1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metamorfosis pendidikan ditandai dengan pergeseran paradigma pembelajaran behaviorisme ke arah konstruktivisme, sebagai dampak konsekuensi logis atas adanya transformasi konsep pendidikan abad ke-21. Gagasan tersebut berdampak pada dekonstruksi teori stimulus-respons dan reinforcement sebagai dasar karateristik paradigma pendidikan behaviorisme. Karateristik pendidikan behaviorisme pada tataran implementasinya sangat identik dengan konsep reward and punishment yang merupakan antitesis atas konstruktivisme (Subakti, 2010). Fakta dekonstruksi tersebut tertuju pada basis pembelajaran dengan kultur konstruktivisme yang terfokus pada pengembangan pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai interaksi, sehingga dapat mendorong tumbuhnya kemampuan peserta didik secara utuh dan komprehensif.
Realitas ini selaras dengan identitas pembelajaran kontruktivisme yang tertuju pada pengembangan kemampuan peserta didik dalam mengidentifikasi dan pemecahan masalah dengan menggunakan daya nalar kritis, kreatif, reflektif dan dialektik serta kemampuan dalam pengambilan dan pemecahan masalah. Identitas yang melekat tersebut yang merupakan kerangka kualifikasi kompetensi peserta didik yang dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran (Dienes & Perner, 2019;
O’Donnell, 2012). Fakta tersebut merupakan gambaran ideal atas output (lulusan) yang diinginkan dari hasil proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah.
Komponen yang menjadi kandungan pilar pendidikan UNESCO, yang meliputi empat unsur proses learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together, memberikan sketsa nyata bahwa pendidikan bukan hanya pada tataran learning to know, namun yang lebih esensial pada dimensi learning to live together sebagai dasar keahlian siswa atau peserta didik dalam kehidupan yang harus dikembangkan. Keahlian learning to live together harus didukung kemampuan global mindset sebagai hasil proses pendidikan untuk membentuk peserta didik sebagai stakeholder yang profesional, mampu beradaptasi dan menjawab berbagai problematika yang dihadapi dalam kehidupan (Sudarsana et al., 2018).
2
Karateristik tersebut merupakan tujuan pendidikan dengan basis paradigma keterampilan abad ke-21 yang saa ini menjadi trendsetter model pendidikan, khususnya dalam konteks keindonesiaan. Istilah keterampilan abad ke-21 diterjemahkan dalam ranah pendidikan dengan istilah pembelajaran abad ke-21 dengan fokus capaian meliputi kemampuan kolaborasi, komunikasi, kreatifitas, berfikir kritis dan kreatif, problem solving dan inovatif (Voogt dan Roblin, 2010;
Daryanto dan Karim, 2017; Wijaya, Sudjimat dan Nyoto, 2016; Zubaidah, 2016).
Visi dan misi pembelajaran abad ke-21 yang begitu ideal dengan berbagai konseptualnya, tetap merujuk pada kesiapan komponen pembelajaran meliputi pendidik, siswa, metode, model, strategi, bahan, media, material, evaluasi dan komponen pembelajaran lainnya (Pane & Darwis Dasopang, 2017). Kesiapan komponen pembelajaran harus menjadi skala prioritas dalam pelaksanaan pembelajaran. Fakta tersebut merupakan realitas atas hambatan dan problematika yang dihadapi dalam proses pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran pendidikan agama Islam (Muslimin, 2017; Susiana, 2017; Magdalena, 2013; Rouf, 201).
Karateristik dan tipologi pembelajaran pendidikan agama Islam yang berbeda dengan bidang studi lainnya merujuk pada definisinya, bersifat multidimensi, tidak hanya bersifat dogmatis tetapi juga harus mengandung unsur praksis, bukan hanya pada tataran eskatologis tetapi juga berkaitan dengan unsur humanis, tidak hanya berkaitan duniawi tapi juga ukhrawi (Samrin, 2015:105; Putra, 2017; Bafadhol, 2016; Rahman, 2012; Hidayat, 2015). Karateristik pendidikan agama Islam memberikan konsekuensi logis terhadap ukuran efektivitas pembelajaran yang berbeda dengan mata pelajaran atau bidang studi lainnya.
Keniscayaan proses pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam yang berbeda, mulai dengan karateristik pembelajaran yang bersifat multidimensi dan multikultural, paradigma proses pembelarjannya yang bersifat integratif- intekonektif, integratif-transformatif, holistik dan lainnya (Hidayat, 2014; Ahyat, 2017; Arif, 2011; Rusydi, 2011; Zainuddin, 2011), menjadi dimensi tersendiri yang harus mampu di atasi dan dipahami secara komprehensif sehingga efektivitas pembelajaran dapat diwujudkan. Merujuk pada deskripsi di atas, orientasi pembelajaran pendidikan agama Islam tidak hanya tertuju pada pengembangan
3
aspek intelektual-kognitif ansich akan tetapi juga untuk mengembangkan kemampuan berfikir, menganalisis dan kreatif. Keseimbangan kompetensi lahiriyah dan batiniah menjadi barometer efektivitas pembelajaran pendidikan agama Islam.
Berkaitan dengan kemampuan berfikir yang merupakan salah satu orientasi pendidikan agama Islam, konsep tersebut dalam istilah al-Qur’an dikenal dengan kata al-fikr, yang di dalamnya mengandung 4 hal berkaitan dengan: pertama, tujuan berfikir menurut al-Qur’an yang berfungsi untuk mendapatkan kebenaran, mengamalkan syariat Islam, mendekatkan diri kepada Allah dan berakhlaq baik;
kedua, manfaat berfikir menurut al-Qur’an yang mendeskripsikan fungsinya sebagai sarana untuk mengetahui hikmah di balik syariat Islam, mengetahuai hikmah dan tujuan ciptaan Allah, termotivasi untuk berbuat kebaikan, derajat yang tinggi, terhindar dari hawa nafsu, memperoleh ilmu pengetahuan; ketiga, cara berfikir dalam al-Qur’an yaitu berfikir dengan hati bersih, berfikir dengan kolaborasi akal dan wahyu, berfikir luas namun dengan cara sederhana untuk mudah dipahami, open mind dengan pendapat lain, berfikir dengan konsep proses dari awal hingga akhir; dan keempat, kedudukan berfikir menurut al- Qur’an yang menjelaskan bahwa berfikir sangat dimuliakan Allah dan bisa mendatangkan rahmat Allah dan terhindar dari azab (Hidayat, Abdusalam dan Fahrudin, 2016). Selain itu, konsep berfikir juga dapat ditelisik pada segi etimologi yang termaktub atau tertulis dalam al-Qur’an seperti kata al-tadhakkur, al-tafakkur, al-tadabbur, al-taaqqul (Ismail, 2014). Konsep tersebut secara langsung merujuk pada aspek kognitif yang merupakan salah satu ranah selain afektif dan psikomotorik yang dijadikan dasar sebagai keterwujudan kesuksesan dalam capaian pembelajaran. Penegasan ini memberikan gambaran bahwa Islam sebagai sebuah agama mempunyai perhatian khusus terhadap aspek berfikir yang lebih populer dalam proses pembelajaran dengan istilah kognitif.
Siswa sebagai subjek pembelajaran sekaligus sebagai objek pendidikan harus didorong untuk mengembangkan dan memiliki kompetensi secara komprehensif.
Berdasarkan inilah, dapat dipahami bahwa identitas berfikir dalam pendidikan agama Islam bukan hanya pada ranah kemampuan kognitif, namun sinergi berbagai potensi yang dimiliki siswa dalam memahami hidup dan kehidupan dunia.
Pendidikan agama Islam memiliki peranan sebagai usaha sadar dan terencana dalam mengembangkan rangkaian tersebut, bertujuan untuk peningkatan spiritualitas siswa
4
sebagai manusia dan hamba Allah pada tingkatan yang lebih baik (Setiawan, 2019a). Dimensi spiritualitas merupakan hasil kolaborasi dari kemampuan dalam berfikir kritis, komprehensif, mendalam, logis, rasional dengan wahyu dan syariat Islam secara paripurna.
Konsepsi pembelajaran abad ke-21 yang telah disinggung secara tidak langsung memberikan tanda-tanda bahwa proses pembelajaran harus mampu memfasilitasi orientasi tersebut. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dapat dikaitkan dengan kemampuan metakognisi yaitu kemampuan siswa dalam kreativitas, komunikasi, kolaborasi, berikir kritis dan inovasi dapat dihubungkan dengan faktor efikasi diri dan motivasi.
Kemampuan metakognisi merupakan proses refleksi siswa atas kemajuan proses pembelajaran yang dilakukan secara mandiri, sehingga mengetahui apa, kapan, dan bagaimana harus belajar. Kebermanfaatan dan fungsi kemampuan metakognisi untuk memaksimalkan transfer of knowledge and value ke dalam diri siswa, dengan membuat rancangannya secara mandiri yang dapat mendorong siswa aktif dalam pembelajaran. Berdasarkan pada deskripsi tersebut, metakognisi dapat dimaknai sebagai konsep pembelajaran berbasis pembelajar (Biggs, 1988;
Hacker, 2009; Mahdavi, 2014; Frenkel, 2014; Perry, Lundie dan Golder, 2018).
Berkaitan dengan aspek efikasi diri yang merupakan salah satu bagian dalam mewujudkan pembelajaran abad ke-21 bagi siswa, tidak bisa dilepaskan atas paradigma yang dibangun oleh Bandura, bahwa kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri dapat mengkonstruksi peningkatan dan pencapaian pretasi belajar siswa (Bandura, 1993).
Efikasi diri siswa juga berfungsi untuk membentuk lingkungan pendidikan (education environment) kondusif yang dapat berdampak pada realisasi efektivitas pembelajaran. Adapun berkaitan dengan motivasi, dapat memberikan pengaruh dan efek terhadap perilaku proses pembelajaran. Motivasi merupakan dasar dan alasan berkaitan dengan minat, keyakinan dan persepsi yang dapat mendorong efektivitas pembelajaran. Motivasi dengan dua tipologi, yaitu intrinsik dan ekstrinsik dapat menginisiasi siswa untuk secara mandiri mengikuti dan menaati seluruh proses pembelajaran sehingga berdampak pada hasil belajar yang baik (Dweck, 2012; Lai, 2011).
5
Berdasarkan deskripsi di atas identitas keberhasilan pendidikan tidak bisa dilepaskan pada proses pelaksanaan pembelajaran yang efektif. Penelitian dalam bidang pendidikan agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran, dalam perspektif peneliti, masih berkutat pada variabel-variabel perangkat pendukung seperti peranan media, sarana prasarana, metode, strategi, manajemen pembelajaran dan tema lainnya yang berada pada posisi dimensi eksternal siswa. Fakta tersebut secara eksplisit hanya berkaitan dengan dimensi eksternal siswa, sehingga belum mampu difungsikan untuk generalisasi keberhasilan atau efektivitas pembelajaran pada berbagai kondisi dan potensi yang dimiliki lembaga pendidikan dengan kemampuan minimal.
Penentuan variabel metakognisi, efikasi diri, dan motivasi, dapat dijadikan acuan dalam pemetaan efektivitas pembelajaran disebabkan sifatnya yang merupakan aspek internal siswa. Unsur kemampuan metakognisi, efikasi diri, dan motivasi merupakan komponen yang tak terpisahkan dari siswa. Sifat ketiganya yang terikta erat dalam diri siswa tentu tidak dapat dipisahkan dalam kondisi dan situasi apapun, sehingga dapat dijadikan dasar sebagai variabel yang memiliki kontribusi signifikan dalam ranah proses perwujudan efektivitas pembelajaran.
Penjabaran tentang realitas orientasi dan dimensi pendidikan agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran (Damopoli, 2015), merupakan rumpun yang melingkupi mata pelajaran atau bidang studi “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan”
(ISMU) yang menjadi identitas pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah Muhammadiyah, mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi (PT), yang berorientasi guna mewujudkan visi dan misi Muhammadiyah. Fakta keberadaan mata pelajaran atau bidang studi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU) pada sekolah/madrasah selaras dengan empat tujuan pendidikan Muhamamdiyah sebagai:
sarana pendidikan dan pencerdasan, layanan terhadap masyarakat, dakwah dan kaderisasi (Nuryana, 2017).
Mengacu deskripsi sebelumnya, muatan-muatan materi pembelajaran yang terkandung dalam mata pelajaran atau bidang studi “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” (ISMU) secara eksplisit dan implisit merupakan penegasan atas identitas gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang diusung Muhammadiyah. Kontekstualisasi lainnya, kedudukan mata pelajaran atau bidang
6
studi “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” (ISMU) disamping berfungsi untuk proses internaliasi nilai pendidikan Islam (karakter Islami) (Baadilla, 2010; Tamam, et.al., 2017; Huda, 2019), juga berperan sebagai perpanjangan untuk mewujudkan visi (vision) sebagai magic of formula dan misi yang merupakan tugas luhur pendidikan dalam paradigma dan perspektif Muhammadiyah yaitu membentuk manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlaq mulia, berkemajuan dan unggul dalam IPTEKS sebagai perwujudan tajdid dakwah amar ma’ruf nahi munkar (Arifin, 2015). Elaborasi deskripsi tersebut merupakan tesis atas karateristik kurikulum pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU) yang bersifat integratif- holistik (Nururhuda, 2018).
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU) sebagai ciri khusus dan keunggulan pendidikan Muhammadiyah dengan paradigma modern, holistik-integratif dan berkemajuan-mencerahkan memiliki dua dimensi yang menjadi standar kompetensi lulusannya (capaian pembelajaran) yaitu pertama, dimensi sikap yang berkaitan dengan beriman dan bertaqwa, berakhlaq karimah, berkarakter, bertanggung jawab, istiqamah, berkemajuan, pembelajar sejati, kritis dan lainnya; kedua, dimensi pengetahuan yang berkaitan dengan kepemilikan pengetahuan yang bersifat faktual, konseptual, prosedural, metakognitif dan suprarasional (Majelis Dikdasmen PPM, 2017).
Berdasarkan pada dua dimensi kemampuan di atas, menjadi sebuah keniscayaan bagi proses pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyah untuk berjalan efektif sehingga mampu menanamkan kompetensi kepada siswa bukan hanya tataran kognitif tetapi juga pada aspek akhlaq/karakter sesuai dengan visi dan misi yang diusung oleh Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan yang bersifat modernis berkemajuan. Lembaga-lembaga pendidikan di bawah Muhamamadiyah, khususnya setingkat SMP/SMA, mempunyai tugas yang sangat signifikan dalam mengembangkan potensi intelektual, sosial, spiritual, dan keterampilan siswa yang merupakan wilayah/ruang lingkup orientasi pembelajaran “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” (ISMU) yang tertuang dalam standar isi kurikulumnya (Majelis Dikdasmen PPM, 2017).
Berlandaskan pada prinsip pembelajaran yang tertuang dalam kurikulum Al- Islam, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (Ismuba), ada 5 pilar yang menjadi
7
tujuan yaitu: (a) berkaitan dengan aqidah yaitu belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT; (b) belajar untuk memahami dan menghayati; (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif; (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain; dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, dan perilaku yang baik melalui proses pembelajaran, pembiasaan dan keteladanan (Majelis Dikdasmen PPM, 2017). Iklim pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyaha (ISMU) terfokus pada harmonisasi hubungan guru dengan siswa, hubungan antar siswa, sangat identik dengan konsep PAIKEM yaitu pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan sebagai basis pelaksanaan (Astuti, 2014; Mulyatiningsih, 2010; Priyono, 2018; Wirasa, 2015; Yatimah, Adman, &
Solihin, 2019). Konsep ini selaras dengan indikator proses pembelajaran yang meliputi aspek kualitas pengajaran dan tingkat pengajaran yang tepat yaitu secara intensif dapat membangkitkan motivasi siswa dan waktu (Slavin, 2015).
Proses implementasi PAIKEM harus didukung oleh kesadaran siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga komponen metakognisi, efikasi diri dan motivasi belajar siswa menjadi unsur yang perlu dicermati dalam merealisasikan tujuan tersebut. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan atas posisi “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” (ISMU) sebagai mata pelajaran yang bersifat muatan lokal (mulok) pada sekolah Muhammadiyah. Dimensi yang lain, siswa yang masuk di sekolah Muhammadiyah tidak semuanya mempunyai kesinambungan pendidikan dari pendidikan Muhammadiyah di tingkat sebelumnya, serta bersifat multikultural dan multi pemahaman agama, sehingga dengan corak tersebut memiliki problematika tersendiri dalam pelaksanaan pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU).
Posisi mata pelajaran “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” (ISMU) sebagai added value (Majelis Dikdasmen PPM, 2018) dapat dikaitkan dengan proses keberlangsungan dakwah Muhammadiyah dalam membangun agama dan negara.
Proses pembelajaran “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan” (ISMU), sebagai karateristik yang melekat pada sekolah Muhammadiyah, harus mampu memberikan sebuah proses pembelajaran yang menampilkan wajah modernis Muhammadiyah (Setiawan, 2019b). Kondisi kontekstual tersebut tidak bisa dilepaskan atas tujuan pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyah pada jenjang sekolah menengah
8
pertama (SMP) yang salah satunya berkaitan dengan ciri dan karateristik Muhammadiyah yaitu sebagai gerakan Islam, tajdid dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Melihat pada deskripsi atas kondisi latar belakang siswa pada sekolah Muhammadiyah khususnya pada jenjang tingkat pertama, menurut peneliti, perlu kajian penelitian mendalam terkait dengan variabel metakognisi, efikasi diri dan motivasi siswa dalam proses pembelajaran Al- Islam dan Kemuhammadiyahan.
Penentuan variabel ini tidak bisa dilepaskan, sebagaimana telah disinggung diatas, terhadap kompleksitas latar belakang keluarga dan multikultural siswa. Disisi lain penentuan variabel tersebut juga berfungsi untuk dijadikan alat evaluasi dalam melihat tingkat efektivitas pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang dapat dirujuk berdasarkan inklusivitas pemahaman agama dan sikap keterbukaan siswa.
Realitas tersebut selaras dengan konsep kesiapan siswa dalam pembelajaran yang meliputi tiga aspek yaitu, pertama, fisic condition atau kondisi yang berkaitan dengan fisik/lahiriah/badaniah, mental dan emosional, yang identik dengan bathiniah; kedua, kebutuhan (need), motif (motive) dan tujuan (orientation); dan ketiga, keterampilan, pengetahuan dan pengetahuan yang pernah dipelajari (Slameto, 2013). Berdasarkan paparan latar belakang masalah yang telah diungkapkan tersebut, maka riset (research) ini memiliki orientasi untuk mencermati pengaruh metakognisi, efikasi diri dan motivasi siswa terhadap efektivitas pembelajaran Al- Islam dan Kemuhammadiyahan.
Konteks tema penelitian tersebut melalui starting point bahwa selama ini pembelajaran Al- Islam dan Kemuhammadiyahan pada khususnya dalam konteks pendidikan agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran dianggap sebagai muatan lokal yang tidak memiliki pengaruh signifikan pada hasil belajar siswa seperti yang telah dieksplorasi pada penjelasan sebelumnya. Meskipun pengaruhnya sangat signifikan terhadap perkembangan karakter dan akhlaq siswa, namun perkembangan perspektif ini tidak bisa dilepaskan dari posisi Al- Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU) yang tidak masuk pada bagian ranah evaluasi yang menentukan kelulusan atau dianggap sebagai prestasi akademik yang unggul. Disisi lain dimensi pengembangan metode, model dan strategi pembelajaran Al-Islam dan
9
Kemuhammadiyahan dianggap tidak terlalu urgen disebabkan posisinya hanya sebagai muatan lokal. Merujuk pada kondisi tersebut penelitian ini berupaya untuk menelisik secara mendalam dengan perkembangan yang ada berkaitan dengan efektivitas pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
B. Permasalahan Penelitian
Berlandaskan pada deskripsi latar belakang riset, maka dapat disusun rumusan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah metakognisi, efikasi diri, dan motivasi siswa berpengaruh terhadap efektivitas pembelajaran mata pelajaran atau bidang studi Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada SMP Muhammadiyah di Kabupaten Jember?
2. Variabel apa yang memiliki pengaruh dominan antara metakognisi, efikasi diri, dan motivasi siswa terhadap efektivitas pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan?
3. Bagaimana implikasi metakognisi, efikasi diri, dan motivasi siswa terhadap efektivitas pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada SMP Muhammadiyah di Kabupaten Jember?
C. Tujuan Penelitian
Konteks tujuan penelitian ini mencakup dua hal sebagai erklaren atau menjelaskan sebagai ruang lingkup ranah kuantitatif dan verstehen atau memahami sebagai ruang lingkup ranah kualitatif, dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1. Menjelaskan tingkat efektivitas pembelajaran Al- Islam dan Kemuhammadiyahan pada SMP Muhammadiyah di Kabupaten Jember.
2. Menjelaskan variabel yang memiliki pengaruh dominan diantara variabel- varaibel independen.
3. Menjelaskan bagaimana implikasi variabel penelitian terhadap mutu pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan pada SMP Muhammadiyah di Kabupaten Jember?
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Manfaat penelitian ini untuk menghasilkan proposisi, baik secara analitik maupun sintetik terhadap efektivitas pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU), di sisi lain sekaligus sebagai pustaka pembanding dalam pelaksanaan studi
10
atau riset terhadap efektivitas pembelajaran mata pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian dengan tiga variabel bebas dapat dijadikan dasar informasi bagi sekolah Muhammadiyah dalam merancang pembelajaran Al- Islam dan Kemuhammadiyahan yang efektif. Manfaat praktis lainnya terkait dengan hasil penelitian yaitu dapat bermanfaat secara praktis dalam memberikan masukan terhadap sinergisitas efektivitas pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dengan tataran kebijakan organisasi Muhammadiyah.
E. Penegasan Istilah
Fungsi penegasan istilah sebagai media untuk meminimalisir disparitas/perbedaan dalam memahami makna judul. Beberapa istilah yang dijelaskan sebagai berikut.
1. Metakognisi
Metakognisi merupakan kajian utama dalam bidang psikologi pendidikan yang melibatkan kontrol aktif siswa atas proses pengembangan kognitif, karena dapat berpengaruh terhadap terhadap keberhasilan pembelajaran siswa (Livingston, 1997).
Metakognisi secara sederhana dapat dipahami sebagai pengetahuan siswa terhadap pengetahuannya, kesadaran atas kompetensi dan potensi siswa terhadap dirinya sendiri sebagai basis terhadap pembelajaran yang aktif (Vos & De Graaff, 2004).
Ringkasan pengertian metakognisi adalah aktivitas berfikir siswa dalam proses pembelajaran berdasarkan pada kemampuannya sendiri.
2. Efikasi diri
Efikasi diri adalah kepercayaan atas kemampuan dirinya sendiri. Efikasi diri dalam ranah pendidikan dapat dipahami sebagai kepercayaan siswa terhadap kemampuannya dalam memahami dan menguasai materi pembelajaran. Efikasi diri terdiri atas empat sumber yaitu cognitif processes, motivational processes, active processes and selection processes (Bandura, 1993; Bandura, 1994). Sumber tersebut berkaitan erat dengan pembentukan lingkungan belajar siswa yang dapat berpengaruh pada efektivitas pembelajaran.
11 3. Motivasi
Motivasi dalam penelitian ini berkaitan dengan motivasi belajar siswa.
Motivasi adalah pemberdayaan atau penguatan untuk mencapai tingkat kinerja.
Motivasi dalam pembelajaran adalah kekuatan yang dapat menyebabkan siswa berperilaku khusus. Motivasi dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu intrinsik dan ekstrinsik (Tohidi & Jabbari, 2012). Mengacu pada konsep tersebut, motivasi dalam ranah pembelajaran adalah segala unsur yang bisa mendukung atau mempengaruhi siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
4. Efektivitas Pembelajaran
Efektivitas pembelajaran berkaitan dengan sejauh mana kontribusi aktivitas belajar dalam mencapai hasil pembelajaran yang telah ditentukan. Secara universal efektivitas dapat dikaitkan atas ketercapaian kompetensi inti yang telah dirumuskan dalam perencanaan pembelajaran. Identitas efektivitas pembelajaran dapat dirujuk pada ketuntasan hasil dan prestasi belajar siswa baik dalam ranah kognisi, afeksi dan psikomotorik, dalam pembelajaran Al- Islam dan Kemuhammadiyahan berlandaskan pada konsep berkaitan dengan standar kompetensi lulusan (SKL) yang tertuang dalam kurikulum Ismuba. Efektivitas pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan identik dengan ketercapaian dalam ranah afektif yang lebih selaras dengan dimensi aplikatif. Pendek kata pemaknaan efektivitas merupakan kolaborasi pada tiga ranah kompetensi siswa dan karakterisasi sebagai dimensi indikator keterwujudannya.
F. Kerangka Pikir
Berpijak pada kajian teori dan penelusuran atas hasil-hasil penelitian terdahulu, dapat dibuat rancang bangun karangka pikir penelitian. Beberapa deskripsi review penelitian terdahulu, baik secara eksplisit maupun implisit, dimensi efektivitas banyak dikonstruksi oleh berbagai macam variabel penelitian. Pertama, efektivitas pembelajaran didorong oleh aspek manajemen pembelajaran seperti manajemen kelas, kepimpinan guru dan lainnya; kedua, efektivitas pembelajaran atau hasil belajar dibangun oleh peran media pembelajaran seperti flip book, ICT dan lainnya; ketiga, efektivitas pembelajaran dikonstruksi oleh metode pembelajaran seperti NHT, problem based learning dan lainnya; keempat, efektivitas pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan hasil belajar (student achievement) didorong oleh kemampuan
12
metakognisi, efikasi diri dan motivasi; kelima, orientasi mata pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan lebih pada tataran fungsionalnya sebagai basis pendidikan karakter dan nilai (value).
Dimensi efektivitas pembelajaran pada kajian teori, dideskripsikan berkaitan erat dengan raw input yaitu siswa dalam konteks pengembangan kompetensi dalam tiga ranah kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang identik dengan konsep taxonomy Bloom. Kontektualiasi lain berkaitan dengan paradigma pembelajaran abad ke-21 ini, yang identik dengan konstruktivisme, memposisikan siswa sebagai subjek dominan dalam proses pembelajaran. Konteks yang lain, konsep tersebut berpengaruh terhadap orientasi pembelajaran yang lebih kompleks pada ranah kognitif dengan konsep berfikir tingkat tinggi, tidak hanya mampu menjawab dimensi akademik, tetapi juga melihat pada kemampuan pemecahan masalah dan berfikir kreatif serta terjadinya trasnsformasi nilai-nilai etis dalam proses pembelajaran.
Problematika yang dihadapi dalam proses pembelajaran tertuju pada komponen utamanya yaitu siswa. Kemandirian, kesadaran, keyakinan, dan motivasi belajar siswa menjadi titik urgen yang harus diperhatikan. Fakta ini, seperti yang telah dideskripsikan di atas, berdasar pada paradigma kontruktivisme yang fokus pada active learning, contextual learning dan lainnya. Mata pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) sebagai bagian dari rumpun pendidikan agama Islam di sekolah Muhammadiyah, khususnya pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), pada proses pembelajarannya tidak bersifat doktriner, tetapi lebih pada penekanan dimensi aktivitas belajar siswa. Berdasarkan fakta tersebut, maka kerangka pikir penelitian ini dapat petakan sebagai berikut.
Gambar 1. Kerangka Pikir
13
Grand theories atau landasan yang digunakan dalam kerangka tersebut berkaitan dengan teori pembelajaran kontruktivisme. Teori ini secara umum tidak bisa dipisahkan atas pengaruh John Dewey, Bartlett, Piaget, Vygosky, Ausubel dan Bruner, dengan penekanan pada dua unsur yaitu pembelajar aktif dan interaksi sosial (Supardan, 2016). Konteks landasan teori yang digunakan merujuk pada basis konsep pembelajaran student centered learning dengan strategi metakognisi, efikasi diri dan motivasi. Konstruksi middle-range theories berkaitan dengan praksis pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU) merujuk pada tiga ranah kemampuan mengacu pada taxonomy Bloom. Praktek pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan secara umum dapat diintegrasikan dengan metode dan model pembelajaran abad-21.
Konsep lain pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU) juga berkaitan dengan transformasi nilai etis dalam perspektif Al-Ghazali yang identik dengan pendidikan akhlaq. Adapun substantive or applied theories pada konteks praksis pembelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, menjadi domain utama sebagai indikator efektivitas pembelajaran. Dimensi efektivitas pembelajaran yang multidimensi dapat berupa wilayah pada taxonomy Bloom atau kesuksesan pada tataran transfer of value yang tergambar pada perubahan tingkah laku atau perilaku siswa.