• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata Kunci: Perubahan, Makna dan Nilai, dan Fitu Kabintingia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kata Kunci: Perubahan, Makna dan Nilai, dan Fitu Kabintingia"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

127 PERUBAHAN MAKNA DAN NILAI FITU KABINTINGIA DALAM PROSES

PERKAWINAN ADAT MUNA (STUDI DI KECAMATAN KABAWO KABUPATEN MUNA)1

Oleh Hasran2 H. Jamiluddin3

Pendais Haq4

ABSTRAK

Fokus dan tujuan penelitian ini diarahkan pada tiga hal yaitu (1) makna dan nilai–nilai fitu kabintingi dalam proses perkawinan masyarakat Muna, (2) Perubahan yang terjadi pada Fitu Kabintingi dalam Proses Perkawinan Masyarakat Muna, (3) Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pada fitu kabintigi dalam proses perkawinan pada masyarakat Muna.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah menurut Helius Sjamsuddin yang terdiri dari 3 (Tiga) tahapan yakni (1) Heuristik: pengumpulan data melalui studi dokumen, pengamatan, wawancara dan penelitian kepustakaan; (2) verifikasi (Kritik Sumber) yakni penelitian terhadap keotentikan dan keabsahan data yang terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern, (3) Historiografi (penulisan sejarah) yang terdiri atas: a) penafsiran (interpretasi), b) penjelasan (eksplanasi), c) penyajian (ekspose). Sedangkan kajian pustaka yang ditampilakan sesuai dengan penelitian ini memut konsep (1) Konsep Kebudayaan, (2) Konsep Nilai, (3) Konsep Makna dan Simbolik Kebudayaan, (4) Konsep sistem perkawinan dalam masyarakat Muna, (5) Prosedur dan tata cara perkawinan adat angka mata dalam masyarakat Muna, (6) Penelitian terdahulu.

Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa Pertama, Kabintigi disebut juga bingkisan atau seserahan, sedangkan proses penyerahkan bingkisan atau kabintingi tersebut disebut dengan “kabintingia”. Karena tuju paket seserahan maka disebutlah

“fitu kabintingia” yang terdiri kantaburi, paniwi, Lolino ghawi, Kaokanuha dan Kafoatoha, Adhati balano (sara-sara), matano kenta, kakawi, dan kafosulino katulu.

Kedua, Perubahan yang terjadi pada fitu kabintingi dalam proses perkawinan masyarakat Muna sebenarnya hanya pada tataran alat dan metode saja misalnya pada zaman dahulu kabintingi ini ditempatkan pada talang yang berbentuk persegi panjang, seiring perkembangan zaman semua itu telah berubah yang sekarang ini fitu kabintingi telah tempatkan pada sebuah piring, selain itu uga bentuk perubahan lain walaupun tidak merubah subtansi (makna) Ketiga, Faktor yang menyebabkan perubahan tersebut karena faktor internal dan faktor eksternal. faktor internal yang terdiri dari; (a) Pengaruh perilaku masyarakat dan (b) Perubahan penduduk. Kemudian faktor eksternal yaitu; (a) Pengaruh pola hidup modern, (b) Pengaruh social dan Kebudayaan, dan (c) Adanya percampuran suku dan perkawinan campuran.

Kata Kunci: Perubahan, Makna dan Nilai, dan Fitu Kabintingia

1 Disadur dari hasil penelitian Tahun 2016

2 Alumni Pendidikan Sejarah UHO, wisuda periode April 216

3 Dosen FKIP UHO

4 Dosen FKIP UHO

(2)

128 PENDHULUAN

Pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat telah menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut sebagai pola kehidupan global. Warga masyarakat mengalami berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Maka, perubahan tersebut telah mengancam keberadaan tradisi lokal, antara lain warisan budaya, kebiasaan, nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan masyarakatnya (Giddens 2003: 9-15).

Berkaitan dengan hal tersebut, Peursen (1988:16) mengatakan bahwa:

“kebudayaan saat ini dipengaruhi oleh suatu perkembangan pesat dan manusia modern sadar akan hal itu. Lebih dari dulu manusia dewasa ini sadar akan kebudayaannya.

Kesadaran ini merupakan suatu kepekaan yang mendorong manusia agar secara kritis menilai kebudayaan yang sedang berlangsung. Evaluasi serupa ini dapat menghasilkan, agar dia secara praktis menyusun kembali kebudayaannya sendiri”.

Salah satu kebudayaan yang menjadi kebudayaan yang paling saklral dalam suatu daerah adalah pernikahan. Kebudayaan ini juga terdapat perbedaan di setiap daerah baik itu daari segi pelaksanaan maupun dari segi tahapan-tahapannya. Hal ini, tanpa terkecuali juga terjadi dalam masyarakat Muna yang memiliki kebudayaan pernikahan yang berbeda dengan daerah lainnya. Yang mana kebudayaan ini menjadi salah satu tahapan yang paling penting dalam masyarakat Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara untuk mulai membina keluarga dalam masyarakat tersebut.

Perkawinan sebagai salah satu sendi kehidupan masyarakat yang tidak bisa lepas dari tradisi yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran yang mereka anut, baik sebelum dan sesudah upacara pernikahan dilaksanakan, karena perkawinan adalah merupakan sumbu kehidupan masyarakat, maka melalui perkawinan dimasyarakat tertentu dapat diperoleh informasi budaya masyarakat itu sendiri. Perkawinan pada suatu masyarakat biasanya diikuti beberapa rangkaian acara dan upacara adat. Acara dan Upacara adat suatu perkawinan masing – masing sering ditemukan adanya perbedaan-perbedaan meskipun tidak bersifat prinsip.

Pelaksanaan pernikahan atau perkawinan pada masyarakat Muna, selalu disesuaikan dengan hari yang baik (gholeo metano), yang ditentukan secara bersama malalui musyawarah oleh utusan kedua belah pihak. Penentuan hari baik ini juga biasanya dengan meminta bantuan orang–orang yang pandai atau telah berpengalaman dalam hal ini. Orang yang telah berpengalaman dalam hal penentuan hari baik ini disebut pande kotika.

Terjadinya suatu perkawinan dalam masyarakat Muna pada dasarnya mempunyai suatu proses dan upacara tertentu yang harus dan mutlak untuk dilaksanakan sebab telah menjadi ketentuan hukum adat perkawinan dan telah menjadi tradisi masyarakat Muna. Dalam proses pelaksanaan perkawinan di daerah Muna tidak dapat dianggap remeh dan harus ditaati karena perkawinan itu menurut keterangan La Ode Sabora bahwa: “Dalam menghadapi perkawinan baik pihak calon suami istri maupun keluarga kedua belah pihak ada dua jalan yang ditempuh yakni, “Selamat atau mati” dan juga dalam membicarakan adat perkawinan mudah tetapi sulit, tetapi mudah (momuda maka nohali, nohali maka nomuda)” (Arifin 27 Januari 2010).

Salah satu tahapan pelaksanaan perkawinan dalam adat Muna yaitu proses pelamaran. Pelamaran dapat dilakukan jika sudah ada persetujuan dari pihak perempuan. Pada tahapan ini langkah pertama yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari pihak laki-laki, yaitu menghubungi orang tua pihak perempuan bahwa

(3)

129 mereka akan berkungjung kerumah orang tua perempuan melalui juru bicara adat.

Setelah itu bila orang tua perempuan bersedia untuk menerima kedatangan mereka, keluarga pihak laki-laki bersama juru bicara adanya berkunjung kerumah orang tua perempuan tersebut dengan membawa sebuah bungkusan yang merupakan

“kabintingia” (talang kecil persegi empat).

Isyarat untuk mengetahui diterima atau tidaknya suatu lamaran dapat dilihat dari isyarat kabintingia, bila kabintingia dikembalikan dalam posisi terbuka diatas maka menyimbolkan diterimanya lamaran dan jika terjadi sebaliknya (terlungkup) menyimbolkan penolakan.

Prosesi ini suatu saat akan mulai berkurang dalam perkawinan. Asumsi ini berdasarkan kenyataan yang terjadi saat ini pada masyarakat Muna di Kecamatan Kabawo. Generasi muda sudah mulai lupa dengan adat–adat yang mesti ditunaikan dalam upacara pernikahan. Pengaruh media berupa televisi, majalah, hand phone daan sebagainya memberikan peluang yang besar dalam menggeser peran–peran adat dalam pernikahan. Kemudahan–kemudahan dalam menjalin hubungan antar lelaki dan wanita yang dipertontonkan oleh media masa, turut mempengaruhi gaya hubungan antar lelaki dan wanita. Sehingga dalam proses menuju pernikahan, ada hal–hal yang dilewatkan seperti peminangan, kafena, dan lain sebagainya.

Berdasarkan beberapa pernyataan yang telah diuraikan diatas meninjukan bahawa kabintingia memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah proses pernikahan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian secara teoritik dengan judul “Perubahan Makna dan Nilai Fitu Kabintingia Dalam Proses Pernikahan Pada Orang Muna”

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian sejarah dimana dalam penelitian ini mempunyai inti pokok meliputi heuristik (pengumpulan sumber), kritik, historiografi (Helius Sjamsuddin, 2012:96). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ilmu – ilmu sosial dengan menekankan pada aspek strukturalnya (Sartono Katodirdjo, 1992:123).

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa sumber lisan, sumber tertulis, dan sumber visual.

Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur sejarah yang dikemukakan oleh Helius Sjamsuddin (2012: 96) yaitu sebagai beriku (1) heuristik

Yang diklasifikasi menjadi empat macam juga telah digunakan dalam penelitian ini yaitu pengamatan, wawancara, studi dokumen, dan tudi kepustakaan.(2) Kritik sumber yang bertujuan untuk mengetahui otentitas (keaslian) dan kredibilitas (kebenaran) data yang telah dikumpulkan. Sehubungan dengan ini maka dilakukan kritik ekstern dan kritik intern, (3) historiografi yaitu tahapan penulisan hitoriografi mencangkup penafsiran (interpretasi). penjelasan (Eksplanasi). penyajian (Ekspose).

HASIL PENELITIAN

Prosesi, Makna dan Nilai Fitu Kabintingia Dalam Proses Perkawinan Masyarakat Muna

1. Proses Fitu Kabintingia Dalam perwakinan di Muna

(4)

130 Proses perkawinan pada adat muna khususnya sistim perkawinan angka nemata (sistim perkawinan melalui jalur pelamaran secara terbuka) adalah salah satu perkawinan yang memiliki tahapan-tahapan tersendiri, dan melalui proses adata yang sistematis. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung yang dilakukan pada kegiatan adat perkawinan sebelum ijab dan kabul serta resepsi maka para pemuka adat khususnya kedua mempelai melakukan suatu proses adat yang syakral yang disebut dengan fitu kabintingia, biasa juga disebut dengan fitu langku-langku yaitu tujuh tahapan-tahapan, yang mana setiap tahapan tersebut ada bingkisan, bingkisan ini disebut dengan “kabintingi” sedangkan proses untuk memberikan bingkisan-bingkisan tersebut disebut dengan istilah “Kabintingia”.

Kabintingi dipahami sebagai simbol yang memiliki kesakralan setiap tahapannya. Dalam sesi penyerahan dan penerimaannya pun syarat dengan simbol apakah lamaran tersebut diterima atau tidak. Begitulah setiap komunitas masyarakat meletakkan dan mendesain adatnya. Geertz dalam Sobur (2004 : 178) menyatakan bahwa titik sentral rumusan kebudayaan terletak pada simbol, bagaimana manusia berkomunikasi lewat simbol. Simbol terbentuk melalui dinamisasi interaksi sosial yang diwariskan secara historis, bermuatan nilai-nilai dan simbol acuan wawasan pemberi petunjuk bagi warga budaya tertentu dalam menjalani hidup, sekaligus media pesan berkominikasi.

Pandangan Geertz tersebut cukup relevan dengan realitas kebudayaan masyarakat muna, khususnya pada tatanan kebudayaan dalam prosesi perkawinan.

Prosesi perkawinan merupakan rumusan kebudayaan yang telah disepakati bersama oleh para pemangku adat dan sudah merupakan realitas sosial yang dianut oleh masyarakata muna pada umumnya dalam proses perkawinan.

a. Kantaburi

Menurut penuturan salah seorang informan La Kolu (Wawancara 31 Oktober 2015), kantaburi berasal dari kata taburi artinya tindis, namun sebenarnya kantaburi adalah kafeena kedua namun tidak ada cincin emas lagi. Kataburi dalam hukum adat perkawinan adalah suatu pertanyaan yang ditujukan kepada orang tua pihak perempuan yang dipinang dengan maksud untuk meminta persetujuan atas diterimanya kafeena oleh anak gadisnya yang dipinang. Pihak laki-laki yang telah serius membuktikan keraguan dengan membawah tanda sara dalam bentuk uang. Uang diberikan kepada ayah perempuan. Uang tersebut diserah terimakan oleh masing-masing perwakilan juru bicara adat. Pemberian uang bertujuan untuk mengukuhkan kesediaan calon mempelai perempuan dalam menerima lamaran. Kantaburi biasa juga disebut kaeenano kamukula, sedangkan jumlah uang diberikan adala 2 (dua) kali lipat dari jumlah uang kafeena kabhetano pongke. Kantaburi nilainya berdasarkan strata sosial yaitu 10 bhoka keturnan kaumu, 4 bhoka keturunan walaka 1 bhoka keturunan anangkolakihi, 2 suku keturunan maradika bagi masyarakat Muna.

Dalam penyampaian kata-kata para tokoh adat laki-laki mengutarakan kalimat dengan nada santun yang disamapaikan dalam prosesi kantaburi sebagai berikut:

Aini ingka ahendeghomo aefoampe kantaburi ini datumarimaemo. Artinya:

Sekarang saya menunaikan kantaburi mohon diterima. Perwakilan perempuan menjawab: Umbe tatarimaemo. Artinya: Ya, saya terima.( La Kolu,Wawancara, 31 Oktober 2015).

b. Paniwi. .

(5)

131 Menurut penuturan salah seorang informan La Tia (Wawancara 30 Oktober 2015), pelaksaanaan paniwi dapat melalui dua jalan sifat pengadaanya, yaitu berupa barang atau hasil bumi yang dapat pula dibayar dengan uang yang diserahkan kepada pihak perempuan. Urutan dalam memikul paniwi adalah buah pinang berjalan lebih awal dari pikulan lainnya dan terakhir adalah tebu.

Paniwi ditunaikan berurutan dengan puro-puro. Urutannya diatur oleh pelaku adat senior yang mengetahui urutan paniwi, karena dalam adat Muna segala sesuatu yang akan ditunaikan harus berjalan dengan ketentuan adat, sehingga tidak terjadi kesimpang siuran dalam prosesi adat. Menurut pernyataan infoman bahwa:

Paniwi mengandung makna filosofi bahwa pinang memiliki kelebihan didalam hidupnya dibandingkan dengan tanaman lain, batangnya tetap lurus walaupun hidup ditengah-tengah pohon yang lain, sehingga dari makna filosofi itu diharapkan agar kedua calon mempelai akan memiliki kejujuran dalam menempuh hidup bermasyarakat. Selain itu, pinang memiliki rasa yang pekat-pekat yang mengandung makna bahwa membangun rumah tangga harus siap bersusah-susah dahulu, dan mudah-mudahan dapat berakhir denga tebu, yang rasanya manis, sehingga keluarga manis dan dapat menjadi kebanggaaan bagi keluarga besar anak-anak.

Maka makna filosofi tesebut diatas menjelaskan agar kedua calon mempelai memiliki kejujuran dalam menempuh hidup, baik dalam rumah tangga, berbangsa dan bernegara.

c. Lolino ghawi, Kaokanuha dan Kafoatoha

Menurut penuturan salah seorang informan La Kolu (Wawancara 31 Oktober 2015), biasanya Lolino ghawi, Kaokanuha dan Kafoatoha diserahkan secara bersamaan setelah adhati bhalano diterima. Penyerahan ini dilakukan sekaligus karena masing- masing merupakan bentuk penghargaan terhadap jasa yang dilakukan kepada kedua mempelai, baik mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan.

Lolino ghawi (pengganti pengakuan) makna filosofinya adalah berupa uang yang ditujukan sebagai simbol pengganti jerih payah ibu selama memelihara anaknya dari kecil hingga dewasa dan sekarang sudah akan berpisah. Kaokanuha (mengenakan pakaian) maknanya adalah uang yang diberikan untuk membayar jasa orang yang mengenakan pakaian pengantin dan orang yang memberikan nasehat kepada calon mempelai perempuan.

Kafoatoha (pengantar) maknanya uang yang diberikan kepada simbol pembayaran orang-orang yang telah mengantar. Setelah penyerahan ini, maka ketiga jenis adat tersebut akan diserahkan kepada yang berhak menerimanya, yaitu ibu mempelai perempuan (lalino ghawi), penghias pengantin dan pengantar.

Pelaksanaan kegiatan lolino ghawi ini menurut informan menyatakan lolino ghawi diberikan kepada ibunya. Adapun tuturan yang digunakan dalam prosesi ini adalah:

Aini ingka tatumandughoomo lolino ghawi, kaokanuha, kafaatoha, tolukabhintingia,

“tamaka tafoseisemo, aitu ingka datumarimaemo. Artinya: Sekarang kami menunaikan lalino ghawi, kaokanuha, kafoatoha, yang sebenarnya terdiri atas bagian adat, tetapi kami satukan, mohon diterima. Pelaku adat perempuan menjawab: Umbe tatumarimaemo. Artinya: ya kami terima.”(La Fiinu, Wawancara,1 November 2015)

d. Adhati balano/Sara-sara

(6)

132 Menurut penuturan salah seorang informan La Kolu (Wawancara 31 Oktober 2015), adhati balano atau biasa disebut kaowano bhea artinya penganugerahan mahar yang dalam bahasa muna disebut sara-sara yang berarti syarat pokok untuk syahnya pelaksanaan pernikahan bagi kedua mempelai menurut syariat agama islam. Oleh karena itu, sara-sara biasa disebut adhati balano. Besarnya ketetapan adat adhati balano sesuai dengan kedudukan dalam lapisan sosial pada masyarakat muna.

Simbol mas kawin pada masyarakat muna dalam perkawinan memakai istilah kaowano bhea. Kaowano bhea merupakan suatu simbol yang diambil dari sejenis tanaman pinang. Penetapan adat mas kawin pada masyarakat muna untuk setiap golongan adalah sebagai berikut :

1. Golongan kaomu dengan mas kawin 20 bhoka (raafulu bhoka).

2. Golongan walaka dengan mas kawin 10 bhoka 10 suku (ompulu bhoka ompulu suku).

3. Golongan anangkolaki dengan mas kawin 7 bhoka 2 suku (tolu bhoka rasukuhano).

4. Golongan maradika dengan mas kawin 3 bhoka 2 suku (tolu bhoka rasukuhano).

Dalam upacara tersebut, kepala adat dari pihak laki-laki mengutus satu pasangan dari anggotanya, untuk memulai prosesi adat selanjutnya. Yang bisa disebut dengan katandughono adhati bhalano. Pasangan pelaku adat yang diutus dalam upacara tersebut, kepala adat dari pihak laki-laki mengutus satu pasangan dari anggotanya, untuk memulai prosesi adat selanjutnya. Yang bisa disebut dengan katandughono adhati bhalano. Pasangan pelaku adat yang diutus oleh piahak laki-laki meminta izin kepada ketua adat perwakilan, untuk segerah mengahadap kepada pasangan pelaku adat pihak perempuan. Manurut Informan dengan menggunakan bahasa dengan nada santun adalah:

“Aini ingka tahendeghoomo taefoampe adhati balano ini, datumarimaemo. Artinya:

Sekarang kami mengantarkan untuk menyelesiakan pokok adat, mohon kiranya diterima. Kepada adat pihak perempuan sebelum menerima adat yang ditunaikan, terlebih dahulu memastikan jumlah mahar yang ditunaikan tersebut. Untuk memastikan jumlah mahar, ketua adat menanyakan jumlah mahar kepada pasangan pelaku adat yang menunaikan sebagai berikut. Sehae bhra ini kabharino? Artinya: Berapa kira-kira jumlahnya”? ( La Kolu, Wawancara, 31 Oktober 2015)

Dalam menunaikan adhati balano delegasi pihak laki-laki terdapat jumlah mahar yang disebutkan oleh pelaku adat pihak laki-laki sudah sesuai dengan ketentuan adat, maka mahar yang ditunaikan diterima oleh pelaku adat pihak perempuan.

Ketentuan adat yang dimaksud jumlah mahar yang sesuai dengan kedudukan calon mempelai laki-laki dalam struktur sosial. Namun, dalam upacara ini tidak ditentukan kemungkinan terjadi perbedaan yang sangat serius.

Hal tersebut dapat terjadi karena mahar yang ditunaikan tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh masing-masing pelaku adat. Oleh sebab itu, untuk menjadi seorang pelaku adat dalam perkawinan, dia harus mengetahui garis keturunan calon mempelai perwakilannya.

Dalam perkawinan Suku Muna sering terjadi perselisihan dalam penyelesaian adhati balano, karena masing-masing pelaku adat bertahan kepada pengetahauan mereka. Untuk menyelesiakan perselisihan tersebut, maka dibutuhkan peran dari seorang kepala adat yang dianggap banyak memilki pengerahuan tentang adat Muna.

Jika perselisihan tidak terselesaikan juga, adat pernikahan tersebut dikembalikan

(7)

133 agama. Mahar ditunaikan hanya berkisar pada sebiji Al-Qur’an, dan seperangkat alat shalat. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat informan yang menyatakan:

Bahwa filosofi kehidupan orang Muna yaitu:

“Hansuru badha sumanono konohansuru liwu, hansuru liwu sumanomo konohansuru adhati sumanomo konohansuru agama. Artinya: Hancur hancurlah badan kita asal jangan hancur adat, hancur adat asal jangan hancur agama.”( La Kolu, Wawancara, 31 Oktober 2015).

e. Penyerahan adat Matano Kenta

Menurut penuturan salah seorang informan La Fiinu (Wawancara 1 November 2015), para leluhur menyebutkan uang penghormatan bagi bagi para delegasi dengan istilah matano kenta (mata ikan), hal ini disimbolkan karena ikan memiliki kelebihan yakni ikan tidak pernah tidur, tidak penah berkedip selalu terbuka matanya sampai kapanpun selagi masih berwujud.

Matano kenta sebagai salah satu istilah dalam adat perkawinan masyarakat muna dengan mengadopsi makna kehidupan ikan yang tidak pernah terkontaminasi dengan asinnya air laut. Dari filosofi tersebut menyimbolkan bahwa kedua mempelai diharapkan mampu menyesuaikan diri dan tidak terkontaminasi dengan kondisi dan dinamika kehidupan masyarakat yang tidak menguntungkan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

f. Kakawi

Sebelum acara ijab Kabul dilaksanakan pembacaan AL Quraan telebih dahulu yang dibacakan oleh calon pengantin pria. Hal ini dilakukan sebagai harapan ketika kedua pengantin hidup dalam rumah tangga sendiri, pengantin pria menjadi suami yang baik.,teladan yang baik serta mampu menjadi imam dalam keluarga. Kemudian dilangsungkan dengan upacara khutbah nikah oleh pelaku adat yang dipercayakan oleh keluarga besar, dan kursus ijab Kabul. Kursusu ijab Kabul diucapkan oleh penghulu, sedangkan ijab Kabul diucapkan oleh penghulu sebagai berikut:

“Bismillahirohmanirrahim gholeitu ini awalighoo pak Laode.. dosakusiane ompulu rafuluno, ihintu Laode.., bin Laode…amonikako bhe wa..binti Laode.. beano roafulu bhoka, sabhabuno allah wataalla.” (La Fiinu,Wawancara, 1 November 2015).

Bismillahirohmanirrahim pada hari ini, saya mewakili bapak Laode.., disaksikan oleh seluruh keluarga besar, saya akan menikahkan saudara Laode..bin..dengan perempuan bernama Wa., dengan masa kawin 20 BM, karena Allah taala.

Pengantin pria menjawab: Atarimaemo sakawino Wa.., binti Laode, kaowano bhe ruafulu bhoka sabhabuno allah taala. Artiya saya terima nikahnya Wa..binti Laode.., dengan mas kawin dua puluh (20 BM) karena allah taala. Dengan berakhirnya ijab Kabul, hubungan dua mempelai dinyatakan sah menjadi suami istri. Pengantin laki-laki sudah di izinkan untuk menjemput istri kedalam kamarnya. Setelah suami pasangan istri baru ini duduk kembali ditempat yang telah disediakan, upacara selanjunya dapat dilaksanakan yaitu pembacaan talik.

g. Kafosulino katulu

Menurut penuturan salah seorang informan Salidin (Wawancara 3 November 2015), kafosulino katulu berarti kembali menapaki jejak semula, yang dimaksudkan

(8)

134 disini adalah pengantin baru ditemani oleh pelaku adat dari pihak perempuan yang mengantar dan pihak laki-laki yang menerima kembali lagi, untuk bersama-sama kerumah mempelai perempuan mengikuti jejak yang sudah dilewati.

2. Nilai Fitu Kabintingi Dalam Proses Perkawinan Masyarakat Muna

Pemaknaan kabhintingia mulai dari bentuk proses dan perlakuan masing – masing mengandung nilai filosofi, yakni 1) kabhintingia sebagai simbol harapan kedepan terhadap keluarga yang akan terbentuk dapat menjaga kerahasiaan rumah tangga yang hanya boleh diketahui oleh suami istri, dapat juga terekspos pada tingkat jajaran keluarga apabila suami istri tidak dapat memecahkan sendiri, 2) makna tertutup adalah untuk mentupi segala kekurangan yang dimiliki oleh pihak laki-laki misalnya materi. Oleh karena itu, dulu pantang untuk membuka kabhintingia ditengah delegasi kedua belah pihak tetapi mereka cukup mengetahui sebatas sesuai dengan ketentuan adat (La Fiinu, wawancara 5 November 2015)

Salah seorang informan yang merupakan tokoh adat di Kecamatan Kabawo (La Tia, wawancara 7 November 2015) menuturkan bahwa nilai sosial pernikahan/perkawinan pada masyarakat muna dapat disimbolkan pada proses pelaksanaan acara penyelesaian adat perkawinan yaitu sebagai berikut:

a. Penyelesaian mahar yang disampaikan kehadapan delegasi dengan menggunkan sehelai kain yang tertutup adalah keberhasilan rumah tangga yang harus dijaga.

b. Bahasa adat yang dipergunkan adalah bahasa halus baik pelaku adat maupun harapan keturunan dari perkawinan.

c. Rangkaian akhir dari perkawinan yaitu acara kasambu (saling menyuapkan nasi) adalah symbol kasih saying.

d. Rangkaian pelaksanaan perkawinan merupakan upaya untuk mempertahankan adat istiadat sehingga dalam prosesnya senantiasa dikembalikan pada masa lampau yang telah disepakati oleh dewan sara.

3. Makna Pelaksanaan Adat Perkawinan Masyarakat Muna

Selanjutnya simbolis dan makna pelaksanaan adat perkawinan masyarakat Muna yang terdiri dari 7 tahap yaitu:

a. Pelaksanaan adat pertama yaitu Adhati balano simbonya uang adat, maknanya yaitu pembayaran uang adat/mahar dari pihak laki-laki, hal tersebut berdasarkan strata sosial yang dimana 20 bhoka keturunan kaumu, 15 atau 10 bhoka keturunan walaka, 7 bhoka keturunan anangkolakihi, 3 bhoka keturunan papara. (sumber Lengko Umar, hal 1995: 7)

b. Pelaksanaan adat kedua yaitu kantaburi yang bersimbol pembayaran uang maknanya memberikan uang sebesar 10 bhoka keturunan kaumu, 4 bhoka walaka, 1 bhoka anangkolakihi, 2 suku Maradika kepada tokoh adat yang menyaksikan proses pemberian kafeena berupa bingkisan yang dilakukan oleh mempelai pria kepada gadis atau mempelai wanita, maka tokoh adat menyatakan kepada tokoh adat dari wanita kepada pihak laki-laki sudah diterima. (La Kolu, Wawancara, 31 Oktober 2015).

c. Pelaksanaan adat ketiga yaitu pembayaran paniwi yang bersimbol membawa hasil bumi atau uang dalam bentuk bhoka berupa bahan pangan seperti: beras, telur, gula, kelapa tua, ayam, ubi-ubian, dan buah-buahan seperti pisang, langsat, mangga dll, segala macam buah dan harus dalam bentuk pikulan, dan maknanya yaitu yang memikul adalah pihak saudara pemuda yang akan kawin, yang dimana

(9)

135 menggambarkan kesungguhan keluarga besar dan uang apabila hal tersbut dianggap berat maka digantikan dengan uang sebesar 5 bhoka keturunan kaumu, 3 bhoka keturunan walaka 5 suku keturunan anagkolakihi 5 tali keturunan maradika . (sumber Lengko Umar, hal 1995 : 7)

d. Pelaksanaan adat keempat lolino ghawi terjadi saat meninggalkan rumahnya, maka ibu gadis tersebut diberikan uang yang disebut lalino ghawi maknanya pengantin menggendong sejak lahir. Istilah zaman dahulu, diistilahkan “lalino bheta” artinya penggantian sarung ibunya sebab rusak akibat dikencingi dan diberaki oleh anak diwaktu kecilnya. Maksudnya pemberian uang dari mempelai laki-laki kepada ibu mempelai perempuan yang telah membesarkannya anak perempuannya dari kecil sampai dewasa. Uang tersebut tidak dipatokan tetapi uang tersebut berupa keihlasan dari kedua mempelai. (Sumber : lengko umar , 1995: 7)

e. Pelaksanaan adat kelima Matano kenta yang simbonya mata ikan yang selalu terbuka biar dimasak yang bermakna bahwa setiap awal perkawinan para toko adat selalu melihat perkembangan setiap jalannya perkawinan dan dalam acara matano kenta juga diberikan penghargaan kepada toko adat baik dari keluarga perempuan maupun keluarga laki-laki sebesar 10 % dari mahar itu sendiri.

f. Pelaksanaan adat keenam Kakawi yang bermakna harapan ketika kedua pengantin hidup dalam rumah tangga sendiri, pengantin pria menjadi suami yang baik.,teladan yang baik serta mampu menjadi imam dalam keluarga yang bertujuan agar pasangan suami istri yang baru ini mendapat ridho dari Allah, mendapat perlindungan dari Allah, tidak ada hambatan, dan melepas mereka.

g. Pelaksanaan adat ketujuh Kafosulino katulu yang bersimbol Uang yang maknanya rasa terimah kasih yang telah mengantar mempelai wanita kerumah suaminya untuk diselenggarakan proses pensucian diri berupa uang sen yang ditaruh dipiring kaca yang bermakna sebagai lambang pensucian diri kedua mempelalai sebelum melakukan hubungan suami istri dan baju adat ,sarung muna bermakna sebagai peresmian kedua mempelai sudah dinyatakan orangtua dalam hal ini sudah menjadi bapak dan ibu bukan lagi kalambe dan moghane artinya bukan anak mudah dan cewe lagi (la Bhidu tanggal Wawancara1 November 2015). Dengan demikian simbol dan makna tentunya berbeda-beda dan memiliki makna tersendiri.

Perubahan Yang Terjadi Pada Fitu Kabhintingia Dalam Proses Perkawinan Masyarakat Muna

Dalam masyarakat, kita lihat sering terjadi perubahan atau suatu keadaan dimana perubahan tersebut berjalan secara konstan. Perubahan tersebut memang terikat oleh waktu dan tempat, akan tetapi sifatnya yang berantai, maka keadaan tersebut berlangsung walaupun kadang-kadang diselingi keadaan dimana masyarakat yang bersangkutan mengadakan organisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena proses perubahan tadi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dampak perubahan yang paling memperbaharui kehidupan manusia.

Dimana dengan adaanya perkembangan perubahan disegala bidang tersebut menyebabakan manusia meninggalakan pola-pola kehidupan tradisional menuju kehidupan yang maju dan modern. Apalagi dalam era globalisasi saat ini bidang ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, bidang perekonomian, dan lain sebagainya, menimbulkan pengaruh yang besar terhadap perubahan kebudayaan namun perlu kita sadari bahwa perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya membawa kemajuan tetapi juga akan membawa dampak negatif, dimana terjadinya perubahan-perubahan

(10)

136 nilai sosial dan norma-norma yang sebelunya dijadikan pedoman manusia untuk berprilaku mengalami perubahan sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan dalam masyarakat.

Perubahan tersebut juga dialami oleh masyarakat Muna di Kecamatan Kabawo pada khususnya, yang mana nampak perubahan makna dan nilai fitu kabintingia dalam adat perkawinan Masyarakat Muna. Berdasarkan informasi yang diperoleh di Kecamatan Kabawo ini tradisi perkawinan masyarakat Muna sudah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan perkembangan. Walaupun tradisi ini terlihat lebih ketat dijalankan di Kecamatan kabawo daripada dil luar wilayah ini. Seperti telah dijelaskan, meskipun terjadi perubahan dan variasi dalam adat dan tradisi tersebut tetapi perkawinan pada masyarakat Muna di Kecamatan Kabawo sebagian masih mengikuti tradisi dan sebagaimana dinyatakan oleh La Suudha (Wawancara 15 November 2015) menerangkan sebagai berikut, Pada saat sekarang sudah jauh berbeda pelaksanaan adat perkawinan sesuai dengan kemajuan zaman. Sudah banyak orang Muna tidak lagi mengisi acara ini dengan musik adat (mbololo/ganda). Adat ini sudah banyak penyesuaiannya, tidak seketat adat dahulu.

Pandangan yang sama tentang perkawinan pada masyarakat Muna di Kecamatan Kabawo yanga diungkapkan oleh La Kutu (Wawancara 16 November 2015) di bawah Gambarannya dahulu memakai adat tradisional dan sekarang sudah memakai cara yang sesuai dengan kemajuan zaman. Seperti pada proses pembawaan kabhintingi itu sendiri pada zaman dahulu kabhintingi ini ditempatkan pada talang yang berbentuk persegi panjang, seiring perkembangan zaman semua itu telah berubah yang sekarang ini kabhintingi telah tempatkan pada sebuah piring. Pada umumnya mereka memakai sebagian adat istiadat kampong halaman dan ditambah dengan acara yang sesuai dengan kondisi di mana mereka tinggal atau berdomisili.

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Perubahan pada Fitu Kabintingi dalam Perkawinan Masyarakat Muna

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan sosial didalam masyarakat yaitu factor internal dan factor eksternal yang mempengaruhi perubahan social yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

a. Faktor Internal

Faktor Internal (faktor dalam) adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam masyarakat itu yang menyebabkan timbulnya perubahan pada masyarakat itu sendiri baik secara individu, kelompok ataupun organisasi. Berikut ini sebab-sebab perubahan sosial yang bersumber dari dalam masyarakat (sebab intern).

Dinamika penduduk, yaitu pertambahan dan penurunan jumlah penduduk.

Pertambahan penduduk yang sangat cepat akan mengakibatkan perubahan dalam struktur masyarakat, khususnya dalam lembaga kemasyarakatannya. Dalam fitu kabintingi pada proses perkawinan masyarakat Muna sekarang ini telah mengalami perubahan, hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Menurut Tokoh Masyarakat mengemukakan bahwa pengaruh perilaku keluarga, baik keluarga laki-laki maupun keluarga perempuan. Perkembangan dan pertambahan penduduk sangat berperan dalam perubahan tersebut. Perilaku pihak keluarga dalam hal mengenai kurangnya kesadaran untuk mengetahui salah satu pelengkap adat perkawinan yaitu kabintingi yang sesungguhnya, kurangnya simpatik pada makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam

(11)

137 fitu kabintingi pada proses perkawinan msyarakat Muna. (La Suudha, Wawancara 15 November 2015).

Sesuia hasil wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat (Salidin, Wawancara 17 November 2015) diperoleh data bahwa, masyarakat sekarang sudah banyak mengalami perubahan yang sudah jauh berbeda dengan zaman dahulu. Oleh karena itu, mengikuti perkembangan zaman Masyarakat Muna Khususnya Kecamatan Kabawo tidak dapat menutup mata dengan perkembangan sekarang baik itu dari segi pola piker, pola hidup, pertemuan dengan budaya lain, pendidikan, dan ekonomi.

b. Faktor Eksternal

Selain faktor internal, pada masyarakat juga dikenal \faktor eksternal. Faktor Eksternal atau faktor luar adalah faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat yang menyebabkan timbulnya perubahan pada masyarakat. Begitu pula yang terjadi dalam lingkungan masyarakat di Kecamatan Kabawo. Berikut adalah factor yang bersal dari luar masyarakat yang terdiri dari:

 Pengaruh Pola Hidup Modern

Pengaruh pola hidup modern mengakibatkan melemahnya perpaduan nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai tradisional yang dulu dianggap baik dan benr sebagai pranata social. Hal itu tampak dari sikap dan mentalitas warga masyarakat yang selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan tuntutan masa kini.

Dengan keinginan masyarakat tersebut norma-norma adat akan pudar, sehingga mengakibatkan persepsi masyarakat tentang adat perkawinan akan beragam sehingga terjadi beda pandangan yang tentu mengarah pada perubahan adat perkawinan. Oleh karena itu, perubahan makna dan nilai fitu kabintingi dalam proses perkawinan pada masyarakat Muna di Kecamatan Kabawo merupakan bagian dari akumulasi pola hidup modern.

 Sosial dan Kebudayaan

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya pola piker masyarakat dengan sendirinya kebudayaan yang telah lama dilakoni melalui warisan nenek moyang akan terlupakan. Demikian halnya dengan Masyarakat Muna di Kecamatan Kabawo yang mana budaya adat perkawinan khusunya dalam fitu kabintingi yang mana budaya adatnya mulai terkikis. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pembinaan tentang budaya perkawinan Masyarakat Muna. Salah seorang tokoh mengemukakan bahwa generasi mudah jawan sekarang sudah tidak paham tentang budaya-budaya warisan nenek moyang karena mereka tidak pernah diberi pendidikan atau penyuluhan mengenai arti dan makna budaya tersebut. (La Kolu, Wawancara 17 November 2015).

 Adanya Percampuran Suku dan Perkawinan Campuran

Menurut salah seorang informan di Kecamatan Kabawopenduduknya heterogen dimana suku Muna Sebagai penduduk asli telah bercampur baur dengan suku lain. Hal ini dapat memberikan pengaruh dan dampak terhadap nilai-nilai adat Masyarakat Muna, selain itu pula secara tidak langsung tatanan kebudayaan yang ada di Kecamatan Kabawo mengalami perpaduan budaya meskipun tidak mengalami intervensi yang terlalu signifikan.

(12)

138 KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik Perubahan makna dan nilai – nilai yang terkandung dalam fitu kabintingiA pada perkawinan orang muna yaitu sebagai berikut:

Pertama, Prosesi Kabintingia dalam proses perkawinan masyarakat Muna dikenal denga tujuh tahapan (tujuh langku-langku) sehingga itu disebut dengan fitu kabintingia yaitu kantaburi, paniwi, Lolino ghawi, Kaokanuha dan Kafoatoha, Adhati balano (sara-sara), matano kenta, kakawi, dan kafosulino katulu. Ketuju seserahan tersebut memiliki makna dan nilai tersendiri. Nilai yang ada dalam prosesi tersebut cukup mendalam dan luas khususnya nilai filosofis, nilai sosial dan nilai religi.

Kedua, Perubahan yang terjadi pada fitu kabintingi dalam proses perkawinan masyarak Muna yaitu: Perkawinan masyarakat Muna sudah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan perkembangan. Khususnya pada fitu kabintingi dimana pada zaman dahulu kabintingi ini ditempatkan pada talang yang berbentuk persegi panjang, seiring perkembangan zaman semua itu telah berubah yang sekarang ini fitu kabintingi telah tempatkan pada sebuah piring.

Ketiga, Faktor yang menyebabkan perubahan makna dan nilai fitu kabintingi dalam perkawinan masyarakat Muna di Kecamatan Kabawo yaitu terdiri dari dua faktor yaitu pertama faktor internal yang terdiri dari; (1) Pengaruh perilaku masyarakat dan (2) Perubahan penduduk. Kedua faktor eksternal yaitu; (1) Pengaruh pola hidup modern, (2) Pengaruh social dan Kebudayaan, dan (3) Adanya percampuran suku dan perkawinan campuran

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, cet.1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).

Hal. 101.

Abd. Rahman, Fiqih Mazabih al arba’ah, Juz.IV, (Mesir: al-Makatabah al Tajariyah al Kubra, 1969). Hal. 12

Dedi Mulyana, 2006. Komunikasi Antar Budaya. PT Remaja Rosdakarya: Bandung.

Fitria Mbalo. 2011. Makna Simbol Dalam Tata Cara Adat Perkawinan Meminang Pada Etnis Laporo. Uho. Kendari

Giddens, A. (2003b). The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan : Pedati

I.W. Koyan. 2000. Pendidikan Moral Pendekatan Lintas Budaya PGSM – IBRD Loan No. 3979. Dirjen Dikti: Jakarta

J. Couvreur, Sejarah dan Kebudayaan kerajaan Muna, Artha Wacana Press, Kupang, 2001.

Kartodirdjo, Sartono.1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.

Gramedia: Jakarta

Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Gunung Agung:

Jakarta

Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen Terlahir Kembali. Yogyakarta: Kreasi Wacana Meinarno, Eko A, dkk. 2011. Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta:

Salemba Humanika

Munandar Sulesman.1988.Ilmu Budaya Dasar. Bandung: Eresco

Peursen, van. 1988. Strategi Kebudayaan. Edisi Kedua. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

(13)

139 Rene Van Dan Berg. 2001. Sejarah Kebudayaan Kerajaan Muna. Raha.

Sapri, Andi.2014. Makna Simbolik Pada Tata Cara Perkawinan Angka Mata Masyarakat Muna. http://trisaktiindonesia.blogspot.com/2014/12/makna- simbolik-padatata-cara-perkawinan.html

Setiadi, Elly M, dkk. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kecana Soerjono Soekanto. 1988. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Soekanto, Sarjono.1981. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia.Kurnia Esa. Jakarta.

Sjamsuddin, Helius. 2012. Metodologi Sejarah. Ombak: Yogyakarta

Tolib Setiady, 2008. Intisari Hukum Adat di Indonesia (dalam kajian kepustakaan),Alfabeta, Bandung.

Umar Lengku. 1995. Bentuk dan Sistem Hukum Perkawinan Menurut Budaya Muna.

Raha

Referensi

Dokumen terkait

Cina dengan orang di luar kelompok mereka, terutama dengan penduduk pribumi ( Afif , 2012: 55 ) , tetapi yang terjadi pada waktu itu perkawinan - perkawinan antar kelompok..

Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat perkawinan batak toba, khususnya di kota medan.. Masuknya

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat dituntut untuk bisa beradaptasi dengan berbagai macam perubahan yang terjadi dalam aspek-aspek kehidupan.. Misalnya dalam

Perubahan sosial yang terjadi dengan adanya warnet café di Dusun Mrican Baru dapat dilihat dari sikap dan pola perilaku masyarakat yang semakin modern dan

Kemudian pada Miosen Akhir bagian atas terjadi dua kali perubahan lingkungan, yaitu di titik D dilakukan analisis pada batulanau, berdasarkan analisis terhadap foraminifera

Secara harfiah kata nilai mengandung makna sebagai sesuatu yang yang diyakini kebenarannya dan dianut serta dijadikan sebagai acuan dasar individu dan masyarakat

Pertama yang menjadi variabel dependennya yaitu CAR Y dan kedua yang menjadi variabel independennya adalah infromasi laba akuntansi yang diukur menggunakan perubahan earnings per share

Pada perkembangannya, di lingkungan masyarakat Kecamatan Mattiro Sompe dalam merespon dampak sosial yang terjadi atas perubahan batas Usia Perkawinan pada Undang- Undang nomor 16 tahun