• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dekonstruksi Wacana Elit Politik Kharismatik di Indonesia (Analisis Pembentukan Wacana oleh Jokowi pada Masa Kampanye Pemilihan Presiden 2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dekonstruksi Wacana Elit Politik Kharismatik di Indonesia (Analisis Pembentukan Wacana oleh Jokowi pada Masa Kampanye Pemilihan Presiden 2014)"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Seorang ahli filsafat Yunani bernama Aristoteles (384-322 SM) pernah

mengatakan bahwa manusia itu adalah “zoon Politicon” atau mahluk yang selalu

hidup bermasyarakat. Seseorang yang hidup menyendiri di luar masyarakat, tidak

dapat disebut manusia lagi, kalau bukan hewan, ia adalah Dewa.1

Henslin menguraikan bahwa masyarakat pada mulanya berukulan kecil

dan tidak membutuhkan sistem politik yang besar. Masyarakat seperti ini

beroperasi bagaikan suatu keluarga besar. Ketika surflus berkembang dan

masyarakat menjadi lebih besar, berkembanglah kota diperkirakan sekitar 3500

tahun SM2 dan kemudian berkembang menjadi negara kota (polis) seperti di

zaman Yunani kuno kemudian berkembang lagi menjadi negara.

Negara merupakan lanjutan dari keinginan manusia hendak bergaul antara

seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan

hidupnya. Semakin luas pergaulan manusia dan semakin banyak kebutuhannya,

maka bertambah besar kebutuhannya kepada suatu organisasi negara yang akan

melindungi dan memelihara keselamatan hidupnya.3 Pertumbuhan negara tersebut

hingga mencari bentuk yang sempurna. Kita dapat mengambil kesimpulan bahwa

1

Samidjo, 2002. Ilmu Negara. Bandung: Armico. Hal.27 2

Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana. Hal 102 3

(2)

negara adalah suatu organisasi yang hidup yang harus mengalami segala peristiwa

yang menjadi pengalamannya tiap-tiap benda yang hidup.4

Di satu sisi, negara dapat dilihat sebagai organisasi melalui mana aparat

kolektif mengejar tujuan tertentu dan secara efektif merealisasikannya dengan

sedikit banyak menggunakan sumber negara yang tersedia dalam hubungannya

dengan setting social (kapasitas negara). Di sisi lain, negara dapat dilihat secara

lebih makroskopis sebagai konfigurasi dari organisasi dan tindakan yang

memengaruhi arti dan metode politik dari semua kelompok dan kelas dalam

masyarakat5(otonomi negara).

Kemudian masyarakat yang sudah teratur itu meningkat lagi suatu tangga

kesempurnaan, yaitu anggota-anggota masyarakat yang menundukkan dirinya

bersama-sama dengan permufakatan terlebih dahulu atau tidak, kepada suatu

pemerintahan yang kekuasaannya dipegang oleh seorang kepala negara yang

mereka akui bersama-sama, dengan mempunyai pola batas-batas tertentu.6

Kepala negara dalam hal ini merupakan pemerintah yang berperan dalam

melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam suatu negara. Pemerintah menentukan

berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat atau

negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat masa mendatang dan

mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan

masyarakat serta mengelola dan mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang

(3)

roda pemerintahan yakni menjalankan segala kegiatan yang berkaitan erat dengan

tugas dan kewenangan negara.7

Klasifikasi dari berbagai bentuk-bentuk pemerintahan telah menjadi salah

satu prinsip yang paling mendasar yang terkait dengan masalah analisis politik

dalam kehidupan politik umumnya dan dalam proses politik khususnya. Dalam

proses politik tersebut, kiranya kita dapat menelusuri ke belakang terutama pada

era abad 4 SM pada saat Aristoteles (384-223) SM yang pertama kali berusaha

untuk menggambarkan regime politik yakni dengan menggunakan istilah

demokrasi, oligarki dan tirani. Kemudian berlanjut pada abad 18-an, berkembang

dan diklasifikasikannya regime politik tersebut ke dalam bentuk monarcy, atau

republic atau sebagai otokrasi atau sebagai rezim konstitusional. Selanjutnya pada

abad 29-an, menunjukkan perbedaan yang sangat tajam dibandingkan dengan era

sebelumnya yakni pertentangan dan konflik di dalam bangunan peta politik

internasional antara demokrasi, autoriterianisme dan totalitarisme. Dan dalam

perkembangan yang lebih modern, adalah ketika jatuhnya rezim komunisme Uni

Soviet (US) tahun 1989 serta kebangkitan negara-negara Asia Timur dalam

bidang ekonomi dan politik kemudian disusul dengan kebangkitan politik

negara-negara Islam.8

Rezim dalam pengertian ilmiahnya sebagaimana yang dirumuskan oleh

Krosner, rezim lebih dikaitkan dengan kaidah-kaidah, prinsip-prinsip,

norma-norma, aturan-aturan dan prosedur dalam pengambilan keputusan yang dianut

7

Anthonius P Sitepu, Teori-Teori Politik. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, Hal. 148. 8

(4)

oleh penguasa negara. Oleh karena itu, istilah rezim dalam konteks ini adalah

sebagai bentuk sistem pemerintahan atau kekuasaan dalam pemerintahan,

cenderung diartikan dengan individu atau kelompok individu yang berkuasa di

dalam negara.9

Individu ataupun kelompok individu yang berkuasa dalam suatu negara ini

sering disebut elit politik. Elit politik ini merupakan orang-orang yang berhasil

yang mampu menduduki jabatan-jabatan tinggi dan dalam lapisan masyarakat.

Elit politik terdorong untuk memainkan peranan aktif dalam politik sebagaimana

menurut para teoritisi politik karena ada dorongan kemanusiaan yang tidak

terhindarkan atau diabaikan untuk meraih kekuasaan. Politik bagi mereka

merupakan permainan kekuasaan dan karena para individu menerima keharusan

untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai guna menemukan ekspresi bagi

pencapaian kekuasaan tersebut.10

Mengkaji elite politik, selalu menarik perhatian karena mengingat kajian

yang demikian memiliki keterkaitan dengan konstruksi sosial dan pemahaman

terhadap sistem politik siapa yang memerintah dan siapa yang seharusnya

memerintah. Oleh karena itu pembicaraan tentang elite mengundang perhatian

terhadap masalah-masalah penguasa negara yang dalam hal ini kepala negara

maupun kepala pemerintahan.

Mosca percaya dengan teori pergantian elite seperti halnya dengan

(5)

adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik “sekali kelas

yang memerintah tersebut kehilangan akan kecakapannya dan orang-orang diluar

kelas tersebut menunjukkan kelas yang lebih baik maka terdapat segala

kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh

kelas penguasa yang baru. Gaetano mosca percaya bahwa pada sejenis hukum

yang mengatakan bahwa dalam elite yang berkuasa, tidak lagi mampu

memberikan layanan-layanan yang diperlukan oleh massa, atau layanan yang

diberikannya dianggap tidak lagi memiliki nilai, atau muncul agama yang baru,

atau terjadi perubahan-perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam

masyarakat maka perubahan-perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat

dihindarkan. Gaetano Mosca tidak saja mengajukan alasan-alasan sosiologis. Ia

menunjukkan kaitan perubahan di dalam lingkungan masyarakat dengan sifat-sifat

individu. Rumusan kepentingan dan cita-cita baru yang menimbulkan

persoalan-persoalan baru misalnya akan semakin mempercepat pergantian elite.11

Oleh sebab itu, berbagai upaya dilakukan oleh elite yang berkuasa untuk

mempertahankan kekuasaannya lewat konsistensi dalam menjalankan kontrol

politik dan mempertahankan kecakapannya. Salah satu upaya yang dapat kita lihat

yaitu elite politik dalam hal ini pemimpin dalam suatu negara menunjukkan sosok

kharisma dalam dirinya. Menurut Weber, jika para pengikut mendefinisikan

pemimpin mereka sebagai seseorang yang berkharisma, maka ia cenderung

sebagai pemimpin kharismatik terlepas dari benar-tidaknya ia memiliki ciri yang

11

(6)

menonjol. Yang krusial dalam proses ini adalah ketika seorang pemimpin

dipisahkan dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan

atau kualitas supranatural, supermanusia atau sekurang-kurangnya kekuatan tidak

lazim yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Kharisma lebih sebagai konstruksi

ketimbang realitas di dalam dirinya.12

Menurut Weber, kharisma terjadi saat terdapat sebuah krisis sosial,

seorang pemimpin muncul dengan sebuah visi radikal yang menawarkan sebuah

solusi untuk krisis itu, pemimpin menarik pengikut yang percaya pada visi itu,

mereka mengalami beberapa keberhasilan yang membuat visi itu terlihat dapat

dicapai, dan para pengikut dapat mempercayai bahwa pemimpin itu sebagai orang

yang luar biasa. Pemimpin seperti ini terlihat memiliki kelebihan- kelebihan

secara personal seperti intelektualitas, keberanian, pengorbanan dan kepiawaian

sehingga bisa menyatukan masyarakat untuk keluar dari berbagai persoalan yang

melilit. Seorang yang berkharisma merupakan orang yang menciptakan suatu

perubahan eksistensial.

(7)

Salah satu hal penting yang patut untuk diulas yakni persoalan

kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership) yang merupakan cenderung

terhadap konsep politik. Hal ini penting mengingat peran dunia politik merupakan

suatu aturan permainan yang bermain dalam ranah kekuasan dan hal itu cukup

menjadi hal yang kompetitif dalam masyarakat ketika sudah menyangkut

persoalan kekuasaan. Kepemimpinan kharismatik menjadi salah satu faktor

khusus yang perlu dipertimbangkan dalam suatu pemetaan akan seorang

pemimpin yang nantinya akan memiliki legalitas-otoritas untuk menentukan suatu

kebijakan.13

Tipe kepemimpinan kharismatik dapat diartikan sebagai kemampuan

menggunakan keistimewaan atau kelebihan sifat kepribadian dalam

mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain, sehingga dalam

suasana batin mengagumi dan mengagungkan pemimpin bersedia berbuat sesuatu

yang dikehendaki oleh pemimpin. Pemimpin disini dipandang istimewa karena

sifat-sifat kepribadiannya yang mengagumkan dan berwibawa. Dalam kepribadian

itu pemimpin diterima dan dipercayai sebagai orang yang dihormati, disegani,

dipatuhi dan ditaati secara rela dan ikhlas. Kepemimpinan kharismatik

menginginkan anggota organisasi sebagai pengikutnya untuk mengadopsi

pandangan pemimpin tanpa atau dengan sedikit mungkin perubahan.14

Fenomena akan diikutinya pemimpin oleh anggota kelompoknya bukanlah

sesuatu yang baru saja terjadi. Sebagai seorang pemimpin tentu besar keinginan

13

Ibid. Hal 207 14

Hurin In Lia Amalia Qori, Kepemimpinan Karismatik Versus Kepemimpinan Transformasional.

(8)

untuk diikuti oleh pengikutnya bahkan dijadikan inspirasi. Inilah yang juga

membuat para pemimpin ataupun calon pemimpin berlomba-lomba memperbaiki

karakteristik dirinya untuk memiliki kelebihan menginspirasi anggota

kelompoknya dalam berpikir, berbicara bahkan bertingkah laku. Kemampuan

untuk menginspirasi anggotanya itulah yang sering disebut sebagai kemampuan

sakti yang dinamakan kharisma oleh beberapa tokoh.15

Hal-hal yang telah disebut diatas sebagai indikator dikatakan pemimpin

karismatik juga telah dipraktekkan di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka,

presiden-presiden Indonesia memiliki sisi kharismatiknya masing-masing hingga

saat ini. Seperti Presiden Soekarno, adalah bapak proklamator, seorang orator

ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Beliau

memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertempramen meledak-ledak,

tidak jarang lembut dan menyukai keindahan. Gaya kepemimpinan yang

diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang

mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok

diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir.

Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan

inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak

kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan

kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas

ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa). Ir. Soekarno

15

(9)

adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan

rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya.

Demikian juga dengan gaya kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan

gabungan dari gaya kepemimpinan proaktif-ekstraktif dengan adaptif-antisipatif,

yaitu gaya kepemimpinan yang mampu menangkap peluang dan melihat

tantangan sebagai sesuatu yang berdampak positif serta mempunyai visi yang jauh

ke depan dan sadar akan perlunya langkah-langkah penyesuaian. Presiden

Soeharto juga cenderung ditampilkan sebagai seorang pemimpin yang lebih

reaktif dibanding proaktif. Ia lebih sering memberikan tanggapan atau respon

terhadap pernyataan orang lain dibanding menunjukkan gagasan/pemikirannya

sendiri. Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang memiliki fleksibilitas

dalam melaksanakan tugas dan fungsi kepemimpinannya. Presiden Soeharto

cenderung menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang lebih sering memberikan

perhatian sangat umum terhadap lingkup pembangunan nasional. Presiden

Soeharto digambarkan sebagai seorang pemimpin yang otoriter, yang menerapkan

gaya kepemimpinan koersif, yang selalu menginginkan agar perintah dan

instruksinya dipatuhi orang lain dengan segera. Presiden Soeharto adalah seorang

pemimpin yang sederhana, tidak suka menonjolkan diri di hadapan orang lain.

Ketika berbicara dengan orang lain atau menyampaikan pesan-pesan kepada

bawahan atau orang-orang yang dipimpinnya dalam berbagai organisasi, ia tidak

(10)

Kemudian Presiden B.J. Habibie merupakan orang yang cerdas tapi terlalu

lugu dalam politik. kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya kepemimpinan

dedikatif-fasilitatif, merupakan sendi dan kepemimpinan demokratik. sangat

terbuka dalam berbicara, akrab dalam bergaul, sangat detail, gaya komunikasinya

penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan

resikonya, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat.

Kemudian Presiden Abdurahman Wahid merupakan seorang kiai yang

sangat liberal dalam pemikirannya, penuh dengan ide, sangat tidak disiplin, dan

berkepemimpinan ala LSM. Gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid

adalah gaya kepemimpinan responsif-akomodatif, yang berusaha untuk

mengagregasikan semua kepentingan yang beraneka ragam yang diharapkan dapat

dijadikan menjadi satu kesepakatan atau keputusan yang memiliki keabsahan.

Kemudian Presiden Megawati Soekarno Putri, seorang yang

berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan.

Gaya kepemimpinan Presiden Megawati yang anti kekerasan, cukup demokratis,

tampak agak formal, santun dalam setiap penampilan dan apik berbusana.

Demikian juga Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai pemimpin yang

mampu mengambil keputusan kapanpun, di manapun, dan dalam kondisi apapun,

Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat. Penampilannya yang

berwibawa dan pemikirannya yang rasional serta visioner ke depan. 16

16

(11)

Dari keenam presiden yang telah penulis sebutkan diatas memiliki gaya

kepemimpinan yang bervariasi dan berbeda satu sama lain. Namun setiap presiden

tersebut tetap dikategorikan sebagai elit politik dengan figur yang santun,

berwibawa, kuat dan tegas sebagaimana pemimpin pada umumnya yang telah

didefenisikan sebelumnya. Dengan demikian, tampaknya selama ini

kepemimpinan di Indonesia masih didominasi oleh kepemimpinan yang berfigur

santun, berwibawa, kuat dan tegas, sangat jarang terdapat kepemimpinan yang

mampu menunjukkan figur yang berbeda dari yang sebelumnya.

Seperti dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas tahun 2013,

menunjukkan bahwa kepercayaan publik pada penyelenggaraan negara

mengalami penurunan. Publik cenderung tidak puas pada kepemimpinan di negara

ini. Publik akhirnya mengharapkan gaya kepemimpinan yang baru. Jajak Pendapat

Kompas melakukan penonjolan pada kondisi masyarakat yang mengalami krisis

orientasi kepemimpinan. Teks ini juga menjelaskan bahwa saat ini publik tengah

berada dalam kondisi krisis orientasi akan hadirnya pemimpin yang diidamkan.17

Uniknya, Kemunculan Jokowi membawa fenomena baru dalam kancah

kepemimpinan politik di Indonesia. Kebaruan dari sosok gubernur DKI tahun

2012 yang paling menonjol adalah gaya Jokowi blusukan (berjalan-jalan

ditempat-tempat sempit) ke kampung-kampung padat penduduk di Jakarta.

Jokowi dengan senang hati menemui warganya guna mengetahui secara langsung

17

(12)

permasalahan yang dihadapi masyarakat Jakarta. Dengan mata telanjang, orang

dapat melihat betapa Jokowi menjalin komunikasi dengan warganya tanpa jarak.

Pengawalan minimum bagi Jokowi menjadikan dirinya lebih leluasa menyapa

warganya, sebaliknya warga masyarakat juga leluasa untuk menyampaikan

berbagai aspirasinya secara langsung kepada gubernurnya. Jokowi mendatangi

kampung-kampung, mendatangi ke tempat permasalahan untuk menyelesaikan

masalah. Terbukti Jokowi datang beberapa kali di tempat yang pernah

dikunjunginya, tujuannya satu yaitu memastikan apa yang dijanjikan atau

disepakati sebagai hasil dari kunjungan awal benar-benar ada tindak lanjut atau

ada hasilnya. 18 Gaya kepemimpinan Jokowi menjadi referensi karena terbukti

kekuasaan yang dimilikinya berorientasi pelayanan kepada masyarakat. Jokowi

dengan lihai membangun komunikasi politik untuk terus meningkatkan partisipasi

dan dukungan politik bagi keberhasilannya menjadi memimpin.19 Kemunculan

Jokowi telah membawa wacana dan referensi baru dalam khasanah kepemimpinan

politik di Indonesia. Di tengah maraknya pencitraan elite politik sebagai figur

yang santun, berwibawa, kuat dan tegas, kemunculan Jokowi membuat berbeda.

Jokowi muncul dengan sikap low profil, jujur, dan dekat dengan warga

masyarakat.20

Selama ini dikatakan bahwa kepemimpinan di Indonesia masih didominasi

oleh kepemimpinan yang memiliki figur berwibawa, kuat dan tegas sehingga hal

(13)

ini membangun wacana dalam masyarakat bahwa pemimpin itu harus memiliki

figur seperti yang telah disebutkan diatas. Namun kehadiran Jokowi dengan

sikapnya yang low profil, jujur, dan dekat dengan warga masyarakat mampu

mengubah opini masyarakat bahwa ternyata pemimpin tidak selamanya harus

bersikap kuat, berwibawa dan mewah. Penulis melihat bahwa Jokowi mencoba

untuk mendekonstruksikan wanaca yang telah ada sebelumnya.

Hal ini semakin menarik ketika dalam Pemilihan Presiden 2014 Jokowi

memiliki gaya kampanye yang berbeda dari kebanyakan kampanye elit politik.

Ditambah lagi Prabowo sebagai lawan Jokowi di pentas politik menunjukkan gaya

kampanye yang sangat bertolak belakang. Keduanya memiliki positioning yang

berbeda satu satu sama lain.21 Jokowi menunjukkan bahwa dirinya memiliki latar

belakang anak tukang kayu, penampilannya yang sederhana, berpakaian

kotak-kotak yang notabene motif dominan sarung (pakaian rakyat), tanpa protokoler,

blusukan ke tempat becek, sehingga mendapatkan positioning atau tercitra tak

jauh beda dengan rakyat kebanyakan. Sedangkan Prabowo dengan latar

belakangnya sebagai tentara, mantan danjen kopassus dan panglima kostrad,

dengan penampilan berwibawa, berpakaian safari saku empat ala mode pejuang

zaman revolusi, gaya bicara orator berintonasi tinggi, retorika berapi-api, badan

21

(14)

tegap gagah perwira, merupakan upaya agar terbangun persepsi sebagai sosok

pahlawan, satria, penyelamat negara.

Berdasarkan positioning kedua calon presiden yang kontradiksi diatas dan

juga Jokowi yang muncul sebagai pemimpin yang memiliki figur yang berbeda

dari wacana yang telah terbangun selama ini, maka penulis tertarik untuk

menganalisis aktivitas politik Jokowi selama masa kampanye pada pemilihan

presiden 2014.

1.2 Perumusan Masalah

Tingginya persaingan politik dalam pemilihan presiden 2014 menjadikan

kegiatan kampanye menjadi kegiatan sangat penting untuk kandidat calon

presiden. Berbagai strategi dalam politik digunakan untuk membangun citra,

dengan demikian politik pencitraan merupakan upaya untuk membangun

kepercayaan konsumen terhadap sebuah pribadi politik. Dua calon presiden

Jokowi dan Prabowo menunjukkan kepribadian yang sangat berbeda. Jokowi

dalam kampanyenya menunjukkan strategi unik yang belum pernah digunakan

dalam kampanye di Indonesia. Strategi unik ini ternyata mampu dalam

membongkar wacana sosok pemimpin di Indonesia dalam hal kepribadian

pemimpin yang tegas, mewah, berwibawa. Sehingga menarik untuk meneliti

aktivitas politik Jokowi selama masa kampanye pemilihan presiden 2014 dengan

menggunakan metode analisis wacana. Dengan begitu, pertanyaan penelitian

(15)

1. Apa yang ingin ditunjukkan Jokowi melalui aktivitas politiknya selama

masa kampanye pada pemilihan presiden 2014?

2. Wacana apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi melalui aktivitas

politiknya?

3. Bagaimana dekonstruksi wacana yang ditunjukkan Jokowi melalui

aktivitas politiknya di masa kampanye pemilihan presiden 2014?

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian dengan tujuan

agar dapat menghasilkan uraian yang sistematis, diperlukan adanya pembatasan

masalah. Oleh karena itu, penelitian ini hanya sebatas menganalisis kegiatan

Jokowi pada masa kampanye menjelang pemilihan presiden 2014 dari analisis

semiotika, wacana dalam perspektif Foucault dan dari dekonstruksi Jacques

Derrida.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut

:

1. Untuk mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi melalui

aktivitas politiknya selama masa kampanye pada pemilihan presiden 2014.

Kita dapat melihat bagaimana Jokowi membangun wacana dalam aktivitas

politiknya dengan mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi

(16)

2. Untuk mengetahui wacana apa yang ingin ditunjukkan oleh Jokowi

melalui aktivitas politiknya.

3. Untuk mengetahui bagaimana dekonstruksi wacana yang ditunjukkan

Jokowi melalui aktivitas politiknya di masa kampanye pemilihan presiden

2014

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik kepada

penulis maupun kepada penulis maupun kepada orang lain yang membacanya,

terlebih lagi untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun yang menjadi

manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat menambah khasanah ilmu

pengetahuan dan menjadi sebuah kajian ilmiah di bidang ilmu politik

khususnya dalam komunikasi politik tentang dekonstruksi wacana Jokowi

dalam kampanye politik menjelang pemilihan presiden 2014.

2. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tidak

hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai

tingkatan pendidikan.

1.6 Kerangka Teori

Sebagai penelitian yang baik dan benar, landasan teori merupakan suatu

yang sangat penting dalam penulisan karya ilmiah. Fungsi dari teori ini sebagai

suatu landasan berpikir dalam menganalisis sebuah fenomena yang sedang diteliti.

(17)

1.6.1 Semiotika

Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu

yang sama. Istilah ini berasal dari kata Yunani semeion yang berarti „tanda‟ atau

„sign‟dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda

seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya.22

Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika

mempelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang

memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.23

Dalam pengertian yang hampir sama disebutkan bahwa semiotika adalah

studi tentang bagaimana bentuk-bentuk simbolik diinterpretasikan. Kajian ilmiah

mengenai pembentukan makna.24 Secara substansial, semiotika adalah kajian yang

berfokus dengan dunia simbol. Alasannya seluruh isi media massa pada dasarnya

adalah bahasa (verbal), sementara itu bahasa merupakan dunia simbolik.25

Semiotika modern mempunyai dua bapak, yaitu yang satu Charles Sanders

Pierce (1857-1914), yang lain Ferdinand De Saussure (1857-1913). Tugas utama

peneliti semiotik adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena-gejala di

sekelilingnya melalui berbagai “tanda” yang dilihatnya. Tanda sebenarnya

representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti : Nama (sebutan),

peran, fungsi, tujuan, keinginan. Tanda tersebut berada pada kehidupan manusia.

22

www.wikipedia.com, artikel diakses pada 09 Maret 2010. 23

Kriyantono Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Predana Madia Group, Jakarta 2006, Hal. 261-162.

24

Lull James, Media, Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj) A. Setiawan Abdi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997, hal. 232.

25

(18)

Dan menjadi sistem tanda yang digunakannya sebagai pengatur kehidupannya.

Oleh karenanya tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab

dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna (meaningful

action) seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, ilmu pengetahuan.

Tanda terdapat dimana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat,

lampu merah lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur

film, bangunan dan nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.

Dalam pandangan Saussure, makna sebuah tanda sangat dipengaruhi oleh

tanda yang lain. Semiotika berusaha menggali hakikat sistem tanda yang beranjak

keluar kaidah tata bahasa dan sintaksis dan mengatur arti teks yang rumit,

tersembunyi, dan bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan

perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti penunjukan (denotative)

kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkapkan melalui penggunaan dan

kombinasi tanda. Pelaksanaan hal itu dilakukan dengan mengakui adanya mitos

yang telah ada dan sekumpulan gagasan yang bernilai yang berasal dari

kebudayaan dan disampaikan melalui komunikasi.

Pada dasar penjelajahan semiotik sebagai sebuah kajian ke dalam berbagai

cabang keilmuan, dimungkinkan karena adanya kecenderungan untuk memandang

sebagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa

dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotik,

bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai tanda-tanda. Hal ini

(19)

Ada seorang pengikut Saussure, Roland Barthes, membuat sebuah model

sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes

lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikansi dua tahap (two order of

signification).26

1.6.1.1 Konsep Semiotika Roland Barthes

Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup

makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan

makna konotatif. Two Order of Signification (signifikasi dua tahap atau dua

tatanan pertandaan) Barthes terdiri dari Firt order of signification yaitu denotasi,

dan second order of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup

penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna

denotasi.27

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara

tanda dan rujukan pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan

pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan

antar penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang bersifat

implisit dan tersembunyi.28

26

Ibid.Hal 127 27

M Anthonius Birowo. Metode Penelitian Komunikasi:Teori dan aplikasi, Hal 57 28

(20)

Tabel 1. Peta Tanda Roland Barthes :

1. Signifier (Penanda) 2. Signified (petanda)

3. Denotative Sign (tanda denotatif)

adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur

material: hanya jika anda mengenal tanda “sign”, barulah konotasi seperti harga

diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.29

Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna

tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi

keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi

penyempurnan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dan tatanan

denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam istilah tingkatan

representasi atau tingkatan nama. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat

dijelaskan sebagai berikut.30

a. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan

antar sign dengan referent (objek) dalam realitas eksternal.

29

Alex Sobur. Op. cit. Hal 69 30

(21)

b. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan

perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya

mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka

dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.

Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung

makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut makna denotatif.

Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna

referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah

kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu

disamping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga

makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.31

Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri.

Sebuah tanda yang kita lihat pasti atau suatu denotasi. Makna denotasi adalah apa

yang kelihatan pada gambar, dengan kata lain dengan sendirinya memunculkan

denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk

selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika konotasi tersebut sudah umum

digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku.

31

(22)

Gambar 1. Signifikasi Dua tahap Barthes

Melalui gambar ini Barthes, seperti dikutip Fiske menjelaskan: signifikasi

tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah

tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebgai denotasi, yaitu

makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes

untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi

yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta

nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau

paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain denotasi adalah apa yang

digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana

menggambarkannya.

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja

melalui mitos (Myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau

memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan

(23)

1.6.2 Wacana dalam Perspektif Foucault

Tokoh analisis wacana kritis yang memberi banyak perhatian secara khas

adalah Michael Foucault (1926-1984), seorang filosof kekuasaan berkebangsaan

Prancis.32 Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai

hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa

agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki

tetapi dipraktikkan dalam ruang lingkup dimana banyak posisi yang secara

strategis berkaitan satu sama lain. Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan

lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa.

Penyelenggaraan kekuasaannya, menurut Foucault, selalu memproduksi

pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Kekuasaan memprodusir

pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada

pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan.

Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat

pengetahuan dan wacana tertentu. 33 Wacana tertentu menghasilkan kebenaran

dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini

dikatakan oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit,

bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap

kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana

khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut.

32

D. Jupriono, Yudhi Hari Wibowo, & Linusia Marsih, Teks Berita Konflik Pekerja PT Freeport Indonesia:Analisis Wacana Kritis Foucault. Parafrase. Vol.3 No. 1 (Februari), Hal 55.

33

(24)

Disini, setiap kekuasaan selalu berpotensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu

yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.

Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama

melalui normalisasi dan regulasi. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang

sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan

dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, dimana

memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk,

sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan

cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan

mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya.34

Melalui wacana, hubungan antara kekuasaan di satu sisi dengan

pengetahuan di sisi yang lain terjadi. Foucoult mengatakan bahwa hubungan

antara simbol dan yang di simbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga

produktif dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu antara lain melalui

bahasa, moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu,

melainkan turut menghasilkan perilaku, nilai-nilai dan ideologi. Kehidupan bukan

diatur lewat serangkaian represi, melainkan melalui kekuatannya memberikan

defenisi dan melakukan regulasi. Berbagai regulasi itu diantaranya yang

menentukan kita, memilah, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang

benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus

dihindari, mana yang sah mana yang tidak. Hubungan kita dengan realitas diatur

34

(25)

melalui berbagai wacana, yang menentukan bagaimana seharusnya dan sebaiknya

kita bertindak, membentuk kepercayaan-kepercayaan, konsep, dan ide-ide yang

kita anut. Melalui wacana, individu bukan hanya didefenisikan tetapi juga

dibentuk, dikontrol, dan di disiplinkan.35

Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam

batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana

dicirikan oleh batasan bidang dari objek, defenisi dari perspektif yang paling

dipercaya dan dipandang benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibentuk dengan

dibatasi oleh praktek diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefenisikan

sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain tidak. Wacana tertentu membatasi

pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu

sebagai sesuatu yang benar. Wacana membatasi pandangan kita, mengeluarkan

sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari

wacana dibentuk, pernyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah

ditentukan. Disini pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan

pandangan yang tak diterima tentang suatu objek. Objek bisa jadi tidak berubah,

tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.36

Menurut Michel Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk

menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan

hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam suatu masyarakat

biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun

35

Ibid. Hal 71-72 36

(26)

kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut

menjadi dominan, sedangkan wacana lainnya akan “terpinggirkan”(marginalized)

atau “terpendam”(submerged). 37

Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana

dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami.

Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena ia membarikan pilihan yang

tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya dalam batas-batas struktur

diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta

atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta tersebut

bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyebabkan wacana lain

yang tidak dominan menjadi terpinggirkan.38

Proses terpinggirkannya wacana dalam proses pemberitaan ini membawa

beberapa implikasi. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk

mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu

peristiwa. Disini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah

wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam

perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa

jadi peminggiran wacana menunjukkan praktek ideologi.39

37

Ibid. hal 76-77 38

Ibid. hal 77 39

(27)

1.6.3 Dekonstruksi

Dekonstruksi dikenalkan oleh Jacques Derrida dalam bukunya On

Grammatology, Writing and Différance, dan Dissemination. Dekonstruksi dalam

sastra digunakan untuk menunjukkan pertentangan-pertentangan dalam teks yang

sengaja atau tidak sengaja disembunyikan atau disamarkan, berdasarkan

padamodel atau metode filosofis guna menunjukkan ketidaksesuaian logika yang

secara eksplisit maupun implisit terdapat dalam suatu teks. Metode dekonstruksi

ini pada awalnya diterapkan oleh Derrida terhadap teori lingustik struktural

Ferdinand de Saussure, hal tersebut ditunjukkan oleh Derrida melalui dikotomi

yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure antara bahasa lisan dan tulisan.

Derrida menunjukkan bahwa terdapat kontradiksi-kontradiksi dalam teori

Ferdinand de Sasussure. Dalam tataran eskplisitnya teori Saussure lebih

mengutamakan bahasa lisan, tapi secara implisit teori Saussure mendasarkan diri

pada bahasa tulis sebagai teorinya.

Pemikiran Derrida tidak terlepas dari pengaruh Heidegger, namun

demikian Derrida tidak serta merta melanjutkan pemikiran Heidegger secara

mentah-mentah, melainkan dengan cara mengkritik dan melanjutkan serta

mendirikan pemikirannya sendiri. Satu produk pemikiran Heidegger yang diambil

oleh Derrida adalah mengenai konsep “kehadiran”. Kehadiran dalam bahasa

Derrida adalah “metafisika”. Kehadiran itu akan tampak bila dilihat melalui tanda

karena tanda dalam metafisis memberikan sesuatu yang tidak hadir. Tanda sendiri

(28)

sebagai pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya objek itu sendiri.

Kehadiran itu diwujudkan melalui tuturan dan tulisan, dalam tanda-tanda itu.

Kata-kata dapat menunjukkan sesuatu yang lain, begitu juga teks, teks juga

berhubungan dengan teks-teks yang lain.

Derrida pun membuat suatu pemikiran tanda sebagai trace atau jejak.Jejak

itu hanya menunjukkan ke sesuatu yang lain, jejak justru mendahului objeknya.

Berdasarkan hal ini “kehadiran” merupakan sesuatu yang diturunkan dari

jejak-jejaknya, bukan sesuatu yang murni lagi. Bila jejak itu terhapus, maka

“kehadiran” itu akan lenyap juga.

Kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term

tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna

tunggal. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme, yaitu kecenderungan

untuk mengacu kepada suatu “metafisika” atau “kehadiran” tertentu, suatu

kehadiran objek absolut tertentu. Dengan adanya dekonstruksi, Derrida ingin

membuat kita kritis terhadap teks.

Terdapat beberapa pandangan para ahli mengenai pengertian dekonstruksi.

Kristeva menjelaskan bawa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat

destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai

strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi

semua pernyataan kultural, sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks

yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi,

(29)

terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan,

melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan

hakikat wacana. 40

Umar Junus memandang dekonstruksi sebagai perspektif baru dalam

penelitian sastra. Dekonstruksi memberikan dorongan untuk menemukan segala

sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian, dan memungkinkan untuk

melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan satu

aturan yang dianggap telah berlaku universal. Sedangkan menurut Al-Fayyadl

dekonstruksi adalah terstimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang

terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka sebuah dekonstruksi

adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.41

Dalam pembacaan dekonstruktif, kita diajak untuk tidak mencari makna

yang sebenarnya dari teks, melainkan hanya ingin mencari

ketidakutuhan/kegagalan suatu teks yang berupaya menutup diri dengan makna

yang terkandung di dalamnya, artinya hanya ingin menumbangkan susunan

hierarki yang menstrukturkan teks.42 Dengan kata lain bahwa dekonstruksi

mengajak pembaca untuk menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang

turut membangun teks, tidak ada dominasi makna dalam sebuah teks, makna tidak

berhenti dalam satu titik melainkan terus bergerak. seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa suatu yang dominan bukan merupakan suatu kebenaran

40

Julia Kristeva, Desire in Language a Semiotic Approach to Literature and Art. Oxford: Basil Blackwell. 1980

41

Muhammad Al-Fayyadl, Derrida, LKiS, Yogyakarta, 2015, hal. 232. 42

(30)

tunggal, artinya bahwa makna tidak berhenti pada satu titik saja, melainkan terus

bergerak secara terus-menerus. Berdasarkan hal itu, dekonstruksi pada dasarnya

tidak memberikan satu pusat yang baru, melainkan hanya berusaha mencari

celah-celah secara terus menerus.

Dekonstruksi secara garis besar bisa disimpulkan sebagai cara untuk

membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita

selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita.

Dekonstruksi bisa dikatakan sebagai sebuah metode pembacaan teks, dengan

dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan

anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual

artinya bahwa anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna tunggal.

Anggapan tersebut hadir sebagai trace (jejak) yang bisa dirunut pembentukannya

dalam sejarah.

1.6.4 Kampanye

Istilah kampanye sebenarnya diambil dari istilah militer, yaitu serangkaian

kegiatan dalam upaya menghancurkan kekuatan dan mental musuh. Sementara itu

menurut Rogers dan Storey seperti yang dikutip oleh Antar Venus dalam bukunya

Manajemen Kampanye menjelaskan bahwa kampanye adalah ”Serangkaian

tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu

pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun

waktu tertentu”.43

Hal ini berarti bahwa kampanye adalah alat komunikasi bagi

43

(31)

kandidat calon presiden yang digunakan untuk mempengaruhi masyarakat agar

mau berpartisipasi dalam pemilu melalui pemberian suara.

Merujuk pada definisi di atas, maka setiap aktivitas kampanye setidaknya

harus mengandung empat hal yaitu :

1. Tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau

dampak tertentu

2. Jumlah khalayak sasaran yang besar

3. Biasanya dilakukan dalam kurun waktu tertentu

4. Melaui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisir

Kampanye itu sendiri oleh Sumarno didefinisikan sebagai :

”Alat komunikasi politik yang dapat menggerakkan masyarakat untuk

turut berpartisipasi dalam bidang politik kenegaraan melalui hak suaranya

yang diberikan kepada seorang calon atau beberapa anggota kelompok

partai yang mereka percayai”.44

Sejalan dengan pendapat sumarno di atas, Anwar Arifin menyatakan

bahwa :

“Kampanye politik adalah bentuk komunikasi politik yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang atau sekelompok organisasi politik

dalam waktu tertentu untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat.

Pada umumnya, kampanye politik diatur dengan peraturan sendiri, yaitu

44

(32)

waktu, tata caranya, pengawasan dan sanksi-sanksi jika terjadi

pelanggaran kampanye”.45

Berkaitan dengan pemilihan umum, maka kampanye yang dilakukan

adalah kampanye politik. Menurut Arnold Steinberg :

”Dalam kehidupan politik, kampanye dimaksudkan sebagai suatu usaha

terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang yang dicalonkan,

dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. Definisi ini tidak

mencakup kampanye politik untuk memperoleh suatu kedudukan di sektor

swasta. Dengan kata lain, kampanye politik modern adalah cara yang

digunakan para warga negara demokratis untuk menentukan siapa yang

akan memerintah mereka”.46

Pengertian-pengertian diatas menekankan bahwa tujuan dari kampanye

adalah untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut mau

mendukungnya dalam pemilu. Lebih jauh lagi kampanye bertujuan untuk

membentuk tingkah laku kolektif masyarakat sehingga tujuan memenangkan

pemilu dapat lebih mudah terwujud.

Secara ideal kampanye merupakan kegiatan untuk mempengaruhi para

pemilih antara lain dengan melakukan propaganda, menampilkan kandidat yang

berkualitas, dan menawarkan isu yang memikat masyarakat. Kampanye bila

dilakukan dalam suatu pemilihan umum yang dapat menjamin terjadinya

kompetisi yang sehat diantara kontestan yang bertarung serta penyelenggara yang

45

Anwar Arifin, Komunikasi Politik, Balai Pustaka, Jakarta, 2003, Hal. 83. 46

(33)

tidak memihak, merupakan ajang yang sangat penting untuk melakukan

pendidikan politik rakyat.

Melalui kampanye akan diperoleh debat dan wacana untuk membicarakan

isu-isu nasional yang penting bagi masyarakat itu sendiri, baik yang menyangkut

hal –hal mendasar seperti eksistensi dan survival bangsa yang bersangkutan dalam

percaturan dunia yang lebih luas (inetrnasional) maupun isu-isu yang lebih

pragmatis, seperti upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Menurut Rogers dan Storey seperti dikutip oleh Antar Venus menjelaskan

bahwa kampanye adalah ” Serangkaian tindakan komunikasi yang terencana

dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang

dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. 47

Hal ini berarti

bahwa kampanye adalah alat komunikasi bagi kandidat yang digunakan untuk

mempengaruhi masyarakat agar mau berpartisipasi dalam pemilu/pemilukada

melalui pemberian suara. Kampanye ini dilakukan oleh suatu pasangan kandidat

yang bersaing dengan pasangan lain untuk memperebutkan suara calon pemilih.

Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Riswandha Imawan yang menyatakan

bahwa :

”Kampanye bertujuan untuk mempengaruhi orang lain untuk memberikan

dukungannya (dalam bentuk memberikan suara) dalam suatu pemilu.

Kampanye berusaha untuk membentuk tingkah laku kolektif agar

47

(34)

masyarakat lebih mudah digerakkan untuk mencapai suatu tujuan

(memenangkan pemilu)”.48

Pernyataan-pernyataan diatas jelas menyebutkan bahwa kampanye

bertujuan untuk mempengaruhi orang lain agar mau mendukungnya dalam suatu

pemilu. Wujud dari dukungan tersebut adalah dengan memberikan suaranya untuk

kandidat yang bersangkutan pada waktu pemungutan suara. Sehingga pada

hakekatnya kampanye politik bertujuan untuk mengajak masyarakat yang berhak

memilih ikut dalam pemilihan.

1.6.5 Teori Elite

Pengaruh elite memiliki cakupan yang cukup luas dan dapat dilihat dari

berbagai perspektif. Istilah elite juga dikupas dalam sosiologi, dimana elite

menunjukkan suatu kelompok yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam

pemerintahan, politik, ekonomi, dan agama. Jadi yang disebut elite adalah orang

yang mempunyai stratifikasi di atas rakyat jelata dan mempunyai kedudukan

memimpin, memberi pengaruh, menuntun dan mengatur masyarakat.49

Ketika dilekatkan pada otoritas dan kekuasaan, maka elite

mempunyai dua tipe, yaitu elite yang memrintah secara formal dan elite yang

tidak memerintah secara formal. Selain itu, kata elite juga diartikan sebagai

orang-orang yang menentukan dalam pemerintahan, misalnya unit-unit militer atau

tingkatan bangsawan.

48

Riswandha Imawan, Membedah Politik Orde baru, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 1996, Hal. 143. 49

(35)

Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto membagi stratifikasi elite menjadi 3

kategori, yaitu elite yang memerintah (Governing elite), elite yang tidak

memerintah (non-Government elite), dan massa umum (non eliet).Kajian ini

membagi dua kategori elite yaitu:50

1. Elite politik lokal merupakan seseorang yng menduduki

jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih

melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang

demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi

ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik.

2. Elite non politik lokal adalah seseorang yang menduduki

jabatan-jabatan strategis yang mempunyai pengaruh untuk memerintah orang

dalam lingkup masyarakat.

Kaum elite memiliki kekuasaan besar dalam suatu kelompok atau

masyarakat dan mampu memperoleh bagian terbesar dari suatu sistem kekuasaan.

Kaum elite adalah kelompok kekuasaan yang paling tinggi dalam suatu sistem

politik sehingga mampu menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuannya.

Kaum elite juga sering memgang peranan penting di negara berkembang.

Sedangkan menurut Heater Sutherland para pejabat pribumi atau elite lokal pada

masa penjajahan merupakan suatu kelas penguasa yang ditakuti dan dikagumi,

tetapi mereka itu merupakan wakil-wakil bawahan dari kekuasaan asing.51

50

Duverger Maurice, Sosiologi Politik, Rajawali Press, Jakarta, 1982, Hal. 178. 51

(36)

Dalam menganalisa kedudukan elite dalam masyarakat, elemen yang perlu

diperhatikan adalah konsep kekuasaan. Hal ini didasari bahwa elite dan kekuasaan

merupakan dua variabel yang tidak dapat dipisahkan, karena elite merupakan

sekelompok orang yang memiliki sumber-sumber untuk mencapai kekuasaan.

Kekuasaan merupakan salah satu unsur terbentuknya elite. “Elite politik adalah

sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik”.52

Teori elite dibangun atas

pandangan atau persepsi bahwa keberadaan elite baik elit politik maupun elite

agama tidak dapat dielakkan dari aspek-aspek kehidupan modern yang serba

kompleks.

Secara umum, elite merupakan kelompok orang yang menempati

kedudukan-kedudukan tinggi. Dimana dalam arti yang lebih khusus, elite juga

ditunjuk oleh sekelompok yang terkemuka dalm bidang-bidang tertentu dan

khususnya kelompok kecil yang memegang pemerintah serta lingkungan dimana

kekuasaan itu diambil. Dengan demikian, konsep tentang elite cenderung

menekankan kepada elite politik dengan merujuk pada pembagian kekuasaan

antara elite yang berkuasa dan elite yang tidak berkuasa yang mengarah pada

kepentingan yang berbeda.

Elite merupakan individu-individu yang memiliki keistimewaan dalam

pemahaman, pemaparan dan pengalaman mengenai sistem kekuasaan. Selain itu,

pengakuan masyarakat terhadap elite politik sebgai suatu minoritas yang memiliki

status sosial dalam setiap peran dan fungsinya ditengah-tengah masyarakat.

52 Mas‟ud Mochtar, dkk,

(37)

Sehingga dengan adanya keistimewaan inilah kemudian elit politik menjadi faktor

penentu yang berperan dalam mendorong dan mempengaruhi partisipasi politik

masyarakat.

Dari pendapat yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa elite meliputi

semua pemegang kekuasaan dalam suatu bangunan politik. Dalam masyarakat

terdapat dua kategori elite, yaitu elite yang memerintah dan elite yang tidak

memerintah atau yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan kekuasaan.

1.7 Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode penelitian deskriptif. Adapun metode penelitian deskriptif merupakan

suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada berdasarkan

fakta dan data-data yang ada.53 Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih

detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Hal tersebut yang kemudian

mendasari penelitian untuk menggunakan metode ini dalam menganalisis

dekonstruksi wacana dalam kegiatan masa kampanye Jokowi menjelang

pemilihan presiden 2014.

1.7.1 Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian kualitatif. Jenis penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian

53

(38)

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari

orang-orang dan perilaku yang diamati.54

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam sebuah penelitian, data merupakan acuan yang akan dikaji dan

dianalisis sebagai objek yang ingin dikupas ataupun diolah sehingga menjadi

sebuah informasi yang lebih bersifat akademis. Maka teknik pengumpulan data

dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sekunder atau

data-data kepustakaan. Bahan-bahan yang diambil untuk penelitian ini berasal dari

buku, tulisan-tulisan maupun artikel dari jurnal, makalah, internet yang berkaitan

dengan penelitian ini.

1.7.3 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan teknik analisa kualitatif. Penelitian ini akan bersifat deskriptif

dengan tujuan memberikan gambaran dan maksud mengenai situasi dan kejadian

yang di tunjukkan melalui beberapa video yang telah peneliti ditentukan.

Kemudian akan mengolah data video yang didapat dan dianalisis, serta akan

dieksplorasi lebih dalam dan akan memunculkan sebuah kesimpulan yang akan

menjelaskan dan menjawab masalah yang diteliti.

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terbagi kedalam beberapa bab

yang ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci mengenai

54

(39)

permasalahan yang diteliti. Adapun pembagian dalam sistematika penulisan

penelitian ini adalah sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan

masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB II : PROFIL JOKOWI

Pada bab ini akan diuraikan tentang profil Jokowi.

BAB III :ANALISIS KEGIATAN JOKOWI PADA MASA

KAMPANYE MENJELANG PEMILIHAN PRESIDEN 2014

MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA, WACANA DALAM

PERSPEKTIF FOUCAULT DAN DEKONSTRUKSI.

Pada bab ini akan menggambarkan bagaimana dekonstruksi dari

wacana yang terbangun di Indonesia mengenai sosok pemimpin

yang akan ditunjukkan melalui kegiatan Jokowi pada masa

kampanye menjelang pemilihan presiden 2014.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan yang

diperoleh dari hasil analisis data dan memberikan saran atas hasil

Gambar

Tabel 1. Peta Tanda Roland Barthes :
Gambar 1. Signifikasi Dua tahap Barthes

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan akhir jenis program tersebut adalah bagi siswa menjadi mahir dalam bahasa sasaran selain bahasa Inggris, dan mengembangkan kesadaran budaya

Pengaruh kenaikan konsentrasi HPMC terhadap daya sebar adalah sebesar 100% yang dilihat dari nilai koefisien determinan ( R-square ). Hubungan antara kedua variabel

agregat yang sesuai dengan jenis konstruksi perkerasan, dan penentuan proporsi optimum agregat dan aspal di dalam campuran. Kemampuan perkerasan lentur untuk

Dari kondisi yang telah diuraikan di atas, Penulis tertarik untuk mengetahui lebih jelas mengenai pengaruh absenteeism dan job attitude terhadap produktivitas karyawan

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui peningkatan hasil belajar matematika siswa kelas V semester II SD 5 Pasuruhan Lor pada materi kesebangunan dan

Dwi Mahardika, Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share dengan metode resitasi terhadap hasil belajar matematika siswa SMP Negeri 1 Boyolangu tahun

From this it can be said that the increase in the number types of macro algae and sea grass positive effect on the increase in the mrmber types of Intertidal

AHP berasaskan konsep penegasan linguistik sepenuhnya seperti penggunaan imbuhan “amat sangat”, “amat”, “agak” dan sebagainya untuk menilai sesuatu atribut. Umumnya,