commit to user
1BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdagangan orang atau Human Trafficking yang marak saat ini merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia yang melanggar harkat dan martabat manusia. Perdagangan orang ini tidak hanya terjadi di wilayah domestik dalam satu negara saja, namun sudah berkembang menjadi kejahatan transnasional (transnational crime) dimana sudah menyangkut negara lain, baik sebagai negara pengirim, sebagai negara transit, dan sebagai negara penerima.
Keuntungan sebesar 36 (tiga puluh enam) miliar dolar per tahun menempatkan perdagangan manusia menjadi kejahatan yang paling menguntungkan nomor tiga di dunia setelah narkoba dan perdagangan senjata (http://www.un.org/apps/news/
story.asp?NewsID=48271#. VRvOTyUeiV). Perdagangan orang ini tidak hanya meresahkan negara berkembang seperti Indonesia, namun juga negara-negara lain, masyarakat internasional, dan juga telah menjadi perhatian Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) (Moh. Hatta, 2012: 5).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selaku lembaga internasional yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional dan mempunyai fungsi proteksi kepada seluruh anggotanya memberi perhatian lebih pada masalah perdagangan orang yang semakin marak terjadi di dunia ini. Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisir dan tindak pidana perdagangan orang, PBB telah membentuk United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) melalui Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/25 sebagai instrumen hukum dalam menanggulangi tindak pidana transnasional yang terorganisasi dan dua protokolnya, Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children (Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak) dan Protocol against the Smuggling of Migrants by
commit to user
Land, Sea and Air, Supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNCTOC) (Protokol Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB, turut menandatangani dan meratifikasi instrumen hukum internasional yang dibuat oleh PBB yang secara khusus mengatur upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional dan dua protokol pelengkapnya mengenai perdagangan orang dan penyelundupan migran. Sebagai perwujudan komitmen Indonesia dalam mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional khususnya dalam tindak pidana perdagangan orang, maka Indonesia menyusun Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Untuk Mencegah, Menindak, Dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan Dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/
hol21103/indonesiaratifikasiprotokolpencegahanihumantraffickingi-).
Walaupun Indonesia telah meratifikasi Protokol tersebut dan sudah mempunyai undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, kasus-kasus Perdagangan Orang di Indonesia masih sangatlah tinggi dan memprihatinkan. Tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya pendapatan masyarakat Indonesia dinilai menjadi salah satu faktor penyebabnya (http://www.
idlo.org/docnews/human_trafficking_ind.pdf). Banyaknya pengangguran, kurangnya lapangan pekerjaan dan upah buruh yang cenderung rendah menyebabkan masyarakat, terutama wanita terpaksa untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri demi mendapat nafkah yang lebih besar. Namun, yang terjadi adalah mereka terjebak dan menjadi korban perdagangan orang.
Modusnya adalah dengan penyaluran tenaga kerja secara ilegal, pertama-tama mereka dijanjikan untuk menjadi asisten rumah tangga di luar negeri, namun setelah mereka dikirim ke negara tujuan, mereka bukan menjadi asisten rumah
commit to user
tangga melainkan dieksploitasi di negara tujuan tersebut. Selain itu tidak sedikit pula orang tua yang tega menjual anaknya kepada orang lain untuk dijadikan obyek perdagangan orang karena berharap hal itu akan mengurangi beban ekonomi mereka (Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, 2011: 50).
Akhir-akhir ini Indonesia digemparkan oleh munculnya isu penjualan
bayi lewat media sosial Instagram -bayi
dengan harga murah. Praktik perdagangan anak seperti itu bukanlah modus baru, namun karena penegakan hukum yang masih lemah, maka masih banyak kasus- kasus perdagangan anak terutama bayi ini. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa pada tahun 2014, terdapat 337 kasus perdagangan anak yang dilaporkan, jumlah ini meningkat dari 221 kasus pada tahun 2013 dimana anak yang diperdagangkan umumnya berusia 0-12 tahun dengan biaya sekitar Rp10-20 juta (http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150623_trensosial _bayi_intagram). Korban praktik perdagangan orang yang biasanya dan kebanyakan adalah wanita dan anak-anak ini ditipu, dipaksa, tidak diperlakukan secara manusiawi, dan dieksploitasi dengan bentuk bentuk seperti memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan, dan bentuk-bentuk perbudakan modern lain, transplantasi organ hingga penjualan organ dan orang untuk mendapatkan keuntungan besar bagi para pelaku perdagangan orang (Farhana, 2012: 6).
Berdasarkan Trafficking in Person Report tahun 2015, menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara sumber utama dan, atau untuk sebagian, negara tujuan dan transit bagi perempuan, anak-anak, dan laki-laki yang mengalami perdagangan seks dan kerja paksa. Menurut International Organization for Migration (IOM) (http://www.iom.or.id/ sites/default/files/Factsheet%20%20- Counter-Trafficking.pdf), dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2014 terdapat 7.193 orang yang menjadi korban perdagangan orang di Indonesia dimana grafiknya dari tahun ke tahun adalah naik. Sementara untuk tujuan dari perdagangan orang tersebut adalah 82% korban diperdagangkan ke luar Indonesia.
Selain itu, 82% korbannya adalah perempuan termasuk 16% diantaranya adalah
commit to user
anak perempuan. Modus dari perdagangan orang di Indonesia menurut IOM adalah 85% dari agen perekrutan tenaga kerja.
Trafficking in Persons Report 2015 yang mengeluarkan laporan tahunan untuk mengontrol dan mengatasi perdagangan orang, mengkategorikan negara- negara di dunia ke dalam 4 tier (lapis), tier 1 untuk negara-negara yang paling
baik dan memenuhi standar dari Tr (TVPA),
tier 2 belum sepenuhnya memenuhi standar namun sedang mengupayakan, tier 2 watch list belum sepenuhnya memenuhi standar minimum dan korban bertambah banyak, gagal untuk membuktikan bahwa telah ada upaya dalam mengatasi perdagangan orang, dan komitmen negara tersebut, terakhir adalah tier 3 dimana negara-negara tersebut tidak memenuhi standar minimum dan tidak ada suatu upaya untuk memenuhinya (http://www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/2015/243 366.htm). TVPA sendiri adalah ketentuan atau undang-undang yang mengatur mengenai standar minimal untuk mengurangi perdagangan orang yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat (http://www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/
2015/243371.htm), dimana tujuan dari TVPA adalah untuk mencegah eksploitasi, menghukum pelaku perdagangan orang, dan melindungi korban perdagangan orang (Karen Moser, 2012: 1).
Menurut laporan tersebut, Indonesia termasuk ke dalam tier (lapis) 2 (dua) dimana pemerintah Indonesia dalam menangani dan memberantas perdagangan orang belum sepenuhnya memenuhi standar dalam TVPA, namun pemerintahannya sedang dalam upaya yang signifikan untuk menangani dan memberantas perdagangan orang. Berdasarkan laporan tahunan tersebut, Pemerintah Indonesia telah menuntut 134 tersangka perdagangan orang dan menghukum 79 pelaku perdagangan hingga tahun 2015. Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan tempat penampungan sementara untuk korban, dan melakukan pelatihan anti-perdagangan orang bagi pejabat publik dan pemerintah dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan perdagangan orang. Namun, pemerintah tidak membuat kemajuan dalam pengumpulan data yang akurat dan komprehensif tentang penegakan hukum dan identifikasi korban sebagai upaya anti-trafficking-nya. Para pejabat pemerintah tidak konsisten menggunakan
commit to user
prosedur proaktif untuk mengidentifikasi korban diantara kelompok-kelompok rentan dan merujuk mereka ke layanan perlindungan. Undang-undang yang ada memungkinkan korban untuk memperoleh restitusi dari pelaku perdagangan orang yang memperdagangkan mereka, namun pemberian restitusi ini hanya terjadi setidaknya pada tiga kasus perdagangan orang. Koordinasi yang tidak memadai di seluruh instansi pemerintah dan kurangnya pengetahuan pejabat mengenai indikator perdagangan orang dan undang-undang melemahkan upaya Indonesia dalam anti-perdagangan manusia, termasuk pelaksanaan strategi anti-perdagangan manusia nasional. (http://www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/countries/2015/243456 .htm).
Salah satu negara yang menduduki tier 1 (satu) adalah Australia dimana yang termasuk dalam lapis ini adalah negara-negara yang dalam pemerintahannya telah memenuhi standar minimal dari TVPA. Australia sebagai negara yang juga berbatasan dengan Indonesia merupakan salah satu negara tujuan dari perdagangan orang yang berasal dari beberapa negara Asia, Eropa Timur, maupun Afrika. Para korban tersebut direkrut oleh majikan dan agen tenaga kerja untuk bekerja paksa dalam berbagai bidang, dan tidak mustahil juga, perdagangan seks.
Pelaku perdagangan orang sering beroperasi secara independen atau menjadi bagian dari jaringan kejahatan terorganisir kecil yang sering melibatkan keluarga dan hubungan bisnis antara Australia dan kontak di luar negeri. Kebanyakan korban diidentifikasi sebagai warga negara asing dengan visa pelajar yang membayar tempat tinggal dan biaya akademik. Majikan memaksa siswa untuk bekerja lebih dari ketentuan visa mereka yang membuat mereka rentan terhadap perdagangan karena khawatir akan dideportasi karena melakukan pelanggaran imigrasi. Pemerintah Australia sudah menuntut lebih tersangka perdagangan orang dari pada periode laporan sebelumnya, meskipun gagal untuk menghukum setiap pelakunya. Terlebih, pemerintah Australia juga meningkatkan identifikasi jumlah korban dan mengarahkan para korban ke program dukungan yang didanai pemerintah. Pemerintah juga meluncurkan lima tahun rencana aksi nasional untuk memerangi perdagangan manusia (http://www.state.gov/j/tip/rls/tiprpt/countries /2015/243387.htm).
commit to user
Indonesia dan Australia sama-sama menandatangani dan meratifikasi UNCTOC dan Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, namun kasus perdagangan orang di Australia terbilang lebih sedikit dibandingkan Indonesia.
Hal tersebut berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh United State of America Department of State dalam Trafficking in Persons Report 2015, dimana pada tahun 2013, di Indonesia menurut laporan dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), ada 109 investigasi pada kasus perdagangan orang, sedangkan di Australia, di tahun yang sama, Australian Federal Police (AFP) melaporkan terdapat 46 investigasi kasus perdagangan orang. Indonesia dan Australia juga bekerjasama dalam memberantas perdagangan orang dalam
Jumlah kasus perdagangan orang di Australia lebih sedikit dikarenakan ketat dan terbatasnya kesempatan untuk memperdagangkan orang atau mengeksploitasi orang-orang ke dalam atau ke luar Australia. Hal ini dikarenakan kontrol imigrasi mereka yang kuat, isolasi geografis, regulasi mengenai perdagangan orang yang tingkat tinggi, rasa kepatuhan masyarakat dan penegakan hukum di Australia yang sangat baik. (http://www.ag.gov.au/CrimeAnd Corruption/HumanTrafficking/Pages/default.aspx).
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pengaturan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia dan Australia sehingga penulis dapat mengetahui bagaimana pengaturan perdagangan orang di kedua negara tersebut. Sebelumnya, penelitian mengenai perbandingan tindak pidana perdagangan orang sudah pernah dijadikan sebagai penelitian hukum (skripsi) pada tahun 2012, namun dalam penelitian tersebut hanya terbatas pada sistem pembuktian dan pemidanaan tindak pidana perdagangan orang antara Indonesia dan Filipina yang sama-sama terletak di Asia Tenggara. Maka dari itu untuk meneliti lebih lanjut, penulis mengangkat judul untuk penulisan hukum (skripsi) ini, dengan judul: STUDI KOMPARASI PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI
commit to user
B. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan 2 (dua) pokok masalah yang akan dibahas, yaitu:
1. Apa persamaan dan perbedaan pengaturan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia dan Australia?
2. Apa kelebihan dan kekurangan pengaturan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia dan Australia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan hal-hal tertentu yang ingin dicapai dalam suatu penelitian. Terdapat dua macam tujuan dalam penelitian, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif. Tujuan obyektif adalah tujuan yang berasal dari penelitian yang dilakukan, sedangkan tujuan subyektif adalah tujuan yang berasal dari penulis. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pengaturan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia dan Australia.
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pengaturan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia dan Australia.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah, mengembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya Hukum Pidana.
b. Untuk memenuhi prasyarat akademis dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat berupa ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktis, baik bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
commit to user
1. Manfaat Teoritisa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan di bidang Hukum Pidana pada khususnya;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan Hukum Pidana mengenai tindak pidana perdagangan orang.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan membentuk pola berpikir penulis serta mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian
Dalam sebuah penelitian hukum diperlukan suatu metode penelitian yang kemudian akan digunakan penulis untuk menunjang hasil penelitian tersebut guna mencapai tujuan penelitian hukum. Adapun penulis akan menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian hukum (legal research). Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan hanya sekeadar know-about. Penelitian hukum ini dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014:
60). Peter Mahmud mengemukakan bahwa tidak perlu menggunakan isitilah penelitian hukum normatif karena istilah legal research atau dalam bahasa Belanda rechtsonderzoek selalu normatif, jadi cukup menggunakan istilah penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014:55). Dalam penelitian yang dilakukan penulis, termasuk dalam jenis penelitian hukum karena penulis melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana isu hukum mengenai
commit to user
pengaturan pengaturan perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia dan Australia.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah penelitian yang bersifat preskriptif dan terapan. Ilmu hukum termasuk ke ilmu yang bersifat preskriptif dimana tidak memerlukan hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya namun memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya dilakukan. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 59 dan 69). Istilah preskriptif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (http://kbbi.web.id/preskriptif) adalah bersifat memberi petunjuk atau ketentuan; bergantung pada atau menurut ketentuan resmi yang berlaku. Maka dalam penelitian mengenai perbandingan tindak pidana perdagangan orang di Indonesia dan Australia ini, tidak memerlukan hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya namun penelitian ini bersifat untuk memberi petunjuk mengenai benar atau salah atau apa yang seyogyanya menurut hukum mengenai tindak pidana perdagangan orang di Indonesia dan Australia dihubungkan dengan fakta atau peristiwa hukum perdagangan orang yang terjadi di masyarakat yang kemudian dihubungkan dengan hasil penelitian yang kemudian dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan dan dapat memberikan solusi atau saran baik kepada Indonesia maupun Australia.
3. Pendekatan Penelitian
Ketika melakukan penelitian hukum, diperlukan suatu pendekatan agar isu-isu hukum yang ingin dijawab dapat terjawab dengan informasi- informasi dari berbagai aspek. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2014), ada 5 (lima) macam pendekatan penelitian yang dapat digunakan dalam penelitian hukum yaitu, pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 133).
commit to user
Dalam penelitian hukum yang penulis lakukan, penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan komparatif (comparative approach) dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu Negara dengan undang-undang dari satu Negara atau lebih Negara lain mengenai hal yang sama (Peter Mahmud Marzuki, 2014:
133 dan 135). Berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut, maka penulis akan melakukan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan undang- undang karena penulis menggunakan undang-undang mengenai perdagangan orang di Indonesia dan Australia sebagai dasar dan inti penulisan penelitian ini dan pendekatan komparatif dengan membandingkan kedua undang- undang mengenai perdagangan orang yang berlaku di Indonesia dan di Australia.
4. Jenis dan Bahan Hukum Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki (2014), penelitian hukum tidak mengenal adanya data, karena penelitian hukum bersifat preskriptif dan untuk memecahkan isu hukum yang ada, diperlukan sumber-sumber penelitian hukum yang berupa bahan hukum primer yaitu yang bersifat autoratif seperti perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau putusan-putusan hakim dan bahan hukum sekunder yang berupa semua publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar- komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181).
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan:
a. Bahan Hukum Primer
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
2) Australia Criminal Code Act 1995;
commit to user
b. Bahan Hukum SekunderBahan hukum sekunder meliputi hasil karya ilmiah dan penelitian- penelitian yang relevan atau terkait dengan penelitian ini termasuk diantaranya skripsi, thesis, disertasi, maupun jurnal-jurnal hukum, serta kamus-kamus hukum dan buku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 195-196). Maka dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang penulis pakai adalah:
1) Jurnal-jurnal mengenai perdangan orang, baik jurnal internasional maupun jurnal nasional;
2) Laporan-laporan resmi mengenai perdagangan orang;
3) Kamus-kamus hukum seperti dan Kamus Besar
Bahasa Indonesia; dan
4) Buku yang berkaitan dengan penelitian hukum, tindak pidana, dan perdagangan orang.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang dipakai dalam pengumpulan bahan hukum dalam penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen (library research). Teknik pengumpulan bahan hukum ini dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat catatan dari buku-buku, peraturan perundang- undangan, dokumen, serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah yang menjadi objek penelitian. Dalam menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum, penulis melakukan kegiatan berupa membaca, mengkaji, dan membuat catatan-catatan kecil dari peraturan perundang-undangan mengenai perdagangan orang di Indonesia dan Australia, buku-buku mengenai perdagangan orang, dan jurnal-jurnal baik nasional maupun internasional yang membahasa mengenai perdagangan orang.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode (pola berpikir) deduktif. Penggunaan metode deduksi ini adalah berpangkal dari pengajuan premis mayor yang kemudian diajukan premis
commit to user
minor, setelah itu dapat ditarik kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2014:
89). Sehingga dapat diambil kesimpulan teknik analisis deduksi silogisme dalam penelitian hukum ini adalah ketentuan dan peraturan perundang- undangan mengenai perdagangan orang di Indonesia dan Australia sebagai premis mayor dan persamaan dan perbedaan pengaturan perdagangan orang di Indonesia dan Australia sebagai premis minor yang kemudian ditarik kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan mengenai Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini, penulis akan memaparkan 2 (dua) sub bab, yaitu mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran.
Kerangka teori akan menjelaskan mengenai Tinjauan tentang Perbandingan Hukum, Tinjauan tentang Sistem Hukum, Tinjauan tentang Tindak Pidana, dan Tinjauan tentang Perdagangan Orang.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini, penulis akan menguraikan hasil penelitian yang akan membahas dan menjawab rumusan masalah
commit to user
pertama yakni persamaan dan perbedaan pengaturan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia dan Australia dan rumusan masalah kedua yaitu kelebihan dan kekurangan pengaturan tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) di Indonesia dan Australia.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini akan menjelaskan secara singkat tentang kesimpulan akhir dari pembahasan dan jawaban atas perumusan masalah, dan diakhiri dengan saran-saran yang didasarkan atas hasil keseluruhan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN