• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid penyakit tifus merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di masyarakat seluruh dunia. Demam tifoid merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri Salmonella enterica khususnya pada turunannya, Salmonella Typhi (Alba, 2016).

Dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah, demam tifoid termasuk ke dalam kategori penyakit menular. Penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular serta dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo AW, 2009).

Demam tifoid dan paratifoid adalah penyakit demam sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotipe Typhi dan serotipe Paratyphi A, B, atau C, masing-masing. Demam enterik mengacu pada demam tifoid atau paratifoid. Salmonella Typhi adalah penyebab utama demam enterik dan mungkin menjadi penyebab bakteremia yang paling umum di dunia (Upadhyay, 2015).

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna, yang ditandai oleh demam berkepanjangan, yang disertai dengan gejala pada gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa adanya gangguan kesadaran (Hornick, 2007). Demam tifoid merupakan masalah kesehatan mayarakat yang penting karena penyebabnya berkaitan dengan urbanisasi, kesehatan lingkungan, sanitasi air yang buruk, dan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi (Ghassani, 2014).

2.2 Morfologi dan Struktur Bakteri Salmonella Typhi

Bakteri Salmonella merupakan bakteri gram negatif, tidak berspora, bersifat intraseluler fakultatif dan anaerob fakultatif (bakeri yang dapat hidup dalam lingkungan oksigen maupun tanpa oksigen) yang mempunyai flagela dan aktif bergerak. Ukuran bakteri tersebut berkisar 0,71,5 X 2-5 pm, memiliki kemampuan

(2)

untuk hidup dan berkembang biak di dalam sel eukariotik (Public Health England, 2015).

Bakteri Salmonella tidak tahan atau mati pada suhu 60oC selama 15 – 20 menit baik melalui pendidihan, pasteurisasi, maupun klorinasi. Genus Salmonella ini mampu bertahan hidup selama beberapa bulan bahkan hingga beberapa tahun jika melekat dalam tinja, mentega, susu, keju, dan air beku (Yatnita, 2011). Salmonella memiliki beberapa macam antigen, diantaranya :

 Antigen somatic (O), yang terletak di lapisan tubuh bakteri. Struktur kimia terdiri dari lipopolisakarida, antigen ini dapat bertahan terhadap pemanasan 100oC selama 2-5 jam dengan alkohol maupun asam yang encer

Antigen flagel (H), terletak di flagel, fimbriae, atau fili pada Salmonella Typhi yang juga dimiliki oleh Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60oC serta pemberian alcohol maupun asam.

 Antigen kapsul (Vi), terletak di lapisan terluar atau kapsul yang melindungi bakteri dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid. Antigen ini apabila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60oC atau diberi asam maupun fenol akan rusak. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier atau tidak (Nafiah, 2018).

Ketiga macam antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.

(3)

Outer Membran Protein (OMP) pada Genus Salmonella yang merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membrane sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP terdiri dari 2 bagian, yaitu protein porin, yang merupakan komponen utama dari OMP dan protein nonporin. Pada beberapa penelitian ditemukan antigen yang OMP Salmonella Typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein kDa/52 kDa (Nafiah, 2018).

Saat ini, telah dilaporkan lebih dari 2.500 serotipe Salmonella. Dari jumlah tersebut, serotipe yang paling umum menyebabkan penyakit manusia adalah Salmonella enterica subspecies serovar Typhi (Salmonella Typhi) dan Salmonella enterica subspecies serovar Enteritidis (Salmonella Enteritidis) di negara-negara Amerika dan Eropa. Salmonella Typhi merupakan parasit intraseluler fakultatif, yang dapat hidup dalam makrofag dan menyebabkan gejala-gejala gastrointestinal yang terjadi pada akhir perjalanan penyakit, biasanya terjadi setelah demam yang cukup lama, bakteremia dan akhirnya terjadilah lokalisasi infeksi pada jaringan limfoid submucosa usus kecil-kecil (Yatnita, 2011).

2.3 Epidemiologi Demam Tifoid

Infeksi Salmonella menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia dan berkontribusi membebani ekonomi untuk biaya pengawasan, pencegahan, dan pengobatan di negara-negara maju dan negara-negara berkembang, seperti negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara, sebagian Afrika dan Amerika Latin (Hardianto, 2019).

Berdasarkan data WHO (World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa per tahun, angka kematian akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia. Berdasarkan WHO angka penderita demam tifoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000 (Depkes RI, 2013).

Angka rata-rata penderita demam tifoid tertinggi terjadi pada usia anak-anak hingga remaja. Sebuah penelitian yang dilakukan di Pakistan dan Bangladesh menyebutkan bahwa rata-rata usia pasien yang terkena demam tifoid adalah berumur 7 tahun. Tifoid dikenal sebagai penyakit musiman, di Asia Selatan

(4)

penyakit ini banyak terjadi pada saat musim hujan yaitu sekitar bulan Juli hingga Oktober (Paul, 2017).

Di Indonesia diperkirakan antara 800 hingga 100.000 orang terkena penyakit demam tifoid sepanjang tahun. Kasus tifoid di derita oleh anak–anak sebesar 91% dengan rentang usia 3-19 tahun dengan angka kematian 20.000 pertahunnya. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 jumlah kejadian demam tifoid dan paratifoid di Rumah Sakit adalah sekitar 80.850 kasus pada penderita rawat inap dan 1.013 diantaranya meninggal dunia. Sedangkan pada tahun 2012 penderita demam tifoid dan paratifoid sejumlah 41.081 kasus pada penderita rawat inap dan sebanyak 276 jiwa meniggal dunia (Saputra, 2017).

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di daerah kumuh Jakarta memperkirakan tingkat kejadian tifus pada 148,7 per 100000 orang-tahun pada kelompok umur 2-4 tahun, 180,3 pada kelompok usia 5-15 tahun dan 51,2 pada mereka yang berusia di atas 16 tahun. tahun, dengan usia rata-rata timbulnya 10,2 tahun (Ochiai, 2008). Tanpa pengobatan yang efektif, demam tifoid memiliki tingkat fatalitas kasus 10-30%, tetapi jumlah ini berkurang menjadi 1-4% pada mereka yang menerima terapi yang tepat (Crump et al., 2015).

2.4 Klasifikasi Demam Tifoid

Demam tifoid dapat diklasifikasikan berdasarkan menjadi 3, yaitu : - Demam tifoid akut tanpa komplikasi

Demam tifoid akut dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan, konstipasi pada pasien dewasa, dan diare pada anak-anak, sakit kepala, malaise, dan anoreksiabentuk bronchitis biasa terjadi pada fase awal penyakit selama periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya rese spot pada dada, abdomen dan punggung.

- Demam tifoid dengan komplikasi

Pada demam tifoid akut keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah. tergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 1-4% pasien dapat mengalami komplikasi, mulai dari melena, perforasi usus dan peningkatan ketidaknyamanan abdomen

(5)

- Keadaan karrier

Keadaan karier tifoid terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien. Karier tifoid bersifat kronis dalam hal sekresi Salmonella Typhi di feses (WHO, 2003).

2.5 Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi atau paraTyphi, bakteri ini merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, berflagela, bersifat anaerobik fakultatif (bakteri yang dapat hidup dalam lingkungan oksigen maupun tanpa oksigen), tidak berspora, dan berkembang biak di dalam sel eukariotik. (Public Health England, 2015). Salmonella mengandung kompleks lipopolisakarida (LPS) yang berfungsi sebagai endotoksin dan terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri Salmonella Typhi. Antigen ini bersifat hidofilik, tahan terhadap pemanasan suhu 100°C selama 2-5 jam dan tahan alkohol 96 % dan etanol 96% selama 4 jam pada suhu 37°C tetapi tidak tahan terhadap formaldehid. Bakteri ini masuk melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh feses atau urine orang yang terinfeksi bakteri Salmonella Typhi yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui fecal dan oral (Mogasale, 2016).

Di luar kontaminasi feses air minum, kejadian tifoid yang tinggi secara statistik telah dikaitkan dengan iklim, ketinggian, dan kedekatan lokal dengan lahan yang berubah dan sistem hidrologi. Selain itu, fitur rumah tangga sering dikaitkan dengan peningkatan risiko, termasuk penggunaan air permukaan yang tidak diolah (misalnya, sungai, sumur) sebagai air minum, praktik penyimpanan air yang buruk, penggunaan air mandi yang terkontaminasi kondisi toilet atau kakus, dan kepadatan rumah penduduk. Drainase yang tidak memadai di sekitar rumah dan masyarakat telah secara signifikan dikaitkan dengan peningkatan risiko beberapa penyakit enterik dan diare. Selain itu, sifat mikrobiologis dan biokimia dari reservoir lingkungan juga dapat dikaitkan dengan demam tifoid (Jenkins, et al., 2019).

Selain itu, sifat mikrobiologis dan biokimia dari reservoir lingkungan juga dapat dikaitkan dengan demam tifoid. Sebuah penelitian di Kathmandu, Nepal,

(6)

mengungkapkan bahwa coliform termotoleran, nitrat, nitrit, kekeruhan, dan amonia dalam air minum berkorelasi positif dengan keberadaan asam nukleat Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi A, yang menunjukkan bahwa kemungkinan polusi kimiawi air dalam pengaturan itu mungkin terjadi. didorong oleh limpasan curah hujan dan kontaminasi lokal dengan kotoran manusia. 2.5 Patogenesis Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid disebabkan karena infeksi dari kuman/bakteri Salmonella Typhi, kuman tersebut (Salmonella Typhi) yang dapat menghasilkan endotoksin, endotoksin merupakan kompleks lipopolisakarida yang berperan penting pada patogenesis demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik dan dapat memperbesar reaksi peradangan dari kuman Salmonella tersebut berkembang biak. Stimulator yang kuat untuk memproduksi sitokin merupakan mediator-mediator timbulnya demam dan gejala toksemia (prainflamatory) (Kemenkes, 2006). Dosis infeksi atau jumlah Salmonella Typhi yang menyebabkan seseorang sakit bervariasi antara 103 sampai 106 sel. Salmonella Typhi harus mampu

bertahan hidup di lambung yang mempunyai pH rendah untuk menginfeksi usus halus (Chowdhury, 2014).

Kuman Salmonella Typhi dapat masuk masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara, yang biasanya dikenal dengan 5F, yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan Feses (tinja). Feses dan muntah dari penderita demam tifoid dapat menular kepada manusia sehat lain melalui perantara lalat. Lalat tersebut selanjutnya hinggap di makanan atau minuman yang akan dikonsumsi oleh manusia sehat. Makanan atau minuman yang terkontaminasi menjadi perantara bakteri Salmonella Typhi masuk ke dalam usus halus melalui mulut yang kemudian berhasil melewati asam lambung. Dalam usus halus, bakteri Salmonella Typhi menempel pada sel mukosa kemudian menginfeksi mukosa. kemudian menembus dinding usus sehingga mencapai folikel usus halus. Selanjutnya melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening mesenterik masuk ke aliran darah secara sistemik (disebut bakteremia ke-1 atau bakteri primer) lalu mencapai retikulo endotelial dan jaringan tubuh (Crump et al., 2015). Setelah

(7)

berada dalam sirkulasi sistemik, terjadilah proses fagositosis dimana sebagian kuman dapat mati difagositosis dan sebagian tidak, kuman yang tidak dapat difagositosis akan menyebabkan terjadi bakteremia 2. Kuman yang masuk ke sirkulasi darah menyebabkan rose spot pada kulit, lidah berlapis, selanjutnya kuman masuk ke usus halus menyebabkan inflamasi pada usus halus, sehingga menimbulkan mual dan muntah serta adanya anoreksia, hal tersebut menyebabkan intake pasien yang tidak adekuat sehingga terjadi ketidakseimbangan nutrisi dan defisiasi volume cairan tubuh. Selanjutnya kuman masuk ke hepar, kuman mengeluarkan endotoksin yang dapat merusak hepar, sehingga menyebabkan terjadi hepatomegali dan splenomegali yang ditandai dengan peningkatan pada nilai SGOT, SGPT. Selain itu, kuman akan masuk ke hipotalamus yang menekan termoregulasi sehingga timbul demam remiten dan hipertermi, sehingga menyebabkan malaise (Muttaqin, 2011). Waktu inkubasi adalah antara 7 sampai 14 hari dan waktu initergantung dari jumlah bakteri, virulensi, dan respon daya tahan tubuh manusia (Christenson, 2013).

Apabila demam tifoid yang tidak segera diobati, bakteri akan menyebar ke organ-organ vital seperti hati, limpa, sumsum tulang belakang, kantung empedu. Bakteri yang masuk ke kantong empedu dapat menyebabkan inflamasi pada usus, sehingga dapat mengalami ulserasi yang dapat menyebabkan pendarahan dan perforasi usus (Mandal, 2008). Bakteri yang ada di hati dapat masuk kembali ke usus kecil, sehingga bakteri mampu menginfeksi kembali, sebagian lainnya dikeluarkan dengan tinja infeksius (Yatnita, 2011). Menetapnya genus Salmonella pada tubuh manusia disebut dengan agen pembawa bakteri atau carrier. Sebagian besar penderita demam tifoid adalah agen pembawa. BaSkteri Salmonella ini terletak pada tulang, usus, paru-paru, ginjal, jantung, kantung empedu, dan saluran kemih (Nafiah, 2018).

(8)

Gambar 2.2 Jalur Patofisiologi Demam Tifoid (Muttaqin, 2011) Bakteri Salmonella Typhi

Cara penularan melalui 5F (Food, Fingers, Fomitus, Fly, Feses) Masuk ke dalam tubuh melalui mulut

Masuk ke asam lambung Sebagian musnah

oleh asam lambung

Masuk ke usus halus bagian distal hingga limfoid (peyer patchs) Di jaringan limfoid kuman berkembang biak

Bakteremia 1

Kuman mengeluarkan endotoksin lalu masuk ke aliran darah

Masuk ke dalam Retikuloendotelia dan jaringan tubuh

Proses fagositosis Sebagian mati difagosit

Sebagian tidak mati terfagositosis

Berkembang menjadi Bakteremia 2

Aliran darah Hati dan limpa Usus halus Hipotalamus

Menyebabkan rose spot pada kulit dan lidah

berlapis Endotoksin merusak hati dan limpa Inflamasi pada usus Menekan termoregulasi Demam remiten hingga hipertermi Hiperperistaltik dan hipoperistaltik Hepatomegali dan splenomegali Mual, muntah, dan anoreksia Malaise Peningkatan SGOT, SGPT

(9)

2.5 Manifestasi Klinis Demam Tifoid

Gejala klinis dari demam tifoid terjadi secara tidak spesifik, menurut Harris dan Brooks yang tertulis dalam bukunya yang menyebutkan bahwa gejala klinis demam tifoid tanpa komplikasi terbagi menjadi 3 kategori, yaitu gejala menyerupai flu, abdominal, dan perubahan fisik (Harris, 2020).

Tabel II.1 Manifestasi Klinik Demam Tifoid (Harris, 2020)

Kategori Gejala klinis Frekuensi

Gejala menyerupai flu

Demam >95%

Sakit kepala (pusing) 80%

Panas dingin 40%

Batuk 30%

Myalgia 20%

Arthralgia <5%

Gejala pada abdomen

Anoreksia 50%

Nyeri abdomen (perut) 30%

Diare 20% Konstipasi 20% Perubahan fisik Lidah berlendir 50% Hepatomegali 10% Splenomegali 10%

Rasa tidak nyaman pada bagian abdomen

5%

Ruam <5%

Adenopati <5%

Menurut Kemenkes no. 364 tahun 2006, gejala klinis demam tifoid meliputi demam, gangguan saluran pencernaan, gangguan kesadaran, hepatosplenomegaly

(pembesaran pada hati atau limpa), dan brakikardia. Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sakit sudah lebih dari 2 minggu.

(10)

Demam tanpa tanda atau gejala lokal, mungkin merupakan satu-satunya manifestasi demam enterik. Di negara-negara endemic seperti Indonesia, demam yang terjadi pada anak-anak mungkin tidak lebih dari demam ≥39 ° C selama 3 hari atau lebih. Demam biasanya terjadi secara bertahap, pada pagi hari relatif lebih rendah atau normal namun akan pada sore/malam hari demam lebih tinggi (intermitten). Demam naik secara bertahap pada minggu pertama lalu demam menetap pada minggu kedua, dan disertai rasa kelelahan, anoreksia, sakit kepala bagian depan, mual, muntah, sakit perut, dan sembelit atau diare (Kemenkes, 2006).

Gejala yang sering dialami pasien demam tifoid adalah gangguan daerah abdomen. Hal tersebut juga dapat disebabkan akibat penggunaan obat saat perawatan di rumah sakit. Gangguan pada daerah yang biasanya dialami oleh pasien demam tifoid seperti nyeri perut, mual/muntah, dan diare. Mual adalah kecenderungan untuk muntah atau sebagai perasaan di tenggorokan atau daerah epigastrium yang memperingatkan seorang individu bahwa muntah akan segera terjadi (Kemenkes, 2006). Mual sering disertai dengan peningkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis termasuk diaphoresis, air liur, bradikardia, pucat dan penurunan tingkat pernapasan. Muntah didefinisikan sebagai ejeksi atau pengeluaran isi lambung melalui mulut, seringkali membutuhkan dorongan yang kuat (Dipiro, 2009).

Pada perubahan fisik (gangguan pada saluran pencernaan) ditemukan gejala seperti bau mulut yang tidak sedap dikarenakan pengaruh demam yang terlalu lama, lidah kotor dan ditutupi selaput putih, ujung dan tepi lidah kemerahan bahkan tremor, bibir kering hingga pecah-pecah, namun pada pasien anak namun hal tersebut jarang ditemukan, hingga pembesaran pada hati dan limpa (Harris, 2020).

Sebagian besar kasus demam enterik dengan diagnosis ringan diberi pengobatan dalam rawat jalan. Sebaliknya, pada pasien demam tifoid yang di rawat inap memliki indikasi yang lebih parah. Komplikasi demam enterik biasanya terjadi lebih dari seminggu setelah demam. Perforasi usus dan

(11)

ensefalopati dapat terjadi dalam beberapa hari setelah demam awal, hal tersebut dapat berbahaya bahkan dapat meneybabkan kematian (Maskey, 2006).

Beberapa pasien mungkin mengalami gejala demam tifoid yang lebih berat hingga menyebabkan komplikasi. Mereka cenderung memiliki sakit perut yang sedang atau nyeri tekan dan sembelit, cemas atau diare. Hepatomegali sedang dan splenomegali juga sering terjadi. Komplikasi utama demam tifoid tercantum dalam tabel sebagai berikut :

Tabel II.2 Komplikasi pada Demam Tifoid (Harris, 2020)

Sistem Komplikasi Keterangan

Gastrointestinal Pendarahan 10 – 15% pasien rawat inap Perforasi 3% pasien rawat inap

Hepatobiliary

Jaundice (kuning) 1 – 3% pasien rawat inap

Hepatitis Sub klinik biasanya (↑ALT/AST) Kolekitis akut Jarang, kantong empedu bisa

mengalami perforasi

Neurologi

Ensefalopati ringan rasa gelisah/kebingungan

Ensefalopati berat Pasien dapat pingsan hingga koma Kejang Biasanya terjadi pada anak-anak

≤5 tahun

Meningitis Jarang terjadi, biasanya terjadi pada bayi

Respiratori

Bronchitis Biasanya terjadi batuk

Pneumonia Biasanya terdapat infeksi dari kontaminasi bakteri, seperti S. pneumonia

Kardiovaskular Miokarditis Perubahan pada data klinik ECG Syok

Hematologi Anemia

DIC Nilai klinik : ↑PT/PTT

Lain-lain

Infeksi piogen

sindrom uremik hemolitik

Keguguran

ALT;Alanine aminotransferase, AST;Aspartate aminotransferase, DIC;disseminated intravascular coagulation, ECG;Echocardiogram, PT;Prothrombin time, PTT;Partial Thromboplastin time

(12)

2.6 Mekanisme Mual Muntah

Mual dan muntah merupakan manifestasi dari berbagai macam kondisi, termasuk efek samping dari obat-obatan; gangguan sistemik atau infeksi; kehamilan disfungsi vestibular; infeksi sistem saraf pusat atau peningkatan tekanan; peritonitis gangguan Hepatobilier; radiasi atau kemoterapi; dan obstruksi gastrointestinal, dissmoilitas, atau infeksi (Katzung, 2012). Fase emesis dibagi atas 3 fase nausea (mual), retching, dan vomiting (muntah). Mual adalah kebutuhan mendesak untuk muntah, yang dikaitkan dengan lambung. Retching adalah gerakan otot abdomen dan toraks sebelum muntah, fase terakhir dari emesis adalah muntah yang merupakan gerakan ekspulsi dari isi lambung karena retroperistaltik pada GI (Dipiro, 2009).

Mual juga dapat diartikan kejadian kompleks yang dapat dipicu dari beberapa pusat seperti pembentukan reticular medulla, Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ), Nucleus Traktus Solitaries (NTS), sistem vestibular, otak kecil (serebelum), nervus gasofaringeal, dan nervus vagal (gambar 2.3) (Sikka, 2015). Pusat muntah menerima masukan dari kortex cerebral, organ vestibular, daerah pemacu kemoreseptor (CTZ), dan serabut afferen, termasuk dari sistem gastrointestinal. Muntah terjadi akibat rangsangan pada pusat muntah, yang terletak didaerah posterema medulla oblongata didasar ventrikel keempat. Muntah dapat diransang melalui jalur saraf eferen oleh rangsangan nervus vagus dan simpatis atau oleh rangsangan emetik yang menimbulkan muntah dengan aktivasi CTZ. Jalur eferen menerima sinyal yang menyebabkan terjadinya gerakan ekspulsif otot abdomen, gastrointestinal, dan pernapasan yang terkoordinasi dengan epifenomena emetic yang menyertai disebut muntah. Pusat muntah secara anatomis berada di dekat pusat salvasi dan pernapasan, sehingga pada waktu muntah sering terjadi hipersalivasi dan gerakan pernapasan (Gan, 2016). Pilihan terapi untuk mual muntah dapat diberikan berupa pengobatan dengan obat maupun tanpa obat, tergantung dari kondisi medis yang terkait. Untuk pasien dengan keluhan sederhana, cukup diberikan asupan nutrisi yang cukup, sedangkan pada

(13)

pasien yang mengalami mual muntah hebat dapat diberikan terapi antiemetik (Dipiro, 2009).

Gambar 2.3 Mekanisme Mual Muntah (Sikka, 2015)

2.7 Pemeriksaan Laboratorium Demam Tifoid

Demam tifoid dapat diketahui melalui beberapa tes laboratorium, meliputi tes kultur darah, uji widal, uji tubex, typhoid IgM dan IgG, Typhoid Rapid M (IgM), Enzyme Immunoassay (EIA), dan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Pada tes uji kultur darah, dibutuhkan sekurang-kurangnya 15 ml untuk pasien dewasa dan 2 – 4 ml untuk pasien anak-anak (WHO, 2003). Metode ini apabila diterapkan pada daerah endemik seperti Indonesia dengan tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi, hanya dapat mendeteksi 10 – 20% bakteri saja. Namun metode ini sesuai jika digunakan untuk infeksi deteksi awal pasien positif atau negative terindikasi bakteri Genus Salmonella (Nafiah, 2018).

Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Genus Salmonella Typhi. Antigen pada uji widal berupa suspensi bakteri yang direaksikan dengan antibodi spesifik terhadap bakteri pada serum pasien, sehingga terjadi proses aglutinasi antara antigen dari kuman Salmonella dengan antibody yang disebut dengan reaksi aglutinin. Seri antigen pada uji widal meliputi antigen H (flagel) dan antigen O (somatik). Tujuan dari pemeriksaan uji widal ini adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita yang terdiagnosa demam tifoid (Sudoyo, 2009).

(14)

Sedangkan pada uji Tubex dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgM. Pemeriksaan hasil positif menunjukkan adanya infeksi Genus Salmonella. Pinsip kerja dari uji ini mendeteksi keberadaan antibodi IgM yang melawan antigen O9 (Antigen spesifik Genus Salmonella) dalam serum pasien, dengan cara menghambat reaksi reagen berwarna coklat ynag mengandung antigen berlabel partikel lateks magnetik dan monoklonal antibody dalam reagen biru. Reagen coklat mengandung Fe, sehingga pemisahan dilakukan dengan adanya daya magnetik. Hasil uji tubex dibaca secara visual dengan membandingkan warna pada skala warna. Hasil uji tubex positif disertai dengan gejala klinis tifoid menjadi indikasi kuat seseorang adanya indikasi demam tifoid (Handojo, 2003).

Pada uji Typhidot IgM dan IgG merupakan uji yang menunjukkan tingkatan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Apabila hanya terdeteksi IgM maka menunjukkan sedang dalam fase akut. Antibody IgG dapat menetap dalam tubuh selama 2 tahun setelah terinfeksi (Handojo, 2003). Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman Salmonella Typhi. Terdapat adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, respon antibodi ditunjukkan seperti grafik dibawah ini :

Metode berikutnya adalah Enzyme Immunoassay (EIA), merupakan metode yang menggunakan prinsip reaksi antigen-antibodi. Reaksi tersebut dapat

(15)

dideteksi dengan penambahan konjugat enzim aktif yang direaksikan dengan substrat, sehingga dapat menghasilkan warna spesifik yang dapat dibaca dengan alat spektrofotometer atau calorimeter pada panjang gelombang tertentu. EIA dibagi menjadi dua macam, yaitu homogen (aktivitas enzim tergantung pada reaksi antigen-antibodi sehingga tidak terjadi pemisahan) dan heterogen (enzim tidak dipengaruhi pada reaksi antigen-antibodi, sehingga diperlukan pemisahan fraksi terikat maupun tidak terikat (Handojo, 2003).

Pada metode pengujian Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), dinilai akurat namun relative lebih mahal. Prinsip kerja dari metode ini, antibody pertama (Antibodi pelapis) dilapiskan pada fase padat kemudian ditabahkan serum penderita didalamnya. Selanjutnya ditambahkan Antibody kedua (Antibodi pelacak) yang berlabel enitambahkan substrat dan reagen penghenti enzim pereaksi, lihat hasil akhirnya. Hasilnya dapat dinyatakan secara kuantitatif (Handojo, 2003).

2.8 Penatalaksanaan Demam Tifoid

Penatalaksanaan demam tifoid meliputi pengobatan secara non farmakologi dan farmakologi. Tujuan dari perawatan ini untuk mempercepat proses penyembuhan, observasi terhadap perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, dan isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau kontaminasi (Kemenkes, 2006).

2.9.1 Terapi Farmakologi

Pengobatan/terapi farmakologi menurut Kemenkes tahun 2006, meliputi terapi antimikroba dan terapi simptomatik (vitamin. Antipiretik, dan antiemetik). Antibiotik yang tepat dan perawatan suportif mengurangi kematian demam tifoid dari 10% sampai 15% menjadi kurang dari 1% (Harris, 2020).

 Terapi antimikroba diberikan karena pada demam tifoid, faktor utama disebabkan karena adanya infeksi dari bakteri Salmonella Typhi. Penggunaan antibiotik yang tepat akan mengurangi demam antara 3 sampai 5 hari dibandingkan dengan infeksi yang tidak diobati (Harris, 2020). Terapi antimikroba pada kasus demam tifoid dibagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok

(16)

antimikroba lini pertama (kloramfenikol, penicillin, sulfametaksazol dan tiamfenikol), dan kelompok antimikroba lini kedua (sefalosforin, kuinolon, dan makrolida) (Kemenkes, 2006). Terapi antimikroba harus segera diberikan pada pasien demam tifoid setelah diagnosis telah ditetapkan. Terapi awal yang digunakan adalah terapi pada lini pertama, namun apabila pemberian lini pertama tidak efektif, terapi dapat diganti dengan pemberian lini kedua (Upadhyay, 2015).

 Terapi simptomatik diberikan guna mengatasi gejala yang timbul pada pasien demam tifoid, dan mencegah keadaan pasien menjadi semakin menurun, terapi simptomatik meliputi terapi roboransia/vitamin yang digunakan untuk menjaga stamina pasien, antipiretik (terutama pada pasein anak-anak) diberikan untuk menurukan demam yang terjadi pada pasien, dan antiemetik (bila penderita mengalami muntah hebat) diberikan untuk menurunkan jumlah cairan yang keluar akibat mual muntah (Kemenkes, 2006).

2.9.2 Terapi Non Farmakologi

 Tirah baring

Penderita demam tifoid yang di rawat inap harus tirah baring secara sempurna untuk mencegah terjadinya komplikasi, terutama pendarahan dan perforasi. Posisi tidur harus diubah-ubah apabila pasien mengalami penurunan kesadaran, dan untuk mencegah terjadinya komplikasi pneumonia hipostatik dan decubitus (Kemenkes, 2006).

 Pemberian nutrisi

Nutrisi meliputi cairan dan pengendalian diet sehat. Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup secara oral maupun parenteral. Pada kasus penderita yang mengalami indikasi berat bahkan terdapat komplikasi, digunakan cairan parenteral. Cairan yang masuk harusmengandung elektrolit dan kalori yang optimal (Kemenkes, 2006).

 Untuk pengendalian diet pada penderita demam tifoid, diklasifikasikan menjadi diet cair (seperti bubur lunak) dan dapat dilanjutkan dengan diet padat apabila penderita sudah membaik secara bertahap. Diet harus mengandung

(17)

kalori dan protein yang cukup, untuk mencgah terjadinya pendarahan dan perforasi diberikan diet dengan rendah selulose (rendah serat). Pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran, diberi diet secara enteral melalui pipa lambung (Kemenkes, 2006). Diet lunak rendah serat juga dapat diberikan asupan serat maksimal 8 gram/hari, menghindari susu, daging berserat kasar, lemak, terlalu manis, asam, berbumbu tajam serta diberikan dalam porsi kecil (Sakinah dan Indria, 2016).

 Menjaga kebersihan seperti mencuci tangan sebelum menyentuh makanan, selama persiapan makan, dan setelah menggunakan toilet (Upadhyay, 2015). 2.10 Tinjauan Terapi Antiemetik

Antiemetik merupakan terapi simptomatik pada penderita demam tifoid untuk mengatasi gejala mual muntah. Mual muntah dapat terjadi dikarenakan banyak faktor, seperti terdapat gaangguan pada saluran pencernaan, penyakit di intracranial, kehamilan, infeksi, atau dikarenakan pengaruh dari penggunaan obat-obat tertentu (opioid, antibiotik, obat-obat kemoterapi) (Gan, 2016). Tujuan dari penggunaan antiemetik adalah untuk mencegah atau mengeliminasi gejala mual muntah yang terjadi dengan atau tanpa adanya efek samping (Dipiro, 2009).

Antiemetik di bagi atas beberapa golongan sebagai berikut : Tabel II.3 Golongan Antiemetik (Declan, 2008)

Golongan Obat Contoh Obat

Serotonin (5HT3)

antagonis

Ondansetron, Granisetron, Dolasetron, Palonosetron

Antagonis Dopamin

Droperidol, Haloperidol, Metoklopramid, Domperidon

NK-1 Reseptor

Antagonis Aprepitan

Antikolinergik Skopolamin

Antihistamin Siklizin, Dimenhidrinat, Dipenhidramin, Prometazin

(18)

2.10.1 Golongan Serotonin (5HT3) Antagonis

Serotonin 5HT3 antagonis merupakan reseptor yang terdapat di CTZ, pusat muntah meduler, perifer vegal, dan spinal saraf aferen. Serotonin 5HT antagonis ini dapat secara efektif memblok rilis serotonin dan dapat mengurangi atau mencegah terjadinya mual muntah. Reseptor 5HT3 ini memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan jenis antiemetik lainnya, namun antiemetik golongan ini telah dikenal dapat menyebabkan konstipasi, sakit kepala, pusing, aritmia (Sikka, 2015). Serotonin 5HT3 ditemukan pada sel enterokromafin di usus, dimana memiliki peranan penting dalam proses regulasi motilitas gastrointestinal, pada daerah SSP, dimana dapat bertindak sebagai neurotransmitter (Gan, 2016). Contoh obat pada golongan ini dibagi sebagai berikut :

(19)

Tabel II.4 Antiemetik Golongan Serotonin (5HT3) Antagonis (Sikka, 2015)

Golongan Obat

Mekanisme

Kerja Contoh Obat

Regimen Dosis (dewasa) Struktur Kimia (PubChem, 2018) Serotonin (5HT3) antagonis menekan pusat mual muntah pada reseptor di CTZ  Ondansetron - PR : 8 mg IV - Oral : 8 mg (2x1) atau 24 mg (1x1)  Granisetron - PR : 1 mg IV - Oral : 2 mg  Dolasetron - PR/Oral :100 mg  Palonosetron - PR : 0,25 mg IV

Ondansentron, granisentron, dan dolasentron memiliki waktu paruh serum 4 – 9 jam dan dapat diberikan sekali sehari oleh rute oral atau intravena. Ketiga obat memiliki efektivitas sebanding dan tolerabilitas bila diberikan pada dosis equipotent. Palonosetron adalah agen intravena baru yang memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor 5-HT3 dan serum panjang paruh 40 jam. Semua empat obat menjalani metabolisme hepatik ekstensif dan dihilangkan dengan ekskresi ginjal dan hati. Reseptor 5-HT3 antagonis tidak menghambat dopamin atau muscarinik reseptor (Katzung, 2012). Dolasetron dimetabolisme enzin CYP2D6 dan CYP3A4, yang dieksresikan melalui urin 50% - 60% tanpa mengalami perubahan urin. Penentuan dosis tergantung pada umur pasien (Gan, 2016). Granisetron

(20)

mengalami metabolisme di liver, dengan kurang dari 20% dieksresikan melalui urin (Gan, 2016). Ondansetron meskipun memiliki waktu paruh yang singkat, namun beberapa laporan mengatakan bahwa ondansetron dan 5HT3 antagonis lainnya dapat efektif diberikan 1x1/hari. Ondansetron kompaktibel dengan deksametason, fentanil, hidromorfon, dan morfin apabila diberikan melalui syringe (Gan, 2016). Palonosetron 50% dimetabolisme oleh enzim CYP2D6, dan sekitar 80% dosis pulih dalam urin sebagai obat induk dan metabolit (Gan, 2016).

Gambar 2.6 Mekanisme Golongan Reseptor 5 HT3 Antagonis (Ikawati, 2008)

Serotonin 5HT3 reseptor antagonis digunakan untuk pencegahan tertunda mual dan muntah (yaitu, terjadi > 24 jam setelah kemoterapi). Obat ini efektif diberikan 30 menit sebelum pemberian kemoterapi secara IV dan untuk pemberian secara Oral, diberikan 1 jam sebelum kemoterapi. Dosis yang dapat diberikan untuk pemberian secara IV : Ondansetron, 8 mg; granisetron, 1 mg; dolasetron, 100 mg; atau Palonosetron, 0,25 mg. untuk pemberian secara Oral : Ondansetron 8 mg dua kali sehari atau 24 mg sekali; granisetron, 2 mg; dolasetron, 100 mg (Katzung, 2012). Penurunan dosis pada obat tidak dianjurkan pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal dan hepatik, dan pada pasien geriatri (Gan, 2016).

(21)

2.10.2 Golongan Reseptor Antagonis Dopamin

Dopamine (DA) banyak terdapat pada saluran pencernaan, yang memiliki kemampuan untuk menghambat beberapa motilitas termasuk reduksi pada otot bagian kerongkongan/Lower Esophagial Springer (LES) dan tekanan pada intrgastrik. Efek-efek ini, merupakan hasil dari penekanan pelepasan ACh dari neuron motorik myenteric, dimediasi oleh reseptor D2 dopaminergik. Dengan mengantagonis efek penghambatan dopamin pada neuron motorik myenteric, DA receptor antagonis juga efektif sebagai agen prokinetik dimana memiliki keuntungan tambahan untuk meredakan mual dan muntah dengan antagonisme reseptor DA di CTZ. Contoh-contoh obat golongan reseptor antagonis dopamine adalah sebagai berikut (Declan, 2008).

Tabel II.5 Antiemetik Golongan Reseptor Antagonis Dopamin (Tatro, 2003)

Golongan Obat

Mekanis

me Kerja Contoh Obat

Regimen Dosis (dewasa) Struktur Kimia (PubChem, 2018) Antagonis Dopamin mengham bat reseptor dopamin di CTZ Dro- peridol  PR : 2,5 – 3,75 mg prn Halo- peridol  Oral/PR : 1 – 5 mg tiap 12 jam prn Meto- klopramid  PR : 10 – 20 mg  Oral : 20 – 40 mg (3 – 4 kali sehari) Dom- peridon  10 – 20 mg Oral/PR

(22)

- Metoklopramid

Metoklopramid merupakan agen prokinetik yang digunakan untuk mengatasi mual muntah yang berhubungan dengan iritasi lambung, statis lambung, obstruksi usus yang tidak teratur, efek obat kemoterapi, dan radioterapi. Selain itu, obat ini juga dapat digunakan untuk mengurangi motilitas pada saluran pencernaan, penyakit refluks gastroesofagus, anoreksia, dan cegukan (Declan, 2008).

Farmakokinetik

Metoklopramid diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian PO, dan dieksresi oleh urin selama 4 – 6 jam. Konsentrasi puncak terjadi kurang dari 1 jam setelah pemberian dosis tunggal, durasi puncak 1 – 2 jam.

Dosis

Pada pasien dengan mual yang parah, dosis awal 10 mg dapat diberikan secara intramuskular (onset kerja 10-15 menit) atau intravena (onset kerja 1-3 menit). Untuk pencegahan emesis yang diinduksi kemoterapi, metoclopramide dapat diberikan sebagai infus 1-2 mg / kg yang diberikan selama setidaknya 15 menit, dimulai 30 menit sebelum kemoterapi dimulai dan diulang sesuai kebutuhan setiap 2 jam untuk dosis ganda, kemudian setiap 3 jam untuk tiga dosis (Brunton et al., 2011).

- Domperidon

Domperidone didominasi antagonis reseptor D2 tanpa melibatkan reseptor lain. Hal ini tidak tersedia untuk digunakan di AS, tetapi telah digunakan di tempat lain obat ini memiliki aktivitas prokinetik sederhana dalam dosis 10-20 mg tiga kali sehari. Meskipun tidak mudah menyeberangi penghalang darah-otak untuk menyebabkan efek samping ekstrapisamidal, domperidone diberikan efek di bagian SSP yang tidak memiliki penghalang ini, seperti yang mengatur emesis, suhu, dan rilis prolaktin. Seperti halnya dengan metoclopramid, domperidone tidak muncul untuk memiliki efek yang signifikan pada motilitas GI rendah (Brunton et al., 2011).

(23)

2.10.3 NK-1 Reseptor Antagonis

NK-1 reseptor antagonis berfungsi menghambat sinyal yang diterima di Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) oleh Nucleus Truktus Solitaries (NTS) di batang otak. Mekanisme lain golongan ini adalah dapat menghambat subtansi P neuropeptida yang mengikat di area posterema dan pada saluran GI yang dapat menyebabkan mual. NK-1 yang paling umum digunakan adalah Aprepitan. Dosis aprepitant sebagai tindakan profilaksis saat akan melakukan operasi adalah 40 mg secara Oral, diberikan biasanya 3 jam sebelum dilakukan operasi. Namun, aprepitant memiliki harga yang relative tinggi dibandingkan antiemetik lainnya, maka penggunaannya disesuaikan dengan kondisi (Sikka, 2015). Obat golongan ini terdapat dalam tabel sebagai berikut :

Tabel II.6 Antiemetik Golongan NK-1 Reseptor Antagonis (Sikka, 2015)

Golongan Obat Mekanisme Kerja Contoh Obat Regimen Dosis (dewasa) Struktur Kimia (PubChem, 2018) NK-1 reseptor antagonis menghambat subtansi P pada area

postrema dan saluran pencernaan, memblokakade sinyal dari CTZ ke NTS di batang otak Aprepitan 40 mg secara Oral

Bioavabilitas dari Aprepitan adalah adalah 65%, dan waktu paruh serum adalah 12 jam, Aprepitan dimetabolisme oleh hati, terutama oleh jalur CYP3A4. Obat ini dapat menghambat beberapa obat yang dimetabolisme yang melewati jalur CYP3A4. Obat-obatan yang menghambat metabolisme CYP3A4 dapat secara signifikan meningkatkan kadar plasma aprepitant (misalnya, ketoconazole, ciprofloxacin, klaritromisin, nefazodone, ritonavir, nelfinavir, verapamil, dan quinidine). Aprepitant mengurangi rasio normalisasi internasional (INR) pada

(24)

pasien yang mengambil warfarin. Aprepitan memiliki efek samping berupa lelah, pusing, dan diare (Katzung, 2012).

2.10.4 Antikolinergik

Skopolamin adalah obat yang tergolong dalam antikolinergik, dosis yang diberikan adalah 1,5 mg secara transdermal. Skopolamin memiliki mekanisme kerja dengan menghambat reseptor muskariniki di sistem vestibuler sebaik pusat muntah pada medula. Skopolamin transdermal menunjukkan efek sedasi yang lebih sedikit dibandingkan penggunakan secara oral maupun IV (Sikka, 2015).

Tabel II.7 Antiemetik Golongan Antikolinergik (Tatro, 2003)

Golongan Obat Mekanisme Kerja Contoh Obat Regimen Dosis (dewasa) Struktur Kimia (PubChem, 2018) antikolinergik menghambat reseptor muskarinik di sistem vestibular dan pusat muntah yang berada di medulla skopolamin  1,5 mg transdermal tiap 72 jam  PR : dewasa : 0,32 – 0,65 mg anak-anak : 0,006 mg/kg (maks. 0,3 mg ) Antihistamin

Antagonis reseptor histamine H1 bekerja dengan cara menghambat reseptor histamin di sistem vestibular, dimana sistem vestibular berada pada pusat muntah. Antagonis histamin H1 terutama berguna untuk motion sickness dan emesis pasca operasi. Golongan ini bertindak sebagai aferen vestibular dan dalam batang otak, yang merupakan pusat mengatur terjadinya muntah (Sikka, 2015).

(25)

Efek samping yang dapat terjadi antara lain pusing, penglihatan kabur, mulut kering, retensi pada urin, dan mungkin terjadi takikardi biasanya terjadi pada sebagian pasien lansia (Dipiro, 2009). Contoh obat pada golongan ini aterdapat dalam tabel sebagai berikut :

Tabel II.8 Antiemetik Golongan Antihistamin (Dipiro, 2009)

Golongan Obat

Mekanisme

Kerja Contoh Obat

Regimen Dosis (dewasa) Struktur Kimia (PubChem, 2018) Anti histamin Mengatasi mual muntah yang berhubungan dengan aferen vestibuler  Siklizin  Oral : 50 mg tab, dapat diulang dalam 4-6 jam prn  Dimen hidrinat  Oral : 50 – 100 mg tiap 4 – 6 jam prn  Dipen hidramin  Oral : 25 – 50 mg tiap 4 – 6 jam prn  PR : 10 – 50 mg tiap 2 – 4 jam prn  Prometazin  Oral/PR/rektal : 12,5 -25 mg tiap 4 – 6 jam prn - Siklizin

Siklizin merupakan turunan piperazine dengan antihistamin yang digunakan untuk mengatasi mual muntah yang berhubungan dengan aferen vestibuler, peningkatan intrakraial, obstruksi usus, dan mual yang diinduksi oleh obat-obatan. Dosis untuk siklizin yaitu, 50 – 100 mg secara oral (2x1)/hari atau (3x1)/hari atau dengan dosis 12,5 mg – 50 mg secara sukutan setiap 12 jam,dengan peningkatan titrasi 300 mg dalam 3 dosis terbagi. Dosis pada pemberian secara Infus Subkutan yaitu 100 – 300 mg terus menerus. Pemberian siklizin boleh dicapur dengan

(26)

morfin, haloperidol namun tetapi tidak kompaktibel dengan NS. Efek samping yang biasa ditimbulkan pada golongan Histamin adalah sedasi. Contoh sediaan siklizin adalah merezin (Brunton et al., 2011).

- Dipenhidramin

Dipenhidramin bekerja dengan cara kompetitif terhadap reseptor H1 antagonis yang memblok agen muskarinik (M1) dan α-adenoreseptor. Efek samping yang

dapat ditimbulkan yaitu sedasi. Interaksi yang dapat ditimbulkan anatara lain, menyebabkan efek sedasi apabila digunakan bersamaan dengan obat penenang, alcohol, dapat menghambat CYP2O6, dan dapat memperpanjang beberapa reaksi β-Blocker. Contoh sediaan dipenhidramin yaitu Benadryl (Katzung, 2012). Dosis

Dewasa : Oral : 25 – 50 mg tiap 4 – 6 jam, dengan dosis maksimal 300 mg/hari. IV/IM : 10 – 100 mg (rata-rata tidak melebihi 25 mg/mnt atau Deep IM; maksimal 400 mg/hari).

Anak – anak : Oral :12,5 – 25 mg tiap 4 -6 jam, dengan pemakaian maksimal 150 mg/hari. IV/IM : 5 mg/kg/hari atau 150mg/m2 (maksimal 300 mg yang dibagi

menjadi 4 dosis dengan rata-rata tidak melebihi 25 mg/mnt atau deep IM) (Tatro, 2003).

Gambar

Gambar 2.1 Morfologi Salmonella Typhi (Marleni, 2012)
Gambar 2.2 Jalur Patofisiologi Demam Tifoid (Muttaqin, 2011) Bakteri Salmonella Typhi
Tabel II.1 Manifestasi Klinik Demam Tifoid (Harris, 2020)
Tabel II.2 Komplikasi pada Demam Tifoid (Harris, 2020)
+7

Referensi

Dokumen terkait

keletihan emosi; c) keletihan emosi merupakan pengantara yang menghubungkan persepsi sokongan organisasi dan tingkah laku kerja tidak produktif; dan d) PKBO merupakan penyederhana

kecil Adanya bidang yang memisahkan ruang Adanya ruang lain sebagai perantara Kesimpulan Dapat digunakan pada ruang-ruang yang mempunyai hubungan erat Dapat digunakan pada

Oleh karena itu, ANIMA CONSULTING hadir sebagai solusi yang tepat bagi semua orang yang membutuhkan mitra yang handal dan dapat dipercaya dalam menghadapi berbagai

Membentuk Tim Percepatan Pengembangan Kawasan Teknopolitan Provinsi Lampung di lahan BPPT Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2016 dengan susunan personalia

-- Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang merupakan reaksi inflamasi akut dinding Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang merupakan reaksi inflamasi

Setelah proses kliping Berita Nasional, Regional dan Kota Cimahi dipindahkan ke komputer, lalu penulis mendistribusikan ke bagian terkait seperti : Asisten

Penulisan skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE). Penulisan ini tidak menjadi sebuah skripsi

Hukum Gauss memberikan kemudahan dalam mencari E atau D untuk Hukum Gauss memberikan kemudahan dalam mencari E atau D untuk distribusi muatan yang simetris