• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Campuran Oleh Pengadilan Karena Menggunakan Dokumen Yang Tidak Sah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586 Pdt.G 2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Campuran Oleh Pengadilan Karena Menggunakan Dokumen Yang Tidak Sah (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586 Pdt.G 2014)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia,

karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga

menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap

sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan

kaedah-kaedah perkawinan dengan kaedah agama.1

Pengertian perkawinan menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : “Perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan

prinsip perkawinan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dilihat

dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama masing-masing

adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah. Pasal 2 ayat (2)

1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum Adat

(2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :”Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Keabsahan suatu perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan adalah didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan

masing-masing, sehingga sejak berlakunya UU Perkawinan ini maka upacara perkawinan

menurut hukum agama bersifat menentukan tentang sah atau tidaknya perkawinan itu.

Hal ini berakibat banyak orang tidak melakukan pencatatan pada kantor catatan sipil.2

Berdasarkan penjelasan umum UU Perkawinan, mengenai pencatatan

perkawinan, pencatatan kelahiran, pencatatan kematian merupakan suatu peristiwa

penting bukan suatu peristiwa hukum. Dalam suatu pelaksanaan perkawinan maka

perkawinan tersebut harus dicatat sebagai bukti autentik telah dilangsungkannya

suatu perkawinan tersebut. Sebagai bukti telah dilakukan pencatatan perkawinan

dikeluarkan suatu akta perkawinan atau buku nikah pagi pasangan suami istri, yang

berfungsi sebagai alat bukti yang autentik bagi pelaksanaan perkawinan tersebut.

Scholten menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum

antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang

diakui oleh Negara.3 Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki

dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Perkawinan adalah hidup

bersama antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi

syarat-2Hazairin,Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Timtamas Indonesia,

Jakarta, 2005, hal. 48

3Soetojo Prawirohamidjojo dkk,Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan Kesebelas, Alumni,

(3)

syarat yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.4

Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan telah secara jelas

menyatakan tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Dalam prakteknya di

masyarakat ada pula orang yang hanya melakukan perkawinan dengan cara

keagamaannya saja dan tidak dicatatkan pada kantor catatan sipil. Disamping itu ada

pula yang hanya mencatatkan perkawinannya tanpa melakukan upacara agama

mereka. Tindakan ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta

asas-asas atau prinsip-prinsip dari UU Perkawinan yakni :

1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.

2. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan. 4. Perkawinan berasas monogami terbuka.

5. Calon suami-istri harus bersatu antara jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan

6. Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan wanita 16 tahun. 7. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan 8. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang5

Penjelasan mengenai arti perkawinan sesuai agama dan kepercayaan yang

mana semuanya bertujuan sama yaitu untuk menjadi keluarga yang bahagia dan

menghasilkan keturunan. Mengenai tata cara untuk melangsungkan perkawinannya,

hal ini dijelaskan oleh Mary Welstead, sebagai berikut:

Religious Ceremonies : “Where the parties wish to marry in a religious ceremony, different rules apply to different religious denominations. Each religious denomination has the right to refuse permission to a couple to marry

4 K. Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 2011,

hal. 28

5Hadi Gunawan, Perkawinan Campuran di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 1

(4)

in a particular place of workship”6. (Upacara keagamaan :”Dimana setiap keinginan untuk melakukan pesta perkawinan atau upacara perkawinan (keagamaan), setiap aturan yang digunakan berbeda-beda dalam setiap golongan, karena masing-masing pasangan tidak sama dalam memeluk agama dan kepercayaannya, hal ini menyatakan bahwa setiap golongan agama memiliki peraturan masing-masing dalam hal untuk memberikan izin melaksanakan Upacara Keagamaannya (perkawinan)”.

Masalah perkawinan merupakan perbuatan suci yang mempunyai hubungan

erat sekali dengan agama/kerohanian. Perkawinan bukan saja mempunyai unsur

lahiriah/jasmani tetapi juga unsur rohani yang mempunyai peranan penting. Hal ini

sesuai dengan UU Perkawinan “Tidak hanya sebagai ikatan perdata tetapi juga

merupakan perikatan keagamaan”.7

Tatacara perkawinan diatur dalam Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan

yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam Peraturan Pemerintah ini

mengenai tatacara perkawinan diatur pada Pasal 10 ayat (2) menyebutkan “Tatacara

Perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”. Pada ayat (3) disebutkan “Dengan mengindahkan tatacara

perkawinan menurut hukum agama masing-masing dan kepercayaannya itu,

perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang

saksi”.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa suatu perkawinan mempunyai arti

yang sangat penting bagi kehidupan manusia dikarenakan :

1. Dalam suatu perkawinan yang sah selanjutnya akan menghalalkan hubungan

6 Harianto Gunawan, Hukum Perkawinan di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 2011, hal. 25

(5)

atau pergaulan hidup manusia sebagai suami istri. Hal itu adalah sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang memiliki derajat dan kehormatan.

2. Adanya amanah dari Tuhan mengenai anak-anak yang dilahirkan. Anak-anak yang telah dilahirkan hendaknya dijaga dan dirawat agar sehat jasmani dan rohani demi kelangsungan hidup keluarga secara baik-baik dan terus menerus. 3. Terbentuknya hubungan rumah tangga yang tentram dan damai. Dalam suatu

rumah tangga yang tentram, damai dan diliputi rasa kasih sayang, selanjutnya akan menciptakan kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur.

4. Perkawinan merupakan suatu bentuk perbuatan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya, karena dengan perkawinan dapat mengurangi perbuatan maksiat dan memelihara diri dari perzinahan.8

Di dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini maka

perkawinan tidak hanya dilangsungkan diantara pasangan calon suami istri di dalam

satu Negara satu, tetapi sudah mengarah kepada lintas Negara, yang artinya

perkawinan yang terjadi saat ini adalah perkawinan antar laki-laki dan perempuan

yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Perkawinan antara seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda tersebut

dikenal dengan perkawinan campuran yang di Indonesia yang mengaturannya

didasarkan kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan

pengertian tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut

undang-undang tersebut: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam

undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada

8 Bintang Ramulyo, Etika Suami Istri Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1

(6)

hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu

pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Selanjutnya didalam ketentuan Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Bagi orang-orang yang berlainan warga

negaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan

dari suami / istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraanya, menurut

cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik

Indonesia yang berlaku”. Pasal 59 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan selanjutnya menegaskan bahwa

1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik yang mengenai hukum publik maupun hukum perdata.

2. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Pasal 60 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan selanjutnya

menyebutkan bahwa :

1. Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. 2. Untuk membuktikan bahwa syarat – syarat tersebut dalam ayat 1 telah dipenuhi

dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan surat pemberian keterangan itu beralasan atau tidak.

(7)

5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.9

Dalam hal pencatatan perkawinan campuran Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan mewajibkan suatu perkawinan campuran untuk dicatat agar

memiliki bukti dan kekuatan hukum atas terjadinya perkawinan campuran tersebut.

Hal ini termuat di dalam ketentuan Pasal 61 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa :

1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.

2. Barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dulu kepada pegawai pencatat yang berwenang, surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pada Pasal 60 ayat (4) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan dihukum jabatan.10

Di dalam suatu perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan

ketentuan yang termuat di dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Kewarganegaraan yang diperoleh

seorang anak sebagai akibat perkawinan campuran atau putusnya perkawinan

campuran menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun

hukum perdata”. Hal ini termuat di dalam ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

9Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal. 76

10Rustam Wahyuno,Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011, hal.

(8)

Didalam Pasal 12 PP No 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan hal-hal yang harus

dicamumkan dalam akta perkawinan antara lain:

1. Nama, tanggal dan lempai lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami-istri. Apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkun juga nama istri atau suami terdahulu.

2. Nama, agama/kepercayaan. pekerjaan dan tempat kediaman orang tua merek 3. Izin sebagai dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3) (4) dan (5) Undang-undang; 4. Dispensasi sebagai dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang;

5. Izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang 6. Perjanjian sebagai dimaksud Pasal 6 ayat (1) Undang-undang;

7. Izin dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Hankum/ Pangab bagi anggota Angkatan Bersenjata;

8. Perjanjian perkawinan apabila ada;

9. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman para saksi dan wali nikah bagi yang beragama Islam;

10. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Sesuai Pasal 13 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975, masing-masing suami istri

diberikan kutipan akta perkawinan, sehingga mereka mempunyai alat bukti bahwa

mereka telah melangsungkan perkawinan. Akta perkawinan merupakan alat bukti

perkawinan, dapat disimpulkan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang menyatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama

halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang,

misalnya kematian, kelahiran yang dinyatakan dalam surat keterangan, surat akta

resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Sebagai alat bukti maka akta perkawinan itu mempunyai 3 buah sifat :

1. Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai alat mutlak (eeneig bewijsmiddel).

(9)

dimintakan alat-alat bukti lain(volledig bewijsmiddel)

3. Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga bukti lawannya tidak dapat melemahkan akta perkawinan itu.11

Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa, “agar

terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat setiap perkawinan harus dicatat” dan

Pasal 5 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa “Pencatatan perkawinan

pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.

Selanjutnya dijelaskan untuk memenuhi ketentuan pada Pasal 5, setiap perkawinan

harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak

mempunyai kekuatan hukum.

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan

dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui

perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan dan lebih khusus lagi

perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Lebih tegas lagi bahwa tujuan pencatatan

perkawinan agar mendapat kepastian hukum dan ketertiban. Namun perlu diingat

bahwa pencatatan perkawinan hanyalah bersifat administasi, dan bukan syarat sah

atau tidaknya perkawinan dan tidak mengakibatkan batalnya perkawinan.12 Aspek

yuridis perkawinan antara lain dapat disimpulkan dari Pasal 2 ayat (2)

Undang-11 R. Soetojo Prawirohardjo, dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,

Bandung, 2010, hal. 41

12 Khoriddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap

(10)

Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa “Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangann yang berlaku”.13

Perkawinan antara Jessica Iskandar dan Ludwig Franz Willibald yang

dinyatakan telah terjadi adalah menggunakan dokumen-dokumen yang tidak sah yang

telah direkayasa, sehingga seolah-olah telah terjadi perkawinan campuran tersebut. Di

dalam perkawinan antara Jessica Iskandar dan Ludwig Franz Willibald yang telah

menggunakan dokumen-dokumen yang tidak sah tersebut telah dilahirkan anak,

seolah-olah anak tersebut dilahirkan dari suatu perkawinan campuran yang sah sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku di bidang hukum perkawinan.

Dalam kasus pembatalan perkawinan Jessica Iskandar dan Ludwig Franz

Willibald yang termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.

586.Pdt.G/2014 bahwa Ludwig menggugat pembatalan perkawinan tersebut karena

merasa dirinya belum pernah menikah secara resmi dengan Jessica, namun surat /

dokumen yang berkaitan dengan perkawinan tersebut ada pada keluarga Jessica. Hal

ini membuat Ludwig mengajukan gugatan pembatalan perkawinan tersebut karena

sudah merasa tertipu dengan adanya surat / dokumen yang menguatkan tentang

adanya perkawinan tersebut. Bahwa yang terjadi sebenarnya menurut Ludwig, Jessica

dan Ludwig tidak pernah melangsungkan perkawinan. Sehingga gugatan yang

diajukan Ludwig bukanlah gugatan perceraian melainkan gugatan pembatalan

perkawinan antara Ludwig dan Jessica yang belum pernah dilaksanakan.

13Wahyono Darmabrata,Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

(11)

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586.Pdt.G/2014 mengabulkan

gugatan Ludwig, karena setelah dilaksanakan pemeriksaan saksi-saksi,

dokumen-dokumen beserta alat bukti pendukung lainnya, bahwa memang tidak pernah terjadi

perkawinan resmi antara Jessica dan Ludwig. Yang ada adalah hubungan suami istri

di luar nikah yang dilakukan oleh Ludwig dan Jessica.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana legalitas perkawinan campuran yang kelengkapan persyaratannya

tidak sempurna?

2. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan campuran yang dibatalkan oleh

pengadilan karena menggunakan dokumen yang tidak sah?

3. Bagaimana dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan dalam membatalkan perkawinan antara Jessica Iskandar dan Ludwig

Franz Willibald dalam Putusan No. 586/Pdt.G/2014/PN Jaksel?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui legalitas perkawinan campuran yang kelengkapan

(12)

2. Untuk mengetahui akibat hukum dari perkawinan campuran yang dibatalkan

oleh pengadilan karena menggunakan dokumen yang tidak sah

3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan dalam membatalkan perkawinan antara Jessica Iskandar dan

Ludwig Franz Willibald dalam Putusan No. 586/Pdt.G/2014/PN Jaksel

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

secara praktis dibidang hukum perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan khususnya dibidang perkawinan pada umumnya dan hukum

perkawinan campuran pada khususnya terhadap prosedur dan tata cara pelaksanaan

perkawinan campuran dan proses pencatatannya berdasarkan Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan agar perkawinan campuran tersebut dipandang sah

dan memiliki kepastian hukum.

1. Secara Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa sumbangsih pemikiran bagi

perkembangan hukum perkawinan pada umumnya serta prosedur dan tata cara

pelaksanaan perkawinan campuran serta proses pencatatannya berdasarkan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar perkawinan campuran tersebut

(13)

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat

praktisi, maupun bagi pihak-pihak terkait mengenai hukum perkawinan pada

umumnya dan hukum perkawinan campuran khususnya terutama dalam hal prosedur

dan tata cara pelaksanaan perkawinan campuran tersebut serta proses pencatatannya

berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan agar perkawinan

campuran tersebut dipandang sah dan memiliki kepastian hukum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas

Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister

Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum

pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan

dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Fathia Nadia Tanjung, NIM. 057011029/MKn, dengan judul tesis

“Kedudukan anak dalam perkawinan campuran ditinjau dari Undang-Undang

No. 1 Taun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 12 Tahun 200

tentang Kewarganegaraan”.

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan

campuran berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang

(14)

b. Bagaimana ketentuan hukum mengenai perkawinan berdasarkan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

c. Bagaimana status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan

campuran bila terjadi perceraian berdasarkan Undang-Undang No. 12

Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan?

2. Emelia Devrita, NIM 117011086, dengan judul tesis “Kedudukan dan hak

mewarisi anak yang berstatus warga Negara asing (Studi Putusan Pengadilan

tata Usaha Negara No. 141G/2010/PTUN-Jkt))”

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana kedudukan anak yang berstatus warga Negara asing yang

perkawinan orangtuanya tidak dicatatkan di Indonesia?

b. Bagaimana hak mewarisi dari anak yang berstatus warga Negara asing

dari orang tua kandungnya di Indonesia?

c. Apakah bagaimana pertimbangan hukum hakim mengenai pencabutan

surat keterangan hak mewaris yang dikeluarkan oleh balai harta

peninggalan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No.

141/G/2010/PTUN-JKT

3. T. Ferzialdi Hanafiah. 057011091/MKn, dengan judul tesis tinjauan hukum

terhadap anak-anak yang memperoleh status warga negara Indonesia dari hasil

(15)

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimanakah hak dan kewajiban yang didapat oleh anak dibawah umur

dari perkawinan campuran setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2006?

b. Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan dalam proses pendaftaran anak yang lahir dari

perkawinan campuran ?

c. Bagaimana masalah-masalah yang dihadapi bagi anak setelah kelaurnya

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang

penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga

penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,14 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaranya. Kerangka teori adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau

permasalahan (problem) yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.15

14JJJ M, Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,(Jilid I), FE

UI, Jakarta, 1996, hal. 203

(16)

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini

adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian

yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan

hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan

hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan

hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi

dalam putusan hukum antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya

untuk kasus yang sama yang telah diputuskan.16

Teori kepastian hukum dipilih dan digunakan dalam penelitian ini untuk

menganalisis tentang pembatalan perkawinan campuran, dimana putusan pengadilan

yang telah membatalkan perkawinan campuran tersebut harus menimbulkan suatu

kepastian hukum baik bagi para pihak maupun bagi anak-anak yang lahir sebelum

perkawinan tersebut dibatalkan oleh pengadilan. Sehingga dengan demikian dapat

diketahui kedudukan hukum para pihak setelah terjadinya pembatalan perkawinan

tersebut.

Hukum pada hakikatnya adalah bersifat abstrak meskipun dalam

manifestasinya bisa berwujud konkret. Pelaksanaan perkawinan campuran di

Indonesia yaitu antara perempuan warga negara Indonesia dengan laki-laki warga

16Meter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta,

(17)

negara asing atau sebaliknya harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pelaksanaan

perkawinan campuran beserta proses pencatatannya di Indonesia yang harus

dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertujuan agar

perkawinan campuran tersebut dipandang sah secara hukum dan juga memiliki

kepastian hukum bagi para pihak yaitu pasangan suami istri yang melaksanakan

perkawinan campuran tersebut serta status anak yang dilahirkan dari perkawinan

campuran tersebut.17

Apabila pelaksanaan perkawinan campuran dan proses pencatatannya tidak

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia

yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka pelaksanaan

perkawinan campuran beserta proses pencatatannya dipandang tidak sah dan tidak

memiliki kepastian hukum bagi para pihak yang melaksanakan perkawinan campuran

tersebut termasuk status anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut

serta terhadap pihak ketiga yang berkepentingan terhadap perkawinan campuran

tersebut.18 Oleh karena itu di dalam penelitian ini digunakan sebagai pisau analisis

untuk mengkaji pelaksanaan perkawinan campuran beserta segala proses

pencatatannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

17Marwandi Arif, Perkawinan Campuran di Indonesia (Legalitas Dan Dasar Hukum), Mitra

Ilmu, Surabaya, 2011, hal. 41

18 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran,PT Citra Aditya

(18)

bidang hukum perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan sehingga pelaksanaan perkawinan campuran tersebut dipandang

sah secara hukum serta memiliki kepastian hukum bagi para pihak yaitu pihak suami

istri yang melangsungkan perkawinan campuran tersebut serta status hukum anak

yang akan dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut.19

Prosedur pelaksanaan perkawinan campuran yang sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan dibidang hukum perkawinan yakni Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga akan menimbulkan suatu kepastian

hukum bagi pihak ketiga yang berkepentingan terhadap perkawinan campuran

tersebut. Oleh karena itu apabila ada gugatan atau keberatan dari pihak ketiga atas

pelaksanaan perkawinan campuran tersebut maka para pihak yang berkepentingan

yakni pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan campuran tersebut dapat

mempertahankan perkawinannya tersebut karena telah dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang hukum perkawinan khususnya

perkawinan campuran menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.20

Di samping itu status hukum anak yang akan dilahirkan dari perkawinan

campuran tersebut juga akan menimbulkan suatu kepastian hukum, sehingga status

hukum anak menjadi jelas baik hak dan kewajibannya terhadap orang tua dan juga

19Jandri Wiliam Suryanto,Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan Campuran Serta dasar

Hukumnya berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2009, hal. 18

20 Anton Samudra, Tinjauan Yuridis Praktis terhadap Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

(19)

terhadap hak mewaris dari harta orangtuanya. Teori kepastian hukum yang digunakan

dalam penelitian ini juga dimaksudkan agar apabila terjadi pelaksanaan perkawinan

campuran beserta segala proses pencatatan dari anak yang dilahirkan dari perkawinan

campuran tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku di bidang hukum perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan maka teori kepastian hukum akan mengkaji serta

menganalisis tentang seberapa jauh pelaksanaan perkawinan campuran serta proses

pencatatan anak yang lahir dari perkawinan campuran tersebut mengandung cacat

hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bahkan dapat dibatalkan

pelaksanaan perkawinan campuran tersebut oleh pengadilan karena pelaksanaanya

mengandung cacat hukum.21

Pelaksanaan perkawinan campuran yang terjadi di dalam kasus Jessica

Iskandar dan Ludwig Franz Willibald yang pada akhirnya dibatalkan oleh Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan melalui suatu putusan Pengadila Negeri Jakarta Selatan No.

586/Pdt.G/2014 karena adanya gugatan dari Ludwig sebagai suami Jessica yang

merasa bahwa dirinya tidak pernah melangsungkan suatu perkawinan yang sah

dengan Jessica Iskandar di gereja manapun. Oleh karena itu Ludwig merasa ditipu

oleh keluarga Jessica, karena surat/dokumen yang berkaitan dengan adanya proses

perkawinan antara Jessica dengan Ludwig telah berada di tangan keluarga Jessica.

Oleh karena itu berdasarkan keberatan dari Ludwig atas adanya surat/dokumen yang

21Jefrry Fradana,Kepastian Hukum Perkawinan Campuran di Indonesia,Intermasa, Jakarta,

(20)

berkaitan adanya proses perkawinan tersebut, maka Ludwig merasa dirugikan dan

mengajukan gugatan pembatalan dari pelaksanaan perkawinan tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gugatan yang diajukan Ludwig

terhadap Jessica bukan gugatan perceraian melainkan suatu gugatan pembatalan

perkawinan yang menurut penggugat tidak pernah dilaksanakan oleh pasangan

Ludwig dan Jessica tersebut. Bila ditinjau dari teori kepastian hukum yang digunakan

dalam penelitian ini maka dapat dikatakan bahwa pembatalan perkawinan yang

diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586/Pdt.G/2014 antara Jessica

Iskandar dan Ludwig Franz Willibald diakibatkan karena perkawinan campuran

tersebut tidak didasarkan kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Oleh karena itu perkawinan campuran yang menurut keluarga Jessica

telah dilaksanakan antara Jessica Iskandar dengan Ludwig Franz Willibald tidak

dapat dipertanggungjawabkan secara hukum karena tidak memiliki legalitas /

kepastian hukum sehingga dapat diajukan keberatan oleh pihak lain yang merasa

dirugikan atas perkawinan campuran tersebut. Disamping itu suatu perkawinan

campuran yang tidak sah dan juga tidak memiliki kepastian hukum dalam

pelaksanaanya dapat juga diajukan gugatan pembatalan oleh pihak-pihak yang

berkepentingan yang merasa dirugikan atas perkawinan campuran tersebut.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam suatu perkawinan campuran

yang tidak memiliki suatu kepastian hukum bagi dari segi prosedur dan tata cara

(21)

perundang-undangan tentang hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia yaitu

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maka pelaksanaan

perkawinan campuran tersebut dapat digugat oleh pihak ketiga maupun oleh salah

satu dari calon mempelai itu sendiri karena adanya kerugian yang ditimbulkan

baginya dari perkawinan campuran yang tidak memiliki kepastian hukum tersebut.

Gugatan dapat berupa pencegahan perkawinan maupun pembatalan perkawinan yang

berarti bahwa perkawinan tersebut tidak sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku

serta tidak memiliki suatu kepastian hukum dalam proses pelaksanaan dan

pencatatannya.

2. Konsepsi

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi

suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional defenition.22 Pentingnya

definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau

penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk

menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep

dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan

yang telah ditentukan, yaitu :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

22 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi

(22)

2. Perkawinan campuran menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah

perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegeraan Indonesia.

3. Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang

dilaksanakan oleh petugas pencatat perkawinan dengan tujuan untuk

menciptakan suatu ketertiban hukum dan juga kepastian hukum.23

4. Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

5. Status hukum adalah kedudukan hukum anak dari hasil perkawinan campuran

dimana pelaksanaan perkawinan campuran tersebut serta proses

pencatatannya mengandung cacat hukum karena tidak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum

perkawinan campuran di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

6. Cacat hukum adalah suatu keadaan dimana suatu perbuatan dan tindakan

hukum yang dilakukan oleh subjek hukum tidak sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya di bidang hukum

23 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di

(23)

perkawinan campuran sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.24

7. Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan Pengadilan yang

menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah,

akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada.25

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu

masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas

terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian

metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk

memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.26

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian ini

didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang hokum

perawinan yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 serta peraturan pelaksananya

yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, dimana pendekatan terhadap

permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku mengenai hukum perkawinan dan hukum perkawinan campuran

khususnya tentang prosedur dan tata cara pelaksanaan perkawinan campuran serta

24 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1996, hal. 61.

25Rachmanto Hadi,Prosedur Hukum Perkawinan Pencegahan, Pembatalan dan Perceraian

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Media Ilmu, Jakarta, 2011, hal. 52

(24)

serta proses pencatatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku di bidang hukum perkawinan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Apabila pelaksanaan perkawinan campuran dan proses pencatatannya tidak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

maka pelaksanaan perkawinan campuran tersebut dapat dinyatakan tidak sah karena

mengandung cacat hukum serta menimbulkan akibat tidak memiliki kepastian hukum

baik dari segi status perkawinan campuran tersebut maupun dari segi status hukum

anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian

ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan

yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh

dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam

menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.27

2. Sumber Data

Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder.

Bahan-bahan hukum yang digunakan adalah Bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tertier

yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum perkawinan pada

umummya dan hukum perkawinan campuran dalam hal pelaksanaan

(25)

perkawinan pada umumnya, dan perkawinan campuran pada khususnya sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .

Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, KUH

Perdata, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 586/Pdt.G/2014.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya

ilmiah hukum tentang hukum perkawinan pada umumnya dan hukum

perkawinan campuran pada khususnya di bidang pelaksanaan perkawinan

campuran dan proses pencatatannya berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus

hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya.28

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Alat pengumpulan

data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan

membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer

yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum

28 Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama

(26)

perkawinan pada umumnya dan hukum perkawinan campuran pada khususnya di

bidang pelaksanaan perkawinan campuarn tersebut dan juga proses pencatatannya

sehingga dipandang sah dan memiliki kepastian hukum bagi suami istri yang

melaksanakan perkawinan campuran tersebut serta bagi status hukum anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut.29Pengumpulan data dilakukan dengan

studi dokumen dimana dokumen yang dikumpulkan adalah Undang-Undang No. 1

Tahun 1974, PP No. 9 Tahun 1975 dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

No. 586/Pdt.G/2014.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan

data dalam pola, kategori dan sataun uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.30Di dalam

penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk

mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang

berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk

memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.31 Sebelum dilakukan analisis,

terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang

dikumpulkan. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan

disistematisasikan secara kualitatif.

29Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media, Malang,

2005, hal. 28

30Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal

106.

(27)

Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk

menyelidiki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau

keistimewaan dari suatu penelitian yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan

kalimat sendiri dari data yang ada baik primer, sekunder maupun tertier.

Sehingga menghasilkan klasifikasi yang sesuai dengan permasalahan yang

dibahas dalam penelitian ini, untuk memperoleh jawaban yang benar mengenai

prosedur dan tata cara pelaksanaan perkawinan campuran dan proses pencatatannya

di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

agar pelaksanaan perkawinan campuran tersebut memiliki ketentuan dan kepastian

hukum bagi pasangan suami istri yang melaksanakan perkawinan campuran tersebut,

sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dengan metode deduktif, yaitu

melakukan penarikan kesimpulan diawali dari hal-hal yang bersifat umum untuk

kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar

Referensi

Dokumen terkait

[r]

14 Memahami bunyi, makna, dan gagasan dari kata, frase, kalimat bahasa Arab sesuai dengan struktur kalimat yang berkaitan dengan topik:. Dialog dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tingkat bunga, PDB per kapita, nilai tukar Rupiah terhadap US $, tarif pajak, insentif pajak (tax allowance), dan kemudahan pelayanan

Level Kognitif Lingkup Materi Bentuk Muka Bumi dan Fenomena Geosfer Penduduk dan Lingkungan Hidup Kegiatan dan Pelaku Ekonomi Perekonomian Indonesia dan Kerjasama

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui peluang dari para pengusa- ha mikro untuk mendapatkan bantuan pembia- yaan produktif dilihat dari lama usaha, jenis

[r]

Penulisan ilmiah ini berguna untuk lebih mengenalkan bahasa Ingris sejak dini dan untuk lebih mengenalkan teknologi komputer secara visual, interaktif dan

Analisis regresi linier berganda adalah teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini untuk mengukur intensitas hubungan antara dua variabel (dependen