• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSELING KOGNITIF-PERILAKU KKP UNTUK KONSELI ADIKSI OBAT: Eksperimen KKP untuk Mengurangi Dampak Psikologis Konseli Adiksi Obat di Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera Lembang Kabupaten Bandung Barat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSELING KOGNITIF-PERILAKU KKP UNTUK KONSELI ADIKSI OBAT: Eksperimen KKP untuk Mengurangi Dampak Psikologis Konseli Adiksi Obat di Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera Lembang Kabupaten Bandung Barat."

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

UCAPAN TERIMA KASIH vi

DAFTAR ISI xi

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GRAFIK xviii

DAFTAR BAGAN xix

DAFTAR GAMBAR xx

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 21

C. Hipotesis Penelitian 22

D. Tujuan Penelitian 23

E. Manfaat Penelitian 23

F. Asumsi Penelitian 24

G. Metode Penelitian 25

H. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian 26

BAB II KONSELING KOGNITIF-PERILAKU (KKP) DAN DAMPAK PSIKOLOGIS KONSELI ADIKSI OBAT

27

A. Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) 27

1. Landasan Filosifis Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) 27 2. Dinamika Perkembangan Konseling Kognitif-Perilaku 30 3. Makna dan Karakteristik Konseling Kognitif-Perilaku 34

4. Strategi Konseling Kognitif-Perilaku 40

5. Komponen Utama Konseling Kognitif-Perilaku 42

(2)

3. Depresi 57

4. Regulasi Diri 68

5. Efikasi Diri 89

6. Harapan Hidup Wellness 94

7. Pengarahan Diri 99

BAB III METODE PENELITIAN 117

A. Desain Penelitian 117

B. Variabel dan Definisi Operasional 119

1. Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) 119

2. Adiksi Obat 119

3. Orientasi Berpikir 121

4. Kontrol Diri 123

5. Depresi 124

6. Regulasi Diri 125

7. Efikasi Diri 127

8. Harapan Hidup Wellness 127

9. Pengarahan Diri 128

C. Pengembangan Instrumen Pengumpul Data 129

1. Pengembangan Kisi-kisi Instrumen Penelitian 130

2. Penimbangan Instrumen Penelitian 130

3. Menghitung Reliabilitas Antarpenimbang 131

4. Uji Keterbacaan Instrumen Penelitian 133

5. Uji Coba Instrumen Penelitian 134

D. Populasi dan Sampel Penelitian 147

E. Teknik Pengumpulan Data 148

F. Pelaksanaan Pengumpulan Data 149

G. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 156

1. Pengolahan Data 156

2. Analisis Data 158

(3)

Konseli Adiksi Obat

2. Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Kontrol Diri Konseli Adiksi Obat

167 3. Efektivitas KKP untuk Mengurangi Depresi Konseli

Adiksi Obat

171

4. Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Regulasi Diri Konseli adiksi Obat

176 5. Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Efikasi Diri

Konseli Adiksi Obat

180

6. Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Harapan Hidup

Wellness Konseli Adiksi Obat

184 7. Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Pengarahan Diri

Konseli Adiksi Obat

191

B. Pembahasan 197

1. Pembahasan tentang Efektivitas KKP untuk Mengubah Orientasi Berpikir Konseli Adiksi Obat

197

2. Pembahasan tentang Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Kontrol Diri Konseli Adiksi Obat

203 3. Pembahasan tentang Efektivitas KKP untuk Mengurangi

Depresi Konseli Adiksi Obat

207 4. Pembahasan tentang Efektivitas KKP untuk

Meningkatkan Regulasi Diri Konseli adiksi Obat

219

5. Pembahasan tentang Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Efikasi Diri Konseli Adiksi Obat

222 6. Pembahasan tentang Efektivitas KKP untuk

Meningkatkan Harapan Hidup Wellness Konseli Adiksi Obat

229

7. Pembahasan tentang Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Pengarahan Diri Konseli Adiksi Obat

234

C. Keterbatasan Penelitian 254

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 256

A. Kesimpulan 256

B. Rekomendasi 264

DAFTAR PUSTAKA 270

LAMPIRAN-LAMPIRAN

(4)

Coba Instrumen Penelitian

D. Hasil Penghitungan Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

366 E. Data Pretest Kelompok Kontrol (KK) dan Eksperimen (KE) 404 F. Data Posttest Kelompok Kontrol (KK) dan Eksperimen (KE) 413

G. Manual Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) 422

H. Hasil Pengujian Normalitas Data 576

I. Homogenitas Data Pretest 561

J. Surat-surat Penting Pendukung Penelitian

RIWAYAT HIDUP PENELITI

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

1.1 Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia Tahun 2001-2009

8

2.1 Isi dari Pengalaman Emosi Manusia 59

2.2 Daftar Emosi Dasar Manusia 61

(5)

2.5 Tahap Model Perkembangan Pembelajaran Pengarahan Diri 108 3.1 Kisi-kisi Instrumen Orientasi Berpikir (Sebelum Uji Coba) 281 3.2 Kisi-kisi Instrumen Kontrol Diri (Sebelum Uji Coba) 282 3.3 Kisi-kisi Instrumen Depresi (Sebelum Uji Coba) 286 3.4 Kisi-kisi Instrumen Regulasi Diri (Sebelum Uji Coba) 287 3.5 Kisi-kisi Instrumen Efikasi Diri (Sebelum Uji Coba) 292 3.6 Kisi-kisi Instrumen Harapan Hidup Wellness (Sebelum Uji

Coba)

296

3.7 Kisi-kisi Instrumen Pengarahan Diri (Sebelum Uji Coba) 305 3.8 Koefisien Reliabilitas Antarpenimbang Seluruh Instrumen

Penelitian tentang Dampak Psikologis Adiksi Obat

131

3.9 Indeks Koefisien Korelasi 135

3.10 Kisi-kisi Instrumen Orientasi Berpikir (Setelah Uji Coba) 138 3.11 Kisi-kisi Instrumen Kontrol Diri (Setelah Uji Coba) 139 3.12 Kisi-kisi Instrumen Depresi (Setelah Uji Coba) 140 3.13 Kisi-kisi Instrumen Regulasi Diri (Setelah Uji Coba) 142 3.14 Kisi-kisi Instrumen Efikasi Diri (Setelah Uji Coba) 143 3.15 Kisi-kisi Instrumen Harapan Hidup Wellness (Setelah Uji

Coba)

144

3.16 Kisi-kisi Instrumen Pengarahan Diri (Setelah Uji Coba) 146 3.17 Contoh Penghitungan Frekuensi Orientasi Berpikir Konseli

Adiksi Obat

156

3.18 Pola Penyekoran Inventori Depresi Konseli Adiksi Obat 157 3.19 Pola Penyekoran SKD, SRD, SED, WS, dan SPD Konseli

Adiksi Obat

157

3.20 Kualifikasi NSG (g) 159

4.1 Proporsi Kecenderungan Orientasi Berpikir Konseli Adiksi Obat

162

4.2 Hasil Pengujian Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Kontrol Diri

168

(6)

4.5 NGS (g) Depresi Konseli Adiksi Obat 172 4.6 Hasil Pengujian Efektivitas KKP untuk Meningkatkan

Regulasi Diri

177

4.7 NGS (g) Regulasi Diri Konseli Adiksi Obat 177

4.8 Hasil Pengujian Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Efikasi Diri

181

4.9 NGS (g) Efikasi Diri Konseli Adiksi Obat 181

4.10 Hasil Pengujian Efektivitas KKP untuk Meningkatkan Harapan Hidup Wellness

185

4.11 NGS (g) Harapan Hidup Wellness Konseli Adiksi Obat 185 4.12 Hasil Pengujian Efektivitas KKP untuk Meningkatkan

Pengarahan Diri

192

4.13 NGS (g) Pengarahan Diri Konseli Adiksi Obat 192

4.14 Ringkasan Hasil Penelitian 196

DAFTAR GRAFIK

Grafik Hal.

4.1 Proporsi Kecenderungan Orientasi Berpikir Konseli Adiksi Obat

163

4.2 NGS (g) Kontrol Diri Konseli Adiksi Obat 169

4.3 NGS (g) Depresi Konseli Adiksi Obat 173

4.4 NGS (g) Regulasi Diri Konseli Adiksi Obat 178

4.5 NGS (g) Efikasi Diri Konseli Adiksi Obat 182

4.6 NGS (g) Harapan Hidup Wellness Konseli Adiksi Obat 186

4.7 NGS (g) Pengarahan Diri Konseli Adiksi Obat 193

(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan Hal.

2.1 Dimensi-dimensi Depresi 67

3.1 Alur Penelitian 118

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

2.1 Plutchik’s Three-Dimensional Models of the Emotions 50 2.2 Dimensi-dimensi Orientasi Berpikir Konseli Adiksi Obat 53

2.3 Bentuk Triadik Regulasi Diri 72

2.4 Fase Berbentuk Siklus dari Regulasi Diri 73

2.5 The Wheel of Wellness 96

3.1 Pretest-Posttest Control Group Design 117

4.1 Alur Bantuan Konselor dalam Mengubah Orientasi Berpikir Konseli Adiksi Obat

201

4.2 Enam Langkah Menuju Perubahan/Kesembuhan dari Ketergantungan Obat Menurut Imam Al-Ghazali

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Era globalisasi sebagai era kekuasaan ideologi kapitalisme-liberalisme dan era cyber-net telah menciptakan berbagai peluang dan harapan baru di samping berbagai tantangan dan ancaman baru bagi eksistensi kehidupan manusia. Dunning dan Hamdani (2000 : 1) mengemukakan bahwa globalisasi adalah fenomena yang rumit, penuh dengan kekontrasan, menghantui dan memaksa setiap orang menghadapi perubahan. Bagi sementara orang, globalisasi dipandang sebagai bagian dan proses integrasi umat manusia, tetapi bagi yang lainnya globalisasi justru dirasakan sebagai ancaman disintegrasi dan marginalisasi kemanusiaan secara total dan semesta. Robertson (2000 : 1) mendefinisikan globalisasi sebagai “the compression of the world into a single space and the

intensification of the world consciousness of the world as a whole”.

(10)

saja, dan dimana saja, dalam berbagai bentuk, baik audio, visual, maupun audio-visual yang menyajikan informasi, data, dan peristiwa dalam waktu sekejap.

Menurut Mahayana (1999 : 16-17) perkembangan cyber-net yang memiliki akselerasi hyper-exponential yang sulit dibayangkan, yakni humanisasi

internet. Dari sudut pandang ini, internet adalah manifestasi material usaha

manusia secara terus-menerus untuk mencapai suatu era dimana induksi pengetahuan dan kebudayaan manusia mencapai kesempurnaan alamiahnya. Pada era ini terjadi ledakan besar komunikasi (communication big bang), ledakan besar informasi (information big bang), ledakan besar pengetahuan (knowledge big

bang), yang pada gilirannya akan menimbulkan ledakan besar manajemen

(management big bang), ledakan besar aktifitas ekonomi antar negara (interstate

economic activities big bang), ledakan besar organisasi-organisasi antar benua

(intercontinental organization big bang), dan berbagai big bang lainnya. Akan tetapi, globalisasi juga mempunyai konsekuensi merugikan bagi yang lainnya, mempengaruhi keamanan manusia, memperburuk ekonomi, marginalisasi sosial, dan meningkatnya kemiskinan.

Terbawanya manusia dalam banjir informasi di era globalisasi menyebabkan kekaburan untuk memahami perbedaan antara kebutuhan dengan keserakahan (needs and greeds), keinginan dan kebutuhan (wishs and needs) yang kemudian mendorongnya untuk secara terus-menerus terlibat dalam kegiatan pemuasan pribadi, berkembang menjadi makhluk yang egocentris dan

(11)

globalisasi telah bergerak ke arah : (1) kematian sosial (pososial), yakni matinya realitas (pos-realitas), berpacu dalam gaya hidup konsumtif-kapitalisme-liberal (pos-ekonomi) berupa bermunculannya ekonomi bermodalkan syahwat (libidonomics), simbiosis antara realitas dan fantasi (pos-media), antara realitas dan virtualitas seni (pos-estetik); (2) horor menjadi hiburan (poshororisme), yakni timbulnya kejahatan yang begitu sempurna dan soft-criminality (pos-kriminalitas), simbiosis realitas dan fantasi perang (pos-realitas perang), terorisme dan mesin pengintai global teror); (3) bersatunya demokrasi dan anarki (pos-demokrasi), yakni pos-demokrasi dan matinya sosial, antara ego politik dan mikrofasisme otonomi), fatamorgana hukum dan ilusi kebenaran (pos-realitas hukum) berupa munculnya fatamorgana keadilan, “topeng-topeng” kebenaran, language games dan justice games; (4) melampaui batas-batas moralitas (pos-moralitas), yakni simbiosis antara hasrat dan kesucian (pospiritualitas), simbiosis kebenaran dan kepalsuan (pos-moralitas), ketika gairah tubuh digantikan mesin berupa maraknya cybersex.

Era globalisasi, modernisasi, dan akulturasi yang terjadi pada dekade sekarang ini telah membawa perubahan-perubahan secara psikologis maupun sosiologis, selain berdampak positif bagi kemajuan kehidupan juga menimbulkan

side effect berupa perubahan paradigma dan pandangan tentang nilai dan moral

(12)

konsumtif. Perubahan pandangan dari generasi muda yang disertai ketidaktentuan akan masa depan, menurut Kartadinata (1988 : 3) memang dapat membuat manusia serba bingung atau membuat dirinya larut dalam situasi. Apabila individu mendapat kesulitan psikologis, maka yang bersangkutan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan masalah, walaupun itu sebenarnya semu. Tidaklah mengherankan apabila suatu saat muncul sikap “obat untuk setiap masalah” (drug for every problems). Mereka beranggapan bahwa masalah itu akan hilang saat

mereka menggunakan obat; padahal, pada kenyataannya memunculkan masalah baru berupa ketergantungan terhadap obat. Goddard (Ma’sum, 1987 : 52) menjelaskan bahwa sifat obat ini adalah psikotropika (menggerakan psikis) memiliki efek terhadap otak dan susunan syaraf pusat, penggunaan di luar aturan dapat memunculkan keadiksian.

Perilaku penyalahgunaan obat digolongkan ke dalam mal-adaptive deviant

behavior response yang dicetuskan oleh faktor pendukung lingkungan spesifik

yaitu ketersediaan (substance availability) karena bertentangan secara diametrikal dengan Universal Behavior Trait. Perilaku ini sangat patologis karena dipilih sendiri oleh pelakunya meskipun si pelaku melalui reality judgment yang proses

reasoning-nya didasarkan pada perhitungan risk-benefit ratio dan antisipasi

terhadap real of fear factor mengetahui bahwa perilakunya akan menghancurkan dirinya. Sehingga terdapat kesan bahwa fungsi luhur dari abstract judgment dan motivasi intrinsik dasar pelestarian diri tidak berfungsi secara optimal. Selain itu, walaupun relativitas sosial-budaya memungkinkan suatu perilaku yang dianggap

(13)

lingkungan sosial-budaya lain atau sebaliknya, tetapi berbeda halnya dengan penyalahgunaan Napza yang menurut Universal Behavioral Trait secara jelas dan tegas dianggap sebagai intolerated vice. Produsen, distributor, dan penggunanya dianggap sebagai penjahat yang harus dihukum berat (Nurdin, 2000).

Direktur eksekutif dari United Nations Office on Drugs and Crime (2008 : 1) dalam ringkasan eksekutifnya yang berjudul 2008 World Drugs Report melaporkan bahwa indikator situasi penggunaan obat di dunia masih tetap menjadi perhatian utama dalam jangka waktu yang lama. Perspektif jangka panjang dan global menunjukkan bahwa penggunaan obat-obatan illegal telah mencapai nilai 5% dari populasi orang dewasa (jumlah kejadian per tahun pada orang berusia 15-64 tahun). Sementara itu, orang yang mengalami adiksi obat mencapai sepersepuluh dari persentase populasi penyalahguna obat-obatan illegal, yaitu kira-kira berjumlah 26 juta atau sekitar 0.6% populasi orang dewasa di planet ini.

(14)

menangani mereka yang sudah mengalami ketergantungan, dan untuk mengurangi ancaman kesehatan serta konsekuensi sosial yang diakibatkan oleh penyalahgunaan obat-obatan.

Kedua, pengendalian obat harus dilihat dalam konteks yang lebih luas

yaitu pencegahan tindak kriminal (crime prevention) dan juga dalam penegakan hukum sehingga kita bisa memotong hubungan antara penyelundupan obat secara illegal, tindak kriminal yang terorganisir, kasus korupsi dan terorisme. Beberapa wilayah yang memproduksi obat dengan jumlah terbesar di dunia (di Afganistan, Colombia, dan Myanmar) mengalami perhatian yang kurang atau pengendalian yang kurang dari pemerintahan pusatnya. Penyelundupan atau jual beli obat secara illegal melemahkan keamanan nasional (contohnya adalah yang terjadi beberapa wilayah di Amerika Tengah, Carribean, Meksiko, dan Afrika Barat). Uang dari hasil penjualan obat digunakan sebagai uang pelicin untuk korupsi, dan sebagai sumber untuk keuangan teroris. Pada gilirannya, para pejabat yang korup dan para teroris membuat proses produksi obat dan penyelundupannya menjadi mudah untuk dilakukan.

Ketiga, menjaga keamanan masyarakat dan mengamankan kesehatan

(15)

Di Indonesia sendiri, masalah penyalahgunaan obat (Napza) merupakan masalah serius yang harus dicarikan jalan penyelesaiannya dengan segera. Banyak kasus menunjukkan, akibat dari masalah obat telah menyebabkan banyak kerugian, baik materi maupun non-materi. Banyak kejadian, seperti perceraian, pembunuhan, penurunan kesehatan masyarakat, bahkan kematian yang disebabkan oleh adiksi obat.

Secara umum permasalahan obat dapat dibagi menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni : (1) adanya produksi obat secara gelap (illicit drug

production); (2) adanya perdagangan gelap obat (illicit trafficking); dan

(3) adanya penyalahgunaan obat (drug abuse). Ketiga hal itulah sesungguhnya menjadi target sasaran yang ingin “diperangi” oleh masyarakat internasional dengan gerakan anti madat sedunia, termasuk Indonesia.

Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap obat di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat, sudah sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Indonesia bukan hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap obat, tetapi telah menjadi tempat pemasaran, penggunaan bahkan telah menjadi tempat untuk produksi gelap obat.

(16)

makro. Akibatnya juga sangat kompleks dan luas tidak hanya terhadap pelakunya, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial ekonomi, bagi orang tua dan keluarganya, serta menimbulkan dampak yang merugikan terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan umat manusia.

Hawari (2002 : 98) mengemukakan hasil pengamatannya bahwa ternyata sebagian besar penyalahgunaan/ketergantungan Napza adalah peserta didik tingkat SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Pada umumnya mereka terlibat penyalahgunaan/ketergantungan Napza selain karena pengaruh kelompok teman sebaya, juga karena ketidaktahuannya (ignorancy). BNN RI (2009 : 1-3) melaporkan data tentang tindak pidana narkoba di Indonesia dari tahun 2001-2008 berikut.

Tabel 1.1

Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia Tahun 2001-2008

Berdasarkan Jumlah Kasus

NO KASUS

TAHUN

JUMLAH TOTAL

RATA-RATA PER TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

1 NARKOTIKA 1.907 2.040 3.929 3.874 8.171 9.422 11.380 10.006 40.723 8.145

2 PSIKOTROPIKA 1.648 1.632 2.590 3.887 6.733 5.658 9.289 9.780 31.437 6.287

3 BAHAN ADIKTIF

62 79 621 648 1.348 2.275 1.961 9.573 6.994 1.399

JUMLAH 3.617 3.751 7.140 8.409 16.252 17.355 22.630 29.359 79.154 15.831

(17)

Berdasarkan Usia

(18)

Berdasarkan data tentang tindak pidana Narkotika yang dilaporkan oleh BNN RI dapat diketahui bahwa penyalahgunaan obat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat dramatis serta melibatkan berbagai kalangan yang tidak memandang usia, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan. Hal yang paling menyedihkan adalah ternyata sebagian besar pelaku penyalahgunaan/ ketergantungan obat adalah peserta didik tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Pada umumnya mereka terlibat penyalahgunaan/ketergantungan obat selain karena pengaruh kelompok teman sebaya (peer group), ketidaktahuannya (ignorancy), atau bahkan paksaan dari orang dewasa lainnya yang tidak bertanggung jawab yang sengaja memanfaatkan keluguan, kelucuan, ketidaktahuan, dan kerasaingintahuan anak-anak untuk kepentingan bisnis haram mereka.

Bertambahnya para penyalahguna obat dari tahun ke tahun yang melibatkan generasi muda, dapat dipandang sebagai ancaman (Dato and Datuk, 1990 : 3) bagi perkembangan bangsa dan merupakan bahaya nasional (Tony, 1990 : 2). Selain itu, adiksi obat dapat menimbulkan symptoms dan dampak fisik maupun psikologis (Ausubel dalam Segal, 1988 : 50). Di antara dampak psikologis adiksi obat adalah mengalami gangguan dalam : (1) persepsi; (2) belajar dan memori; (3) depresi; (4) fungsi psikomotor; (5) orientasi berpikir; dan (6) proses-proses sensori dan dampak psikologis lainnya (Segal, 1988 : 158).

(19)
(20)

Lebih jauh, Depkes (2005) mengemukakan dampak adiksi obat sebagai berikut. Pertama, bagi pemakai, antara lain: (1) mengakibatkan kematian; (2) mengakibatkan kegilaan; (3) mempengaruhi daya ingat; (4) mempengaruhi perhatian, sulit berkonsentrasi; (5) mempengaruhi perasaan dan kemampuan otak untuk menerima, memilah-milah dan mengolah informasi; (6) menghambat

memahami informasi yang diterima; (7) mempengaruhi persepsi; (8) mempengaruhi daya nalar (penghayatan terhadap agama hilang/kabur);

(9) mempengaruhi motivasi; dan (10) menimbulkan beberapa penyakit, seperti

hepatitis B/C, maag, dan kanker. Kedua, terhadap keluarga, antara lain : (1) kerugian material (membeli dan mengobati); (2) menghabiskan tenaga dan

waktu; dan (3) keharmonisan keluarga sirna/terganggu. Ketiga, terhadap

masyarakat, di antaranya: (1) merusak tatanan sosial; (2) meningkatkan angka

kriminal; (3) meningkatkan angka kecelakaan lalu lintas; dan (4) terhambatnya perekonomian. Keempat, terhadap bangsa dan negara, antara lain: (1) kualitas generasi merosot; (2) moralitas bangsa menurun; dan (3) generasi hilang (lost

generation).

(21)

dan strategi pembelajaran yang dapat menyeimbangkan proses homonisasi dan

humanisasi.

Di dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa pada hakikatnya pendidikan merupakan “...usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Implikasinya adalah bahwa proses pendidikan yang dikembangkan

harus menyentuh banyak ragam dan aspek perkembangan peserta didik. Proses pendidikan sudah semestinya menyentuh dunia kehidupan peserta didik (konseli) secara individual, karena pada hakikatnya individu manusia itu bersifat kompleks. Proses ini tidak cukup hanya dilakukan oleh guru, tetapi juga profesi pendidik lainnya, yaitu konselor.

(22)

bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.

Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life

style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau

di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku seperti penyalahgunaan obat sampai mengalami adiksi.

(23)

intervensi efektif dan pemberian alternatif yang tepat dalam mengarahkan dan mengubah perilaku konseli adiksi.

Analog dengan pendapat tersebut, Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2006 : 34-36) mengatakan bahwa satu hal yang harus dipahami dalam terapi ketergantungan Napza adalah tidak semua pengguna Napza memiliki kesamaan dalam hal kebiasaan serta kebutuhan Napza yang dipakai. Selain itu, banyak pengguna Napza melewati tahapan-tahapan penggunaan Napza yang berbeda pada waktu yang berbeda-beda dalam hidupnya. Pada sebagian orang di berbagai penjuru dunia, mengisap opium atau heroin atau menyuntik heroin, tidak harus menjadi kecanduan terhadap zat-zat tersebut. Bagi sebagian besar orang yang menggunakan jenis-jenis Napza di atas, terdapat sebuah periode waktu dimana dapat menggunakan Napza tanpa menjadi kecanduan, sebab ketergantungan dapat terbentuk apabila Napza digunakan secara teratur selama beberapa waktu tertentu.

Periode ini bervariasi dari beberapa minggu hingga beberapa tahun. Penggunaan yang teratur saja tidak dapat langsung dikategorikan sebagai ketergantungan, sebab perlu memenuhi kriteria ketergantungan. Oleh karena itu, pendekatan terapi pun hendaknya bervariasi pula. Diperlukan pengetahuan lebih banyak tentang siapa si pengguna Napza itu, bagaimana mereka menggunakan Napza, apa saja situasi dan kondisi sosial mereka, serta alternatif apa saja yang dapat ditawarkan secara realistis di dalam situasi dan kondisi sosial mereka.

(24)

bermanfaat. Identifikasi dini para pengguna Napza, perlu dilakukan secara tidak mencolok di lingkungan masyarakat. Semakin berhasil upaya menggambarkan kondisi sosio-psikologis konseli adiksi obat, akan semakin besar pula kemungkinan keberhasilan konseling dalam proses pemulihan atau pencegahan kekambuhan (relapse).

Pertimbangan yang mendasari difokuskannya penelitian ini adalah hasil-hasil penelaahan pendahuluan (pre-survey) dengan melakukan wawancara tidak terstruktur kepada para konselor sekolah di beberapa wilayah seperti Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Kabupaten Ciamis, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat pada umumnya mengemukakan keluhan sebagai berikut.

1. Setiap semester kami menemukan siswa yang mengalami adiksi obat, tetapi kami merasa tidak siap untuk memberikan konseling secara efektif; 2. Kami mendapat kesulitan untuk memahami dampak-dampak psikologis

siswa yang mengalami adiksi obat karena keterbatasan-keterbatasan kami, baik menyangkut pengetahuan untuk mengungkapnya maupun fasilitas-fasilitas pendukungnya;

3. Konseli adiksi obat, semakin hari semakin meningkat;

4. Kami membutuhkan panduan, rambu-rambu konseling untuk konseli adiksi obat, tetapi sampai saat ini belum ada.

(25)

dengan menggunakan sistem pendekatan berimbang, yaitu dengan memadukan intervensi berbagai disiplin ilmu untuk mencapai target keseimbangan antara faktor fisik, medik, psikis, sosial, vokasional, dan mental religius sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal oleh eks pengguna Napza, keluarga, dan masyarakat umumnya.

BPSPP pada masa layanan Maret – Desember 2008 menerima konseli sebanyak 80 orang dengan latar belakang sebagai berikut. Pertama, berdasarkan jenis kelamin, terdiri atas 50 orang laki-laki dan 30 orang perempuan. Kedua, berdasarkan usia meliputi : (1) usia 14-16 tahun 10 orang; (2) usia 17-19 tahun 37 orang; (3) usia 20-22 tahun 19 orang; dan (4) usia 23-26 tahun 14 orang.

Ketiga, berdasarkan pendidikan, yaitu : (1) SD 19 orang; (2) SMP 37 orang; dan

(3) SMA 24 orang. Keempat, berdasarkan pekerjaan orang tua, terdiri atas : (1) tani 10 orang; (2) wiraswasta 18 orang; (3) buruh 19 orang; (4) ibu rumah tangga 8 orang; (5) swasta 10 orang; (6) PNS 2 orang; dan (7) pedagang 3 orang.

(26)

dari derajat keparahan dan seberapa intensif terapi diperlukan. Bentuk-bentuk terapi ketergantungan Napza, antara lain : (1) detoksinasi dan terapi withdrawal; (2) terapi terhadap kondisi emergensi; (3) terapi gangguan diagnosis ganda; (4) terapi rawat jalan (ambulatory atau out-patient treatment); (5) terapi residensi (residential treatment); (6) terapi pencegahan kekambuhan; (7) terapi pasca perawatan (after care); dan terapi substitusi (substitution therapy).

Jika dianalisis, uraian yang dikemukakan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, maupun data studi pendahuluan dari BPSPP dan lembaga pendidikan persekolahan (khususnya SMP dan SMA) belum secara eksplisit memasukkan konseling sebagai salah satu pendekatan untuk mengurangi dampak psikologis adiksi obat, padahal konseling memainkan peranan yang sangat penting untuk merekonstruksi perilaku individu dari mal-adjusted (di antaranya adiksi obat) menjadi perilaku well-adjusted (di antaranya sembuh dan memiliki

psychological strength untuk menolak kembali menyalahgunakan obat).

Shertzer dan Stone (1980 : 83) mengemukakan bahwa ekspektasi dan tujuan konseling adalah agar konseli: (1) mampu menghasilkan perubahan

perilaku (behavioral change) yang memungkinkan hidup lebih produktif dan

dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya; (2) mencapai kesehatan mental

secara positif (positive mental health), yang akan dicapai jika individu mencapai

integrasi kepribadian, penyesuaian diri dan dapat berdampingan secara positif dengan orang lain; (3) mampu mengatasi masalah dan menghilangkan gejalanya

(27)

akan ditemukan inti permasalahan, ketiadaan-ketiadaan pada diri konseli, apa yang dapat dilakukan oleh konseli, serta bagaimana cara mengatasi masalahnya; (4) mencapai keefektifan pribadi (personal effectiveness); melalui proses konseling diharapkan konseli mampu menunjukkan perilaku yang efektif untuk mengembangkan dirinya; (5) mampu membuat keputusan (decision making); konseling mempunyai tujuan untuk menstimulasi individu dalam mengevaluasi, membuat, menerima dan bertindak menurut pilihan dan keputusannya secara bertanggung jawab.

Salah satu pendekatan konseling yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak psikologis konseli adiksi obat adalah Cognitive Behavioral Therapy

(CBT) yang dalam penelitian ini disebut dengan istilah Konseling

(28)

problematis yang diakibatkan oleh adiksi obat. Alasan lainnya adalah karena KKP sangat menjanjikan untuk digunakan sebagai salah satu pendekatan konseling adiksi obat, yaitu: (1) KKP adalah pendekatan konseling yang singkat dibandingkan dengan pendekatan lainnya dan sangat cocok dengan kemampuan para ahli dari kebanyakkan program klinis; (2) KKP telah dievaluasi secara ekstensif dalam percobaan klinis yang dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan memiliki dukungan empiris yang cukup solid sebagai pendekatan konseling yang efektif untuk menangani konseli adiksi obat; (3) KKP adalah pendekatan konseling yang terstruktur, berorientasi pada tujuan, dan berfokus pada masalah yang baru dialami oleh pengguna obat, baru memasuki program konseling, dan konseli berusaha keras untuk mengendalikan penggunaan obat; (4) KKP adalah pendekatan konseling yang fleksibel, dapat diadaptasi untuk konseli dari beragam latar belakang dan kondisi, serta format yang berbeda (kelompok maupun individual); dan (5) KKP dapat dilakukan bersamaan dengan pendekatan konseling lainnya yang sesuai.

Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini difokuskan pada penelaahan tentang: Efektivitas Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) untuk Mengurangi

(29)

B. Rumusan Masalah

Masalah penyalahgunaan dan adiksi obat di Indonesia mengalami peningkatan dan menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa betapa banyak kerugian, baik material maupun non-material, maupun dampak fisik, psikologis, dan sosial.

Di antara dampak psikologis konseli adiksi obat adalah cenderung

mengalami : (1) orientasi berpikir eksternal; (2) kontrol diri (self-control) lemah; (3) depresi tinggi ; (4) regulasi diri regulation) lemah; (5) efikasi diri

efficacy) lemah; (6) harapan hidup wellness lemah; dan (7) pengarahan diri

(self-direction) lemah.

(30)

Berdasarkan uraian tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Sejauhmana Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) dapat mengurangi dampak

psikologis konseli adiksi obat?

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis utama penelitian ini adalah: KKP efektif untuk mengurangi dampak psikologis konseli adiksi obat.

Hipotesis utama tersebut dijabarkan sebagai berikut.

1. KKP efektif untuk mengubah kecenderungan orientasi berpikir konseli adiksi obat dari eksternal negatif ke internal positif.

2. KKP efektif untuk meningkatkan kontrol diri konseli adiksi obat.

3. KKP efektif untuk mengurangi depresi konseli adiksi obat.

4. KKP efektif untuk meningkatkan regulasi diri konseli adiksi obat.

5. KKP efektif untuk meningkatkan efikasi diri konseli adiksi obat.

6. KKP efektif untuk meningkatkan harapan hidup wellness konseli adiksi obat.

(31)

D. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah menguji efektivitas Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) untuk mengurangi dampak psikologis konseli adiksi obat. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran empirik tentang :

1. Efektivitas KKP untuk mengubah kecenderungan orientasi berpikir konseli adiksi obat dari eksternal negatif ke internal positif.

2. Efektivitas KKP untuk meningkatkan kontrol diri konseli adiksi obat.

3. Efektivitas KKP untuk mengurangi depresi konseli adiksi obat.

4. Efektivitas KKP untuk meningkatkan regulasi diri konseli adiksi obat.

5. Efektivitas KKP untuk meningkatkan efikasi diri konseli adiksi obat.

6. Efektivitas KKP untuk meningkatkan harapan hidup wellness konseli adiksi obat.

7. Efektivitas KKP untuk meningkatkan pengarahan diri konseli adiksi obat.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat teoretik. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah

(32)

(a) orientasi berpikir; (b) kontrol diri; (c) depresi; (d) regulasi diri; (e) efikasi diri; (f) harapan hidup wellness; dan (g) pengarahan diri; dan (2) KKP.

Manfaat empirik. Hasil penelitian yang paling utama adalah terujinya

manual KKP secara efektif untuk menyembuhkan dampak psikologis konseli adiksi obat. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan

masukan dalam : (1) pengembangan program konseling adiksi obat di sekolah; (2) pengembangan program penanganan konseli adiksi obat di lembaga-lembaga

rehabilitasi sosial; (3) peningkatan kompetensi konselor, calon konselor, psikolog klinis, pekerja sosial, dan praktisi kesehatan mental dalam memahami

karakteristik konseli adiksi obat dan strategi untuk menanganinya; (4) pemerolehan seperangkat instrumen untuk mengungkap dampak psikologis

konseli adiksi obat seperti : (a) orientasi berpikir; (b) kontrol diri; (c) depresi; (d) regulasi diri; (e) efikasi diri; (f) harapan hidup wellness; dan (g) pengarahan diri; dan (5) implikasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

F. Asumsi Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada asumsi-asumsi berikut.

1. Adiksi obat dapat menimbulkan dampak fisik dan psikologis (Ausubel dalam Segal, 1988 : 50).

(33)

(e) proses sensoris; dan (f) proses psikomotorik dan dampak psikologis lainnya (Segal, 1988 : 158).

3. Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) memandang secara integratif bahwa faktor pikiran, perasaan, perilaku, dan lingkungan berperan terhadap perilaku abnormal (Segal, 1988; Kadden, 2002; Wilson & Branch, 2006).

4. Dalam perspektif KKP, adiksi obat merupakan perilaku yang dipelajari sebagai hasil dari proses belajar (Kadden, 2002).

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode true-experimental designs dengan

pretest-posttest control group design.

Instrumen yang digunakan adalah : (1) inventori model paired comparison (IOB); (2) skala kontrol diri (SKD); (3) inventori depresi (ID); (4) skala regulasi diri (SRD); (5) skala efikasi diri (SED); (6) skala harapan hidup wellness (HHW); dan (7) skala pengarahan diri (SPD).

Analisis data menggunakan teknik persentase dan uji beda n rata-rata (t-test). Analisis data secara keseluruhan dilakukan secara computerized menggunakan bantuan perangkat lunak (software) Statistical Packages for Social

(34)

H. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera (BPSPP) Lembang Kabupaten Bandung Barat. Anggota populasi dalam penelitian ini adalah seluruh konseli adiksi obat di Balai Pemulihan Sosial Pamardi Putera (BPSPP) Lembang Kabupaten Bandung Barat yang berjumlah 46 orang konseli adiksi obat. Penarikan anggota sampel menggunakan teknik random selection dilanjutkan dengan random assignment. Random selection digunakan untuk memilih dan mengambil anggota sampel dari populasi, sedangkan random

assignment (Furqon, 2009 : 12) dilakukan untuk membagi dua sampel penelitian

(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode true-experimental designs dengan

pretest-posttest control group design (Campbell and Stanley, 1963 : 13; Heppner

et al., 2008:152), yang tervisualisasikan pada gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1

Pretest-Posttest Control Group Design

Metode ini digunakan untuk menguji hipotesis penelitian tentang efektifivas KKP untuk mengurangi dampak psikologis konseli adiksi obat. Indikator efektivitas KKP ini menggunakan kriteria statistik (statistical

significant) dan kriteria normatif/praktis, yaitu jika terjadi perubahan yang

signifikan ke arah yang lebih baik (sub variabel positif meningkat dan sub variabel negatif menurun) setelah konseling dari dampak psikologis konseli adiksi

obat, yang meliputi : (1) orientasi berpikir; (2) kontrol diri; (3) depresi; (4) regulasi diri; (5) efikasi diri; (6) harapan hidup wellness; dan (7) pengarahan

diri.

Visualisasi untuk memahami ketujuh variabel tersebut dapat dilihat pada alur penelitian yang dituangkan pada bagan 3.1.

R O

1 X O2

R O

(36)
(37)

B. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini terdiri atas : (1) Konseling Kognitif-Perilaku

(KKP); (2) dampak psikologis konseli adiksi obat (orientasi berpikir, kontrol diri,

depresi, regulasi diri, efikasi diri, harapan hidup wellness, dan pengarahan diri).

1. Konseling Kognitif-Perilaku (KKP)

Konseling Kognitif-Perilaku (KKP) adalah sebuah pendekatan konseling yang bertujuan untuk membantu konseli mengatasi masalah adiksi obat dengan cara memodifikasi perilaku, menggunakan pengkondisian, dan memaksimalkan aktivitas kognitif guna menghasilkan perubahan perilaku (sembuh dari adiksi obat) setelah menjalani konseling.

2. Adiksi Obat

Adiksi obat didefinisikan sebagai suatu keadaan psikis konseli yang muncul secara periodik atau kronis akibat penggunaan obat yang berulang, baik obat alam maupun sintetik yang ditandai oleh : (1) kehendak yang berlebihan atau memerlukan dengan paksa untuk meneruskan penggunaan obat dan berusaha mendapatkannya dengan segala cara; (2) adanya gejala untuk meningkatkan dosis; (3) memiliki ketergantungan fisik dan psikis terhadap pengaruh obat; serta (4) adanya gangguan kepribadian.

(38)

untuk terus menggunakan obat walaupun berbahaya (The American of Pan Medicine, the American Pain Society, and the American Society of Addiction Medicine dalam Wikidpedia, nd.).

Pada tahun 1957, World Health Organization (WHO) Expert Committee on Addiction Producing Drugs (Wikipedia, nd.) mendefinisikan adiksi obat sebagai suatu keadaan psikis individu yang muncul secara periodik atau mabuk yang kronis akibat penggunaan obat, baik alam maupun sintetik secara berulang-ulang dengan karakteristik berikut : (1) keinginan, kebutuhan, dan keharusan yang sangat kuat untuk melanjutkan penggunaan obat dan berusaha mendapatkannya dengan segala cara; (2) kecenderungan untuk meningkatkan dosis; (3) mengalami ketergantungan fisik maupun psikologis terhadap pengaruh obat; (4) mengalami gangguan kepribadian; dan (5) merugikan individu yang bersangkutan dan masyarakat. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition (DSM-IV) mengkategorisasikan tiga tahap adiksi, yaitu : kesukaan, pesta minuman keras/mabuk, dan menarik diri/berperilaku negatif.

Dalam kehidupan sehari-hari, obat didefinisikan sebagai semua zat atau paduan zat, baik dari alam (hewan dan tumbuhan) maupun kimiawi yang dalam takaran (dosis) yang tepat atau layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit dan gejala-gejalanya, luka atau kelainan fisik dan psikologis pada manusia atau hewan, serta untuk memperindah badan atau bagian badan manusia.

(39)

tidak berguna untuk pelayanan kesehatan pada umumnya; dan (2) obat yang digunakan untuk pengobatan, khususnya di bidang kesehatan yang berhubungan dengan psikis. Sifat obat ini adalah psikotropika (menggerakkan psikis), memiliki pengaruh terhadap otak dan susunan syaraf pusat hingga muncul keadiksian jika penggunaannya di luar aturan atau dosis yang tepat.

Tipe obat yang dapat menimbulkan adiksi, yaitu : (1) stimulants, meliputi : amphetamine, methamphetamine, caffeine, cocaine, dan nicotine ; (2) sedatives

dan hypnotics, terdiri atas : alcohol, barbiturates, benzodiazepines, flunitrazepam,

triazolam, temazepam, nimetazepam, methaqualone, dan quinazolinone sedative-hypnotics; (3) opiate dan opioid analgesics, meliputi : morphine, codeine, heroin (diacetylmorphine), oxycodone, hydrocodone, hydromorphone, fentanyl, meperidine/pethidine, dan methadone; (4) obat-obatan illegal dan zat adiktif lainnya; dan (5) obat-obatan legal yang disalahgunakan atau melebihi dosis aman (American Society of Addiction Medicine dalam Wikipedia, nd.).

3. Orientasi Berpikir

Orientasi berpikir didefinisikan sebagai suatu kecenderungan tentang cara konseli meletakkan tanggung jawab untuk keadaan dirinya berkenaan dengan objek yang dipikirkannya, baik internal maupun eksternal.

(40)

a) Berpikir Eksternal (BE)

Konseli yang tergolong berpikir eksternal adalah mereka yang cenderung meletakkan tanggung jawab untuk keadaan diri mereka pada seseorang atau sesuatu di luar dirinya saat membuat pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Orientasi berpikir eksternal ini terdiri dari dua dimensi. Dimensi pertama adalah berpikir eksternal positif (BE+) dalam arti bahwa di saat konseli adiksi berpikir maka konseli memandang positif terhadap objek-objek luar. Kedua, dimensi berpikir eksternal negatif (BE-), yaitu konseli memiliki pandangan yang negatif terhadap objek-objek di luar dirinya ketika ia berpikir.

Konseli yang orientasi berpikirnya eksternal meletakkan tanggung jawab kerancuan dirinya pada objek-objek di luar dirinya, yaitu kepada (1) orang tua; (2) saudara-saudaranya/famili; (3) masyarakat dan lingkungan; serta (4) teman-temannya.

b) Berpikir Internal

Konseli yang orientasi berpikirnya internal adalah mereka yang meletakkan tanggung jawab untuk keadaan dirinya pada diri mereka sendiri, menggunakan referensi diri ketika menilai keadaan diri mereka.

(41)

sedangkan bila didasarkan pada aspek-aspek diri secara negatif, maka dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan memiliki model berpikir internal negatif.

Baik orientasi berpikir eksternal positif maupun orientasi berpikir internal positif keduanya memiliki ciri-ciri tatanan emosi yang sama. Merujuk pendapat Plutchik (Morris, 1976 ; 408) dengan Dyer and Vriend (1977: 49) ciri-ciri

orientasi berpikir itu adalah memiliki keadaan emosi : (1) bergelora; (2) berapresiasi yang indah; (3) lega; (4) gembira; (5) cinta; (6) bahagia; (7) riang; (8) puas; (9) senang; dan (10) bangga.

Model berpikir internal dan eksternal negatif memiliki gambaran bahwa

keadaan emosinya adalah (1) jengkel; (2) berkeinginan mati; (3) takut; (4) berdosa; (5) sedih; (6) susah; (7) menyesal; (8) dendam; (9) frustasi; (10) depresi; (11) menolak; (12) cemas; (13) benci, dan (14) marah.

4. Kontrol Diri

Kontrol diri didefinisikan sebagai upaya konseli adiksi obat untuk mengendalikan diri dalam berpikir dan bertindak berdasarkan keyakinannya bahwa segala yang terjadi atas dirinya merupakan akibat tindakannya.

(42)

menerima risiko, yaitu kesanggupan menerima risiko atas tindakan yang dilakukan.

5. Depresi

Depresi diartikan sebagai suatu gangguan dinamika psikologis (terutama alam perasaan) yang mendalam dan berkelanjutan. Ditandai oleh perubahan emosi, menurunnya aktivitas, terhambatnya proses berpikir, delusi, halusinasi serta memiliki gejala-gejala gangguan tubuh.

Ciri-ciri konseli depresi, dikembangkan dengan bertolak pada konstruk depresi yang diungkapkan oleh Maslow and Mitteleman (Crow and Crow, 1960 :129-130). Maslow and Mittleman menjelaskan bahwa konstruk depresi itu terdiri dari enam dimensi yang dimensi terakhirnya adalah gejala gangguan tubuh (bodily

symptoms); sebagian dari indikatornya lebih cenderung ke bidang garapan

medik-psikiatrik (dimensi yang demikian tidak dimasukan ke dalam konstruk). Misalnya, ciri-ciri yang berkenan dengan berkurangnya kelenjar saliva, perubahan tekanan darah (tinggi menjadi rendah) dan terpengaruhinya perjalanan menstruasi.

Dari keenam dimensi tersebut dipilih dimensi dan indikator yang sesuai, karena itu konstruk depresi yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi hal-hal berikut.

a. Perubahan emosi. Gambaran perubahan emosi itu terjadi apabila konseli

(43)

b. Penurunan aktivitas atau keterasingan dari keterlibatan aktivitas yang ditandai

oleh : kelambanan dalam bekerja dan berbuat, sulit memulai tindakan, dan menghindari kontak sosial.

c. Terhambatnya proses berpikir. Indikatornya bila dalam pikiran mereka

menyatakan dan bahkan berpikir untuk bunuh diri, ia akan berbuat jahat pada dirinya sendiri, ia berpikir akan kegagal masa lau dan kini, pesimis, tidak mempunyai harapan, dan terkadang sulit memformulasikan suatu keputusan.

d. Delusi; bila konseli memiliki ide-ide bahwa dirinya tidak berguna, berdosa,

malu, masa depan suram, menganggap bahwa orang-orang membicarakannya, membiarkan dirinya jatuh dan membesar-besarkan kesalahan diri.

e. Halusinasi. Bila dalam pikiran konseli adiksi sepertinya mendengar

suara-suara yang akan menghukum mereka, maka hal itu merupakan ciri dari terjadinya halusinasi.

f. Gejala-gejala gangguan tubuh. Indikatornya : pengurangan nafsu makan,

berat badan menurun, terjadi perubahan pola tidur (sukar tidur dan atau sering terbangun malam hari dan sukar tidur lagi), dan kurang memiliki keinginan untuk mengurus kesehatan badan.

6. Regulasi Diri

(44)

Dalam penelitian ini, konstruk regulasi diri merujuk pada pendapat Zimmerman (Boekaerts et al., 2000 : 15-24) yang mengatakan bahwa regulasi diri terdiri atas tiga aspek, yaitu : pemikiran awal, kemampuan unjuk kerja atau kemampuan membuat keputusan, dan refleksi diri.

Pemikiran awal merujuk pada proses-proses awal yang sangat berpengaruh untuk melakukan suatu tindakan, meliputi indikator : (a) analisis tugas, terdiri atas penyusunan tujuan dan perencanaan strategi; dan (b) keyakinan yang memotivasi diri, terdiri atas self-efficacy, harapan pada hasil akhir, minat/nilai intrinsik, dan orientasi tujuan.

Kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan membuat keputusan melibatkan proses-proses yang terjadi selama usaha motorik dilakukan serta

mempengaruhi perhatian dan tindakan. Aspek ini terdiri atas indikator : (a) pengendalian diri, meliputi : pemberian instruksi pada diri sendiri, imajinasi,

memfokuskan perhatian, dan strategi pengerjaan tugas; dan (b) pengamatan diri, meliputi perekaman diri dan eksperimentasi diri.

Refleksi diri melibatkan proses-proses yang terjadi setelah dilakukannya usaha-usaha untuk melakukan suatu tindakan dan mempengaruhi respon konseli adiksi obat atas pengalamannya. Aspek ini terdiri atas indikator : (a) penilaian diri, meliputi : evaluasi diri dan atribut penyebab; (b) reaksi diri, meliputi : pemuasan diri dan penyesuaian diri.

(45)

7. Efikasi Diri

Efikasi diri didefinisikan sebagai keyakinan konseli adiksi obat terhadap kemampuannya untuk berperilaku secara efektif dan menghindari relapse.

Konstruk self-efficacy dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Bandura (1997: 42-50; 2001: 3-6) dan Maddux (Sudrajat, 2008 : 40–42) yang mengatakan bahwa self-efficacy terdiri atas tiga dimensi, yaitu: magnitude atau

level, strength, dan generality. Dimensi magnitude atau level, yaitu dimensi yang

berhubungan dengan tingkat kesulitan masalah atau tugas yang dapat diatasi oleh konseli adiksi obat sebagai hasil persepsi tentang kompetensi dirinya. Dimensi

strength, yaitu dimensi yang berhubungan dengan tingkat kemantapan konseli

adiksi obat terhadap keyakinannya. Dimensi Generality, yaitu dimensi yang berhubungan dengan luas bidang perilaku atau tingkat pencapaian keberhasilan seseorang dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah atau tugas-tugasnya dalam kondisi tertentu.

8. Harapan Hidup Wellness

Harapan hidup wellness didefinisikan sebagai keinginan untuk mencapai fungsi-fungsi manusiawi pada konseli adiksi obat secara maksimal yang mencakup aspek fisik, pikiran, dan jiwa.

(46)

9. Pengarahan Diri

Pengarahan diri didefinisikan sebagai kemampuan konseli adiksi obat untuk membuat dan mengimplementasikan rencana hidup yang lebih positif setelah sembuh dari adiksi obat.

Dalam penelitian ini, aspek-aspek pengarahan diri terdiri atas lima dimensi sesuai dengan pendapat Maryland Development Disabilities Council (2005 : 1) berikut ini.

a. Kebebasan, yakni kemampuan mengambil keputusan dalam membuat rencana hidup oleh dan untuk diri sendiri. Sedikitnya ada lima ciri individu yang memiliki kemampuan ini, yakni individu mampu menjawab dengan respon yang tepat atas pertanyaan berikut : (1) bagaimana dan dimana bekerja, belajar, dan menjalani kehidupan?; (2) apa pilihan hidup yang diinginkan?; (3) bagaimana memberikan sesuatu yang berarti bagi diri sendiri dan lingkungan?; (4) pelayanan atau dorongan apa untuk menjalani kehidupan yang lebih baik?; dan (5) dengan siapa sebaiknya menghabiskan waktu dalam hidup?

b. Otoritas, yakni kemampuan mengendalikan rencana hidup seperti : (1) mampu menentukan rencana hidup; (2) mampu membuat keputusan; dan (3) mampu memilih tindakan yang lebih bermakna.

(47)

dorongan untuk memelihara diri sendiri; (2) memiliki dorongan untuk aktif di lingkungan tempat tinggal; dan (3) memiliki dorongan untuk menemukan karir (pekerjaan).

d. Tanggung jawab, yaitu merasa berkewajiban untuk memanfaatkan kepercayaan orang lain dan berkontribusi terhadap lingkungan dalam membuat dan mengimplementasikan rencana hidup. Individu yang memiliki tanggung jawab memiliki karakteristik berikut : (1) menentukan pilihan; (2) mematuhi hukum dan nilai-nilai; (3) berpartisipasi dalam lingkungan kehidupan; dan (4) berupaya mengembangkan hubungan positif dengan teman, keluarga, dan tetangga.

e. Kontrol diri, yakni kemampuan mengendalikan diri dalam membuat dan mengimplementasikan rencana hidup. Individu yang memiliki kendali diri yang tinggi memiliki karakteristik berikut : (1) menyadari keadaan diri; (2) mampu mengelola diri; dan (3) memiliki komitmen terhadap rencana hidup.

C. Pengembangan Instrumen Penelitian

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data tentang konseli adiksi obat yang menyangkut hal-hal berikut : (1) orientasi berpikir; (2) kontrol diri; (3) depresi; (4) regulasi diri; (5) efikasi diri; (6) harapan hidup wellness; dan (7) pengarahan diri.

(48)

mengungkap arah kecenderungan berpikir; (2) Skala Kontrol Diri (SKD) untuk mengungkap tingkat kontrol diri; (3) Inventori Depresi (I-D) untuk mengungkap tingkat kedepresian; (4) Skala Regulasi Diri (SRD) untuk mengungkap tingkat regulasi diri; (5) Skala Efikasi Diri (SED) untuk mengungkap tingkat efikasi diri; (6) Skala Harapan Hidup Wellness (WS) untuk mengungkap tingkat harapan hidup sehat multidimensional; dan (7) Skala Pengarahan Diri (SPD) untuk mengungkap tingkat pengarahan diri.

Langkah-langkah pengembangan instrumen penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

1. Pengembangan Kisi-kisi Instrumen Penelitian

Kisi-kisi instrumen penelitian disajikan pada tabel 3.1, tabel 3.2, tabel 3.3, tabel 3.4, tabel 3.5, tabel 3.6, dan tabel 3.7 di lampiran 1.

2. Penimbangan (Judgment) Instrumen Penelitian

Penimbangan instrumen penelitian dilakukan oleh satu orang pakar Bimbingan dan Konseling, satu orang social worker dan satu orang pakar Psikologi Klinis.

(49)

3. Menghitung Reliabilitas Antarpenimbang

Penghitungan reliabilitas antarpenimbang menggunakan rumus dari Ebel (Guilford, 1959 : 395-397).

r = Kadar reliabilitas timbangan seorang penimbang

kk

r = Kadar reliabilitas antarpenimbang

p

V = Variansi pernyataan

e

V = Variansi galat

k = Banyak penimbang

Koefisien reliabilitas antarpenimbang setiap instrumen penelitian diperoleh dengan menggunakan rumus 3.1 dan 3.2 seperti tertuang pada tabel 3.8.

Tabel 3.8

Koefisien Reliabilitas Antarpenimbang untuk Seluruh Instrumen Penelitian tentang Dampak Psikologis Konseli Adiksi Obat

(50)

Instrumen Koefisien

Validasi eksternal instrumen penelitian dilakukan melalui uji keterbacaan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat apakah pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam instrumen penelitian dapat dimengerti susunan redaksi dan maknanya serta telah sesuai/menggambarkan orientasi berpikir, kontrol diri, depresi, regulasi diri, efikasi diri, harapan hidup wellness, dan pengarahan diri.

5. Uji Coba Instrumen Penelitian

(51)

a. Pengujian Validitas Intrumen Penelitian

Pemilihan item yang layak dipakai dilakukan melalui pengujian validitas item menggunakan teknik korelasi item-total product moment (Guiford & Frunchter, 1978 : 83; Fraenkel & Walen, 1993 : 175) dengan angka kasar.



Rumus untuk taraf signifikansi adalah sebagai berikut.

2

t = harga

t

hitung untuk tingkat signifikansi r = koefisien korelasi

n = banyaknya sampel

Pengujian korelasi item-total product moment untuk mencari validitas item dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) SPSS version

16.0 for Windows. Sementara itu, untuk melihat signifikansinya menggunakan

bantuan program Microsoft Office Excel 2007.

(52)

Pertama, instrumen Orientasi Berpikir (I-OB) tidak diuji kembali validitas

itemnya karena telah teruji pada waktu penelitian sebelumnya (Hafid, 1997).

Kedua, hasil pengujian validitas instrumen Skala Kontrol Diri (SKD), dari

43 item pernyataan yang disusun didapatkan 23 item pernyataan dinyatakan valid. Item pernyataan yang tidak valid adalah nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 15, 27, 29, 30, 34, 36, 37, dan 38. Hasil pengujian pada lampiran 4.

Ketiga, instrumen Depresi (ID) tidak diuji kembali validitas itemnya

karena telah teruji pada waktu penelitian sebelumnya (Hafid, 1997).

Keempat, hasil pengujian validitas instrumen Skala Regulasi Diri (SRD),

dari 56 item pernyataan yang disusun didapatkan 40 item pernyataan dinyatakan valid. Item pernyataan yang tidak valid adalah nomor 2, 7, 16, 20, 22, 23, 25, 28, 33, 41, 42, 44, 45, 46, 50, dan 55. Hasil pengujian pada lampiran 4.

Kelima, hasil pengujian validitas instrumen Skala Efikasi Diri (SED), dari

37 item pernyataan yang disusun didapatkan 25 item pernyataan dinyatakan valid. Item pernyataan yang tidak valid adalah nomor 5, 9, 10, 13, 14, 23, 25, 26, 31, 32, 34, dan 37. Hasil pengujian pada lampiran 4.

Keenam, hasil pengujian validitas instrumen Skala Harapan Hidup

Wellness (WS), dari 113 item pernyataan yang disusun didapatkan 87 item

(53)

Ketujuh, hasil pengujian validitas instrumen Skala Pengarahan Diri (SPD),

dari 74 item pernyataan yang disusun didapatkan 50 item pernyataan dinyatakan valid. Item pernyataan yang tidak valid adalah nomor 3, 7, 9, 13, 19, 28, 30, 31, 33, 34, 44, 49, 50, 51, 52, 55, 57, 58, 60, 61, 64, 65, 68, dan 72. Hasil pengujian pada lampiran 4.

b. Pengujian Reliabilitas Instrumen Penelitian

Pengujian reliabilitas instrumen penelitian dimaksudkan untuk melihat konsistensi internal instrumen yang digunakan. Tolok ukur reliabilitas instrumen penelitian didasarkan pada pendapat Balian (Sudrajat, 2008) tentang indeks angka korelasi yang disajikan pada tabel 3.9.

Tabel 3.9

Indeks Koefisien Korelasi

No. Indeks Koefisien Korelasi Kualifikasi

01. + 0,90 ─ + 1,00 Istimewa (Excellent)

02. + 0,85 ─ + 0,89 Sangat Bagus (Very Good)

03. + 0,80 ─ + 0,84 Bagus (Good)

04. + 0,70 ─ + 0,79 Cukup (Fair)

05. ≤ + 0,69 Kurang (Poor)

Hasil pengujian ketujuh instrumen penelitian dideskripsikan sebagai berikut.

Pertama, pengujian reliabilitas instrumen Orientasi Berpikir (I-OB)

(54)

(α) sebesar 0,93. Dengan merujuk pada klasifikasi rentang koefisien reliabilitas dari Balian (1988), koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,93 termasuk ke dalam kategori istimewa.

Kedua, pengujian reliabilitas instrumen Skala Kontrol Diri (SKD)

menggunakan rumus Cronbach’s Alpha (

) melalui bantuan software SPSS 16.0

for Windows diperoleh koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,85. Merujuk pada klasifikasi rentang koefisien reliabilitas dari Balian (1988), koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,85 termasuk ke dalam kategori sangat bagus.

Ketiga, pengujian reliabilitas instrumen Depresi (ID) menggunakan rumus

Spearman-Brown Coefficient diperoleh koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,95. Dengan merujuk pada klasifikasi rentang koefisien reliabilitas dari Balian (1988), koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,95 termasuk ke dalam kategori istimewa.

Keempat, pengujian reliabilitas instrumen Skala Regulasi Diri (SRD)

menggunakan rumus Spearman-Brown Coefficient melalui bantuan software SPSS

16.0 for Windows diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,88. Merujuk pada

klasifikasi rentang koefisien reliabilitas dari Balian (1988), koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,88 termasuk ke dalam kategori sangat bagus.

Kelima, pengujian reliabilitas instrumen Skala Efikasi Diri (SED)

menggunakan rumus Cronbach’s Alpha (

) melalui bantuan software SPSS 16.0

(55)

Keenam, pengujian reliabilitas instrumen Skala Harapan Hidup Wellness

(WS) menggunakan rumus Cronbach’s Alpha (

) melalui bantuan software SPSS

16.0 for Windows diperoleh koefisien reliabilitas (

) sebesar 0,959. Merujuk pada klasifikasi rentang koefisien reliabilitas dari Balian (1988), koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,959 termasuk ke dalam kategori istimewa.

Ketujuh, pengujian reliabilitas instrumen Skala Pengarahan Diri (SPD)

menggunakan rumus Spearman-Brown Coefficient melalui bantuan software SPSS

16.0 for Windows diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,914. Merujuk pada

klasifikasi rentang koefisien reliabilitas dari Balian (1988), koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,914 termasuk ke dalam kategori istimewa.

(56)

Tabel 3.10

Kisi-Kisi Orientasi Berpikir Konseli Adiksi (Setelah Uji Coba)

Orientasi Berpikir Kode Indikator Objek No.

Pernyataan

Jumlah

Pernyataan Notasi Eksternal Positif OBE+  Bergelora

 Berprestasi yang baik

Eksternal Negatif OBE-  Berkeinginan mati

(57)

Tabel 3.11

Kisi-Kisi Instrumen Kontrol Diri Konseli Adiksi Obat (Setelah Uji Coba)

Variabel Sub Variabel Aspek Indikator Nomor Butir Pernyataan

+ - ∑

Dampak Psikologis Konseli Adiksi Obat

Kontrol Diri Penguasaan situasi Berpikir positif 1 1

Dapat menguasai perasaan 2, 4 3 3

Dapat mengatasi masalah 5, 6, 7, 8 - 4

Dapat mendahulukan pekerjaan yang lebih penting

9, 10, 11 - 3

Motivasi bertindak Dapat memusatkan perilaku pada tujuan 12, 13 14, 15 4

Dapat merencanakan masa depan 16 17 2

Tidak terpengaruh hal-hal negatif dari lingkungan

18, 19 20 3

Kesediaan menerima resiko

Bertanggung jawab terhadap perilaku 21, 22, 23 - 3

(58)

Tabel 3.12

Kisi-Kisi Instrumen Inventori Depresi (Setelah Uji Coba)

Variabel Sub Variabel Dimensi Indikator Kode

Pernyataan berharga, tidak bergairah, tidak enak, dibiarkan, bersalah, dibebani tanggung jawab, kehilangan harga diri, tidak berbahagia, dibiarkan dan ragu terhadap diri

Kelambanan dalam bekerja dan berbuat, sulit memulai tindakan, menghindari kontak sosial

Dalam pikirannya ia menyatakan untuk bunuh diri, ia yang paling jahat untuk dirinya, berpikir kegagalan masa lalu dan kini, pesimis, tidak mempunyai harapan dan terkadang sulit memformulasikan suatu keputusan.

(59)

Variabel Sub Variabel Dimensi Indikator Kode

Dalam pikiran konseli sepertinya mereka mendegar suara-suara yang akan menghukum dia.

(60)

Tabel 3.13

Kisi-Kisi Instrumen Regulasi Diri Konseli Adiksi Obat (Setelah Uji Coba)

Variabel Sub memberikan instruksi pada diri sendiri

Pengamatan diri Mampu melakukan perekaman diri 25 - 1

(61)

Tabel 3.14

Kisi-Kisi Instrumen Efikasi Diri Konseli Adiksi Obat (Setelah Uji Coba)

Variabel Sub

Efikasi diri Magnitude/Level (Tingkat keyakinan dan

kemampuan dalam menentukan tingkat kesulitan tugas atau masalah yang

Merasa yakin dapat menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dengan baik

10 11, 12 3

Strength (Tingkat keyakinan konseli terhadap kemampu-annya dalam mengatasi masalah atau kesulitan yang muncul akibat tugas-tugasnya)

Meningkatkan upaya sebaik-baiknya 13, 14, 15, 16, 17, 18

- 6

Berkomitmen untuk melaksanakan tugas

19, 20, 21, 22 - 4

Generality (Tingkat keyakinan dan

kemampuan konseli dalam

menggeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya)

Menyikapi situasi dan kondisi yang beragam dengan cara yang baik dan positif

- 23 1

Berpedoman pada pengalaman hidup sebagai suatu langkah untuk mencapai keberhasilan

24, 25 - 2

(62)

Tabel 3.15

Kisi-Kisi Instrumen Harapan Hidup Wellness Konseli Adiksi Obat (Setelah Uji Coba)

Variabel Sub

Memiliki nilai-nilai untuk membimbing hidup 11, 12 - 2 Memiliki nilai-nilai untuk membuat keputusan 13, 14 - 2

Pengarahan diri Mewujudkan harga diri 15, 16, 17, 18, 19 - 5

Mempertahankan harga diri - 20, 21, 22 3

Mampu mengendalikan diri 23, 24, 25 - 3

Memiliki keyakinan akan kemampuan diri secara realistik

Menerima identitas gender secara mantap 47, 48 49 3

(63)

Variabel Sub

Dapat menggunakan waktu luang secara efektif dan produktif

52, 53, 54, 55 56 5

Persahabatan Memiliki sahabat karib 57 - 1

Mampu menjalin persabatan berlandaskan komitmen satu sama lain

58, 59, 60, 61 - 4

Mampu menjalin saling pengertian dengan sahabat atau orang lain

62, 63, 64 65, 66, 67 6

Mendapatkan dukungan sosial, baik berupa material maupun non-material

68, 69 - 2

Cinta Memiliki kemampuan untuk lebih intim, percaya, dan terbuka kepada orang lain

70, 71, 72, 73 - 4

Memiliki kemampuan untuk saling menerima ekspresi afeksi dengan orang lain

74, 75, 76 - 3

Memiliki kemampuan untuk respek terhadap keunikan orang lain

77, 78 - 2

Memiliki kemampuan menjaga kehadiran dan stabilitas keintiman dalam berhubungan dengan orang lain

79, 81, 82, 83, 84 80 6

Memiliki perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan alamiah diri sendiri dan orang lain

85 - 1

Memiliki pandangan yang positif terhadap pernikahan

86 - 1

Mencapai kebahagiaan dalam kehidupan seksual dengan pasangan (khusus yang sudah menikah)

87 - 1

(64)

Tabel 3.16

Kisi-Kisi Instrumen Pengarahan Diri Konseli Adiksi Obat (Setelah Uji Coba)

Variabel Sub

Pengarahan Diri Kebebasan Memiliki kemampuan dalam membuat keputusan tentang belajar, bekerja, dan menjalani kehidupan

1, 2 3 3

Mengetahui cara memberikan sesuatu yang bermakna bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar

4, 5, 6, 7, 8 9 6

Mengetahui kebutuhan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik - 10, 11, 12 3 Memiliki kemampuan memilih seseorang yang dapat dijadikan teman

untuk menghabiskan waktu bersama-sama

13, 14, 15, 16 - 4

Otoritas Memiliki kemampuan membuat dan menentukan rencana hidup 17 18 2

Memiliki kemampuan memilih tindakan yang lebih bermakna 19 20 2

Dorongan Memiliki dorongan untuk memelihara diri sendiri 21, 22 - 2

Memiliki dorongan untuk aktif di lingkungan tempat tinggal 23, - 1 Memiliki dorongan untuk menemukan karir yang lebih cocok dan

bermakna

24 - 1

Tanggung jawab Memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan 25 - 1

Mematuhi hukum dan nilai-nilai yang berlaku 26, 27 - 2

Berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh masyarakat di lingkungan sekitar

- 28 1

Dapat mengembangkan hubungan yang positif dengan teman, keluarga, tetangga, dan masyarakat.

29, 30, 31, 32, 33, 34

35, 36, 37 9

Kontrol diri Menyadari keadaan diri 38, 39, 41 40 4

Memiliki kemampuan mengelola diri 42, 43, 44, 45,

46, 47

- 6

Memiliki komitmen untuk merealisasikan rencana hidup 48, 49, 50 - 3

Gambar

Tabel
Tabel
Tabel
Gambar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah wawasan para siswi pengetahuan tentang menstruasi dengan upaya penanganan dismenorea, serta meningkatkan kemampuan

kesempatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Posisi Indonesia dalam Penerapan ASEAN Political Security Community (Studi Analisis Realisme

Gambar 4.42 : Pola plafon yang mengikuti pola denah Crossing Gambar 4.43: Denah Lantai Gereja Sagrada Familia. Gambar 4.44 : Simbol pola lantai Gambar 4.45 : Pola lantai

Saat ini, citra guru bimbingan dan konseling di sekolah masih dianggap oleh para siswa sebagai polisi sekolah (School Police), sehingga para siswa sebagai konseli

Usia juga mempengaruhi persepsi nyeri seseorang yaitu anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan dengan orang dewasa muda karena mereka sering tidak

Intervensi yang dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki bersihan jalan napas yaitu: mengkaji frekuensi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan

Topik yang diambil dalam penelitian ini adalah "Pengaruh Perubahan Kekakuan Kolom Secara Serentak Terhadap Simpangan, Gaya Geser Dasar dan Momen Guling pada

Kinerja pegawai dapat dipengaruhi oleh banyak factor, meliputi motivasi, bakat, minat, kepuasan, dan pengalaman, serta factor yang datangnya dari luar individu