• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. jenis makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu faktor penting. dalam menjamin kelangsungan hidup manusia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. jenis makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu faktor penting. dalam menjamin kelangsungan hidup manusia."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Keberadaan tanah merupakan penunjang kehidupan bagi semua jenis makhluk hidup. Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam menjamin kelangsungan hidup manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat berdiam, mendirikan rumah, tempat berusaha atau tempat dimana jasad mereka dikubur, juga merupakan sumber kekuasaan dan jaminan hidup bagi suatu bangsa. Kebutuhan akan tanah bagi pemenuhan kebutuhan untuk pembangunan di Indonesia semakin meningkat. Tanah di Indonesia harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama rakyat Indonesia.

Pengaturan tentang tanah di Indonesia tidak lepas oleh Belanda yang dulu menjajah Indonesia. Hukum agraria yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agraria yang sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari kepentingan penjajah. Sehingga ketentuan hukum agraria yang ada dan berlaku di Indonesia sebelum UUPA dihasilkan

(2)

oleh bangsa sendiri masih bersifat Hukum Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia.1

Upaya Pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria Nasional yang akan menggantikan Hukum Agraria Kolonial, yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sudah dimulai sejak tahun 1948 dengan membentuk kepanitiaan yang diberi tugas menyusun Undang-Undang Agraria.2 Setelah mengalami beberapa penggantian kepanitiaan yang berlangsung selama 12 tahun sebagai suatu rangkaian proses yang cukup panjang, maka barulah tanggal 24 September 1960 Pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria Nasional, yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang untuk selanjutnya disebut dengan UUPA.

Menurut Boedi Harsono dalam Ali Achmad Chomzah, bahwa Hukum Agraria menurut pengertian UUPA, adalah keseluruhan kaidah- kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria.

Dengan demikian, maka Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah- kaidah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang mengatur bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.3

1 Muchsin, , Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah, Bandung : Refika Aditama, 2007, hlm. 9

2 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2010, hlm. 46.

3 Boedi Harsono dalam Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid 1, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, hlm 2.

(3)

Keberadaan tanah yang semakin terbatas mendorong orang-orang untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah dengan cara melakukan pendaftaran tanah. Daruz Badrulzaman berpendapat, bahwa lembaga pendaftaran tidak semata-mata mengandung arti untuk memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan.

Sebelum dilakukan pendaftaran tanah, yang ada baru milik yang belum diakui secara sah, belum ada hak yang sah yang terdaftar dan diakui negara.4

Bentuk hak atas tanah bagi Warga Negara Indonesia dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dll. Bukti tersebut diperkuat dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah tersebut oleh pihak yang berwenang. Sertifikat tersebut dibuat dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang sertifikat sebagai pemilik hak atas tanah.

Untuk lebih memberikan kepastian hukum kepada pemilik hak atas tanah yang telah menerbitkan sertifikat hak atas tanah, Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengatur tentang batas waktu pengajuan keberatan dan gugatan ke Pengadilan. Pasal ini berlaku bagi pemegang hak atas tanah yang beritikad baik.

Penerapan itikad baik ini masih kurang diperhatikan dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah di Indonesia. Salah satu contohnya adalah sebuah kasus, yaitu A pada Tahun 1980 telah menduduki dan

4 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, PT. Alumni, Bandung, 1997, hlm. 56.

(4)

menguasai sebidang tanah di Kota Manado. A menduduki, menguasai, dan mengelola sebidang tanah tersebut atas persetujuan penggarap pertama dan di kemudian hari dengan penggarap pertama telah membuat Perjanjian Ganti Rugi Garapan, ganti rugi tersebut disepakati di bayar tunai oleh A kepada Penggarap Pertama, dengan bukti kwitansi.

A sejak Tahun 1980 sampai 1986 terus menguasai, menggarap, dan memagari tanah tersebut. Selanjutnya A memberi kuasa kepada 3 (tiga) orang untuk menjaga dan merawat tanah tersebut karena pada Tahun 1987 sampai dengan Tahun 1995 A mendapatkan tugas dinas di Kota Makassar. A tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan tanah tersebut sampai dengan Tahun 1995. Tahun 1984, A mengajukan 2 (dua) permohonan sertifikat atas nama A kepada Kantor Pertanahan Manado dan telah diproses sesuai Surat Kepala Kantor Pertanahan. A telah menyetor biaya pengukuran ke Bendahara khusus Kantor Pertanahan Kota Manado. Pada Tahun 1991 A menyurat Kakanwil BPN Provinsi Sulawesi Utara untuk mempertanyakan permohonan sertifikat yang belum ada penyelesaian.

Pada Tahun 1993, salah seorang yang diberi kuasa oleh A untuk menjaga tanah tersebut, melaporkan bahwa telah dibangun rumah di atas tanah tersebut oleh B. Kemudian A mengrimkan keberatan dengan tembusan ke pemerintah setempat dan BPN Manado.

Perkembangan selanjutnya tanah tersebut dibagi menjadi 3 (tiga)

(5)

bagian dan telah terbit 3 (tiga) sertifikat atas tanah tersebut dengan nama orang lain. A merasa dirugikan haknya karena sebelum terbit 3 (tiga) sertifikat tersebut, A merupakan orang yang telah menjaga, merawat, mengusahakan, bahkan telah mengajukan penerbitan sertifkat hak atas tanah.

Permasalahan tentang tanah merupakan masalah yang penting untuk diselesaikan di Indonesia. Hal ini disebabkan sumber daya tanah tidak mungkin lagi bertambah sementara manusia yang membutuhkan tanah semakin bertambah, masalah tanah berkaitan erat dengan sosial budaya, aspek ekonomi, aspek hukum, aspek politik bahkan aspek pertahanan dan keamanan Negara.5 Keterbatasan akan jumlah tanah ini, membuat orang berbondong-bondong memperebutkan tanah milik orang lain yang bukan miliknya dengan berbagai cara yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dengan memiliki sertifikat hak atas tanah seseorang dapat mendapatkan banyak manfaat. Salah satunya adalah dapat dengan lebih mudah mendapatkan fasilitas kredit dari bank dengan jaminan hak tanggungan. Sertifikat hak atas tanah juga memberikan manfaat kepada negara. Adanya sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada Kantor Pertanahan.

Data tentang tanah yang bersangkutan secara lengkap telah tersimpan

5 Djamester A. Simarmata, “Hukum Pertanahan dan Prinsip Ekonomi”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1, 1997, hlm. 54.

(6)

di Kantor Pertanahan, dan apabila sewaktu-waktu diperlukan dengan mudah ditemukan. Data ini sangat penting untuk perencanaan kegiatan pembangunan misalnya pengembangan kota, pemasangan pipa-pipa irigasi, kabel telepon, penarikan pajak bumi dan bangunan.6

Menurut Pitlo dalam ajaran umum Hukum Perdata tentang pendaftaran, maka saat dilakukannya pendaftaran tanah maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan benda (dalam hal ini tanah) diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum, sejak saat itu pulalah pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dengan maksud ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.7

Sebelumnya pernah dilakukan suatu penelitian yang dituangkan dalam suatu skripsi yang disusun oleh Yuliana Kurnia Dewi dengan Nomor Pokok Mahasiswa 110110060182 dengan judul “Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pelaksanaan Lembaga Hukum Adat Rechtsverwerking dikaitkan dengan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”.

Masalah Pertanahan yang dikaji dalam hal ini adalah keberadaan Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 dalam menjamin kepastian hukum bagi

6 Adrian Sutedi, Sertifikat Hak Atas Tanah, Cetakan I, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 58

7 Pitlo dalam Abdurrahman, Beberapa Aspek Hukum Agraria Seri Hukum Agraria V, Bandung, Alumni, 1980, hlm. 90

(7)

pemegang serifikat hak atas tanah dan kasus di Pengadilan Negeri Bandung dan di Pengadilan Negeri Sleman.

Selain itu pernah juga dilakukan suatu penelitian lain yang dituangkan dalam suatu skripsi yang disusun oleh Khairul Fathan M dengan Nomor Pokok Mahasiswa 110110110054 dengan judul

“Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Atas Tanah dengan Kekuatan Alat Bukti Hak Lama ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria JO Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”. Masalah Pertanahan yang dikaji dalam hal ini adalah kekuatan hukum pembuktian hukum hak lama menurut UUPA dan PP 24/1997 dan amanat dari UUPA juncto PP 24/1997. Di sisi lain Penulis bermaksud mengkaji mengenai penerapan itikad baik pemegang hak atas dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah.

Permasalahan di atas telah menarik minat Penulis untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul

”PENERAPAN ASAS ITIKAD BAIK PEMEGANG HAK ATAS TANAH DALAM PENERBITAN SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH DIKAITKAN DENGAN PASAL 32 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA”

(8)

B. Identifikasi Masalah :

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti telah membatasi permasalahan pada hal-hal berikut di bawah ini :

1. Bagaimanakah penerapan asas itikad baik dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah berdasarkan peraturan perundang- undangan terkait?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang beritikad baik ditinjau dari Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui penerapan asas itikad baik berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang beritikad baik ditinjau dari pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

(9)

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat diperoleh manfaat baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis, sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoretis

Secara Teoretis, hasil dari penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum secara umum berupa pembaharuan hukum nasional, dan khususnya hukum Agraria di Indonesia dalam hal kepemilikan hak atas tanah di Indonesia. Selain itu juga memberikan bahan referensi bagi kepentingan dan hal-hal yang bersifat akademis serta sebagai sumber bacaan tambahan bagi perpustakaan.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis akan memberikan gambaran dan menambah pemahaman bagi pemilik hak atas tanah yang beritikad baik di Indonesia mengenai perlindungan dan kepastian hukum atas hak atas tanah yang dimilikinya di Indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang selantunya disebut dengan UUD45.

Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan tidak ada

(10)

kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan.8 Hukum sebagai acuan dalam bertindak untuk menegakkan keadilan. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan itu dalam kenyataan.9

Menurut isinya, hukum dapat dibagi menjadi hukum Privat (Hukum Sipil) dan hukum Publik (Hukum Negara).10 Hukum Privat adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan.11 Dalam arti luas, hukum privat meliputi Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Sedangkan dalam arti sempit, hukum privat hanya terdiri dari Hukum Perdata.12 Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan warga negaranya.13

Hukum Agraria merupakan hukum yang mengandung unsur dari hukum publik dan hukum privat. Oleh karena karakteristiknya yang mengandung aspek hukum publik dan hukum privat, maka hukum agraria menjadi sebuah bidang hukum yang berdiri sendiri di dalam tata hukum nasional. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di

8Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hlm, 46

9 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung : Alumni, 2000, hlm.1.

10 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Balai Pustaka, 2002, hlm. 46.

11 Idem.

12 Idem.

13 Idem.

(11)

lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi Penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di bidang pertanahan.14 Sebelum membahas mengenai pengertian hukum agraria, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian agraria.

Istilah agraria berasal dari bahasa Yunani, Ager yang berarti ladang atau tanah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian; urusan pemilikan tanah. UUPA memiliki 2 (dua) jenis pengertian agraria. Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang hukum yang masing - masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber -sumber daya alam tertentu. Sedangkan pengertian hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur mengenai hak-hak penguasaan atas tanah.15

Hukum Agraria identik dengan hukum tanah. Menurut Boedi Harsono sebagaimana dikutip oleh Supriadi bahwa dalam hukum tanah negara-negara dipergunakan apa yang disebut asas accessie atau asas perlekatan, yaitu bahwa bangunan-bangunan dan benda- benda atau tanaman yang terdapat di atasnya merupakan satu kesatuan dengan tanah serta merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan.16

14 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Universitas Trisakti, 2015, hlm. 5.

15 Idem.

16 Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm. 3

(12)

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan agar segala kekayaan alam yang terdapat di Indonesia dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini juga diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

“Bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Konstitusi memberikan perlindungan terhadap hak-hak kebendaan. Hal itu termuat dalam dalam pasal 28G ayat (1) dan 28H ayat (4). Pasal 28G ayat (1) berbunyi :

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”

Pasal 28H ayat (4) berbunyi :

“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”

Bukti kepemilikan atas tanah merupakan hal yang penting untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Salah satu hal yang diatur dalam UUPA adalah tentang pendaftaran tanah. Pasal 19 ayat (1) UUPA berbunyi :

(13)

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Berdasarkan UUPA bukti kepemilikan tanah yang sah adalah sertifikat hak atas tanah yang didapat melalui pendaftaran hak atas tanah. Menurut Maria S. W. Sumardjono :

“Pendaftaran tanah berarti mencatat hak-hak yang dipegang oleh perorangan atau kelompok ataupun suatu lembaga atas sebidang tanah oleh pejabat yang berwenang dan mengeluarkan surat bukti hak. Hak-hak ini bermacam-macam, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan sebagainya.”17

Kepastian hukum data kepemilikan tanah akan dicapai apabila telah dilakukan pendaftaran tanah. Hal tersebut dikarenakan tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Termasuk kepastian mengenai subyeknya (yaitu apa haknya, siapa pemiliknya, ada atau tidak beban diatasnya) dan kepastian mengenai obyeknya, yaitu letaknya, batas-batasnya dan luasnya serta ada tidaknya bangunan atau tanaman diatasnya.18

Dalam UUPA diatur juga tentang berbagai bentuk hak-hak atas tanah seperti hak pakai, hak guna bangunan, dan hak guna usaha.

Kepemilikan hak atas tanah tersebut dibuktikan dengan adanya sertifikat hak atas tanah. Sertifikat Hak atas Tanah bertujuan untuk

17 Maria S. W. Sumardjono, Hukum Pertanahan Dalam Berbagai Aspek, Medan : Bina Media, 2000, hlm. 36

18 Ibid.

(14)

mencapai kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPA. Pasal 19 ayat (1) UUPA dapat dikategorikan sebagai payung hukum dari kegiatan Pendaftaran Tanah.19 Dengan kata lain, Pasal 19 UUPA itu merupakan norma hukum yang masih bersifat garis besar, sehingga memerlukan peraturan yang lebih rendah sebagai aturan yang lebih konkrit dari pada ketentuan yang lebih tinggi yaitu UUPA itu sendiri.20

Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang selanjutnya disebut dengan PP 24/1997 menyatakan :

“Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”.

Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.

Dalam rangka pemberian jaminan kepastian hukum tersebut, kepada yang mendaftarkan tanahnya akan diberikan satu dokumen tanda bukti hak yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat.

Dalam ketentuan Hukum Tanah Nasional dalam hal ini PP 24/1997

19 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 12.

20 Idem.

(15)

hanya sertifikat hak atas tanah yang diakui secara hukum sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah yang menjamin kepastian hukum dan dilindungi oleh hukum.

Penerbitan sertifikat dan diberikan kepada yang berhak, bertujuan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan kepemilikan tanahnya. Sertifikat tersebut berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik (obyek : letak, batas, luas dan ada atau tidaknya bangunan atau tanaman diatasnya) dan data yuridis (haknya, pemegang haknya siapa, ada atau tidaknya beban-beban diatasnya) yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah hak yang bersangkutan. Dikatakan sebagai data yang benar, selama tidak ada bukti lain yang membuktikan ketidakbenarannya dan tidak perlu ditambah dengan bukti tambahan. Sehingga bagi pemegang hak atas tanah yang telah diterbitkan sertifikat hak atas tanah, maka akan mendapat perlindungan hukum dan tidak perlu ada bukti tambahan. 21

Kehadiran PP 24/1997 secara tidak langsung merupakan perwujudan pelaksanaan dari Pasal 28H ayat (4) UUD45 khususnya di bidang hak atas tanah. PP 24/1997 ini bertujuan untuk melindungi hak pribadi seseorang yang dimana hak pribadi ini tidak boleh ada campur

21 Boedi Harsono, op.cit., hlm. 478

(16)

tangan atau diganggu gugat oleh orang lain dengan tidak sopan. Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997 berbunyi :

“Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut”.

Pasal ini memberikan kesempatan kepada pihak lain diluar pemegang sertifikat hak atas tanah untuk menuntut kepemilikan hak atas tanah tersebut asalkan pihak tersebut memiliki bukti yang kuat dan tidak melewati jangka waktu yang telah ditentukan yaitu 5 (lima) tahun. PP ini juga mensyaratkan adanya itikad baik dari pemegang hak atas tanah yang menerbitkan sertifikat hak atas tanah tersebut.22

Pasal 32 ayat (2) menyebutkan memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya. Istilah itikad baik ini memiliki pengertian yang luas yang tidak dijelaskan pengertiannya dalam pasal dan penjelasan pasal ini. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa :23

22 Ibid, hlm. 479

23 Muhammad Faiz, “Kemungkinan diajukan Perkara dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan”, www.panmuhamadfaiz.co. 20 Mei 2016

(17)

"Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan.”

Asas itikad baik berarti orang yang memperoleh suatu hak dengan itikad baik akan tetap menjadi pemegang hak yang sah menurut hukum.24

F. Metode Penelitian

Untuk dapat mengetahui serta membahas suatu permasalahan terutama dalam bidang hukum maka diperlukan suatu pendekatan keilmuan dengan menggunakan metode-metode tertentu yang bersifat ilmiah. Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Penulis dalam hal ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu mengutamakan pencarian data sekunder, dengan bahan hukum primer. Sekunder, dan tersier yang dititik beratkan pada penggunaan data sekunder di bidang hukum pertanahan berupa peraturan-peraturan hukum, asas-asas hukum, pengertian-

24 Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4 Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm. 117

(18)

pengertian yang diperoleh baik mealui kepustakaan dan ditunjang dengan wawancara sebagai data primer.25

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis berupa penggambaran, penelahaan, dan penganalisaan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan teori- teori hukum dalam praktik pelaksanaannya yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Metode ini memiliki tujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis, faktual, serta akurat dari objek penelitian26 mengenai penerapan itikad baik pemegang hak atas tanah dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, peraturan perundang-undangan serta peraturan lainnya yang berhubungan di dapatkan berdasarkan fakta-fakta hukum berupa data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

25Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003. hlm. 13-14

26Idem.

(19)

3. Tahap Penelitian

Berkenaan dengan metode yuridis normatif yang dipergunakan, penelitian ini dilakukan melalu tahap-tahap berikut :

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Yaitu mengumpulkan data sekunder yang dianggap relevan untuk dijadikan bahan dalam penyusunan skripsi ini, yang terbagi menjadi 3 bagian :

1) Bahan hukum primer, yaitu meliputi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif, khususnya:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum penunjang yang memberikan penjelasan terhadap hukum primer serta erat hubungannya dengan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan hukum primer, seperti : tulisan para ahli, buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian dan lain sebagainya.

(20)

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang data hukum primer dan sekunder, antara lain kamus bahasan dan kamus hukum yang berkaitan dengan permasalahan itikad baik dan pendaftaran tanah.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini dilakukan secara langsung dengan berpedoman pada pertanyaan yang dipersiapkan terlebih dahulu untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah yang beritikad baik dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Dokumen

Peneliti memanfaatkan berbagai literatur berupa perundang- undangan, karya ilmiah, buku-buku, jurnal, artikel yang dimuat dalam surat kabar, makalah-makalah, dan media.

b. Wawancara dengan pihak Kantor Pertanahan Kota Manado.

5. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang akan didatangi untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :

(21)

a. Perpustakaan :

1) CISRAL (Centre of Information Scientific Resources and Library) atau Perpustakaan Pusat Universitas Padjadjaran, Bandung

2) Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung

b. Instansi

1) Badan Pertanahan Nasional, Jakarta

2) Kantor Pertanahan, Kota Manado

6. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan penelitian lapangan ini selanjutnya diolah dan dianalisa dengan metode yuridis kualitatif, yaitu suatu metode yang menganalisis data-data yang diperoleh secara kualitatif untuk menemukan kejelasan atas pokok permasalahan, tanpa menggunakan segi kuantitatif dari data tersebut

Referensi

Dokumen terkait

Dari penutupan lahan diatas, didapatkan pada RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun (RTB) hal ini dikarenakan RTH

Embrio yang terbentuk dalam proses perkembangbiakan terjadi melalui peleburan antara ….!. Berikut ini adalah gambar penampang batang

Dari hasil analisis data dan hasil dari pengujian hipotesis yang telah dianalisis dapat disimpulkan ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan coping stres

Hal ini disebabkan karena para pejalan kaki yang cenderung menyaberangi badan jalan di depan Pasar Prawirotaman untuk melakukan aktivitas pasar oleh karena itu, letak

Karena kedua pengujian tidak menggunakan daya keluaran generator yang sama, akibat dari permasalahan relay under voltage, maka dalam tugas akhir ini diambil metode

Proses  awal  yang  dilakukan  adalah  rekapitulasi  data  sekunder.  Dalam  proses  rekapitulasi  data  sekunder,  data  yang  diperlukan  diantaranya  data 

Pemahaman dan penguasaan individu terhadap informasi yang diperlukannya akan memungkinkan individu: (a) mampu memahami dan menerima diri dan lingkungannya secara objektif,

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara hubungan simptom depresi dengan kecenderungan perilaku bunuh diri pada pasien dengan gangguan jiwa di Rumah