• Tidak ada hasil yang ditemukan

MARKETING THROUGH BALANCE AND HARMONY. Perspektif Modern dan Budaya. Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, SE., M.M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MARKETING THROUGH BALANCE AND HARMONY. Perspektif Modern dan Budaya. Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, SE., M.M."

Copied!
415
0
0

Teks penuh

(1)

MARKETING THROUGH

BALANCE AND HARMONY

Perspektif Modern dan Budaya

(2)

MARKETING THROUGH BALANCE AND HARMONY

Perspektif Modern dan Budaya

2018© Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, SE., M.M Cetakan Pertama, Maret 2018

Penulis : Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, SE., M.M. Penyusun

& Tata Letak : Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, SE., M.M. Desain Sampul : Pustaka Nayottama Publishing

Gambar Sampul : Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, SE., M.M. Published : Pustaka Nayottama Publishing

www.putukornia.com | 08123 78899 07 Cetak & Jilid : Pustaka Nayottama Publishing

Jl. Drupadi XIII No. 5 Renon, Denpasar, Bali 081 999 600008

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, SE., M.M.

MARKETING THROUGH BALANCE AND HARMONY CET. 1 Denpasar; Pustaka Nayottama Publishing XIX + 396 16 cm x 23 cm

(3)

“Tjokorda Gde Raka Sukawati is the Prince of the Grand Puri of Ubud who initiated the idea of Museum of Marketing 3.0 in Ubud, Bali-Indonesia on May 27, 2009. Two years later, right on my 80th Birthday on May 27, 2011 the Museum was officiated by the three Princes of Ubud and myself, witnessed by my family too. Ubud is the right location for the Museum because its Spirit of Harmony and Balance is in line with our Marketing 3.0. We will keep the Spirit of 3.0 as a strong foundation for the next Marketing Model. I personally believe that Marketing through Balance and Harmony is the essential spirit for every Marketers.”

Philip Kotler

Foreward

(4)

Dunia pemasaran memang selalu berubah dari waktu ke waktu. Pendekatan dan metode yang digunakan pun memang terus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan bisnis. Rasanya tidak ada rumus pemasaran yang bersifat abadi dan dapat diterapkan di berbagai kondisi begitu saja.

Contoh praktisnya dapat kita lihat sendiri beberapa waktu belakangan. Di mana teknologi digital telah merubah banyak pendekatan pemasaran. Perubahan teknologi pun telah berpengaruh besar pada perilaku pelanggan. Sejak mengadaptasi penggunaan teknologi digital terutama

smartphone, pelanggan pun semakin menuntut layanan yang semakin cepat, praktis, dan akurat.

Dapat kita lihat di sini, perubahan dari sisi teknologi memang biasanya bersifat global. Namun dalam praktiknya tetap saja perlu ada penyesuaian agar dapat relevan dengan pasar lokal. Di sinilah peran pemasaran sangat dibutuhkan. Di mana pemasar dituntut untuk mengetahui tidak hanya kebutuhan dan keinginan, tidak juga hanya persepsi dan ekspektasi, tapi sampai dengan kegelisahan dan impian pelanggan yang sering kali tidak diucapkan.

Karena itu, saya sangat menyambut buku Marketing

Through Balance and Harmony ini. Di mana sebagai seorang

pemasar, kita memang harus mengikuti perkembangan dunia modern tetapi juga harus menyesuaikan dengan budaya masyarakat lokal. Karena biar bagaimana pun, situasi sosial-kultural sangat besar pengaruhnya pada perilaku pelanggan.

Hermawan Kertajaya

Kata Pengantar

(5)

Balance and Harmony

Saya sangat setuju bahwa pemasaran saat ini memang perlu mengedepankan keseimbangan dan harmoni. Karena bagaimana pun, perkembangan dunia modern harus tetap diikuti agar pemasar dapat memberikan value lebih besar kepada pelanggan. Adaptasi yang baik dengan perkembangan lingkungan dapat mendorong diri kita menjadi lebih produktif, kreatif, dan jiwa entrepreneurship.

Namun adaptasi ini pun memang sebaiknya dikombinasikan dengan kearifan lokal. Dalam buku ini, kita dicerahkan penulis yang mengambil kajian di Ubud. Di mana masyarakat Ubud selalu bersikap terbuka pada perkembangan baru namun di saat yang bersamaan juga tetap memegang erat budaya lokal. Salah satu contohnya dapat kita temukan di buku ini. Pada masyarakat Ubud, kita dapat menemui isitlah

awig-awig. Pada dasarnya, awig-awig ini adalah organisasi dan pengelolaan yang diatur dalam peraturan adat mulai dari membangun rumah, membersihkan jalan, mengadakan upacara, dan hal lainnya. Tidak hanya mengatur hubungan antar masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan tanggung jawab kepada Tuhan dan juga tentu berkaitan erat dengan lingkungan sekitar.

Tradisi awig-awig ini sudah sangat mengakar kuat pada masyarakat Ubud. Tidak hanya masyarakat setempat saja, pembahasan awig-awig melibatkan banyak pemangku kepentingan. Mulai dari masyarakat, pejabat pemerintah, sampai dengan akademisi. Semuanya diperhatikan dengan baik agar tidak bertentangan satu sama lain dan disampaikan secara lisan. Saat Belanda menduduki Indonesia, memang masyarakat lebih banyak terkena dampak negatifnya dibanding positif. Namun pada saat yang bersamaan, kita pun mengalami transfer pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dengan baik salah satunya adalah sistem hukum tertulis. Karena dapat meningkatkan pelayanan, sistem ini pun diadopsi masyarakat Ubud.

(6)

vi

Awig-awig pun ditulis dalam aksara Bali dan juga Latin. Tujuannya agar masyarakat dapat lebih mudah memahami dan sekaligus menghindari kesalahan penafsiran ketentuan yang berlaku. Hasilnya? Tradisi awig-awig pun tetap bertahan dan bahkan menjadi lebih kuat. Tentu ini adalah salah satu contoh dari Ubud. Kita dapat menemukan adaptasi seperti ini pada kebudayaan lainnya. Di mana Adaptasi teknologi yang digunakan saat itu pun dilakukan dengan baik dan diharmonikan dengan kearifan lokal secara berimbang. Jadi kebudayaan pun menjadi semakin kaya dan dapat dilestarikan dengan baik. Bila memang dapat memajukan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak hubungan antar manusia, Tuhan, dan alam mengapa tidak?

Marketing 3.0

Pemahaman ini pun sangat selaras dengan konsep

Marketing 3.0 yang disusun saya bersama dengan Guru

Marketing Modern, Philip Kotler dan Iwan Setiawan. Di mana kini pendekatan pemasaran pun telah berubah. Tidak hanya mengejar profit ability dan return ability saja tetapi juga

sustain ability. Sehingga pemasar saat ini pun tidak hanya mengejar keuntungan saja tetapi bagaimana memperhatikan dampaknya kepada lingkungan sekitar.

(7)

vii

Tidak hanya berusaha lebih baik dan berbeda dari kompetitor tetapi juga berusaha untuk membawa perubahan positif bagi pemangku kepentingan relevan atau bahkan masyarakat lebih luas. Jadi fokusnya bagaimana memberikan manfaat (value) yang lebih tinggi kepada pelanggan tetapi tetap memegang teguh nilai-nilai (values) yang selaras dengan masyarakat. Jadi pemasar pun memiliki semangat untuk membuat dunia lebih baik lagi.

Karena pemahaman ini cukup universal dan berlaku secara umum, konsep Marketing 3.0 ini pun diterima di berbagai masyarakat dari seluruh penjuru dunia. Bahkan bukunya telah diterjemahkan ke dalam 23 bahasa dan menjadi

best-seller di beberapa negara.

Menariknya semangat ini pun ‘menular’ ke Ubud. Pada tanggal 27 Mei 2009, saya bersama Tjokorda Gde Raka Sukawati (penulis buku) berkesempatan untuk merayakan ulang tahun Philip Kotler ke-78. Dalam pembicaraan kami bertiga inilah tercetus ide untuk membangun Museum of

Marketing 3.0 yang berlokasi di Puri Lukisan. Selain karena

konsep yang relevan dengan perkembangan pemasaran saat ini, Ubud pun dikenal sebagai masyarakat yang memang telah menerapkan konsep pemasaran Marketing 3.0 dengan baik. Tidak hanya memperhatikan customer dan product saja, tetapi menyentuh human spirit dari turis yang mengunjungi Ubud.

Sampai akhirnya, museum ini diresmikan pada tanggal 27 Mei 2011 oleh Philip Kotler. Pada tanggal tersebut pula, Philip Kotler tengah merayakan ulang tahun ke-80. Museum yang satu ini tidak akan berdiri tanpa sumbangan besar dari keluarga Puri Saren. Tidak hanya berupa tempat, tetapi berbagai dukungan besar lainnya yang tidak dapat dinilai dengan uang. Tentu saja hal ini pun tidak terlepas dari peran Tjokorda Gde Raka Sukawati selaku penulis.

(8)

viii

Dr. Tjokorda Gde Raka Sukawati, SE, MM

Saya mengenal penulis sudah cukup lama dan semakin lama rasanya saya semakin kagum dengan tokoh masyarakat Ubud yang satu ini. Bagaimana tidak? Dalam kesehariannya, penulis memiliki peran yang sangat variatif di tengah masyarakat. Sejak lahir, ia memang menjadi keluarga Puri Ubud yang tentu mengemban tanggung jawab sosial cukup besar terhadap kehidupan masyarakat Ubud.

Penulis pun merupakan pengelola hotel dan juga pengajar di Universitas Udayana yang tentu bersinggungan langsung dengan perkembangan modern. Namun di sisi lain, ia pun berhubungan erat dengan masyarakat tradisional dalam menjalankan perannya sebagai undagi (arsitek bangunan tradisional Bali) dan sekaligus wakil bendesa (wakil kepala desa).

Semua peran ini dijalankan secara berimbang dan dijalankan dengan harmonis. Sehingga salah satu peran tidak mengganggu peran lainnya. Hasilnya Pak Tjok Raka pun dapat memberikan kontribusi besar kepada lingkungan sekitarnya.

Dalam keseharian pun penulis memang berupaya mengintegrasikan aspek perspektif modern dan kebudayaan lokal. Contohnya saja saat membangun Hotel Royal Pita

Maha. Dalam pembangunan hotel, Tjok Raka membangun

menggunakan metode tanpa panduan gambar. Semua proses pembangunan diintegrasikan dengan alam dan tentu berupaya mempertahankan keharmonisan yang ada sesuai dengan spirit sebagai seorang undagi.

Namun demikian, tentu hotel ini mengadaptasi juga teknologi modern seperti penggunaan lift dan beberapa tata cara penyajian makanan yang menggunakan teknologi modern. Karena biar bagaimana pun Hotel Royal Pita Maha melayani wisatawan Manca Negara. Sehingga adaptasi aspek modern tentu perlu dilakukan untuk memberikan value yang lebih tinggi kepada tamu hotel.

(9)

ix

Contoh lainnya dari sisi pelayanan. Hotel Royal Pita

Maha sengaja merekrut staf dari warga setempat. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan antara hotel dan masyarakat. Meskipun memiliki status sebagai karyawan, pihak manajemen hotel menggunakan pendekatan H2H (Human to Human). Sehingga para staf ini pun melaksanakan dengan sepenuh hati. Sehingga meskipun tingkat profesionalisme masih kalah dengan hotel internasional, tapi staf Hotel Royal Pitamaha melayani tamu dengan tulus. Karena memang didasari oleh rasa kekeluargaan dan memiliki jiwa kepemilikan yang tinggi. Keramahan dalam berinteraksi inilah yang membuat tamu merasa Hotel Royal Pitamaha seperti berada di rumah sendiri. Dengan kata lain, Tjokorda Gde Raka Sukawati memang tokoh ideal untuk menjelaskan konsep pemasaran yang mengintegrasikan antara perspektif modern dan budaya. Di mana adaptasi pemasaran modern dilakukan namun tetap menjaga keseimbangan dan harmoni kearifan lokal. Akhir kata, saya mengucapkan selamat menikmati buku ini.

Salam WOW

Hermawan Kartajaya

Founder & Chairman MarkPlus, Inc.

(10)

PRAKATA

Sudah umum diketahui bahwa dalam konteks bisnis, organisasi bahkan pemasaran peran budaya juga menjadi penting. Nanci Adler, profesor manajemen internasional dari Mc. Gill University, Kanada dan seorang konsultan organisasi menunjukkan hal ini berdasarkan kajian dan pengalaman konsultasinya. Untuk mencapai keunggulan global, perusahaan dan korporasi harus memiliki strategi global yang tajam dan akurat. Akan tetapi, perusahaan dan korporasi tertentu, yang berangkat dari kekuatan budaya lokal masing-masing ternyata juga berhasil mencapai keunggulan global.

Hasil sebuah keunggulan mampu mempertahankan konsumen dan mendorong peningkatan penjualan. Upaya ini telah dijalankan oleh penulis dalam menjalankan bisnis pariwisata khususnya di bidang perhotelan yang berlandaskan pada budaya lokal. Konsep budaya lokal tersebut mengedepankan sebuah kebahagiaan yang memiliki nilai di atas sebuah kepuasan jika dikaitkan dengan sebuah pelayanan terhadap konsumen. Budaya lokal menuntun untuk tetap menjaga harmonisasi dengan Tuhan, manusia, dan alam sekitarnya guna mencapai kebahagiaan bersama. Budaya inilah yang dijalankan penulis dalam konsep pemasaran khususnya pelayanan terhadap konsumen. Implantasinya dapat dijelaskan dengan memaknai bahwa produk yang ditawarkan merupakan sebuah implementasi dari alam semesta yang patut dijaga dengan baik untuk dipersembahkan kepada konsumen agar tercapai kepuasan, untuk itu hubungan antara konsumen harus dibangun secara harmonis. Setelah terjalin dengan harmonis dalam rangka pencapaian kepuasan tidaklah berhenti di sana karena ada spirit kebahagiaan yang dibangun di dalam tumbuh konsumen hal ini identik dengan menjaga hubungan baik dengan Tuhan.

Upaya terus menjaga hubungan harmonis ini di dalam gerak atau aktivitas dalam bisnis pariwisata penulis

(11)

mencoba membagi pengalaman lewat sebuah tulisan ini dengan menjalankan filosofi budaya lokal yang universal yaitu konsep Tri Hita Karana dikaitkan dengan pemasaran. Landasan filosofis Tri Hita Karana adalah merupakan konsep keseimbangan dan keharmonisan yang memberi darah, memberi spirit yang tidak terukur kekuatannya, menyusup dalam aktivitas bisnis perhotelan, aktivitas adat, dan budaya Bali. Penulis berasal dari Desa Ubud khususnya Puri Ubud yang terlibat di masyarakat dalam aktivitas budaya, sosial, agama memberi pengalaman yang kuat terhadap pemahaman mengenai budaya. Kondisi ini juga membentuk kepribadian penulis untuk terus melestarikan warisan budaya sehingga menjadi undagi, sangging, wakil bendesa adat, dan dosen di Universitas Udayana. Aktualisasi pengalaman di wujudkan pendirian museum dan hotel di Ubud.

Bersumber dari pengalaman tersebut muncul pemikiran bahwa sesungguhnya marketing itu adalah kebudayaan itu sendiri. Pandangan ini memang memerlukan eksplorasi tersendiri, apalagi kemudian pengalaman dan aktivitas akademik yang mengharuskan saya mempelajari disiplin marketing modern pada gilirannya menimbulkan keinginan untuk merumuskan bahan-bahan ini dalam satu hipotesis bahwa marketing dan pariwisata adalah budaya itu sendiri.

Demikianlah muncul keinginan untuk menuliskan sebagian pengalaman dalam bidang sosial budaya dan akademis sebagai pengajar manajemen pemasaran di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana kemudian diselaraskan dengan berbagai pandangan mengenai pemasaran yang umumnya bersifat text-books, dan berharap penyelarasan ini menjadi semacam kekuatan glokalisasi, yakni kekuatan budaya lokal di hadapan budaya global. Artinya, upaya menyeleksi bagian-bagian tertentu dari sistem budaya Bali, misalnya Tri

Hita Karana, sifat religius orang Bali, alam yang indah dan memesona, penataan lingkungan hotel yang indah dan

(12)

xii

nyaman, berkombinasi menjadi kekuatan budaya lokal yang total, yang pada gilirannya mendorong capaian yang luar biasa dan akurat. Hal-hal inilah yang diungkapkan dalam buku ini.

Karena diangkat dari pengalaman pribadi menjadi glokalisasi diterapkan dalam konteks pengelolaan profesional dalam bidang perhotelan. Selama mengelola bisnis perhotelan. dan mempelajari teori-teori marketing modern, dipastikan akan menemukan rumusan mengenai model

marketing glokalitas (dengan kekuatan lokal dan global), tetapi harus juga diakui ketika merumuskan dan menuliskan hal ini adanya kesan autobiografik tidak dapat dihindari, kecuali ditekan seminimum mungkin.

Dengan segala kerendahan hati buku ini dibuat untuk berbagi pengalaman, pandangan dan gagasan yang mata rantainya terkait pada budaya, tradisi dan filosofi kearifan lokal di mana penulis berinteraksi di sepanjang hidup.

“Tiada gading yang tak retak”, Buku Marketing

Through Balance and Harmony ini di susun melalui berbagai

jalan yang ditempuh untuk dapat mengilustrasi, menyelami dan menggali pemahaman pada dua pendekatan modern dan tradisional, namun karena keterbatasan waktu, keterbatasan halaman, keterbatasan pengetahuan penulis sebagai manusia, juga keterbatasan kemampuan dalam kosa kata untuk mengejawantahkan maksud dalam pokok pikiran sehingga tak dipungkiri barangkali terdapat paparan yang terlalu singkat atau mungkin dianggap kurang tepat, untuk itu dengan setulus-tulusnya penulis memohon maaf. Namun apa yang tersajikan dalam buku “Marketing

Through Balance and Harmony” adalah semaksimal dari

apa yang bisa penulis perbuat dalam karya pustaka untuk menyuarakan pemikirannya dengan maksud bersumbangsih pada perkembangan dunia pendidikan secara luas khususnya terkait ilmu marketing, pembangunan, budaya dan kajian akademisi.

(13)

xiii

Dengan rasa syukur mendalam ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, tanpa melupakan seluruh pihak yang berperan dalam penyusunan buku ini hingga kini dihantarkan ke tengah masyarakat, banyak peranan, bantuan dan dukungan yang diperoleh penulis, sehingga dengan hormat ucapan terima kasih kami sampaikan pada Keluarga; istri, anak, kakak, menantu, cucu serta keluarga besar Puri Ubud, Prajuru desa Ubud-banjar dinas, seluruh kawan-kawan dan masyarakat Ubud seluas-luasnya atas seluruh peran serta hingga terselesaikannya buku ini.

Semoga apa yang telah kita harapkan dan perbuat mendapat manfaat, berkah dan kemuliaan serta restu – Nya, Amin.

Ubud, 20 Januari 2017

(14)

xiv

DAFTAR ISI

FOREWORD | iii KATA PENGANTAR | iv PRAKATA | x

DAFTAR ISI | xiv I. PENDAHULUAN

PERAN BUDAYA LOKAL DALAM PEMASARAN GLOBAL | 1

II. PEMASARAN DI ERA GLOBALISASI | 4

•Pemasaran Abad ke-21 | 5 •Definisi Pemasaran | 24

•Konsep Utama Pemasaran | 26 •Prinsip Pemasaran Abad ke- 21 | 35 •Realitas Baru Pemasaran | 39

•Internet Mengancam Hubungan di antara Saluran Pemasaran yang Ada | 44

•Internet Menciptakan Persoalan Koordinasi | 47

•Internet Menghancurkan Kriteria Segmentasi Tradisional | 49

•Etika dan Tanggung Jawab Sosial Pemasaran | 52 •Tugas Baru Manajemen Pemasaran | 56

•Ringkasan | 59

III. PERILAKU KONSUMEN | 61

•Identifikasi Konsumen | 62

•Pentingnya Memahami Perilaku Konsumen | 65 •Prinsip Kesatuan dan Kesesuaian dalam

Mengukur Perilaku Konsumen | 80 •Teori Tindakan Beralasan (The Theory of

Reasoned Action) | 84

•Proses Pembuatan Keputusan Pembelian Konsumen | 87

(15)

xv

•Faktor Budaya Memengaruhi Perilaku Konsumen | 98

•Kandungan Budaya Mempengaruhi Perilaku Konsumen | 100

•Bagaimana Budaya Mempengaruhi Perilaku Manusia dan Proses Mental | 106

•Pengaruh Budaya Linguistik Terhadap Perilaku Konsumen | 108

•Kepuasan Konsumen dan Nilai Konsumen | 111 •Kepuasan Konsumen dan Kebahagiaan

Konsumen | 113

•Perbedaan Konseptual Antara Kepuasan •Konsumen dengan Nilai Konsumen | 114 •Simpulan | 116

IV. PRODUK | 117

•Tingkatan Produk dan Hierarki Nilai Konsumen | 119

•Produk Klasifikasi | 121 •Hierarki Produk | 122

•Klasifikasi Produk Konsumen | 123

•Faktor Penting Produk yang Mempengaruhi Daya Saing di Pasar | 127

•Daur Hidup Produk (Product Life Cycles) dan Strategi Pemasaran | 130

•Implikasi Daur Hidup Produk bagi Manajemen Pemasaran | 135

•Pengembangan Produk Baru sebagai Upaya Mempertahankan Daya Saing Pasar | 138 •Teori-teori yang Relevan Terhadap Pengembangan Produk Baru | 141 •Kreativitas Sumber Pengembangan Produk Baru | 145

•Kebutuhan untuk Strategi Inovasi Produk Bagi Keunggulan Bersaing Perusahaan | 148 •Simpulan | 151

(16)

xvi

V. PEMASARAN JASA | 153

•Apakah Pelayanan itu? | 155

•Neraca Kesatuan Pasar (The Scale of Market

Entities) | 156

•Perbedaan Dasar Antara Barang dan Pelayanan | 158

• Delapan Komponen Manajemen Pelayanan Terpadu | 162

• Kerangka Kerja Pengalaman Pelayanan:

The Servuction Model | 164

• Rantai Nilai Pelayanan (Service Value Chain) | 167

VI. KONSEP KESEIMBANGAN MENUJU KEBAHAGIAAN | 169

• Parahyangan: Harmonisasi antara Manusia dengan Tuhan | 171

• Palemahan: Harmonisasi antara Manusia dengan Alam | 173

• Pawongan: Harmonisasi antara Sesama Manusia | 175

• Simpulan | 178

VII. TRI HITA KARANA DALAM PERSPEKTIF PEMASARAN | 179

• Tri Hita Karana Perwujudan Nilai Universal Warisan Budaya | 179

• Tri Hita Karana dari Perspektif Pemasaran Abad ke-21 | 180

• Nilai-Nilai Kearifan Lokal Tri Hita Karana dalam Konteks Kehidupan Sosial | 185

• Kearifan Lokal Bali | 188

• Yadnya sebagai Sebuah Kearifan Lokal Bali | 193 • Klasifikasi Pelebon dalam Makna Laku Ritual, Tradisi dan Budaya | 198

• Upacara Piodalan di Pura Gunung Lebah Ubud | 203

(17)

xvii

• Manfaat Sosial-Kemasyarakatan dan Ekonomi dari Pelaksanaan Yadnya | 207

• Simpulan | 210

VIII. DIFERENSIASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL | 211

• Pengantar | 211

• Nilai - Nilai Kearifan Lokal dalam Kehidupan | 212 • Artefak | 212

• Sakral | 212

• Bangunan Pura | 213 • Banten | 218

• Gamelan | 221

• Wadah (Bade), Lembu dan Naga Bande | 225

• Barong Sakral Manifestasi Alam Semesta | 233

• Tarian | 242 • Profan | 243 • Puri Ubud | 243

• Bangunan Bale Banjar | 253

• Pasar Tradisional Desa Ubud Ruang Interaksi Sosial dan Ekonomi Penduduk Desa Hingga Wisatawan dari

Berbagai Negara | 257 • Hutan Monyet Ubud | 257 • Museum | 258

• Museum Puri Lukisan | 259 • Museum Puri Lukisan sebagai Wadah Konsevasi Tradisi | 260 • Museum Marketing 3.0 | 264 • Museum Neka | 267 • Museum ARMA | 267 • Museum Blanco | 268 • Galeri | 268 • Kuliner | 269

(18)

IX. RAJUTAN BUDAYA LOKAL MEMBANGUN TAKSU MENUJU KEUNGGULAN DAYA SAING YANG BERKELANJUTAN | 326

• Pengantar | 326

• Yadnya Membangun Taksu Ubud | 327 • Tri Hita Karana (THK) Membangun Taksu Ubud | 331

• Hotel, Taksu dalam Industri Akomodasi di Ubud | 271

• Royal Pitamaha Hotel, Menghadirkan Taksu di Atas tanah Ber‘taksu’ | 274 • Pemilihan Lokasi Hotel | 279

• Rancang Bangun Dikerjakan

Kontraktor dengan Gambar Keunikan Seorang Undagi | 283

• Sistem Sosial Masyarakat Ubud | 289 • Sistem Nilai Masyarakat Ubud | 292 • Sektor Jasa Pariwisata dan Kepuasan Pelanggan | 294

• Diferensiasi Merek Jasa Pariwisata | 298 • Praktik Kearifan Lokal dan Tantangan Pariwisata | 300

• Perpaduan Kearifan Lokal dengan Budaya Luar | 300

• Praktik Kearifan Lokal: Penentuan Tarif Kamar Hotel | 301

• Praktik Kearifan Lokal: Sumber Daya Manusia | 303

• Praktik Kearifan Lokal: Tanggapan Tamu Hotel | 306

• Praktik Kearifan Lokal: Harmonisasi Sekala-Niskala | 311

• Praktik Kearifan Lokal: Hasil dari Proses | 313 • Tantangan Pariwisata Bali |317

• Kearifan Lokal Sebagai Landasan Berbisnis | 323 • Simpulan | 325

(19)

• Taksu Sebuah Keunikan | 335

• Model Keunggulan Bersaing Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal | 337

• Simpulan | 340

X. BUDAYA LOKAL DAN MARKETING | 341

• Pengantar | 341

• Universal Budaya Lokal | 341 • Keunikan Spiritualitas Budaya lokal pada Pemasaran | 343

• Hubungan Antar Manusia Dan Pemasaran | 345

• Artefak pada Pemasaran | 346 • Simpulan | 347

XI. MARKETING 3.0 DALAM PEMASARAN UBUD | 349

• Marketing 3.0 Ideologi Kearifan Lokal dalam Perubahan dan Kemajuan | 349 • Ubud Poros Tempat Musem 3.0 dalam Komparasi Marketing 3.0 Korporasi & Marketing 3.0 Korporasi

& Karketing 3.0 Kearifan Lokal | 351 • Museum Marketing 3.0 Sebagai Wadah Konservasi Budaya | 355

• Marketing 3.0 Empiris dalam Terapan | 362

XII. SIMPULAN | 365

• Marketing Modern | 365

• Marketing Tradisional | Kearifan Lokal | 370 • Komparasi Marketing Modern dan

Marketing Tradisional (Kearifan Lokal) | 371

• PROFILE PENULIS | 374 • DAFTAR PUSTAKA | 381

(20)
(21)

Budaya sama dengan pemasaran merupakan ungkapan yang merujuk pada perilaku manusia dalam melakoni sebuah kehidupan di dunia. Dua sumber sebagai dasar dalam meramu ungkapan ini yaitu berorientasi pada diri manusia dan di luar diri manusia. Dua sisi ini juga di istilahkan dengan konsep vertikal dan horizontal. Vertikal memaknai sebuah perilaku kehidupan manusia yang bukan saja berorientasi pada kebutuhan dan keinginan manusia melainkan lebih luas seperti berorientasi pada lingkungan yang memunculkan “pemasaran hijau” dan memuliakan Tuhan dalam bentuk bakti melalui proses ritual persembahan secara tulus ikhlas (yadnya). Sedangkan konsep hubungan horizontal berpusat pada pemahaman perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan dalam mencapai sebuah kepuasan.

Bidang pemasaran saat ini, upaya membawa nilai-nilai produk ke hadapan konsumen merupakan proses penting yang tidak dapat diabaikan. Dikatakan demikian, karena kepentingan yang dibangun dalam pemasaran memiliki tujuan akhir, yakni kepuasan konsumen. Kepuasan terefleksikan lewat kedatangan konsumen berkali-kali untuk menikmati nilai- nilai yang terkandung pada sebuah produk, sehingga hubungan antara konsumen dan produk dapat dengan jelas dianalisis dari berbagai perspektif. Budaya konsumen yang tidak lain adalah budaya masyarakat merupakan salah satu perspektif yang dapat digunakan sebagai ukuran untuk melihat keberlangsungan sebuah produk. Buku ini mencoba menjelaskan hal itu dari dua sudut pandang, yakni pertama melalui sudut pandang pemasaran modern yang menjelaskan bahwa perusahaan harus mampu mentransformasikan nilai-nilai sumber daya yang dimiliki kepada konsumen agar memiliki nilai bagi konsumen. Untuk mentransformasikan

1

PENDAHULUAN

PERAN BUDAYA LOKAL DALAM

PEMASARAN GLOBAL

(22)

nilai-nilai sumber daya perusahaan dijelaskan melalui perilaku konsumen dan produk yang dihasilkan perusahaan. Sudut pandang kedua, yaitu sudut pandang dari budaya lokal yang didasari kajian empiris dengan mengambil situs penelitian di Ubud. Pada sub pembahasan dijelaskan konsep budaya keseimbangan tiga dimensi yang terdiri atas harmoni dengan Tuhan, harmoni dengan manusia, dan harmoni dengan alam. Implementasi budaya keseimbangan ini menciptakan spirit atau taksu sebagai pembeda Ubud dengan daerah lain sehingga Ubud ajeg sampai sekarang.

Ketulusan masyarakat dalam menjalankan konsep keseimbangan yang dikemas dalam aktivitas budaya, ritual, seni memberikan nilai tersendiri bagi para wisatawan yang datang ke Ubud. Hal ini dijelaskan dari catatan tamu yang

Tjokorda Gede Agung Sukawati sebagai peletak utama pariwisata Ubud

(23)

penulis kumpulkan, yang mencerminkan pelayanan yang dibangun dengan kedekatan Tuhan, manusia, dan alam mampu memberikan kepuasan konsumen dan dapat sebagai strategi bersaing. Sisi lain juga dijelaskan bahwa melalui ketulusan masyarakat menjalankan budaya keseimbangan tiga dimensi (Tri Hita Karana) memberikan daya tarik bagi para wisatawan yang berkunjung ke Ubud, sehingga konsep ketulusan memberikan warna dalam membangun konsep marketing modern.Pewarnaan konsep marketing modern melalui budaya lokal yang berserakan di Indonesia dapat digunakan sebagai landasan untuk merajut sebuah strategi dalam memainkan peranan di pasar global.

Untuk mewujudkan kondisi ini diperlukan spirit dan keberanian dalam menyinergikan warisan budaya yang telah ada di tiap-tiap daerah, sehingga akan memunculkan sebuah inovasi yang menguatkan daya saing daerah. Salah satu bentuk nyata aplikasi marketing modern dengan budaya lokal, yaitu budaya Tri Hita Karana melalui inspirasi penulis, Bapak Hermawan Kertajaya, dan Bapak Philips Kotler di bangun museum Marketing 3.0 yang berlokasi di Museum Puri Lukisan Ratna Warta di Ubud.

Penulis menyadari implementasi budaya yang adiluhung memberikan persepsi yang berbeda-beda bagi setiap orang, sehingga diperlukan kesadaran yang tinggi serta kematangan dalam pola berpikir, berkata dan berbuat dalam pemaknaannya. Hadirnya buku ini merupakan refleksi perjalanan penulis dalam menjalankan bisnis maupun bermasyarakat di Ubud khususnya dan di Bali pada umumnya. Budaya Tri Hita Karana mendorong penulis untuk berbuat lebih inovasi dalam memberikan pelayanankepada masyarakat ditataran desa dan menjaga kepuasan konsumen menuju kebahagiaan dalam dunia bisnis. Buku ini jauh dari sempurna sehingga diperlukan masukan dan kritikan yang bersifat penyempurnaan dari para pembaca. Pada kesempatan yang penuh makna ini penulis mengaturkan ucapan terima kasih bagi semua pihak yang berkontribusi atas terwujudnya sebuah bacaan yang berangkat dari rajutan budaya lokal menuju global.

(24)

Marketing sebagai salah satu fungsi manajemen

yang berhubungan dengan konsumen telah mengalami perkembangan yang sangat pesat di era globalisasi ini. Definisi

marketing yang paling sederhana adalah mengelola hubungan

konsumen yang menguntungkan bagi perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing di era globalisasi adalah perusahaan yang memiliki fokus yang sangat kuat kepada konsumen atau perusahaan yang menempatkan konsumen dalam agenda utama di setiap keputusan penting perusahaan. Perusahaan yang sukses mencapai keunggulan bersaing, memiliki komitmen kuat terhadap konsumen. Perusahaan memiliki hasrat yang sangat kuat untuk memahami dan memuaskan kebutuhan konsumen dalam pasar sasaran yang terdefinisi dengan baik. Perusahaan memotivasi setiap karyawan dalam organisasi untuk membangun hubungan konsumen yang abadi berdasarkan penciptaan nilai.

Era globalisasi pasar yang ditandai dengan tuntutan konsumen yang semakin besar terhadap produk berkualitas tinggi dengan harga yang relatif bersaing di tengah-tengah lingkungan bisnis yang sangat kompetitif mengharuskan perusahaan untuk senantiasa mengakomodasi perubahan permintaan konsumen dan secara cepat beradaptasi dengan perubahan lingkungan pemasaran. Karakteristik lingkungan pemasaran di era globalisasi ditandai dengan daur hidup produk yang lebih pendek dan munculnya produk substitusi yang mampu mengganti fungsi produk utama sebagai akibat dari kemajuan teknologi, membuat pemasar di era globalisasi harus mampu menciptakan nilai konsumen dengan membangun hubungan konsumen yang abadi, sebagai strategi penting untuk mempertahankan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage).

Perubahan lingkungan pemasaran yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi serta

2

PEMASARAN DI ERA

(25)

transportasi mengubah landscape pemasaran dari fragmentasi pasar ke pemasaran masif, kemudian menuju pemasaran segmentasi. Perubahan ini mengarahkan pemasar untuk mempertimbangkan ruang dan waktu absolut ketika melakukan transaksi pemasaran. Kemajuan internet menawarkan pengalaman berbelanja 24 jam kepada konsumen secara virtual dan memunculkan berbagai peluang pemasaran e-commerce seperti belanja online dengan harga yang lebih murah.

Perubahan ini juga dipercepat oleh pasar sasaran yang lebih canggih melalui berbagai macam media. Konsumen dibiasakan dengan berbagai cara perusahaan membangun hubungan dengan mereka, seperti melalui: internet, televisi, mobile phone, bilboard dan microchip yang dipasang pada

produk. Fragmentasi pasar terjadi karena segmen pasar

tidak bisa didefinisikan secara jelas, dengan kemampuan konsumen yang secara terus menerus menata preferensinya sebagai konsekuensi dari pilihan produk yang lebih besar, berhubungan dengan komunikasi terus menerus yang lebih cepat, memungkinkan konsumen tidak pasti memilih produk, dan pasar yang tersebar dapat diakses oleh konsumen secara global. Fragmentasi ini memungkinkan individu konsumen mempertahankan kontak virtual dengan pasar global secara elektronik, membebaskan individu dari kontak sosial tetapi pada saat yang sama meningkatnya konsentrasi ego meningkatkan permintaan produk yang dibuat secara khusus dan unik untuk memenuhi permintaan konsumen di pasar.

PEMASARAN ABAD KE-21

Kemampuan perusahaan untuk meraih dan mempertahankan keunggulan bersaing yang berkelanjutan pada abad ke-21 ini sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting seperti: analisis yang mendalam terhadap lingkungan pemasaran global, evaluasi yang mendalam terhadap perubahan perilaku konsumen, formulasi strategi bersaing yang efektif dan pentingnya budaya dan desain organisasi.

Menurut Kotabe & Helson (2010:2) globalisasi pemasaran di abad ke-21 dipicu oleh beberapa faktor strategis

(26)

dalam lingkungan pemasaran yang telah mengalami perubahan secara fundamental sejak tahun 1980. Beberapa faktor strategis yang telah mengubah arena bersaing pemasaran di era globalisasi ini adalah: (1) kejenuhan pasar domestik, (2) munculnya pasar baru di negara yang perekonomiannya sedang tumbuh dan berkembang (emerging market), (3) persaingan global, (4) revolusi internet dan (5) munculnya perusahaan global. Pertama, kejenuhan pasar domestik di negara-negara industri telah memaksa banyak perusahaan untuk mencari peluang pasar di luar batasan negaranya. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi di negara-negara yang sedang berkembang memberikan dorongan bagi perusahaan untuk membuka berbagai cabang di luar negeri. Beberapa perusahaan seperti: Samsung dan Hyundai dari Korea Selatan, atau Cemex dari Mexico telah menyerang ke negara-negara maju di seluruh dunia. Logika sebaliknya juga terjadi pada perusahaan-perusahaan di negara-negara maju yang menyerang pasar di seluruh negara dengan perekonomian yang sedang berkembang. Seperti masuknya Dôme Coffee dari perusahaan raksasa kopi Australia yang membangun kerajaan toko kopi di seluruh kawasan Asia dan Timur Tengah, bersaing dengan Starbuck dari Amerika, telah menciptakan persaingan bisnis yang sangat tajam untuk meraih dominasi pasar.

Kedua, selama abad ke-20 dominasi perdagangan dunia sebagian besar terletak di jalur segi tiga dunia, yaitu: Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang yang secara kolektif

menghasilkan 80% GDP dunia dengan jumlah populasi

hanya 20% dari populasi dunia. Namun, 10 sampai 20 tahun kemudian, peluang pemasaran dunia bergeser ke negara-negara dengan perekonomian yang sedang tumbuh dan berkembang pesat yang meliputi kawasan Asia-Pasifik yang saat ini telah menjadi penggerak ekonomi dunia dan menjadi pusat gravitasi perdagangan dan investasi yang paling menarik di dunia. Negara-negara yang termasuk dalam BRIC (Brasil, Rusia, India dan Cina) akan menjadi pasar sekaligus pesaing baru dalam arena persaingan bisnis dunia. Tingkat pertumbuhan GDP riil Cina 20 tahun yang lalu secara rata-rata berkisar

(27)

sebesar 9,5% per tahun, sementara India hanya 5,7% per tahun, saat ini telah meningkat lebih dari 50% dibandingkan GDP riil Amerika yang hanya sebesar 3% per tahun. Indikator ini menunjukkan bahwa milenium ekonomi dunia telah berubah secara signifikan selama dua dekade dan tingkat persaingan usaha yang akan semakin kompetitif yang akan muncul dari negara-negara dengan perekonomian yang sedang tumbuh dan berkembang menggeser jalur segi tiga ekonomi perdagangan dunia.

Ketiga, 30 tahun yang lalu pabrik mobil terbesar di dunia adalah General Motor, Ford dan Chrysler yang menguasai 15% pasar automotif di Amerika Serikat. Saat ini, perusahaan seperti: Toyota, Honda, Hyundai, BMW dan Renault berdiri sebagai pesaing dalam pasar mobil global. Pangsa pasar Toyota saat ini di Amerika Serikat telah mencapai 14% melebihi General Motor dan pada 2008 hasil produksi Toyota di seluruh dunia melebihi General Motor dan menjadi perusahaan pembuat mobil terbesar di dunia. Hal yang sama terjadi dalam industri komputer di mana IBM yang sebelumnya mendominasi pasar PC dunia, kini pasar komputer diramaikan oleh Dell, Hewlett Packard (HP) dari Amerika, Sony dan Toshiba dari Jepang, Samsung dari Korea danAccer dari Asia. Persaingan global telah menggeser pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang sebelumnya telah berdiri kokoh di pasar dengan munculnya pendatang baru yang lebih efisien dan lebih hebat memunculkan persaingan hiper kompetisi.

Keempat, perkembangan pesat dunia internet dan e- commerce yang telah mejelajah dunia. Jumlah pengguna internet di seluruh dunia pada 2008 telah mencapai 1,4 milyar orang di seluruh dunia atau meningkat tiga kali lipat dibandingkan pada 2000. Menurut data Internet World Stat, 41,2% pengguna internet berasal dari negara Asia, yang diikuti 24,6% berasal dari Eropa dan 15,7% dari Amerika Utara. Pada saat yang sama, pengguna internet di Asia dan wilayah Caribbean masing-masing tumbuh sebesar 475% dan 861%. Perkembangan dunia internet telah mendorong tumbuh pesatnya perkembangan perdagangan e-commerce dan

(28)

mengubah cara-cara orang dalam melakukan bisnis. Business to consumers (B2C) e-commerce dan business to business (B2B) e-commerce meningkat pesat dengan distribusi geografik secara global hampir merata. Meningkatnya kebebasan arus barang dan jasa, modal, orang dan teknologi, dibarengi dengan cepatnya perkembangan teknologi telah berdampak terhadap ledakan global B2B e-commerce. Pangsa pasar negara-negara yang kemungkinan akan menerima ledakan global B2B e-commerce akan bergantung pada beberapa faktor seperti: tingkat pendapatan, ukuran populasi, ketersediaan fasilitas pembiayaan, infrastruktur, telekomunikasi, pajak dan insentif lain dan peraturan pemerintah yang bisa mempengaruhi investasi perusahaan dibidang R&D.

Kelima, perusahaan-perusahaan global juga mendorong sengitnya persaingan global. Persaingan ini paling jelas terlihat dalam industri teknologi informasi. Persaingan antara industri komputer PC antara IBM dengan Toshiba, Sony dari Jepang membuat kedua perusahaan raksasa global ini mengalami penurunan pangsa pasar yang sangat tajam dan daur hidup produk yang lebih pendek dan penurunan tingkat profitabilitas dari masing-masing perusahaan dan membuat masing-masing perusahaan harus mengubah strategi bersaingnya.

Demikian pula dengan industri mobil yang juga mengalami hal yang sama antara Ford, General Motor dari Amerika dengan pesaing dari Jepang dengan Toyota, Nissan dan Honda atau masuknya pesaing industri mobil Eropa seperti Renault, Mercedes dan BMW. Perusahaan raksasa global ini juga menyadari bahwa kompetisi yang keras hanya akan melahirkan strategi win-lose strategy perusahaan global ini mulai menyadari pentingnya melakukan aliansi strategis untuk menciptakan win-win strategy dengan membangun kerja sama yang saling menguntungkan di antara global bisnis, seperti kerja sama perusahaan Sony, Toshiba dari Jepang dengan IBM dari Amerika dalam pembuatan prosesor semikonduktor canggih secara bersama sama. Hal yang sama juga terjadi dalam industri automotif seperti akuisisi strategis 38,6% Renault dari Prancis terhadap saham Nissan Motor dari Jepang

(29)

memungkinkan perusahaan ini untuk melakukan kerja sama produksi mobil secara lebih efisien.

Faktor pemasaran penting lainnya yang juga memberi pengaruh sangat signifikan terhadap daya saing dan keunggulan bersaing yang berkelanjutan dalam persaingan usaha pada abad ke- 21 adalah perilaku konsumen, pola perilaku konsumen harus menjadi perhatian serius dari para pemasar di era global ini, karena menentukan besarnya tingkat konsumsi suatu produk. Perilaku konsumen mencerminkan totalitas keputusan konsumen yang berhubungan dengan perolehan, penggunaan dan pembuangan barang, jasa, aktivitas, pengalaman, orang dan gagasan oleh unit yang membuat keputusan. Perilaku konsumen tidak hanya berarti sebagai cara konsumen dalam membeli produk, tetapi juga bagaimana cara konsumen menggunakan jasa, aktivitas, pengalaman dan gagasan untuk memuaskan keinginannya.Menurut Hoyer and MacInnis (2010:5), perilaku konsumen adalah sebuah proses dinamis yang melibatkan banyak orang dengan berbagai keputusan, dengan melibatkan faktor rasa. Memahami cara-cara bagaimana konsumen membeli sangat penting bagi pemasar yang berhubungan

dengan cara memperoleh, menggunakan, dan membuang

produk, karena berpengaruh signifikan terhadap loyalitas konsumen dan keunggulan bersaing yang berkelanjutan bagi perusahaan di masa depan. Perilaku konsumen adalah proses dinamis yang menyangkut rangkaian perolehan, penggunaan dan pembuangan produk bisa terjadi sepanjang waktu: jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Sebagai ilustrasi, misalnya sebuah keluarga berkeinginan untuk membeli sebuah produk, maka si pemakai akan memberikan informasi kepada keluarganya apakah produk itu baik, handal dan berkualitas dan tidak merusak lingkungan, maka akan banyak informasi tentang produk tersebut yang harus dipertimbangkan sebelum menentukan keputusan untuk membeli suatu produk. Seluruh pasar didesain di sekitar rangkaian suatu keputusan penggunaan dan penempatan produk oleh konsumen terhadap keputusan perolehan produk oleh konsumen sehingga merupakan suatu rangkaian keputusan yang dinamis.

(30)

Perilaku konsumen tidak sepenuhnya mencerminkan tindakan pribadi konsumen tersebut. Kelompok seperti: teman, sahabat dan keluarga bisa mempengaruhi keputusan pembelian, di samping itu individu yang terlibat dalam perilaku konsumen dapat mengambil lebih dari satu peran. Misalnya, pembelian suatu produk bisa melibatkan satu atau lebih keluarga yang berperan sebagai pengumpul informasi dengan melakukan pencarian informasi yang berbeda tentang produk yang diinginkan, sedangkan individu yang lain bisa berfungsi sebagai pemberi pengaruh yang mendorong proses pembelian produk, dan individu lainnya juga bisa berfungsi sebagai pembeli atau juru bayar. Perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh emosi. Beberapa studi empiris (Johnson and Stewart, 2004; Bagozzi et al., 1999) menunjukkan bahwa emosi positif dan negatif, serta emosi tertentu seperti: harapan, takut, penyesalan, rasa bersalah dan rasa malu serta suasana hati bisa mempengaruhi cara bagaimana konsumen berpikir, membuat pilihan, apa yang mereka lakukan setelah membuat keputusan, apa yang mereka ingat, seberapa banyak mereka menikmati pengalaman. Emosi seperti rasa cinta dan kasih sayang, bisa menjelaskan bagaimana kita merasakan kepemilikan suatu produk atau brand tertentu. Konsumen juga sering menggunakan produk untuk mengatur perasaan dan suasana hatinya. Para peneliti juga mempelajari bagaimana emosi karyawan di bagian pelayanan dari lubuk hatinya bisa mempengaruhi emosi konsumen. Para peneliti juga telah mempelajari bagaimana konsumen mengatasi pilihan sulit dan susunan barang dan jasa yang melimpah yang harus dipilih. Bagaimana konsumen menggunakan barang dan jasa untuk mengatasi hal-hal sulit ketika mengalami stress atau perasaan tertekan seperti: terjangkit kanker ganas yang mematikan. Perilaku konsumen tidak saja dipengaruhi oleh bagaimana aktivitas konsumen seperti: membeli, menggunakan dan membuang produk dipengaruhi oleh respons konsumen seperti: mental, emosi dan perilaku yang akhirnya berpengaruh terhadap kinerja bisnis.

(31)

Perilaku konsumen memiliki dimensi yang lebih luas dari hanya sekedar aktivitas konsumen yang meliputi: membeli, menggunakan dan membuang produk, tetapi termasuk respons konsumen seperti: respons emosi, mental dan perilaku. Perilaku konsumen dalam dimensi yang lebih luas pada hakikatnya adalah sinergi dari aktivitas konsumen dengan respons konsumen (Kardes et al., 2011:8). Dimensi aktivitas konsumen terdiri dari beberapa faktor yang meliputi, membeli, menggunakan dan membuang produk adalah hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari para pemasar agar perusahaan dapat meningkatkan daya saing perusahaan di pasar, karena pengelompokan aktivitas konsumen berdasarkan jenis aktivitas sangat penting, karena respons konsumen terhadap stimulan bisa berbeda bergantung pada bagaimana mereka membeli, menggunakan dan membuang produk tertentu.

Aktivitas pembelian adalah aktivitas bagaimana konsumen memperoleh barang dan jasa. Aktivitas pembelian juga termasuk segala sesuatu yang dilakukan yang mengarah kepada pembelian barang dan jasa oleh konsumen, seperti mengumpulkan dan mengevaluasi informasi, memilih di mana akan membeli, metode pembelian serta jasa tambahan yang diinginkan. Faktor-faktor unik lain seperti: situasi, suasana, desain, alasan pembelian dan banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk membuat keputusan pembelian berpengaruh penting terhadap dorongan aktivitas pembelian konsumen. Aktivitas penggunaan menjelaskan di mana, kapan dan bagaimana konsumen melakukan konsumsi. Sedangkan

aktivitas pembuangan produk adalah cara konsumen

menyingkirkan produk setelah di konsumsi termasuk mencampakkan produk, daur ulang, penggunaan kembali

dan penjualan kembali. Respons konsumen menyangkut

aktivitas psikologis konsumen yang berhubungan dengan cara bagaimana konsumen membuat keputusan pembelian terhadap stimulus pemasaran yang menyangkut faktor-faktor, seperti: respons emosional, mental dan perilaku, berpengaruh penting terhadap perilaku konsumen. Terutama dalam kaitannya

(32)

dengan membuat keputusan untuk membeli atau menggunakan produk, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari pemasar, karena dapat meningkatkan daya saing perusahaan di pasar. Respons emosional sering juga disebut respons afektif, mencerminkan emosi konsumen, perasaan dan suasana hati. Respons mental sering juga disebut respons kognitif, meliputi: proses berpikir konsumen, pendapat, keyakinan, sikap dan keinginan tentang produk. Respons mental bisa bersifat evaluatif karena berhubungan dengan keputusan yang menyangkut pertimbangan nilai. Terakhir adalah respons perilaku yang termasuk keputusan dan tindakan jelas konsumen selama aktivitas pembelian penggunaan dan pembuangan produk.

Fenomena pemasaran menarik lainnya yang menjadi tren pasar pada saat ini adalah masuknya psikologi sosial menjadi salah satu faktor yang berpengaruh penting dalam menentukan perilaku konsumen. Psikologi sosial mampu memberikan penjelasan teoritik yang lebih dalam tentang bagaimana, perilaku, rasa, emosi dan pikiran konsumen dalam situasi sosial tertentu, mempengaruhi keputusan pembelian. Menurut Baron & Branscombe (2012:5), psikologi sosial didefinisikan sebagai the scientific field that seeks to understand the nature and causes of individual behavior, feelings, and thought in sosial situations. Dengan kata lain, sosial psychology investigates the ways in which our thoughts, feelings, and actions are influenced by the sosial environments in which we live—by other people or our thoughts about them. Psikologi sosial terikat secara mendalam dengan nilai-nilai: akurasi, objektivitas, skeptisme dan keterbukaan pikiran dengan menggunakan nilai- nilai tersebut untuk memahami sifat perilaku sosial.

Studi Wânke (2009:7) menunjukkan bahwa beberapa aspek psikologi sosial berhubungan erat dengan stimuli dan perilaku konsumen. Menurut Wânke (2009), keputusan konsumen bisa terjadi di mana-mana. Konsumen membuat keputusan secara terus menurus tanpa memperhatikan ruang dan waktu, bahkan sebagian besar dari keputusan konsumen sehari-hari tidak melibatkan keputusan yang memerlukan logika rumit, melainkan hanya keputusan yang biasa-biasa

(33)

saja tanpa melibatkan banyak pertimbangan, misalnya seseorang akan mengikuti fitness atau olah raga sepak bola, menonton film di bioskop dilakukan tanpa membutuhkan pertimbangan dan pemikiran serius. Menjadi peserta BPJS untuk pemeliharaan kesehatan atau memakan makanan menu pelengkap, seperti buah untuk menjaga kebugaran merupakan beberapa contoh bahwa sebagian besar keputusan konsumen sehari-hari adalah keputusan yang hanya biasa-biasa saja, tetapi memiliki konsekuensi penting terhadap konsumsi dan pembelian produk. Di samping itu pula, kebanyakan perilaku konsumen sehari-hari juga tidak membutuhkan keputusan yang disengaja, perilaku tersebut lebih merupakan kebiasaan. Keseharian konsumen sebagian besar diisi dengan keputusan- keputusan kecil yang tak terhitung jumlahnya atau merupakan konsekuensi dari keputusan sebelumnya.

Pilihan konsumen terhadap produk bertujuan untuk mengisi fungsi identitas sosial. Meskipun sebagian besar orang menjadi konsumen bukan menjadi tujuan utama dari identitas dirinya, namun demikian kebanyakan keputusan konsumen terkait dengan relevansi identitas dirinya yang sejauh ini berhubungan dengan sekumpulan nilai dan keyakinan, dan mengungkapkan aspek penting dari ekspresi dirinya. Beberapa contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari konsumen, misalnya mengendarai mobil bergengsi super car seperti: Ferari, Lamborghini, Porsche, Mercedes Benz untuk menunjukkan identitas bahwa si pengendara adalah orang berkelas yang secara ekonomis telah mencapai tingkat kemakmuran ekonomi sangat tinggi. Makan vegetarian merefleksikan bahwa konsumen memiliki perhatian terhadap masalah-masalah kesehatan dan gaya hidup (lifestyle). Berlibur di resort mewah di kepulauan Bermuda untuk menunjukkan identitas sosial si pelancong sebagai wisatawan jet set. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa perilaku konsumen terhadap produk atau brand tidak semata-mata untuk tujuan pemenuhan kebutuhan saja melainkan untuk menjaga aspek identitas diri konsumen tersebut (Olson and Mayo, 2000; Shavitt, 1990). Konsumen juga sering memandang produk sebagai refleksi dari dirinya

(34)

dalam arti yang lebih luas (Belk,1988). Misalnya, konsumen mengidentifikasikan dirinya dengan mobil kesayangannya seperti hobi merawat mobil tua seperti Volkswagen, Harley-Davidson Club atau kegemaran dengan mobil baru dengan merek terkenal seperti: Mercedes, BMW, Audi, Toyota dan Honda, atau memelihara binatang seperti: anjing dan kucing sebagai refleksi identitas dan ekspresi diri. Brand, produk dan kebiasaan konsumsi bukan hanya membangun konektivitas sosial tetapi juga sebagai simbol sosial. Pilihan konsumen mempengaruhi persepsi sosial. Merek dan produk tertentu yang dikonsumsi adalah bagian dari ekspresi sosial, tidaklah mengejutkan bahwa orang dinilai berdasarkan merek dan produk yang mereka gunakan. Studi (Shavitt and Nelson, 2000) menunjukkan produk dari fungsi identitas sosial digunakan sebagai dasar untuk menarik kesimpulan tentang sifat kepribadian dari targetnya. Misalnya, pilihan rokok atau makanan yang dikonsumsi semuanya menunjukkan pengaruh kesan sosial. Memakan makanan yang lebih sehat seperti vegetarian dipersepsikan lebih feminin dan secara umum dinilai lebih baik dari pada makan makanan junk food yang dinilai kurang sehat dan berisiko terhadap penyakit jantung (Vartanian, Herman, and Polivy, 2007). Rasa dan emosi (affective) terhadap perilaku konsumen. Konsumsi atau penggunaan barang dan jasa bisa memberikan rasa senang, puas, sedih, frustrasi atau gembira. Misalnya, banyak orang mengungkapkan rasa senang atau puas ketika tim sepak bola kesayangannya menang atau menundukkan lawannya dengan skor telak. Banyak orang sedih dan prihatin ketika menyaksikan di layar televisi serangan teroris mematikan 9 September 2001 terhadap dua menara kembar WTC di Amerika Serikat. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa rasa dan emosi memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap perilaku konsumen. Studi (Botti and Iyengar, 2004) menunjukkan bahwa konsumen merasa senang ketika terdapat kebebasan memilih terhadap produk dengan lebih banyak pilihan.

Studi (Huffan & Kahn, 1998), konsumen merasa bingung dengan banyaknya pilihan produk. Studi (Chernev,

(35)

2003), konsumen merasa frustrasi terhadap pilihan yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan tertentunya. Hubungan konsumen memberikan interaksi sosial yang unik. Kita jarang menciptakan hubungan yang dalam dan bermakna dengan konsumen. Hubungan konsumen memberikan banyak interaksi sosial sepanjang hari, interaksi ini adalah sumber pengalaman emosi. Misalnya, senyum, keramahan, atau keluhan terhadap pelayanan sebuah hotel berbintang terhadap wisatawan yang menginap di hotel adalah beberapa contoh bagaimana interaksi konsumen dapat menciptakan suasana senang, dihormati, dihargai atau bernilai. Tantangan utama dalam mengelola konsumen pada lingkungan pemasaran yang kompleks dan kompetitif di era globalisasi ini adalah penerapan strategi pemasaran yang efektif. Efektivitas strategi pemasaran sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen untuk menyesuaikan sekumpulan sumber daya dan kemampuan unik atau kompetensi utama (corek competence) dengan lingkungan pemasaran yang senantiasa berubah. Organisasi berusaha untuk memaksimalkan retur kepada para pemegang saham dengan menciptakan keunggulan bersaing dengan mengidentifikasi memberikan, mengkomunikasikan dan memberikan nilai kepada konsumen atau dalam pengertian yang lebih luas adalah proses membangun hubungan konsumen yang saling memuaskan dengan konsumen (Bradley, 2003:2).

Keunggulan bersaing perusahaan pada dasarnya adalah kemampuan perusahaan untuk mencapai tingkat pengembalian bagi para pemegang saham (return) melebihi rata-rata return dari industri di mana perusahaan tersebut beroperasi. Jika kemampuan untuk memperoleh return abnormal tersebut terjadi secara terus menerus dan berkesinambungan, ketika pesaing tidak mampu melakukannya, maka perusahaan dikatakan telah mencapai tingkat keunggulan bersaing yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage).

Perusahaan yang mencapai tingkat keunggulan bersaing yang berkesinambungan akan mampu secara terus menerus memberikan nilai bagi para steakholder: pemegang saham, masyarakat, konsumen, karyawan, kreditur dan supplier. Bagi

(36)

konsumen nilai tersebut merujuk kepada besarnya manfaat yang diperoleh dari konsumsi sebuah produk dibandingkan dengan biaya yang dikorbankannya. Dua penjelasan pada tingkat yang paling luas dalam literatur manajemen strategis yang menjelaskan tentang strategi keunggulan bersaing perusahaan yang masih relevan sampai saat ini adalah: (1) model keunggulan bersaing (I/O) Industrial-organisasi yang dikembangkan oleh Porter (1981) yang mendasarkan pada paradigma structure-conduct-performance (SCP) dari studi Bain (1956). (2) Model keunggulan bersaing berbasis sumber daya (resources base) yang dikembangkan oleh Barney (2007) yang mendasarkan model keunggulan bersaing perusahaan didasarkan pada kemampuan perusahaan untuk merespons kebutuhan konsumen secara efektif dan efisien sebagaimana yang dikemukakan oleh Demsetz (1973) dengan penjelasan teoritik yang mengambil teori harga neoklasik (Fross and Knudsen, 2003). Model 5 (lima) kekuatan dari Porter (1981) menjelaskan mengapa beberapa perusahaan secara terus-menerus mampu mencapai keunggulan bersaing, sedangkan perusahaan lainnya tidak mampu meraihnya bahkan sulit untuk bertahan. Berdasarkan model keunggulan bersaing dari Porter (1981), solusi keunggulan bersaing perusahaan ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam menganalisis 5 (lima) kekuatan dalam lingkungan industri, yaitu: (1) kekuatan pemasok, (2) kekuatan penawaran konsumen, (3) ancaman pendatang baru, (4) produk substitusi dan (5) tingkat persaingan yang ada pada saat ini di pasar.

Di samping kemampuan analisis yang akurat terhadap lingkungan industri pemasaran, keunggulan bersaing perusahaan ditentukan oleh ketepatan dalam menerapkan strategi keunggulan bersaing. Porter menganjurkan solusi bersaing dengan 3 (tiga) pilihan strategi untuk menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (sustainable

competitive advantage), yaitu: (1) strategi keunggulan biaya

(cost leadership), (2) Strategi keunggulan dengan diferensiasi (differentiation), (3) strategi fokus. Penjelasan teoritik model ini berfokus pada pengaruh kekuatan pasar (market power)

(37)

terhadap kemampuan perusahaan dalam meningkatkan harga jual produk di atas rata-rata pesaing, serta adanya hambatan masuk terhadap pendatang baru diberlakukan kepada konsumen sehingga berdampak terhadap perbedaan kinerja secara terus menerus.

Keberhasilan model keunggulan bersaing yang berkelanjutan dari Poter (1981) sangat ditentukan oleh kemampuan perusahaan secara cermat dalam memformulasikan rantai nilai (value chain) sebagai model bisnisnya. Analisis konfigurasi dari model bisnis rantai nilai ini membagi aktivitas perusahaan ke dalam 2 (dua) kategori aktivitas, yaitu: (1) aktivitas primer yang terdiri atas: logistik ke dalam, operasi, logistik keluar, pemasaran dan pelayanan. (2) aktivitas pendukung yang terdiri atas: pengadaan, pengembangan teknologi, sumber daya manusia dan infrastruktur.

Menurut pandangan teori berbasis sumber daya (resource based theory) yang berakar pada teori ekonomi Penrose (1959), serta teori strategi dari Ansoff (1965) dan Selznick (1957), keunggulan bersaing perusahaan dalam jangka panjang bergantung kepada: (1) sumber daya (resource) dan (2) kompetensi inti (core competence). Sumber daya inilah membedakan perusahaan dengan pesaing yang bersifat tahan lama, serta sulit ditiru dan tidak mudah digantikan (Grant, 1999; Fahy, 2000). Tiap-tiap perusahaan memiliki keunikannya tersendiri, dan keunikan ini berasal dari karakteristik sumber daya yang dimiliki, serta kemampuan, pengetahuan dan keahlian dalam menggunakan sumber daya menjadikan keunggulan bersaing mereka lebih tahan lama, karena sumber daya tersebut bersifat relatif tetap (Barney, 1991).

Sumber daya perusahaan pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu: (1) sumber daya berwujud dan (2) sumber daya yang tidak berwujud. Sumber daya berwujud adalah input yang masuk ke perusahaan yang bisa dilihat, diraba dan disentuh serta dihitung. Sumber daya ini, misalnya adalah: aktiva tetap seperti: pabrik dan peralatan, bahan baku, keuangan, karyawan yang terlatih,

(38)

keahlian, serta struktur organisasi perusahaan. Sedangkan sumber daya yang tidak berwujud meliputi faktor-faktor seperti: hak kekayaan intelektual, seperti: paten, merek dagang, hak cipta dan pengetahuan karyawan, jaringan kerja pribadi, budaya perusahaan (corporate culture) serta reputasi perusahaan (Deering et al., 2008).

Hal yang paling penting dalam memahami pengertian sumber daya yang tidak berwujud sebagai sarana untuk membangun keunggulan bersaing adalah terciptanya suasana harmonis yang penuh kedamaian di antara karyawan perusahaan dengan pimpinan yang dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal sebagai filosofi penuntun dari perusahaan. Suasana kedamaian tidak sama bagi setiap perusahaan yang bersaing. Suasana ini hanya dapat dirasakan, tetapi tidak terlihat secara kasat mata. Perusahaan yang mampu memberikan rasa aman, tenteram dan damai akan senantiasa mampu membangkitkan motivasi dan gagasan baru yang bermanfaat bagi peningkatan daya saing perusahaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh (Collis and Montgoemery, 2008) sumber daya yang tidak kelihatan lebih sulit untuk ditiru dan dipahami dari pada sumber daya yang berwujud.

Grant (1991) membagi kelompok sumber daya penting bagi keunggulan bersaing perusahaan menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu: fisik, teknologi, keuangan, manusia, organisasi dan reputasi. Namun demikian, teori berbasis sumber daya tidak mempertimbangkan semua sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan, tetapi hanya berfokus pada sumber daya penting atau strategis sebagai basis bagi model keunggulan bersaingnya. Beberapa studi (Prahalad and Hamel, 1994; Trott et al., 2009) telah mencoba untuk menguji tingkat kestrategisan dari sumber daya terhadap kemampuan perusahaan untuk menciptakan keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Pengujian tersebut meliputi: (1) Uji superioritas bersaing yang mengevaluasi apakah sumber daya khusus tertentu perusahaan memberikan kontribusi terhadap perbedaan perusahaan dengan pesaing. (2) Uji peniruan menganalisis tingkat kesulitan pesaing potensial dan aktual dalam meniru sumber daya, karena misalnya keunikan fisiknya,

(39)

keindahan alamnya, keramahan karyawannya, keharmonisan hubungan antara orang dengan alam, manusia dan Tuhan, kenyamanan serta suasana religius yang memberi vibrasi kedamaian dan ketenangan. (3) Uji durasi yang menganalisis apakah manfaat sumber daya unik pada saat ini memberi kontribusi positif terhadap keunggulan bersaing jangka panjang. (4) Uji ketepatan menguji apakah perusahaan yang memiliki sumber daya tersebut mampu memanfaatkan keunggulan sumber dayanya di pasar (5) Uji kemampuan substitusi yang menganalisis seberapa sulit pesaing mampu untuk mengganti sumber daya dengan alternatif lain yang mampu memberikan keunggulan yang sama.

Prinsip fundamental keunggulan bersaing teori berbasis sumber daya adalah peningkatan kemampuan perusahaan untuk bertindak, membentuk dan mentransformasi lingkungannya, jadi tujuan utamanya adalah tidak lagi beradaptasi terhadap kekuatan lingkungan, tetapi memilih strategi yang memungkinkan pemanfaatan terbaik dari kombinasi sumber daya yang dimiliki dan kompetensi utamanya terhadap peluang eksternal (Hollensen, 2010:30).

Keunggulan bersaing yang lebih besar dari model berbasis sumber daya ini muncul dari adanya kompetensi utama. Kompetensi utama menurut Hollensen (2010:31) dapat dijelaskan dari 3 (tiga) ciri utamanya, yaitu: (1) kompetensi karena kumpulan sumber daya unik perusahaan, (2) pembelajaran, kompetensi yang merupakan hasil dari akumulasi pengalaman selama bertahun-tahun di berbagai bidang di mana perusahaan mendominasinya, (3) multiplier effect, kompetensi yang menyebar dengan merembet ke seluruh sendi organisasi perusahaan dan ada dalam beberapa lini produk atau unit bisnis strategisnya. Kompetensi inti (core competence) sebagaimana yang diungkapkan secara jelas oleh Prahalad and Hamel (1990) memiliki 3 (tiga) sifat, yaitu: (1) menciptakan kontribusi terhadap nilai konsumen yang dirasakan, (2) sulit bagi pesaing untuk meniru, (3) dapat diangkat ke berbagai pasar yang lebih luas. Cardy and Salvajaran (2006) mengklasifikasikan kompetensi inti ke dalam 2 (dua) kategori yang lebih luas,

(40)

yaitu: (1) kompetensi personal dan (2) kompetensi perusahaan. Kompetensi alamiah personal yang dimiliki oleh individu masing-masing, termasuk karakteristik yang dimaksud seperti: pengetahuan, keahlian kemampuan, pengalaman dan kepribadian. Kompetensi yang perusahaan miliki dari organisasi adalah proses dan struktur yang tertanam dan cenderung menetap dalam organisasi tersebut, walaupun individu yang berkompetensi meninggalkan organisasi. Kedua kategori kompetensi ini tidaklah selalu independen satu sama lain melainkan bersinergi dalam lingkungan organisasi. Kumpulan dari kompetensi individu dapat membentuk cara melakukan sesuatu dalam organisasi secara lebih efektif dan mampu membentuk budaya perusahaan yang melekat dan tertanam dalam organisasi. Di samping itu pula, kompetensi perusahaan bisa menentukan jenis kompetensi pribadi yang paling cocok dengan organisasi

Menurut Hollensen (2010:33) model pendekatan lain yang juga tidak kalah menarik sebagai model bisnis untuk strategi keunggulan bersaing adalah model Market Orientation

View (MOV) atau sering juga disebut model kesesuaian (fit model). Model strategi MOV ini menyarankan agar perusahaan

membangun keunggulan bersaing dengan menyesuaikan asetnya terhadap kendala lingkungan di mana perusahaan beroperasi agar memperoleh kesesuaian dengan lingkungannya. Kohli & Jaworski (1990) menyebutkan market orientation view pada dasarnya adalah penyesuaian terhadap lingkungan pasar. Model orientasi pasar ini lebih bisa dipahami sebagai budaya, daripada sekumpulan perilaku dan nilai-nilai yang mendukung (Beverland

and Lindgreen, 2005). Market Orientation View (MOV) dapat

dipahami sebagai budaya dengan semua karyawan terikat kepada penciptaan nilai superior kepada konsumen secara terus menerus (Vesanen, 2007). Kelemahan utama dari model MOV ini adalah konsumen berbeda dari negara yang berbeda bisa menjadi bisnis model yang sangat mahal, dalam arti perusahaan bisa memperoleh konsumen yang sangat puas, tetapi melibatkan

biaya operasi untuk menciptakan nilai konsumen (customer value)ini juga sangat tinggi.

(41)

Perbedaan Utama antara RBV dan MOV

Faktor penting lainnya yang menjadi prinsip fundamental bagi keunggulan bersaing yang berkelanjutan perusahaan di era globalisasi adalah budaya dan desain organisasi. Menurut Schein (2010:7) budaya adalah sebuah abstraksi, tetapi kekuatan yang dihasilkan dalam situasi sosial dan organisasi yang berasal dari faktor budaya akan melekat sangat kuat. Jika kita tidak memahami operasi dari kekuatan ini, kita akan menjadi korban darinya. Kekuatan budaya menjadi sangat kuat, karena budaya beroperasi di luar kesadaran kita. Ketika banyak pimpinan dan eksekutif perusahaan berbicara tentang pengembangan “jenis budaya yang tepat”, “budaya kualitas” dan “budaya pelayanan konsumen” memberi makna bahwa pentingnya budaya dilakukan dan diterapkan dengan nilai tertentu yang para eksekutif ingin coba untuk diterapkan

INDIKATOR MARKET ORIENTASI VIEW RESOURCE BASE VIEW

Prinsip Dasar Analisis Strategis Proses Formulasi Sumber Keunggulan Adaptasi sum berdaya perusahaan terhadap kebutuhan dari lingkungan bersaingnya adalah faktor keberhasilan utamanya

Berpusat pada struktur industri dan sifat pasar Outside-in

Posisi pasar dalam hubungannya dengan lingkungan bersaing lokal Pencarian secara aktif terhadap lingkungan usaha yang memungkinkan eksploitasi terbaik. Menekankan kepada diagnosis internal. Inside-out Kumpulan sumber daya istimewa perusahaan dan kompetensi inti perusahaan.

Sumber: Hollensen (2010:34). “Marketing Management Relationship Approach 2nd Edition”.

(42)

dalam organisasi. Dengan kata lain bahwa budaya memiliki implikasi penting terhadap efektivitas kinerja organisasi atau perusahaan. Semakin kuat pengaruh budaya dalam organisasi akan semakin efektif organisasi dalam mencapai tujuannya, sehingga daya saing perusahaan di pasar juga akan meningkat.

Beberapa studi empirik seperti yang dilakukan oleh Wilderom, Glunk & Maslowski (2000) mendukung pandangan bahwa budaya yang kuat berpengaruh signifikan terhadap efektivitas organisasi. Dimensi nilai budaya tertentu berhubungan erat dengan kinerja ekonomi. Beberapa studi organisasi lintas budaya seperti yang dilakukan oleh Hofstede (2001), House et al. (2004) dan Trompenaar et al. (1998), menunjukkan bahwa budaya berpengaruh dalam menentukan efektivitas suatu organisasi sehingga mendorong terciptanya desain organisasi yang lebih baik, sehingga membuat perusahaan-perusahaan global mampu unggul dalam bersaing. Selanjutnya, Hofstede menjelaskan 5 (lima) dimensi nilai budaya dalam organisasi global yang menciptakan perbedaan budaya di antara negara- negara di dunia yang meliputi:

-Individualism versus Collectivism. Dimensi ini mengacu kepada derajat budaya yang akan mendorong kecenderungan orang untuk memperhatikan dirinya dan hanya keluarga dekatnya saja atau orang-orang yang masuk ke dalam kelompoknya yang dianggap membela anggotanya sebagai bentuk dari loyalitas.

-Power Distance. Dimensi ini mengacu kepada derajat budaya yang mendorong anggota kelompok kurang berkuasa untuk menerima bahwa kekuasaan terdistribusi secara tidak sama.

-Uncertainty Avoidance. Dimensi ini mengacu kepada derajat orang yang merasa terancam oleh situasi yang tidak diketahui atau tidak pasti dan telah mengembangkan keyakinan, pendirian atau ritual untuk menghindarinya.

-Masculinity versus Femininity. Dimensi ini digambarkan

pada satu tonggak oleh keberhasilan, uang dan benda dan pada tonggak lainnya oleh perhatian pada orang lain dan kualitas

(43)

hidup. Dimensi ini mengacu pada distribusi peran emosi di antara laki-laki dan perempuan.

-Long versus Short Term Orientation. Dimensi ini mengacu pada derajat budaya yang mendorong penundaan gratifikasi kebutuhan material, sosial, dan emosional di antara para anggotanya. Studi nilai budaya lebih lanjut oleh Hofstede, kemudian menambahkan elemen nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat Asia yang berhubungan dengan orientasi waktu, yaitu: antara orientasi jangka pendek lawan jangka panjang.

Dimensi budaya lintas negara mempengaruhi cara-cara manajemen dalam mendesain organisasi yang lebih cocok dengan lingkungan bersaingnya dan mempengaruhi cara-cara manajer dan eksekutif perusahaan dalam merumuskan model bisnis serta mengoperasikan bisnisnya. Pengembangan studi nilai budaya Hofstede, selanjutnya dilakukan oleh House

et al. (2004) sebagai bagian dari proyek penelitian Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness

(GLOBE) menambahkan dimensi budaya antara orientasi manusia lawan orientasi kinerja. Studi lebih lanjut tentang lintas budaya dilakukan oleh Tropenaar et al (1998) yang didasarkan pada penelitian terhadap manajer di 23 negara di dunia yang selanjutnya menambahkan dimensi budaya nasional, yaitu: (1) universal lawan keistimewaan, (2) individualisme lawan kolektivisme, (3) perasaan tertutup lawan emosi, (4) ruang publik lawan ruang pribadi, (5) prestasi lawan mencari sebab.

Dimensi budaya memengaruhi desain dan efektivitas organisasi. Budaya organisasi terbentuk dari perilaku karyawan, pimpinan, dan masyarakat sekitarnya. Nilai nilai budaya yang berkembang dapat menjadikan kekuatan budaya organisasi. Model dimensi budaya yang paling relevan bagi suatu organisasi atau perusahaan untuk mencapai efektivitas organisasi dan kinerja yang superior akan sangat bergantung kepada nilai-nilai budaya kearifan lokal di mana perusahaan tersebut beroperasi. Desain organisasi yang meliputi: struktur, fungsi dan strategi organisasi akan disesuaikan dengan kondisi budaya dan lingkungan di mana perusahaan tersebut beroperasi.

Referensi

Dokumen terkait