PENDIDIKAN AKHLAK BAGI SISWA TERHADAP GURU DALAM KITAB ADABUL INSAN KARYA SAYYID UTSMAN BIN ABDULLAH
BIN „AQIL BIN YAHYA SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh :
BADZLI DAWAMI NIM. 11150110000036
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2021
ABSTRAK
Badzli Dawami, NIM 1115011000085, “Pendidikan Akhlak Bagi Siswa Terhadap Guru Dalam Kitab Adabul Insan Karya Sayyid „Usman bin Abdullah bin „Aqil bin Yahya”, Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui pendidikan akhlak bagi siswa terhadap guru didalam kitab Adabul Insan karya Sayyid „Usman bin Abdullah bin „Aqil bin Yahya. Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini adalah kualitatif dengan metode pembahasannya menggunakan deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis merupakan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada dengan menganalisis dan menjelaskan dengan teliti kenyataan-kenyataan faktual dari subjek yang akan diteliti, sehingga diperoleh gambaran yang utuh berdasarkan fakta.
Dalam skripsi ini akan membahas mengenai pendidikan akhlak bagi siswa terhadap guru didalam kitab Adabul Insan karya Sayyid „Usman bin Abdullah bin „Aqil bin Yahya sehingga bisa diterapkan dalam pembelajaran.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pendidikan akhlak bagi siswa terhadap guru yang terdapat dalam kitab Adabul Insan karya Sayyid „Usman bin Abdullah bin „Aqil bin Yahya adalah bahwa seorang guru wajib menghormati gurunya. Hal ini karena gurunya telah memberikan ilmu kepadanya.
i ABSTRACT
Badzli Dawami, NIM 1115011000085, "Moral Education for Students Against Teachers in the Book of Adabul Insan by Sayyid 'Usman bin Abdullah bin' Aqil bin Yahya", Thesis of the Department of Islamic Religious Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.
This study aims to determine the moral education of students towards teachers in the book Adabul Insan by Sayyid 'Usman bin Abdillah bin' Aqil bin Yahya. The method used by the author in compiling this thesis is qualitative with the method of discussion using descriptive analysis. Descriptive analysis method is a method used to solve existing problems by analyzing and explaining carefully the factual facts of the subject to be studied, in order to obtain a complete picture based on facts.
In this research will discuss about moral education for students towards teachers in the book Adabul Insan by Sayyid 'Usman bin Abdullah bin' Aqil bin Yahya so that it can be applied in learning.
Based on the research that has been done, moral education for students towards teachers contained in the book Adabul Insan by Sayyid 'Usman bin Abdillah bin' Aqil bin Yahya is that a teacher is obliged to respect his teacher. This is because his teacher has given him knowledge.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim, Assalamualaikum wr.wb
Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,yang telah memberikan nikmatnya-Nya yang tidak terhitung banyaknya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul :
PENDIDIKAN AKHLAK BAGI SISWA TERHADAP GURU DALAM KITAB ADABUL INSAN KARYA SAYYID UTSMAN BIN ABDULLAH BIN „AQIL BIN YAHYA
Shalawat beserta salam, penulis curahkan kepada sang kekasih, yaitu Nabi Muhammad SAW, juga kepada para sahabat, keluarga dan seluruh kaum muslimim yang mengikuti ajaran yang dibawanya hingga hari kiamat.
Alhamdulillah, berkat rahmat-Nya dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. sebagai penulis, tentulah penulis menyadari hadirnya skripsi ini tidak hanya berasal dari jerih payah sendiri, tapi karena ada bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa memberikan bantuan, nasihat dan bimbingannya kepada penulis, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, antara lain:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A, selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan agama Islam UIN Syarif Hidaytullah Jakarta, Drs. Abdul Haris, M.Ag dan Drs. Rusdi Jamil, M.Ag. 4. Dr. Dimyati, M.A, sebagai dosen pembimbing skripsi, yang tidak
bosannya memberikan bimbingan, arahan, masukan dan nasihat dalam penyusunan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah membantu penulis selama penulis menuntut ilmu di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
6. Kepada seluruh staff Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan kenyamanan selama periode perkuliahan penulis berlangsung di kampus.
7. Teruntuk kedua orang tua, (Alm) Abi H. Moh Ali dan Umi Hj. Sa‟anah yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi didalam perjalanan pendidikan penulis sebagai anaknya. Dan teruntuk kakanda Hanna Hanikah, Izzati Sayyidah serta Adinda Huwaidah Adillah yang selalu mengingatkan dan mensupport saya sebagai penulis didalam bagian keluarga besar.
8. Teruntuk teman-teman kosan Buloghiyah yang senantiasa memberikan tempat kepada penulis disaat lelah dalam perjalanan kuliah sekaligus selalu memotivasi penulis. Bil khusus sodara lutfi, bang aufa, rifqi, bandot, ilyas dan lainnya.
9. Teman-teman mahasiswa PAI angkatan 2015 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah menjadi teman seperjuangan sedari awal masuk sampai sekarang ini.
10. Teman-teman PAI Kelas B angkatan 2015 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah penulis anggap sebagai keluarga besar di kampus ini, terutama Amar Habibi, Aulia Azka, Leyli Yuniar, Dilla, Nazi, Curun, iik dan lainnya.
11. Teman-teman KKN AKSARA yang sangat memotivasi saya dalam menyelasaikan skripsi ini, terutama bang acil, oleng, afif dan lainyya. 12. Teman-teman Galatama lele Bojong, yang selalu mensuport dan mengasih
arahan kepada penulis. Terutama bang zain, bang Abro, bang iwan, bang bul-bul, bang wahyu, bang edo, cing hery, bang firman, dan lainnya. 13. Kepada keluarga besar bin Ahmad dan bani Sanawiyah yang selalu
mensuport penulis sampai sekarang ini.
14. Kepada seluruh kawan-kawan Karang Taruna Rw 01 kelurahan kembangan, dan segenap jajaran pemerintahan kelurahan kembangan selatan serta jajaran Rw 01 kembang selatan. Yang memotivasi penulis sampai saat ini.
iv
15. Kepada sohib Fishing Pusying yang selalu mengarahkan, menasihati dan mensupport penulis, bil khusus ki fadhiel Mozambique, baib, umam, ucup dan lainnya.
Penulis menyadari dan mengakui bahwa penelitian yang telah penulis susun ini masih terdapat kekurang dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan dalam kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk banyak kalangan, terutama untuk penulis sendiri. Akhir kata, penulis ingin mengucapkan terimakasih sekali lagi kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, semoga Allah SWT membalas segala perbuatan kita semua sehingga mendapatkan kasih saying dan ridho dari-Nya.
Wassalamu‟alaikum wr.wb
Jakarta, 2 Desember 2020 Penulis
v
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang ... 8 B. Identifikasi Masalah ... 8 C. Pembatasan Masalah ... 8 D. Rumusan Masalah ... 9E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian ... 9
BAB II : KAJIAN TEORI ... 10
A. Teori Pendidikan Akhlak ... 10
B. Pengertian Siswa ... 21
C. Pengertian Guru ... 23
D. Hasil Penelitian Relevan ... 26
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 29
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29
B. Metode Penelitian ... 29
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 30
D. Pengecekan Keabsahan Data ... 30
E. Teknik Analisis Data ... 31
F. Prosedur Penelitian ... 32
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Biografi Sayyid Utsman ... 33
B. Latar Belakang Penulisan Kitab Adabul Insan ... 44
C. Analisis Pendidikan Akhlak Bagi Siswa Terhadap Guru Dalam Kitab Adabul Insan ... 47
BAB V : PENUTUP ... 56
A. Kesimpulan ... 56
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang ditulis dengan huruf berbahasa Arab yang digunakan dalam penulisan dan penyusunan skripsi. Transliterasi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin
ا
Aث
Śح
ḥخ
Khذ
Źش
Syص
Ṣض
ḍط
ṭظ
Ťع
٫غ
Ģة
Hvii 2. Vokal
Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin
َ
Aَ
Iَ
U3. Madd (Panjang)
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin
ا
Ãي
Īو
Ũ4. Ta>‟ Marbu>t`ah
Ta>‟ Marbu>t`ah hidup transliterasinya adalah /t/. Ta>‟ Marbu>t`ah mati transliterasinya adalah /h/.
Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Ta>‟ Marbu>t`ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka Ta>‟ Marbu>t`ah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:
دوجولا ةدحو
= Wahdat al-wujud atau Wahdatul wujud. 5. Syiddah (Tasydid)Syiddah/tasydid di transliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syiddah (digandakan).
Contoh: rabbaná, al-ḫaqq, áduwwun. 6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung/hubung. Contoh: al-zalzalah (az-zalzalah)
viii
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh: al-syamsu (bukan asy-syamsu) 7. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia seperti alif, contoh: akaltu, ûitya.
b. Bila di tengah dan di akhir ditransliterasikan dengan apostrof, contoh: ta „kulûna atau syai‟un.
8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata sandangnya, contoh:
نآ ْر قْل ا
= al-Qur‟anة رَّو ن مْلا ة نْي د مْلا
= al-Madinatul Munawwarahْي د ْو عْس مْلا
= al-Mas‟udi1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pendidikan akhlak merupakan permasalahan utama yang menjadi tantangan manusia sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa yang diabadikan dalam al qur‟an maupun yang didapat dalam buku-buku sejarah menunjukkan bahwa suatu bangsa akan kokoh apabila akhlaknya kokoh dan sebaliknya suatu bangsa akan runtuh bila akhlaknya rusak.
Pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral (akhlak) dan keutamaan perangai, tabiat yang dimiliki dan harus dijadikan kebiasaan oleh anak sejak kanak-kanak hingga ia menjadi mukallaf. Tidak diragukan bahwa keutamaan-keutamaan moral, perangai dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang mendalam, dan perkembangan religius yang benar.1
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan mengajar dan latihan yang berlangsung disekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan datang. Sedangkan menurut A. Azra, pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih afektif dan efisien.2
Secara bertahap melalui jalur pendidikan, potensi dan sarana itu dibina serta dikembangkan sehingga tercapai bentuk kepribadian yang di harapkan. Abdudin Nata dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam mengatakan pendidikan merupakan factor utama dalam pembentukan baik atau buruk pribadi manusia.3
1 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Jakarta: Pustaka Amani,1990),
h. 174
2 A. Azra, Pendidikan Islam: Tradisi Modernisasi Menuju Milenium Baru,
(Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 3
2
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilakunya, baik ia sebagai manusia yang beragama maupun sebagai makhluk sosial.
Realitanya, perilaku serta budi pekerti (akhlak) dari pelajar saat ini sangatlah memperihatinkan, diantaranya mereka cenderung bertutur kata yang kurang baik, bertingkah laku yang kurang sopan, dan tidak lagi patuh terhadap orang tua maupun gurunya. Hal ini tentu saja dipengaruhi kondusif tidaknya pendidikan budi pekerti yang mereka dapatkan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berakhlak kuat pernah dikatakan Martin luther king, yaitu “kecerdasan yang berakhlak adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya”.4
Dalam pendidikan islam setiap guru wajib senantiasa mengingatkan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan ilmu saja tetapi kita senantiasa membutuhkan akhlak yang terpuji. Guru harus senantiasa ingat bahwa dalam mendidik akhlak peserta didik dapat dilakukan dengan latihan berbuat baik, taqwa, jujur, ikhlas, dan yang paling mempengaruhi akhlak siswa yaitu guru sebagai model atau contoh dalam berakhlak baik.
Akhlak bisa terwujud jika seseorang mendapatkan pelajaran dari kajian-kajian formal seperti Sekolah, Pondok Pesantren, atau Kampus, maupun non formal seperti pengajian kitab kuning di majelis-majelis maupun dimasjid-masjid.
Perubahan akhlak yang terjadi pada setiap individu sangat di pengaruhi oleh lingkungan tempat yang menjadi tempat tinggalnya tersebut. Lingkungan memiliki peranan sangat penting dalam menciptakan akhlak kepribadian seseorang, baik lingkungan pra kelahiran maupun pasca kelahirann adalah masalah yang tidak dapat di pungkiri khususnya
4 Anas Salahudin dan Irwanto, Pendidikan Akhlak: Pendidikan Berbasis Agama &
lingkungan keluarga, dan lebih utamanya adalah pendidikan orang tua tersebut.
Menanamkan akhlak yang mulia dan membersihkan akhlak yang tercela dari diri seseorang adalah termasuk salah satu tugas utama dari pendidikan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari berbagai rumusan tentang tujuan pendidikan yang pada intinya ingin mewujudkan sosok manusia yang berakhlak. Misalnya manusia yang memerhatikan keseimbangan dalam hidupnya antara kepentingan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, materi, dan spiritual, manusia yang sempurna, terbina dan teraktualisasikan seluruh potensi dirinya (insan kamil), manusia yang menghambakan dirinya kepada Allah SWT, manusia yang dapat mengemban fungsi kekhalifahan di muka bumi, manusia yang berkepribadian Muslim, dan manusia yang berakhlak mulia.5
Fenomena keseharian menunjukkan, perilaku masyarakat belum sejalan dengan Akhlak (karakter) bangsa yang telah di jiwai oleh pancasila, sehingga muncul permasalahan. Banyak permasalahan berkaitan dengan karakter bangsa yang muncul di sekitar kita. Berdasarkan survey Komnas Perlindungan Anak, PKBI, BKKBN tentang perilaku remaja yang telah melakukan hubungan seks pranikah di perkotaan, diperoleh data sebagai berikut: 62,7% siswa SMP pernah melakukan seks pranikah, 21,2% remaja pernah aborsi, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah melakukan ciuman dan oral seks, 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno dan masih banyak permasalahan yang lainnya. 6
Terlebih dewasa ini hal-hal negative sangat mudah diakses melalui media sosial. Tidak heran jika banyak remaja yang tumbuh dalam budaya media semacam ini menjadi kerdil dalam pertimbangan akhlak mereka. Menurut Prof Dr. Ahmad Tafsir, masalah paling besar dalam pendidikan adalah mengapa pendidikan di Indonesia masih sanggup menghasilkan
5
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 206
6 Najib Sulhan, Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa, (Surabaya: Jaring
4
koruptor, masih menghasilkan lulusan yang ingin menang sendiri, masih menghasilkan lulusan yang suka memaksakan kehendak. Kegagalan pendidikan di Indonesia terutama dalam pendidikan Akhlak.7
Melihat realita bahwa masalah-masalah akhlak sekarang terus berkembang nasehat terbaik yang dipesankan Imam Ghazali dalam pendidikan ialah memperhatikan masalah pendidikan anak itu sejak kecil, sejak permulaan umumnya, karena bagaimana adanya seorang anak, begitulah besarnya nanti.8
Karena pada realitanya, pelajaran akhlak yang sudah ditanamkan di pendidikan formal maupun non formal tetap tidak mampu membuat seseorang memiliki akhlak yang baik, dikarenakan zaman terus berkembang pesat, ditambah lagi dengan banyaknya fasilitas-fasilitas yang mengarahkan kepada perilaku-perilaku maksiat seperti konten porno, judi online, hotel-hotel melati, diskotik, dan lainya.
Sebenarnya Negara Indonesia telah merumuskan prinsip pendidikan Akhlak yang di amanatkan oleh UUD 1945 Bab II Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, mengenai tujuan pendidikan yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta pembinaan Akhlak mulia para peserta didik yang dalam hal ini adalah seluruh warga Negara Indonesia yang mengikuti proses pendidikan di Indonesia.9
Dengan demikian jelas bahwa harusnya misi pendidikan tidak hanya terbatas pada transformasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan kemampuan intelektual semata, karena itu tidak cukup bagi peserta didik untuk menjalani kehidupannya secara seimbang, tetapi juga internalisasi nilai-nilai spiritual religius dan nilai etika, yang justru harus mendapat prioritas dan di tempatkan pada posisi tertinggi, karena tidak
7 Ahmad Tafsir, Filsafat pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 125
8 M. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1984), h. 118 9
jarang terjadi bahwa ilmu yang tidak dikawal dengan akhlak terpuji justru akan mendatangkan bencana bagi pemiliknya.
Sebetulnya bukan hanya di Indonesia, permasalahan ini hampir sama dengan apa yang dialami oleh negara- negara lain didunia. Mengutip apa yang dikatakan Mohandas K. Ghandi tentang tujuh dosa sosial yang hari ini melanda masyarakat dunia yaitu: “(1). Politik tanpa prinsip, (2). Kekayaan tanpa kerja keras, (3). Perniagaan tanpa moralitas, (4). Kesenangan tanpa nurani, (5). Pendidikan tanpa karakter, (6). Sains tanpa humanitas, dan (7). Peribadatan tanpa pengorbanan”. Ketujuh dosa sosial ini sekarang seakan menjadi warna dasar bagi kehidupan bangsa. Akibat dari tujuh dosa sosial ini, kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus kedalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima), atau apa yang disebut Al-Farabi sebagai “kota jahiliyah” (al- mudun al-jahiliyyah).10
Tujuh dosa sosial diatas, jika dikaji secara seksama sebenarnya berawal atau bersumber dari persoalan moralitas individu maupun moralitas sosial. Dalam bahasa agama, kehidupan individu dan sosial manusia hari ini telah jauh dari akhlak. Hal inilah yang menjadi penyebab jatuhnya kehidupan moralitas masyarakat manusia kedalam jurang kegelapan. Dunia hari ini banyak diisi oleh berita tingginya angka bunuh diri, perceraian, pembunuhan, peperangan, korupsi, kriminalitas, serta hal lain yang mengindikasikan terjadinya kemerosotan nilai kemanusian. tingginya teknologi sebagai capaian prestisius dari ilmu pengetahuan saat ini, ternyata tidak mampu menjawab persoalan moralitas maupun spiritualitas masyarakat manusia. masyarakat manusia justru makin terasing dengan dirinya sendiri, pencapaian kesuksesan material yang pada awalnya diharapkan mampu memberi kebahagiaan hidup, ternyata tidak memberi peluang masyarakat modern hari ini untuk menikmati hidupnya. Kenyataan ini seakan memberi pesan indah kepada kita untuk kembali kerumah alami manusia, yaitu hidup dengan kebaikan dan kasih sayang.
6
Secara singkat, kehidupan yang dipenuhi kebaikan dan kasih sayang bisa disebut sebagai kehidupan yang penuh dengan moralitas atau “akhlak”. Dalam hal ini, akhlak juga bisa dibaca sebagai sebuah refleksitas manusia dalam merespon kehidupannya. Pada makna dasarnya, akhlak merupakan respon spontan manusia terhadap kehidupan ini, tanpa dipikir dan tanpa rekayasa, respons itu mengalir dengan cara yang spontan. Jika respons itu baik maka disebut akhlak baik, dan jika buruk maka disebut akhlak buruk.11 Dasar dari akhlak ini sebetulnya bersumber dari sifat alami manusia yang bernama kasih sayang.
Akhlak telah menjadi perhatian para filsuf, pujangga, dan para pendidik. Mereka berupaya menjelaskan terminologi akhlak dalam hubungannya dengan etika, moral, budi pekerti, adab, dan sopan santun, macam-macam akhlak dan manfaatnya, serta cara-cara menanamkan akhlak yang mulia dan menghilangkan akhlak yang tercela dari diri seseorang.12
Demikian pula dalam mendidik anak, menurut Hari Moekti menjelaskan tujuan mendidik anak adalah untuk membentuk karakter sebagai muslim. Karakter mukmin. kepribadian Islam. Maka pondasinya adalah Aqidah Islam. Yakni Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah. Inilah Aqidah Tauhid. Satu-satunya Aqidah yang shohih. Aqidah yang benar. Kebenaran yang bisa dipahami oleh setiap jiwa yang berakal.13
Kaitan dengan hal ini, seorang ilmuwan sosial yang bernama Zimbardo pernah melakukan riset. Dia menempatkan dua buah mobil yang sama merk dan bentuk serta warnanya di dua tempat yang berbeda. Mobil yang satu ditempatkan disebuah distric di daerah Bronx Area Amerika, sebuah daerah perkotaan dengan tingkat kehidupan yang sangat dinamis. Sementara, mobil satunya dia tempatkan didaerah pedesaan pinggiran kota
11
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta:1994, h. 102
12 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2012), h. 206
Arizona Amerika. Mobil yang ditempatkan didaerah Bronx tidak sampai satu malam sudah menjadi mobil rongsokan yang tanpa bentuk. Semua properti mobil hilang, kaca pecah, dan lain hal yang mengindikasikan pada kerusakan. Sementara, mobil yang ditempatkan didaerah pinggiran kota Arizona, ternyata masih utuh, bahkan ketika turun hujan, seorang penduduk desa menutup kap mesin mobil yang terbuka agar tidak kehujanan. Tidak secuilpun properti mobil yang hilang, semuanya masih terpasang ditempatnya. Zimbardo lalu membikin sebuah kesimpulan bahwa orang kota cenderung telah kehilangan nurani kasih sayangnya, sementara orang desa masih memiliki nurani kasih sayang.14
Dari riset Zimbardo diatas, bukan berarti lalu kita menghukum semua orang kota tidak memiliki kasih sayang. Riset diatas dimunculkan sebagai upaya penegasan bahwa benar memang telah terjadi persoalan sosial yang sangat serius didunia ini berupa kemerosotan akhlak. Ketika membaca hasil riset diatas, terlintas dibenak tentang apa yang terjadi di Indonesia hari ini. Peta sosial hari ini seakan ingin membuktikan dengan tegas tentang apa yang dikatakan Mohandas K. Ghandi serta Zimbardo diatas, bahwa persoalan sosial kemasyarakatan bermula dari mentalitas moral. Dalam bahasa agama, carut marutnya persoalan sosial kemasyarakatan hari ini muncul akibat dari adanya krisis akhlak al-karimah.
Masalah-masalah ini ternyata sudah ada pada zaman dahulu, sehingga mendapat perhatian Sayyid „Usman bin Abdillah bin „Aqil bin Yahya dalam karyanya Adabul Insan, dalam kitab ini pengarang sudah memiliki visi yang jauh agar seseorang dapat memiliki akhlak dalam keseharianya. Karena kitab tersebut masih sangat relevan dengan konteks zaman saat ini. Walaupun sederhana dan tipis, kitab ini tidak bisa dibilang sederhana dalam pembelajaran akhlak. Jika dikaji dengan baik, ada banyak interpretasi ajaran akhlak dalam kitab ini yang mampu menjadi metodologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan
8
(terutama dalam pembentukan akhlak al- karimah). Didalamnya terkandung mutiara-mutiara akhlak yang bisa dijadikan solusi dari persoalan pendidikan di Indonesia khususnya dan persoalan kebangsaan pada umumnya.
Dalam penulisan ini akan mengkaji pendapat mufti betawi, Sayyid „Usman bin Abdullah bin „Aqil bin Yahya dalam karyanya, kitab Adabul Insan mengenai, pendidikan akhlak bagi siswa terhadap guru dalam kitab adabul insan Oleh karena itu, penulis beri judul “Pendidikan Akhlak Bagi Siswa Terhadap Guru Dalam Kitab Adabul Insan Karya Sayyid „Usman bin Abdullah bin „Aqil bin Yahya .”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Kurangnya nilai pendidikan akhlak pada zaman sekarang.
2. Kurang nya pendidikan akhlak dalam lembaga karena minimnya guru yang menanamkan pendidikan akhlak.
3. Kecenderungan masyarakat sekarang lebih mengutamakan kecerdasan intelekual dari pada kecerdasan akhlak.
4. Kurangnnya pemahaman pelaksanaan pendidikan tentang konsep pendidikan akhlak terhadap peserta didik.
5. Kurangnya pengetahuan para pembaca kitab Adabul insan karya Sayyid „Usman bin abdillah bin „aqil bin yahya
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya bidang bahasan, maka untuk lebih memperjelas dan memberi arah fokus yang tepat dalam penulisan penelitian ini, perlu adanya pembatasan masalah dalam pembahasannya. Maka penulis membatasi permasalahan hanya pada:
1. Latar belakang Sayyid „Usman bin Abdillah bin „Aqil bin Yahya menulis kitab Adabul Insan.
2. Pendidikan Akhlak Bagi Siswa Terhadap Guru dalam kitab Adabul Insan karya Sayyid „Usman bin Abdillah bin „Aqil bin Yahya.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis mengemukakan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang Sayyid „Usman bin Abdillah bin „Aqil bin Yahya menulis kitab Adabul Insan?
2. Pendidikan Akhlak Bagi Siswa Terhadap Guru dalam kitab Adabul Insan?
E. Tujuan dan Manfaat Hasil Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui latar belakang Sayyid „Usman bin Abdillah bin „Aqil bin Yahya menulis kitab Adabul Insan.
b. Untuk mengetahui Pendidikan Akhlak Bagi Siswa Terhadap Guru didalam kitab Adabul Insan karya Sayyid „Usman bin Abdillah bin „Aqil bin Yahya.
2. Manfaat Hasil Penelitian
Sedangkan manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Sebagai bahan perhatian orang tua dan guru atau pendidik tentang pentingnya pendidikan Akhlak dalam proses mendidik akhlak anak. b. Sebagai bahan informasi kaitannya dengan nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam kitab Adabul Insan sehingga dapat dijadikan referensi bagi orang tua maupun guru dalam mendidik akhlak anak.
c. Dari segi kepustakaan, penelitian ini dapat menjadi salah satu karya ilmiah yang dapat menambah koleksi pustaka islam yang bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan peneliti khususnya.
10 BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata “didik”. Lalu kata ini mendapat awalan “me” sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberikan latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan di perlukan adanya ajaran, tuntunan, dan impian mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya, pengertian pendidikan menurut kamus besar bahasa indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran pelatihan. Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahun, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.15
Menurut Abudin Nata, “Tarbiyah atau pendidikan secara harfiah atau secara ahli kebahasaan mengandung arti mengembangkan, menumbuhkan, memelihara dan merawatnya dengan kasih sayang. Katini di gunakan oleh tuhan terhadap seluruh ciptaannya”.16
Menurut Ahmad D. Marimba yang dikutip Tatang. S, “Pendidikan adalah bimbingan jasmani dan rohani untuk membentuk kepribadian utama, membimbing keterampilan jasmaniah dan rohaniah sebagai perilaku konkret yang memberi manfaat pada kehidupan siswa di masyarakat”.17
Dalam perkembangannya, menurut Rama Yulis istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang di berikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh seorang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang di jalankan oleh
15 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT
REMAJA ROSDA KARYA,2013), cet .18, h. 10
16 Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam & Barat (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2012), h. 19
seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkatan hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.18
Kemudian menurut Hasan Basri dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam berpendapat bahwa pendidikan merupakan pembinaan, pelatihan dan pengajaran dari usaha manusia untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan, yang ditujukan kepada anak didik dengan tujuan membentuk kecerdasan, kepribadian dan keterampilan sebagai bekal kehidupan di masyarakat.19
Berdasarkan beberapa definisi pendidikan di atas yang di sampaikan para ahli pendidikan pada dasarnya sama. maka dapat di tarik kesimpulan bahwasanya Pendidikan adalah suatu proses perkembangan sikap, potensi, akhlak, maupu psikologi seorang atau sekelompok orang dengan adanya interaksi antara peserta didik, guru, dan sumber pendidikan melalui upaya pengajaran ataupun pelatihan. Pendidikan dilakukan secara sistematis melalui usaha sadar dan bertahap. Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan di masyarakat untuk menghadapi dan beradaptasi dengan berbagai tantangan zaman.
2. Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertujuan membangun karaakter anak didik yang kuat menghadapi berbagai cobaan dalam kehidupan dan telaten, sabar, serta cerdas dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Tujuan pendidikan yang dimaksudkan adalah mewujudkan:
a. Insan akademik yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. b. Insan kamil, yang berakhlak karimah.
c. Manusia yang berkepribadian.
d. Manusia yang cerdas dalam mengkaji ilmu pengetahuan. e. Anak didik yang bermanfaat bagi kehidupan orang lain. f. Anak didik yang sehat jasmani dan rohani.
18 Rama Yulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h. 13
19
12
g. Karakter anak didik yang menyebarkan ilmunya kepada sesama manusia.20
Metode yang digunakan dalam proses pencapaian tujuan merupakan metode yang berdasarkan pendekatan keagamaan (religius), kemanusiaan (humanity), dan ilmu pengetahuan (scientific). Pendekatan tersebut dilakukan berlandaskan nilai-nilai moral keagamaan.21
Secara ideologis, sebagaimana yang dikutip Tatang dalam bukunya Ilmu Pendidikan berpendapat pendidikan nasional harus berdasarkan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh sehat jasmani dan rohani, pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiawakanan sosial.22
Dalam Sistem Pendidikan Nasional pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.23
Tujuan khusus pendidikan pada standar kompetisi lulusannya, yaitu:
1) Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang di anut sesuai dengan perkembangan remaja.
2) Mengembangkan diri secara optimal dengan memanfaatkan kelebihan diri serta memperbaiki kekurangannya.
3) Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya.
20 Tatang S, Ilmu Pendidikan, Op Cit., h. 64
21 Ibid., h. 74 22
Ibid., h. 75
4) Berpartisipasi dalam penegakan aturan-aturan sosial.
5) Menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkungan global.
6) Membangun dan menerapkan informasi dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif dan inovatif.
7) Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan.
8) Menunjukkan kemampuan mengembangkan budaya belajar untuk memberdayakan diri.
9) Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
10) Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah kompleks.
11) Menunjukkan kemampuan menganalisis gejala alam, sosial, dan lain sebagianya.24
Dengan demikian berdasarkan definisi diatas, tujuan pendidikan adalah mencerdaskan dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada kepada Allah Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Pendidikan juga bertujuan meningkatkan kualitas peserta didik agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi bangsa, agama dan keluarga.
3. Pengertian Akhlak
Menurut etimologi bahasa Arab akhlak adalah bentuk masdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqun yang memiliki arti perangai (as-sajiyah); kelakuan, tabi‟at, watak dasar (ath-thabi‟ah); kebiasaan atau kelaziman (al‟adat); peradaban yang baik (al-muru‟ah); dan agama (ad-din).25
24
Permendiknas RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Isi (http://www.depdiknas.go.id/ produk_hukum/permen/permen_23_2006.pdf)
25
Nashiruddin Abdullah bin Nashir At-Turky, Al-fasad al-Khuluqi Al-Mujtama‟ fi Dau‟i Al-Islām, dalam Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 202), h. 72
14
Dalam beberapa pendapat lain di jelaskan bahwa, Akhlak merupakan daya kekuatan yang tertanam dalam jiwa dan mendukung perbuatan-perbuatan sepontan tanpa memerlukan pertimbangan pikiran.26
Istilah akhlak dalam Ensiklopedi Islam dimaksudkan sebagai suatu hal yang berkaitan dengan sikap, prilaku, dan sifat-sifat manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, sasarannya, dan makhluk-makhluk lain, serta dengan Tuhannya.27
Di dalam ensiklopedia pendidikan di katakan bahwa Akhlak adalah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etika dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesame manusia.28
Dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an karya Ulil Amri Syafri terdapat beberapa tokoh yang masyhur mendefinisikan pengertian akhlak, diantaranya ;
1. Ibnu Maskawaih mendifiniskan akhlak sebagaimana yang dikutip olehh Nasiruddin yaitu kondisi jiwa yang mendorong melakukan perbuatan dengan tanpa butuh pikiran dan pertimbangan.29
2. Kemudian Ali Anwar Yusuf mengutip pemikiran Imam Ghazali dalam Mu‟jam Al-Wasith mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.30
Akhlak merupakan kekuatan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu, membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang di hayati daalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat
26 Al-Gazali Dalam Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), Cet.
2, h. 206 27
Depag RI, Ensiklopedi Islam I, (Jakarta: 1993), h. 132
28 Asmaran as, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. 2,
h. 2 29
Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail, 2010), h. 31 30
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam untuk Perguruan TinggiUmum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 176
dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga ia mampu membedakan yang baik dan yang jahat, yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat.31
Imam Ghazali menjelaskan bahwa akhlak itu adalah suatu istilah tentang bentuk bathin yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorong ia berbuat (bertingkah laku), bukan karena suatu pemikiran dan bukan pula karena suatu pertimbangan.32
Dari pengertian-pengertian tersebut penulis menyimpulkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam atau karakter dalam jiwa manusia yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan baik atau buruk secara mudah dan spontan sehingga menjadi prilaku kebiasaan.
Akhlak mulia yaitu sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dari dirinya terbentuk perbuatan-perbuatan dengan tanpa harus berpikir dan merenung terlebih dahulu. Jika sifat yang tertanam didalam dirinya sifat baik, maka secara syariat sifat tersebut akan membentuk akhlak yang terpuji, dalam artian akhlak baik tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam dan hukum yang diterima di masyarakat.33
Dalam Islam nilai-nilai baik dan buruknya akhlak telah di tentukan oleh Al-qur‟an dan Hadits. Oleh karena itu Islam tidak merekomendasikan kebebasan manusia untuk menentukan norma-norma secara otonom. Islam menegaskan bahwa hati nurani senantiasa mengajak manusia mengikuti yang baik dan menjauhkan yang buruk.34
Hal ini sependapat dengan Imam Ghazali yang mengemukakan bahwa norma-norma kebaikan dan keburukan akhlak ditinjau dari akal pikiran dan syariat agama Islam. Akhlak yang sesuai dengan akal pikiran dan syariat Islam dinamakan akhlak mulia dan baik akhlaq al-karimah,
31
Zakiah Daradjat,Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), h. 10
32 Usman Said. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama 1981), h. 53
33 Ijang Kusmawan, Ikah Cartikah, Implementasi Kitab Akhlak Libanen Terhadap Santri
Pesantren Anwarul „Ulum Untuk Membentuk Akhlakul Karimah Melalui Pendekatan Pedagogi, Jurnal Comm-Edu, Vol. 2, No. 2, Mei 2019, h. 124
34 Zulkarnain, Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam,
16
sebaliknya akhlak yang tidak sesuai (bertentangan) dengan akal pikiran dan syariat dinamakan akhlak buruk akhlak al-madzmumah.35
Perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak jika memenuhi beberapa syarat. Diantaranya:
1. Dilakukan berulang-ulang. Jika dilakukan sekali saja, atau jarang-jarang tidak dapat dikatakan akhlak. Jika seorang tiba-tiba misalnya, memberi uang (derma) kepada orang lain karena alasan tertentu, orang itu tidak dapat dikatakan berakhlak dermawan.
2. Timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir atau ditimbang berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. Jika suatu perbuatan dilakukan setelah dipikir-pikir dan ditimbang-timbang, apalagi karena terpaksa, perbuatan itu bukanlah pencerminan akhlak.36
Sedangkan ada hubungan antara akhlak dan adab, hal ini disebabkan karena makna Akhlak itu sangatlah luas, di antaranya Adab itu mencakup makna dari Akhlak. Maka dari itu penulis ingin memaparkan pengertian Adab dari pandangan para ilmuwan.
Menurut al-Attas, secara etimologi (bahasa) adab berasal dari bahasa arab yaitu addaba-yu‟addibu-ta‟dib yang telah di terjemahkan oleh al-Attas sebagai “mendidik” atau pendidikan.37Dan secara istilah (terminology), al-Attas mendifinisikan adab sebagai suatu pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanam kedalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga hal ini mebimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepriadaan.38
35 Zainuddin dkk, Seluk-beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara: 1991), h.
103 36
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 348
38 Al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam. Terj. dari Bahasa Inggris oleh Haidar Bagis
Dalam kamus Al-Munjid dan Al Kautsar, adab dikaitkan dengan akhlak yang memiliki arti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi‟at sesuai dengan nilai-nilai agama islam.39 Sedangkan, dalam bahasa Yunani adab disamakan dengan kata ethicos atau ethos, yang artinya kebiasaan, perasaan batin, kecendrungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.40
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahhwa adab berarti kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, akhlak.41 Sedangkan dalam kamus umum Bahasa Indonesia adab diartikan kesopanan, budi bahasa dan tata krama.42 Dapat dikatakan bahwa adab juga termasuk dari manusia yang benar-benar manusia dan memanusiakan manusia.
Menurut pandangan penulis, dari beberapa padangan di atas tidak dapat di pungkiri bahwa adab sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih adab murid dan jug adab guru. Adab juga merupakan bagian dari akhlak, bahkan adab sendiri adalah akhlak sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Karena adab itu adalah suatu pengenalan, budi pekerti, melalui sebuah proses yang di lakukan secara bertahap. Sedangkan akhlak itu lebih luas definisinya sesuai yang penulis sudah paparkan di atas. Dan penulis pun mengkategorikan bahwasanya adab itu kategori dari sebuah Akhlak, walau ada perbedaan sedikit dari segi istilah penggunaan bahasa. Hanya saja akhlak itu di landaskan oleh Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
4. Pengertian Pendidikan Akhlak
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Menurut Abudin Nata, secara
39 Luis Ma‟ruf, Kamus Munjid, Maktabah Katulikiyah (Beirut, tt), h. 194; Husin
Al-Habsyi, Kamus Al Kautsar (Surabaya: Assegraff, tt), h. 87.
40 Sahilun A. Nasir, Tinjauan Akhlak, Cet. 1 (Surabaya: Al Ikhlas, 1991), h. 14
41
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 6
42 Badudu & Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka
18
etimoligis kata akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim masdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhiliqu, ikhlaqan. Sesuai dengan bentuk tsulasi majid wajan af‟ala, yuf‟ilu, if‟alan yang berarti al-saljiyah (perangai), at-tabi‟ah (kelakuan, tabi‟at, atau watak dasar), al-„adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru‟ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).43
Menurut Ali Syari‟ati bahwa akhlak membutuhkan ilmu akhlak. Akhlak menggunakan pendekatan teori fitrah manusia, yaitu kekuatan atau karakteristik yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan baik dan melarang melakukan perbuatan buruk.44
Meskipun fitrah kebaikan telah ada pada diri manusia, perbuatan buruk tetap bisa dilakukan karena manusia juga memiliki nafsu atau kefasikan yang cenderung mendorong manusia lepas dari kontrol kebaikan. Mencegah hal tersebut, disinilah pendidikan dibutuhkan. Manusia butuh petunjuk agar selalu tergiring ke jalan yang lurus dan menghindari hal-hal yang buruk, sehingga terbiasa berakhlaq al-karimah.
Menurut Ibnu Maskawaih, pendidikan akhlak akan mewujudkan sikap bathin, yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan (al-sa‟adat) yang sejati dan sempurna.45
Menurut Prof. Dr. Abdullah Nashih Ulwan : Pendidikan Akhlak (moral) adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan peragai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa anak-anak sampai menjadi seseorang mukallaf, pemuda yang mengarungi lautan kehidupan.46
43 Heri Gunawan, Pendidikan Akhlak, (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2012), h.4
44 Ali Syari‟ati, Al-Akhlaq Li Al-Syabab Wa al-Thullab Wa al- Nasyiah, (Beirut: Darul Amin, 2007), h. 32
45
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2014), h. 311
46 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Jilid 1, Semarang:
Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa pendidikan akhlak adalah usaha sadar manusia untuk mendewasakan diri melalui proses pengubahan dasar-dasar tingkah laku dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak sejak masa kecil hingga Mukallaf sehingga menjadi manusia yang mulia.
5. Dasar Pendidikan Akhlak
Dasar pendidikan akhlak secara spesifik terdapat dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah, kedua sumber hukum islam ini yang berkenaan dengan pentingnya pendidikan akhlak bagi peserta didik. Ayat yang berkenan dengan akhlak ini adalah:
َهيِلَّوَّلأا ُقُلُخ َّلاِا اَذَه ْنِا
(Agama Kami) ini tidak lain hayalah adat kebiasaan orang dahulu (Q.S Asy-syu‟ara 137).ِق َلَ ْخَ ْلأا َحِلاَص َمِّمَتُ ِلأ ُتْثِعُب اَمَّوِإ
“Sesungguhnya Aku diutus di muka bumi untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad)47Ayat dan Hadits diatas menginsyaratkan bahwa akhlak merupakan ajaran yang diterima Nabi Muhammad dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi umat yang pada saat itu dalam kejahiliyahan dan Nabi Muhammad di utus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak.
6. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral baik, keras keinginan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur, dan suci. Dengan kata lain
47 Abuddin Nata, Pendidikan Dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
20
pendidikan ahklak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat, keadaan pelajaran, aktifitas merupakan sarana pendidikan akhlak di atas segala-galanya.48
Menurut T. Ramli, pendidikan akhlak memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik.49
Maka tujuan pendidikan akhlak yang sebenarnya adalah mengembangkan potensi akhlak itu sendiri melalui pendidikan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Potensi yang akan dikembangkan adalah potensi yang baik.
Adapun tujuan pendidikan akhlak secara spesifik telah di rancang atau dirumuskan oleh para ahli pendidikan agama islam diantaranya ialah: a. Moh Atiyah Al-Aabrasyi mengutarakan bahwa pendidikan akhlak
adalah membentuk manusia bermoral baik, sopan, bersifat sederhana, sopan, ikhlas, jujur, dan suci.50
b. Menurut Mulyasa, bahwa pendidikan akhlak bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan akhlak dan akhlak mulia peserta secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan.51
Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan akhlak ialah agar manusia mempunyai budi pekerti yang luhur dan mulia, taat kepada Allah, penciptaannya, dan berbuat baik kepada sesama makhluk ciptaanya sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya.
48
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia 2006), cet. V, h. 90
49 Sofan Amri, dkk., Implementasi Pendidikan Akhlak Dalam Pengajaran, (Jakarta:
PT.Prestasi Pustakaraya, 2011), h. 4
50 Moh Atiyah Al-Abrasy, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), h. 104
B. Pengertian Siswa
Pengertian siswa atau peserta didik menurut ketentuan umum undang-undnng RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.52 Dengan demikian siswa atau peserta didik adalah orang yang mempunyai pilihan untuk menempuh ilmu sesuai dengan cita-cita dan harapan masa depan.
Siswa atau peserta didik memiliki peran yang sangat sentral, karena siswa atau peserta didik juga amanah yang harus diemban oleh para pendidik. Siswa atau peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 53
Oemar hamalik mendefinisikan siswa atau peserta didik sebagai suatu komponen masukan dalam system pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Menurut abu Ahmadi peserta didik adalah sosok manusia sebagai individu/pribadi (manusia seutuhnya). Individu di artikan “orang seorang tidak tergantung dari orang lain, dalam arti benar-benar seorang pribadi yang menentukan diri sendiri dan tidka di paksa dari luar, mempunyai sifat-sifat dan keinginan sendiri.54 Sedangkan Hasbullah berpendapat bahwa siswa sebagai peserta didik merupakan salah satu input yang ikut menentukan keberhasilan proses pendidikan.55 Tanpa adanya peserta didik, sesungguhnya tidak akan terjadi proses pengajaran. Sebabnya adalah
52
Repubik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dosen & Undang-undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 tentang
sisdiknas,(bandung:Permana, 2006), h. 65
53 Sukring Pendidik dan Peserta Didik dalam Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h.
90
54 Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, Manajemen Pendidikan, (Bandung:
Alfabeta: 2009), h. 205
22
karena peserta didiklah yang membutuhkan pengajaran dan bukan guru, guru hanya berusaha memenuhi kebutuhan yang ada pada peserta didik.56
Az-Zarnuji lebih memfokuskan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang sangat di perlukan oleh para pelajar. Adapun kepribadian yang harus dimiliki tersebut sebagaimana di katakan, bahwa setiap murid harus mempunyai sifat-sifat Tawadhu‟, „Iffah, yaitu sifat yang menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak pantas dilakukan, kemudian sifat tabah, sabar, wara‟ (menjauhkan diri dari dosa, dari maksiat, dari perkara syubhat), serta tawakkal, yaitu menyerahkan segala perkara hanya kepada Allah.
Lalu Az-Zarnuji juga menekankan bahwa dalam menuntut ilmu, setiap, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesame penuntut ilmu, saying kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu, tekun dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam menuntut ilmu pengetahuan.57
Siswa atau peserta didik pun memiliki kriteria, diantaranya:
1. Peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri.
2. Peserta didik memiliki periodisasi perkembangan dan pertumbuhan. 3. Peserta didik adalah makhluk Allah yang memilki perbedaan individu
baik disebabkan oleh factor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
4. Peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan ruhani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur ruhani memiliki daya akal, hati nurani dan nafsu.
56
Departemen Agama, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan,(t.tp., Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), h.47
57 Alfianoor Rahman, Pendidikan Akhlak Menurut Az-Zarnuji dalam Kitab Ta‟lim
5. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat diekmbangkan dan berkembang secara disnamis.58
Dari beberapa pengertian diatas, bisa dikatakan bahwa siswa atau peserta didik adalah orang/individu yang mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya agar tumbuh dan berkembang dengan baik serta mempunyai kepuasan dalam menerima pelajaran yang diberikan oleh pendidiknya. Dan siswa atau peserta didik mempunyai beberapa hak yang harus terpenuhi, salah satunya adalah hak untuk siswa atau peserta didik agar menjadi insan kamil.
C. Pengertian Guru
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagaimana di jelaskan Mujtahid dalam bukunya yang berjudul “Pengembangan Profesi Guru” definisi guru adalah orang yang pekerjaan, mata pencarian, atau profesinya mengajar.59 Kemudian, sri minarti mengutip pendapat ahli bahasa Belanda, J.E.C Gericke dan T. Roorda, yang menerangkan bahwa guru berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya berat, besar , penting, baik sekali, terhormat, dan pengajar. Sementara dalam bahasa inggris dijumpai beberapa kata yang berarti guru, misalnya teacher yang berarti guru atau pengajar, educator yang berarti pendidik atau ahli mendidik, dan tutor yang berarti guru pribadi, guru yang mengajar dirumah, atau guru yang memberi les.60
Guru diambil juga dari pepatah jawa yang kata guru itu di perpanjang dari kata “gu” digugu yaitu di percaya, dianut, di pegang kata-katanya, “ru” ditiru artinya dicontoh, diteladani, ditiru, diteladani segala tingkah lakunya.61
Dalam literature kependidikan Islam, banyak sekali kata-kata yang mengacu pada pengertian guru, seperti murabbi, mu‟allim, dan muaddib.
58 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta : PT Intermasa, 2002), h. 47 59
Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), h. 33
60 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis-Filosofi dan Aplikastif-Normatif,
(Jakarta: Amzah, 2013), h. 107-108
24
Ketiga kata tersebut memiliki fungsi penggunaan yang berbeda-beda.62 Menurut para ahli bahasa, kata murabbi berasal dari kata rabba yurabbi yang berarti membimbing, mengurus, mengasuh, dan mendidik. Sementara kata mu‟allim merupakan bentuk isim fail dari „allama yu‟allimu yang biasa di terjemahkan mengajar atau mengajarkan.63 Sementara istilah muaddib berasal dari kata addaba yuaddibu yang artnya mendidik.64 Disamping itu, seorang guru juga biasa disebut sebagai ustaz. Menurut Muhaimin, kata ustaz mengandung makna bahwa seorang guru dituntut komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya, dan dikatakan professional apabilapada dirinya melekat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap tugasnya, sikap komitmen terhhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang hidup di masa depan.65
Kemudian selain yang telah dipaparkan di atas, dalam bahasa Arab guru juga sering disebut dengan mudarris yang merupakan isim fa‟il dari darrasa, dan berasal dari kata darasa, yang berarti meninggalkan bekas, maksudnya guru mempunyai tugas dan kewajiban membuat bekas dalam jiwa peserta didik. Bekas itu merupakan hasil pembelajaran yang berwujud perubahan perilaku, sikap, dan penambahan atau pengembangan ilmu pengetahuan.66
Guru merupakan bapak rohani dan (spiritual father) bagi peserta didik, yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak
62 Sri Minarti, Ilmu Pendidikan Islam: Fakta Teoritis-Filosofi dan Aplikastif-Normatif,
(Jakarta: Amzah, 2013), h. 108 63
Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), h. 163
64 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:PT Mahmud Yunus Wa
Dzuriyyah,2010), h.39 65
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: PSAPM, 2014), h.209-210
66 Kadar M.Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur‟an tentang Pendidikan, (Jakarta:
mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Oleh karena itu guru mempunyai kedudukan yang tinggi dalam islam.
Hal ini sesuai di dalam kitab Ihya‟ Ulum ad-Din yang menyatakan: “seorang naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, sehingga profesinya sebagai pengajar adalah memberikan kemuliaan”.67
Dengan demikian guru adalah profesi yang sangat mulia, karena secara naluri orang yang berilmu sangat di muliakan dan di hormati oleh orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, sehingga profesinya sebagai pengajar adalah memberikan kemuliaan.
Guru dianggap sebagai unsur yang mendasar dalam pembelajaran, dengan segala keteguhan, kesungguhan, dan segala kesabarannya akan sangat berpengaruh pada pendidikan, karena pendidikan merupakan tanggung jawab yang dipikul oleh seorang guru sebagai amanah yang akan di pertanggungjawabkan didepan Allah Kelak, maka dengan menjalankan amanah tersebut harus sesuai dengan apa yang di anjurkan oleh Allah SWT.68
Para ilmuwan, sastrawan, dan filosof telah memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi para pelaku pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali yang kemudian dikutip oleh M. Athiyah Al-Abrasyi: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan yang mengambil daya guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya dan orang lain”.
Dalam kitab Ta‟lim Muta‟allim, pertama guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridha-Nya. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa ini adalah dimensi sufistik. Kedua adalah
67
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya‟ Ulum Ad-din, Juz 1…., h. 55
68 Alfianoor Rahman, Pendidikan Akhlak Menurut Az-Zarnuji dalam Kitab Ta‟lim
26
pragramatik. Dalam artian, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan ketrampilan kepada muridnya. Selain itu, guru juga memilihkan ilmu apa yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya.69
D. Hasil Penelitian Relevan
Dalam suatu penelitian, diperlukan penelitian yang relevan yang dapat mendukung serta memperkuat akan pentingnya penelitian ini dilakukan. Penulis telah menelaah beberapa kajian hasil penelitian sebagai berikut:
1. Skripsi “Pendidikan Akhlak bagi Peserta Didik menurut Persepektif Kitab Adab Al-Alim Wa-Al Muta‟allim karya KH. Hasyim Asy‟ari dan Relevansinya terhadap pembelajaran PAI” yang ditulis oleh Abdul Qodir 10416044. Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2014. Penelitian ini dibatasi pada pendidikan akhlak bagi peserta didik menurut persepektif kitab Adab Alim Wa-Al Muta‟allim. Didalam nya terdapat penjelas tentang pendidikan akhlak, biografi KH. Hasyim Asy‟ari, pemikirannya serta karya-karyanya.
2. Skripsi “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ta‟lim Muta‟allim karya Burhanuddin Al-Zarnuji” yang ditulis oleh Muhammad Bayu Pamungkas 11112110. Mahasiwa jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tabiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) SALATIGA pada tahun 2017. Penelitian ini dibatasi pada nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat pada kitab Ta‟lim Muta‟allim. Didalamnya terdapat biografi Syeikh Burhanuddin Al-Zarmuji, sekaligus biografi kitab Ta‟lim Muta‟allim, serta pengertian dan nilai-nilai akhlak yang terkandung didalam kitab tersebut.
3. Skripsi “Konsep Pendidikan Akhlak menurut KH Hasyim Asy‟ari dalam kitab Adab Al-Alim wa Al-Muta‟allim” yang ditulis oleh Muhammad Ichsan Nawawi Sahal 1311010271. Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung Pada tahun 2017 M. penelitian ini dibatasi pada konsep pendidikan akhlak menurut KH Hasyim Asy‟ari di kitab Adab „Alim Wa al Muta‟allim. Didalamnya terdapat biografi KH Hasyim Asy‟ari serta nilai-nilai pendidikan akhlak, dan Analisis Pemikiran KH Hasyim Asy‟ai tentang pendidikan Akhlak dalam kitab adab al-„alim wa al-muta‟allim.
4. Jurnal “Pendidikan Akhlak Menurut Az-Zarnuji dalam Kitab Ta‟lim Muta‟allim”, ditulis oleh Alfianoor Rahman: Jurnal At-Ta‟dib, Volume 11 Nomor 1, Juni 2016. Dalam jurnalnya membahas tentang pendidikan akhlak dalam kitab Ta‟lim Muta‟allim, pengertian Guru, pengertian peserta didik serta kurikulum dan pola relasi antara guru dan murid.
5. Jurnal “Implementasi Kitab Akhlak Libanen Terhadap Santri Pesantren Anwarul „Ulum membentuk akhlakul Karimah Melalui Pendekatan Pedagogi”, ditulis oleh Ijang Kusmawan, Ikah Cartikah: Jurnal Comm-Edu, Volume 2 Nomor 2, Mei 2019 P. ISSN: 2622-5492, E. ISSN: 2615-1480. Dalam jurnal nya membahas tentang pembelajaran akhlak libanen untuk membentuk akhlak baik, serta dapat mengimplementasikan pembelajaran akhlak dilingkungan sekolah maupun masyarakat.
6. Jurnal “Konsep Pendidikan Akhlak dalam Persepektif Islam”di tulis oleh Nurma Ali Ridwan: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Volume 7 Nomor 1, Januari –Juni 2013 P. ISSN: 1978-1261. Dalam jurnalnya membahas tentang bahsawanya pendidikan akhlak merupakan suatu kebutuhan di tengah kondisi bangsa yang sedang terpuruk oleh krisis multidimensi, terutama krisis akhlak. Terwujudnya siswa yang
28
berakhlak (dalam istilah agama berakhlakul karimah) menjadi dambaan semua orang terlebih bagi orang tua dan guru.
29 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian
Pada penelitian ini, yang berjudul “ Pendidikan Akhlak Bagi Siswa Terhadap Guru Dalam Kitab Adabul Insan Karya Sayyid „Usman bin Abdullah bin „Aqil bin Yahya ” ini dilaksanakan mulai dari bulan Oktober 2020. Data mengenai sumber-sumber tertulis yang di peroleh dari koleksi, buku-buku yang ada di perpustakaan, internet serta sumber lain yang mendukung penelitian. Kemudian selebihnya digunakan untuk melakukan kualifikasi data, menganalisis, menyimpulkan hasil penelitian serta menyusunnya dalam bentuk hasil penelitian atau laporan. Selanjutnya tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini bertempat di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakaan Pribadi, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang artinya prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-orangdan perilaku yang dapat diamati.70 Selain itu, langkah metodis dalam penyusunan penelitian karya ilmiah ini menggunakan pendekatan yang bersifat deskriptif-analisis.
Adapun sumber data yang di gunakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua katagori yakni primer dan sekunder.
1. Sumber Primer
Yakni adalah karya Sayyid „Usman bin Abdullah bin „Aqil bin Yahya Yaitu Adabul Insan maka peneliti melakukan survei kepustakaan tentang pendidikan akhlak siswa terhadap guru yang terkandung dalam kitab Adabul Insan.
70 Margono, Metodologi penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Cet.8, h.
30
2. Sumber Sekunder
Buku yang memiliki kesamaan pemikiran tentang Pendidikan akhlak bagi siswa terhadap guru guna mempermudah dan memperkuat isi penelitian ini.
Dalam skripsi ini penulis pun menggunakan metode deskrisif analisis yang menggunakan studi kepustakaan (Library Research). Berupa bahan-bahan pustaka seperti dokumen, jurnal ilmiah, buku, arsip dan sebagainya.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
Jenis metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati, serta analisis yang digunakan dalam penelitian kualitatif deskriptif-analitis yang berarti intrepretasi terhadap isi dibuat dan disusun secara sistemik atau menyeluruh dan sistematis.71
Penelitian dengan Library Reserch, yaitu teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku buku, literatur-literatur, catatan- catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan yaitu mendayagunakan sumber informasi yang terdapat diperpustakaan dan informasi lainnya,72awalnya peneliti mengumpulkan berbagai refrensi sebagai sumber data yang berkaitan dengan masalah yang akan di teliti, selanjutnya menelaahnya dan yang terkahir adalah mengambil poin-poinnya untuk di analisis.
D. Pengecekan Keabsahan Data
Penelitan kualitatif harus mengungkap kebenaran yang objektif. Karena itu keabsahan data dalam sebuah penelitian kualitatif sangat penting. Melalui keabsahan data kredibilitas (kepercayaan) penelitian
71
Nurul Zuhriah, Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007), Cet. ke-2, h. 92.
72