• Tidak ada hasil yang ditemukan

negara tersebut telah menjalankan sistem demokrasi. Pemilihan umum yang disingkat pemilu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "negara tersebut telah menjalankan sistem demokrasi. Pemilihan umum yang disingkat pemilu"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

SISTEM PEMILU INDONESIA BERBASIS DEMOKRASI PANCASILA MENUJU PEMILU SERENTAK TAHUN 2019

Oleh:

Ade Parlaungan Nasution

Dosen Tetap Universitas Riau Kepulauan Batam

A. PENDAHULUAN

Pelaksanaan pemilihan umum pada sebuah negara dapat mengindentifikasikan bahwa negara tersebut telah menjalankan sistem demokrasi. Pemilihan umum yang disingkat pemilu adalah sebuah sistem pemilihan umum untuk memilih pemimpin atau perwakilan rakyat pada sebuah lembaga negara. Sistem pemilihan secara teori demokrasi sendiri dikenal dengan dua sistem, yakni pemilihan secara langsung dan tidak langsung.

Sepanjang sejarah, sistem pemilihan langsung ini telah diterapkan sejak zaman yunani klasik dulu. Pada masa yunani, mereka memilih secara langsung siapa saja orang yang mereka kehendaki atau dipercaya untuk memimpin negaranya. Sistem pemilihan langsug diyakini sebagai sistem pemilihan tertua hingga akhirnya sistem ini ditinggal pada masa Romawi. Sistem kerajaan yang digunakan oleh Romawi pada masa itu mengganti sistem demokrasi dengan memilih pemimpin dari kalangan raja secara turun temurun tanpa mendengarkan apakah disetujui atau tidak oleh rakyatnya.

Sehingga secara teori demokrasi pemilihan yang dilakukan secara langsung ataupun perwakilan adalah bentuk demokrasi suatu negara, hanya saja dengan metode yang berbeda.

Sistem pemilihan perwakilan adalah pemilihan pemimpin dengan mempercayakan suaranya pada orang atau lembaga yang berwenang, sedangkan pemilihan langung adalah memberi kesempatan masyarakat secara langsung untuk menentukan pemimpin negara tersebut.

Sekalipun kemudian banyak negara pada era modern ini lebih memilih sistem pemilihan secara langusng sebagai bentuk nyata demokrasi.

(2)

2 Bentuk pemerintahan yang paling umum, dikenal dua bentuk pemerintahan yakni;

Republik dan Monarki. Bentuk inilah yang paling menonjol untuk melihat apakah sebuah negara menggunakan sistem demokrasi secara utuh atau tidak. Sekalipun kemudian pada era modern sistem monarki pada sebagian negara telah dijalankan dengan sistem monarki konstitusi, dimana kekuasaan dibatasi oleh sebuah konstitusi.

Negara Indonesia sendiri butuh masa yang panjang untuk dapat menerapkan sistem pemilihan secara langsung. Perjalanan yang panjang Indonesia dapat dilihat dari pasca kemerdekaan hingga akhirnya pada tahun 1955-lah Indonesia baru dapat menerapkan sistem pemilihan langsung untuk memilih anggota konstitusante dan DPR kala itu.

Landasan keberadaan demokrasi di Indonesia ini dapat ditemukan dalam nilai- nilai Pancasila, khususnya pada sila ke empat yang berbunyi,“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Yang dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam negara dengan beberapa kebijakan yang diatur dengan prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pancasila adalah landasan atau dasar bernegara. Sehingga konsekuensinya adalah bahwa tiap peraturan dan sistem bernegara Indonesia harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila.

Sedangkan sistem pemilihan umum sendiri adalah salah satu bentuk pengalaman dari Pancasila yang didalamnya adalah terdapat nilai-nilai demokrasi. Hal ini bisa ditemui pada pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yang berbunyi: “…disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang- Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”. Pemilihan umum Indonesia juga memiliki landasan konstitusional sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini berbeda dari makna UUD 1945 sebelum amandemen, pasca amandemen UUD 1945 kedaulatan rakyat

(3)

3 tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, tetapi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Sebagaimana dalam pekembangan sebuah negara, maka Indonesia terus berupaya mencari pola dan sistem terbaik yang dapat mengakomodir kebutuhan rakyat dengan berlandaskan nilai-nilai pancasila, maka dibutuhkan sebuah penataan undang-undang terkait pemilihan umum, agar tidak bias politik apalagi membatasi hak-hak dasar sebagai manusia.

Maka dari berbagai pandangan akademis, yakni dari sisi regulasi, metode, dan substansi/

materi undang undang maka penulis mencoba membatasi permasalahan menjadi beberapa hal, diantaranya:

1. Sistem presidensial dan multipartai di Indonesia 2. Pemilihan umum serentak

3. Presidential threshold dan parlementary threshold pada pemilu di Indonesia 4. Keterwakilan 30% perempuan dalam legislatif

B. PEMBAHASAN

1. Sistem presidensial dan multipartai di Indonesia

Sejarah sistem pemerintahan presidensial berawal dari lahirnya Negara Amerika Serikat, yakni sebuah negara bekas Koloni Inggris di Benua Amerika untuk memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat dan terlepas dari Kerajaan Inggris. Pada tahun 1775- 1783 terjadi peperangan antara Inggris dengan negara baru Amerika Serikat yang ingin melepaskan diri dari Inggris yang kemudian dimenangkan oleh Amerika Serikat, sejak saat itulah Amerika kemudian membuat sebuah sistem pemerintahan baru yang dikenal dengan sistem pemerintahan presidensial.

Menurut Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim menyatakan: ”Latar belakang negara Amerika Serikat menganut sistem presidensial adalah kebencian rakyat terhadap

(4)

4 pemerintahan Raja George III sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris, maka mereka lebih suka mengikuti jejak Montesqieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan, sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam trias politika itu terdapat sistem check and balances”.1

Adapun ciri-ciri presidensial memiliki beberapa perbedaan antara satu pakar hukum tata negara dengan yang lainnya, sekalipun perbedaan itu tidak mencolok pada suatu hal yang dianggap krusial. Jimly Asshiddiqie mengatakan beberapa prinsip pokok yang terdapat dalam sistem pemerintahan presidensial, yakni:2

a. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislative.

b. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;

c. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan;

d. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggungjawab kepadany

e. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya

f. Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen

g. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu pemerintahan eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi

1 Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI CV Sinar Bakti, Hlm 177

2 Jimly Ashidiqqie, Pengatar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekertariat Jendaral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Hlm

(5)

5 h. Eksekutif bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;

i. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.

Dan menurut Saldi Isra sistem pemerintahan presidensial memiliki karakter utama dan beberapa karakter lainnya, seperti:3

a. Presiden memegang fungsi ganda, sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Meskipun sulit untuk dibedakan secara jelas, presiden sebagai kepala negara dapat dikatakan sebagai simbol negara, sebagai kepala pemerintahan, presiden merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi.

b. Presiden tidak hanya sekedar memilih anggota kabinet, tetapi juga berperan penting dalam pengambilan keputusan di dalam cabinet

c. Hubungan antara eksekutif dan legislatif terpisah, dengan adanya pemilihan umum untuk memilih presiden dan memilih lembaga legislatif;

d. Dengan pemisahan secara jelas antara pemegang kekuasaan legislative Dan eksekutif, pembentukan pemerintah tidak tergantung kepada proses politik di lembaga legislatif.

e. Sistem pemerintahan presidensial dibangun dalam prinsip clear cut separationof powers antara pemegang kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif

Dari beberapa karakter presidensial yang di atas, maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah terdapat teori tentang kausalitas jumlah partai dengan sistem pemerintahan sebuah negara?. Dan dari karakteristik presidensial diatas, tidak satupun ciri atau karakter presidensial memberikan hubungan teoretis antara jumlah partai dan sistem presidensial. Artinya bahwa jumlah partai politik yang dengan dua partai politik atau

3Harun Alrasyid Dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010, Hlm. 33-34

(6)

6 lebih/multipartai bukanlah bagian dari karakter sistem presidensial, atau tidak ada hubungan teoretis antara kedua hal tersebut.

Sebagaimana diketahui sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial yang berkiblat pada sistem di Amerika Serikat. Presidensial sendiri adalah sistem pemerintahan dimana kepala pemerintahan adalah presiden dan di pihak lain ia tidak bertangung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, artinya kedudukan presiden tidak tergantung kepada dewan perwakilan rakyat.4 Di Indonesia ketentuan presidensial dapat ditemui pada pasal 4 ayat (1) yang menyatakan: “Presiden Republik Indoensia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”. Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut pada Undang Undang No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Terkait sistem multipartai yang dianggap sebagian kalangan adalah “menyimpang” dari sistem presidensial adalah sangat tidak tepat, hal ini dapat dilihat dari karakteristik presidensial diatas. Sistem Amerika dengan konsep dua partai seharusnya tidak menjadi acuan tanpa nilai teoretis yang mendukungnya. Terkait partai politik dan sistem pemilu di Amerika Scoat Marciel selaku duta besar AS mengatakan:5

 Sebenarnya masih ada partai-partai kecil lain yang mewarnai pemilu

 Dalam konstitusi tidak menyebutkan jumlah partai

 Kandidat independen John Anderson (1980), Tedy Roosevelt (1912)

 Konstitusi tidak menyebutkan tentang partai politik, bahkan presiden pertama George Washington bukan dari parpol.

 Tentang dua partai adalah bagian dari waktu, sejarah, tradisi.

Maka dapat disimpulkan bahwa sistem multipartai bukanlah bagian dari sistem pemerintahan seperti yang terkesan di “paksakan” selama ini, bahkan the mother of

4 Nimatul Huda, Hukum Tatat Negara Indoensia, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm 118

5 http://news.okezone.com/read/2012/04/11/414/609738/mengapa-partai-di-as-hanya-dua, diakses pada tanggal 10 maret 2017, pukul 15.00 WIB

(7)

7 presidential AS justru menerapkan sistem multipartai, namun karena konvensi atau adat ketatanegaraan yang berjalan di Amerika, menjadikan dua partai besar selalu mendapatkan perolehan suara mayoritas jika dibandingkan partai ke tiga lainnya.

2. Pemilihan umum serentak

Pemilihan umum di Indonesia sendiri tertuang dalam pasal 22E ayat (1) UUD 1945 bahwa; “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Sedangkan yang dimaksud pemilihan umum/ pemilu itu sendiri tertuang pada pasal 22E ayat (2), bahwa; “Pemilihan umum diselenggarkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dalam pasal 22E ayat (1) tersebut, sebenarnya dengan tegas telah dikatakan bahwa pemilu adalah pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung atau serentak.

Pada Putusan MK No14/PUU-XI/2013, yakni uji materiil Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang Undang nomor 42 tahun 2008, terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD1945, bahwa Majelis Mahkamah Kontitusi dalam putusannya mengatakan bahwa original intent Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 memang menentukan agar pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “bersama-sama atau serentak”. Walaupun dalam dissenting opinion Mahkamah menyadari bahwa metode penafsiran original intent bukanlah segala-galanya. MK menilai bahwa metode tersebut memang berupaya mencari tahu makna historis dalam perumusan norma peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, selain metode tersebut masih banyak metode yang dapat digunakan untuk memaknai suatu peraturan perundang-undangan terutama dalam usaha menemukan hukum (rechtsvinding).

(8)

8 Selain itu dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 juga menegaskan bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, maknanya bahwa calon presiden dan wakil presiden tersebut sejatinya telah ada sebelum pelaksanaan pemilu sebagaimana yang ada dalam pasal 22E UUD 1945, maka dapat difahami bahwa pelaksanaan pemilu serentak adalah bagian nyata dari keinginan konstitusinal Indonesia, yakni UUD 1945. Sehingga penafsiran untuk menyelenggarakan pemilu secara bertahap, sebagaimana yang telah dijalankan selama ini, yakni dengan mendahulukan pemilihan legislative terlebih dahulu adalah bagian dari kekeliruan penafsiran konstitusi, selain itu pemahaman untuk menjadikan pemilu legislative adalah justru menunjukkan “power” legislative lebih dominan sebagaimana dalam sistem pemerintahan parlementer.

Yusril Ihza Mahendra pakar hukum tata negara mengatakan bahwa penafsiran pemilu secara bertahap yakni pemilihan legislative terlebih dahulu adalah bagian dari kesalahan tafsir, bahwa makna yang terkandung dalam konstitusi sejatinya menjadi dua yakni tahap pemilu langsung dan tahap ke dua terjadi ketika paslon belum mencapai 50+1% suara untuk presiden dan wakil Presiden.

3. Presidensial threshold dan parlementary threshold di Indonesia

Ambang batas parlemen (bahasa Inggris: parliamentary threshold) adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009.6 Dengan adanya kebijakan mengenai PT tersebut, maka penentuan perolehan kursi DPR didasarkan pada perolehan suara sah parpol tersebut minimal 3,5 persen dari total suara sah pemilih secara nasional. UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 202 ayat (1) menegaskan bahwa ambang batas parlemen

6 https://id.wikipedia.org/wiki/Ambang_batas_parlemen, diakses pada tanggal 28 maret 2017, pukul 15.00 WIB

(9)

9 ditetapkan sebesar 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR dan tidak berlaku untuk DPRD provinsi atau DPRD Kabupaten/kota. Sedangkan UU Nomor 8 Tahun Tahun 2012, justru memberikan ambang batas parlemen naik menjadi sebesar 3,5% yang berlaku nasional untuk semua anggota DPR dan DPRD. Angka 3,5% merupakan besaran PT yang ditetapkan pada pemilu tahun 2014.

Dalam hal PT Mahkamah Kontitusi melalui putusannya kemudian beranggapan bahwa kebijakan tentang PT pada dasarnya bersifat konstitusional. Hal ini merujuk pada pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012 yang menyebutkan bahwa politik hukum terkait pembatasan jumlah partai adalah sebuah kewajaran. Kewajaran ini dikarenakan banyaknya jumlah partai politik yang tidak secara efektif mendapatkan dukungan dari masyarakat, sehingga partai politik tersebut tidak bisa menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan. Oleh karena itu, wajar jika partai yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas dari rakyat, kemudian menggabungkan diri dengan partai lain yang memiliki ideologi dan latar belakang perjuangan yang sama. Penggabungan ini dimaksudkan untuk meraih suara yang lebih banyak dari masyarakat sehingga bisa menempatkan wakilnya di parlemen.

Selain membahas tentang konstitusionalitas PT, putusan perkara MK Nomor 52/PUU- X/2012 juga memberikan amar putusan untuk mengabulkan sebagian permohonan yaitu berkaitan dengan sifat inkonstitusional pemberlakuan PT secara nasional. Dengan pembatalan PT secara nasional tersebut, maka perhitungan suara di daerah untuk menentukan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang terpilih adalah dengan menggunakan perhitungan berdasarkan Bilangan Pembagi Pemilih/ BPP. Mekanisme ini memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi partai politik untuk bisa bersaing masuk ke parlemen.

Alhasil, jumlah partai yang lolos ke parlemen di tiap daerah berbeda-beda, tergantung besarnya suara partai politik yang diperoleh di masing-masing daerah. Selain itu

(10)

10 parlemenatry threshold untuk beberapa negara memang memiliki ambang batas dengan presentase berbeda-beda, sehingga jikapun Indonesia tetap akan menerapkan ambang batas parlemen tersebut, maka sesuai dengan putusan MK ini adalah bagian dari kebijakan lembaga legislative sebagai penyusun undang undang.

Sedangkan terkait dengan presidenstial threshold/ PT atau ambang batas dalam penentuan calon presiden dan wakil presiden menurut penulis adalah bagian perhitungan sistem pemilu yang sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan pada pemilu mendatang.

Presidential threshold melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang menerima permohonan pemilu serentak adalah jawaban PT yang selama ini diperdebatkan beberapa kalangan.

Dalam hal MK menerima permohonan dalam pemilu serentak maka jelas presidential threshold akan tidak mungkin lagi untuk diterapkan, karena metode pemilu serentak yang dimakasud adalah pemilu lima (5) kota sekaligus dalam sekali pemilihan, yakni pemilu untuk pemilihan Presiden, Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sehingga tidak mungkin lagi menggunakan PT dalam memilih calon presiden. Adapun beberapa usulan tentang penggunaan PT dengan menggunakan hasil pemilu pada periode 2014 adalah Ahistory yang sangat tidak tepat dijadikan sebagai landasan berfikir.

4. Keterwakilan 30% perempuan dalam lembaga legislative

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dan organisasi perempuan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, tetapi hasilnya belum sesuai yang diharapkan. Proporsi anggota legislatif perempuan yang terpilih ternyata gagal mencapai affirmative action sebanyak 30% pada Pemilu 2014. Justru proporsi tersebut mengalami penurunan dari 18,2 persen pada tahun 2009 menjadi 17,3 persen di tahun 2014. Padahal, kandidat perempuan yang mencalonkan diri dan masuk dalam daftar pemilih dari partai politik mengalami peningkatan dari 33,6 persen tahun 2009 menjadi 37 persen pada 2014.

(11)

11 Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, ternyata hanya mampu menghasilkan keterwakilan perempuan di legislatif sebanyak 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi (26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD serta 14 persen di DPRD kabupaten/kota.7Hal ini mengidentifikasikan bahwa keterwakilan perempuan masih jauh dari yang diharapkan.

Sejatinya kebutuhan affirmative action bukanlah sekedar memenuhi kuota regulasi yang diminta oleh negara, tetapi hal ini adalah bagian penting perempuan untuk dapat memperjuangkan kebutuhan-kebutuhan perempuan yang dirasa belum dilindungi oleh undang undang. Peran serta perempuan dalam legislative adalah bagian penting dari hak perempuan yang tidak mampu dijangkau oleh laki-laki.

Terlepas dari feminism atau bukan, peran perempuan dinilai gagal untuk memenuhi kuota 30% legislative. Hal ini tentu menjadi pekerjaan tersendiri bagi semua pihak, tidak hanya pemerintah untuk terus berupaya agar perempuan memiliki tingkat kesadaran yang lebih akan pentingnya peran perempuan sebagai salah satu pihak penentu kebijakan dalam pembuatan undang undang. Sehingga menghilangkan presentase keterwakilan perempuan didalam legislatif adalah tidak tepat.

Dengan presentase keterwakilan perempuan pada pemilu 2014 diatas, penulis mencoba membandingkan dengan presentasi keterwakilan perempuan pada pilkada 2015 , diantaranya:

1. Pemilihan kepala daerah pada tahun 2015 dari pemilihan gubernur, bupati dan walikota, dari 1.654 calon kepala dan wakil kepala daerah. Hanya 123 perempuan, artinya sekitar 7,44 % saja keterwakilan perempuan dalam pemilihan kepala daerah.

Dari data tersebut secara kuantitas dapat diseragamkan bahwa memang kuota perempuan dalam pusaran pilkada belum mampu menjawab kebutuhan sekaligus

7 http://www.beritasatu.com/politik/210327-kuota-30-keterwakilan-perempuan-di-parlemen-gagal-tercapai.html, diakses pada tanggal 12 maret 2017, pukul 15.00 WIB

(12)

12 keresahan sebagian orang yang berharap perempuan dapat tampil di panggung eksekutif daerah ataupun legislative.

2. Dari pilkada tersebut jumlah sarjana tercatat memiliki 85%, yakni sarjana strata satu 39%, strata dua 41,5%, dan bergelar doktor 4,1%, sisanya bisa dikatakan tidak berada pada presentase perguruan tinggi.

Data diatas mengaskan bahwa sekalipun keikutsertaan perempuan hanya 7,44% saja, namun tidak bisa dinilai sebelah mata, kesadaran perempuan khususnya yang berpendidikan tinggi telah menjawab keresahan berfikir, bahwa perempuan dinilai sebagai bangsa kedua dalam partai politik lambat laun mulai bergeser. Kini perempuan mulai menyadari pentingnya peran perempuan dalam kancah politik (legislatif ataupun eksekutif), apalagi didorong dengan kualitas perempuan yang baik dengan latar pendidikan yang sampai pada doktoral tersebut.8

Dari data diatas dapat dikatakan bahwa lemahnya representasi keterwakilan perempuan pada lembaga legislative tidak dapat dipersepsikan sama dengan representasi keterwakilan perempuan pada pilkada beberapa waktu lalu. Sekalipun secara kuantitas representasi tersebut dinilai kurang, namun data kualitas mampu memberikan gambaran lain, yakni keikutsertaan perempuan dalam ranah politik pada pilkada 2015 lalu selain dapat dikatakan jauh lebih baik, ternyata keterwakilan perempuan juga didukung dengan tingkat kualitas pendidikan yang cukup baik. Sehingga anggapan akan lemahnya keterwakilan perempuan tersebut terhapus dengan angka kemapanan pendidikan perempuan yang tinggi menghasilkan perempuan yang jauh lebih proaktif dengan politik Indonesia.

Maka terkait dengan keterwakilan perempuan 30% dengan data yang ada, belumlah tepat jika presentasi tersebut dihilangkan. Pemerintah masih harus terus berjuang untuk

8 Junal Bawaslu DKI Jakarta, Kampanye Berkualitas Pilkada Berintegritas, Emy Hajar Abra “Perempuan dalam Pusaran Pilkada” Edisi November 2016, Hal 97

(13)

13 mendapatkan perwakilan perempuan dalam mengisi kekosongan lembaga legislative pada sebuah negara yang dikatakan bersistem demokrasi pancasila ini. Anggapan bahwa angka presentase tersebut membatasi hak asasi perempuan sangatlah tidak bernilai akademis kecuali dapat terjawab dengan representasi perempuan yang hampir sebanding dengan angka keterwakilan laki-laki pada setiap lembaga negara Indonesia.

C. PENUTUP

Dari pembahasan diatas, maka penulis mencoba membuat kesimpulan terkait sistem pemilu Indonesia berbasis demokrasi pancasila. Sistem pemilu Indonesia sebagaimana yang telah dijalani telah mengalami pergeseran makna demokrasi pancasila, hal ini dapat dilihat dari beberapa sistem pemilu di Indonesia. Diantaranya:

1. Penegakkan hukum parlementary threshold, presidential threshold dan pemilu serentak adalah satu kesatuan hukum sebagaimana yang tertuang dalam undang undang pemilu dan putusan mahkamah konstitusi. MK telah menjawab bahwa pemilu serentak adalah konstitusional dengan waktu penerapan pada 2019, hal ini sebagimana tertuang dalam pasal 22E ayat (1) dan (2), yang sebenarnya tidak memungkinkan lagi adanya presidential threshold, karena penerapan serentak/

langung tersebut tidak dapat memberi ruang pada ambang batas pencalonan presiden. Sedangkan parlementary threshold sebagaimana pada putusan MK yang bersifat final dan binding, maka besaran kewenangan tersebut adalah bagian dari kewenangan hukum lembaga legisltaif.

2. Keterwakilan perempuan yang dituangkan oleh undang undang harus mendapatkan 30% suara ternyata pada pemilu 2014 tidak terjawab oleh hampir semua partai. Hal ini jelas menjawab kegagalan negara untuk menghadirkan representsi perempuan.

Sekalipun data menunjukkan kegagalan, hal itu bukan bermakna jumlah presentse

(14)

14 30% dihilangkan, tetapi law enforcement yang harus dilakukan. Konsistensi kebutuhan sebuah regulasi harus diimbangi dengan sanksi yang diterapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abra, Emi Hajar, “Konstruksi Sistem Hukum Indonesia” DIMENSI,3.3 (2014)

Harun Alrasyid Dalam Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010

http://news.okezone.com/read/2012/04/11/414/609738/mengapa-partai-di-as-hanya-dua, Diakses Pada Tanggal 10 Maret 2017, Pukul 15.00 Wib

http://www.beritasatu.com/politik/210327-kuota-30-keterwakilan-perempuan-di-parlemen- gagal-tercapai.html, Diakses Pada Tanggal 12 Maret 2017, Pukul 15.00 WIB

https://id.wikipedia.org/wiki/Ambang_batas_parlemen, Diakses Pada Tanggal 28 Maret 2017, Pukul 15.00 WIB

Jimlly Ashidiqqie, Pengatar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekertariat Jendaral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006

Junal Bawaslu DKI Jakarta, Kampanye Berkualitas Pilkada Berintegritas, Emy Hajar Abra

“Perempuan dalam Pusaran Pilkada” Edisi November 2016

Moh. Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI CV Sinar Bakti, Jakarta

Nasution, Ade Parlaungan. "MASIH RELEVANKAH ISU KOMUNISME?." OPINI 1.1 (2016).

Nimatul Huda, Hukum Tatat Negara Indoensia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Adapun masalah yang dibahas dalam tesis ini menyangkut pelaksanaan pelayanan publik bidang Perizinan sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah, kepuasan pelayanan publik

Dampak perubahan dari pengabdian masyarakat Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat adalah dengan

Ukuran KAP, dan Opini Auditor terhadap Audit Delay (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2013-2015)”.. dengan lancar

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan Juni-Juli di RSUD Temanggung didapatkan hasil bahwa nilai apgar menit pertama, menit ke lima dan pada menit ke

Hasil penelitian tentang sikap, dipe- roleh bahwa sebagian besar responden mahasiswa kedokteran umum tahap profesi dan mahasiswa program studi keperawatan sudah memiliki sikap yang

Tingkat kesadaran pemilih pemula yang ada di Distrik Pirime Kabupaten Lanny Jaya masih dipengaruhi oleh kebiasaan, ataupun sekedar ikut-ikutan saja, hal ini

Menurut Visser dan Hermes (1962) kerak kontinen Lempeng Australia yang berada di bawah laut Arafura dan meluas ke arah utara merupakan dasar bagian selatan dari Pegunungan Tengah

Terbatasnya informasi tentang kupu-kupu pengunjung pada tumbuhan tersebut, maka menjadi dasar dilakukan penelitian untuk mengetahui jenis-jenis kupu-kupu pengunjung