CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF DI SD INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
(Study Deskriptif Kualitatif Terhadap Siswa Tunagrahita di SD Inklusif
Hikmah Teladan Kota Cimahi)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan Pendidikan Khusus
Oleh :
CUCUN HERMAWAN NIM. 0909523
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF DI SD INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
(Study Deskriptif Kualitatif Terhadap Siswa Tunagrahita di SD Inklusif
Hikmah Teladan Kota Cimahi)
Oleh
CUCUN HERMAWAN
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© CUCUN HERMAWAN2013 Universitas Pendidikan Indonesia
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
LEMBAR PENGESAHAN
CUCUN HERMAWAN NIM. 0909523
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF DI SD INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA
CIMAHI
( Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Siswa Tunagrahita di SD Inklusif Hikmah Teladan Kota Cimahi )
Pembimbing I
Dra. Oom Sitti Homdijah, M.Pd NIP. 19610105 198303 2 001
Pembimbing II
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Mengetahui
Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF DI SD INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA
CIMAHI
Oleh : Cucun Hermawan (0909523)
Ketunagrahitaan berimplikasi pada hampir semua aspek kehidupan, salah satunya dalam berprilaku adaptif. Tidak jarang anak tunagrahita menunjukkan ketidakwajaran dalam berprilaku sehingga kebanyakan orang terganggu dengan kehadiran anak tunagrahita. Perilaku adaptif memegang peranan penting yang dapat membuka penerimaan masyarakat terhadap seseorang, dengan kata lain perilaku adaptif penting dimiliki seorang individu tersebut dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya, begitupun dengan anak tunagrahita, mereka dapat dilatih agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui pembelajaran dalam lingkungan pendidikan. Paradigma baru dalam dunia pendidikan tentang pendidikan inklusif memberikan kesempatan bagi anak tunagrahita untuk berbaur dengan lingkungan sosial yang lebih umum, yang dapat menempatkan anak untuk dapat berprilaku lebih adaptif, berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi perilaku anak tunagrahita dalam aspek perilaku sosial di Sekolah Dasar Inklusif Hikmah Teladan Kota Cimahi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif. Subjek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari dua orang anak tunagrahita. Pengumpulan data berasal dari hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dan penganalisisan data berasal dari data hasil triangulasi yang berkesimpulan bahwa anak tunagrahita yang menjadi subjek penelitian ini mengalami hambatan perilaku adaptif yang mencakup kepada perilaku sosialnya dimana hal ini ditunjukkan oleh ketidakmampuan anak untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik, sehingga anak tunagrahita yang bersekolah di sekolah inklusif memerlukan sebuah layanan yang terpadu dengan program individual mencakup pengembangan perilaku sosial yang sesuai dengan karakteristik siswa tunagrahita.
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR ISI
MOTTO
LEMBAR PERNYATAAN UCAPAN TERIMAKASIH
ABSTRAK……….. i
KATA PENGANTAR……… ii
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN……….. iii
DAFTAR ISI……….. iv
DAFTAR TABEL………... vi
BAB I PENDAHULUAN………... 1
A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Fokus Penelitian………... 3
C. Pertanyaan Penelitian……… 3
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian………. 3
BAB II PRILAKU ADAPTIF TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR………... 5
A. Hakikat Tunagrahita….……… 5
B. Konsep Dasar Prilaku……… 10
C. Perilaku Adaptif Anak Tunagrahita………. 11
D. Perilaku Sosial……… 12
E. Konsep Pendidikan Inklusi……… 14
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……… 21
A. Metode Penelitian………. 21
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
C. Subjek Penelitian………..……… 21
D. Instrumen Penelitian………. 22
E. Teknik Pengumpulan Data……….. 22
F. Pengujian Keabsahan Data………. 23
G. Teknik Analisis Data………. 24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 25
A. Hasil Penelitian……….……… 25
B. Pembahasan….……… 46
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI……… 49
A. Kesimpulan……… 49
B. Rekomendasi………. 50
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR TABEL
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial dan memiliki naluri yang kuat
untuk hidup bersama dengan lingkungan sosialnya, yang direfleksikan
dengan ketergantungan antara manusia, termasuk di dalamnya yaitu
anak-anak, namun sejalan dengan perkembangannya, tidak semua anak dapat
berkembang secara normal, pada masa perkembangannya seorang anak
yang oleh sebab-sebab tertentu dapat mengalami hambatan sehingga
aspek-aspek perkembangannya tidak berfungsi sebagaimana anak lain
seusianya.
Anak-anak yang berkembang tidak seperti anak-anak pada
umumnya disebut juga dengan anak dengan kebutuhan khusus salah
satunya anak dengan hambatan perkembangan kecerdasan atau
tunagrahita, anak-anak tunagrahita secara signifikan mengalami hambatan
dalam fungsi intelektual secara umum di bawah rata-rata anak-anak pada
umummya dan disertai dengan hambatan perilaku adaptif.
Hambatan-hambatan yang dialami oleh anak tunagrahita tersebut
berimplikasi pada beberapa aspek kehidupan yang idealnya penting
dimiliki seorang individu, salah satunya adalah interaksi sosial anak
tunagrahita cenderung sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya oleh
karena mereka memerlukan layanan pendidikan dalam perilaku adaptif
seperti yang dikemukakan oleh Smith, et.al (Delphie. 2009 : 150) yang
berpendapat bahwa “adaptif behavior specificically are the behavioral skills that are demonstrated in response to environmental demands” hal
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Perilaku tidak adaptif yang seringkali ditunjukkan anak
tunagrahita diantaranya perilaku yang bersifat pasif (pendiam)
berteriak-teriak, menggumam, dan berkata-kata kasar menimbulkan masyarakat
merasa terganggu dan dengan kondisi yang dimiliki anak tunagrahita
tersebut tidak jarang menimbulkan stigma negative di benak masyarakat
awam.
Perilaku adaptif yang perlu dimiliki seorang individu agar individu
tersebut dapat diterima oleh masyarakat di sekitarnya, begitupun dengan
anak tunagrahita, mereka dapat dilatih agar dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan melalui pembelajaran dalam lingkungan pendidikan,
dengan adanya paradigma baru di dunia pendidikan melalui layanan
inklusif dapat memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus
(ABK), khususnya anak tunagrahita untuk mendapatkan pendidikan dan
berbaur dengan lingkungan sosial seperti anak pada umumnya, karena
pada hakekatnya pendidikan inklusif merupakan sebuah sistem pendidikan
yang memungkinkan setiap anak berpartisipasi penuh dalam kegiatan kelas
regular tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya.
Berlandaskan masalah masalah tersebut serta dari studi
pendahuluan yaitu: Hambatan-hambatan yang dialami oleh anak
tunagrahita tersebut berimplikasi pada beberapa aspek kehidupan yang
idealnya penting dimiliki seorang individu, salah satunya adalah interaksi
sosial anak tunagrahita cenderung sulit menyesuaikan diri dengan
lingkungannya oleh karena mereka memerlukan layanan pendidikan dalam
perilaku adaptif seperti yang dikemukakan oleh Smith, et.al (Delphie, B .
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
tersebut dapat diterima di lingkungan sekitarnya.
Maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian, menggali dan
menelaah tentang kondisi perilaku adaptif anak tunagrahita yang ada di SD
Hikmah Teladan Kota Cimahi, dengan diadakan penelitian ini diharapkan
akan memberikan gambaran bagi orang tua dan sekolah mengenai kondisi
perilaku adaptif anak tunagrahita dalam layanan pendidikan inklusi yang
saat ini sedang berkembang.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskanpadaperilakuadaptifanaktunagrahita di SD
Hikmah Teladan Kota Cimahi, yang akan difokuskan pada aspek sosial
anak tunagrahita.
Alasan peneliti memilih fokus kajian di atas didasarkan pada
pemikiran bahwa belum diketahui dengan jelas bagaimana kondisi sosial
anak tunagrahita setelah mendapatkan layanan pendidikan inklusif.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas, selanjutnya penulis
mengembangkan beberapa masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana interaksi dan komunikasi anak tunagrahita dengan siswa
lain di SD Hikmah Teladan Kota Cimahi?
2. Bagaimana interaksi dan komunikasi anak tunagrahita dengan guru
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4. Bagaimana guru cara mengatasi hambatan di atas?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan sebelumnya, maka tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Tujuan Umum
Mengetahui bagaimana kondisi perilaku adaptif anak tunagrahita
dalam aspek perilaku sosial di Sekolah Dasar Hikmah Teladan
Kota Cimahi.
b. Tujuan Khusus
1) Memperoleh gambaran spesifik mengenai interaksi anak
tunagrahita dengan siswa lain di SD Hikmah Teladan Kota
Cimahi
2) Memperoleh gambaran spesifik interaksi anak tunagrahita
dengan guru kelas dan guru pendamping di SD Hikmah
Teladan Kota Cimahi.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Manfaat Teoritis
Dengan ditemukannya gambaran tentang hasil penelitian ini,
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA CIMAHI
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
memberikan layanan yang ramah bagi anak-anak tunagrahita.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi sekolah, sebagai bahan masukan mengenai pola interaksi
siswa tunagrahita dengan guru maupun siswa lain di sekolah,
serta gambaran kondisi sosial anak tunagrahita yang
bersekolah di Sekolah Dasar Hikmah Teladan Kota Cimahi.
2) Bagi orang tua, sebagai pertimbangan dalam memasukkan
anak tunagrahita ke Sekolah Dasar Hikmah Teladan Kota
Cimahi.
3) Bagi peneliti, sebagai bahan pertimbangan dan pengetahuan
mengenai kondisi sosial anak berkebutuhan khusus terutama
anak tunagrahita yang bersekolah di Sekolah Dasar Hikmah
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA
BAB II
PERILAKU ADAPTIF TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR
A. Hakikat Tunagrahita
1. Pengertian Tunagrahita
Anak tunagrahita pada umumnya mengalami hambatan dalam
aspek kognitif dan perilaku adaptif. Hambatan tersebut disebabkan
oleh intelegensinya yang rendah yaitu dua standar deviasi di bawah
rata-rata. Hambatan kognitif anak tunagrahita berdampak pada cara
belajar, sedangkan hambatan perilaku adaptif berdampak pada
penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya dan kemampuan
menolong diri sendiri.
Pengertian tentang tunagrahita secara umum dikemukakan oleh
American Association of Mental Deficiency (AAMD) (dalam
Rochyadi, E dan Alimin, Z. 2003:11), menurutnya anak tunagrahita
adalah sebagai berikut : “Mental retardation refers to significantly
subarverage general intellectual functioning exsisting concurrently with defisits in adaptive and manifested during development period.”
Definisi tersebut menekankan bahwa tunagrahita merupakan
kondisi yang kompleks, yang ditunjukan oleh fungsi intelektual yang
secara signifikan berada di bawah rata - rata dan mengalami hambatan
dalam perilaku adaptif dan berlangsung pada masa perkembangannya,
hal tersebut sejalan dengan pendapat Hebart J (Rochyadi dan Almin,
2003 : 7 ) yang menyebutkan lima basis seseorang dikatakan
tunagrahita, hal tersebut diantaranya :
Uraian di atas memberikan sebuah penjelasan bahwa anak tunagrahita
memiliki hambatan pada dua sisi, yaitu pertama pada sisi kemampuan
intelektual yang berada di bawah anak normal. Anak tersebut memiliki
kemampuan telektualnya yang berada pada dua standar deviasi di
bawah normal jika diukur dengan tes intelegensi dibandingkan dengan
anak normal lainnya, yang kedua adalah kekurangan pada sisi perilaku
adaptifnya, atau kesulitan dirinya untuk mampu menyesuaikan diri
dengan lingkungan. Hal ini diperjelas oleh pendapat Amin, M
(1955:11) yang menjelaskan bahwa :
Anak tunagrahita mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan ditunjukkan oleh kurang cakapnya mereka dalam memikirkan hal-hal yang bersifat akademik, abstrak, cenderung sulit dan berbelit-belit hampir pada segala aspek kehidupan serta mereka juga kurang memiliki kemampuan dalam menyesuaikan diri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak
tunagrahita anak yang secara signifikan memiliki kecerdasan di bawah
noramal/rata-rata yang disertai kekurangan dalam perilaku adaptif
yang terjadi pada masa perkembangannya. Untuk mengoptimalkan
kemampuan mereka diperlukan layanan pendidikan yang tidak
diskriminatif dan didasarkan kepada hambatan, masalah dan kebutuhan
mereka.
2. KlasifikasiTunagrahita
Perkembangan intelegensi yang terlambat diukur dengan tingkat
IQ berdasarkan berat atau ringannya ketunagrahitaan yang dialami
anak diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu, tunagrahita ringan,
tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat yang dipaparkan seperti di
a. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil, memiliki IQ
antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut skala weschler
(WISC) memiliki IQ 69-55. Anak yang tergolong dalam Tunagrahita
ringanpun memiliki kelebihan dan kemaampuan, mereka mampu
dididik misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit, memasak,
bahkan berjualan, mereka juga masih bisa bersekolah di sekolah
inklusi.
Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak memiliki kelainan
fisik, secara fisik mereka kelihatan tidak mempunyai hambatan dan
nampak seperti anak normal lainnyaa namun demikian, anak
tunagrahita ringan tidak mampu melakuakan penyesuaian sosial secara
mandiri, tidak dapat merencanakan masa depan dan suka berbuat
kesalahan. Anak tunagrahita ringan masih dapat dididik menjadi
tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan pertanian, peternakan,
pekerjaan rumah tangga, dengan bimbingan dengan baik, anak
tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik dengan sedikit
pengawasan.
Anak tunagrahita ringan biasanya agak terlambat dalam belajar
bahasa tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan berbicara
untuk keperluan sehari-hari, mengadakan percakapan dan dapat
diwawancarai, kebanyakan dari mereka dapat mandiri penuh dalam
merawat diri sendiri ( makan, mandi, berpakaian, buang air besar dan
kecil ) dan mencapai keterampilan praktis dan keterampilan rumah
tangga, walaupun tingkat perkembangannya agak lambat daripada
normal. Kesulitan utama biasanya tampak dalam pekerjaan sekolah
yang bersifat akademis, dan banyak diantaranya mempunyai masalah
khusus dalam membaca dan menulis namun, penyandang tunagrahita
ringan bisa dapat tertolong dengan pendidikan yang dirancang untuk
mengembangkan keterampilan mereka dan mengkompensasi hambatan
intelegensinya lebih tinggi mempunyai potensi melakukan pekerjaan
yang lebih membutuhkan kemampuan praktis daripada akademik,
termasuk memerlukan sedikit ketermpilan saja, kontek sosikultural
yang memerlukan sedikit prestasi akademik, sampai tingkat tertentu
dari tunagrahita ringan tidak menunjukan masalah. Terdapat
immaturitaas emosional dan sosial yang nyata, maka tampak akibat
hambatannya misalnya ketidakmampuan mengatasi tuntutan
pernikahan aatau pengasuhan anak, atau kesulitan menyesuaikan diri
dengan harapan dan tradisi budaya.
b. Tunagrahita sedang
Anak tunagrahita sedang memiliki IQ 51-36 berdasarkan skala
Binetsedangkan menurut skala weschler (WISC) memiliki IQ 54-40,
tidak jauh berbeda dengan anak tungrahita ringan, anak tunagrahita
sedangpun mampu diajak berkomunikasi namun kelemahannya
mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca dan berhitung
tetapi ketika ditanya siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan
jelas dijawab, dapat mengurus diri seperti mandi, berpakaian, makan,
minum mengerjakan pekerjaan rumah tangga sderhana seperti
menyapu, membersihkan perabot rumah tangga dan sebagainya.
Mereka dapat bekerja dilapangan namun dengan sedikit
pengawasan, begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya seperti
menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan
dan sebagainya. Perlu sedikit pengawasan dan perhatian dibutuhkan
untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang.
c. Tunagrahita berat
Anak tunagrahita berat IQ antara 32-20 menurut skala Binet dan
menurut skala weschler (WISC) antara 39-25. Dalam kegiatan
sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian bahkan pelayanan
yang total dalam hal berpakaian, mandi dan makan, mereka tidak
3. Karakteristik Tunagrahita
Anak tunagrahita memiliki karakteristik tersendiri pada segi
intelektual, segi tingkah laku (perilaku adaptif), emosi dan segi
sosialnya, kesehatan pada fisiknya, setiap anak mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda, sesuai tingkat kekurangannya, secara
umum karakteristik anak tunagrahita dibagi ke dalam beberapa aspek
diantaranya :
a. Segi Intelektual
Tingkat intelektual anak tunagrahita selalu dibawah rata-rata anak
yang seusianya, demikian juga perkembangan kecerdasan sangat
terbatas. Intelegensi merupakan fungsi yang komplek yang dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan
keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah dan situasi
kehidupan baru, berfikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis,
mengatasi kesulitan-kesulitan, dan merencanakan masa depan.
Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut.
Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak
seperti belajar berhitung, menulis dan membaca juga terbatas.
b. Segi Tingkah Laku ( Perilaku Adaptif)
Perilaku adaptif dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang
untuk menguasai tuntutan social di lingkungan mereka.Salah satu
karakteristik ketunagrahitaan adalah mengalami hambatan dalam
perilaku adaptif. Perilaku adaptif menjadi penting adanya ketika
diperkenalkan kepada anak-anak tunagrahita yang sangat berbeda,
baik dalam hal menolong dan mengurus diri sendiri mau pun dalam
hal keterampilan social. Anak tunagrahita cenderung sulit
mempelajari sikap tertentu, bahkan sulit melakukan pekerjaan yang
ditugaskan walaupun tugas tersebut bagi orang normal sangat
sederhana, mereka merasakan ketidak mampuan dalam melakukan
suatu pekerjaan atau tugas yang diberikan kepadanya, karena
melakukannya, hal ini karena faktor kognitif yang sulit bagi
anak-anak tunagrahita khususnya yang berkenaan dengan perhatian
dengan atau konsentrasi, ingatan, berbicara dengan bahasa yang
benar, dan dalam kemampuan akademiknya. Pada umumnya anak
tunagrahita kurang percaya diri dan sering kali memerlukan
bimbingan atau bantuan orang lain untuk melakukan suatup
ekerjaan. Mereka juga sering kali sulit dalam memilih lingkungan
pergaulan yang baik, sehingga mudah terjerumus pada hal-hal yang
bersifat negatif.
Faktanya tidak semua anak tunagrahita memiliki kekurangan
perilaku adaptif yang telah disebutkan diaatas, setelah
meninggalkan sekolah, beberapa anak tunagrahita ada yang mampu
memperoleh pekerjaan, bisa menikah dan mempunyai anak, dengan
penghidupan yang cukup tanpa membutuhkan bantuan secara
khusus. Tentu saja, bagi mereka yang mengalami kesulitan
terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan dan
pekerjaan, mereka sangat memerlukan pendidikan dan
dukungan-dukungan secara khusus dalam membekali
keterampilan-keterampilan hidupnya.
c. Segi social dan Emosi
Dengan memahami kondisi dan karakteristik mentalnya,
kemungkinan anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam segi
social dan emosi diantaranya yaitu :
1) Kurang memiliki kemampuan berfikir
Anak tunagrahita memiliki IQ di bawah anak normal sehingga
mereka mengalami hambatan dalam perilaku adaptif.
2) Keseimbangan pribadinya labil
Masalah ini berkaitan dengan kesulitan dalam hubungan
dengan kelompok atau individu di sekitarnya, seperti tidak
mampu untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sekolah,
3) Mudah marah dan tersinggung
Seringnya mengalami kekecewaan yang timbul dari kesukaran
menerima pelajaran dan sulitnya mengerti apa yang
disampaikan oleh orang lain kepadanya, hal ini dapat
diekspresikan dengan kemarahan.
d. Segi Fisik
Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita ada yang
tertinggal jauh dari anak normal, adapun yang sama atau
hampir menyamaianak normal. Perkembanganjasmanidan
motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak
normal pada umumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada usia 3 tahun sampai 12 tahun ada dalam kategori kurang
sekali, sedangkan anak normal pada umur yang sama ada
dalam kategori kurang ( M. Umar Djani, 1984). Dengan
demikian tingkat jasmani anak tunagrahita setingkat lebih
rendah dibandingkan dengan anak normal pada umur yang
sama.
Perkembangan motoric mencakup dua hal yaitu gross motor
(seperti berjalan, melompat, melempar ) dan fine motor (seperti
menulis, menyulam, menggunting, dsb ) pada anak-anak yang
normal berkembang adalah gross motor, sedangkan fine motor
dapat dipelajari dengan mudah, tetapi lain halnya dengan anak
tunagrahita mereka mengalami kesulitan untuk menguasainya.
Banyak gerakan-gerakan yang harus dipelajari anak tunagrahita
secara khusus.
B. KonsepDasarPerilaku
Perilaku adalah bentuk nyata dari suatu sikap, untuk mengetahui
perbedaan perilaku dengan sikap Louis-Leon (2012) mendefinisikan sikap
Tingkatan kecenderungan yang bersifat positif dan negatif yang berhubungan dengan aspek psikologi meliputi : simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka (like), sebaliknya orang yang memiliki sikap negatif terhadap objek psikologi bila ia tidak suka
(dislike).
Berlandaskan uraian diatas maka dapat dianalogikan jika seseorang
akan berperilaku ia akan bersikap terlebih dahulu. Wujud nyata dari suatu
sikap adalah perilaku, baik itu positif maupun negatif oleh karena itu antara
sikap dengan perilaku saling berkaitan erat sedangkan untuk definisi dari
perilakunya diungkapkan oleh Krech et.al (Syaifuddin A, 1988:53) yang
menurutnya :
Perilaku adalah semua aktivitas yang mendorong individu guna mencapai tujuan tertentu, dimana aktivitas yang dimaksud adalah segala yang ia tanggapi, pikirkan, rasakan, mengaktifkan kegiatan serta membentuk kebiasaan baru guna mencapai tujuan yang dimaksud.
Mengacu pada definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku
merupakan tindakan atau perbuatan yang dilakukan untuk merealisasikan
keinginan, singkatnya perilaku merupakan hasil interaksi antara situasi atau
lingkungan dengan faktor-faktor sekitarnya, hal ini diperkuat oleh definisi
dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1124) yang mendefinisikan
perilaku sebagai tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan.
Uraian-uraian diatas memberikan suatu pengertian bahwa pada
kehidupan bermasyarakat, setiap manusia harus bisa menyesuaikan diri
dengan tuntutan lingkungan masyarakatnya oleh karena itu perilaku adaptif
sangat dibutuhkan baik untuk anak tunagrahita maupun anak pada umumnya,
sebab dengan semakin berkembangnya jaman maka anak akan lebih dituntut
untuk dapat memenuhi tuntutan social dimana dia tinggal dan anak dituntut
untuk dapat melakukan kegiatan umum sehari-hari sesuai dengan usianya.
C. PerilakuAdaptifAnakTunagrhita
Terdapat banyak istilah mengenai perilaku adaptif, misalnya
kompetensi sosial (social competency), kapasitas adaptif (adaptive capacity),
ketepatan menyesuaikan diri (adaptive fitting) dsb, namun istilah-istilah
tersebut bermuara pada satu sebuah kunci yaitu kemampuan menyesuaikan
diri. Definisi-definisi yang diungkapkan oleh para ahli bermacam-macam
seperti yang dikemukakan oleh Kelly, at.al (Delphie, 2005:37) bahwa “The
efectiveness & degree to which an individual meets standards of self
sufficiency & responsibility for his or her age-related cultural group”.
Pengertian diatas dapat diartikan bahwa perilaku adaptif merupakan
kematangan diri dan sosial seorang individu dalam melakukan kegiatan
umum sehari-hari sesuai dengan keadaan umurnya dan berkaitan dengan
budaya kelompoknya singkatnya perilaku adaptif merupakan suatu
kemampuan seseorang untuk dapat mengatasi keadaan-keadaan yang terjadi
dalam masyarakat dan lingkungannya. Seseorang dikatakan memiliki
hambatan perilaku adaptif bila terdapat hambatan dalam tiga hal yaitu
1) Maturation atau perkembangan 2) Learning capacity atau kemampuan
belajar, dan 3) Social adjusment termasuk personal indepedence and social
responsibility atau penyesuaian perilaku sosial termasuk kebebasan pribadi
dan rasa tanggung jawab sosial. (Sloan dan Birch; Delphie, 2005:37).
Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam
perilaku adaptif. Hambatan ini disebabkan oleh karena memiliki kemampuan
intelektual yang rendah, sehingga ia tidak dapat mengartikan norma-norma
lingkungan yang ada oleh karena itu anak tunagrahita perlu dilatih dengan
treatment yang cocok dan metode latihan tertentu sedini mungkin karena
perilaku adaptif menunjukkan pada tingkat kemampuan seseorang untuk
bertanggung jawab baik secara personal maupun secara sosial.
Perilaku adaptif hendaknya berfokus pada kebutuhan khusus anak
lingkunagan yang mereka hadapi. Fokus perilaku adaptif diklarifikasi oleh
Bruininks, at.al (Beirne Smith at.al, 2002) meliputi hal-hal berikut ini :
1. Menolong diri, penampilan pribadi (makan, minum, pergi ke toilet,
berpakaian, berhias diri, dan memelihara kesehatan.
2. Perkembangan fisik (keterampilan motorik kasar dan motorik halus)
3. Komunikasi (bahasa reseptif dan ekspresif)
4. Keterampilan sosial (bermain, berinteraksi, bersosialisasi, perilaku
seksual, bertanggung jawab, mengekspresikan emosi)
5. Fungsi kognitif yang meliputi (pengetahuan akademik)
6. Memelihara kesehatan dan keselamatan diri (pencegahan terhadap
masalah kesehatan dan luka, memelihara diri, latihan merawat anak)
7. Keterampilan berbelanja (penggunaan uang, belanja)
8. Keterampilan domestik (kebersihan dan perawatan rumah)
9. Keterampilan vokasional.
Kesimpulan dari uraian tersebut maka, perilaku adaptif menjadi penting
untuk diperkenalkan pada anak-anak tunagrahita, baik dalam hal menolong
baik untuk diri sendiri maupun dalam hal keterampilan sosial, diantara
anak-anak tersebut ada yang kurang memiliki kemampuan dalam memenuhi
tuntutan akademik di sekolah, akan tetapi mereka cukup baik dalam kontak
sosial di sekolah maupun diluar sekolah. Anak tunagrahita yang mengalami
kesulitan terutama yang berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan dan
pekerjaan, memerlukan pendidikan dan dukungan-dukungan secara khusus
dalam membekali keterampilan-keterampilan hidupnya agar mereka tidak
bergantung pada orang lain.
D. PerilakuSosial
Sebagai makhluk sosial, individu akan menampilkan perilaku tertentu
antara interaksi sosial tersebut, akan terjadi peristiwa saling mempengaruhi
atanara individu yang satu dengan individu yang lain. Hasil dari peristiwa
Sejalan dengan pengertian diatas banyak pengertian yang dikemukakan
oleh para ahli. Hurlock (1998:250) mengemukakan bahwa perilaku sosial
menu jukkan terdapatnya tingkahlaku yang sesuai dengan tuntutan sosial atau
kemampuan untuk menjadi orang bermasyarakat menerangkan bahwa
perilaku.
Lebih jelasnya Skinner (Sarlito, 2000:17) perilaku manusia berkembang
dan dipertahankan oleh anggota masyarakat yang member penguat pada
individu untuk berperilaku tertentu (yang dikenhendaki oleh masyarakat)
dengan demikian maka tidak dapat dihindarkan bahwa perilaku social muncul
pada situasi-situasi terjadinya interaksi sosial dalam upaya menyesuaikan diri
dengan lingkungan masyarakat.
Berdasarkan pada pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
sosial adalah perilaku yang ditampilkan individu saat berinteraksi yang sesuai
dengan kemampuan individu dan tuntutan lingkungan sekitarnya.
Yusuf (1984:64) perilaku sosial adalah perilaku yang sudah merupakan
suatu pola yang relatif menetap, yang diperlihatkan olehn individu di dalam
interaksinya dengan orang lain. Interaksi merujuk pada adanya aksi dan reaksi
individu di dalam hubungan interpersonal. Perilaku sosial individu mungkin
merupakan aksi atau perangsang bagi timbulnya perilaku sosial bagi orang
lain. Aksi atau reaksi antara satu individu dengan individu yang lain, saling
mempengaruhi. Dari perilaku yang merupakan indikator terhadap sifat-sifat
interpersonal dapat diketahui bahwa perilaku sosial itu dapat dilihat dari
tujuh aspek, yaitu :
1. Aspek dalam kemampuan bergaul yaitu kemampuan siswa menjalin
hubungan dengan teman sebaya di sekolah seperti memiliki pergaulan
teman sebaya yang luas di sekolah, percaya diri saat berkomunikasi
dengan teman, mampu bekerja sama dengan teman.
2. Aspek keterbukaan sikap yaitu kemampuan siswa untuk
berkomunikasi dengan baik, mampu menampilkan diri baik kelebihan
atau kekurangannya, mampu bersikap jujur saat berbicara maupun
bekerja.
3. Aspek kepemimpinan yaitu siswa memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk memimpin, seperti memiliki kemauan untuk
memimpin teman, memiliki kecenderungan mempengaruhi
teman-temannya.
4. Aspek inisiatif sosial yaitu kemampuan siswa untuk mengorganisir
kelompoknya, seperti mengambil tindakan dalam menyelesaikan tugas
kelompok, mampu untuk mengeluarkan saran dalam menyelesaikan
masalah.
5. Aspek partisipasi dalam kegiatan kelompok yaitu keikutsertaan siswa
dalam berbagai kegiatan kelompok.
6. Aspek tanggung jawab dalam tugas yaitu kesediaan siswa untuk
menyelesaikan tugasnya sebagai bagian dari kelompok sampai selesai
dengan sebaik mungkin dan bertanggung jawab terhadap tugas
kelompok.
7. Aspek toleransi terhadap teman yaitu siswa dapat menerima dan
memperlakukan dengan baik semua temannya di dalam kelompok dan
dapat mempertimbangkan dengan baik pendapatteman-temannya di
sekolah, terdiri dari menghargai pemikiran dan perasaan teman, mampu
menerima kelebihan dan kekurangan teman.
Individu harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baik
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat. Sekolah
merupakan lembaga pendidikan formal yang sangat mempengaruhi perilaku
sosial siswa.
Hal ini sesuai dengan yg dikemukakan oleh Ansori (2004 :93) bahwa
dalam lingkungan sekolah anak belajar membina hubungan dengan
sosialisasi yang dilakukan oleh siswa di sekolah akan tergantung dari
kemampuan siswa dalam menyesuaikan diri dengan berbagai kegiatan yang
ada di sekolah.
Dengan demikian perilaku sosial di sekolah dalam penelitian ini dapat
diartikan sebagai segala sesuatu bentuk tingkah laku atau aktivitas yang
ditampilkan oleh anak pada saat berinteraksi dengan teman sebaya, guru kelas
dan guru pendamping khusus secara individu maupun keloimpok di
lingkungan sekolah.
E. Konsep Pendidikan Inklusi
1. Sejarah Singkat Pendidikan Inklusi
Selama ini anak-anak yang memiliki hambatan disediakan
fasilitas pendidikan khusus yang disesuaikan dengan derajat dan jenis
hambatannya umumnyaanak-anak tersebut bersekolah luar biasa atau
SLB. Model pendidikan bagi ABK pun adalah model segregasi, SLB
memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem
evaluasi, dan guru khusus dari segi pengelolaan, model segregasi
memang menguntungkan karena mudah bagi guru dan administrator
namun demikian dari sudut pandang pendidik model segregasi
merugikan siswa ABK yang memungkinkan untuk bersekolah di
sekolah reguler.
Disadari atau tidak sistem pendidikan SLB telah membangun
tembok bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus, hal itu telah
menghambat proses sosialisasi anak sehingga muncul sebuah label
antara ABK dengan anak pada umumnya sehingga menimbulkan
komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat dan
sebagian dari ABK pun merasa keberadaannya bukan menjadi bagian
yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Reynolds dan Birch (1988) yang
berkelainan mengembangkan potensi secara optimal. Secara pilosopis
model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk
kelak dapat berinteraksi dengan masyarakat normal, akan tetapi
mereka dipiosahkan dari masyarakat normal dan memerlukan biaya
yang cukup mahal yang baik bagi ABK agar dapat diakui dan berbaur
dengan anak pada umumnya sehingga keberadaan ABK pun mendapat
tempat di masyarakat.
Modernisasi pendidikan merevolusi pendidikan ABK untuk
menyuarakan hak-hak mereka, oleh karena itu kemudian muncul
konsep pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan internasional yang
mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi melalui sebuah
kontroversi yang dinamakan “Convention on the Rights of Person with
Disabilities and Optional Protoco “ yang disahkan pada Maret 2007.
Konvensi tersebut memuat kesepakatan pada pasal 24 yang
menyebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan
pendidikan yang bertujuan untuk mendorong terwujudnya partisipsi
ABK dalam kehidupan masyarakat, di Indonesia pun memuat
perundangan yang mendukung terlaksananya pendidikan inklusi pada
penjelasan pasal 15 ayat 1 tentang pendidikan khusus UU no 20/2003
menjelaskan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang
memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak
berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi yang secara
operasional diperkuat dengan PP/no. 17 tahun 2010 tentang
pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus berbunyi :
Pendididkan inklusi merupakan model penyelenggaraan
program pendidikan bagi anak berkelainan, dimana
di sekolah umum dengan menggunakan kurikulum yang berlaku di
sekolah tersebut.
Berdasarkan hal di atas maka telah terjadi perubahan paradigma
dalam dunia pendidikan yang menghargai perbedaan setiap anak,
menyatukan semua anak tanpa memandang latar belakang dari anak
tersebutuntukbelajardalamsatukelasdenganmemberikanpelayananpend
idikan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak.
2. Definisi Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang
berusaha mentranspormasi sistem poendidikan dengan meniadakan
hambatan hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa baik yang
berkaitan dengan baerbagai etnik, gender, dalam pendidikan,
pengertian ini dinyatakan pula oleh UNESCO 1994. Sunaryo (2009)
memberikan penjelasan bahwa :
Pendidikan inklusi berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau kondisi lain termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yangbekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok anak anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan.
Stainback dan Stainback (2012) mengemukakan pendidikan
inklusi sebagai : Pendidikan yang mengakomodasi semua siswa di
kelas yang sama, menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para
guru agar anak-anak berhasil.
Berdasarkan teori tersebut maka pendidikan inklusi adalah
pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik
bersama-sama anak lainnya. Untuk mengoptimalkan poetensi yang
dimilikinya. Terlaksananya pendidikan inklusi harus diimbangi
mendukung pemenuhan khusus setiap anak, karena hakekatnya
pendidikan inklusiadalahsusatualat yang paling efektif untuk melawan
diskriminasi perilaku, membangun masyarakat inklusi dan mencapai
tujuan pendidikan untuk semua.
Pengertian sekolah inklusi menurut Dinas Pendidikan Jawa
Barat (2010) menyebutkan bahwa :
Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama dengan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan siswa. Lebih dari itu sekolah inklusi juga merupakan hak setiap anak diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebaya maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Mengacu pada teori diatas maka pendidikan iklusif adalah
sistem pendidikan nasional yang menyertakan dan mengakomodasi
semua anak secara bersama-sama dalam suatu iklim dan proses
pembelajaran dengan layanan pendidikan yang layak dan sesuai
dengan kebutuhan individu itu sendiri serta memahami segala
kesulitan pendidikan yang dihadapi mereka tanpa memandang
perbedaan yang ada dalam diri setiap individu dalam hal ini anak,
seperti kondisi kemampuan akademik, sosial emosi, ekonomi, politik,
suku, bahasa, jenis kelamin, agama/kepercayaan, serta perbedaan
kondisi fisik maupun mental. Pendidikan inklusif juga tidak memaksa
anak-anak yang memang tidak memungkinkan untuk dipersatukan
dalam satu sistem pendidikan bersama anak-anak lain pada umumnya
dalam satu sekolah.
3. Landasan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusi mempunyai empat landasan yang harus dijadikan
a. Landasan Filisofis
Secara filosofis pendidikan merupakan hak asasi manusia.
Pendidikan bersifat terbuka, demokratis, tidak diskriminatif dan
menjangkau semua warga negara tidak terkecuali. Landasan
filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah
pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang
didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut
Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman 2003).
Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhineekaan manusia,
baik kebhinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban
missi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebhinnekaan vertikal
ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan
finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri dan
sebagainya.
Kebhinnekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku
bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi
politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan
kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban
untuk membangun kebersamaan dan iteraksi dilandasi dengan
saling membutuhkan.
Bertolak filosofi bhinneka tunggal ika, kelainan dan
keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan individu
berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan
tertentu yang sama-sama memiliki kelemahan dan kelebihan dan
dapat diciptakan melalui sistem pendidikan.
Sistem pendidikan inilah yang harus memungkinkan
terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam,
sehingga mendorong sikap silih asih, silih asuh dengan semangat
toleransi seperti halnya yang dijumpai atau yang dicita-citakan
b. Landasan Religi
Sebagai bangsa yang beragama, penyelenggaraan pendidikan
tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan agama di dalam al quran
disebutkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk yang satu sama
lain berbeda (individual differences). Tuhan menciptakan manusia
berbeda satu sama lain dengan maksud agar dapat saling
berhubungan dalam rangka saling membutuhkan (QS. Al Hujarat,
49:13). Adanya siswa yang membutuhkan layanan pendidikan
khusus pada hakikatnya adalah manifestasi dari hakikat manusia
sebagai individual differences tersebut. Iteraksi manusia harus
dikaitkan dengan upaya pembuatan kebajikan. Ada dua jenis
interaksi antar manusia, yaitu cooperative dan competitive (QS. Al
Maidah, 5:2 dan 48 ) begitu pula dengan pendidikan yang juga
harus menggunakan keduanya dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan dan pembelajaran.
Bertolak dari ayat-ayat al quran yang telah diutarakan,
menunjukkan bahwa ada kesamaan antara pandangan filosofis
dengan religi tentang hakikat manusia.
Keduanya merupakan upaya menemukan kebenaran hakiki ;
filsafat menggunakan nalar belaka sedangkan agama menggunakan
wahyu keduanya akan bertemu karena sumber kebenaran hakiki
hanya satu yaitu Tuhan YME. Landasan filosofi dan religi akan
bertemu untuk selanjutnya dapat menjadi landasan dalam
pemanfaatan hasil penelitian sebagai produk pengganti kegiatan
c. Landaan Yuridis
Landsan yuridis memiliki hierarki dari undang undang dasar,
undang undang, peraturan pemerintah, kebijakan direktur jenderal,
peraturan daerah , kebijakan direktur, sehingga peraturan sekolah,
selainitu melibatkan kesepakatan kesepakatan internasioanl yang
berkenaan dengan pendidikan.
Kesepakatan UNESCO di salamanca, \spanyol pada tahun
1994 telah menetapkan agar pendidikan di seluruh dunia
dilaksanakan inklusif dan menyatakan bahwa pendidikan adalah
hak untuk semua (education for all), tidak peduli orang itu
memiliki hambatan atau tidak, kaya atau miskin, pendidikan juga
tidak membedakan ras, warna kulit, suku, agama.
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sedapat mungkin
diintegrasikan dengan pendidikan reguler, pemisahaan dalam
bentuk segregrasi untuk keperluan pembelajaran (instruction),
bukan untuk keperluan pendidikan (education, untuk keperluan
pendidikan, anak-anak berkebutuhan khusus harus disodialisasikan
dalam lingkungan yang nyata dengan anak-anak lain pada
umumnya.
d. Landasan Pedagogis
Pasal 3 undang undang No. 20 tahun 2003, disebutkan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta
didik agarmenjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
tuhan yang maha esa, berahlak mulia sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjwab. Jadi melalui pendidikan peserta didik
berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan
bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai
perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini
teman sebayanya di sekolah. Betapa pun kecilnya mereka harus
diberi kesempatan bersama teman teman sebayanya.
4. TujuanPendidikanInklusi
Tujuan pendidikan inklusi adalah memberikan kesempatan dan
hak sama kepada setiap anak secara demokratis dan tidak
diskriminatif secara sosial, kultural, ekonomi, agama, ras, dan
karakteristik individual untuk mendapatkan pendidikan yang layak
Pendapat serupa dikemukakan oleh Yusup M (2005),
menurutnya tujuan pendidikan inklusi adalah :
a. Memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengikuti dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki seoptimal mungkin b. Memberikan layanan pendidikan kepada peserta didik
berkebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki (kognitif, afektif dan psikomotor) dapat berkembang secara optimal dan mereka dapat hidup mandiri dalam komonitas sosial yang wajar serta dapat berperan dalam kehidupan bermanfaat, berbangsa dan bernegara
c. Memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan dalam sistem persekolahan reguler, sehingga tejadi proses saling adaftasi dan intyeraksi dengan sesama anak yang lain secara wajar dalam lingkungan masyarakat d. Memebrikan kemudahan bagi anak berkebutuhan khusus dari
lingkungan tempat tinggal dimanapun untuk mendapatkan aksebilitas pendidikan pada sekolah terdekat yang memungkinkan.
Setelah menganalisis tujuan pendidikan inklusi, maka dapat
disimpulkan bahwa tujuan pendidikan inklusi adalah untuk
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak baik
itu ABK maupun anak pada umumnya untuk mendapatkan pendidikan
yang layak sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka meningkatkan
CUCUN HERMAWAN, 2013
BAB III
METODE PENELITIAN A. MetodePenelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif dengan pendekataan kualitatif. Karena penelitian ini
bermaksud mengungkapkan dan menjelaskan berbagai gambaran tentang
fenomena -fenomena yang ada dilapangan kemudian dirangkum menjadi
sebuah kesimpulan deskriptif berdasarkan data penelitian yang dikumpulkan
sendiri oleh peneliti.
Metode deskriptif digunakan karena metode ini paling tepat untuk
menggambarkan dan menjelaskan bagaimana kondisi perilaku adaptif anak
tunagrahita di SD Hikmah Teladan.
B. Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilaksankan di SD Hikamah Teladan yang beralamat
di jalan Jend.H. Amir Machmud No. 177A Cimahi, sekolah ini merupakan
salah satu sekolah inklusi yang terdapat di Kota Cimahi.Kelas yang
digunakan sebagai tempat penelitian yaitu kelas IIB, dan IVC karena di kelas
tersebut terdapat anak tunagrahita yang belajar dengan siswa lainnya.
C. Subjek Penelitian
Yang menjadi subjek penelitian ini adalah siswa tunagrahita yang
memiliki beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Yang mempunyai IQ antara 68 - 52 data dari guru
2. Anak tidak dapat berkomunikasi secara benar dengan temannya
3. Kesulitan melakukan kegiatan sehari hari seperti : mandi, ke toilet dll
Berdasarkan kriteria diatas maka peneliti memilih dan menentukan subjek
1. DS
2. BM.
Alasannya karena kedua subjek penelitian tersebut memenuhi kriteria yang
telah peneliti tentukan.
D. Instrumen Penelitian
Di dalam penelitian yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti
sendiri. Dalam penelitian kualitatif segala sesuatu yang akan dicari dari objek
penelitian pun belum jelas dan pasti masalahnya, sumber datanya, hasil yang
diharapka semuanya belum jelas. Rancangan penelitian masih bersifat
sementara dan akan berkembang setelah peneliti memasuki objek penelitian,
oleh karena itu peneliti adalah kunci dalam penelitian
kualitatif”(Sugiyono,2008:60). Teori serupa dinyatakan oleh Nasution
(Sugiyono, 2009 : 306) bahwa : Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan
lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama.
Alasannya ialah, bahwa segala sesuatu belum mempunyai bentuk yang pasti.
Masalahnya, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan,
bahkan hasil yang diharapkan, itu semua tiodak dapat di tentukan secara pasti
dan jelas sebelumnya.Segala sesuatunya masih perlu dikembangkan
sepanjang penelitian itu. Dalam keadaan serba tidak pasti dan tidak jelas itu,
tidak ada pilihan lain dan hanya penelitian itu sendiri sebagai alat
satu-satunya yang dapat mencapainya.
Berdasarkan dua pernyataan diatas dapat di pahami bahwa, dalam
dalam penelitian kualitatif pada awalnya permasalahan belum jelas dan pasti,
maka yang menjadi instrumen adalah peneliti sendiri, tetapi setelah
masalahnya yang akan di pelajari jelas, maka dapat dikembangkan suatu
instrumen. Instrumen yang telah dikembangkan tersebut dapat dilihat disetiap
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Menurut Lofland dan Lofland
(Moleong, 2007 : 157) ”sumber data dalam penelitian kualitatif ialah kata
-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumentasi dan
lain-lain”.
1. Observasi
Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
dilakukan secara tersembunyi (convert). Observasi yang dilakukan adalah
observasi langsung non-partisivatori, pelaksanaan observasi tersebut
dilengkapi dengan alat bantu berupa alat tulis dengan disertai
pencatatan-pencatatan. Instrumen penelitiannya yaitu pedoman observasi.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kondisi perilaku adaptif anak selama anak berinteraksi
dengan guru dan teman lainnya disekolah, ketika anak sedang belajar di
dalam kelas, ketika anak sedang istirahat, dan ketika anak sedang
melakukan kegiatan sekolah.
2. Wawancara
Data yang dikumpulkan melalui wawancara bersifat verbal, hasil
wawancara direkam agar memudah kan peneliti untuk
mendokumentasikan berbagai data dan informasi yang disampaikan dari
responden. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang bersifat
terstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang
pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan –
pertanyaan yang akan di ajukan (Moleong, 2007 :190), sehingga
digunakan pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan untuk
memudahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Pedoman
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan terhadap guru kelas,
helper, teman sekelas.Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk
mendapatkan keterangan dan informasi dari berbagai pihak yang terlibat
langsung, walaupun dalam penelitian in digunakan wawancara tak
berstruktur, namun terlebih dahulu di buat kisi-kisi wawancara serta
pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan untuk memudahkan
peneliti dalam melakukan wawancara.
3. Studi Dokumentasi
Teknik pengumpulan data ini dilakukan untuk menelaah atau
mengkaji data-data atai informasi yang berupa dokumen tertulis,
fotografi, dan sebagainya sebagai penunjang atau bukti secara fisik akan
keadaan saat penelitian berlangsung, atau berfungsi sebagai pelengkap
bukti-bukti dari data yang diperoleh dari wawancara dan observasi yang
berkaitan dengan masalah penelitian, berupa foto di saat pelaksanaan
pembelajaran dikelas, setting kelas, arsip program pembelajaran yang
telah disusun, data-data siswa dan asessmennya, dan sebagainya.
F. Pengujian Keabsahan Data
Uji keabsahan data hasil diperiksa kreadibilitas keabsahannya dengan
menggunakan teknik triangulasi.Triangulasi merupakan suatu teknik yang
tidak hanya sekedar menilai kebenaran data, tapi juga menyelidiki kebenaran
data dan kedalaman penelitian atau memperoleh kebsahan
penemuan-penemuan itu.Teknik triangulasi yang digunakanadalah triangulasi sumber.
Hal ini dilakukan dengan jalan :
1. Membandingkan data hasil wawancara terhadap subjek penelitian dengan
data hasil wawancara dengansumber informasi lain dalam penelitian.
2. Membandingkan data hasil wawanacara dengan data hasil pengamatan.
3. Membandingkan data hasil wawancara dengan isi dokumen yang
4. Melakukan member check, melakukan perbaikan-perbaikan jika ada
kekeliruan dalam pengumpulan informasi atau menambah kekurangan –
kekurangan, sehingga informasi yang diperoleh dapat dilaporkan sesuai
dengan apa yang dimaksud informan.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian ini bersifat induktif melalui penganalisian dari
data triangulasi baik yang bersifat tertulis maupun lisan dan dilakukan selama
proses berlangsung sampai selesai. Analisis data dilakukan untuk
memperolah jawaban dari pertanyaan penelitian melalui tiga tahap yaitu :
1. Reduksi data (merangkum data, penyeleksian data)
Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara ataupun dokumentasi
yang direkam dalam bentuk catatan, ditafsirkan atau diseleksi, data yang
tidak relevan akan diberi kode untuk tidak dilampirkan, hasil penyelesaian
data yang dapat diorganisasikan datanya lalu kemudian dicari kesimpulan
dimana kesimpulannya dijadikan temuan terhadap masalah yang diteliti.
2. Penyajian data
Penyajian data berbentuk teks naratif sesuai dengan permasalahannya,
dimana data yang disajikan dianalisis terlebih dahulu kemudian disusun
secara sistematis agar data yang diperoleh dapat dijelaskan atau dijawab
masalah yang ditelitinya dan dibahas sesuai dengan hasil observasi,
wawancara dan studi dokumentasi.
3. Mengambil konklusi/verifikasi
Verifikasi merupakan analisis lanjutan dari reduksi dan penyajian data
dengan melihat kembali data dan menimbang makna dari data-data yang
dikumpulkan untuk di analisis, selanjutnya melakukan cross check
(membaca berulang-ulang) untuk
menguji kebenaran dan konklusi yang dibuat sehingga terdapat validitas
data yang teruji, maka dapat ditarik kesimpulan/konklusi dalam bentuk
CUCUN HERMAWAN, 2013
PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA DI SEKOLAH DASAR INKLUSIF HIKMAH TELADAN KOTA
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Subjek
a. Subjek 1
Nama : Dewi Sulastri (DS)
Tempat/Tgl Lahir : Bandung, 10 September 1997
Usia : 15 thn
Kelas : IV C
Jenis Kelamin : Perempuan
DS adalah siswi kelas IV di SD Hikmah Teladan kota Cimahi.
Berdasarkan asesment yang peneliti lakukan DS termasuk anak tunagrahita
ringan dengan IQ 66 DS adalah seorang anak yang pendiam.
b. Subjek 2
Nama : Bunbun Muladi (BM)
Tempat/Tgl Lahir : Bandung, 01 Januari 2002
Usia : 10 thn
Kelas : I B
Jenis Kelamin : Laki-laki
BM adalah siswa kelas IB SD Hikmah Teladan di kota Cimahi, Hasil
asesment yang dilakukan peneliti menunjukan bahwa BM termasuk anak
tunagrahita dengan IQ 70.
Mengacu pada data di atas kelas ke-2 siswa yang menjadi subjek
tunagrahita ringan masih dapat bersekolah di inklusi dengan bantuan GPK
dan layanan khusus.
2. Deskripsi Data
a) Hasil wawancara Subjek 1 (DS)
Hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada guru kelas, guru
pendamping khusus dan teman sekelas, diperoleh data bahwa
kehadiran siswa tunagrahita di SD Hikmah Teladankota Cimahi
diterima dengan baik. Guru, dan teman sekelas berasumsi bahwa DS
anak yang baik, kebanyakan teman perempuan DS di kelasnya
menganggap bahwa DS baik karena DS suka mengantar temannya
untuk jajan.Perilaku DS cenderung pendiam dan memiliki satu
teman dekat berinisial AT dan kurang menyukai berteman atau
bermain dengan teman Laki-laki karena DS sering diganggu oleh
Laki-laki.
Pada dasarnya DS anak yang baik, tidak suka mengganggu
temannya. Hal yang kurang baik pada diri DS ialah dia jarang
mengerjakan PR yang diberikan oleh gurunya, sehingga ia sering
dihukum karena kesalahannya, selain itu DS suka tertawa
terbahak-bahak tanpa alasan, mengacak-acak rambut jika sedang mendapat
kesulitan dalam belajar. Saat pembelajaran ia tidak pernah bertanya
sekalipun tidak mengerti tentang materi pelajaran yang diberikan dan
cara dia menyampaikan sesuatu cukup dimengerti oleh banyak
orang.
b) Hasil wawancara Subjek 2 (BM)
Hasil penelitian BM berbeda dengan DS, BM memang dapat
diterima oleh guru, GPK dan teman sekelasnya ketika ia masih dapat
mengikuti pelajaran, namun jika “mood”nya kurang baik BM diperbolehkan belajar dikelas bersama. BM pun tidak memiliki
BM bukan anak yang suka memilah-milih teman dia berteman
dengan siapa saja, walaupun pendiam BM termasuk anak yang suka
menggangu teman-temannya atau mengganggu ketika sudah merasa
kesal untuk belajar sehingga jika dilarang dan menimbulkan amarah
pada diri BM, maka ia harus dibawa ke ruang layanan khusus untuk
belajar dan menjalani hukumannya agar ia dapat lebih baik lagi.
Tak jarang ia melakukan hal seperti mengupil, memasukan
tangan ke dalam mulut tanpa sebab dan mencubit dirinya sendiri jika
ia merasa kesal atau bersalah, ia termasuk anak yang memiliki sikap
Tabel 4.1
Display data wawancara ITEM Ruang Lingkup
Pertanyaan
Subjek
Penelitian Hasil Wawancara Interaksi
Sosial
melakukan hal
DS Hanya mengacak-acak rambutnya
dirinya sendiri jika merasa kesal telah Kegiatan bermain DS Mengikuti
permainan dengan Merespon orang disekitar DS DS memiliki
baik, seperti
Kedisiplinan DS DS dapat
waktu belajar dia
Menyampaikan keinginan DS DS mampu menyampaikan
yang sulitpun anak tidak pernah bertanya Sopan santun (meminta
izin untuk suatu hal)
DS Mampu bersikap sopan untuk Pemberian respon DS Keduanya pun
tertawa terbahak-bahak walaupun sesuatu yang dia anggap lucu dan menyenangkan hatinya itu tidak terlalu lucu untuk siswa lainnya BM Sedikit berbeda
dengan DS, BM mengekspresikan rasa senang sambil tertawa terbahak-bahak, terkadang disertai dengan mengucapkan
“Tos” jika
marah/kesal, BM akan menaiki bangku, lari keluar kelas atau mencubit dirinya sendiri.
c. Hasil Observasi Penelitian Subjek 1 (DS)
Berdasarkan penelitian di lapangan, subjek DS adalah seorang
anak pendiam, hal ini direfleksikan oleh sikap DS yang cenderung
pendiam, DS kurang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan teman di kelasnya, bila dilihat dari
kemampuannya DS mampu mengenali teman sekelasnya, baik
mengenal nama maupun mengenal temannya secara fisik. Hal yang
kurang baik dalam perilaku sosial DS adalah dominan berteman
dengan sesama ABK (Tuna grahita) saja dan masih dapat diajak
berinteraksi hanya dengan anak perempuan saja. DS pun memiliki
teman dekat seorang anak tunagrahita dikelasnya yang berjenis
kelamin perempuan berinisial AT. Kecenderungan sikap DS yang
pendiam dan hanya mau berteman dengan sesama teman perempuan
saja menurut peneliti karena DS sering diejek “bodoh” oleh teman
kepadanya karena secara fisik DS memiliki perawakan besar, hal
inilah yang menyebabkan anak menjadi pendiam dan tampak kurang
percaya diri, walaupun demikian DS merupakan pribadi yang ramah,
dan tertib terhadap peraturan yang ada, perilaku seperti ini di tujukan
DS dengan kemampuannya untuk dapat mengikuti permainan secara
berkelompok, berbaur dengan teman tanpa memberikan gangguan
dan belajar secara berkelompok walaupun hanya ikut berkelompok
saja. DS tidak pernah membuat keributan dalam belajar atau dalam
bermain, namun jika ada yang terus menerus mengganggunya, DS
akan melawannya dengan berkata “hey jangan begitu”,
(menggunakan bahasa Sunda).
DS kurang mampu mengikuti pembelajaran di kelasn. DS
kurang fokus terhadap kegiatan belajar mengajar, ketika ia diberi
pertanyaan oleh guru atau teman-temannya mengenai materi
pelajaran, hal yang sering terjadi adalah DS menjawab pertanyaan
tetapi jawaban yang diberikan DS tidak memberikan jawaban yang
benar dan keliru(jawaban tidak nyambung), hal tersebut merupakan
hal yang membuat teman-teman DS khusnya teman laki-laki di
kelasnya beranggapan bahwa DS adalah siswa yang bodoh, tetapi
jika ia diberikan pertanyaan untuk merespon pertanyaan sederhana
seperti “makan apa?” atau “beli apa?”DS bisa menjawab dengan
baik.
DS memiliki kkebiasaan buruk Yang tidak umum dilakukan
jika dibandingkan dengan kebiasaan orang pada umumnya. Perilaku
tau kebiasaan buruk DS adalah sering mengacak-acak rambutnya
sehingga DS tampilannya menjadi kurang rapi dan tidak enak
dipandang, perilaku buruknya ini sering ia lakukan apabila ia tidak
sedang melakukan kegiatan seperti pada saat pembelajaran DS tidak