• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Adversity Quotient merupakan suatu teori yang dicetuskan. menyerah. Faktor itu disebut Adversity Quotient.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Adversity Quotient merupakan suatu teori yang dicetuskan. menyerah. Faktor itu disebut Adversity Quotient."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Adversity Quotient

2.1.1 Pengertian Adversity Quotient

Adversity Quotient merupakan suatu teori yang dicetuskan

oleh Paul G. Stolz untuk menjembatani antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional. Ia menganggap bahwa kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan seseorang. Karena ada faktor lain berupa motivasi dan dorongan dari dalam, serta sikap pantang menyerah. Faktor itu disebut Adversity Quotient.

Adversity Quotient adalah teori yang sesuai dan sekaligus

ukuran yang bermakna dan seperangkat instrumen yang diolah sedemikian rupa untuk membantu seseorang agar tetap gigih menghadapi kemelut yang penuh tantangan (Stoltz,2004). Menurut Wangsadinata dan Suprayitno (2008) Adversity Quotient adalah suatu kemampuan atau kecerdasan ketangguhan berupa seberapa baik individu bertahan atas cobaan yang dialami dan seberapa baik kemampuan individu dapat mengatasinya. Dalam melakukan suatu kegiatan tidak semuanya berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diinginkan, adakalanya seseorang dihadapkan pada kegagalan, hambatan serta kesulitan.

(2)

Respon seseorang terhadap masalah yang sedang dihadapinya sangatlah beragam, tergantung bagaimana seseorang mampu bertahan serta mengelola masalah ataupun kesulitan yang sedang dihadapinya. Hal ini senada dengan pendapat Agustian (2001) Adversity Quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan bertahan hidup

Menurut Saputri (2009), Adversity Quotient (AQ) dapat disebut dengan kecerdasan adversitas, atau kecerdasan mengubah kesulitan, tantangan dan hambatan menjadi sebuah peluang yang besar. Seseorang yang dapat menaklukan kesulitan dan dapat mengubah hambatan menjadi suatu peluang adalah seseorang yang memiliki adverity quotient yang baik, karena tidak semua individu mampu bertahan terhadap masalah atau hambatan yang menghampiri dirinya, beberapa individu lebih memilih menyerah terhadap kesulitan dan hambatan yang dihadapinya.

Stoltz (2004) mengatakan bahwa sukses tidaknya seorang individu dalam pekerjaan maupun kehidupannya ditentukan oleh kecerdasan adversitas, dimana kecerdasan adversitas dapat memberitahukan seberapa jauh individu mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya, siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur, siapa yang akan melampaui harapan harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal, dan siapa yang akan

(3)

menyerah dan siapa yang akan bertahan. Dengan kata lain Adversity Quotient mampu meramalkan individu mana saja yang

mampu bertahan terhadap hambatan dan menjadikannya peluang dan individu mana saja yang pada akhirnya menyerah pada hambatan. Hal ini senada dengan pendapat Widyaningrum (2007) yang mengemukakan daya juang berperan besar dalam mempengaruhi usaha seseorang dalam mengatasi kesulitan- kesulitan yang dialami.

Dari uraian pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan individu dalam mengelola, mengontrol, dan juga mengambil tindakan dalam menghadapi kesulitan, hambatan ataupun tantangan hidup serta mampu untuk menjadikan kesulitan atau hambatan menjadi peluang untuk menjadi sukses.

2.1.2 Aspek-aspek Adversity Quotient

Stoltz (2004) menyatakan bahwa aspek-aspek dari Adversity Quotient (AQ) mencakup beberapa komponen yang

kemudian disingkat menjadi CO2RE, antara lain:

a. Control (kendali)

Control atau kendali adalah kemampuan individu dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang dilakukan

(4)

individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas individu untuk tetap berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaan yang sedang dihadapi dirinya.

b. Origin (asal-usul) dan ownership (pengakuan)

Sejauh mana seseorang mengendalikan dirinya sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi tanpa mempedulikan penyebabnya. Rasa bersalah yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak sedangkan rasa bersalah yang terlampau besar akan menciptakan kelumpuhan. Sedangkan Ownership mengungkap sejauh mana seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut. Seseorang dengan AQ yang rendah cenderung akan menempatkan rasa bersalahnya pada tempat yang tidak semestinya terhadap masalah-masalah yang telah terjadi, dan mereka hanya akan berfikir jika mereka merupakan penyebab atas segala masalah yang terjadi. Sehingga individu dengan AQ rendah hanya akan menyalahkan dirinya sendiri dari pada bertindak untuk mengatasi masalah.

c. Reach (jangkauan)

Sejauh mana kesulitan ini akan merambah pada kehidupan seseorang dan menunjukkan bagaimana suatu masalah dapat mengganggu aktivitas yang lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Individu yang AQ nya

(5)

rendah menjadikan masalah yang dihadapinya masuk ke bagian- bagian lain dari kehidupannya. Sehingga akan menggangu kelangsungan hidup individu.

d. Endurance (daya tahan)

Endurance adalah aspek ketahanan individu. Yaitu sejauh

mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Sehingga pada aspek ini dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Makin tinggi daya tahan individu, maka individu akan semakin mampu untuk menghadapi berbagai kesulitan serta hambatan yang terjadi didalam hidupnya

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient

Menurut Paul G. Stolz (2004), potensi dan daya tahan yang terdapat dalam pohon kesuksesan dianggap dapat mempengaruhi Adversity Quotient seseorang antara lain :

a. Faktor Internal

Terdapat beberapa faktor dari dalam diri individu yang dapat mempengaruhi Adversity Quotient yang dimilikinya antara lain :

1) Genetika

Meskipun warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang tetapi pasti ada pengaruh dari faktor ini. Beberapa penelitian terbaru menyatakan bahwa genetika sangat

(6)

mungkin mendasari perilaku. Yang paling terkenal adalah kajian tentang ratusan anak kembar identik yang tinggal terpisah sejak lahir dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Saat mereka dewasa, ternyata ditemukan kemiripan- kemiripan dalam perilaku.

2) Keyakinan

Keyakinan yang dimiliki individu dapat mempengaruhi individu dalam menghadapi suatu permasalahan yang sedang dihadapi dirinya serta dapat membantu seseorang dalam pencapaian tujuan hidupnya. Apabila individu yakin bahwa dirinya mampu untuk menghadapi hambatan maka hambatan tersebut akan terasa ringan, namun apabila individu tidak yakin akan dirinya maka hambatan akan semakin terasa berat.

3) Bakat

Kemampuan dan kecerdasan seseorang dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya salah satunya dipengaruhi oleh bakat. Bakat adalah gabungan pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan keterampilan 4) Hasrat atau kemauan

Untuk mencapai kesuksesan dalam hidup diperlukan tenaga pendorong yang berupa keinginan atau disebut hasrat. Hasrat menggambarkan motivasi, antusias, gairah, dorongan, ambisi, dan semangat yang dimiliki oleh individu. Apabila individu

(7)

memiliki dorongan yang kuat untuk mencapai kesuksesan maka individu akan berusaha dengan keras untuk mencapai apa yang diinginkan, namun apabila dorongan yang dimilikinya tidak begitu kuat maka individupun tidak ada keinginan yang lebih dalam mencapai apa yang diinginkan.

5) Karakter

Seseorang yang berkarakter baik, semangat, tangguh, dan cerdas akan memiliki kemampuan untuk mencapai sukses.

Karakter merupakan bagian yang penting bagi kita untuk meraih kesuksesan dan hidup berdampingan secara damai.

6) Kinerja

Merupakan bagian yang mudah dilihat orang lain sehingga seringkali hal ini sering dievaluasi dan dinilai. Salah satu keberhasilan seseorang dalam menghadapi masalah dan meraih tujuan hidup dapat diukur lewat kinerja. Apabila individu memiliki kinerja yang baik hal ini akan terlihat dengan keberhasilan yang telah dicapai.

7) Kecerdasan

Bentuk-bentuk kecerdasan kini dipilih menjadi beberapa bidang yang sering disebut sebagai multiple intelligence.

Bidang kecerdasan yang dominan biasanya mempengaruhi karier, pekerjaan, pelajaran, dan hobi.

(8)

8) Kesehatan

Kesehatan emosi dan fisik dapat mempengaruhi seseorang dalam menggapai kesuksesan. Seseorang yang dalam keadaan sakit akan mengalihkan perhatiannya dari masalah yang sedang dihadapinya. Kondisi fisik dan psikis yang sehat akan lebih mendukung individu didalam meyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh dirinya

b. Faktor Eksternal

Terdapat juga beberapa faktor dari luar diri individu yang dapat menentukan Adversity Quotient yang dimiliki oleh seseorang, antara lain :

1) Pendidikan

Pendidikan dapat membentuk kecerdasan, melalui pendidikan dapat membentuk suatu kebiasaan yang sehat, perkembangan watak yang baik, memiliki keterampilan, hasrat, dan kinerja yang baik.

2) Lingkungan

Lingkungan merupakan tempat individu tinggal dan dapat mempengaruhi bagaimana individu beradaptasi dan memberikan respon kesulitan yang dihadapinya. Individu yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang lebih sulit akan memiliki Adversity Quotient yang lebih tinggi. Menurut Stoltz (2004) individu yang terbiasa berada di lingkungan

(9)

yang sulit akan memiliki Adversity Quotient yang lebih besar karena pengalaman dan kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi.

2.1.4 Tingkatan dalam Adversity Quotient

Didalam merespon suatu kesulitan yang dihadapi individu, terdapat tiga kelompok tipe manusia ditinjau dari tingkat kemampuannya (Stolz, 2004) :

a. Quitters

Quitters, mereka yang berhenti adalah seseorang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti apabila menghadapi kesulitan. Quitters (mereka yang berhenti), orang-orang jenis ini berhenti ditengah proses pendakian, gampang putus asa, menyerah (Ginanjar Ary Agustian, 2001).

Indvidu dengan tipe ini cukup puas hanya apabila kebutuhan dasar atau fisiologis telah terpenuhi, individu ini cenderung pasif, memilih untuk keluar menghindari perjalanan, selanjutnya mundur dan berhenti. Para quitters menolak menerima tawaran keberhasilan yang disertai dengan tantangan dan rintangan. Individu dengan tipe ini akan banyak kehilangan kesempatan berharga dalam kehidupan.

(10)

b. Campers

Golongan ini puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau untuk lebih mengembangkan diri. Tipe ini merupakan golongan yang mengusahkan terpenuhinya kebutuhan keamanan dan rasa aman pada skala hirarki Maslow. Kelompok ini juga tidak memiliki kapasitas yang tinggi untuk perubahan karena terdorong oleh ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan. Campers setidaknya telah melangkah dan menanggapi tantangan, tetapi setelah mencapai tahap tertentu, campers akan memilih untuk berhenti meskipun masih ada kesempatan untuk lebih berkembang lagi. Berbeda dengan quitters, campers sekurang-kurangnya telah melewati tantangan yang dihadapinya sehingga telah mencapai tingkat tertentu.

c. Climbers

Climbers (pendaki) adalah mereka yang selalu optimis, dengan melihat peluang - peluang, melihat celah, melihat masih adanya harapan di balik keputusasaan, selalu memiliki suatu gairah untuk lebih maju. Nokta kecil yang dianggap sepele, bagi para Climber mampu untuk dijadikan sebagai cahaya pencerah kesuksesan (Agustian, 2001). Climbers merupakan kelompok individu yang selalu berupaya untuk mencapai puncak kebutuhan aktualisasi diri pada skala hirarki Maslow.

Climbers adalah tipe individu yang akan berjuang seumur

(11)

hidup, tidak perduli sebesar apapun kesulitan yang datang dan sesulit apapun masalah yang dihadapinya. Climbers tidak dikendalikan oleh lingkungan, tetapi dengan berbagai kreatifitas yang dimilikinya tipe ini berusaha untuk dapat mengendalikan lingkungannya. Climbers akan selalu memikirkan berbagai alternatif pemecahan masalahan dan menganggap kesulitan dan rintangan yang ada akan dapat menjadi peluang untuk lebih maju, berkembang, dan mempelajari lebih banyak lagi tentang kesulitan hidup. Tipe ini akan selalu siap menghadapi berbagai rintangan dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan.

Kemampuan quitters, campers, dan climbers dalam menghadapi tantangan kesulitan dapat dijelaskan bahwa quitters memang tidak selamanya ditakdirkan untuk selalu kehilangan kesempatan namun dengan berbagai bantuan, quitters akan mendapat dorongan untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan yang sedang ia hadapi. Kehidupan climbers memang menghadapi dan mengatasi rintangan yang tiada hentinya.

Kesuksesan yang diraih berkaitan langsung dengan kemampuan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan, setelah yang lainnya meyerah, inilah indikator-indikator Adversity Quotient yang tinggi.

(12)

2.2 Stres kerja

2.2.1 Pengertian Stres Kerja

Robbins (2008) medefinisikan stres kerja sebagai suatu kondisi yang dinamis dimana seseorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang hasilnya dipandang tidak pasti dan penting. Senada dengan hal tersebut Andre (2008) mengartikan stres kerja merupakan respon fisik dan emosional berbahaya yang terjadi ketika persyaratan pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan pekerja, sumber daya, atau kebutuhan.

Biasanya stres lebih dikaitkan pada suatu kondisi yang buruk, dimana ketika seseorang mengalami peristiwa-peristiwa yang dirasakan sebagai keadaan yang mengancam baik fisik maupun psikologis dan ketidakyakinan akan kemampuan dalam mengatasi peristiwa-peristiwa yang dialaminya (Atkinson, 1991).

Stres juga dapat berarti respon dari diri seseorang terhadap tantangan fisik maupun mental yang datang dari dalam atau luar dirinya (Nasrudin,2010). Hal ini berarti bagaimana seseorang bereaksi terhadap tantangan yang ada dihadapannya yang datang bisa dari dalam dirinya maupun dari lingkungan kerja.

Namun sebenarnya stres tidak selamanya buruk, banyak para ahli ataupun professional memandang tekanan berupa beban kerja yang berat dengan tenggang waktu yang mepet sebagai suatu

(13)

tantangan yang positif yang dapat membuat mereka semakin terpacu dalam menyelesaikan pekerjaan. Stres seringkali dikaitkan dengan tuntutan, tuntutan merupakan suatu tanggung jawab, tekanan, serta kewajiban yang harus dikerjakan oleh individu.

Sedangkan yang dimaksud dengan sumberdaya adalah hal- hal yang berada didalam kendali seseorang yang dapat digunakan untuk memenuhi tuntutan. Meskipun tuntutan jam kerja individu terlalu panjang sehingga dapat menimbulkan stres, namun hal ini dapat diredam dengan kehadiran sumberdaya seperti teman atau keluarga yang dapat memberikan dukungan sosial kepada individu.

Adapun Mangkunagara (2000) berpendapat bahwa stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam mengahadapi pekerjaan. Sedangkan Siagian (2008) menyatakan bahwa stres kerja merupakan kondisi ketegangan yang berpengaruh terhadap emosi, jalan fikiran, dan kondisi fisik seseorang. Dengan kata lain perasaan tertekan ataupun ketegangan yang dirasakan oleh karyawan dapat berpengaruh terhadap psikologis, kognitif, serta perilaku karyawan.

Dari pendapat beberapa ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stress kerja merupakan reaksi secara psikologis, fisiologis maupun perilaku yang dimunculkan individu apabila individu mengalami suatu ketidakseimbangan antara tuntutan yang menghampiri dirinya dengan kemampuan yang

(14)

dimiliki untuk dapat memenuhi semua tuntutan tersebut dalam jangka waktu tertentu.

1.2.2 Model Stres Kerja

Source : Stephen P.Robbins, 2008. Organizational Behavior

Berdasarkan model stres diatas, diketahui jika terdapat tiga sumber stres diantaranya adalah faktor lingkungan yang meliputi ketidakpastian ekonomi, ketidakpastian politik, dan perubahan

A Model of Stress

Potential Sources Concequences

Environmental factors

• Economic uncertainty

• Political uncertainty

• Technological change

Organizational factors

• Task demands

• Role demands

• Interpersonal demands

Personal factors

• Family problems

• Economic problems

• Personality

Individual differences

• Perception

• Job experience

• Social support

• Belief in locus of control

• Self-efficacy

• Hostility

Experienced stress

Physiological symptoms

• Headaches

• High blood pressure

• Heart disease

Psychological symptoms

• Anxiety

• Depression

• Decrease in job satisfaction

Behavioral symptoms

• Productivity

• Absenteeism

•Turnover

(15)

peran, dan tuntutan interpersonal. Faktor individu yang meliputi masalah keluarga, masalah ekonomi, dan kepribadian.

Stres kerja membawa dampak yang berbeda-bedapada pada setiap karyawan, hal ini diipengaruhi oleh adanya perbedaan individu yang meliputi persepsi, pengalaman kerja, dukungan sosial, sifat kepercayaan seseorang yang mampu mengendalikan lingkungan disekitarnya, kepercayaan diri, dan rasa permusuhan.

Dampak yang ditimbulkan oleh perbedaan individu ini dapat dilihat berdasarkan tiga gejala diantaranya adalah gejala fisiologis yang meliputi sakit kepala, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Gejala psikologis yang meliputi kecemasan, depresi, dan penurunan kepuasan kerja. Gejala perilaku yang meliputi penurunan produktivitas, peningkatan absensi, dan niat karyawan untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Penjelasan mengenai model stres kerja akan lebih dibahas pada pembahasan berikut ini.

2.2.3 Aspek – aspek Stress Kerja

Secara umum seseorang yang sedang mengalami stres pada pekerjaannya akan menampilkan gejala-gejala yang dapat dikelompokan dalam tiga aspek (Robbins, 2008), yaitu :

(16)

1. Gejala Fisiologis

Pengaruh awal stress biasanya berupa gejala-gejala fisiologis. Stres dapat menciptakan perubahan pada metabolisme tubuh, dapat meningkatkan laju detak jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah, dapat menimbulkan sakit kepala, dan dapat menyebabkan serangan jantung.

2. Psikologis

Dampak yang sederhana yang ditimbulkan stress yang berhubungan dengan pekerjaan adalah ketidakpuasan yang terkait dengan suatu pekerjaan. Selain itu stress juga muncul dalam suatu keadaan psikologis lainnya, misalnya saja menurunnya daya konsentrasi individu, merasakan ketegangan, merasakan kecemasan, mudah marah, mudah lupa, merasakan kebosanan, serta lebih suka untuk menunda-nunda suatu hal.

3. Perilaku

Hal ini terkait dengan perilaku yang ditampilkan oleh individu yaitu mencakup menurunnya produktivitas karyawan, meningkatnya absensi dan tingkat keluar masuk karyawan, meningkatnya konsumsi rokok dan alcohol, perubahan kebiasaan makan, bicara lebih cepat, merasa gelisah dan gangguan tidur

(17)

1.2.4 Faktor – faktor Stress Kerja

Robbins (2008) mengatakan terdapat tiga sumber utama yang dapat menimbulkan stress kerja, yang pertama adalah faktor lingkungan. Selain mempengaruhi desain struktur sebuah organisasi, ketidakpastian lingkungan juga mempengaruhi tingkat stress para karyawan didalam suatu organisasi. Keadaan lingkungan yang tidak menentu akan dapat menyebabkan pengaruh dalam pembentukan strusktur organisasi yang tidak sehat terhadap karyawan. Dalam faktor lingkungan, terdapat tiga faktor yang dapat menimbulkan stress pada karyawan yaitu politik, ekonomi, dan teknologi. Apabila karyawan tidak mampu untuk mengikuti perubahan terkait dengan ketiga hal tersebut, maka hal ini akan menjadi ancaman dan tekanan yang akan dihadapi oleh karyawan.

Faktor kedua adalah organisasi, tidaklah sedikit faktor didalam organisasi yang dapat memicu timbulnya stres kerja pada karyawan. Tekanan untuk menghindari kesalahan yang telah diperbuat, menyelesaikan tugas yang diberikan dengan batasan waktu yang mepet, beban kerja yang terlalu banyak, serta konflik degan atasanpun seringkali dapat memicu stres karyawan. Didalam organisasi terdapat tiga faktor yang dapat menimbulkan stres, diantaranya adalah tuntutan tugas yaitu faktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang, tuntutan peran faktor yang terkait dengan

(18)

tekanan yang diberikan kepada seseorang sebagai fungsi dari peran tertentu yang dijalankannya didalam suatu organisasi.

Dan yang terakhir adalah tuntutan antarpribdi merupakan tekanan yang diciptakan oleh karyawan lain. Faktor Pribadi yaitu faktor yang terkait dengan hal ini merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu yaitu mencakup keluarga, masalah ekonomi pribadi, karakteristik yang dimiliki individu, dan juga faktor keturunan. Hubungan didalam keluarga yang kurang baik secara tidak langsung akan membawa dampak pada pekerjaan yang sedang dilakukan oleh individu, apabila individu tidak dapat mengelola masalah yang terdapat didalam keluarganya hal ini akan terbawa dan menggangu pada saat inidvidu melakukan pekerjaan.

Menurut Gibson (1996), terdapat empat faktor penyebab terjadinya stres. Stres terjadi akibat dari adanya tekananan (Stressor) di tempat kerja, stressor tersebut antara lain stressor yang berasal dari lingkungan fisik hal ini berupa sinar atau pencahayaan, kebisingan, temperature atau suhu dan udara yang kotor. Pencahayaan yang kurang dapat membuat pengelihatan individu menjadi terganggu hal ini akan membuat pekerjaan kurang maksimal sehingga hasil kinerja pun kurang memuaskan yang akan berdampak pada tekanan, suara yang terlalu bising pun dapat menggangu konsentrasi kerja individu, dan temperature udara yang terlalu panas dapat meningkatkan tingkat agresivitas individu.

(19)

Stressor kedua ialah berasal dari individu yaitu berupa konflik peran, ketaksaan peranan, beban kerja, tanggung jawab terhadap orang lain, ketiadaan kemajuan karir dan rancangan pengembangan karir. Beban kerja yang terlalu berat membuat individu menjadi kelelahan sehingga tidak maksimal dalam melakukan pekerjaan.

Karir yang berjalan ditempat juga sebagai pemicu stress kerja karena pada dasarnya individu memiliki suatu keinginan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik termasuk dalam hal karir atau pekerjaan.

Stressor ketiga berasal kelompok, hal ini berkaitan dengan hubungan yang buruk dengan rekan satu pekerjaan, konflik dengan atasan, maupun bawahan. Dan faktor keempat yang menjadi faktor terakhir adalah stressor yang berasal dari keorganisasian yaitu berupa ketiadaan partisipasi, struktur organisasi, tingkat jabatan, dan ketiadaan kebijaksanaan yang jelas. Tidak adanya partisipasi dari karyawan mengakibatkan karyawan merasa dirinya tidak penting didalam organisasi tersebut, hal ini akan menjadi tekanan bagi ebebrapa individu. Dengan ketidakjelasan struktur organisasi sehingga tidak ada suatu jabatan yang dipegang dengan jelas, hal ini akan memicu seseorang akan mengerjakan dua pekerjaan atau lebih dari itu.

(20)

2.2.5 Dampak Stress Kerja

Stres kerja membawa dampak bagi individu, yaitu dapat membawa dampak yang positif maupun negatif bagi individu. Hal ini bergantung pada sejauh mana individu melihat hal-hal yang menjadi timbulnya stress. Jika individu menjadikan stress untuk motivasi probadi, sebagai rangsangan untuk dapat bekerja lebih keras lagi, dan juga meningkatnya inspirasi hidup yang lebih baik, maka dampak stress kerja tersebut dapat menjadi dampak yang positif bagi individu (Gibson, 1996).

Meskipun memiliki beberapa dampak positif, banyak juga efek negatif yang dapat menganggu kelangsungan hidup individu.

Retyaningyas (2005) membagi menjadi lima dampak dari stres kerja yang pertama adalah subyektif, berupa kekawatiran atau ketakutan, agresi, apatis, rasa bosan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kendali dan emosi, penghargaan diri yang rendah dan gugup, kesepian. Yang kedua adalah dampak terhadap perilaku, berupa mudah mendapat kecelakaan, kecanduan alkohol, penyalahgunaan obat, luapan emosional, makan atau merokok berlebihan, perilaku impulsif, gugup. Yang ketiga adalah dampak terhadap kognitif, berupa ketidak mampuan untuk membuat keputusan yang masuk akal, daya konsentrasi rendah, kurangnya perhatian, sangat sensitive terhadap kritik,dan terjadinya hambatan mental. Yang keempat dampak terhadap fisiologis, berupa

(21)

kandungan glukosa darah yang meningkat, denyut jantung dan tekanan darah meningkat, mulut kering, berkeringat, bola mata melebar, panas dan dingin. Dan yang kelima adalah dampak terhadao organisasi, berupa angka absensi yang meningkat, produktivitas rendah, terasing dari mitra kerja, serta komitmen organisasi dan loyalitas berkurang.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan juga menemukan bahwa stress membawa dampak bagi organisasi dan juga bagi individu diantaranya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Dar,dkk (2011) dengan penelitiannya untuk menguji hubungan antara stres kerja dan prestasi kerja pada sektor bisnis di Negara Pakistan. Dengan menggunakan teknik random sampling, 143 karyawan perusahaan multinasional yang berbeda bank, yang telah bekerja minimal 5 tahun dipilih sebagai sampel penelitian. Dengan menggunakan kuesioner sebagai alat untuk pengumpulan data dan dengan uji chi-square dan t-test yang digunakan untuk menguji hipotesis, maka hasil dari penelitian ini menunjukan terdapat hubungan negatif antara stres kerja dan prestasi kerja karyawan dan menunjukkan bahwa stres kerja secara signifikan mengurangi prestasi kerja karyawan.

Masih pada negara yang sama, penelitian dilakukan oleh Bashir (2010) dengan tujuan untuk menguji hubungan antara stres kerja dan prestasi kerja pada karyawan bank dari sektor perbankan

(22)

di Negara Pakistan. Sebanyak 144 karyawan senior termasuk manajer dan petugas layanan pelanggan dijadikan sebagai sampel penelitian. Data diperoleh melalui kuesioner dan dianalisis dengan uji korelasi statistik dan regresi dan reliabilitas. Hasilnya menunjukan terdapat korelasi negatif antara stres kerja dan kinerja kerja dan menunjukkan bahwa stres kerja secara signifikan mengurangi kinerja individu.

Kemudian penelitian juga dilakukan oleh Kinyita (2015) dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan kinerja karyawan di sektor hotel di Nairobi. Dengan menggunakan simple random sampling dan stratified random sampling sebagai teknik pengumpulan data, sehingga sampel yang diperolah sebanyak 31 responden. Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data, dan dengan menggunakan statistik deskriptif dan tabel frekuensi digunakan untuk menganalisis data kemudian chi-square digunakan untuk menganalisis statistik inferensial. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan antara stres kerja dan kinerja karyawan dan stres kerja secara signifikan mempengaruhi kinerja karyawan.

Penelitian dampak yang ditimbulkan dari stress kerja juga telah dilakukan oleh Paputungan (2013). Tujuan dari penelitiannya adalah untuk menganalisis pengaruh stress kerja terhadap kinerja

(23)

untuk mengindentifikasi variabel yang paling signifikan dari stress kerja yang mempengaruhi kinerja karyawan. Sebanyak 100 karyawan dijadikan sebagai sampel penelitian, dan dari hasil penelitian ini adalah bahwa stress kerja secara signifikan mempengaruhi kinerja karyawan dan komunikasi memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap kinerja karyawan.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan mengenai dampak yang ditimbulkan stress kerja terhadap perusahaan seperti penurunan prestasi kerja karyawan, serta penurunan kinerja karyawan tentu saja dapat menimbulkan penurunan produktifitas, dan hal ini akan menjadi suatu hambatan bagi perusahaan dalam pencapaian suatu tujuan perusahaan.

Hal ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Dwamena (2010) yang dilakukan pada karyawan yang bekerja dipelabuhan di Negara Ghana. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan stress kerja pada produktifitas karyawan. Dengan menggunakan teknik random sampling terpilihlah 100 karyawan sebagai sampel penelitian.

Kuesioner dan wawancara digunakan sebagai instrumen pengumpulan data. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan hasilnya adalah responden dilaporkan bekerja dibawah tekanan dan mereka merasa tidak diperdulikan oleh organisasi dan berakibat pada penurunan produktifitas.

(24)

Kemudian penelitian juga dilakukan untuk mengetahui dampak stress kerja bagi kelangsungan hidup individu diantaranya adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Mojoyinola (2008) tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti efek dari stres kerja pada kesehatan fisik, kesehatan mental pribadi dan perilaku pada perawat di rumah sakit umum di Ibadan Metropolis, Nigeria.

Sampel dari penelitian ini adalah 153 perawat yang bekerja di dua rumah sakit umum di Ibadan Metropolis, Nigeria. Dengan menggunakan kuesioner sebagai instrument pengumpulan data, maka hasil dari penelitian ini adalah bahwa stres kerja memiliki pengaruh yang signifikan pada kesehatan fisik dan mental dari para perawat.

2.2.6 Strategi Manajemen Stres Kerja

Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengelola stress menurut Robbins (2008), yaitu pendekatan Individual, seorang karyawan memiliki tanggung jawab pribadi untuk mengurangi tingkat stres. Strategi individual yang telah terbukti efektif meliputi penerapan teknik manajemen waktu, penambahan waktu olahraga, pelatihan relaksasi, dan perluasan jaringan dukungan sosial. Tidak banyak orang yang pandai dalam mengelola atau mengatur waktu dengan baik, seringkali seseorang merasa dikejar deadline karena tidak mampu untuk mengatur dalam mengerjakan tugasnya hal ini akan

(25)

menyebabkan seseorang lebih mudah untuk stres. Kemudian dengan berolahraga secara teratur seperti dengan berjalan kaki, jogging ataupun bersepeda dapat memperbaiki kapasitas jantung, menurunkan detak jantung saat beristirahat sehingga individu berada dalam kondisi yang relaks. Relaksasi dapat dilakukan dengan cara mediasi atau dengan hypnosis, tujuannya adalah agar mampu melepaskan ketegangan dan juga dapat memberikan rasa damai. Memperluas jaringan dukungan sosial juga dapat mengurang stres, hal ini dikarenakan dengan adanya kehadiran orang lain kita dapat bertukar fikiran dan juga ada seseorang yang mau mendengar masalah yang sedang dihadapi, dan untuk memberikan pandangan yang lebih objektif terhadap situasi yang sedang dihadapi sehingga dapat lebih menguatkan seseorang terhadap masalah yang dihadapi.

Pendekatan yang kedua adalah pendekatan organisasional, beberapa faktor yang menyebabkan stres terutama dengan tuntutan tugas dan peran yang dikendalikan oleh manajemen.

Strategi yang dapat dilakukan oleh manajemen diantaranya adalah melakukan proses rekruitmen dan penempatan kerja yang lebih baik lagi, pelatihan, pemberdayaan karyawan,dan penyelenggaraan program-program kesejahteraan perusahaan.

Proses rekruitmen dan penempatan kerja haruslah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh karyawan, sehingga karyawan

(26)

mengerjakan suatu pekerjaan sesuai dengan kemampuan apa yang dimilikinya dan tidak ada tekanan terhadap pekerjaan yang tidak dikuasai oleh karyawan.

Sedangkan Suwanto (2001) mengemukakan bahwa strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi stres adalah dengan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengurangi stres, antara lain Konseling, dengan melakukan konseling karyawan dibantu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang sedang mereka hadapi yang berpengaruh terhadap produktivitas kerja mereka atau mempengaruhi mereka saat sedang melakukan pekerjaan. Kemudian melakukan meditasi, yaitu pemusatan pikiran untuk dapat menenangkan fisik dan emosi. Dengan demikian karyawan dapat lebih tenang dan juga relaks. Kemudian dengan Bio feedback, yaitu bimbingan yang bersifat medis dengan berlatih mengendalikan proses internal atau yang ada didalam tubuh seperti denyut jantung, konsumsi oksigen, aliran asam lambung. Dan yang terakhir adalah Personal wellness, yaitu suatu upaya pencegahan melalui

perubahan gaya hidup dengan rekomendasi dokter spesialis seperti pengaturan pernafasan, pelemasan otot-otot dan pengaturan menu makan.

(27)

Beberapa penelitian juga telah dilakukan agar dapat mengurangi stress kerja pada karyawan antara lain penelitian yang telah dilakukan oleh Atteya (2012) dengan tujuan penelitian untuk memperluas penelitian sebelumnya dengan mengusulkan dan menguji model integratif yang meneliti variabel mediasi yang mendasari hubungan antara praktek manajemen sumber daya manusia dan kinerja pekerjaan. Sampel penelitian terdiri dari 549 pengawas di industri perminyakan. Hasil dari penelitian ini adalah dengan meningkatkan dan mengembangkan psikologis kognitif karyawan dan kontrol emosional pada supervisor dapat membantu mereka lebih baik dalam mengatasi stres kerja, sehingga praktek manajemen sumber daya manusia dan kinerja pekerjaan dapat berjalan dengan baik dan seimbang.

Kemudian Anonymous (2003) juga melakukan penelitian survei terhadap 100 perusahaan yang menggunakan 24 jam dukungan bisnis melalui bantuan telfon, hasil survei mengungkapkan bahwa 65% dari penelepon dari manajemen senior telah melaporkan karyawan mengeluh stres dalam beberapa bulan terakhir, dengan 56% mengakui itu mempengaruhi produktivitas mereka. Stress dipersalahkan atas produktivitas yang buruk dan manajer dapat melakukan beberapa cara untuk dapat mengurangi tingkat stress kerja antara lain dengan memberikan pelatihan kepada semua karyawan untuk

(28)

menambah keterampilan mereka atau kemampuan yang dimiliki, kemudian pemimpin diharapkan lebih memiliki sikap terbuka kepada karyawan, dan dengan memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menyalurkan pendapatnya dapat menjadi manajemen untuk mengurangi stress kerja.

Senada dengan hal tersebut penelitian yang dilakukan oleh Shankar dan Keerthi (2010) dengan tujuan untuk mengidentifikasi tingkat stres, stres karena perubahan tempat kerja, sumber stres di tempat kerja dan memberikan saran yang sesuai untuk mengurangi tingkat stress kerja. Sebanyak 113 karyawan tingkat rendah dari Hotel Savera dijadikan sampel penelitian. Hasil dari penelitian ini adalah manajemen dapat mengurangi stres di antara karyawan melalui berbagai program rekreasi keluarga, adanya kelas yoga untuk meditasi, berolahraga, dan konseling.

1.3 Peran Adversity Quotient dalam Mengurangi Stress Kerja

Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai stres kerja yang disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam organisasi misalnya saja stress kerja yang timbul karena beban kerja yang terlalu berat, upah yang tidak sesuai, tidak adanya kesempatan untuk berkembang, banyaknya tekanan yang timbul karena konflik dari rekan satu pekerjaan, dengan bawahan maupun

(29)

dengan atasan, evaluasi kinerja yang ketat, dan sikap pemimpin yang tidak adil dan kurang terbuka merupakan beberapa pemicu timbulnya stress kerja.

Namun terdapat faktor didalam individu yang menjadi penyebab timbulnya stress kerja salah satunya adalah ketahanan yang dimiliki oleh individu terhadap tekanan maupun masalah yang sedang dihadapinya, ketahanan ini disebut dengan Adversity Quotient.

Hal ini didukung dengan beberapa penelitian yang menemukan jika seseorang memiliki tingkat adversitas quotient yang baik maka tingkat stress kerjanya akan rendah, namun apabila seseorang memiliki tingkat adversitas quotient yang rendah maka stress kerjanya pun akan menjadi tinggi.

Mira (2011) yang melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh Religiusitas dan Adversity Quotient terhadap Stres Kerja. Dengan menggunakan teknik pengambilan sample menggunakan teknik non-probability sampling, sebanyak 140 karyawan pada agen asuransi dijadikan sampel penelitian. Hasilnya adalah bahwa ada pengaruh yang signifikan dari adversity quotient dan religiusitas terhadap stres kerja.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Shen (2014) dengan tujuan untuk mengetahui hubungan antara peran gender,

(30)

stres kerja, dan menjadikan Adversity Quotient sebagai moderator untuk menentukan apakah stres kerja dari gender yang berbeda dipengaruhi oleh Adversity Quotient dan menghasilkan efek moderat. Sebanyak 566 karyawan dari sebelas perusahaan dikawasan industri dari Taipe, Taoyuan, dan Hsinchu diTaiwan dijadikan sampel penelitian, dan menggunakan kuesioner sebagai instrument pengumpul data. Hasil dari penelitian ini adalah perbedaan peran gender mempengaruhi stres kerja dan Adversity Quotient memiliki efek moderasi antara peran gender dan stres kerja.

Kemudian penelitian juga dilakukan oleh Shen dan Huang (2014) dengan tujuan penelitian untuk menganalisis dampak antara stres kerja dan niat pengunduran diri, dengan Adversity Quotient dan nilai kerja. Sebanyak 630 karyawan asli pedalaman di timur, utara,selatan, dan tengah, termasuk Sembilan daerah yang meliputi Taipe, Hsinchu, Ilan, Hualien, Nantou, Chiayi, Pingtung, dan Kaohsiung dipilih untuk dijadikan sampel penelitian dan menggunakan kuesioner sebagai instrument pengumpulan data.

Hasil dari penelitian ini adalah stres kerja memiliki korelasi positif terhadap Adversity Quotient, Adversity Quotient memiliki korelasi positif pada niat pengunduran, stres kerja memiliki korelasi positif pada niat pengunduran, Adversity Quotient memiliki efek perantara pada stres kerja dan niat pengunduran diri, stres kerja memiliki

(31)

korelasi positif terhadap nilai-nilai kerja, nilai kerja memiliki korelasi positif pada niat pengunduran, stres kerja tidak berpengaruh perantara pada nilai-nilai kerja atau niat pengunduran diri.

Chang (2011) juga melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengeksplorasi apakah ada hubungan antara Adversity Quotient, stres kerja, dukungan sosial dan kepuasan kerja. Dengan

menggunakan random sampling terpilihlah sebanyak 251 perawat medis di rumah sakit umum di Southern Taiwan dan menggunakan kuesioner sebagai instrument pengumpul data. Setelah dianalisis maka hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara Adversity Quotient dengan kepuasan kerja, terdapat hubungan yang positif antara Adversity Quotient dengan stres kerja.

Kemudian penelitian mengenai Adversity Quotient juga dilakukan oleh Dai Hui (2009) dengan tujuan mengetahui hubungan antara Adversity Quotient, stres kerja, dukungan organisasi terhadap kinerja, mengetahui peran Adversity Quotient sebagai mediator antara stres kerja dan peran kinerja, mengetahui efek moderasi dari dukungan organisasi terhadap stres kerja dan prestasi kerja. Sebanyak 426 yang terdiri dari pengawas dan karyawan pada perusahaan teknologi dipilih untuk dijadikan sampel penelitian dan dengan menggunakan kuesioner sebagai

(32)

instrument pengumpulan data. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka hasilnya adalah Adversity Quotient yang rendah berpengaruh signifikan negatif terhadap stres kerja, Adversity Quotient yang rendah berpengaruh signifikan positif terhadap

kinerja, stres kerja berpengaruh signifikan negatif pada kinerja peran, stres kerja telah menjadi moderasi efek pada hubungan antara Adversity Quotient dan kinerja peran, dan persepsi dukungan organisasi secara signifikan tidak memiliki efek moderat antara stres kerja dengan kinerja.

Venkatesh, shivaranjani, dkk (2014) pada penelitiannya terhadap karyawan wanita dari industri perbankan mengemukakan tidak adanya ketahanan yang dimiliki individu menjadi penyebab stress didalam kehidupan. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa Adversity Quotient pada dasarnya adalah bagaimana seseorang

didalam kehidupan merespon situasi sulit dan merupakan sebuah ukuran untuk mengukur bagaimana seseorang menangani rintangan seperti stres di rumah, bekerja, dan kerepotan kecil.

Berdasarkan beberapa penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan maka hasil penelitian telah menunjukan adanya saling keterkaitan antara Adversity Quotient dalam mengurangi stress kerja. Artinya adalah adversity quotient memiliki peranan terhadap stress kerja.

(33)

1.4 Kerangka Pemikiran

Respon seseorang terhadap tuntutan ataupun ketegangan yang menghampiri tidaklah sama. Hal ini berhubungan dengan seberapa besar Adversity Quotient yang dimiliki oleh individu.

Aspek yang terdapat pada Adversity Quotient antara lain control atau kendali, origin dan ownership, reach atau jangkauan, dan endurance atau ketahanan.

Control atau kendali menurut Stolz ( 2004) adalah dimensi

yang mempertanyakan berapa banyak kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan.

Seseorang yang memiliki kontrol yang baik maka dapat mengendalikan perasaan serta mampu mengendalikan dirinya sehingga tidak memunculkan perilaku yang dapat merugikan dirinya pada saat dihadapkan pada suatu kesulitan seperti emosional yang meningkat, mudah merasa cemas, bahkan menjadi stres.

Origin dan ownership menurut Stolz (2004) adalah dimensi

yang mempertanyakan dari mana asal usul kesulitan yang timbul dan sejauh manakah individu mengakui akibat - akibat kesulitan itu. Individu yang memiliki AQ rendah akan menyalahkan dirinya sendiri terhadap peristiwa-peristiwa atau kejadian buruk yang datang. Hal ini akan mengakibatkan dirinya menjadi tertekan

(34)

sehingga menimbulkan stress. Semakin tinggi AQ yang dimiliki individu maka ia akan melakukan perbaikan atas peristiwa buruk yang terjadi dan menyelesaikan dengan sewajarnya, sehingga akan lebih fokus pada tindakan untuk meningkatkan tanggung jawab,

Reach atau jangkauan menurut Stolz (2004) adalah dimensi

yang mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Semakin tinggi AQ seseorang, maka ia tidak akan membiarkkan masalah masuk dan menjangkau kedalam bagian-bagian lain dari kehidupannya dan lebih berfokus pada penyelesaian masalah yang ia hadapi. Namun individu dengan AQ rendah akan membiarkan masalah akan masuk dan menjangkau ke dalam bagian-bagian kehidupannya sehingga akan mengganggu keberlangsungan hidupnya.

Endurance atau daya tahan menurut Stolz (2004) adalah

dimensi yang mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu seberapa lama kesulitan akan berlangsung, dan berapa lamakah penyebab masalah akan berlangsung. Semakin rendah daya tahan yang dimiliki oleh individu semakin besar kemungkinan individu menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama. Individu yang memiliki daya tahan yang tinggi memiliki sikap optimis terhadap masalah yang dihadapi, selalu merespon kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat

(35)

Berdasarkan hal tersebut diatas maka skema kerangka berfikir dapat digambarkan sebagai berikut :

perbedaan antara tingkat Adversity Quotient (AQ) dengan stress kerja terhadap demografi yang berbeda yang meliputi perbedaan usia, jenis kelamin, lama bekerja, tingkat pendidikan, dan juga jabatan

2.5 Hipotesis Penelitian

H1 : “ Terdapat pengaruh yang signifikan antara peran adversity quotient dalam mengurangi stress kerja pada karyawan hotel”

ADVERSITY QUOTIENT STRES KERJA

CORE

ORIGIN &

OWNERSHIP

REACH

ENDURANCE

FISIOLOGIS

PSIKOLOGIS

PERILAKU

Referensi

Dokumen terkait

[r]

menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN DAN KREATIVITAS GURU DALAM MENGAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR SEJARAH

carboxymethyl cellulose dan baking powder yang telah direbus dapat dilihat pada Tabel. Semua nilai yang dicantumkan adalah nilai rata-rata ±

Unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah banyak: C, H, O, N, S, P K, S, Ca, dan Mg Unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit: Fe, B, Mn, Cu, Zn, Mo, Cl dan Ni Unsur karbon

Semen Portland pozzolan (SPP) atau dikenal juga sebagai Portland Pozzolan Cement (PPC) adalah merupakan semen hidrolisis yang terdiri dari campuran yang homogen antara semen Portland

Dengan demikian, diperoleh simpulan bahwa metode diskocera (discoveri dicampuri.. ceramah) menghasilkan prestasi belajar paling tinggi bila dipakai untuk mengajarkan karya sastra

Berdasarkan hasil output SPSS 16 for Windows diketahui t hitung variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap kinerja karyawan yaitu variabel kecerdasan intelektual

Dari kesamaan dan perbedaan hasil penelitian dari beberapa informan dapat disimpulkan bahwa tin- dakan dalam berkonsumsi dilihat dari konsep syariah yaitu dengan mempertimbangkan