fungsi pekerjaani, tidak memerlukan rawat inap, dan tidak memiliki gejala psikotik.
6. Gejala yang tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung zat (misalnya, penyalahgunaan obat, obat atau pengobatan lainnya) atau kondisi medis umum (misalnya, Hipertiroidisme).
Tabel IV. Kriteria Diagnostik Episode Campuran
Tabel V. Kriteria Diagnostik Siklus Cepat
Tabel VI. Kriteria Diagnostik Siklus Ultra Cepat
1. Kriteria terpenuhi dari episode mania maupun untuk episode depresi berat hampir setiap hari selama setidaknya 1 minggu periode.
2. Gangguan mood yang cukup parah ditandai dengan adanya gangguan dalam fungsi pekerjaan, biasa kegiatan sosial, atau hubungan dengan orang lain; memerlukan rawat inap untuk mencegah kerugian untuk diri sendiri atau orang lain; atau memiliki fitur psikotik.
3. Gejala yang tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung zat (misalnya, penyalahgunaan obat, obat atau pengobatan lainnya) atau kondisi medis umum (misalnya, hipertiroidisme).
Siklus cepat yaitu apabila terjadi paling sedikit empat episode-depresi, hipomania atau mania-dalam satu tahun. Seseorang dengan siklus cepat jarang mengalami bebas gejala dan baisanya terdapat kendala berat dalam hubungan interpersonal atau pekerjaan.
Mania, hipomania, dan episode depresi bergantian dengan sangat cepat dalam beberapa hari. Gejala dan kendala lebih berat bila dibandingkan dengan siklotimia dan sangat sulit diatasi.
Tabel VII. Kriteria Diagnostik Simtom Psikotik
g. Diagnosis
Keterampilan wawancara, informasi dari keluarga dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosis. Salah diagnosis dan terlambatnya
penegakan diagnosis GB sering terjadi sehingga terapi yang akurat
terlambat diterima oleh pasien gangguan bipolar (PDSKJI, 2010)
Belum ditemukan marker biologis yang berhubungan secara
mutlak dengan gangguan bipolar, untuk itu DSM-IV TR atau ICD-10
(International Classification of Diseases, 2010) menentukan
diagnosis seseorang yang mengalami gangguan bipolar dengan cara
melihat kriteria diagnosis berdasarkan episode yang dialami pasien
tersebut. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk
mengindetifikasi simtom gangguan bipolar adalah The Structured Pada kasus berat, pasien bisa mengalami gejala psikotik. Gejala psikotik yang paling sering yaitu:
- Halusinasi (auditonik, visual, atau bentuk sensasi lainnya - Waham
Misalnya, waham kebesaran sering terjadi pada episode mania sedangkan waham nihilistik terjadi pada episode depresi. Ada kalanya simtom psikotik tidak serasi dengan mood. Pasien dengan gangguan bipolar sering didiagnosis sebagai skizofrenia.
Clinical Interview for DSM-IV (SCID), yaitu wawancara
semi-terstruktur untuk membuat diagnosis utama DSM-IV Axis I
(gangguan mental utama) dan DSM-IV Axis II (gangguan
kepribadian) (First, 2002). The Present State Examination (PSE),
yaitu instrument yang dirancang untuk mempermudah identifikasi
standar khusus kejiwaan baik untuk penelitian dan dapat pula
digunakan untuk mengindetifikasi simton sesuai dengan ICD-10
(PDSKJI, 2010).
Tabel VIII. Diagnosis Gangguan Bipolar Menurut Kriteria Diagnostik DSM-IV TR
1. Gangguan Mood Bipolar I
Gangguan Mood Bipolar I, Episode Mania Tunggal
a. Hanya mengalami satu kali episode mania dan tidak ada riwayat episode depresi mayor sebelumnya.
b. Tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizoafektif, gangguan waham, atau dengan gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
c. Gejala-gejala tidak disebabkan efek fisiologik langsung zat atau kondisi medik umum
d. Gejala mood menyebabkan penderitanya yang secara klinik cukup bermakna atau menimbulkan kendala dalam sosial pekerjaan atau aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan Mood Bipolar I, Episode Mania Saat Ini
a. Saat ini dalam episode mania.
b. Sebelumnya paling sedikit pernah mengalami satu kali episode mania, depresi, atau campuran.
c. Episode mood pada kriteria a dan b bukan skizofenia, skizofreniform, gangguan waham, atau dengan gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
d. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat atau kondisi medik umum.
e. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup bermakna atau menimbulkan kendala dalam sosial, pekerjaan, atau aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan Mood Bipolar I, Episode Campuran Saat Ini a. Saat ini dalam episode campuran
b. Sebelumnya, paling sedikit pernah mengalami episode mania, depresi, atau campuran.
c. Episode mood pada kriteria a dan b tidak dapat dikatergorikan skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau dengan gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan. d. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung
zat atau kondisi medik umum.
e. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup bermakna atau menimbulkan kendala dalam sosial, pekerjaan, atau aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan Mood Bipolar I, Episode Hipomania Saat ini
a. Saat ini dalam episode hipomania
b. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode mania atau campuran
c. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup bermakna atau kendala dalam sosial, pekerjaan atau aspek fungsi penting lainnya.
d. Episode mood pada kriteria a dan b tidak dapat dikatergorikan skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau dengan gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
Gangguan Mood Bipolar I, Episode Depresi Saat Ini
a. Saat ini dalam episode depresi mayor
b. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode mania atau campuran.
c. Episode mood pada kriteria a dan b tidak dapat dikatergorikan skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau dengan gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan. d. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung
zat atau kondisi medik umum.
e. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik cukup bermakna atau menimbulkan kendala dalam social, pekerjaan, atau aspek fungsi penting lainnya.
Gangguan Mood Bipolar I, Episode Yang Tidak Dapat Diklasifikasikan Saat ini
a. Kriteria, kecuali durasi, saat ini, memenuhi criteria untuk mania, hipomania, campuran, atau episode depresi.
b. Sebelumnya, paling sedikit, pernah mengalami satu episode mania atau campuran.
c. Episode mood pada kriteria a dan b tidak dapat dikatergorikan skizoafektif dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, skizofreniform, gangguan waham, atau dengan gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan. d. Gejala mood menyebabkan penderita yang secara klinik
cukup bermakna atau menimbulkan kendala dalam social, pekerjaan, atau aspek fungsi penting lainnya
2. Ganguan Mood Bipolar II
Satu atau lebih episode depresi mayor yang disertai dengan paling sedikit satu episode hipomania.
3. Gangguan Siklotimia
a. Paling sedikit selama dua tahun, terdapat beberapa periode dengan gejala-gejala hipomania dan beberapa periode dengan gejala-gejala depresi yang tidak memenuhi criteria untuk gangguan depresi mayor. Untuk anak-anak dan remaja durasinya paling sedikit satu tahun.
b. Selama periode dua tahun diatas penderita tidak pernah bebas dari gejala-gejala pada kriteria a lebih dari dua bulan pada satu waktu.
c. Tidak ada episode depresi mayor, episode mania, episode campuran, selam dua tahun gangguan tersebut.
Catetan: setelah dua tahun awal, siklotimia dapat bertumpang tindih dengan mania atau episode campuran (diagnosis GB I dan gangguan siklotimia dapat dibuat) atau episode depresi mayor (diagnosis GB II dan gangguan siklotimia dapat ditegakkan)
d. Gejala-gejala pada kriteria a bukan skozoafektif dan tidak berutmpang tindih dengan skizofrenia, skizofrenoform, gangguan waham, atau dengan gangguan psikotik yang tidak dapat diklasifikasikan.
e. Gejala-gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung zat atau kondisi medik umum
f. Gejala-gejala diatas menyebabkan penderita yang secara klinik cukup bermakna atau menimbulkan kendala dalam sosial, pekerjaan, atau aspek fungsi penting lainnya.
Tabel IX. Diagnosis Gangguan Bipolar Menurut Kriteria Diagnostik ICD-10
F 31
Gangguan Afektif Bipolar
Sebuah gangguan yang ditandai oleh dua atau lebih di mana suasana hati pasien dan tingkat aktivitas secara signifikan terganggu, gangguan ini terdiri dalam beberapa kejadian dari elevasi mood dan meningkatkan energi dan aktivitas (hypomania dan mania) dan pada orang lain dari penurunan mood dan penurunan energi dan aktivitas (depresi).
F 31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Saat ini Episode Hypomania Pasien saat ini pada episode hypomania, dan telah memiliki setidaknya satu episode afektif lain (hypomania, mania, depresi, atau campuran) di masa lalu.
F 31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Saat ini Episode Mania tanpa Ciri Psikotik
Pasien saat ini episode mania, tanpa gejala psikotik (seperti dalam F 30.1), dan telah memiliki setidaknya satu episode afektif lain (episode hypomania, mania, depresi, atau campuran) di masa lalu.
F 31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Saat ini Episode Mania dengan Ciri Psikotik
Pasien saat ini mania, denga gejala psikotik (seperti dalam F 30.2), dan telah memiliki setidaknya satu episode afektif lain (hypomania, mania, depresi, atau campuran) di masa lalu.
F 31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Saat ini Episode Depresi ringan atau sedang
Pasien saat ini depresi, seperti dalam episode depresi dari baik keparahan ringan atau sedang (F 32.0 atau F 32.1), dan telah memiliki setidaknya satu episode hypomania, mania, atau episode afektif campuran di masa lalu.
F 31.4 Gangguan Afektif Bipolar, Saat ini Episode Depresi tanpa Ciri Psikotik
Pasien saat ini depresi, seperti dalam episode depresi berat tanpa gejala psikotik (F 32.2), dan telah memiliki setidaknya satu episode hypomania, maik, atau episode afektif campuran di masa lalu.
F 31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Saat ini Episode Depresi dengan Ciri Psikotik
Pasien saat ini depresi, seperti dalam episode depresi berat dengan ciri psikotik (F32.2), dan telah memiliki setidaknya satu episode hypomania, mania, atau episode afektif campuran di masa lalu.
F 31.6 Gangguan Afektif Bipolar, Saat ini Episode Campuran Pasien telah memiliki setidaknya satu episode hypomania, mania, depresi, atau episode afektif campuran di masa lalu, dan saat ini menunjukkan baik campuran arau perubahan yang cepat dari gejala mania dan depresi.
F 31.7 Gangguan Afektif Bipolar, Saat ini dalam Remisi
Pasien telah memiliki setidaknya satu episode hypomania, mania, atau episode afektif campuran di masa lalu, dan setidaknya satu episode afektif lain (hypomania, mania, depresi, atau campuran) di samping itu, tetapi saat ini tidak menderita dari setiap gangguan mood yang signifikan, dan belum melakukannya selama beberapa bulan.
F 31.8 Gangguan Afektif Bipolar lainnya
F 31.9 Gangguan Afektif Bipolar tidak terindentifikasi
2. Terapi bipolar
a. Tujuan terapi
Tujuan terapi untuk gangguan bipolar adalah untuk mencegah
terjadinya kekambuhan episode mania, hypomania, atau depresif,
mempertahankan berfungsi-fungsi normal, dan untuk mencegah
b. Algoritma terapi
Pengobatan gangguan bipolar dapat bervariasi tergantung pada jenis episode pasien mengalami. Setelah didiagnosis dengan gangguan bipolar pasien harus mendapat mood stabilizer (misalnya litium, valproat) untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Selama episode akut obat dapat ditambahkan dan kemudian dapat diturunkan takarannya setelah pasien stabil (Drayton & Weinstein, 2008).
Tabel X. Algoritma dan Pedoman Umum Terapi Akut Pada Episode Mania atau Campuran (Drayton & Weinstein, 2008)
Pedoman Umum :
1. Memeriksa penyebab sekunder dari episode mania atau campuran (misal, alkohol, penyalahgunaan obat)
2. Penurunan dosis antidepresan, stimulant dan kafein jika memungkinkan
3. Melakukan terapi untuk penyalahgunaan zat
4. Mendorong pasien untuk memenuhi gizi yang baik (dengan asupan protein dan asam lemak asensial), olahraga, tidur yang cukup, mengurnagi stress, dan terapi psikososial
5. Mengoptimalkan dosis obat untuk menstabilkan suasana hati sebelum menambahkan obat golongan benzodiazepine; jika ada gejala psikotik dapat ditambahkan antipsikotik; ECT (Electroconvulsive Terapi) digunakan untuk episode mania atau campuran yang parah atau tidak dapat hanya diterapi atau ada gejala psikotik.
Gejala ringan hingga sedang episode mania atau campuran : 1. Pertama, mengoptimalkan
obat penstabil mood untuk menstabilkan mood: Lithium, valproat, carbamazepine atau jika diperlukan dapat mempertimbangkan untuk menambah benzodiazepine (lorazepam atau clonazepam) sebagai terapi penunjang jangka pendek untuk agitasi atau insomnia.
2. Alternative pilihan obat: karbamazepine, jika pasien tidak merespon terapi atau toleran. Pertimbangkan juga pemberian obat antipsikotik atipikal (missal olanzapine, quetiapine, risperidone) atau oxcabazepine.
3. Kedua, jika respon tidak mencukupi, pertimbangkan memberikan kombinasi dua obat:
a. Lithium dan antikonvulsan atau sebuah antipsikotik atipikal.
b.Antikonvulsan dan antipsikotik atau antipsikotik atipikal.
Gejala sedang sampai berat episode mania atau campuran :
1. Pertama, kombinasi dua atau tiga obat: Lithium atau valproat dan golongan benzodiazepine (lorazepam atau clonazepam) sebagai terapi terapi jangka pendek untuk agitasi atau insomnia. Lorazepam disarankan utnuk katatonia. Jika ada gejala psikotik, dapat diberikan antipsikotik atipikal dan kombinasi seperti diatas. 2. Alternatif pilihan obat :
karbamazepin, jika pasien tidak merespon terapi atau toleran, pertimbangkan juga oxcarbazepine.
3. Kedua, jika respon tidak mencukupi, pertimbangkan kombinasi 3 obat :
a. Lithium dan anticonvulsant dan antipsikotik atipikal. b.Anticonvulsan dan
antikonvulsan dan antipsikotik atipikal.
4. Ketiga, jika respon tidak mencukupi, pertimbangkan ECT untuk mania dengan psikotik atau katatonia, atau ditambah clozapine untuk terapi yang kambuhan.
Tabel XI. Algoritma dan Pedoman Umum Terapi Akut Pada Episode
Depresi (Drayton &Weinstein, 2008)
Pedoman Umum :
1. Memeriksa penyebab sekunder dai episode depresi (misal, alkohol, penyalahgunaan obat)
2. Penurunan dosis antipsikotik, benzodiazepine atau obat sedative-hipnotik jika memungkinkan.
3. Melakukan terapi untuk penyalahgunaan zat.
4. Mendorong pasien untuk memenuhi gizi yang baik (dengan asupan protein dan asam lemak asensial), olahraga, tidur yang cukup, mengurangi stres, dan terapi psikososial.
5. Mengoptimalkan dosis obat untuk menstabilkan suasana hati sebelum menambahkan obat lithium, lamotrigin atau antidepresan (misal, bupropion atau SSRI); jika ada gejala psikotik dapat ditambahkan antipsikotik; ECT (Electroconvulsasive Therapy) digunakan untuk episode depresi yang parah atau tidak dapat hanya diterapi atau ada gejala psikotik.
Gejala ringan sampai sedang pada episode depresi :
1. Pertama, memulai dan/atau mengoptimalkan obat penstabil mood untuk menstabilkan mood : lithium atau lamotrigin.
2. Alternatif terapi obat: karbamazepine atau oxcarmazepine.
Gejala sedang sampai berat episode depresi :
1. Pertama, kombinasi 2 atau 3 obat : lithium atau lamotrigin dengan antidepresan ; lithium dan lamotrigin. Jika ada gejala psikotik dapat diberikan antipsikotik atipikal dan kombinasi seperti diatas.
2. Alternative antikonvulsan: valproate, karbamazepine atau oxcarbazepine.
3. Kedua, jika respon tidak mencukupi, pertimbangkan penambahan antipsikotik atipikal (quetiapine).
4. Ketiga, jika respon tidak mencukupi, pertimbangkan kombinasi 3 obat:
a. Lamotrigi, antikonvulsan dan antidepresan.
b.Lamotrigin dan lithium dan antidepresan.
5.Keempat, jika terapi tidak mencukupi, pertimbangkan ECT untuk episode depresi yang kambuhan dan dengan psikotik atau katatonia.
3. Pharmaceutical care
Misi dari apoteker adalah memberikan pelayanan farmasi
(Pharmaceutical Care). Pharmaceutical care adalah sebuah praktik
dimana farmasis bertanggung jawab atas kebutuhan yang berhubungan
dengan obat pasien yang bertujuan untuk mencapai outcome yang dapat
meningkatkan kualitas hidup penderita (Cipolle, dkk, 1998).
Unsur-unsur tertentu harus dimiliki farmasis untuk memberikan
pharmaceutical care yang berkualitasi. Beberapa unsur-unsur ini
adalah:
a. Pengetahuan, keterampilan, dan fungsi dari setiap personil
Pelaksanaan pharmaceutical care didukung oleh pengetahuan
dan keterampilan, informasi klinis, komunikasi, kedewasaan
mengajar dan prinsip-prinsip belajar serta aspek-aspek psikososial
perawatan. Untuk menggunakan keterampilan ini, tanggung jawab
harus dipertimbangkan, dan ditugaskan untuk personel yang sesuai,
termasuk apoteker, teknisi, otomatisasi, dan teknologi.
b. Sistem untuk pengumpulan data, dokumentasi dan transfer informasi
Pelaksanaan pelayanan farmasi didukung oleh pengumpulan
data dan sistem dokumentasi yang mengakomodasi komunikas
dalam pelayanan pasien (misal, kontak person pasien, riwayat
kesehatan atau pengobatan), komunikasi inter professional (misal,
komunikasi antara dokter, apoteker), jaminan kualitas (dilihat dari
outcomes pasien), dan penelitian (misal, data untuk
farmakoepidemiologi, dan lain-lain). Sistem dokumentasi sangat
penting untuk pertimbangan dalam penggantian sistem.
c. Proses alur kerja yang efisien.
Pelaksanaan pelayanan farmasi didukung dengan
memasukkan perawatan pasien ke dalam kegiatan apoteker dan
d. Referensi, sumber daya dan peralatan
Pelaksanaan pelayanan farmasi didukung oleh alat yang
memfasilitasi perawatan pasien termasuk peralatan untuk menilai
kepatuhan terapi pengobatan dan efektivitas bahan sumber daya
klinis. Alat yang mungkin dibuthkan termasuk perangkat lunak
pengdukung serperti komputer , program evaluasi pemanfaatan obat
(Drug Utilization Evaluation), protocol manajemen penyakit,dan
lain-lain.
e. Keterampilan komunikasi
Pelaksanaan pelayanan farmasi didukung oleh komunikasi
berpusat pada pasien. Dalam komunikasi ini pasien memainkan
peran penting dalam pengelolaan secara keseluruhan dari rencana
terapi.
f. Program peningkatan kualitas penilaian
Pelaksanaan dan praktek pelayanan farmasi didukung dan
ditingkatkan dengan mengukur, menilai dan meningkatkan kegiatan
pelayanan farmasi yang memanfaatkan kerangka konseptual
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien
gangguan bipolar yang dilihat dari segi usia, jenis kelamin, domisili,
pendidikan terakhir, pekerjaan, status marital, diagnosis, gangguan jiwa
sebelumnya dan stressor psikososial. Selain itu untuk mengetahui
menganalisis gambaran pola pengobatan pasien gangguan bipolar sehingga
bisa menjadi bahan evaluasi penggunaan obat dan pasien mendapat
pengobatan yang rasional. Beberapa aspek pengobatan yang rasional adalah