• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Vegetasi Riparian 2.1.1. Vegetasi Riparian

Vegetasi riparian berasal dari bahasa Latin riparius, yang artinya “milik tepi sungai”. Menurut (Linh, 2013), vegetasi riparian merupakan pertemuan antara ekosistem darat dan perairan,. Selain itu juga dan istilah lain yang menyebutkan tentang vegetasi riparian yaitu komunitas riparian (Wohl, 2009) riparian buffer (Malason, 1993), Riparian zone (Bennett & Simon, 2009) buffer zones (Naiman et al., 2009) ekosistem riparian (Sakio & Tamura, 2010), Streamside tree (Ji, 2009), hutan riparian (Mitsch & Gosselink, 2015)

Zona riparian didefinisikan sebagai daerah semiterestrial transisi antara sungai atau aliran dan ekosistem dataran tinggi terestrial yang berdekatan, yang secara teratur dipengaruhi oleh fluktuasi perairan (Malason, 1993; Naiman et al., 2009). Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjan Umum No.63 Tahun 1993, batas minimal vegetasi adalah minimal 5 meter garis riparian sungai bertanggul di luar wilayah perkotaan dan minimal 3 meter garis riparian sungai bertanggul di wilayah perkotaan. Hal ini dapat mendukung keanekaragaman hayati yang tinggi;

melindungi stabilitas tepian dari perubahan temporal, memoderasi kondisi kelembaban tanah di tepian sungai, mengurangi dampak erosi selama kejadian banjir, mengatur suhu perairan, buffer dan mempertahankan sumber daya serta menyediakan perlindungan bagi komunitas alami dan nutrisi untuk fauna (Celentano et al., 2016; Hawes & Smith, 2010).

Malason (1993) menyebutkan karakter transisi habitat riparian bervariasi. di beberapa tempat gradien mungkin jelas karena dataran rendah, namun perubahan pada transisi riparian lainnya tersebar pada jarak yang lebih besar juga sama besarnya. Karakter lahan basah habitat riparian juga bervariasi.

Beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan sungai bukanlah lahan basah.

Beberapa daerah tidak sering terkena banjir pada waktu tertentu dan tergantung pada bentang saluran, tidak terdapat perairan yang tinggi dan beberapa tanah jenuh. Menurut (Foresty, 2011), lahan basah dapat dikategorikan mulai dari sungai, mata air, rembesan dan mires di daerah tangkapan atas, hingga rawa-rawa

(2)

dataran menengah, dataran banjir, hingga danau pantai, rawa-rawa bakau, dan estuaria.

Area riparian kenyataanya saat ini habitat yang paling terancam di dunia saat ini, penyebab utamanya adalah drainase lahan basah untuk tanaman dan padang rumput, pembakaran dan penggembalaan yang tidak dikelola dengan baik yang telah mengakibatkan pemangkasan dan erosi tepian, penanaman pohon asing di lahan basah, pertambangan, polusi, dan pembangunan kota. Semua dampak ini mengubah aliran air dan kualitas air, yang membunuh atau merusak vegetasi setempat. Kerusakan area riparian yang berkelanjutan akan menghasilkan air yang lebih sedikit, pasokan air yang berkurang, peningkatan banjir yang menimbulkan kerugian yang signifikan, produktivitas pertanian yang lebih rendah, dan lebih banyak spesies yang terancam punah (Foresty, 2011)

2.1.2. Fungsi dan Nilai Riparian

Kehadiran vegetasi riparian adalah satu daerah lahan hijau yang memberikan manfaat sebagai peneduh area riparian dan berfungsi sebagai keseimbangan ekosistem antara ekosistem biotik maupun abiotik. Habitat riparian sangat penting sebagai tempat perlindungan selama periode tekanan lingkungan, seperti kekeringan tahunan atau pergeseran cepat dalam iklim, karena iklim yang membaik yang riparian sediakan di sepanjang lembah sungai. Lingkungan riparian sangat mempengaruhi iklim mikro, struktur fisik, dan sumber energi pada aliran terbuka. Pengaruh ini sebagian besar didorong oleh susunan dan kerapatan vegetasi (Hauer & Lamberti, 2007)

Pengaruh vegetasi riparian, meningkatkan jumlah tahunan serasah daun terestrial dalam saluran, ketersediaan bahan organik terlarut, dan sebagai alat mekanisme difusi sebagai respons terhadap perubahan iklim makro maupun mikro, menyaring atau menghentikan pergerakan aliran sedimen di dasar perairan, mengurangi energy pergerakan air permukaan yang dapat mencegah terjadinya erosi dan nutrisi di zona riparian dipengaruhi oleh pola transversal dan lebar riparian, dan oleh pola longitudinalnya, perbaikan air tanah dan lain-lain (Hauer &

Lamberti, 2007; Malason, 1993) Meskipun secara umum kehadiran vegetasi riparian dapat memberikan dampak positif, bervariasi pula pengaruhnya

(3)

tergantung pada struktur maupun komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah tersebut (Sakio & Tamura, 2008). Selain itu peran vegetasi riparian sebagai fitoremediasi bahan kimia maupun cemaran yang ada di daerah perairan (Prasetyo

& Retnaningdyah, 2013), hal tersebut terjadi karena adanya proses secara biologis melalui berbagai mekanisme pengambilan senyawa pencemar oleh tumbuhan yang disebut hidromakrofita (Khinanty & Retnaningdyah, 2017), Menjadi filter alami, vegetasi riparian membantu memurnikan air dengan menjebak banyak polutan, termasuk sedimen, logam berat, dan organisme penyebab penyakit (Foresty, 2011)

Mitsch & Gosselink (2015) menggungkapkan bahwa vegetasi riparian memiliki karakteristik yang khas. Hal tersebut dikarenakan adanya produktifitas yang tinggi karena adanya energi dan materi yang melimpah dalam ekosistem vegetasi riparian. Vegetasi riparian seringkali digunakan dalam mengelola lingkungan untuk mengurangi dampak dari kegiatan pemanfaatan lahan pada sumber daya air. Vegetasi riparian, kawasan, atau strip umumnya dianggap sebagai lapisan tanah yang memisahkan suatu dataran tinggi atau daerah lereng bukit dari sungai, danau atau rawa. Penghapusan vegetasi riparian dapat mengakibatkan peningkatan suhu air dan, akibatnya terjadi perubahan kadar oksigen terlarut, invertebrata, dan ikan (Hauer & Lamberti, 2007)

Daerah riparian melakukan berbagai fungsi yang bernilai bagi masyarakat, terutama perlindungan dan peningkatan sumber daya air, dan penyediaan habitat bagi spesies tanaman dan hewan. Menurut (Foresty, 2011) wilayah riparian memiliki fungsi antara lain menyimpan air dan membantu mengurangi banjir, menstabilkan laju aliran, meningkatkan kualitas air dengan menjebak sedimen dan nutrisi, menjaga suhu air alami untuk mengatur fluktuasi air, menyediakan berupa serasah-serah serta senyawa organik yang berasal dari vegetasi riparian dimana makroinvertebrata mengkolonisasi daun dan batang tumbuhan yang hidup dan mati untuk mencari makan dan tempat berlindung dari pemangsa; serasah lembab tanaman melindungi makroinvertebrata dari musim panas berkepanjangan (Batzer & Boix, 2016) selain itu menyediakan koridor untuk pergerakan dan migrasi spesies yang berbeda, bertindak sebagai penyangga antara ekosistem perairan dan penggunaan lahan yang berdekatan, dapat

(4)

digunakan sebagai tempat rekreasi dan menyediakan bahan untuk bangunan, muti, kerajinan, dan barang antik.

Adanya kawasan hijau dan sejuk pada vegetasi riparian dapat digunakan sebagai tempat untuk beristirahat dan rekreasi keluarga atau untuk umum.

Menurut (Quevauviller, 2010) Vegetasi riparian memiliki tiga karakter umum yaitu:

1) Memiliki bentuk umum topografi linear yang terkait dengan aliran air sebagai akibat dari proksimitasnya ke sungai.

2) Energi dan materi yang berasal dari sekitar tepian dan umumnya berasal dari vegetasi riparian sebagai sistem terbuka.

3) Vegetasi riparian secara fungsional berhubungan dengan sungai bagian hulu dan bagian hilir dan secara lateral berhubungan dengan ekosistem lereng atas (daratan) dan lereng bawah (akuatik).

2.1.3. Jenis-jenis Tumbuhan Riparian

Vegetasi riparian merupakan kawasan riparian yang membentuk suatu ekosistem didalamnya, sebagai habitat dari berbagai jenis kehidupan flora dan fauna. Menurut (Batzer & Boix, 2016) vegetasi dominan dari riparian digunakan untuk kategorisasi habitat. Flora riparian terdiri dari lima kategori utama:

1. Makrofit tahunan yang muncul (mis., Bidens, Polygonum) 2. Makrofita abadi yang muncul (mis., Carex, Phragmites, Typha) 3. Makrofit terendam (mis., Myriophyllum, Potamogeton)

4. Pohon kayu (mis., Populus, Salix, Taxodium) dan semak (mis., Alnus) 5. Alga, termasuk cyanobacteria

Menurut (Hastiana, 2010) menyebutkan bahwa vegetasi riparian merupakan komunitas yang terdiri berbagai jenis tumbuhan herba, tumbuhan semak maupun perdu hingga jenis pohon yang dapat ditemukan di sepanjang area riparian. Berdasarkan kelompok tumbuhan tersebut ada beberapa jenis tumbuhan yang menyusun keanekaragaman vegetasi riparian, yaitu :

2.1.3.1. Herba-Semak

Pada tanaman semak dewasa memiliki ciri-ciri rendah, tanaman berkayu, biasanya banyak batang bercabang dekat dengan tanah sedangkan tanaman Herba

(5)

memiliki batang berair di mana jaringan kayu kurang berkembang daripada di semak dan pohon (Hollar, 2012). Tumbuhan Herba dan semak sangat menentukan permeabilitas tanah dalam menyerap air yang jatuh saat hujan, serta mencegah laju aliran air limpasan sehingga dapat terserap oleh tanah (Arief, 2001).

2.1.3.2. Pohon

pohon memiliki batang tinggi, berkayu hingga tingginya 8 kaki (2,4 meter) atau lebih (Hollar, 2012). Pohon adalah komponen penting pada vegetasi riparian yang mempunyai berbagai fungsi, selain mencegah erosi dari pengikatan air hujan juga dapat menjaga kualitas air dan memberikan naungan yang mampu menahan jatuhnya titik air hujan pada permukaan tanah. Hal ini dimaksudkan ketika turun hujan yang lebat, daerah aliran sungai terjadi erosi. Selanjutnya, erosi tersebut menimbulkan sedimentasi baru pada dasar sungai, saluran air, danau maupun waduk sehingga menyebabkan pendangkalan sungai dan menaikkan volume permukaan air. Tidak hanya itu, banjir dapat mengikis area riparian (Arief, 2001).

2.2. Keanekaragaman

2.2.1. Definisi Keanekaragaman

Istilah keanekaragaman hayati atau “biodiversiti” menunjukkan sejumlah variasi yang ada pada makhluk hidup baik variasi gen, jenis, dan ekosistem yang berada pada suatu lingkungan tertentu. Keanekaragaman hayati dapat dikelompokkan atas keanekaragaman tingkat gen, keanekaragaman tingkat spesies/jenis, dan keanekaragaman tingkat ekosistem baik ditinjau dari segi kenakeragaman flora fauna (Albasri, 2016) keanekaragaman makroinvertebrata beberdasarkan pada toleransi serta tingkat sensitivitasnya terhadap kondisi lingkungan tempat hidupnya (Rustiasih, 2018)

2.2.1.1. Keanekaragaman Tingkat Gen

Gen adalah pembawa sifat makhluk hidup. Variasi genetif merupakan komposisi genetif antara individu dengan spesies yang sama. Kanekaragman gen dalam satu jenis memuncuIkan varietas tertentu. Keanekaragaman genetif

(6)

memungkinkan individu atau spesies makhluk hidup yang keanekaragaman tersebut dapat beradabtasi terhadap kondisi yang berbeda akibat perubaha lingkungan (Sutoyo, 2010)

2.2.1.2. Keanekaragaman Tingkat Spesies (Jenis)

Keanekaragaman spesies (jenis) adalah berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang ada dan mudah dikenaIi karena perbedaan penampakannya.

Keanekaragaman jenis menunjukkan adanya jumlah maupun variasi jenis individu yang ada. Keanekaragaman spesies mencakup jenis-jenis hewan, tumbuhan, maupun mikrorganisme yang ada di suatu ekosistim (Sutoyo, 2010).

Keanekaragaman jenis atau spesies dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Ukuran keanekaragaman dan penyebabnya nmencakup sebagian besar pemikiran tentang ekologi. Hal itu terutama karena keanekaragaman dapat menghasilkan kestabiIan dan dengan demikian berhubungan dengan pemikiran sentraI ekologi, yaitu tentang keseimbangan suatu sistemn (Magurran, 2009)

Keanekaragaman β atau keanekaragaman antar komunitas dapat dihitung dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu kesamaan komunitas dan indeks keanekaragaman (Leatemia, 2016) Sedangkan (Magurran, 2009) menyatakan bahwa keanekaragaman lebih mudah didefinisikan dengan menggunakan suatu indeks keanekaragaman yang sudah umum digunakan yaitu indeks keanekatagaman Shannon-Weaver (H’). Nilai indeks keanekaragaman spesies tergantung dari kekayaan spesies dan kemerataan spesies. Nilai minimum H’, Nilai minimum H’ adalah 0, yaitu nilai indeks keanekaragaman untuk komunitas dengan satu spesies tunggal dan akan meningkat sesuai peningkatan kekayaan spesies dan kemerataan spesies (Molles, 2009)

Kemerataan spesies adalah komponen utama kedua dari keanekaragaman spesies. Kemerataan spesies menurut (Wijaya, 2014) adalah pembagian individu yang merata diantara spesies. Jadi, apabiIa satu spesies ditambahkan, maka keanekaragamamnya akan meningkat dan apabila spesies- spesies mempunyai distribusi kepadatan yang sama maka keanekaragaman juga akan meningkat (Sutoyo, 2010)

(7)

2.2.1.3. Keanekaragaman Tingkat Ekosistem

Keanekaragaman ekosistem menggambarkan jenis-jenis populasi organisme yang ada didalam suatu wilayah tertentu. Interaksi antara kaenekaragman hayati dengan lingkungannya (interaksi antara komponen abiotik dan biotik) membentuk kanekaragaman ekosistem (Sutoyo, 2010)

2.3. Makroinvertebrata

Makroinvertebrata adalah hewan tidak bertulang belakang yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Makroinvertebrata air merupakan komponen biotik pada ekosistem perairan yang dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisik, kima dan biologi suatu perairan (Sinuraya, 2018). Kebanyakan makroinvertebrata air tawar dapat ditemukan dalam dua jenis air utama: air mengalir (habitat lotik) dan perairan tenang (habitat lentik). Selain itu, menurut (Oscoz, 2011) makroinvertebrata air memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

1. Sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya, sehingga akan mempengaruhi komposisi dan kelimpahannya.

2. Ditemukan hampir di semua perairan.

3. Jenisnya cukup banyak dan memberikan respon yang berbeda akibat gangguan yang berbeda.

4. Pergerakannya terbatas, sehingga dapat sebagai penunjuk keadaan lingkungan setempat.

5. Tubuhnya dapat mengakumulasi racun, sehingga dapat sebagai petunjuk pencemaran.

6. Mudah dikumpulkan dan diidentifikasi paling tidak sampai tingkat family.

7. siklus hidup yang panjang memungkinkan diuraikannya perubahan yang bersifat sementara akibat gangguan yang terjadi.

8. Pengambilan contoh mudah dilakukan, karena memerlukan peralatan sederhana, murah dan tidak berpengaruh terhadap akhluk hidup lainnya

Keuntungan lain dari menggunakan makroinvertebrata sebagai bioindikator pencemaran adalah makroinvertebrata hidup melekat pada tanah atau di dalam tanah dan motilitasnya rendah sehingga dia tidak mudah bergerak dan berpindah (Zamroni, 2017) Berdasarkan ukurannya maka organisme invertebrata dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu makroinvertebrata dan

(8)

mikroinvertebrata. adalah organisme yang tersaring oleh saringan bertingkat dengan ukuran 0,5 mm mengklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu mikrofauna yang ukurannya lebih kecil dari 0,1 mm, meiofauna yang berukuran antara 0,1 mm dan makrofauna yang berukuran lebih dari 0,1 mm (Kriska, 2014).

2.3.1. Klasifikasi Makroinvertebrata

Menurut (Gooderham & Tsyrlin, 2002) Klasifikasi makroinvertebrata berdasarkan cara makannya ke dalam tiga kelompok, yaitu:

1. hewan makroinvertebrata sebagai herbivora, dimana kelompok makroinvertebrata herbivora memakan produsen. Dua jenis herbivora yang ada yakni scrapers dimana mengancurkan dedaunan menjadi lebih kecil dan mengorek lapisan ganggang dari batu dan permukaan keras lainnya.

Kelompok ini mencakup banyak keong air dan berbagai invertebrata lain yang dilengkapi dengan kuas atau pisau pada mulutnya untuk menghilangkan lapisan alga yang melekat pada susbtrat. Selain itu Shredders dapat memakan makrofita, dengan mengunyah daun atau menggigit batang tanaman, tetapi kebanyakan mengkonsumsi bahan tanaman tua, mati, membusuk atau detritus. Ini membuat mereka detritivora dan juga herbivora

2. hewan makroinvertebrata sebagai predator, dimana predator umumnya invertebrata yang lebih besar, seperti larva capung (Odonata) dan larva dobsonfly (Megaloptera) dan hewan yang lebih besar seperti ikan, katak, dan burung. Mereka mendapatkan energi mereka dengan melahap hewan lain.

Korban mereka dapat berupa herbivora, detritivora atau pemangsa lainnya.

3. dan hewan makroinvertebrata sebagai detritivor, dimana detritivora memakan campuran serasah daun, serpihan kayu, dan tubuh organisme yang mati.

detritivor yang menangani serasah kasar dari shredders. Mereka memecahnya menjadi potongan-potongan kecil, sambil mengambil nutrisi yang mereka dapat dari seresah. Detritivor yang menggunakan seresah organik disebut kolektor (penyaring). Memiliki rambut khusus pada kaki mereka atau di sekitar mulut mereka yang menyaring organik halus dari air saat mengalir melewati mereka. Beberapa contoh kolektor termasuk larva lalat hitam (Simuliidae), dan beberapa Leptoceridae.

(9)

Makroinvertebrata perairan merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di perairan, baik yang menetap (sesil), merayap (sedenter) maupun menggali lubang (Moningkey, et al., 2017) Beberapa makroinvertebrata yang umum ditemui di kawasan mata air adalah dari kelas Gastropoda, Bivalvia, Crustaceae, Coleoptera, Diptera, Odonata, dan Polychaeta (Rahmawati & Retnaningdyah, 2015).

2.3.1.1. Gastropoda

Gastropoda bertubuh lunak, hewan yang membawa cangkang keras, cangkang siput dapat berupa dextral (atau lilitan kanan) atau sinistral (atau lilitan kiri), sering melingkar di punggung mereka, ke mana mereka bisa menarik diri saat terancam. Kepala mereka membawa sepasang batang mata dan sepasang tentakel, meskipun satu atau keduanya adalah kurang jelas pada beberapa spesies air tawar. Terkadang hewan yang mundur akan memilikinya sebuah pintu atau 'operculum', yang memblokir pintu masuk ke shell begitu hewan itu dalam. Nama gastropoda berasal dari Yunani, artinya perut (gastro-) kaki (-poda), mengacu pada cara binatang itu perutnya sangat dekat dengan kakinya. Menurut Dharma, 1988) kelas gastropoda dibagi dalam tiga sub kelas yaitu: Prosabranchia, Ophistobranchia dan Pulmonata.

1. Sub Kelas Caenogastropoda

Caenogastropod biasanya memiliki cangkang yang digulung dan hampir setiap bentuk cangkang ditemukan dalam kelompok ini, mulai dari cangkang jongkok datar hingga yang menggumpal dan bahkan yang panjang, sempit, berkerut sangat rapat. Beberapa di antaranya mirip limpet, dan satu kelompok, Vermetidae, memiliki cangkang yang mengendur dan tampak seperti tabung cacing; dalam beberapa caenogas-tropods, cangkang direduksi menjadi sisa internal di tubuh siput. Bagian utama dari caenogastropoda adalah modifikasi pada rongga pallial, yang berisi insang (atau ctenidium) dan organ-organ serta bukaan indera terkait dari ginjal,. Sub kelas ini dibagi lagi kedalam tiga ordo yaitu:

a. Ordo Archeogastropoda, yaitu bernafas melalui insang, yang terletak di rongga mantel di depan jantung. dua buah insang yang terletak di anterior.

(10)

cangkang umumnya tertutup oleh overkulum serta organ reproduksi terpisah antara jantan dan betina.

b. Ordo Mesogastropoda, yaitu satu buah tersusun dalam satu baris filamen, jantung beruang satu, mulut dilengkapi radula yang berjumlah tujuh buah dalamsatu baris. Contoh ordo ini adalah Lambis, Turitella.

c. Ordo Neogastropoda, yaitu insang sebuah tersusun dalam satu baris filament, jantung beruang satu, mulut dilengkapi radula tiga buah dalam satu baris. Contoh ordo ini adalah Murek.

2. Sub Kelas Ophistobranchia

Kelompok gastropoda ini memiliki dua insang terletak di posterior, cangkang umumnya tereduksi dan terletah di dalam mantel, jantung satu ruangan dan reproduksi berumah satu. Sub kelas ini dibagi dalam delapan ordo, yaitu :

a. Ordo Cephalaspidea, yaitu cangkang terletak eksternal, besar dan pipih,beberapa jenis mempunyai cangkang internal.

b. Ordo Anaspidea, yaitu cangkang tereduksi bila ada terletak internal, rongga mantel pada sisi kanan menyempit dan tertutup oleh parapodia yang lebar.

c. Ordo Thecosonata, yaitu cangkang berbentuk kerucut mantel lebar, dan merupakan hasil modifikasi dari kaki yang berfungsi sebagai alat renang bersifat planktonik.

d. Ordo Gimnosonata, yaitu tanpa cangkang dan mantel, parapodia sempit, berukuran mikroskoptik dan bersifat planktonik.

e. Ordo Notaspide, yaitu cangkang terletak internal, eksternal atau cangkang, rongga mantel tidak ada.

f. Ordo Acocchilideacea, yaitu tubuh kecil melipiti spikula, tanpa cangkang, insang ataupun gigi.

g. Ordo Sacoglosa, yaitu insang dengan atau tanpa cangkang, radula mengalami modifikasi menjadi alat penusuk dan penghisap alga. Contoh ordo ini adalah Stiliger.

(11)

h. Ordo Nudibranchia,yaitu cangkang tereduksi, tanpa insang sejati, bernafas dengan insang sekunder yang terdapat disekeliling anus, permukaan dorsal. Contoh ordo ini adalah Polycera.

3. Sub Kelas Pulmonata

Sub kelas Pulmonata bernafas dengan paru-paru, cangkang berbentuk spiral, kepala dilengkapi dengan satu atau dua pasang tentakel, sepasang diantaranya mempunyai mata, rongga mantel terletak di anterior, organ reproduksi hermaprodit atau berumah dua. Sub kelas ini dibagi menjadi dua ordo, yaitu :

a. Ordo Stylomotophora Tentakel 2 pasang, pasangan kedua mempunyai mata dimujungnya. Siput darat: Achatina (bekicot) dan helix, Arion.

b. Ordo Basommataphora mata terletak pada dekat pangkal tentakel kebanyakan diair tawar dan beberapa dilaut. Limpet laut: Siphoneria. siput air tawar Lymnaea, Physa, Gyrauslusn dan Ferissia, limpet air tawar.

2.3.1.2. Bivalvia

Bivalvia memiliki tubuh bilateral simerti, pipih secara lateral kaki berbentuk seperti baji, insang tipis berbentuk seperti papan, umumnya mempunyai kelamin terpisah, tetapi beberapa diantaranya hermaprodit. Tubuh biasanya dilindungi oleh cangkang yang terdiri dari tiga lapis yaitu; periostrakum, lapisan primatik dan lapisan Mutiara. Terdapat ciri-ciri umum Bivalvia : hewan lunak, sedentary (menetap pada sedimen), umumnya hidup di laut meskipun ada yang hidup di air tawar, pipih di bagian lateral dan mempunyai tonjolan di bagian dorsal, tidak memiliki tentakel, kaki otot berbentuk seperti lidah, mulut dengan palps (lembaran berbentuk seperti bibir), memiliki radula , insang dilengkapi dengan silis untuk filter feeding (makan dengan menyaring larutan), alat kelamin terpisah atau ada yang hermaprodit, perkembangan lewat trocophora dan viliger pada perairan laut dan tawar. Menurut (Dharma, 1988) kelas Bivalvia atau Pelecypoda dibagi dalam 3 subkelas, yaitu:

1. Subkelas Protobranchia, yaitu sebagian besar hidup di laut, terdiri atas dua lembaran atau lamella, bentuknya seperti daun.

(12)

a. Ordo Nuculacea, Tidak mempunyai sifon sebagai deposid feeder mendapatkan makanan menggunakan proboscides. Hidup hampir disemua laut terutama daerah temperate.

b. Ordo Solenomyacea, Mempunyai sifon menyaring makanan dengan insang, cangkang mempunyai semacam tirai solemnya cangkang sangat rapuh. Di lumpur dan pasir pantai timur.

2. Subkelas Lamellibranchia, yaitu hewan yang hidupnya di laut, insangnya terdiri atas dua barisan filamen yang bentunya seperti daun, tergantung di dalam mantel. Contoh ordo ini adalah Taxodonta, Anisomyaria, heterodonta, Schizodonta, Adapedonta, Anomalodesmata.

a. Ordo Taxodonta, Gigi pada hinge banyak yang sama kedua otot aduktor berukuran kurang lebih sama pertautan antar filamen insang tidak ada.

Arca, Anadar dan Barbatia. Penyebaran luas umumnya di pantai laut.

b. Ordo Anisomyaria, Otot aduktor anterior kecil atau tidak ada yang posterior besar,sifon tidak ada pertautan antara filamen dan cilia biasanya sessile, kaki mengecil.

c. Ordo Heterodonta, Gigi pada hinge terdiri atas beberapa gigi kardinal dengan atau tanpa gigi lateral, insag tipe eulamellibranchia, kedua otot aduktor sama besar, tepi mantel menyatu pada beberapa tempat biasanya mempunyai sifon, kebanykan di laut.

d. Ordo Schizodonta, Gigi dan hine mempunyai bentuk dan ukuran bervariasi, tipe insang eulamellibranchia kerang air tawar Pseudodon dan Anodonta.

e. Ordo Adepedonta, cangkang selalu terbuka, ligamen lemah atau tidaka ada gigi dan hinge kecil atau tidak ada, tepi mantel tertutup, kecuali pada bukaan kaki, sifon besar panjang dan mwnjadi satu, hidup sebagai pengebor pada substrat keraskedalaman lubang lebih dari 1m.

f. Ordo Anomalodesmata, Tidak ada gigi pada hinge, tipe insang eulamellibranchia, tetapi lembaran insang terluar mengecil dan melengkung ke sarah dorsal, hermafrodit. Lyonsia, cangkang kecil dan rapuh, terdapat di luar dangkal atlantik

(13)

3. Subkelas Septibranchia, yaitu hewan yang hidup di laut, tidak mempunya insang, di dalam mantel terdapat rongga-rongga horiontal membentuk dua kamar.

Contoh ordo ini adalah Cuspidariidae.

2.4. Kualitas Fisik

Indikator kualitas perairan atas dasar pengamatan secara fisik, yakni:

2.4.1. Perubahan Suhu Air

Suhu mempengaruhi sifat fisik, kimia maupun fisiologis organisme di suatu perairan. Suhu perairan dipengaruhi oleh banyak tidaknya intensitas cahaya yang masuk ke dalam air, Suhu selain berpengaruh terhadap berat jenis, kekentalan fluida (Viskositas) dan jumlah massa air dalam satu satuan volume (densitas) (Quevauviller et al., 2010) serta berpengaruh terhadap kelarutan gas dalam air, seperti O2, CO2, N2, CH4 maupun unsur-unsur lain yang terdapat dalam air. suhu dipengaruhi pula oleh musim, lintang, ketinggian permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan permukaan air dan aliran seta kedalaman perairan (H.

Effendi, 2003)

Dalam bidang ekologi, suhu perairan berpengaruh terhadap penyebaran fitoplankton maupun zooplankton. Setiap spesies fitoplankton mempunyai suhu optimum atau kisaran tertentu untuk metabolisme (termasuk fotosintesis). Di air tawar suhu optimum pertumbuhan fitoplankton secara umum antara 200-300C.

suhu optimum untuk pertumbuhan alga di laut lepas adalah 120-200C, misalnya alga dari filum Chlorophyta dapat tumbuh di kisaran suhu 300C-350C (H. Effendi, 2003; Sarma,et al., 2018)

2.4.2. Total Disolve Solid (TDS)

Total Dissolve Solid (TDS) yaitu ukuran zat yang biasanya disebabkan oleh bahan anorganik yang berupa ion-ion yang biasa terdapat pada perairan. TDS menggambarkan jumlah zat terlarut dalam satuan part per million (ppm) atau sama dengan milligram per liter (mg/l). Berdasarkan definisi diatas seharusnya zat yang terlarut berdiameter < 10-6 mm dan koloid dengan diameter 10-6 – 10-4 mm yang berbebntuk senyawa kimia serta bahan-bahan lain yang tidak trsaring pada diameter 0,45µm (Effendi, 2003). Biasanya hal ini untuk mengukur kualitas

(14)

cairan pada pengairan, pemeliharaan aquarium, kolam renang, proses kimia, pembuatan air mineral, dan lain-lain (Sinuraya, 2018)

Total padatan terlarut dapat pula merupakan konsentrasi jumlah ion kation (bermuatan positif) dan anion (bermuatan negatif) di dalam air. Analisa total padatan terlarut merupakan pengukuran kualitatif dari jumlah ion terlarut, tetapi tidak menjelaskan pada sifat atau hubungan ion. Nilai TDS peraian sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan air tanah dan pengaruh limbah domestic maupun industri. Menurut peraturan menkes tentang syarat dan pengawasan kualitas air menyebutkan bahwa nilai TDS (zat padat terlarut) pada perairan maksimal 1500 mg/L atau 1500 ppm (Effendi, 2003; Sudarmadji, 2016).

2.5. Kualitas kimiawi 2.5.1. pH

Menurut Melalui konsentrasi hidrogen dalam air dapat menunjukkan kadar asam dan basa suatu larutan. Nilai pH alami dalam perairan dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan senyawa yang bersifat asam. pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa, dimana pada pH rendah ammonium banyak ditemukan pada perairan sedangkan pada perairan pH tinggi terdapat amoniun yang tak terionisasi dan bersifat racun. Ammonia tak terionisasi lebih mudah terserap ke daplam tubuh organisme akuatik sehingga dapat memunculkan kepekatan hayati (Effendi, 2003). Selain itu pH juga mempengaruhi kehidupan organisme perairan, sehingga sering dipakai sebagai petunjuk baik atau buruk keadaan air sebagai lingkungan hidup bagi organisme perairan. pH yang terlalu tinggi dalam perairan akan menghambat absorbsi oksigen di dalam air. pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton berkisar antara 6,5-8,0. Berikut Tabel 2.1 pengeruh pH terhadap komunits biologi menurut ( Effendi, 2003) :

(15)

Tabel 2.1 Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan Nilai pH Pengaruh Umum

6,0-6,5 1. Keanekaragaman planton dan bentos sedikit menurun

2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak mengalami perubahan 5,5-6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos sedikit semakin

tampak

2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas belum mengalami perubahan yang berarti

5,0-5,5 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton, bentos dan perifiton semakin besar

2. Terjadi penurunan kelimpahan total, biomassa zooplankton dan bentos 3. Alga hijau berfilamen semakin banyak

4. Proses Nitrifikasi terhambat

4,5-5,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton, bentos dan perifiton semakin besar

2. penurunan kelimpahan total, biomassa zooplankton dan bentos 3. Alga hijau berfilamen semakin banyak

4. Proses Nitrifikasi terhambat (sumber: H. Effendi, 2003)

sedangkan pH <4,0 sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi pada pH rendah dan untuk waktu yang lama akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan organisme.

2.6. Keadaan Umum Sumber Maron

Sumber Maron merupakan mata air yang ada Desa Karangsuko, Kabupaten Malang, Kabupaten Malang yang terdapat di Propinsi Jawa Timur.

Sumber Maron terletak pada 8°09’44"S 112°35'43”E dan. letak geografi berupa dataran dengan topografi desa tergolong datar (Effendi, 2018). Lokasi Sumber Maron terhitung panjang dari aliran mata air ke sungai bureng I sepanjang 2.140 meter, kedalaman perairan Sumber Maron 1-1,8 meter dan suhu rata-rata udara 0C hingga 240C, ketinggian wilayah 239-1.157 meter dpl, curah hujan 4,2 mm hingga 139,7 mm dalam bulan agustus-desember dengan kelembaban udara rata-rata 79%

hingga 92% (Effendi, 2018)

Adapun manfaat dan tujuan dari pendirian Sumber Maron adalah sebagai sumber kebutuhan masyarakat desa Karangsuko guna dimanfaatkan untuk konsumsi, pertanian. serta dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi. Sedangkan Daerah sekitar Sumber Maron merupakan daerah areal hutan dan Pertanian milik penduduk setempat. vegetasi riparian di Desa karangsuko banyak mengalami kerusakan, selain itu kerusakan Vegetasi riparian juga terjadi dikota-kota yang dialiri oleh sungai Brantas yang mana hal tersebut dikarenakan adanya perubahan

(16)

guna lahan baik itu untuk pertanian, pemukiman ataupun untuk industri. Berikut Tabel 2.2 tentang penggunaan lahan dikawasan brantas kabupaten malang.

Tabel 2.2. Penggunaan lahan di brantas kab.malang tahun 2005 (km2)

Penggunaan Lahan Kabupaten Malang

Air tawar 25,08

Empang 0,84

Hutan 335,13

Kebun 796,44

Padang rumput/ tanah kosong 20,92

Pemukiman 287,79

Sawah irigasi 291,56

Sawah tadah hujan 116,71

Semak belukar 143,30

Tanah lading 957,64

Rawa 2,76

Pasir darat 0,06

Pasir pantai 0,78

Penggaraman -

Total 2,979

(Sumber : Pola PSDA brantas, 2010)

2.7. Tinjauan Umum Tentang Sumber Belajar

Pembelajaran merupakan keterpaduan dua proses yaitu, belajar dan mengajar (Husamah, et al., 2016). Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses membangun kemandirian melalui aktualisasi otoritas dan hak belajar siswa.

Dalam prosesnya, siswa berhak berlajar yang meliputi (berpikir, berpendapat, bertanya) dimana kegiatan tersebut guru berperan secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat belajar secara aktif yang menekankan pada penyedia sumber belajaar (Suratno, 2008 dan Sagala, 2008 dalam Husamah, 2016) kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Sehingga istilah pembelajaran setara diumpamakan dengan teaching dan instruction , yang artunya kita tidak harus harus secara bertentangan antara pengajaaran dan pembelajaran, karena pada hakikatnya keduanya berjalan secara sinergis (Husamah, et al., 2016)

Sumber belajar adalah segala sesuatu yang ada di sekitar lingkungan kegiatan belajar yang secara fungsional dapat digunakan untuk membantu optimalisasi hasil belajar. Sumber belajar berupa data, orang dan barang yang

(17)

dipergunakan sendiri ataupun kelompok untuk mempermudah proses belajar mengajar. Optimalisasi hasil belajar ini dapat dilihat tidak hanya dari hasil belajar (output) namun juga dilihat dari proses berupa interaksi siswa dengan berbagai macam sumber yang dapat merangsang siswa untuk belajar dan mempercepat pemahaman dan penguasaan bidang ilmu yang dipelajarinya (Sanjaya, 2008).Dari berbagai sumber belajar yang ada dan mungkin didayagunakan dalam pembelajaran sedikitnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: manusia, bahan, lingkungan, alat atau peralatan, dan aktivitas.

Media didefinisikan sebagai sarana perantara dalam proses pembejaran sehingga salah satu sumber belajar mampu membantu guru memperkaya wawasan anak didik. Aneka macam bentuk dan jenis media yang digunakan oleh guru menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi anak didik. Media sebagai sumber belajar diakui sebagai alat bantu auditif, visual, dan audiovisual. Penggunaan ketiga jenis sumber belajar ini tidak sembarangan, etapi harus disesuaikan dengan tujuan instruksional, dan tentu saja dengan kompetensi dengan kompetensi guru dan sebagainya (Daryanto, 2010)

2.7.1. Macam-Macam Sumber Belajar

Media pembelajaran memiliki jenis yang beragam. Menurut Daryanto,2010 karakteristik media pembelajaran diabagi menjadi dua yakni media pembelajaran dua dimensi dan media pembelajaran tiga dimensi. Pembelajaran dua dimensi meliputi media grafis, media bentuk papan dan media cetak.

Sedangkan media tiga dimensi meliputi media sebenarnya melalui widya wisata, media sebenarnya melalui specimen dan media tiruan. Menurut Anderson (1976) mengklasifikasikan media pembelajaran berdasarkan bentuk dan cara penyajiannya yang meliputi tujuh kelompok media penyaji, adapun Tabel 2.3 mengenai kelompok media intruksional.

(18)

Tabel 2.3. Kelompok media instruksional

No. Kelompok Media Media Instruksional

1 Grafis Grafik, diagram,, bagan, sketsa, poster, papan flannel dan bulletin board

2 Media audio

Media audio visual diam

Radio, alat perekam pita magnetic

Sound slide, film strip bersuara dan halaman bersuara 3 Cetak Buku teks, modul, bahan pengajaran terprogram 4 Media gambar diam Foto

5 Media proyeksi diam OHP dan OHT, opaque proyektor, slide, dan film trip 6 Film (mention picture) Film bisu, film bersuara dan film gelang

7 Telivisi Telivisi terbuka, televise siaran terbatas dan VCR (Sumber : Anderson,1976)

(19)

2.8. Kerangka Konsep

Berikut Gambar 2.1 kerangka konseptual penelitian.

Gambar 2.1. Kerangka konseptual Sumber Maron

Mempengaruhi Kualitas Vegetasi Riparian

Berdampak

• Penurunan sumber energi dalam rantai makanan

• Berkurangnya makanan berupa serasah-seresah bagi makroinvertebrata

• Tidak adanya penyedia material kayu sebagai tempat berlindung dari pemangsa

• Hilangnya vegetasi berupa pohon yang memiliki tajuk sebagai naungan yang berperan menyanggah suhu air dan melindungi makroinvertebrata dari musim panas

Mempengaruhi Keanekaragaman Makroinvertebrata

Keanekaragaman Keseragaman Dominansi

Sebagai sumber belajar biologi

Aktivitas alih tata guna lahan riparian di sekitar daerah aliran Sumber Maron

Gambar

Tabel 2.1 Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan  Nilai pH  Pengaruh Umum
Tabel 2.2. Penggunaan lahan di brantas kab.malang tahun 2005 (km 2 )
Tabel 2.3. Kelompok media instruksional
Gambar 2.1. Kerangka konseptualSumber Maron

Referensi

Dokumen terkait

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Kepatuhan. 5) Dalam hal terdapat perubahan informasi yang cenderung bersifat cepat ( prone to rapid change ) antara lain terkait perubahan kondisi ekonomi,

Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada hubungan antara pengetahuan komunikasi terpeutik, tingkat pendidikan dan masa

(2) Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 50 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang

Pada bagian tubuh manakah saudara merasakan keluhan nyeri/panas/kejang/mati4. rasa/bengkak/kaku/pegal?.. 24 Pergelangan

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

4.11 Model hubungan antara variabel persepsi guru geografi terhadap eksistensi MGMP (X1) dan partisipasi guru geografi dalam kegiatan MGMP (X2) dengan kompetensi