15 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini hendak membahas bebrapa konsep teori yang akan menjadi landasan untuk menganalisis topik permaslahan yang telah dikemukakan pada bagian rumusan masalah. Pada sub bab pertama, akan menampilkan teori nilai-nilai pendidikan multikultural yang dikemukakan H. A. R Tilaar dan Abidin Wakano dan Larry Marry sebagai dasar untuk menganalis dan membandingkan dengan nilai-nilai yang termuat dalam tradisi Henge’do atas pemaknaan masyarakat kecamatan Sabu Barat sebagai subjek penelitian ini. Selanjutnya pada sub bab kedua, menampilkan teori etika sosial oleh John rawls dalam konsep keadilan sosial untuk mengkaji hasil analisis nilai-nilai pendidikan multikultural dalam tradisi Henge’do multikultural agar sesuai dengan prinsip moral masyarakat multikultural.
2.1. Multikultural
2.1.1 Definisi Multikultural
Multikultural berasal dari dua kata yakni “multi” dan “kultur”. Kata multi mengindikasikan sifat lebih dari satu atau berjenis-jenis yang memiliki implikasi secara politik, sosial dan ekonomi.
Sedangkan kultural yang merujuk pada pengertian kultur atau budaya.57 Menurut antropolog Conard P. Kottak, kultur merupakan sesuatu yang general dan spesifik sekaligus, yang berarti bahwa secara
general setiap manusia pasti memiliki kultur dan disaat yang sama kultur secara spesifik bervariasi antara satu dan lainnya di dalam kelompok masyarakat.58 Kultur ialah sesuatu yang dipelajari lewat kebiasaan secara situasional maupun sosial.59 Kultur membentuk dan melengkapi manusia dalam tata cara melakukan aktivitas sehari-hari. Kultur dijadikan atribut atau perlengkapan bagi individu ataupun sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Kultur melahirkan adat istiadat, kepercayaan, nilai-nilai, ingatan-ingatan, harapan-harapan dan tingkah laku. Semua komponen yang ada dalam kultur terikat
57 Tilaar, Multikulturalisme, 82.
58 Yaqim, Pendidikan multikultural, 6.
59 Yaqim, Pendidikan Multikultural, 7.
16
menjadi sebuah model yang disatukan sebagai sistem bagi masyarakat untuk membangun lingkungan sosialnya. Kultur mencerminkan cara manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan kelompok masyarakat tersebut berada.60 Istilah multikultural sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan dari beragam kultur yang berbeda dalam masyarakat.
Konsep multikultural sangatlah kompleks. Secara definisi multikultural dilihat sebagai konsep yang lahir dari corak kemajemukan manusia di mana terdapatnya berbagai macam status sosial budaya yang meliputi latar belakang, agama, ras, suku dan lain-lain. Menurut ahli teori politik, Bikhu Parekh, multikultural dilihat sebagai kenyataan akan keanekaragaman kultur yang selanjutnya
dibingkai dalam multikultural–isme sebagai pandangan dan tanggapan normatif atas fakta tersebut.61 Selanjutnya menurut filsuf Amerika, Lawrence A. Blum, multikulturalisme merupakan pemahaman yang memberikan penghargaan, penilaian dan keingintahuan terhadap kebudayaan orang lain.62 Multikulturalisme merupakan sebuah kearifan dalam melihat situasi keanekaragaman sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.
Multikulturalisme menjadi kebutuhan secara politik untuk menyingkirkan stigmatisasi, ekslusifikasi dan dominasi.63 Multikulturalisme dapat dipandang sebagai upaya untuk menciptakan serangkaian hubungan sosial antara kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan membangun tingkat kesetaraan dan keadilan sosial.64 Multikulturalisme menjadi dasar dari perkembangan masyarakat yang demokratis untuk menghentikan segala praktik dominan yang didasari oleh kesediaan untuk menerima perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa ataupun agama. Usaha membangun wawasan multikultural berarti memberikan kontribusi, apresiasi konstruktif terhadap segala bentuk tradisi etnik, budaya maupun agama agar dapat memperkaya kehidupan sosial.
Jelaslah bahwa multikulturalisme ialah bagian dari usaha dalam membangun struktur penggabungan masyarakat yang adil tanpa ada pemisahan maupun pembedaan. Masyarakat heterogen
60 Yaqim, Pendidikan Multikultural, 8-9.
61 Multikulturalisme dan teori politik, 5
62 Martano, Etika Multikultural, 28.
63 Molan, Multikulturalisme, 29.
64 Umar S. Bakry, Multikulturalisme, 9.
17
menghadapi berbagai tuntutan atas pengakuan eksistensi dan keunikan dari setiap kelompok budaya atau etnis yang apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan konflik. Gagasan multikulturalisme dapat mengakomodir perbedaan budaya dan mampu meredam konflik vertikal dan horisontal dengan membentuk sebuah tatanan sosial yang secara mapan dapat menjadi pilar perdamaian. Oleh karena itu pembumian wacana multikulturalisme menjadi penting dalam meningkatkan sikap apresiasi dan partisipasi demi pembangunan bangsa.
2.1.2 Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural diartikan sebagai proses pengembangan potensi manusia yang digunakan untuk mengeksplorasi berbagai keragaman dan perbedaan.65 Pendidikan multikulturalisme bertujuan membentuk manusia budaya dan menciptakan masyarakat berbudaya (berperadaban).66 Menurut tokoh pendidikan Indonesia, H. A. R Tilaar, pendidikan multikulturalisme memuat ajaran nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa dan nilai-nilai kelompok etnis (kultural).67 Metode pendidikan multikultural dilakukan secara demokratis dengan menghargai aspek-aspek keragaman budaya bangsa dan kelompok etnis. Evaluasi tehadap keberhasilan pendidikan multikultural ditentukan pada penilaian tingkah laku masyarakat yang meliputi persepsi, apresiasi dan tindakan terhadap budaya lainnya.68 Pendidikan multikultural dapat dikatakan sebagai ruang transformasi ilmu pengetahuan yang berciri nilai-nilai multikultural dan yang nampak lewat sikap saling menghargai dan toleran terhadap keanekaragaman budaya di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Tilaar, model pendidikan multikultural haruslah memiliki dimensi yang sesuai demi mencapai tujuan multikulturalisme.69 Terdapat lima dimensi pendidikan multikultural yaitu yang pertama, pendidikan multikultural haruslah yang berdimensi right to culture dan identitas lokal, sebagai manifestasi untuk jawaban tantangan globalisasi. Kedua, kebudayaan Indonesia yang menjadi, artinya kebudayaan indonesia yang merupakan weltanshauung harus berproses menjadi
65 H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), 20-21.
66 Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global , 59.
67 Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global, 59
68 Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global, 59.
69 Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global,185
18
bagian integral dari proses kebudayaan mikro, sehingga budaya lokal perlu dioptimalisasikan dan dapat beriringan dengan apresiasi terhadap budaya nasional. Ketiga pendidikan multikultural yang normatif, yaitu pendidikan yang dapat memperkuat identitas nasional tanpa menghilangkan budaya lokal. Keempat, pendidikan multikultural yang merupakan konstruksi sosial, artinya tidak terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme. Kelima, pendidikan yang memberdayakan atau pedagogy of empowerment dan keenam, pendidikan multikultural yang mewujudkan visi Indonesia
masa depan serta etika bangsa.70
Selanjutnya, James Bank seorang pengkaji pendidikan multikultural, juga mengemukakan hal yang sama bahwa dalam pendidikan multikultural terdapat dimensi yang perlu diperhatikan demi mewujudkan tujuan pendidikan multikulturalisme.71 Dimensi pertama ialah, integrasi konten (content integration). Kedua, proses penyusunan pengetahuan (the knowledge construction process). Ketiga,
mengurangi prasagka (prejudice reduction). Keempat, menjalankan pedagogik kesetaraan (an equity pedagogy) dan kelima, pemberdayaan kultur sekolah dan struktur sosial.72 Dimensi-dimensi tersebut membantu dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pendidikan sehingga secara komprehensif dapat mencapai tujuan multikulturalisme.
Tilaar menyatakan bahwa manusia, masyarakat dan budaya merupakan tiga dimensi dari hal yang bersamaan.73 Oleh karena itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudyaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu komunitas masyarakat. Budaya menjadi sebuah peradaban dari kompleksitas manusia berupa kepercayaan, pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Pendidikan dalam rumusan tersebut merupakan proses pembudayaan karena antara pendidikan dan kebudayaaan berbicara pada tataran yang sama yaitu, nilai-nilai. Oleh karena itu melalui pendidikan multikulturalisme, nilai-nilai kebudayaan kemudian dapat ditransformasikan dari generasi ke genarasi.
70 Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global,185-190.
71 Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global, 138
72 Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global, 138.
73 H. A. R Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), 7-8.
19 2.1.3 Nilai-nilai pendidikan multikultural
Multikulturalisme dapat dirumuskan sebagai sistem yang memiliki nilai atau kebajikan dalam usaha menghargai kemajemukan dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang termuat ialah yakni pertama, nilai inklusifitas yang merujuk pada keterbukaan dan kepekaan untuk belajar hidup dalam
perbedaan serta mengakuinya. Kedua, nilai mendahulukan dialog untuk menanggapi persoalan atau konflik yang dialami. Ketiga, nilai kemanusiaan yang menempatkan manusia sesuai martabatnya.
Keempat, nilai menghargai kemajemukan dan kelima, nilai cinta tanah air yang mendorong entitas
masyarakat hidup dalam kerukunan, kedamaian dan kebersamaan.74 Adapun multikulturalisme mencakup tiga nilai yakni, Pertama, menegaskan identitas kultural seseorang. Kedua, menghormati dan keinginan untuk memahami bahkan belajar tentang (dan dari) kebudayaan lain. Ketiga, menghargai keanekaragaman itu sendiri.75 Nilai-nilai tersebut mengindikasikan sikap untuk mengutamakan kemanusiaan dengan adanya penghargaan atas identitas dan kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat.
Selanjutnya Tilaar menyatakan bahwa, nilai-nilai multikultural diharapkan dapat menjadi indikasi dalam penerimaan realitas kemajemukan. Nilai-nilai multikultural tersebut diantaranya ialah belajar hidup dalam perbedaan, membangun saling percaya (mutual trust), menjunjung sikap saling pengertian (mutual understanding), menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), terbuka dalam berpikir, apresiasi, interdependensi, resolusi konflik dan rekonsiliasi tanpa kekerasan.76 Nilai- nilai multikultural seperti demokrasi, humanis dan pluralis juga menjadi nilai inti dalam mendidik masyarakat agar mampu menerapkan sikap multikulturalisme dalam praktik kehidupan bersama.77 Berdasarkan nilai-nilai multikulturalisme pada uraian di atas maka nilai-nilai tersebut berfokus untuk memberikan konsep pengetahuan bagi masyarakat untuk dapat mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan, penghargaan, dan penerimaan yang dapat membantu masyarakat dalam memahami dan menanggapi keberadaan kemajemukan secara arif.
74 Wakano, Pegantar Multikulturalisme, 14.
75 Mary, Etika terapa, 15.
76 Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global, 84.
77 Rusdiana, Pendidikan Multikultural Suatu Upaya, 200.
20 2.2 Etika
2.2.1 Hakikat Etika
Memahami hakikat etika memerlukan pengertian yang jelas tentang etika dan moral yang saling terkait namun memiliki perbedaan. Etika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno.
Kata Yunani Ethos dalam bentuk tunggal memiliki banyak arti: kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Sedangkan kata Yunani Ta Etha dalam bentuk jamak yakni berarti:
adat kebiasaan.78 Kemudian istilah moral secara etimologis berasal dari bahasa Latin Mos yang juga berarti adat atau kebiasaan.79 Secara etimologinya etika dan moral memiliki pengertian yang mirip namun pemahaman etika perlu dibedakan dari moral. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral berarti ajaran tentang perbuatan baik buruk yang diterima secara umum.80 Sedangkan etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).81 Etika bertujuan untuk menerangkan hakikat kebaikan dan kejahatan.82 Jelaslah bahwa etika sebagai ilmu yang merefleksikan dan mengkritisi asas-asas dan nilai-nilai moral yang dilakukan secara sistematis dan metodis.
Etika dan moral mengacu pada aturan normatif tentang baik dan buruk yang bersumber dari pemikiran rasional.83 Etika dalam hal ini membantu manusia merenungkan secara sistematik masalah berdilema moral yang sesuai dengan pendapat norma-norma kesusilaan yang berlaku. Etika bertujuan untuk menerangkan hakikat kebaikan dan kejahatan.84 Etika menuntut pertanggungjawaban atas setiap ketentuan atas perilaku manusia terhadap manusia lainnya.85 Studi atau kajian etika berkaitan erat dengan tingkah laku atau tindakan manusia yang mencerminkan nilai diri sendiri dalam hubungannya dengan yang lain. Penilaian atas tindakan tersebut merupakan penilaian etis yang
78 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 4.
79 Bertens, Etika, 4.
80 https://kbbi.kemdikbud.go.id, diakses pada 23 Maret 2022.
81https://kbbi.kemdikbud.go.id, diakses pada 23 Maret 2022..
82Jenny Teichman, Etika sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 3.
83Bertens, Etika,7.
84Jenny Teichman, Etika sosial, (Yogyakarta: Kanisius, 2016), 3.
85Franz Magniz, Etika Umum: masalah-masalah pokok filsfat moral, (Jakarta: Kanisius, 1984), 15.
21
mensyaratkan pengetahuan atau penilaian subjek terhadap tindakan yang dilakukan sebagai yang terbaik sesuai dengan realitasnya.
Dalam memahami persoalan normatif, etika menjadi penghubung antara teori dan praktek.86 Etika berfokus pada pemikiran manusia dan pernyataan normatif yang berimplikasi secara langsung bagi tindakan manusia baik secara individu maupun komunal. Etika memberikan penilaian terhadap perilaku manusia yang dapat membawa kerugian atau manfaat yang secara signifikan bagi orang lain atau bagi diri sendiri, tindakan yang sesuai dengan atau pelanggaran terhadap kewajiban, tindakan yang melibatkan hal-hal seperti keadilan, otonomi, dan penghormatan terhadap manusia atau moral.87
Secara umum etika dapat dibagi menjadi etika individu dan etika sosial. Etika individu adalah studi terhadap perilaku normatif individu sedangkan etika sosial merupakan etika yang mempelajari perilaku komunal.88 Etika sosial membicarakan tentang isu kolektif dalam skala besar. Isu multikulturalisme merupakan masalah yang berada pada wilayah kemanusiaan yang menyangkut nilai-nilai martabat manusia, keadilan, dan kebebasan yang berfokus pada sebuah cita-cita akan kemakmuran serta keadilan sebagai wujud dari tujuan kehidupan kolektif.89 Oleh karena itu dalam kaitannya dengan tema multikulturalisme yang melibatkan kepentingan komunal, etika sosial mengambil peran dalam menyelidiki, memahami dan menilai tindakan masyarakat sehingga dapat menghasilkan standar moral yang secara normatif sesuai dengan prinsip-prinsip agar dapat mengatur kehidupan bersama dalam konteks kemajemukan.
2.2.2 Kajian Etika sosial dalam Konsep Keadilan John Rawls
Etika sosial berusaha mempelajari standar perilaku sekelompok manusia untuk meningkatkan kualitas hidup sosial masyarakat yang bersifat sejahtera.90 Kualitas hidup tersebut berkaitan dengan
86 Peter, Donal, Thomas,Ethic, 9.
87 Peter, Donal, Thomas,Ethic, 8.
88 Peter A. Facione, Donal Scherer, Thomas Attig, Ethic and society, (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1991), 9.
89Martano, Hidup berbangsa, 11.
90 Peter, Donal, Thomas,Ethic, 8.
22
hubungan sosial, kebajikan, kesenangan, integritas, kehormatan, kekayaan dan keadilan.91 Pada realitasnya hubungan sosial yang terjalin sering diperhadapkan dengan ketegangan yang terjadi antara kebutuhan individual dan komunitarian yang mana penyelesaiannya membuthkan peran etika sosial yang dapat mengajukan jawaban dengan berprinsip pada penghargaan otonimi individu tanpa mengabaikan kepentingan bersama.92 Gagasan Jhon Rawls seorang filsuf pada abad ke 20, tentang keadilan yang dihasilkan oleh kontrak sosial, dapat menjadi dasar dari prinsip moral yang menjawab kriteria kebebasan dan kesetaraan yang dapat diterima semua individu yang rasional.93 Teori Kontrak Rawls merupakan respon atas teori etika utilitarianisme yang dikirtik tidak berhasil menjamin keadilan dan kepentingan sosial masyarakat secara menyeluruh dengan mengabaikan kepentingan setiap orang sebagai individu.94 Kebebasan, hak dan martabat individu harus dapat dipertimbangkan sehingga masyarakat bukan hanya tempat untuk merima manfaat tetapi menjadi tempat individu dapat mengekspresikan dan memenuhi diri sepenuhnya sebagai manusia yang saling membutuhkan satu dengan yang lain. Gagasan Keadilan Rawls ini mengacu pada hak setiap masyarakat sehingga menjadi sumbangsih yang berguna terhadap usaha mengelaborasikan dan menjelaskan tentang struktur dasar tatanan sosial-politis masyarakat yang berfokus pada prinsip keadilan sebagaimana juga merupakan substansi etika sosial.95 Oleh karena itu konsep keadilan Rawls menjadi bagian dari etika sosial yang berusaha menjelaskan tentang model masayarakat yang mengedepankan tanggung jawab sosial dan solidaritas yang dapat menjadi tumpuan hidup masyarakat bersama.
Dalam buku A Theory of Justice, Rawls menawarkan suatu konsep keadilan alternatif yang dapat mengakomodasikan pribadi individu secara serius tanpa mempertaruhkan kesejateraan hak- haknya demi kebaikan orang lain lewat metode Justice as Fairness atau keadilan sebagai kesetaraan.96 Teori ini sebagai respon Rawls terhadap ketidakadilan sosial dalam masyarakat serta
91 Tony Fitzpatrick, Applied Ethics and Social Problems Questions of Birth, Society and Death, (University of Bristol:2008 ), Applied Ethics ,62.
92 Ulman, Social Ethics, 1.
93 Fitzpatrick Applied Ethics ,61.
94 Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 21.
95 Ulman, Social Ethics, 9.
96 Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, 50.
23
perilaku ketidakadilan yang dipengaruhi oleh etika utilitarianisme.97 Teori ini kemudian bertujuan untuk mempertemukan hak individu dan kewajiban sosial secara seimbang dan selaras sehingga tidak ada pihak-pihak dalam masyarakat yang merasa terugikan dan terabaikan. Hubungan sosial yang ingin dicapai ialah hubungan sosial yang berkeadilan dengan cara mempertemukan hak-hak dasar yang berbeda bagi setiap individu dan disaat yang sama juga memenuhi kebutuhan kehidupan bersama dipihak yang lain. Oleh karena itu Rawls menekankan pada pentingnya keadilan sebagai kebajikan utama yang harus dipegang teguh dan menjadi semangat dasar dari suatu masyarakat.
Keadilan yang dimaksudkan oleh Rawls ialah yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektif dalam perspektif demokrasi.98 Keadilan harus dapat dimengerti sebagai kesetaraan, dalam arti bahwa tidak hanya pihak-pihak yang memiliki talenta dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati berbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga sekaligus harus membuka peluang bagi pihak-pihak yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya.99 Konsep keadilan John Rawls memberikan kesempatan yang setara serta hak yang sama bagi semua anggota masyarakat untuk berpartisipasi pada setiap pengambilan keputusan politik.
Suatu keadilan yang memadai dibentuk berdasarkan kesepakatan-kesepakatan atau kontrak dimana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih dan digunakan bersama merupakan hasil kesepakatan dari semua pihak yang bebas, rasional dan sederajat.100 Inilah mengapa prinsip keadilan tersebut haruslah bersifat kontraktual yang mana lahir dari hasil kesepakatan semua anggota masyarakat yang memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam proses pemilihan prinsip-prinsip keadilan. Kesepakatan bersama dari semua pihak tentang yang adil dan tidak adil diharapkan mampu membentuk masyarakat yang tertata dengan baik atau well-ordered society.101 Kontrak sosial membuka ruang bagi pilihan yang rasional agar dapat mengakomodasi semua kepentingan pihak-pihak secara adil untuk mengatur struktur dasar masyarakat demi mencapai tujuan kepentingan masyarakat bersama.
97 Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 21.
98 Andre Atta Ujan, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 22.
99 Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 25.
100 Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 53.
101 Well ordered society ialah pengandaiaman masyarakat ideal dengan ciri ialah pertama, semua anggota masyarakat memiliki kesediaan untuk menerima dan mematuhi prinsipi keadilan. kedua, setiap anggota melihat dirinya sebagai person moral yang bebas dan sama, ketiga lembaga sosial harus dapat ,emciptakan rasa keadilan bagii setiap anggota masyarakat. Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 46.
24
Kontrak sosial hanya dapat dicapai apabila pihak yang terlibat berada pada posisi asali.102 Posisi asali103 merupakan situasi atau kondisi awal yang mutlak demi mencapai keadilan sebagai kesetaraan.104 Posisi asali ditandai dengan a veil of ignorance105 atau keadaan-keadaan tanpa pengetahuan. Semua pihak yang berada dalam posisi asali harus berada dalam keadaan tanpa pengetahuan agar terhindar dari kecenderungan untuk memiliki kepentingan tertentu yang tidak sesuai dengan tujuan keadilan.106 Posisi asali dapat tercapai apabila pihak-pihak berfokus pada kondisi keadilan dengan mengutamakan kepentingan dan kebutuhan yang memberikan keuntungan bersama.
Posisi asali menjadi sikap yang memungkinkan terjadinya proses deliberasi yang adil.
Posisi asali juga merupakan representasi konsep person moral.107 Moral person108 pada dasarnya memiliki dua kemampuan moral yakni, pertama, kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasarkan rasa keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu kerja sama sosial.
Kedua, kemampuan untuk membentuk, merevisi dan secara rasional mengusahakan terwujudnya
konsep yang baik. 109 Dengan demikian kemampuan moral yang dimiliki oleh setiap pihak yang terlibat ialah, sebagai moral person secara otonom, rasional dan setara sehingga dapat menetapkan cara-cara dan tujuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
102 Karen Lebacqz, Teori-Teori Keadilan: Analisis Kritis Pemikiran J. S Mill, J, Rawls, R. Nozick, R Neibuhr, J.P. Miranda, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2013), 50.
103 Posisi Asali merupakan suatu kondisi mutlak demi terjaminya keadilan sebagai kesetaraan. Rawls melihat posisi asali sebagai situasi awal kontrak dimana prinsip-prinsip akan dipilih. Sifatnya sebagai kondisi awal maka keadilan yang dihasilkan tidak terdapat keberpihakan. Walaupun demikian posisi asali sebenarnya merupakan situasi hipotesis murni dimana tidak ada hal serupa yang benar-benar dapat terjadi. Meskipun hanya bersifat hipoteisis namun posisi asali menjadi syarat yang memadai untuk melahirkan sebuah konsep keadilan yang berkiblat pada terjaminnya kepentingan bagi semua pihak., Ujan, Keadilan dan Demokrasi,53.
104 John Rawls, Teori Keadilan, (A Theory of Justice) ( Yogyakarta:Pustaka Belajar, 2006), 19
105 A veil of ignorance merupakan syarat yang harus dimiliki oleh setiap pihak dalam proses menentukan prinsip keadilan.
Setiap pihak yang terlibat harus menepatkan posisi pada ketidaktahuan terhadap jenis pengetahuan tertentu yang dapat mempengaruhi proses pemilihan prinsip keadilan. Ketidaktauhuan tersebut seperti kedudukan atau posisi sosial mereka di masyarakat, tujuan-tujuan khusus atas rencana hidup mereka sendiri dsb. Semua pihak yang terlibat dalam pemilihan prinsip keadilan harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat umum., Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 55.
106 Ujan, Keadilan dan Demokrasi,54.
107 Ujan, Keadilan dan Demokrasi,58.
108 Moral person yang dimaksudkan dalam tulisan ini merupakan gagasan Rawls tentang person yang merujuk pada manusia seutuhnya atau yang diartikan sebagai pribadi dengan kemampuan moral yang rasional, bebas dan setara. Kemampuan tersebut digunakan untuk menentukan prinsip-prinsip keadilan dengan tujuan yang tepat bagi dirinya dan umum secara proposional. Person sebagai pribadi yang membawa hak dan kewajiban yang sama menjadi basis yang penting dalam prosedur mentapkan prinsip-prinsip keadilan melalui kesepakatan. Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 38-39.
109 Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, 37.
25
Semua pihak yang terlibat dalam menentukan kontrak sosial dengan mengambil posisi asali maka diandaikan oleh Rawls akan memilih dua prinsip keadilan.110 Kedua prinsip ini dipilih karena secara esensial memiliki kemampuan untuk mengatur struktur sosial dasar sedemikian rupa sehingga mampu memenuhi kepentingan khususnya nilai-nilai primer dari segenap anggota masyarakat.111 Kedua prinsip ini diharapkan dapat mendukung sebuah kontribusi yang adil atas manfaat-manfaat serta nilai-nilai sosial atau social goods, seperti pendapatan dan kekayaan, kebebasan dan kesempatan, serta harga diri.112 Rumusan dua prinsip keadilan menempatkan setiap pihak sebagai person moral yang dilibatkan sebagai pembentukan dasar dalam ikatan kerja sama sosial dalam masyarakat yang saling menguntungkan.
Prinsip pertama, “setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang”.113 Menurut Rawls semua pihak akan berfokus pada melindungi kebebasan mereka sebagai individu agar tetap setara.114 Prinsip kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga (a) dapat diharapkan memberi keuntungan semua orang, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.115 Dalam prinsip kedua ialah tentang keadilan yang mengizinkan ketidaksetaraan didalam pendistribusian hanya jika hal itu dapat melindungi bahkan memperbaiki posisi mereka yang berada pada pihak yang kurang beruntung dimasyarakat.116
Teori keadilan Rawls relevan dipakai untuk menjelaskan konsep keadilan dalam masyarakat multikultural karena memuat tentang prinsip-prinsip keadilan yang juga merupakan tujuan dari multikulturalisme. Alasanya ialah pertama, dalam tradisi Henge’do melambangkan situasi yang menjunjung tinggi persaudaraan dan tidak memandang perbedaan. Pada teori Rawls dalam proses menentukan prinsip-prinsip keadilan, individu-individu yang terlibat diharuskan berada pada posisi asali agar setiap pihak yang terlibat berada pada kedudukan yang setara tanpa membawa kepentingan
110 Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, 53.
111Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 72.
112Ujan, Keadilan dan Demokrasi, 73.
113Rawls, Teori keadilan, 72.
114Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, 23.
115 Rawls, Teori keadilan, 72.
116 Lebacqz, Teori-Teori Keadilan, 56.
26
tertentu. Kedua, segala bentuk pertemuan dan pengambilan keputusan yang dilandasi dengan tradisi Henge’do, masyarakat menempatkan dirinya secara setara, jujur, saling menerima dan menghormati.
Pada teori keadilan Rawls juga mengemukakan setiap pihak yang terlibat akan mengekspresikan diri dan kemampuan yang dimilikinya sebagai manusia yang rasional, otonom dan setara sehingga proses perumusan kesepakatan dapat menghasilkan pilihan yang adil bagi semua pihak. Keadilan tersebut diusahakan demi mencapai masyarakat yang tertata secara baik. Berdasarkan adanya kemiripan situasi dalam tradisi Henge’do dan teori keadilan Rawls maka teori ini dapat digunakan untuk memeriksa dan menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam Tradisi Henge’do sehingga dapat dipertanggungjawabkan dengan prosedur-prosedur berfikir secara etika sosial untuk mencapai keadilan yang setara.
Perubahan sosial di tengah Pandemi COVID-19 menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat Sabu untuk tetap dapat mempertahankan tradisi Henge’do sebagai kekuatan internal masyarakat demi mewujudkan masyarakat yang tertata secara baik. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam tradisi Henge’do harus dapat menjadi bagian yang secara nyata dapat dipertanggungjawabkan dan diterima agar merangsang dan bahkan tetap dapat memotivasi anggota masyarakat dalam menanamkan multikulturalisme bahkan di tengah Pandemi COVID-19. Apabila tradisi Henge’do dapat memberikan prinsip-prinsip yang adil dan baik bagi seluruh lapisan masyarakat maka dengan sendirinya nilai-nilai dalam tradisi tersebut akan berguna menjadi alat kontrol perilaku dan disaat yang sama dapat mempersatukan seluruh lapisan masyarakat dalam bingkai kemajemukan.