SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Syarat Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
FARHATUL AWALIAH
NIM 1112034000042
PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
dihadapi oleh manusia. Karena fakir dan miskin adalah suatu yang nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kemiskinan dapat didefinisikan suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat yang berangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan normal dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang fakir miskin.
Permasalah yang ada pada skripsi ini adalah perbedaan makna kata fakir dan miskin menurut ulama klasik dan kontemporer. Adapun pembatasan dalam skripsi ini yaitu: adanya perbedaan yang cukup signifikan dikalangan ulama klasik dan kontemporer tentang makna kata fakir dan miskin. Jadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah Bagaimana Makna Kata Fakir dan Miskin Menurut Ulama Klasik dan Ulama Kontemporer dalam Bidang Hadis dan Fikih.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif berdasarkan kajian kepustakaan (library research). Sedangkan dalam pengolahan data, metode yang digunakan penulis adalah metode takhrij, yaitu metode untuk mengetahui ada berapa banyak hadis fakir dan miskin yang ada dalam kutub al-tis’ah sehingga mudah mengklasifikasikannya.
Dari penelitian yang ada, maka dapat ditemukan beberapa kesimpulan, yaitu makna fakir dan miskin mempunya arti yang berbeda. Fakir bermakna tidak mempunyai harta atau penghasilan layak untuk mencukupi kebutuhan hidupannya, sedangkan miskin orang yang tidak memiliki kecukupan hidup, namun dia tidak mau meminta-minta. Jadi fakir dan miskin adalah mereka yang kebutuhannya tidak tercukupi.
Pernyataan tersebut diperoleh dari hasil bacaan terhadap hadis fakir dan miskin dengan menggunakan metode Yūsuf al-Qaraḍāwī. Skripsi ini sekaligus menunjukkan bahwa ada pergeseran makna fakir dan miskin dari klasik hingga kontemporer.
ii
Segala puji hanya bagi Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ṣalawat dan salam semoga tercurah
limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, para keluarganya, para sahabatnya, para muhaddis serta para pengikutnya yang beriman.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua (H. Ahmad Fachrudin dan Hj.Eliyanah) yang selalu mendukung dan mendoakan saya, serta keempat adik saya (Gusdur, Lia, Leni, Sayyidah), terimakasih atas dukungan dan bantuannya.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
4. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.
5. Drs. Banun Bina Ningrum, M. Pd, selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis. 6. Dr. Bustamin, SE, M.Si., selaku dosen pembimbing skripsi, terimakasih atas
iii
membimbing dan meluangkan waktunya untuk memberikan ilmunya serta memberikan motifasi kepada saya.
9. Para staf perpustakaan. Perpustaakn Fakultas (PF) Ushuluddin dan Perpustakaan Utama (PU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Saleh (Iyeh), yang selalu menemani dan mendukung saya dalam menyusun skripsi ini dan selalu menemani disaat suka maupun duka.
11. Sahabat-sahabat saya yang selalu mengerjakan skripsi ini bersama-sama di perpustakaan (Latifah, Nuy, Liong dan Syarifah), serta teman-teman TH B yang senantiasa memberikan bantuannya (Sugih, Endang, Isrof, Ucup dan teman-teman TH B lainnya).
Saya sangat berharap adanya kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan dan pengembangan saya selanjutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi saya dan para pembaca umumnya.
Jakarta, 29 September 2016
iv
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
B be
T te
ts te dan es
J je
H h dengan garis bawah
kh ka dan ha D de dz de dan zet R er Z zet S es sy es dan ye
S es dengan garis bawah
D de dengan garis bawah
T te dengan garis bawah
Z zet dengan garis bawah
` koma terbalik diatas hadap kanan
gh ge dan ha F ef Q ki K k L el M em N en
v
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal (monoftong) dan vokal rangkap (diftong). Berikut pemaparannya:
1. Vocal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
2. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i
Au a dan u
C. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi diatas
Ī i dengan topi diatas
vi
qīla sarā
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijal bukan ar-rijal, al-dīwān bukan
ad-dīwān.
E. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerimatanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan berbunyi
aḍ-ḍarūrah, tidak ditulis aḍ-ḍarūrah melainkan al-ḍarūrah, demikian seterusnya.
F. Ta Marbūtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta’ marbūtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi hururf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbūtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbūtah
vii
No Kata Arab Alih Aksara
1 ṭarīqah
2 Al-jāmi’atu al-islāmiyyah
3 Waḥdat al-wujūd
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal, nama tempat, nama tempat, nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abū Hāmid al-Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.
viii
LEMBAR PERNYATAAN ...
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... iv
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
D. Tinjauan Pustaka ... 8
E. Metodologi Penelitian ... 12
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II TERM FAKIR DAN MISKIN DALAM HADIS NABI ... 16
A. Klasifikasi Tema Hadis Fakir dan Miskin dalam Hadis Nabi . 16 B. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan ... 21
BAB III MENENTUKAN MAKNA KATA FAKIR DAN MISKIN DALAM HADIS NABI ... 31
A. Makna Kata Fakir dan Miskin Menurut Ulama Klasik dan Kontemporer ... 31
B. Fakir dan Miskin Menurut Ulama Hadis dan Fikih ... 36
C. Pemahaman Fakir dan Miskin dalam Bingkai al-Qur’an ... 42
BAB IV PENUTUP ... 51
A. Kesimpulan ... 51
B. Saran-saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN
1
A. Latar Belakang Masalah
Fakir dan miskin merupakan salah satu masalah sosial yang selalu dihadapi oleh manusia. Karena fakir dan miskin adalah suatu yang nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Kemiskinan dapat didefinisikan suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat yang berangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan normal dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang fakir miskin.
Kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang berada di bawah garis kemiskinan merupakan dua masalah besar di banyak Negara-negara
berkembang, tidak terkecuali di Indonesia.1 Adapun fakir dan miskin pada saat ini
banyak terjadi karena sistem yang salah dalam mengatur dan persepsi individualis dalam kehidupan baik dalam tatanan pemerintah dan rakyat. Di Indonesia, kemiskinan bukan menjadi hal yang asing. Dalam mengukur kemiskinan pun sangat tidak manusiawi, yaitu diukur dengan pendapatan bukan pada hakikat
1 Ali, Khomsan, Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta:
kemiskinan itu sendiri. Kaum Kapitalis2 memandang kemiskinan hanya akan menimbulkan problem yang harus diselesaikan oleh orang miskin itu sendiri, sedangkan orang kaya bebas dalam mengggunakan hartanya atau tidak bertanggung jawab atas orang miskin. Pandangan ini tidak jauh berbeda pada kaum kapitalis dahulu dengan kaum kapitalis sekarang. Hal ini diperparah dengan
sistem perekonomian yang mengandung Neoliberal3 (mendekati kapitalis).
Berbeda dengan konsep kaum kapitaslis, Islam menyebutkan fakir dan miskin dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari sudut tasauf, fikih, dan akidah. Dalam bidang fikih, kemiskinan ditempatkan pada objek pemberian,
penekanan juga dilihat dari sisi materi.4 Menurut ilmu fikih, kemiskinan terbagi
dalam dua wujud yaitu fakir dan miskin.5 Makna kata fakir dan miskin diartikan
sebagai orang yang membutuhkan, yaitu orang yang tidak memiliki apa yang dibutuhkan. Jika disebutkan kata fakir secara terpisah, maka termasuk ke dalam miskin, dan jika digabungkan penyebutan keduanya dalam satu kalimat, seperti dalam ayat tentang pihak-pihak yang berhak menerima zakat, maka
masing-masing memiliki makna yang berbeda.6
2 Kaum kapitalis adalah orang yang mempunyai kedudukan di dalam lembaga pemerintah
atau di dalam organisasi politik yang menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukan untuk memperkaya golongan atau diri sendiri.
3
Neoliberalisme adalah paham Ekonomi yang mengutamakan sistem Kapitalis Perdagangan Bebas, Ekspansi Pasar, Privatisasi/Penjualan BUMN, Deregulasi/Penghilangan campur tangan pemerintah, dan pengurangan peran negara dalam layanan sosial (Public Service) seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
4 Fiqri Auliya Ilhamny, “Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaybah dalam Kitab Ta‟wil Mukhtalif al-Hadis”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014), h. 27.
5 Lilies Nurul Husna dan Achmad Wazir Wicaksono, Ormas Agama Bicara Anggaran
(Jakarta: Lakpesdom NU, 2011), h. 27.
6
Menurut pendapat Yūsuf al-Qaraḍāwī makna kata fakir yaitu orang yang
tidak memiliki sesuatu atau memiliki sesuatu dibawah setengah kadar kebutuhan yang mencakup baik untuk dirinya atau mereka yang berada dalam tanggungannya. Sedangkan miskin di artikan sebagai orang yang memiliki sesuatu atau memiliki setengah kadar kebutuhan atau lebih namun tidak mampu
mencukupi secara keseluruhan.7 Seperti halnya Imam al-Syafi’i berkata, bahwa
kemiskinan dihitung berdasarkan harta milik atau usaha seseorang, apakah dapat
memenuhi kebutuhannya atau tidak.8
Berdasarkan angka kemiskinan BPS di Indonesia, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2016 mencapai 280005,41 ribu orang (10,86%). Angka kemiskinan tersebut sedikit menurun dibandingkan dengan keadaan pada
September 2015 (11,13%).9 Sedangkan garis kemiskinan menurut kebutuhan
makanan dan minuman digunakan ukuran sebesar 251.943 kalori perhari. Garis kemiskinan merupakan batasan pendapatan tertentu untuk menggolongkan kategori miskin atau tidak miskin. Sebagaimana yang ditetapkan pemerintah. Artinya, mereka yang miskin adalah yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan tersebut, misalnya garis kemiskinan di Indonesia secara rata-rata pada tahun 2015 adalah Rp 249.000/bulan/orang. Dengan standar seperti ini, maka orang yang berpendapatan Rp 500.000/bulan tidak termasuk ke dalam kategori miskin. Penetapan garis kemiskinan juga untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Sedangkan menurut lembaga Amil Zakat Nasional yang sering disebut
7
Yūsuf Qaraḍāwī, Musykilat Faqr wa Kaifa „alajaha Islam (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994), h. 87.
8 Lilies Nurul Husna dan Achmad Wazir Wicaksono, Ormas Agama Bicara Anggaran, h. 27. 9 Badan Pusat Statistik (BPS) “Kemiskinan” di akses pada tanggal 09 September 2016, dari
BAZNAS yang menjadi kategori fakir atau miskin yaitu, orang-orang yang terhalang dari mencari nafkah karena sebab amal maupun udzur. Sebab amal adalah karena aktivitas keagamaan atau amal syari’ seperti dakwah dan jihad.
Sedangkan sebab udzur dikarenakan takdir kawnī yang menimpa seseorang seperti cacat, lumpuh dan tua. Asbāb tersebut adalah illat bagi seseorang yang disebut sebagai fakir yang berhak menerima zakat. Sedangkan miskin, apabila ketidak mampuan secara ekonomi tidak dikarenakan oleh sebab khusus, melainkan oleh sebab yang umum, maka kategori yang tepat adalah ashnāf miskin. Seperti orang yang berpenghasilan gaji Rp. 500.000/perbulan, maka ia berhak menerima zakat atas nama ashnāf miskin bukan fakir. Jadi, setiap orang yang bekerja atau berbisnis dengan skala usaha yang sangat makro, dapat diklasifikasikan sebagai
kelompok miskin.10
Sebagaimana di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 34 ayat 1
bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara11, karena dengan
berdasarkan pada pasal UUD 1945 bahwa dimuka bumi ini tidak boleh ada seorangpun rakyat yang penghidupannya tidak layak atau berada di garis kemiskinan. Kalaupun ada seorang rakyat yang miskin maka kewajiban Negara melalui Pemerintah untuk memeliharanya (dalam jangka pendek), serta berusaha untuk membuatnya kembali menjadi sejahtera (dalam jangka panjang).
Berbeda halnya dengan pandangan negara, bahwa dalam al-Qur’an pun terdapat ayat-ayat yang menyebut tentang fakir dan miskin dan petunjuk-petunjuk untuk mengatasinya. Namun dalam al-Qur’an dan Hadis tidak menetapkan angka
10
Badaan Amil Zakat Nasional, “Makna Ashnaf Fakir”, di akses pada tanggal 29 Maret 2016, dari Pusat.baznas.go.id.
11
tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti al-Qur’an menyebut setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin dan harus dibantu. Oleh karena itu makna miskin tergantung kepada ijtihad manusia yang selalu berubah dari masa ke masa, karena ukuran-ukuran yang dipergunakan untuk merumuskan suatu
makna yang abstrak (seperti kemiskinan, misalnya) selalu berubah-ubah.12
Adapun hadis-hadis dan ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang fakir dan
miskin yang terdapat didalam kitab-kitab Ṣaḥīḥ.13
Menurut pandangan umum, apabila seseorang memiliki harta benda yang bisa dikatakan lumayan banyak, maka orang tersebut dikenal orang kaya. Namun sebaliknya, apabila seseorang hanya memiliki harta benda seadanya, maka disebut miskin. Hal ini kemiskinan menjadi sebuah cela bagi masyarakat. Sehingga banyak yang berlomba-lomba mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun keluarga agar terbebas dari kemiskinan. Begitu juga dengan fakir, apabila miskin dipandang sedemikian itu oleh masyarakat, maka fakir lebih parah dari miskin. Bahkan kata fakir kerap disandingkan dengan kata miskin oleh masyarakat untuk menunjukkan miskin yang sangat, seperti “fakir miskin”.
Sehingga dalam al-Qur’an Allah Swt berfirman dalam surat at-Taubah ayat 60, yaitu:
12
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 1998, cet. 7, hlm. 449.
13
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dar al kutub al Ilmiyyah, 1998) , h. 200.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Kata miskin pada ayat di atas diartikan sebagai orang yang mempunyai
sesuatu tetapi kurang dari nisab14, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
mereka atau orang-orang yang memiliki harta tetapi tidak mampu untuk
mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri tanpa ada bantuan.15 Sedangkan fakir
itu sama dengan miskin, meskipun begitu Islam tidak membenarkan orang Islam yang hidup di dunia menderita kelaparan, tidak berpakaian, menggelandang (tidak
mempunyai rumah) dan membujang.16 Pernyataan tersebut menyuruh kita untuk
berusaha, berikhtiar dan bekerja untuk mendapatkan harta dunia, sehingga bisa menafkahi dan memenuhi kebutuhan hidup.
Atas dasar inilah penulis akan membahas tentang pemaknaan ulang kata fakir dan miskin terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan fakir dan miskin.
14 Nisab adalah batasan-batasan yang harus dicapai terkait suatu harta kekayaan sehingga
seseorang memiliki kewajiban untuk melakukan zakat.
15 Fazlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam (Yogyakarta, Dana Bakti Wakaf), hlm. 295. 16 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 1996), cetakan ke-13, h.
Harapannya adalah memberi sumbangan yang ilmiah yang bermanfaat bagi dunia keilmuan hadis pada khususnya dan penjelasan bagi masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul skripsi yang akan dibahas adalah Pemaknaan Kata Fakir dan Miskin dalam Hadis Nabi.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas, saya menemukan beberapa akar permasalahn yang diidentifikasi dalam penelitian ini, yaitu:
1) Adanya perbedaan yang cukup signifikan dikalangan ulama klasik dan kontemporer tentang makna kata fakir dan miskin. Perbedaan itu berdampak pada pembagian zakat, jika menggunakan definisi dahulu seseorang tidak akan menerima zakat, karena bukan termasuk kategori fakir miskin. Begitu pula sebaliknya, apabila orang dahulu menerima zakat dengan definisi yang berbeda, maka seseorang itupun tidak akan menerima zakat.
2) Adanya perbedaan makna fakir dan miskin diduga karena dua hal yaitu dari lafaẓ dan konteksnya. Perbedaan itu terjadi apabila lafadz fakir dan miskin terdapat dalam satu kalimat, maka disinilah perbedaan makna dari lafadznya, dan apabila lafadz fakir dan miskin tidak terdapat dalam satu kalimat, maka makna miskin sudah termasuk kedalam makna fakir.
2. Pembatasan Masalah
Dari beberapa masalah yang teridentifikasi di atas, maka pembahasan pada penelitian ini yaitu: Adanya perbedaan yang cukup signifikan dikalangan ulama klasik dan kontemporer tentang makna kata fakir dan miskin.
3. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas yaitu Bagaimana Makna Kata Fakir dan Miskin Menurut Ulama
Klasik dan Ulama Kontemporer dalam Bidang Fikih dan Hadis?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan deskripsi secara jelas tentang makna kata fakir dan miskin menurut ulama klasik dan kontemporer dalam bidang fikih dan hadis. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan makna yang komprehensif tentang makna kata fakir dan miskin dan bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan BAZNAS dan BPS dalam menentukan kategori fakir dan miskin.
D. Tinjauan Pustaka
Ada beberapa tulisan yang berkaitan tentang tema yang dibahas, yaitu:
Pertama, Hadis Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaybah dalam Kitab Ta’wil
Mukhtalif al-Hadis yang ditulis oleh Fiqri Auliya Ilhamny. Masalah yang diangkat dalam skripsi ini yaitu pensyarahan Ibnu Qutaybah dalam membandingkan hadits-hadis kemiskinan yang terdapat dalam kitab Ta’wil Mukhtalif Al-Hadis, dengan menggunakan kitab-kitab Ṣaḥīḥ mengenai
kemiskinan, dan dapat disimpulkan bahwa ada beberapa hadis yang bertentangan dengan hadis ini, tetapi itu bukan menjadi pelemah hadis kemiskinan. Karena hadis itu justru menguatkan pemahaman akan arti miskin, dan dalam menakwilkan hadis-hadis kemiskinan, mereka kurang memahami arti dari fakir dan miskin, dan cenderung menyamakan keduanya, padahal keduanya tidak
sama.17
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Samsul Basri membahas tentang
Kemiskinan Perspektif Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez (2011). Masalah yang diangkat ialah bagaimana pandangan Gustavo Gutierrez terhadap kemiskinan. Metode yang digunakan yaitu dengan mengunakan data-data primer dan skunder, disimpulkan bahwa Gustavo Gutierrez mengklasifikasikan kemiskinan kedalam tiga bagian, yaitu kemiskinan material, kemiskinan spiritual, dan kemiskinan sukarela sebagai perwujudan solidaritas dengan yang dipermiskin (kemiskinan nomor satu) dan oleh karenanya kemiskinan spiritual (kemiskinan nomor dua) merupakan gugatan atau protes terhadapt praktik penindasan dan pemerasan yang dijalankan atas kepentingan pribadi semata.
Ketiga, skripsi tentang Orang Miskin dalam Al-Qur’an (2013)18 yang ditulis oleh Unaimah. Dalam skripsi ini menerangkan ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang orang miskin, salah satunya dalam surat al-Baqarah ayat 177. Metode yang digunakan yaitu mengumpulkan data baik primer maupun skunder, sehingga dapat disimpulkan bahwa kata fakir (bentuk mufrad), fuqara (bentuk
17 Fiqri Auliya Ilhamny, “Kemiskinan Menurut Ibnu Qutaybah dalam Kitab Ta‟wil Mukhtalif al-Hadis”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014).
18
Unaimah, “Orang Miskin dalam Al-Qur‟an” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
jama’) dan faqr bentuk masdar) dipergunakan al-Qur’an yaitu dua surat Makiyah
dan delapan surat Madaniyah,
Keempat, tulisan tentang Telaah Interpretasi Yusuf al-Qaraḍāwī terhadap
ayat-ayat kemiskinan yang ditulis oleh Muhammad Aqib (2012). Skripsi ini menjelaskan tentang penafsiran Yusuf al-Qaraḍāwī terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang membahas seputar kemiskinan, dan memfokuskan pada titik pembahasan problem dan bahaya kemiskinan. Sedangkan skripsi tentang Studi kualitas hadis tentang kemiskinan mendekati kekafiran, yang ditulis oleh Amirudin bin Yusuf (2008). Skripsi ini hanya membahas hadis-hadis tentang kemiskinan, tidak mencakup keseluruhan hadis-hadis kemiskinan akan tetapi hanya membatasi pada hadis miskin mendekati kekafiran.
Kelima, yaitu artikel jurnal berjudul Perbandingan tentang Konsep
Kemiskinan Pendekatan Konvensional dan Islam yang ditulis oleh Radieah Mohd Nor. Artikel ini menumpukan kepada konsep kemiskinan dari perspektif Islam. Ia menggunakan analisis kritis terhadap konsep kemiskinan konvensional, kemudian menghubungkannya dengan jawaban atas pertanyaan kenapa selama ini permasalahan ini tidak dapat diselesaikan dengan konsep kemiskinan tersebut. Konsep kemiskinan dari perspektif Islam dan hubungannya dengan upaya mengatasi masalah kemiskinan ini kemudian dijadikan fokus perbincangan artikel ini. Ia merumuskan konseptual dengan memainkan peranan penting dalam usaha mengatasi masalah kemiskinan. Kegagalan usaha mengatasi masalah kemiskinan selama ini adalah berpuncak daripada ketidaktepatan konsep kemiskinan yang
dikemukakan dari perspektif konvensional.19 Kemudian artikel dijurnal yang berjudul Kemiskinan dalam Perspektif al-Qur’an yang ditulis oleh Budihardjo yang membahas tentang makna fakir miskin dan cara menanggulangi kemiskinan berdasarkan petunjuk al-Qur’an.
Keenam, tesis yang membahas tentang fakir miskin yang ditulis oleh Mufti
tentang konsep al-Qur’an dalam pengentasan kefakiran (2005). Masalah yang diangkat dalam tesis ini yaitu bagaimana konsep al-Qur’an dalam menanggulangi kefakiran, dengan meneliti ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan al-faqr, berarti penulis menemukan aspek-aspek, dampak dan obat untuk menanggulangi kemiskinan dan kefakiran yang terdapat dalam al-Qur’an al-Karim, kemudian ayat tersebut diteliti dalam berbagai kitab tafsir, ayat-ayat tersebut disusun berdasarkan relevansinya dengan al-faqr yang memuat aspek-aspek, dan upaya untuk
menanggulangi kemiskinan dan kefakiran itu sendiri.20
Ketujuh, buku yang berjudul “Miskin dan Kaya dalam Pandangan
al-Qur’an” karya M. Bahauddin al-Qubbani. Al-Qubbani menjelaskan permasalahn
antara miskin dan kaya dalam pandangan al-Qur’an saja, namun dalam buku ini juga menjelaskan fakir dalam pandangan kitab-kita bahasa, seperti kitab Mu‟jam
al-Wasīṭ, Asas al-Balaghah, Miṣbah al-Munīr dan kitab Mukhtar aṣ-ṣiḥaḥ.21
Penelitian yang penyusun tulispun membahas tentang fakir menurut pandangan berbagai ahli bahasa.
19
Radieah Mohd Nor, Perbandingan Tentang Konsep Kemiskinan Pendekatan
Konvensional dan Islam, Pusat Kajian Pengurusan Pembangunan Islam (ISDEV), tth.
20
Mufti, Konsep al-Qur‟an dalam Pengentasan Kefakiran (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005).
21 M. Bahauddin al-Qubbani, Miskin dan Kaya dalam Pandangan al-Qur‟an (Jakarta:
Oleh karena itu, skripsi yang saya tulis ini lebih memfokuskan kepada pemaknaan kata fakir dan miskin dalam hadis Nabi, dengan merujuk kepada pendapat para ulama. Adapun kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam penulisan skripsi ini adalah kitab-kitab Ṣaḥīḥ, yaitu kitab Ṣaḥīḥ Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslīm.
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
Sumber utama atau disebut naskah primer dalam penelitian ini adalah hadis-hadis fakir dan miskin yang terdapat dalam kitab al-kutub al-Tis‟ah, tetapi saya hanya memfokuskan pada hadis-hadis yang ada di dalam kitab Ṣaḥīḥ Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslīm. Karena menurut Ibn Al-Ṣalāḥ kedua kitab Ṣahihain ini sudah jelas keṣaḥiḥan-Nya. Kemudian sumber informasi sekunder dalam penelitian ini berupa buku, seperti Hukum Zakat karya Yūsuf al-Qaraḍāwī dan buku tentang Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang miskin. Kemudian sumber data jurnal yaitu Perbandingan Tentang Konsep Kemiskinan Pendekatan Konvensional dan Islam, sedangkan artikel yang membahas fakir dan miskin yaitu Kemiskinan dalam Perspektif al-Qur’an.
2. Metode Pengumpulan Data
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode takhrij, yaitu metode untuk mengetahui ada berapa banyak hadis-hadis fakir dan miskin yang ada dalam kitab kutub al-Tis‟ah, sehingga mudah mengklasifikasikannya, penulis juga melakukan penelitian kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang relevan dengan pokok masalah fakir dan miskin.
Teknis pembahasan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis, yaitu suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya terlebih dahulu sebagai gambaran awal dan setelah itu dianalisis, untuk kemudian ditarik sebuah kesimpulan.
3. Metode Analisis Data
Dalam pemahaman hadis ini, saya menggunakan metode pemahaman hadis Yūsuf Al-Qaraḍāwī, yaitu memahami Sunnah sesuai petunjuk Al-Qur’an (ميركلا نارقلاءىض يف ةنسلا مهف) dan memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan serta tujuannya ( ثيداحلاا مهف
ت اسب لاموا هبابسأ ءىض يف
اهدصاقمواه ),22 yaitu dengan merujuk pada buku kayfa
Nata‟āmal ma‟as-Sunnah. Karena untuk untuk memahami sunnah dengan baik,
jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penakwilan yang keliru, harus memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Quran. Jelaslah bahwa al-Qur’an adalah ruh dari eksistensi Islam, dan merupakan asas bangunannya. Ia merupakan konstitusi dasar yang paling pertama dan utama, yang kepadanya bermuara segala perundang-undangan Islam. Sedangkan as-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoretis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rasulullah Saw: “menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka”. Maka penjelasan yang bersumber
dari Nabi Saw, selalu dan senantiasa berkisar diseputar al-Qur’an dan tidak
mungkin akan melanggarnya,23 dan untuk dapat memahami hadis dengan
22
Yūsuf Qaraḍāwī, Kaif Nata‟amal ma‟a Sunnah Nabawiyah (Al-Qāhiroh:Dār al-Syuruq, 2004). h. 111.
23 Yūsuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Terjemah dari Kaif Nata‟amal ma‟a Sunnah Nabawiyah (Bandung: Penerbit Karisma, 1993), h. 92-93.
pemahaman yang benar dan tepat, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang partikular dan yang universal. Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing, dan dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbāb an-Nuzūl dan
asbāb al-Wurūd, pasti akan mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus.24
Sehingga dengan demikian maksudnya benaar-benar menjadi jelas dan terhindar dari pelbagai perkiraan yang menyimpang dan diterapkan dalam pengertian yang jauh dari tujuan sebenarnya. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan
semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh dipertentangkan25.
4. Metode Penulisan
Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012”.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari empat bab, yang masing-masing diikuti dengan beberapa sub bab dengan tujuan lebih mempermudah dalam membahas suatu permasalahan.
Bab I, adalah pendahuluan yang terdiri dari enam sub bab yang merupakan kerangka dasar dalam pembahasan bab-bab selanjutnya, sekaligus mencerminkan isi skripsi ini secara global, yang cakupannya terdiri dari alasan penulis memilih judul “Pemaknaan Kata Fakir dan Miskin dalam Hadis Nabi”, batasan dan
24
Yūsuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, Terjemah dari Kaif
Nata‟amal ma‟a Sunnah Nabawiyah (Bandung: Penerbit Karisma, 1993), h. 132-133. 25 Hamdan Husein, Hadis Dalam Pandangan Yusuf al-Qarḏowī, h.16-51.
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, adalah, term fakir dan miskin dalam hadis Nabi yang tediri dari klasifikasi tema hadis fakir dan miskin dan faktor-faktor penyebab kemiskinan.
Bab III, adalah bagian dari menentukan makna kata fakir dan miskin dalam hadis Nabi yang terdiri dari makna kata fakir dan miskin menurut ulama klasik dan kontemporer, fakir dan miskin menurut ulama hadis dan ulama fikih dan pemahaman hadis fakir dan miskin dalam bingkai al-Qur’an.
Bab IV, yaitu kesimpulan yang merupakan rangkuman dari bab-bab sebelumnya dan sekaligus merupakan ringkasan yang memuat saran-saran yang diperlukan, dan bab inilah yang menjadi kongklusi dari pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya.
16
A. Klasifikasi Tema Hadis Fakir dan Miskin dalam Hadis Nabi
Sebelum menjelaskan klasifikasi hadis-hadis fakir dan miskin, maka akan dibahas beberapa definisi tentang makna kata fakir dan miskin.
Kata fakir memiliki beberapa bentuk penyebutan, ada yang mengatakan fakir dengan kata al-faqru, al-fāqir, al-faqīr. Dari perbedaan tersebut, maka berbeda pula maknanya. Kata al-faqru memiliki dua arti. Pertama, kata al-faqru (bentuk mufrod) dengan bentuk jamaknya mafāqir, bermakna kebutuhan atau merasa butuh. Kedua, kata al-faqru yang memiliki bentuk jamak fuqara,
bermakna kesulitan, kesusahan dan kekurangan.1 Quraish Shihab menyebutkan,
faqīr itu terbentuk dari kata faqr, yang berarti tulang punggung. Jadi, faqīr adalah
orang yang patah tulang punggungnya, dalam artian bahwa beban yang dipikulnya
demikian berat sehingga mematahkan tulang punggungnya.2 Sedangkan kata
miskin dalam bahasa Arab adalah maskanah yang berarti rendah (hina).3
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan atau sangat miskin, sedangkan miskin diartikan
sebagai tidak berharta benda, serta kekurangan (berpenghasilan rendah).4
1 M. Bahauddin Al-Qubbani, Miskin dan Kaya dalam Pandangan Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema
Insani, 1999), h. 16.
2 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 449.
3 Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Aṭ-Ṭabari, Tafsir al-Ṭabarī (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), jilid 12, h. 881.
4
Hadis-hadis tentang fakir dan miskin ini sangat banyak sekali dalam
kutub Al-Tis’ah. Setelah ditelusuri hadis-hadis yang berhubungan dengan fakir
dan miskin ada 198 hadis5, yang menjelaskan tentang fakir ada 137 dan 61 hadis
tentang miskin.6 Namun tidak semua hadis diklasifikasikan, karena yang saya
batasi hanya hadis-hadis Ṣaḥīḥ yang terdapat di dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan
Ṣaḥīḥ Muslīm. Sedangkan hadis-hadis selain kedua kitab Ṣaḥīḥ seperti, Sunan an-Nasa’i, Sunan Abū Dawūd, al-Tirmiḍī, Sunan Ibnu Mājah, Sunan ad-Dārimi, Musnad Ibnu Hanbal dan Muaṭṭa’ Malik hanyalah sebagai penguat, apakah hadis
fakir dan miskin terdapat di dalam kitab selain Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ
Muslīm.
Adapun klasifikasi hadis-hadis fakir dan miskin adalah sebagai berikut: 1) Keutamaan Orang Fakir
Adapun posisi orang miskin adalah orang-orang yang mulia yang masuk surga lebih dulu dari pada orang-orang kaya dan termasuk golongan yang dicintai Allah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Ṣaḥīḥ Bukhārī dan hadis
al-Sunan Ibnu Mājah.
َّ دَح
ٍَّْيَْصُحَِّنْبََّناَرْمِعَّْنَعٍَّءاَجَرَّوُبَأَّاَنَ ث دَحٍَّريِرَزَُّنْبَُّمْلَسَّاَنَ ث دَحَِّديِلَوْلاَّوُبَأَّاَنَ ث
َّاَهِلْىَأََّرَ ثْكَأَُّتْيَأَرَ فَِّة نَْلْاَّ ِفَُِّتْعَل طاََّلاَقََّم لَسَوَِّوْيَلَعَُّو للاَّى لَصَِِّّبِ نلاَّْنَع
َّ نلاَّ ِفَُِّتْعَل طاَوََّءاَرَقُفْلا
ََّءاَسِّنلاَّاَهِلْىَأََّرَ ثْكَأَُّتْيَأَرَ فَِّرا
7 5Sofware Hadis al-Maktabah al-Syāmilah.
6
Muhammad fu‟ad Abdul ba‟I, Miftāh al kunūz al-Sunnah, h. 471-472.
7
Muhammad Ismail Abu Abdullah al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dar al kotob al Ilmiyyah, 1998), h. 440.
“Telah bercerita kepada kami Abū Al Walīd telah bercerita kepada kami Salm bin Zarir telah bercerita kepada kami Abu Raja' dari 'Imrān bin Ḥuṣayn dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Aku mendatangi, surga maka kulihat kebanyakan penduduknya adalah para faqir dan aku mendatangi neraka
maka aku lihat kebanyakan penduduknya para wanita".8
Dalam hadis ini Imam al-Bukhārī bermaksud menunjukkan bahwa orang yang fakir atau miskin itu pasti lebih mulia dari orang yang kaya secara mutlak. Karena sudah menjadi fakta bahwa yang memasukkan seseorang kesurga itu bukanlah karena ia memiliki gelar simiskin atau sikaya, karena berapa banyak orang yang kemiskinannya membuat ia banyak melakukan kemaksiatan, dan di sisi lain ada orang yang kaya tetap menahan nafsunya dan menggunakan hartanya untuk kebaikan yang dapat memberatkan timbangannya kelak di hari kiamat.
Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Ibnu al-Baṭṭal dan al-Fath, ia berkata (Ibnu al-Baṭṭal), “Tidaklah menjadi hujan sabda Rasulullah di atas (kebanyakan penduduk surga orang miskin) bagi yang mengatakan simiskin lebih mulia dari sikaya, adapun makna yang benar adalah bahwa sesungguhnya orang miskin itu faktanya memang lebih besar jumlahnya dari orang kaya di dunia (yang mana secara otomatis untuk menjadi penghuni surga lebih banyak), karena yang memasukkan orang kesurga bukanlah kemiskinannya tetapi ketakwaannya walaupun miskin, karena walaupun ia miskin apabila tidak bertakwa maka
tidaklah menjadi orang yang mulia.9
8 Selain di dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, hadis tentang penduduk surga juga terdapat dalam
kitab Ṣaḥīḥ Muslīm (no. 281), Sunan al-Tirmiḍī (no. 179) dan Musnad Ibnu Hanbal (no. 234, 359 dan 173).
9
2) Sifat Orang Fakir
Ada dua cara menghindari dari keburukan fakir, yaitu dengan berdoa dijauhkan dari kefakiran dan menghindari dari perbuatan fakir yang sombong. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadis Musnad Ibnu Hanbal dan hadis
al-Sunan an-Nasa’i.
َّ نَأَِّويِبَأَّ ْنَعََّةَرْكَبَّ ِبَِأَِّنْبَِّمِلْسُمَّْنَعَُّما ح شلاَُّناَمْثُعَّ ِنَِث دَحٌَّعيِكَوَّاَنَ ث دَح
َّ
َِّرْقَفْلاَوَِّرْفُكْلاَّْنِمََّكِبَُّذوُعَأَّ ِّنِِّإَّ مُه للاَُّلوُقَ يََّناَكََّم لَسَوَِّوْيَلَعَُّو للاَّى لَصَّ ِبِ نلا
َِّْبَقْلاَّ ِباَذَعَو
10“Telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan padaku Utsman Asy Syakham dari Muslim bin Abu Bakrah dari Ayahnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasa berdo'a: "ALLAHUMMA INNI A'UUDZUBIKA MINAL KUFRI WAL FAQRI WA 'ADZAABIL QABRI. (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran,
kefakiran, dan adzab kubur)."11
َّ َلاَقٌَّمِراَعَّاَنَ ث دَحََّلاَقََّدُواَدَّوُبَأَّاَنَرَ بْخَأ
َُّنْبَِّو للاَُّدْيَ بُعَّاَنَ ث دَحََّلاَقٌَّدا َحََّاَنَ ث دَح
ََّم لَسَوَِّوْيَلَعَُّو للاَّى لَصَِّو للاََّلوُسَرَّ نَأََّةَرْ يَرُىَّ ِبَِأَّْنَعَِّّيُِبْقَمْلاٍَّديِعَسَّْنَعََّرَمُع
َِّقَفْلاَوَّ ُف لََّْلْاَُّعا يَ بْلاَّ لَجَوَّ زَعَُّو للاَّْمُهُضُغْ بَ يٌَّةَعَ بْرَأَّ َلاَق
َُّخْي شلاَوَّ ُلاَتْخُمْلاَُّير
َُّرِئاَْلْاَُّماَمِْلْاَوَّ ِنِّا زلا
12“Telah mengabarkan kepada kami Abu Dawud dia berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Arim dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammad dia berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullah bin 'Umar dari Sa'id
10 Abī Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ibnu Hanbal (Pustaka Riyadh, 1419 H), Juz 5, h.
36.
11 Selain terdapat di dalam Musnad Ibnu Hanbal, hadis ini juga terdapat dalam kitab Sunan an-Nasa’i (no. 380).
12 Abī Abdirrahman bin sueb bin Alī, sunan annasa’I (Beirut:Dar Al Kitab Ilmiyyah), Juz 8,
Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Empat golongan yang Allah Azza wa Jalla membenci mereka; "Penjual yang suka bersumpah, orang fakir yang sombong, orang tua renta yang berzina, dan pemimpin yang durjana."
3) Objek Sedekah
Sebagaimana dalam al-Qur‟an menyebutkan fakir miskin dalam ayat yang berhubungan dengan ketentuan pembagian zakat, seperti yang dijelaskan
dalam hadis13 Ṣaḥīḥ Bukhārī.
ََّأَّ َرَمُعَِّنْباَّْنَعٍَّعِفاَنَّْنَعٍَّنْوَعَُّنْباَّاَنَ ث دَحٍَّمِصاَعَّوُبَأَّاَنَ ث دَح
ََّيِضَرََّرَمُعَّ ن
َّْنِإَّ َلاَقَُّهَرَ بْخَأَفََّم لَسَوَِّوْيَلَعَُّو للاَّى لَصَّ ِبِ نلاَّىَتَأَفََّرَ بْيَِبَِّ الًاَمََّدَجَوَُّوْنَعَُّو للا
َّ َبَْرُقْلاَّ يِذَوَّ ِيِْكاَسَمْلاَوَّ ِءاَرَقُفْلاَّ ِفَِّ اَِبَِّ َق دَصَتَ فَّ اَِبَِّ َتْق دَصَتَّ َتْئِش
َِّفْي ضلاَو
14“Telah bercerita kepada kami Abu 'Ashim telah bercerita kepada kami Abu 'Aun dari Nafi' dari Ibnu 'Umar bahwa 'Umar radliallahu 'anhuma mendapatkan harta di Khaibar lalu dia menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan mengabarkannya. Maka Beliau berkata: "Jika kamu mau,
kamu shadaqahkan (hasil) nya". Maka 'Umar
menshadaqahkannya untuk para fakir dan miskin, kerabat dan untuk menjamu tamu.”
Dari klasifikasi hadis-hadis fakir dan miskin di atas bahwa, fakir dan miskin mempunyai nilai tersendiri, baik itu negatif ataupun positif. Hanya saja kembali lagi kepada manusia itu sendiri.
13 Hadis tentang anjuran bersedekah juga terdapat di dalam kitab al-Tirmiḍī (no. 242) dan Sunan an-Nasa’i (no. 363).
14
Muhammad Ismail Abu Abdullah al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dar al kutub al Ilmiyyah, 1998), Juz 9, h. 328.
Untuk mengetahui lebih banyak hadis-hadis yang berkaitan dengan fakir dan miskin sudah terlampir di skripsi ini.
B. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Menurut Chambers, kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu: Pertama, kemiskinan absolut: bila pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum atau kebutuhan dasar termasuk pangan, sandang papan, kesehatan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga penyebab ketimpangan pada pendapatan atau dapat dikatakan orang tersebut sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Ketiga, kemiskinan
kultural15: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat
yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari
pihak luar. Keempat, kemiskinan struktural16: situasi miskin yang disebabkan
karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu system
15 Kemiskinan kultural keadaan dimana individu ataupun kelompok memilih untuk atau
mengambil sikap untuk tidak memperbaiki taraf hidupnya yang sekarang dikarenakan budaya yang dimilikinya seperti suku-suku pedalaman.
16 Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat
sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, soaial, politik dan budata.
sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembahasan kemiskinan,
tetapi kerap menyebabkan suburnya kemiskinan.17
Beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab kemiskinan meliputi tiga aspek yaitu :
1. Kelembagaan: rakyat miskin tidak punya akses ke pembuat keputusan dan kebijakan, sedangkan kelembagaan yang ada tidak pernah menjaring atau menyalurkan aspirasi yang muncul dari bawah, dan setiap kebutuhan rakyat miskin sudah didefinisikan dari atas oleh kelembagaan yang ada, sehingga kemiskinan tidak dapat terselesaikan.
2. Regulasi: kebijakan pemerintah yang mengutamakan kepentingan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam investasi modal pada sektor-sektor industri yang tidak berbasis pada potensi rakyat menutup kesempatan masyarakat untuk mengembangkan potensinya dan menjadi akar proses pemiskinan.
3. Good governance: tidak adanya transparansi dan keterbukaan pada pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang mengakibatkan kebijakan hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Segala bentuk regulasi diputuskan oleh lembaga-lembaga pembuat kebijakan tanpa mengikutkan para pelaku yang terlibat dan tidak memahami aspirasi rakyat miskin sehingga kebijakan yang muncul tidak mendukung rakyat miskin.
Aspek ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang
17 Ali KHomsan, Indikator Memiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta: Yayasan
sangat kuat dalam melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan, yaitu:
a. Aspek politik yang mengakibatkan kemiskinan yaitu: 1) Tidak ada budaya demokrasi yang mengakar.
2) Keputusan-keputusan politik yang sangat dipengaruhi keputusan dan kepentingan politik dari luar negeri.
3) Tidak ada kontrol langsung dari rakyat terhadap birokrasi.
4) Tidak berdayanya mekanisme dan sistem perwakilan politik menghadapi kepentingan modal.
b. Aspek ekonomi yang mengakibatkan munculnya kemiskinan yaitu:
1) Kebijakan globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi.
2) Rendahnya akses terhadap faktor produksi pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan.
3) Spekulasi mata uang.
c. Aspek sosial budaya yang mengakibatkan kemiskinan yaitu:
1) Hancurnya identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat.
2) Hancurnya kemampuan komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial.
3) Marginalisasi mayoritas rakyat. 4) Lemahnya kelembagaan yang ada.
5) Kuatnya budaya bisu di semua lapisan masyarakat.
Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan
dalih demi „keuntungan bersama‟, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam
masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi yang ada tidak sedikit yang memberikan „pembenaran‟ dalam pemenuhan kebutuhan dasar. „Pembenaran tradisi‟ bahwa anak harus ikut menanggung
kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk yang lain.
Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi. Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat.
Berbicara tentang kemiskinan struktural, artinya struktur yang membuat orang menjadi miskin, dimana masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan tidak mendapatkan akses secara baik. Disebut kemiskinan kultural, adalah budaya yang membuat orang miskin, yang dalam antropologi disebut Koentjaraningrat dengan mentalitas atau kebudayan kemiskinan sebagai adanya budaya miskin. Seperti, masyarakat yang pasrah dengan keadaannya dan menganggap bahwa mereka miskin karena turunan, atau karena dulu orang tuanya atau nenek moyangnya juga miskin, sehingga usahanya untuk maju menjadi
kurang. Semakin banyak program-program yang bergerak dalam penanggulangan
kemiskinan, namun makin banyak pula jumlah orang miskin.18
Potret kemiskinan di Indonesia adalah gambaran keterbelakangan, keterpurukan, ketertinggalan dan ketidakberdayaan. Di negeri Indonedia yang juga merupakan Negara agraris banyak ditemukan rumah tangga miskin. Gold
standard harus dirumuskan secara akurat dengan melibatkan berbagai ahli agar
yang disebut orang miskin tidak mengalami misklasifikasi. keadaan dilapangan membuktikan bahwa misklasifikasi menyebabkan kekacauan dalam pelaksanaan program-program bantuan pemerintah untuk orang miskin. Dengan menyadari hal tersebut, maka penelitian ini menganalisis comprehensive variables yang dapat dijadikan indikator kemiskinan serta gold standard garis kemiskinan yang memperhatikan kebutuhaan hidup layak. Dengan memperhatikan
kelemahan-kelemahan garis kemiskinan terdahulu.19
Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan dan kesenjangan antar golongan penduduk. Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas
18
Sarmiati, Pemerhati P2KP di Sumba Barat, KMW XII P2KP-3 NTT, Nina.
(www.P2kp.org).
19 Ali Khomsan dkk, Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta:
kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan public dan pemerintah; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola
pemerintahan dengan baik.20
Penduduk fakir dan miskin yang ada di Indonesia masih sangat tinggi, walaupun setiap penduduk pada hakekatnya tidak menghendaki hidup miskin, namun kenyataannya di masyarakat ada yang serba kekurangan, tidak mampu mewujudkan berbagai kebutuhan pokok, terutama dari segi material, bahkan pada masa sekarang ini di beberapa daerah Indonesia ada anak-anak yang busung lapar, karena kekurangan gizi. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia masih ada banyak penduduk yang fakir ataupun miskin. Akibat dari ketidak mampuan di bidang material ini, orang-orang fakir miskin mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan gizi, memperoleh pendidikan yang layak, modal kerja dan sejumlah kebutuhan yang lain.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Padahal sebelum terjadinya krisis tersebut jumlah penduduk miskin Indonesia terus berkurang. Akibat krisis ekonomi yang berkelanjutan, sampai dengan akhir tahun 1998 jumlah penduduk miskin semakin meningkat
20 Ali Khomsan dkk, Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta:
diperkirakan telah menjadi 49,5 juta jiwa (24,2 %) dari jumlah penduduk
Indonesia.21
Fakta umumnya, masih banyak kita melihat di perkotaan dan di daerah para gepeng yang mengemis di jalanan, pusat keramaian, lampu merah, rumah ibadah, sekolah maupun kampus. Ironisnya para gepeng (gelandangan dan pengemis) dan anak jalanan yang berada di jalanan meningkat jumlahnya tiap tahun, bahkan mereka mereka menjadi bisnis baru bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dimana keberadaan anak-anak jalanan menjadi ruang
eksploitasi22 bagi preman, perdagangan anak (human trafficking) pun terjadi, rentan terlibat narkoba, menajadi korban maupun pelaku free sex dan lainnya yang menunjukkan kehancuran masa depan anak bangsa. Padahal sejatinya anak merupakan modal atau aset bangsa untuk meneruskan estafet kepemimpinan. Jika kehidupan generasi tidak dijaga dan diperhatikan, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami daruart kuantitas generasi yang berkualitas. Tentu kondisi ini tidak diharapkan, namun pada kenyataannya hal ini telah mulai mengancam
Indonesia dan generasinya secara umum.23
Berdasarkan publikasi BPS (2009), penghitungan jumlah dan persentase penduduk miskin pertama kali dilakukan pada tahun 1984. Pada saat itu, penghitungan penduduk miskin mencakup periode 1976-1981 dengan
21
Badan Pusat Statistik (BPS), “Kemiskinan”, di akses pada tanggal 26 Maret 2016, dari www.bps.go.id
22 Eksploitasi adalah suatu tindakan untuk memanfaatkan sesuatu secara berlebihan atau
sewenang-wenang. Eksploitasi ini bisa menimbulkan kerugian pada lingkungan sekitar atau pada orang lain. Eksploitasi diambil dari bahasa Inggris yaitu exploitation yang artinya politik untuk memanfaatkan dengan sewenang-wenang terhadap subjek tertentu. Eksploitasi ini banyak digunakan dalam istilah hukum atau beberapa sumberdaya alam yang ada di suatu Negara.
23 Maraknya Fakir Miskin dan Anak Terlantar di Indonesia, di akses pada tanggal 24 April
menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) modul konsumsi. Sejak itu, setiap tiga tahun sekali BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin yang disajikan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Kemudian mulai tahun 2003, BPS secara rutin mengeluarkan data jumlah dan persentase penduduk miskin setiap tahun dan menjadi setiap tiga bulan dalam satu tahun (triwulanan) sejak tahun 2011, potret kemiskinan yang disajikan adalah kondisi bulan Maret dan September. Karena dihitung berdasarkan data survei, angka kemiskinan yang dihasilkan BPS pada dasarnya hanyalah
estimasi.24
Perlu dicatat bahwa peningkatan jumlah penduduk miskin menjadi 49,5 juta jiwa pada akhir 1998 tersebut tidak sepenuhnya terjadi akibat adanya krisis ekonomi, melainkan sebagian terjadi karena perubahan standar yang digunakan. Seperti diketahui, standar kemiskinan yang digunakan BPS bersifat dinamis, menyesuaikan perubahan/ pergeseran pola konsumsi. Perlu dicatat pula bahwa perubahan dari standar 1996 ke 1998 terjadi bukan semata-mata karena pergeseran pola konsumsi, tetapi lebih karena perluasan cakupan komoditi yang diperhitungkan dalam kebutuhan minuman yang dilakukan agar standar kemiskinan dapat mengukur tingkat kemiskinan secara lebih realistis. Karena dari
tahun ketahun angka kemiskinan bisa meningkat bahkan menurun.25
Pada awal tahun 1970-an, Sajogyo menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras perkapita sebagai indikator kemiskinan. Sajogyo membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah perdesaan dan perkotaan. Untuk
24
Ali Khomsan dkk, Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 12.
25
daerah perdesaan, apabila seseorang hanya mengonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan dogolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar akuivalen 360 kg
beras per orang per tahun.26
Bertolak dari realitas-realitas tersebut, ternyata amanat UUD 1945 yang sudah dicetuskan telah diciderai sendiri dan tak sejalan dengan pembukaan UUD 1945 bahwa Pemerintah Indonesia akan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sayangnya pernyataan tersebut masih sekedar formalitas, manis di bibir dan belum terwujud secara riil. Sehingga fungsi negara tidak berfungsi sebgaimana mestinya.
Terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam alinea keempat UUD 1945 merupakan cita-cita mulia bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah
kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
Oleh sebab itu,27 penanganan pemerintah terhadap fakir miskin yaitu dengan
memberikan peluang untuk mereka tumbuh menjadi seorang yang mandiri dan dapat menghidupi dirinya sendiri. Pemerintah harus menumbuhakan aspirasi
26 Ali Khomsan, Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia), h. 11.
27
dalam dirinya dan juga memberikan tempat yang layak bagi mereka dan memberikan lapangan kerja agar mereka mau berusaha untuk kehidupannya. Dan juga mari kita merenungkan kembali nilai Pancasila yang mana nilai-nilai tersebut akan menjadi spirit dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga pembangunan dan pemerintahan negara dapat mencapai tujuan.
31
A. Makna Kata Fakir dan Miskin Menurut Ulama Klasik dan Kontemporer
Makna kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, sehingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek soaial dan moral. Dalam arti sempit, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti
luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multiface atau multidimensional.1
Adapun pendapat yang lebih masyuhur adalah pendapat yang dikemukakan oleh ulama klasik dan kontemporer, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Ulama Klasik (Abad ke III- IX H)2
Pada saat ini banyak masyarakat menengah kebawah memandang fakir dan miskin hanya dimaknai dengan kekurangan harta saja, sehingga banyak orang lalai menyembah Tuhannya demi merubah nasib dirinya agar keluar dari kefakiran dan kemiskinan dengan cara berkerja keras dan menghalalkan segara cara agar bisa merubah hidupnya dari kekurangan menjadi kaya. Dengan pandangan seperti itu tidak sedikit pula anak-anak yang dipaksa untuk
1 Ali Khomsan, Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 2.
2 M. Isa HA Salam dan Rifqi Muhammad Fatkhi, Pemetaan Kajian Tafsir al-Qur‟an pada Program Pascasarjana: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakkarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2015 (Jakarta: UIN
minta dipinggir jalan, melakukan tindakan kejahatan dan kemaksiatan yang didasari oleh keadaan fakir ataupun miskin.
Pemuka ahli tafsir, Ṭabarī3 mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan
fakir, yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi dapat menjaga diri dari meninta-minta. Sedang yang dimaksud miskin, yaitu orang yang dalam kebutuhan, tapi suka merengek-rengek dan meminta-minta. Diperkuatnya lagi pendapatnya itu dengan berpegang pada arti kata maskanah (kemiskinan jiwa) yang sudah
menunjukan arti demikian.4 Sedangkan menurut Abu Muhammad Ibnu Qutaybah,
tidak ada pertentangan diantara makna fakir dan miskin. Karena memang keduanya fakir dan miskin adalah dua hal yang berbeda. Jika hadis tersebut berbunyi masakin sedangkan hadis yang lain diganti dengan kata fuqoro barulah terjadi perbedaan, dan makna miskin dalan hadis yang terdapat kata masakin tersebut adalah tawadhu dan ikhlas seolah-olah Nabi SAW supaya tidak termasuk
golongan orang-orang yang sombong.5 Namun perbedaan makna dari fakir dan
miskin hanya terjadi jika kedua kata tersebut disebutkan di dalam satu kalimat. Dan jika dipisah, misalnya “fakir” saja dalam suatu kalimat maka orang miskin
sudah masuk ke dalam maknanya.
2. Menurut Ulama Kontemporer (Abad ke XIV H sampai sekarang)6
3
Tafsir al-Ṭabari, jilid. 14, h. 308-309.
4 Yūsuf al-Qaraḍāwī, Hukum Zakat (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 1996), h. 511. 5 Ibnu Qutaybah, Ad-Dīnawarī, Ta‟wil Mukhtaliful Hadis (Beirut: Mu’assasah Kutub
al-Tsaqafiya, 1988), h. 278.
6
M. Isa HA Salam dan Rifqi Muhammad Fatkhi, Pemetaan Kajian Tafsir al-Qur‟an pada
Program Pascasarjana: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakkarta: Analisis Sitiran Pengarang yang Disitir Disertasi Mahasiswa Tahun 2005-2015 (Jakarta: UIN
Menurut pendapat Yūsuf Al-Qaraḍāwī bahwa makna fakir yaitu orang
yang tidak memiliki sesuatu atau memiliki sesuatu di bawah setengah kadar kebutuhan yang mencakup baik untuk dirinya atau mereka yang berada dalam tanggungannya. Sedangkan miskin di artikan sebagai orang yang memiliki sesuatu atau memiliki setengah kadar kebutuhan atau lebih namun tidak mampu
mencukupi secara keseluruhan.7
Berbeda dengan pendapat Wahbah al-Zuhaili bahwa yang disebut miskin adalah orang-orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya dan memelihara diri dari meminta-minta atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkan harga dirinya. Komentar Wahbah tersebut menunjukkan bahwa shadaqoh diprioritaskan kepada orang-orang miskin yang sabar, kuat dan tangguh
menghadapi kondisi tanpa meminta-minta atau mengemis.8
Konsep kemiskinan yang didasarkan pada kemampuan seseorang ataupun sebuah keluarga dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual. Kemampuan individu dan keluarga dalam memenuhi kebutuhan tersebut akan menempatkan mereka pada posisi sebagai orang atau keluarga miskin. Karena yang dianalisis adalah kemampuan memenuhi kebutuhan material dan spiritual, maka seseorang atau sebuah keluarga dapat berada pada empat kemungkinan situasi. Pertama, mereka mampu memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya dengan baik. Inilah bentuk kesejahteraan yang hakiki dan sangat didambakan.
Kedua, mereka mampu memenuhi kebutuhan spiritual dengan baik, namun
7
Yūsuf Qaraḍāwī, Musykilat Faqr wa Kaifa „alajaha Islam (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994), h. 87.
8 Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam: Tafsir Tematik Ayat-ayat Hukum (Jakarta: AMZAH,
kekurangan dari sisi memenuhi kebutuhan material. Situasi ini disebut dengan kemiskinan material. Kaya secara spiritual dan miskin secara materil. Ketiga, mereka mampu memenuhi kebutuhan materialnya dengan baik, namun tidak memperhatikan dan tidak memperdulikan pemenuhan kebutuhan spiritualnya. Mereka malas mengerjakan ṣalat wajib dan enggan membayar zakat serta ibadah lainnya. Situasi ini dinamakan dengan situasi kemiskinan spiritual. Kaya secara materil, namun miskin secara rohani. Keempat, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya dengan baik. Inilah yang disebut dengan kemiskinan absolut. Miskin secara materi dan miskin secara rohani. Merugi di dunia dan nerugi di akhirat. Tipe kemiskinan absolut ini adalah kondisi yang
paling parah dibandingkan dengan tipe kemiskinan lainnya.9
Tugas institusi amil BAZNAS adalah melakukan upaya-upaya strategis dalam mengatasi ketiga jenis kemiskinan yang ada. Tentu dengan pola dan pendekatan yang berbeda. Terhadap kelompok yang berada pada kategori miskin absolut inilah target utama penyaluran zakat, agar para mustahik bisa meningkatkan kualitas ibadahnya sekaligus kualitas kehidupan ekonominya. Agenda penyelamatan kelompok miskin absolut ini harus betul-betul mendapat
prioritas utama, sehingga kondisi mereka dapat diubah kearah yang lebih baik.10
Al-Qur’an dan Hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti, al-Qur’an menjaadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu
9
Ali KHomsan, Indikator Memiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 3-4.
10 Teten Kustiawan, Catatan Zakat; BAZNAS DAERAH MENUJU BAZNAS BARU, 2015, h.