• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL DI KAWASAN WARISAN BUDAYA DUNIA : KASUS KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA JATILUWIH. Oleh : I NYOMAN DHANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL DI KAWASAN WARISAN BUDAYA DUNIA : KASUS KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA JATILUWIH. Oleh : I NYOMAN DHANA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1 MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL DI KAWASAN WARISAN BUDAYA

DUNIA : KASUS KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA JATILUWIH

Oleh :

I NYOMAN DHANA

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

2019

(2)

2 MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL DI KAWASAN WARISAN BUDAYA

DUNIA : KASUS KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA JATILUWIH

Oleh : I Nyoman Dhana 1. Pendahuluan

Sebagaimana diketahui, penetapan suatu kawasan menjadi kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melestarikan lingkungan alam dan budaya di kawasan tersebut. Sehubungan dengan hal ini ada fakta yang menarik untuk dikemukakan, bahwa Desa Jatiluwih dan Subak Jatiluwih di Kabupaten Tabanan, Bali selain merupakan kawasan WBD juga merupakan Daya Tarik Wisata (DTW). Dengan demikian, status ganda kawasan ini berpeluang menimbulkan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan DTW tanpa dapat dapat mempertahankan kelestarian lingkungan alam setempat. Hal ini memungkinkan terjadi mengingat pengembangan DTW Jatiluwih di satu sisi memerlukan lahan untuk pengadaan fasilitas pariwisata seperti restoran dan penginapan; di sisi lain menurut ketentuan yang ada, kawasan WBD Jatiluwih harus dilestarikan, dalam arti tidak boleh dimanfaatkan selain untuk kepentingan pertanian.

Mengingat lingkungan alam Jatiluwih merupakan daya tarik wisata, maka idealnya pelestarian alam Jatiluwih diutamakan, tidak saja untuk kepentingan yang berkaitan dengan WBD Jatiluwih, melainkan juga untuk kepentingan yang berkaitan dengan DTW Jatiluwih. Hal ini penting karena DTW Jatiluwih kiranya akan tetap dikunjungi banyak wisatawan jika lingkungan alam Jatiluwih tetap lestari. Sebaliknya jika lingkungan alam Jatiluwih tidak dapat dilestarikan, maka tidak tertutup kemungkinannya kunjungan wisatawan akan berkurang. Meskipun demikian, realitas menunjukkan bahwa di kawasan Subak Jatiluwih telah dibangun fasilitas pariwisata berupa tempat parkir dan restoran.

Kesenjangan antara idealitas dan realitas ini tampak merupakan permasalahan penting yang perlu dikaji dalam rangka pengembangan DTW Jatiluwih dan sekaligus memelihara WBD Jatiluwih. Sehubungan dengan permasalahan ini

(3)

3 tampaknya kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih perlu diidentifikasi dan dipahami dalam rangka konservasi lingkunganalam alam setempat sehingga dapat diharapkan bermanfaat, baik untuk keperluan pengelolaan DTW maupun WBD Jatiluwih .

Berdasarkan gagasan sebagaimana dipaparkan di atas, tulisan ini bertujuan mengindentifikasi, menjelaskan, dan memahami kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih yang kiranya perlu diacu dalam pengelolaan DTW Jatiluwih. Kearifan lokal dalam hal ini meliputi kearifan sosial dan kearirfan lingkungan. Kearirfan sosial meliputi pengetahuan, keyakinan, dan adat kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan sesamanya. Kearifan lingkunganmeliputi pengetahuan, keyakinan, dan adat kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Pandangan Manusia terhadap Lingkungannya

Tujuan penelitian ini sebagaimana disebutkan di atas pada dasarnya tidak lepas dari telaah tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam menelaah hubungan manusia dengan lingkungannya, maka pandangan manusia terhadap lingkungan tidak dapat diabaikan karena berdasarkan pandangannya itulah manusia berusaha memanfaatkan potensi lingkungan dengan melakukan berbagai kegiatan. Sehubungan dengan hal ini, Soemarwoto dalam tulisannya berjudul Lingkungan Hidup dan Pembangunan (1989) menunjukkan bahwa perilaku manusia dalam memanfaatkan lingkungan sangat ditentukan oleh citra lingkungan yang mereka miliki. Menurut Soemarwoto (1989 : 94) citra lingkungan adalah sebagai berikut.

“Citra lingkungan menggambarkan anggapan orang tentang struktur lingkungan, bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya terhadap tindakan orang serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Citra lingkungan itu memberi petunjuk tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan orang itu”.

Berdasarkan pengertian tentang citra lingkungan ini, maka dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya

(4)

4 tidak lepas dari pandangannya atau anggapannya tentang lingkungan yang bersangkutan. Jika lingkungannya dianggap mengandung potensi yang bermanfaat baginya, maka mereka akan berusaha memanfaatkan potensi tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Soemarwoto (1989 : 94), citra lingkungan yang dimiliki suatu masyarakat bisa bersumber pada pengetahuan yang mereka dapatkan dari hubungan mereka dengan lingkungan dan/atau bisa pula bersumber pada agama, kepercayaan ataupun mistik. Dengan mengacu kepada pendapat Sanderson (1993), agama, kepercayaan ataupun mistik sebagai sumber citra lingkungan dapat dikatakan sebagai sub dari salah satu unsur sistem sosiokultural masyarakat yang bersangkutan, yaitu unsur sistem sosiokultural berupa superstruktur ideologis. Superstruktur ideologis meliputi cara-cara yang telah terpolakan yang dengan cara tersebut para anggota masyarakat berpikir serta melakukan konseptualisasi, menilai, dan merasa (Sanderson, 1993 : 62).

Sebagaimana diketahui, citra lingkungan masyarakat Bali dalam arti demikian dapat dilihat dari ideologi yang mereka anut, yakni ideologi Tri Hita Karana. Ideologi ini menekankan pada pentingnya keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan), hubungan manusia dengan lingkungan alam nyata atau sekala (palemahan) dan hubungan manusia dengan lingkungan alam tidak nyata atau niskala (parhyangan). Dengan demikian, citra lingkungan masyarakat Bali terlihat bersifat ekosentrisme.

2.2 Kepentingan dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai hutan menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan potensi sumberdaya hutan bisa terjadi kompetisi dan konflik antarkelompok pemanfaat. Salah satu contohnya adalah kompetisi yang berlanjut dengan konflik antara masyarakat setempat dan pengusaha hutan di Irian jaya sebagaimana ditunjukkan oleh Soehendra dan Aninung (1993). Selain itu bisa pula terjadi kerjasama warga masyarakat dalam mengelola hutan sehingga menghasilkan masukan finansial bagi mereka sekaligus menghasilkan kelestarian hutan yang bersangkutan. Contohnya adalah kasus pengelolaan hutan yang dilakukan oleh orang Badui sebagaimana ditelaah oleh Iskandar (1992).

(5)

5 Beberapa hasil penelitian tentang hutan di Bali khususnya menunjukkan bahwa ada masyarakat-masyarakat yang mampu memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap melestarikan hutan yang bersangkutan. Di antaranya adalah hasil penelitian Astika, dkk (1984) menunjukkan bahwa masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan telah mampu memanfaatkan sekaligus melestarikan hutan setempat dengan memberlakukan peraturan (awig-awig) dan sanksinya secara ketat. Begitu juga hasil penelitian Atmadja (1992; 1993, 1993a) mengenai Hutan Wisata Kera Sangeh (1992; 1993a) dan Hutan Wisata Kera Kedaton (1993) menunjukkan peran masyarakat setempat dalam mengelola hutan tersebut sehingga tetap lestari dan mampu memberikan masukan finansial, baik terhadap rumah tangga maupun komunitas setempat.

Mencermati hasil penelitian yang menunjukkan pemanfaatan hutan yang menghasilkan masukan finansial bagi masyarakat yang bersangkutan sekaligus menghasilkan kelestarian hutan, maka segera dapat dipahami bahwa partisipasi masyarakat dalam melestarikan hutan tidak lepas dari kepentingannya untuk meraih masukan finansial melalui pengelolaan hutan yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan tanpa dan dan/atau dengan menjadikan hutan sebagai objek wisata, tergantung dengan konteks ekologis serta kemauan dan kemampuan masyarakat setempat. Dengan demikian, penelitian seperti itu, termasuk penelitian yang hendak dilakukan ini tetap perlu dilakukan untuk mengembangkan model pengelolaan hutan yang berpoptensi untuk menghasilkan masukan finansial bagi para partisipannya sekaligus untuk melestarikan hutan yang bersangkutan. Dikatakan demikian bukan hanya kerena keberhasilannya telah terbukti dari hasil penelitian terdahulu, melainkan juga karena masing- masing hutan tentu memiliki kondisi ekologis yang tidak selalu sama, begitu pula masyarakat di sekitarnya tidak selalu memiliki kemauan dan kemampuan yang sama dalam konteks pemanfaatan hutan.

Menurut teori rasionalitas, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang rasional. Artinya, manusia selalu berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas dalam melakukan setiap tindakan (Basrowi dan Sukidin, 2003; Mustain, 2007).

(6)

6 Sehubungan dengan itu, setiap individu manusia dalam kehidupan masyarakat memiliki kesadaran akan keuntungan yang dapat diperoleh melalui tindakan- tindakannya (Yunita, 1986 : 68-69). Demikian juga teori insentif selektif mengasumsikan bahwa keikutsertaan seseorang yang rasional dalam melakukan suatu kegiatan dipengaruhi oleh jenis, bentuk, dan isi harapan-harapan yang bakal menguntungkan.

Berdasarkan asumsi teori rasionalitas di atas, maka daoat diduga bahwa warga masyarakat akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan jika mereka memandang kegiatan tersebut memberi keuntungan bagi mereka, dan sebaliknya. Berpegang pada dugaan ini maka tidak mengherankan jika masyarakat setempat telah berperan dalam melestarikan Hutan Wisata Kera di Bali sebagaimana ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Atmadja (1992 dan 1993). Sebab dalam kenyataannya, hutan tersebut merupakan objek wisata yang setiap hari dikunjungi banyak wisatawan, sehingga menghasilkan keuntungan finansial bagi masyarakat yang bersangkutan.

3. Metode Penelitian

Data yang dipakai dalam tulisan ini bersumber dari hasil penelitian Hibah Unggulan Program Studi Universitas Udayana (2017). Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan motode penelitian kualitatif yang mengandalkan teknik pengamatan dan wawancara mendalam dalam proses pengumpulan data; dan mengandalkan teknik interpretatif dalam proses analisis data kualitatif. Proses pengumpulan dan analisis data dalam penelitian ini berorientasi pada paradigma kritis, yaitu mengacu teori-teori sosial kritis, dan metode dekonstruksi. Secara lebih konkret, penerapan metode dan teknik penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

3.1 Penentuan Lokasi Penelitian

Berkenaan dengan kawasan Subak Jatiluwih ada Peta Desa Jatiluwih.

Dalam peta desa ini ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa sawah yang

(7)

7 merupakan bagian dari Subak Jatiluwih ternyata berada di dalam wilayah Desa Jatiluwih. Berdasarkan informasi yang diperoleh, para petani subak ini merupakan warga atau penduduk Desa Jatiluwih. Oleh karena itu, lokasi pelaksanaan penelitian ini adalah di Desa Jatiluwih.

3.2 Penentuan Informan

Mengingat penelitian ini menggunakana pendekatan penelitian kualitatif, maka data dan informasi yang dibutuhkan digali melalaui pengamatan dan wawancara mendalam. Oleh karena itu, informan (bukan responden) merupakan narasumber yang amat penting dalam penelitian ini, sebab tanpa informan akan sulit memperoleh data dan keterangan untuk mencapai tujuan penelitian. Sudah dapat dipastikan informan dalam penelitian ini adalah warga masyarakat Desa Jatiluwih dan warga Subak Jatiluwih. Namun untuk menentukan orangnya memerlukan petunjuk dari informan pangkal. Sehubungan dengan itu, kepala Desa Dinas dan Kepala Desa Adat setempat serta Kepala Subak Jatiluwih dijadikan informan pangkal dalam penelitian ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989 : 130), informan pangkal adalah orang-orang yang dapat memeberikan petunjuk kepada peneliti tentang adanya individu lain yang paham tentang berbagai sektor kehidupan masyarakat yang ingin dikaji oleh peneliti.

Individu-individu lain ini disebut informan pokok atau informan kunci (key informant).

Oleh karena itu, berdasarkan petunjuk informan pangkal itu dikembangkan jumlah informan, baik informan pangkal yang lainnya maupun informan kunci dan informan selanjutnya. Dengan demikian, pengembangan informan dalam penelitian ini bersifat snowboll, yakni dari informan ke informana lain.

Penambahan informan akan diakhiri apabila terdapat indikasi bahwa tidak ada lagi variasi informasi dan kategorisasi data dan informasi telah jenuh.

3.3 Metode Pengumpulan Data dan Informasi : Pengamatan dan Wawancara Mendalam

(8)

8 3.3.1 Pengamatan

Metode pengamatan yang diterapkan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mencermati hal-hal yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa dalam pengamatan juga dilakukan wawancara dengan menanyakan sesuatu yang telah dilihat dan didengar terkait dengan masalah yang dikaji guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih jauh. Hal ini biasa dilakukan dalam pengamatan terlibat, sehingga para akhli mengatakan pengamatan terlibat sebagai pengamatan langsung bersama metode lainnya dalam pengumpulan informasi (Mulyana, 2006 : 162), atau sebagai pengamatan yang bercirikan interaksi peneliti dengan subjek (Satori dan Komariah, 2009 : 117). Aspek-aspek yang dicermati dalam pengamatan adalah (1) keadaan/situasi di rumah informan; (2) orang-orang yang ikut serta dalam situasi tersebut, termasuk jenis kelamin, usia, profesi, tempat asal, dan lain-lain;

(3) kegiatan yang dilakukan orang dalam situasi tersebut; (4) benda-benda yang ada di tempat itu serta letak dan penggunaannya; (5) perbuatan, yaitu tindakan para pelaku dalam proses berlangsungnya kegiatan dalam situasi yang diamati;

ekspresi wajah yang dapat dilihat sebagai cerminan perasan dan emosi.

3.3.2 Wawancara Mendalam

Teknik wawancara mendalam digunakan dalam penelitian ini terutama untuk menggali informasi mengenai pengalaman individu yang biasanya disebut sebagai metode penggunaan data pengalaman individu (individual life history) atau dokumen manusia (human document) (Koentjaraningrat, 1989 : 158). Dalam hal ini peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara bebas dan leluasa tanpa terikat pada suatu daftar pertanyaan rinci yang disiapkan sebelumnya. Dengan cara ini memungkinkan wawancara berlangsung luwes, arahnya bisa lebih terbuka sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya, pembicaraan tidak terlampau terpaku atau tidak menjenuhkan/membosankan baik bagi peneliti maupun bagi informan.

3.3.3 Teknik Analisis Data

(9)

9 Analisis data/informasi akan dilakukan dengan teknik analisis interpretatif, terutama secara emik tetapi juga secara etik, sehingga dapat dihindari kemungkinan adanya masalah dengan informan yang telah melakukan sesuatu tindakan tetapi tidak mampu menginfoprmasikan maknanya sebagaimana dikatakan oleh Brian Vay (2004). Proses analisis ini bisa sejalan dengan proses wawancara dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan wawancara dan pengamatan dalam satu paket waktu. Secara konkret mekanismenya bahwa setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membuat hipotesis-hipotesis kecil yang kemudian digunakan untuk membuat pertanyaan yang diajukan berikutnya. Dengan demikian teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang oleh Taylor dan Bogdan (1984 : 128)disebut dengan istilah go hand-in-hand. Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif. Data ini akan dianalisis dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992), yaitu reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan menarik simpulan. Kegiatan pengumpulan data dan analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan bisa berlangsung secara ulang-alik, sampai mendapatkan hasil penelitian akhir, yakni etnografi yang bersifat holistik dan sarat makna, dalam konteks pemberian jawaban terhadap masalah yang dikaji dalam penelitian ini.

4. Hasil dan Pembahasan : Kearifan Lokal Masyarakat Desa Jatiluwih

Sebagaimana dikemukakan oleh Hadi (2000 : 49), pada intinya kearifan lokal mengandung pemali-pemali yang mengatur hubungan manusia dengan alam.

Secara lebih jauh Hadi (2000 : 18) menjelaskan bahwa pemali-pemali itu dibuat oleh manusia dalam rangka menjalin hubungan harmonis antara manusia dan alam. Kemauan memelihara hubungan yang serasi dengan alam melahirkan banyak lokal (indegeneous knoledge) yang sangat berguna untuk pelestarian daya dukung lingkungan. Indegeneous knowledge yang merupakan kearifan lingkungan

(10)

10 (environmental wisdom) itu sampai sekarang masih ada yang dipelihara dengan baik.

Terkait dengan kearifan lokal, Chambers (1983 : 106-118) menegaskan bahwa setiap masyarakat memiliki pengetahuan dan teknologi tradisional yang disebut ”pengetahuan rakyat pedesaan”. Pengetahuan dan teknologi tradisional, jika diwariskan secara turun temurun menjadi tradisi (Giddens, 2003). Suatu tradisi sangatlah luas cakupannya, salah satu di antaranya adalah kearifan tradisional. Keraf (2002 : 289) mengemukakan bahwa kearifan tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis. Dengan demikian, kearifan tradisional ada yang berbentuk kearifan sosial, yaitu pengetahuan, keyakinan, dan adat kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan sesamanya, dan ada pula yang berbentuk kearifan lingkungan, yaitu pengetahuan, keyakinan, dan adat kebiasaan yang memedomani hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Jika kearifan sosial dan kearifan lingkungan itu dimiliki oleh masyarakat pada lokasi tertentu maka disebut kearifan lokal.

Berkenaan dengan kearifan sosial dan kearifan lingkungan dalam arti sebagaimana dipaparkan di atas, fakta-fakta hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kearifan sosial dan kearifan lingkungan masyarakat Desa Jatiluwih berkaitan erat satu sama lain. Artinya, relasi antarsesama warga masyarakat berkaitan dengan relasi warga masyarakat dengan alam. Fakta-fakta mengenai hal ini dapat digambarkan sebagai berikut.

(11)

11 Fakta-fakta mengenai kearifan sosial dan kearifan lingkungan masyarakat Desa Jatiluwih dapat diketahui dari norma atau aturan-aturan setempat. Ada beberapa hal penting yang pada dasarnya diatur oleh norma-norma tersebut, yakni sebagai berikut.

4.1 Keyakinan dan Larangan Atas Pasangan Pria-Wanita Menginap di Sawah

Sejak dahulu hingga kini, Subak Jatiluwih memberlakukan larangan menginap di sawah, khusus bagi pasangan pria-wanita, baik yang merupakan pasangan suami-istri maupun bukan suami-istri. Pemberlakuan larangan tersebut dilandasi pemikiran bahwa pasangan pria-wanita yang menginap di areal sawah yakini melakukan aktivitas senggama. Aktivitas senggama dalam hal ini dipahami sebagai aktivitas yang mencemari (cuntaka) areal sawah yang merupakan kawasan suci. Hal ini diyakini dapat menimbulkan masalah yang yang berkaitan dengan hal-hal gaib (niskala), bahwa dewa yang dipuja dalam konteks kehidupan subak diyakini akan mempersalahkan subak. Atas kesalahan tersebut diyakini akan ada sanksi yang bersifat religius, antara lain berupa hama tanaman seperti hama tikus, wereng, walang sangit, dan lain-lain yang tentu saja dapat merepotkan bahkan merugikan para petani warga subak. Hal ini berarti, pasangan pria-wanita yang menginap di sawah diyakini dapat menjadi sumber ketidakharmonisan hubungan manusia-Tuhan yang mengakibatkan gangguan atau timbulnya masalah terkait dengan kesejahteraan segenap warga subak.

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dimaknai sebagai ancaman terhadap kelestarian keyakinan dan norma di balik ketentuan tersebut. Mengingat keyakinan dan norma seperti itu merupakan salah satu dari tiga wujud kebudayaan (Koentjaraningrat, 1982 : 5) maka pelanggaran terhadap keyakinan dan norma tersebut pada dasarnya merupakan ancaman terhadap kelestarian kebudayaan masyarakat setempat. Dengan demikian, tujuan masyarakat petani Subak Jatiluwih memberlakukan larangan menginap di sawah bagi pasangan pria-wanita adalah mencegah terjadinya ancaman terhadap kelestarian kebudayaan mereka.

(12)

12 Sungguhpun dengan memberlakukan larangan tersebut, masyarakat petani Subak Jatiluwih bertujuan untuk mencegah ancaman terhadap kelestarian kebudayaannya, jika larangan tersebut disimak secara lebih mendalam tampaklah formulasi larangan tersebut kurang tepat. Kurang tepat karena tujuan pelarangan menginap di sawah adalah untuk menghindarkan aktivitas senggama di wilayah subak yang dipandang sebagai kawasan suci itu, padahal secara logika aktivitas senggama di sawah memungkinkan untuk dilakukan tanpa menginap atau bermalam di sawah. Lagi pula di wilyah subak, selain ada sawah juga ada jalan dan sempadan sungai atau kali. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada bagian pinggir jalan dan sempadan sungai yang melintang di wilayah subak di Bali kerap digunakan oleh para pasangan pria-wanita pengembala itik dan/atau buruh panen untuk mendirikan tenda/gubuk sebagai tempat mereka menginap selama bekerja di wilayah subak. Selain itu, subak pun ada dua macam, yaitu subak basah yang wilayahnya berupa hamparan persawahan, dan subak abian yang wilayahnya berupa ladang atau kebun. Kedua jenis subak ini juga memiliki tempat suci berupa pura, dan ini berarti wilayahnya masing-masing merupakan kawasan suci. Oleh karena itu, agar menjadi lebih tegas, mestinya formulasi larangan tersebut menegaskan bahwa dilarang melakukan persenggamaan di wilayah subak, baik di wilayah subak basah maupun di wilayah subak abian.

Menurut informasi dari kepala Subak Jatiluwih, memang selama ini belum pernah ada orang yang tertangkap atau dilaporkan sebagai pelaku senggama di sawah. Walaupun demikian, hal itu tidaklah sepenuhnya dapat diyakini sebagai bukti bahwa tidak pernah ada aktivitas senggama di wilayah subak. Dikatakan demikian karena secara logika orang akan bersikap permisif, yaitu enggan melaporkan aib seperti persenggamaan meskipun persenggamaan itu dilakukan di tempat terlarang. Sebab orang yang melaporkan aib seperti itu bisa jadi tidak akan memperoleh manfaat apa-apa kecuali memperoleh masalah dengan orang yang dilaporkannya. Terjdinya masalah dalam hubungan antarsesama warga seperti itu tentu saja merupakan ketidakharmonisan hubungan antarsema mereka, padahal filsafat Tri Hita Karana yang dijadikan landasan ideal adalah keharmonisan hubungan manusia-manusia guna mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu,

(13)

13 pemikiran di balik larangan menginap yang berintikan larangan bersenggama di wilayah subak guna menghindarkan pencemaran wilayah subak sebagai kawasan suci beserta akibat buruknya mencerminkan pemikiran yang logis. Akibat buruknya itu tidak hanya berupa kemungkinan terjadinya hama tanaman, melainkan juga ketidakharmonisan hubungan antara warga masyarakat setempat.

4.2 Adat-Istiadat dalam Konteks Bangunan Suci

Masyarakat Jatiluwih, baik dalam kapasitasnya sebagai warga subak Jatiluwih maupun sebagai warga Desa Adat Jatiluwih memiliki sejumlah bangunan suci yang disebut palinggih dan/atau memiliki pura yang merupakan komplek yang terdiri atas beberapa palinggih atau bangunan suci. Bangunan suci atau pura tersebut dapat dilihat sebagai cerminan dari kearifan sosial dan sekaligus sebagai cerminan kearifan lingkungan masyarakat Jatiluwih. Desa Adat Jatiluwih mempunyai beberapa pura, namun satu di antaranya adalah Pura Petali yang dikelola oleh Desa Adat Jatiluwih bersama Subak Jatiluwih. Secara formal pura ini adalah milik Desa Adat Jatiluwih, namun pemeliharaannya dan ritual di pura tersebut dilakukan bersama oleh masyarakat Desa Adat Jatiluwih dan masyarakat petani Subak Jatiluwih.

Hal itu dilakukan atas dasar keyakinan bahwa melalui pura tersebut masyarakat tidak hanya dapat memohon berkah untuk kehidupan masyarakat Desa Adat Jatiluwih melainkan juga untuk kehidupan masyarakat petani Subak Jatiluwih. Untuk itu mereka bersatu padu dan bergotong royong dalam pemeliharaan dan penyelenggaraan ritual di Pura Petali. Dengan demikian, adat istiadat yang mengatur kewajiban masyarakat dalam konteks Pura Petali terlihat berfungsi sebagai penguat kesatuan dan persatuan warga masyarakat yang bersangkutan, baik secara internal di kalangan warga Subak Jatiluwih maupun di kalangan warga Desa Adat Jatiluwih serta persatuan dan kesatuan warga Subak Jatiluwih dengan warga Desa Adat Jatiluwih.

Persatuan dan kesatuan di kalangan masyarakat seperti itu tentu saja sangat penting, tidak saja untuk memelihara keharmonisan hubungan antarsesama warga masyarakat. Berdasarkan persatuan dan kesatuan antarsesma mereka juga

(14)

14 berpotensi bagi untuk untuk bekerjasama dalam rangka menjaga kelestarian budaya dan lingkungan alam setempat. Hubungan intensif warga masyarakat dengan pura dapat dilihat sebagai manifestasi hubungan antara manusia dan Tuhan, sedangkan kerjasama antarsesama warga masyarakat merupakan manifestasi dari betapa karibnya hubungan antara mereka. Doa-doa dan harapan masyarakat dalam konteks pemeliharaan pura dan penyelenggaraan ritual di pura tersebut biasanya berkaitan dengan keselamatan masyarakat, tanaman, dan binatang peliharaan mereka. Kesemuanya ini mencerminkan roh filsafat Tri Hita Karana yang sebagaimana telah dikatakan di atas, mengidealkan keharmonisan hubungan manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam. Di dalam ideologi Tri Hita Karana-lah citra lingkungan masyarakat Bali terkristalisasi (Atmadja, 2010 : 403). Citra lingkungan dlam hal ini mengacu kepada gagasan Soemarwoto (1989 : 94), bahwa :

”Citra lingkungan itu menggambarkn anggpan orang tentang struktur lingkungan, bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya terhadap tindakan orang serta hubungan manusia dengan lingkungannya. Citra lingkungan itu memberikan petunjuk tentang apa yang ia boleh lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan orang itu”.

Selain Pura Petali, di wilayah Subak Jatiluwih juga ada Pura Besikalung yang didukung oleh masyarakat Desa Babahan, Kecamatan Penebel, Tabanan, namun juga didukung oleh dua sub dari tujuh sub (tempek) Subak Jatiluwih, yakni Tempek Kedamaian dan Tempek Besikalung. Ini berarti bahwa di balik Pura Besikalung terdapat kearifan sosial berupa adat istiadat yang berkaitan dengan pengetahuan, keyakinan, dan pemahaman yang berfungsi mempersatukan sebagian warga Subak Jatiluwih dengan sesama warga subak tersebut serta sebagai pemersatu sesama warga Desa Babahan, dan pemersatu warga Subak Jatiluwih dengan warga Desa Babahan. Dengan demikian kearifan sosial di balik Pura Petali dan Pura Besikalung tersebut berpotensi besar untuk melestarikan filsafat Tri Hita Karana yang ada dalam kebudayaan Bali.

Perlu dikemukakan di sini bahwa masing-masing sub (tempek) Subak Jatiluwih juga mempunyai sebuah pura yang disebut Pura Bedugul. Di balik Pura tersebut tentu saja ada keyakinan keagamaan masyarakat setempat yang dapat dilihat sebagai kearifan sosial yang berfungsi mempersatukan warga masing-

(15)

15 masing tempek yang bersangkutan. Bahkan di masing-masing sawah milik petani Subak Jatiluwih juga ada bangunan suci yng disebut sanggah labak/teben yang berdiri di bagian hilir (teben) sawah yang bersangkutan. Adanya bangunan suci tersebut boleh jadi berfungsi untuk mencegah alih fungsi bagian hilir lahan sawah tersebut, sebab jika bagian hilir lahan sawah tersebut dialihfungsikan berarti bangunan suci tersebut tidak lagi berdiri di lahan sawah. Dengan demikian, keyakinan yang berkaitan dengan sanggah labak tersebut dapat pula dilihat sebagai kearifan lingkungan, sebab keberadaannya memungkinkan untuk menjaga kelestarian areal lahan sawah yang bersangkutan.

4.3 Pemahaman tentang Letak Kandang Ternak di Areal Sawah

Terkait dengan ketentuan tentang kandang ternak di sawah diperoleh dua macam informasi menarik : (1) tidak boleh mendirikan kandang pada petak sawah yang terletak pada lokasi paling hulu (luan) dan paling hilir (teben), (2) tiang kandang di sawah tidak boleh berisi sendi, tiang kandang harus tertancap di tanah sawah. Alasan terkait dengan lokasi kandang tersebut adalah bahwa petak sawah pada bagian hulu dan hilirnya merupakan tempat mendirikan bangunan suci, di hulu tempat mendirikan sanggah pengalapan sebagai tepat memuja Dewi Sri di areal sawah, sedangkan di bagian hilirnya tempat mendirikan sanggah labak, tempat memuja dewa pemilik lahan sawah tersebut. Sayang sekali tidak diperoleh informasi terkait dengan alasan atas tiang kandang tanpa sendi. Namun dapat diyakini kedua hal ini mempunyai logika yang berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan alam. Jika ketentuan mengenai kandang tersebut dilanggar diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi petani yang bersangkutan.

Tampaknya ketentuan mengenai kandang ternak di sawah tersebut memang berkaitan dengan upaya pelestarian lahan sawah dan tanaman di sawah.

Dikatakan demikian, karena kandang yang sifatnya relatif sementara saja justru tidak boleh didirikan pada bagian hulu dan hilir sawah, apalagi bangunan tempat tinggal atau rumah hunian yang permanen. Jadi tampaknya ketentuan itu dibuat dalam rangka mencegah alih fungsi lahan bukan hanya dengan cara melarang untuk mendirikan kandang melainkan juga bangunan tempat tinggal di bagian

(16)

16 hulu dan hilir sawah. Justru pada bagian hulu dan hilir dilarang mendirikan kandang, karena orang biasanya memilih bagian hulu dan hilir sawah untuk mendirikan bangunan, karena bagian ini langsung berbatasan dengan jalan.

Dengan demikian, ketentuan tersebut merupakan unsur kearifan lingkungan.

Hingga kini ketentuan tersebut tampak masih dipatuhi oleh warga masyarakat di Jatiluwih, terbukti tidak ditemukan kandang apalagi bangunan tempat tinggal di bagian hulu dan hilir sawah. Ada banyak kandang sapi berdiri di wilayah Subak Jatiluwih, namun lokasinya berada di luar petak sawah paling hulu dan paling hilir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hingga kini ketentuan tersebut masih kuat. Kuatnya ketentuan ini tampak mendapat dukungan dari UNESCO yang dengan cara melarang warga subak mendirikan Balai Subak Jatiluwih di areal persawahan, harus di ladang dekat dengan sawah, agar luas sawah tetap lestari secara utuh.

Berkenaan dengan tiang kandang tanpa sendi dan harus tertancap di tanah sawah, tampaknya mengandung maksud untuk menjadikan tanaman hidup sebagai tiang kandang. Ini berarti ketentuan tersebut berorientasi pada pelestarian tanaman, yaitu kayu yang tentu saja tumbuh daun yang secara periodik mengalami musim gugur sehingga berjatuhan di sawah. Daunnya bisa menjadi humus yang banyak mengandung hara, yaitu bahan pupuk untuk menyuburkan lahan sawah dan tanaman pokok, yakni padi di sawah tersebut. Sebaliknya jika tiang kandang memakai sendi berarti tiang tersebut terbuat dari kayu yang tidak bisa hidup karena tidak tertancap di tanah. Selain itu, tiang memakai sendi bisa saja memberikan inspirasi bagi petani, bahwa boleh mendirikan bangunan permanen, bukan hanya untuk kandang melainkan juga untuk tempat tinggal atau rumah hunian manusia yang biasanya memakai tiang bangunan lengkap dengan sendinya. Mungkin pada waktu penciptaan kearifan lingkungan ini belum dikenal adanya tiang kandang yang menancap di tanah, tetapi tidak terbuat dari tanaman kayu melainkan beton yang kini lazim dipakai tiang kandang sapi di wilayah Subak Jatiluwih.

4.4 Syarat Menggabung Petak Sawah (Nyapuh Carik)

(17)

17 Menggabung petak sawah (Nyapuh Carik) dalam hal ini diartikan sebagai peleburan dua petak sawah menjadi satu petak sawah. Menurut ketentuan pengetahuan dan keyakinan keagaman masyarakat Desa Jatiluwih dan/atau para petani Subak Jatiluwih, hal ini boleh dilakukan tetapi dengan syarat melakukan ritual khusus dan cukup rumit. Ritual tersebut dapat dimaknai sebagai tanda bykti bahwa warga yang bersangkutan yakin bahwa sawah itu bukan hanya miliknya saja melainkan juga merupakan milik dewa. Oleh karena itu mereka tidak boleh sembarangan mengubah sawah, mereka harus melakukan ritual dengan tujuan memohon ijin kepada dewa yang diyakini sebagai pemilik sawah tersebut. Jika dilanggar diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi petani atau anggota keluarga yang bersangkutan.

Berkenaan dengan syarat dan keyakinan tersebut, ada informasi tentang kasus nyapuh carik tanpa melakukan ritual sebelumnya. Dalam kasus tersebut ada seorang petani melebur dua petak sawahnya menjadi satu petak. Beberapa waktu setelah itu, pada bagian kaki anak kandung petani tersebut digigit ular hijau di tegalannya, hingga bengkak dan harus diobatai oleh seorang dukun di Desa Babahan, Penebel, Tabanan. Selama lima hari masa pengobatannya ternyata ternyata anak itu belum juga sembuh dan tetap bengkak kakinya. Dalam keadaan demikian berdasarkan firasatnya sang dukun menyatakan bahwa dirinya tidak sanggup menyembuhkan anak itu, dan menyarankan agar anak itu dibawa pulang, dan memperkirakan ada sesuatu perbuatan yang melanggar aturan yang bersifat niskala. Sesuai dengan saran sang dukun, anak itu pun dibawa pulang oleh ayahnya. Setibanya di rumah datang seorang laki-laki tua yang menyarankan agar dilakukan ritual terkait dengan aktivitas nyapuh carik yang dilakukan oleh ayah si anak yang tergigit ular itu karena dewa pemilik sawah itu sudah sangat marah (duka) dan jiwa si anak itu sudah diserahkan kepada Bhatara Dalem. Singkat cerita, pihak keluarga yang bersangkutan melakukan ritual yang dimaksud, dan keesokan harinya ternyata bengkak pada kaki si anak yang tergigit ular mulai berkurang, dan si anak pun mulai minta makan.

Jika dikaji dalam konteks upaya pelestarian alam, tampaklah peristiwa di atas mencerminkan kearifan lingkungan, dalam artian orang tidak boleh

(18)

18 sembarangan memperlakukan sawah. Jangankan mengubah sawah menjadi lahan non sawah/pertanian, menggabung dua petak sawah menjadi satu petak saja harus melalui pelaksanaan ritual yang dimaknai sebagai permintaan ijin kepada dewa pemilik sawah. Dengan demikian, syarat nyapuhcarik seperti itu dapat dikatakan sebagai kearifan lingkungan yang berpotensi untuk menghambat alih fungsi lahan sawah agar sawah tetap lestari. Mungkin saja penciptaan kearifan lingkungan ini didasari kesadaran bahwa makanan pokok masyarakat adalah beras yang harus diproduksi melalui usaha bercocok tanam padi di sawah. Bisa jadi masyarakat setempat pada masa penciptaan kearifan lingkungan tersebut belum mempunyai pengetahuan bahwa bercocok tanam padi tidak hanya dapat dilakukan di sawah, melainkan bisa juga di ladang, yakni bercocok tanam padi gaga atau padi gogo di ladang. Namun apapun alasan penciptaannya, kearifan lingkungan tersebut tetap penting hingga kini, karena bukan hanya petani, melainkan hampir semua orang menjadikan beras sebagai bahan makanan pokoknya. Dalam kenyataannya produksi beras di Indonesia kurang mencukupi kebutuhan penduduk, sehingga pemerintah mengipor beras dari negeri lain, seperti Jepang dan Vietnam. Begitu juga orang Bali membeli beras hasil produksi dari luar Bali, seperti Jawa.

4.5 Keyakinan Atas Perlakuan terhadap Sapi dalam Konteks Membajak Sapi merupakan hewan penting, baik bagi petani maupun nonpetani, antara lain sebagai penarik bajak, sebagai sumber pendapatan, dan sebagai sumber nutrisi. Oleh karena itu tidak heran jika sapi diternakkan oleh masyarakat dengan cara-cara yang teratur, diberi makan dan minum yang cukup agar tumbuh sehat, cepat besar, dan gemuk-gemuk. Bahkan di kalangan orang Bali yang beragama Hindu, sapi diperlakukan secara hormat dengan melakukan ritual yang mirip dengan ritual untuk manusia, yaitu ritual oton sampi yang dilakukan secara rutin setiap 360 hari (6 bulan) sekali.

Khusus dalam konteks perlakuan sapi sebagai penarik bajak, petani di Desa Jatiluwih mempunyai pengetahuan tentang hari pantang memakai sapi untuk membajak, yaitu hari kamis. Jadi jika pada hari kamis tidak ada petani membajak sawah dengan sapi tidak selalu karena mereka adanya bajak bermesin atau traktor,

(19)

19 melainkan juga karena adanya pantangan mempekerjakan sapi pada hari kamis.

Tampaknya pengetahuan ini diwariskan secara turun-temurun dengan tujuan agar sapi bisa tumbuh sehat. Justru hari kamis adalah hari pantang membajak dengan sapi, mungkin karena hari kamis merupakan batas waktu yang dihitung secara mingguan. Jadi dalam satu pekan ada tujubh hari, mulai hari minggu hingga sabtu.

Dalam perjalanan waktu itu, hari kamis adalah hari keempat atau di pertengahan waktu dalam pekan yang bersangkutan. Dengan demikian, setelah tiga hari bekerja, sapi diistirahatkan agar tidak terlalu lelah karena kelelahan bisa mengganggu kesehatannya bahkan nyawanya. Terkait dengan hal ini ada pemngalaman petani yang dijadikan penguat kearifan lingkungan ini, bahwa jika sapi diperkerjakan pada hari kamis, maka sapi bisa jatuh pingsan. Oleh karena itu hingga kini petani pantang membajak dengan sapi pada hari kamis.

Selain itu diperoleh juga informasi bahwa pernah ada seorang petani yang mempunyai kebiasaan membajak dengan sapi tidak hanya pada pagi hingga siang hari, melainkan juga pada malam hari. Pada suatu saat petani tersebut merasa dihampiri oleh sosok mahluk yang diyakini sebagai mahluk gaib yang perawakannya sangat tinggi dan besar serta seram sehingga membuatnya sangat ketakutan. Oleh karena itu petani tersebut langsung berhenti membajak, dan selanjutnya tidak pernah lagi membajak dengan sapi pada malam hari.

Tampaknya cerita seperti itu dapat menguatkan kearifan lingkungan dalam konteks memperlakukan sapi sebagai anggota komunitas ekologi. Hal ini dapat dipahami sebagai ketentuan yang bermaksud memberikan kesempatan kepada sapi agar dapat hidup sehat dan kuat sehingga berguna secara maksimal bagi manusia, baik untuk keperluan membajak maupun untuk dikembangkan sebagai komoditas.

Berdasarkan gambaran mengenai kearifan lokal sebagaimana dipaparkan di atas dapat dikatakan bahwa kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih dan juga masyarakat petani Subak Jatiluwih terlihat menekankan pada pentingnya keharmonisan hubungan manusia denan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan lingkungan alam. Dengan demikian kearifan lokal tersebut dapat dikatakan bersesuaian dengan konsep Tri Hita Karana yang ada dalam masyarakat

(20)

20 dan kebudayaan Bali. Memang pada intinya konsep Tri Hita Karana menekankan bahwa untuk mencapai kesejahteraan maka sangat diperlukan keharmonisan hubugnan manusia dengan Tuhan (parhyangan), dengan sesama manusia (pawongan), dan dengan lingkungan alam (palemahan). Jika hal ini dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mengelola DTW Jatiluwih maka dapat diyakini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang bersangkutan.

Mengingat kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih dan juga masyarakat petani Subak Jatiluwih bersesuaian dengan konsep Tri Hia Karana, maka hal ini sekaligus juga bersesuaian dengan ketentuan yang berlaku dalam konteks Warisan Budaya Dunia, yakni pentingnya pelestarian budaya dan alam. Khusus dalam konteks lingkungan alam, kearifan lokal terurai di atas terlihat mengisyaratkan, lahan sawah harus dilestarikan. Hal ini terlihat dari adanya larangan mendirikan kandang ternak di sawah yang menggunakan tiang dengan sendi. Selain itu, hal tersebut juga terlihat dari adanya larangan mendirikan kandang ternak pada petak awah yang letaknya di hulu. Ini berarti tidak boleh mendirikan bangunan permanen di sawa, juga tidak boleh mendirikan bangunan apapun pafa petak sawah yang letaknya di hulu sawah yang bersangktan. Jika bangunan kandang ternak saja diatur dengan cara demikian, apalagi bangunan rumah tenpat tinggal di sawah tentu saja mestinya dilarang pula agar sawah tetap lestari.

5. Simpulan

Hasil penelitian sebagaimana telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Ada lima macam kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih yang teridentifikasi dalam penelitian ini.

2) Berdasarkan interpretasi atas kelima macam kearifan lokal masyarakat Desa Jatiluwih yang teridentifikasi dalam penelitian ini, kelimanya terlihat cocok untuk diposisikan sebagai acuan dalam upaya menjaga kelestarian kawasan WBD Subak Jatiluwih tanpa mengabaikan kepentingan pengembangan DTW Jatiluwih.

(21)

21 Daftar Pustaka

Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta : Jalasutra.

Basrowi dan Sukidin. 2003. Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif.

Surabaya : Penerbit Cendekia.

Damsar, 2006. Sosiologi Uang. Padang : Andalas University Press.

Geriya, I Wayan dkk. 2010. Inovasi Budaya Pengembangan Kewirausahaan dan Partisipasi Masyarakat untuk Penguatan Industri dan Kota Kreatif Denpasar. Laporan Penelitian. Denpasar : Bappeda Kota Denpasar.

Kodiran. 1989. “Kebudayaan Jawa”. Dalam Koentjaraningrat (ed.) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan. Halaman 322- 345.

Koentjaraningrat. 1989. “Metode Penggunaan Data Pengalaman Individu”, dalam Metode-Metode Penelitianm Masyarakat (Koentjaraningrat, red.). Jakarta, Penerbit PT Gramedia. Halaman 158-172.

Koentjaraningrat. 1989. “Metode Wawancara”. Dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Koentjaraningrat, red.).Jakarta, Penerbit PT Gramedia.

Halaman 129-157.

Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press.

Mardika, I Wayan. 2000. Konflik Kepentingan dalam Kebijakan Pembangunan Pariwisata di Pulau Serangan. Tesis Magister Kajian Budaya.

Universitas Udayana.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru (Tjetjep Rohindi, penerjemah). Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Mustain. 2007. Petani VS Negara Gerakan SosialPetani Melawan Hegemoni Negara. Yogyakarta : AR-Ruzz Media.

Pidada. 2004. Gerakan Sosial Menuju Masyarakat Sipil (Studi Kasus Padanggalak Akibat Pariwisata di Desa Adat Kesiman). Th. 2002.

Pendekatan Cultural Studies. Tesis Magister Program Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Pitana, I Gde. 1993. ”Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali”. Dalam I Gde

Pitana (ed.) Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali Sebuah Canangsari.

Denpasar : Upada Sastra. Halaman 1-32.

Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara- negara Sedang Berkembang (Soekadijo, penerjemah). Jakarta : PT Gramedia.

Scott, James. C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Sujana, I Wayan. 2002. Perumusan Strategi Pengelolaan Objek Wisata kebun Raya Eka Karya Bali di Candikuning baturiti Tabanan. Tesis Program Studi Magíster Manajemen Program Pascasarja Universitas Udayana. Denpasar.

(22)

22 Suteja.2003. Konflik Kepentingan Dalam Pembangunan Pariwisata (Studi Kasus Garuda Wisnu Kencana Cultural Park. Desa Ungsan Kecamatan Kuta Selatan Propinsi Bali). Tesis Magister Program Kajian Budaya,: Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar.

Takwin, Bagus. 2003. Akar-Akar Ideologi : Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga Bourdieu. Yogyakarta : Jalasutra.

Taylor, Steven dan Bogdan Robet, 1984.Introduction to Qualitative Research Methods.New York, John Wiley & Sons.

Yunita, T Winarto. 1986. “Perbedaan Antara Interpretasi Neofungsionalisme dan Tindakan Individu yang Rasional”, dalam Berita Antropologi.

Program studi antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.Jakarta. Halaman 66-80

Referensi

Dokumen terkait

UIN Sunan Ampel Surabaya Press merupakan salah satu produk dari Pusat Pengembangan Bisnis UIN Sunan Ampel Surabaya yang bergerak pada bidang percetakan. Dalam

Menurut penelitian-penelitian yang telah dilakukan, panjang serat merupakan sifat yang sangat menentukan kekuatan kertas dan sangat mempengaruhi kekuatan sobek serta

1 POTENSI WILAYAH KECAMATAN DI KABUPATEN BANTUL PADA BULAN FEBRUARI 2014.. DESA PKB DU SUN PPKBD RT SUB PPKBD KKB DPS BPS RS KKB

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa debt to equity ratio tidak memiliki pengaruh terhadap stock price pada perusahaan manufaktur

Closed Circuit Television masuk dalam pengertian informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 UU ITE dan merupakan alat

Dengan demikian penulis sangat tertarik untuk melakukan suatu penelitiaan yang berjudul „‟Pengaruh Latihan Lateral Cone Hop Terhadap Kekuatan Otot Tungkai Pada Karateka

Respons yang muncul pada hari ke enam tersebut lebih cepat jika dibandingkan dengan edelweiss species Anaphalis elliptica yang diteliti oleh Senthilkumar dan Paulsamy

Oespophagografi adalah pemeriksaan dengan menggunakan sinar-X untuk melihat gambaran secara radiologi oesophagus, teknik pemeriksaannya dengan cara pasien harus menelan media