6 2.1 Landasan Teori
Islam adalah dien (agama) atau way of life yang praktis, mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dengan tidak memper- masalahkan soal waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangan dari zaman ke zaman. Islam memandang bahwa hidup manusia di dunia ini hanyalah sebagian kecil dari perjalanan hidup manusia, maka itu Islam mengajarkan umatnya untuk selalu melakukan segala hal yang baik dan bermanfaat kapan saja dan dimana saja.
Islam juga mengajarkan cara ber-mu’amalah yang baik kepada umatnya, salah satunya adalah cara simpan menyimpan harta. Walaupun bank-bank Islam modern baru mulai didirikan pada tahun 1960-an, sebenarnya aktivitas perbankan telah dimulai sejak zaman kenabian. Nabi Muhammad Saw sebelum diutus menjadi Rasul telah dikenal sebagai al- Amin, artinya orang yang dipercaya. Karena kejujurannya itulah Nabi Muhammad dipercaya untuk menyimpan segala macam barang titipan (deposit) orang ramai. Dewasa ini, aktivitas keuangan dan perbankan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada dua macam praktek simpanan (deposit) yang diterapkan pada masa awal Islam, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad ad-dhamanah.
Dalam kegiatan penghimpunan dana BMT mempunyai beberapa produk,
yakni: wadi’ah dalam bentuk giro maupun tabungan, qardh atau pinjaman kebajikan, dan mudharabah atau bagi hasil dalam bentuk deposito. Akan tetapi karena terbatasnya waktu, pada kesempatan ini penulis hanya mengulas tentang wadi’ah sebagai berikut:
2.1.1 Pengertian Wadi’ah
Salah satu prinsip operasional syari’ah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah. Dalam bahasa Indonesia disebut titipan (Dahlan, 1996: 1899). Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dan merupakan perjanjian yang bersifat percaya- mempercayai atau dilakukan atas dasar kepercayaan semata (Lubis, 2000:49). Jadi, wadi’ah merupakan amanat yang harus ditanggung oleh yang dititipi dengan suatu urusan tabungan. Oleh karena itu, akad wadi’ah termasuk kategori akad yang bersifat kebajikan karena mengandung unsur tolong menolong antara sesama manusia di lingkungan sosialnya.
Wadi’ah secara etimologi berarti
ُهَظِف ْحَيِل ِهِكِلاَم ِرْيَغ َدْنِع َعِضُو اَم
“Memanfaatkan sesuatu di tempat yang bukan pada pemiliknya untuk dipelihara.” (Al-Jaziri, tth: 219)
Secara terminologi banyak ulama yang mendefinisikan wadi’ah, baik ulama mazhab maupun ulama kontemporer, antara lain:
Menurut ulama Hanafiyah:
ُطِّلَسُي
ًةَلَلاَد وَأ ًاحْيِرَص ِهِلَام ِظْفِح ىَلَع ُهَرْيَغ ٌصْخَش
“Mengikut-sertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas maupun melalui isyarat”. (Al-Jaziri, tth: 220)
Menurut Ulama Syafi’iyah yang dimaksud wadi’ah adalah:
ِعَدوُمْلا ِئْيَّشلا ِظْفِحِل ىَضَتْقُمْلا ُدْقَعلا
“Akad yang digunakan untuk menjaga sesuatu yang dititpkan.” (Al- Jaziri, tth: 220)
Selain para ulama mazhab, banyak juga para pakar dan ekonom yang memberikan definisi serta pengertian wadi’ah, antara lain:
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis (2006:69), dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian dalam Islam” memberikan pengertian mengenai wadi’ah bahwa penitipan barang (wadi’ah) adalah merupakan amanah yang harus dijaga oleh penerima titipan dan ia berkewajiban pula untuk memelihara serta mengembalikannya pada saat dikehendaki atau diminta oleh pemilik.
Wiroso (2005:20), dalam bukunya yang berjudul “Penghimpunana Dana & Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah” mengatakan bahwa wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya. Tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk menjaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan, kecurian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan barang di sini adalah suatu yang berharga di sisi Islam.
Heri Sudarsono (2004:57), dalam bukunya yang berjudul “Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, deskripsi dan Ilustrasi” memberikan
pengertian bahwa al-wadi’ah dari segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga, dari aspek teknis, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si pemilik kehendaki.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa wadi’ah adalah mengikut-sertakan dan mewakilkan barang pada orang lain dengan tujuan dapat dipelihara oleh orang yang dititipi sesuai dengan syara’ atau hukum. Prinsip yang ditawarkan dalam akad wadi’ah ini merupakan simpanan murni dari pihak yang menyimpan serta menitipkan barang atau uang miliknya kepada pihak yang dititipi sesuai dengan akad atau perjanjian yang sudah disepakati bersama (Ismail, 2011:59). Barang atau uang yang dititipkan disebut ida’ dan orang yang menitipkan disebut mudi’ dan orang yang menerima titipan disebut wadi’. Jadi, pengertian wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi’) untuk menjaga harta atau modal (ida’) dari kerusakan atau kerugian dengan harapan dapat dijaga agar titipan tetap aman (Sabiq, 1997:74). Berdasarkan prinsip tadi, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni yang dititipkan oleh pemilik kepada orang yang dipercayai untuk menjaga titipan, agar terhindar dari kehilangan atau hal-hal yang tidak diinginkan yang tentunya sesuai dengan hukum dan syarat yang disepakati bersama.
Dalam fiqh Islam prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip wadi’ah. Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam pasal 763 yang dimaksud dengan barang titipan (wadi’ah) adalah barang yang diserahkan kepada orang tertentu agar menyimpannya dengan baik dan aman (Djazuli, 2002:167).
Sedangkan menurut Peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia bab 1, pasal 1 ayat (5): Wadi’ah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Dalam praktek di dunia perbankan, model penitipan (wadi’ah) ini sudah lama dijalankan, termasuk diperbankan syari’at (Ridwan, 2004:107). Dalam kegiatan perbankan tentunya yang dimaksud pihak nasabah, yaitu pihak yang menitipkan uangnya kepada pihak bank, pihak bank harus menjaga titipan tersebut dan mengembalikannya apabila si nasabah meng- hendakinya.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wadi’ah merupakan amanat bagi pihak yang menerima titipan yang terkait dengan wadi’ah dan berkewajiban memelihara serta mengembalikan titipan tersebut apabila pemiliknya meminta kembali titipannya.
2.1.2 Dasar Hukum Wadi’ah
Wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan oleh satu pihak (pemilik) kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Dalam wadi’ah ulama fiqih sepakat menggunakan akad dalam rangka tolong-menolong sesama insan, disyari’atkan dan dianjurkan dalam Islam (Dahlan, 1996:1899).
Diantara landasan hukum yang bersumber pada wadi’ah adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampai-kan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanaya.” (Qs. an- Nisaa:58)
“…….jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)…..” (Qs. al-Baqarah: 283)
Berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan apabila dalam melakukan akad wadi’ah haruslah saling mempercayai dan berbaik sangka pada masing-masing pihak, yaitu tidak adanya penghianatan atau mengingkari hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Penerima titipan juga harus dapat menunaikan amanat yang diberikan penitip harta kepadanya sebaik mungkin. Penerima titipan harus dapat mempercayai dirinya sendiri bahwa ia sanggup menjaga harta titipan yang diserahkan kepadanya tersebut, karena makruh hukumnya terhadap orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada
dirinya sendiri bahwa ia dapat menjaganya. Selain itu apabila seseorang tersebut tidak kuasa atau tidak sanggup untuk menjaga harta titipan sebagaimana mestinya hukumnya haram, karena seolah- olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan tersebut.
2. Al-Hadits
ْنَع ٍسْيَق َو ٍكْيِرَش ْنَع ِمَانَغ ُنْب ُقْلَط َانَثَّدَح ٍبْيَرُك وُبَأ َانَثَّدَح َلاَق َلاَق َةَرْيَرُه ْيِبَأ ْنَع ٍحِلاَص ْيِبَأ ْنَع ٍنْيِصَح ْيِبَأ ُّيِبَّنلا
ْنَم ْنِخَت َلا َو َكَّنَمَتْئِإ ْنَم ىَلِإ َةَناَمَلأا ِّدَأ ملس و هيلع الله ىلص َكَناَخ ( يذمرتلا هاور )
“Abu Kuraib telah bercerita kepada kami, Tholqu bin Ghonam telah bercerita kepada kami dari Syarik, dan Qois dari Abi Hashin, dari Abi Sholih, dari Abi Hurairoh Ia berkata: Nabi Muhammad SAW Bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”. (at-Tirmidzi, t.th:564)
Berdasarkan hadits tersebut dapat disimpulkan orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangatbaik dan mengandung nilai ibadah juga mendapat pahala, disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi.
3. Ijma’
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsesus) terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Az- Zuhayly dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuh dari kitab al-Mughni wa
Syarh Kabir li Ibni Qudamah dan Mabsuth li Imam Sarakhsy (Perwataatmadja dan Antonio, 1992:17-19).
Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor di luar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadis, “Jaminan pertanggung-jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah-gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
4. Ketentuan Dewan Syari’ah Nasional (DSN).
Dalam fatwa Dewan Syari’ah Nasional ditetapkan ketentuan tentang tabungan wadi’ah, yaitu diatur dalam fatwa DSN No.
02/DSN-MUI/IV/2000, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bersifat simpanan;
b. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan;
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat suka rela dari pihak bank.
2.1.3 Rukun dan Syarat Wadi’ah
Adapun rukun dan syarat pada akad wadi’ah yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: (Institut Bankir Indonesia, 2001: 59-60)
1. Rukun Wadi’ah
Rukun merupakan hal yang sangat penting yang harus dilakukan, jika rukun tersebut tidak ada salah satu, maka akad Wadi’ah tidak sah. Wadi’ah mempunyai tiga rukun yang harus dilaksanakan. Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadi’ah menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:
a. Pihak yang berakad b. Obyek yang diakadkan c. Sighat ijab-qabul.
Menurut ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya termasuk syarat bukan rukun.
2. Syarat Wadi’ah
Sahnya perjanjian wadi’ah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Pihak yang berakad 1) Cakap hukum
2) Sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa/terpaksa di bawah tekanan.
b. Obyek yang dititipkan merupakan milik mutlak si penitip c. Sighat
1) Jelas apa yang dititipkan.
2) Tidak mengandung persyaratan-persyaratan lain.
2.1.4 Sifat Akad Wadi’ah
Ulama fiqih sepakat bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang berakad. Apabila seseorang dititipi barang oleh orang lain dan akadnya ini memenuhi rukun dan syarat wadi’ah, maka pihak yang dititipi bertanggung jawab memelihara barang titipan tersebut (Dahlan, 1996: 1900). Ulama fiqih juga sepakat bahwa status wadi’ah bersifat amanah, bukan dhaman (ganti rugi), sehingga seluruh kerusakan yang terjadi selama penitipan barang tidak menjadi tanggung jawab orang yang dititipi, kecuali kerusakan itu dilakukan secara sengaja oleh orang yang dititipi.
Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah disyaratkan orang yang dititipi dikenai ganti rugi atas kerusakan barang selama dalam titipan maka akadnya batal. Karena pada prinsipnya penerima titipan (wadi’) tidaklah dibebani pertanggungan akibat kerusakan barang titipan, karena pada dasarnya barang itu bukan sebagai pinjaman dan bukan pula atas permintaannya, melainkan semata-mata menolong penitip untuk menjaga barangnya. Akibat lain dari sifat amanah akad wadi’ah ini adalah pihak yang dititipi barang tidak boleh meminta upah dari barang titipan tersebut. Oleh karena itu, wadi’ berhak menolak menerima titipan atau membatalkan akad wadi’ah. Namun apabila wadi’
mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadi’ah ini berubah menjadi akad sewa (ijarah) dan mengandung
unsur kedhaliman. Artinya wadi’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadi’ tidak boleh membatalkan akad ini secara sepihak karena sudah dibayar.
2.1.5 Macam-Macam Wadi’ah
Secara umum ada dua jenis wadi’ah: wadiah yad al-amanah dan wadiah yad dhamanah. Kedua akad ini muncul dan ada, karena per- kembangan dari simpanan pada masa Rasulullah Saw yang mempunyai konsep awal sebagai suatu amanah, yang kemudian berubah menjadi pinjaman sebagaimana yang telah dilakukan oleh Zuber bin Awwam.
1. Wadi’ah yad al-amanah
Wadi’ah yad-amanah adalah titipan yang penerima titipan (wadi’) pada orang yang dipercayai dan dia tidak harus mengganti segala resiko baik kerusakan maupun kehilangan yang terjadi pada barang titipan, namun wadi’ harus mengganti kerugian apabila hal tersebut terjadi akibat kelalaian atau karena akadnya sudah berubah (Ascarya, 2013:42). Jadi, secara garis besar dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip wadi’ah yad-amahah menitik-beratkan pada si penerima titipan bahwa harta titipan tidak boleh dimanfaat- kan oleh yang dititipi (wadi’). Praktik semacam ini dalam perbankan berlaku akad safe deposit box atau kotak penitipan.
Gambar. 2.1
Skema Wadi’ah Yad Amanah
Skema di atas menjelaskan bahwa nasabah menitipkan barang kepada pihak BMT, kemudian pihak BMT memberikan ketentuan dengan akad wadi’ah yad amanah, dimana barang titipan tersebut tidak dapat dikelola. Karena pihak nasabah tidak mau barang titipannya dikelola/disalurkan kepada pihak ketiga. Jadi, pihak BMT dan nasabah menggunakan akad ini dengan konsekuensi nasabah dikenakan beban biaya penitipan atas barang tersebut. Dalam aktivitas perbankan tentunya titipan tersebut tidak disimpan begitu saja oleh perbankan. Akan tetapi, bank akan mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian dengan ketentuan bank menjamin sepenuhnya untuk mengembalikan titipan nasabah tersebut apabila dikehendakinya. Wadi’ah yad-amahah memiliki karakteristik:
a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
c. Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
Nasabah BMT
Titip barang
Beban biaya penitipan
d. Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe deposit box.
2. Wadiah yad dhamanah
Wadi’ah yad-dhamanah adalah titipan yang mana penerima titipan (wadi’) menerima kepercayaan sekaligus bertanggung jawab atas barang titipan (ida’). Wadi’ bertanggungjawab penuh atas barang titipan baik kerusakan atau hal-hal yang disebabkan oleh kelalaian atau faktor tidak sengaja. Dalam aktifitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi akan mempergunakannya dalam aktifitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta ijin dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan/kerusakan yang terjadi pada barang tersebut (Antonio, 2001:86-87).
Mengacu pada pengertian wadi’ah yad dhamanah, lembaga keuangan sebagai penerima titipan dapat memanfaatkan al-wadi’ah sebagai tujuan untuk giro, dan tabungan berjangka. Sebagai konsekuensinya semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan
tersebut menjadi milik lembaga keuangan (termasuk penanggung semua kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan, si penitip mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.
Gambar. 2.2
Skema Wadi’ah Yad-Dhamanah
Skema di atas menjelaskan bahwa nasabah menitipkan dana pada pihak BMT dengan ketentuan dari pihak nasabah bahwa dana tersebut dapat dikelola/disalurkan oleh pihak BMT kepada pihak pengguna dana, dengan demikian pihak BMT memberikan usulan menggunakan akad wadi’ah yad-dhamanah dimana dana dari pihak nasabah dapat dikelola/disalurkan kepada pihak pengguna dana denganketentuanbagi hasil dan bonus milik BMT, tetapi BMT dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
Nasabah BMT
Dunia Usaha
Titip dana
Beri bonus/fee
Bagi hasil Pemanfaatan dana
b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
c. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah giro dan tabungan.
d. Pemberian bonus tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad, tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari bank.
e. Jumlah pemberian bonus merupakan kewenangan manajeman bank syari’ah karena pada prinsipnya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
f. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro, yaitu simpanan yang bisa diambil setiap saat. Perbedaannya, tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dipersamakan.
Prinsip wadi’ah yad-dhamanah ini membebaskan wadi’
mengelolah titipan tersebut namun harus sesuai dengan akad atau kesepakatan sebelumnya. Semua keuntungan yang diperoleh oleh wadi’ selama masih berstatus simpanan, menjadi milik wadi’
(penerima barang) namun wadi’ diperbolehkan memberikan bonus kepada mudi’ (pemilik barang). Selain berakadkan titipan, wadi’ah yad-dhamanah ini juga mempunyai implikasi hukum yang sama
dengan qardh, maka nasabah penitip dan bank tidak boleh saling menjanjikan keuntungan harta dari akad tersebut. Namun demikian, bank diperkenankan memberikan bonus kepada pemilik harta titipan selama tidak dijanjikan di muka. Dengan kata lain, pemberian bonus kepada nasabah murni kebijakan dari bank yang sifatnya sukarela.
2.2 Hasil Penelitian Terdahulu
1. Indrawati (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Implementasi Prinsip Wadi’ah di Bank Muamalat Indonesia Kota Malang”
Penelitian ini mendiskusikan implementasi syariah pada bank terkait dengan dana yang didepositkan dengan menggunakan akad wadi’ah. Bank menggunakan prinsip wadi’ah yad-dhamanah, yaitu barang yang dititipkan boleh digunakan dan penitip mendapat athoya (bonus) dari penerima titipan atas penggunaan barang tersebut.
Penerapan prinsip yang demikian sama dengan prinsip qardh pada akibat hukum yang ditimbulkan. Peneliti memilih Bank Muamalat Indonesia Kota Malang sebagai salah satu bank yang memprakarsai prinsip syari’ah terkait dengan penelitian ini. Penelitian in adalah penelitian empiris.
Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data dianalisa melalui pendekatan deskriptif kualitatif.
Hasil yang diperoleh yaitu implementasi Bank Muamalat Indonesia Kota Malang menggunakan prinsip wadi’ah yad-dhamanah pada produk simpanan. Hal ini karena bank merujuk pada produk hukum yang membolehkan bank melakukan pelaksanaan tersebut.
2. Sulaiman (2011) dalam penelitiannya yang berjudul, “Strategi Pemasaran Produk Tabungan Haji dalam mekanisme Wadi’ah Yad- Dhamanah Pada Bank Mega Syari’ah Pusat”
Strategi yang dilakukan oleh Bank Mega Pusat yakni dengan memprioritaskan nasabah pada CASA (Current Acc and Saving Acc) dengan biaya murah dibandingkan dengan deposito yang memerlukan biaya tinggi. Untuk pembiayaan yang murah, Bank Mega mengeluarkan produk tabungan Haji dengan melayani setoran dana Haji dengan akad wadi’ah yad-dhamanah dan setoran wakaf tunai sehingga dapat mengurangi cost of fund Bank serta melakukan redesain benefit pada produk yang sudah ada. Upaya ini terbukti mampu membuat masyarakat mempercayai penitipan dana mereka pada Bank Mega Syari’ah. Strategi Bank Mega Syari’ah ini, bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan kepada nasabah dan juga untuk memudahkan nasabah dalam bertransaksi pada produk-produk yang ditawarkan oleh Bank Mega Syari’ah terkhusus pada produk Tabungan Haji.
3. Mustofa (2013) dalam kajiannya yang berjudul “Sistem Simpanan Wadi’ah Dhomanah dan Resiko dalam Kajian Jasa Keuangan Syariah”
Implementasi prinsip ekonomi syariah dalam akad wadi’ah manah dan risiko pada Unit Jasa Keuangan Syari’ah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Banyuputih Situbondo dilakukan dengan meng- aplikasikan model produk simpanan idul fitri, yaitu dengan ketentuan akad dana titipan Wadi’ah berasal dari Simpanan/Tabungan Anggota/
calon anggota, titipan dari Anggota/calon anggota menggunakan akad wadi’ah yad dhamanah artinya anggota/calon anggota menitipkan dana tersebut kepada UJKS di mana UJKS boleh mengelola dana tersebut, dengan syarat jika diminta harus dikembalikan. UJKS boleh memberikan bonus kepada anggota/calon anggota dengan syarat tidak diperjanjikan di muka, sementara bonus yang diberikan oleh UJKS adalah bingkisan hari raya berupa kue, minuman, dan pakaian (bukan berupa nominal uang), hal ini dilakukan atas dasar permintaan para nasabah. Dan hukum implementasi produk-produk tersebut adalah dibolehkan, sesuai dalil Qur’an Surat al-Baqarah; ayat 283, al-Hadist dalam kitab shahih Bukhari, shahih Muslim, dan sunan Abu Dawud, juga didukung oleh pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah dalam kitab- kitab rujukan mazhab empat termasuk kitab kontemporer al-Fiqhul Islam wa adillatuhu dalam bab wadi’ah dan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 02/DSN-MUI/IV/2000.
Sedangkan dalam kegiatan keuangan di Unit Jasa Keuangan Syari’ah adalah berbentuk dikembangkannya prinsip-prinsip pem- biayaan dan jasa berdasarkan syari’ah dengan pembagian keuntungan antara UJKS dan nasabah seperti diantaranya mudharabah, musyarakah, murabahah, bai bi tsaman ‘ajil, qardul hasan, dan rahn. Implementasi prinsip mudharabah pada UJKS adalah dengan prinsip akad mudharabah dengan ijab qabul dengan kesepakatan bagi hasil 60% dan 40% (Dharib 60% dan Mudharib 40%). Demikian juga prinsip bagi hasil dan risiko
dalam kegiatan pembiayaan mudharabah pada UJKS adalah prinsip syari’ah yang sesuai dengan aturan syar’i, tidak ada yang menggunakan istilah bunga seperti pada bank konvensional. Sedangkan sistem pembiayaan murabahah masih perlu lebih berhati-hati lagi dalam mengimplementasikan sistem tersebut kepada masyarakat, bagaimana masyarakat benar-benar bisa merasakan kasyari’ahan pada UJKS termasuk juga dalam prinsip-prinsip pembiayaan lainnya.
4. Issa Qaed Mansour Qaed (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “The Concept of Wadiah and its application in Islamic Banking.”
Semua bank, apakah Islam atau tidak untuk menggunakan deposit sebagai salah satu produknya. Menjaga safe-deposit, yang memiliki kriteria tertentu berdasarkan jenis aplikasi dan kemudian pada bank syariah dan konvensional. Bahkan tidak ada perbedaan jangka antara ulama salaf, Imam Hanbali hanya menyediakan penekanan bahwa deposit merupakan salah satu bentuk transaksi atas dasar tabarru.
deposito praktek di bank syariah pada umumnya 4, deposito saat ini, tabungan, deposito berjangka dan deposito investasi. Transaksi yang digunakan pada setiap tipe deposit yang bervariasi. Ada Qard, mudarabah, wakalah, dan Komoditi Murabah. Perbedaan yang paling mendasar dalam praktek antara Bank Islam dan Bank konvensional adalah riba. Di bank syariah, unsur riba digantikan dengan keuntungan hibah dan loss sharing.
5. Shuiba, et.al. (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Implementation of Al-Wadiah (saving instrument) Contract in Contemporary Gold Transaction.”
Trading emas kontemporer seperti ritel lainnya dan perdagangan online. Namun, menurut kontrak bisnis Islam, emas dikategorikan di bawah undang-undang khusus dari item transaksi dan harus mengikuti hukum spesifik transaksi bisnis Islam. Artikel ini berfokus pada bagaimana konsep wadiah dapat diterapkan dalam perdagangan emas kontemporer. Legalitas konsep wadiah adalah paling penting yang harus diverifikasi sebelum pelaksanaannya. Temuan ini menunjukkan bahwa konsep wadiah diperbolehkan dalam Islam. Selanjutnya, wadiah juga memainkan peran penting dalam perdagangan emas kontemporer. Oleh karena itu, kontrak wadiah dapat membantu untuk menyelesaikan masalah perdagangan emas.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas diketahui bahwa penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu yaitu dalam kajian wadi’ah yad-dhamanah, namun perbedaan yang sangat mendasar antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah pada objek produk dan lokasi yang akan diteliti, dimana dalam penelitian ini akan mengkaji produk dari BMT Mitra Mu’amalah Jepara, yaitu simpanan SIMMU (Simpanan Mu’amalah). Guna melandasi kerangka berpikir, penelitian ini menelaah beberapa state of the art sebagai acuan penelitian yang akan dilakukan seperti tertera dalam gambar berikut:
Gambar 2.3 State Of The Art
2.3 Kerangka Pemikiran Teoretis
Islam adalah dien (way of life) yang praktis, yang mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat untuk manusia, dengan tidak mempermasalahkan waktu, tempat atau tahapan-tahapan perkembangan dari zaman ke zaman.
Shuiba, et.al. (2016):
Konsep wadiah diperbolehkan dalam Islam. Wadiah juga memainkan peran penting dalam perdagangan emas kontemporer
Qaed (2014):
Perbedaan yang paling mendasar dalam praktek antara Bank Islam dan Bank konvensional adalah riba
Mustofa (2013):
Implementasi prinsip akad wadi’ah amanah dan risiko dilakukan dengan mengaplikasikan model produk simpanan
Sulaiman (2011):
Strategi yang dilakukan oleh Bank Mega Pusat yakni dengan mem- prioritaskan nasabah pada CASA
Indrawati (2012):
Implementasi Bank Muamalat Indonesia menggunakan prinsip wadi’ah yad-dhamanah pada produk simpanan
Shuiba, et.al. (2016):
Implementation of Al-Wadiah (saving instrument) Contract in Contemporary Gold Transaction
Qaed (2014):
The Concept of Wadiah and its application in Islamic Banking
Mustofa (2013):
Sistem Simpanan Wadi’ah Dhomanah dan Resiko dalam Kajian Jasa Keuangan Syariah
Sulaiman (2011):
Strategi Pemasaran Produk Tabungan Haji dalam mekanisme Wadi’ah Yad- Dhamanah Pada Bank Mega Syari’ah Pusat
Indrawati (2012):
Implementasi Prinsip Wadi’ah di Bank Muamalat Indonesia Kota Malang
Islam memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sebagian kecil dari perjalanan hidup manusia, maka dari itu Islam selalu mengajarkan pada umatnya untuk melakukan segala hal yang baik dan bermanfaat kapanpun dan dimana pun dia berada. Islam juga mengajarkan cara bermu’amalah yang baik kepada umatnya, yang salah satunya dalam hal simpan-menyimpan harta.
Walaupun Bank-Bank Islam baru mulai didirikan pada tahun 1960-an, tapi sebenarnya aktifitas perbankan sudah dimulai sejak zaman Rasulullah Saw. Dewasa ini, aktifitas keuangan dapat dipandang sebagai wahana dalam kehidupan bermasyarakat modern sebagai acuan yang membawa mereka pada dua praktek simpanan (defosit) yang ditetapkan pada awal masa Islam yaitu, wadi’ah yad-amanah dan wadi’ah yad-dhamanah yang mengarah pada pelaksanaan dua ajaran al-Qur’an, yaitu:
1. Prinsip Ta’awun
Yaitu prinsip saling membantu dan saling bekerja sama dalam kehidupan bermasyarakat untuk kebaikan.
2. Prinsip Menghindari al-Ikti’naz
Yaitu menahan uang atau dana dan membiarkannya menganggur (idle) serta membiarkannya tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat dalam bermasyarakat.
Adapun gambaran tentang kerangka pemikiran teoretis dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4
Kerangka Pemikiran Teoretis
Nasabah BMT
Dunia Usaha
Titip dana
Beri bonus/fee
Bagi hasil Pemanfaatan dana