• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Di Bank Sumut (Studi Pada Bank Sumut)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Terhadap Pelaksanaan Eksekusi Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Di Bank Sumut (Studi Pada Bank Sumut)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TIINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT

A.Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Latin “Credere” yang artinya percaya

atau dalam bahasa Latin “Creditum” yang berarti keenaran akan kepercayaan,

maksudnya pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang

disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi penerima

kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk

membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya, oleh

karena itu, unuk meyakinkan bank bahwa nasabah benar-benar dapat dipercaya,

maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu mengadakan analisis kredit, dalam

pemberian kredit terdapat 2 (dua) pihak yang berkepentingan langsung, yaitu

pihak yang membutuhkan dana disebut penerima kredit atau debitur, sedangkan

yang memberi dana atau yang berlebihan dana disebut sebagai pemberi kredit atau

kreditur. 13

1. Tidak seperti hibah, transaksi kredit mensyaratkan debitur dan pemberi

kredit untuk saling tukar menukar sesuatu yang bernilai ekonomis.

M. Jakile mengemukakan bahwa: “Kredit adalah suatu ukuran

kemampuan sesorang untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai ekonomis sebagai

ganti darijanjinya untuk membayar kembali hutangnya pada tanggal tertentu”

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa dari definisi tersebut dapat disimpulkan

empat elemen yang penting, yaitu:

13

(2)

2. Tidak seperti pembelian secara kontan, transaksi kredit

mensyaratkandebitur untuk membayar kembali kewajibannya pada suatu

waktu dibelakang hari.

3. Tidak seperti hibah maupun pembelian secara tunai, transaksi kredit akan

terjadi sampai pemberi kredit bersedia mengambil risiko bahwa

pinjamannya mungkin tidak dibayar

4. Sebegitu jauh ia bersedia menanggung resiko, bila pemberi kredit

menaruh kepercayaan terhadap pinjaman. Resiko dapat dikurangidengan

meminta kepada peminjam untuk menjamin pinjaman yang diinginkan,

meskipun sama sekali tidak dapat dicegah semua resiko kredit.14

Pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang No 10 tahun

1998 tentang perbankan: “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam

untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Pencantuman kata-kata persetujuan atau keseakatan pinjam-meminjam didalam

definisi atau pengertian kredit sebagaimana yang tercantumdidalam pasal 1 angka

11 tersebut diatas, dapat mempunyai beberapa maksud yaitu:

a. Bahwa pembentuk undang-undang beraksud menegaskan

bahwahubungan kredit ban adalah hubungan kontraktual antara bank dan

nasabah debitur yang berbentuk pinjam meminjam. Dengan demikian

14

(3)

mengenai hubungan kredit bank berlakulah ketentuan yan terdapat di

dalam buku ke III( tentang perikatan)

b. Bahwa pembentuk undang-undang bermaksud untuk mengharuskan

hubungan kredit bank dibuat berdasarkan perjanjian tertulis.15

Menurut Rachmadi Usman, Kredit adalah penyedia uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam-meminjam antar bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk

melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit

juga berarti meminjamkan uang atau pemindahan pembayaran, apabila orang

menyaakan membeli secara kredit maka hal ini berarti si pembeli tidak harus

membayarnya pada saat itu juga.16

Semua UU Perbankan Indonesia tidak memberikan batasan arti tentang

perjanjian kredit. Istilah perjanjian kredit terdapat dalam Instruksi Presiden yang

ditunjukkan kepada masyarakat Bank. Diinstruksikan bahwa dalam memberikan

kredit dalam bentuk apapun bank wajib menggunakan “akad perjanjian kredit”

(Pedoman Kebijaksanaan di bidang Perkreditan (Instruksi Presidium Kabinet No.

15/EK/10) tanggal 13 Oktober 1996 jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit Dengan demikian setiap kredit yang telah

disetujui dan disepakati antara para pihak yakni kreditur dan debitur, maka wajib

dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis.

15

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak badan perjanjian kredit bank di indonesia, (Jakarta, Institut Banker indonesia, 1991), hal. 180 -181

16

(4)

I No. 2/539/UPK/Pem. Tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Indonesia

No. 2/643/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1966).17

Perjanjian kredit Bank merupakan perjanjian pendahuluan

(woorowereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian uang ini merupakan

hasilpermufakatan antara pemberi dan penerima jaminan mengenai

hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian kredit merupakan perikatan antara

dua belah pihak atau lebih dimana perjanjian kredit menggunakan uang sebagai

objek dari perjanjian. Jadi perjanjian kredit itu merupakan perjanjian pinjam

meminjam uang antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur,

dimana dalam perjanjian ini bank sebagai pemberi kredit percaya terhadap

nasabahnya dalam jangka waktu tertentu sebagaimana yang telah disepakati akan

dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan Pengertian perjanjian menurut pasal 1313 Undang-Undang Hukum

Perdata, didefinisikan sebagai “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Jika

diperhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dari

suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu orang atau lebih orang

pihak kepada satu orang atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas

prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu

atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut

dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.

17

(5)

kembali prestasi ini merupakan sesuatu yang abstrak, yang sulit diraba, karena

masa antara pemberian dan penerimaan prestasi dapat berjalan dalam beberapa

bulan, tetapi dapat pula berjalan selama beberapa tahun.18Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagaimana perjanjian kredit

adalah prejanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessornya. Ada atau

berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah

bahwa perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada

nasabah kreditur.19

Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de

contrahendo), sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-piutang

(perjanjian pinjam-pengganti). Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok

serta bersifat konsensuil (pactade contrahendo obligatoir) disertai adanya

pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum

antara keduanya. Pada saat penyerahan uang dilakukan, maka baru berlaku

ketentuan yang dituangkan dalam perjanjian kredit pada kedua belah pihak.

Perjanjian kredit sebagai perjanjian pendahuluan adalah perjanjian standar

(standard contract). Hal ini terlihat dalam praktek bahwa setiap bank telah

menyediakan blanko perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan lebih dahulu.

Formulir ini diberikan kepada setiap pemohon kredit, isinya tidak dirundingkan

dengan pemohon, kepada pemohon hanya diminta pendapat untuk menerima atau

18

Eugenia Liliawati Muljono, Tinjauan Yuridis Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya Denngan Pemberian Kredit Oleh Perbankan, (Jakarta, Harvaindo, 2003), hal. 8.

19

(6)

tidak syarat-syarat dalam formulir. 20

1) Perjanjian kredit berfugsi sebagai perjanjian pokok.

Perjanjian kredit ini perlumemperoleh

perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah

sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting

dalam pemberian, pengelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan

dengan itu, menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai

fungsi-fungsi sebagai berikut :

2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan

hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.21

Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan

bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam

praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur

sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik.22

a) Besarnya jumlah kredit/pinjaman yang diberikan oleh pihak penyedia

uang atau tagihan.

Dalam suatu perjanjian kredit, beberapa hal yang memberikan kepastian hukum

dan wajib dicantumkan antara lain adalah sebagai berikut :

b) Besarnya bunga atau margin bagi hasil, provisi/commitment fee, denda

dan biaya-biaya lain.

c) Jangka waktu pemberian kredit/pembiayaan.

d) Tempat pembayaran kembali utang atau kredit tersebut.

20

Martha, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan

Hak Tanggungan,

tanggal 15 April 2017

21

Hermansyah, Op.cit, hal 71

22

(7)

e) Agunan, sebagai suatu yang dapat memberikan keyakinan kepada

bank/lembaga penyedia kredit untuk memutuskan pemberian

kredit/pembiayaan.23

B.Jenis-Jenis Perjanjian

Beberapa jenis perjanjian akan diuraikan seperti berikut ini berdasarkan

kriteria masing-masing, yaitu :

1. Perjanjian Timbal Balik dan Sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah

pihak berprestasi secara timbal balik, seperti halnya pada perjanjian

jual-beli, sewa-menyewa dan tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah

perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi

hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya yaitu

hibah (Pasal 1666 KUH Perdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal

1792 KUH Perdata).

2. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah memiliki nama sendiri,

yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya

terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar,

pertanggungan, pengangkutan. Sedang perjanjian tidak bernama adalah

perjanjian yang tidak mempunyai namadan tidak diatur dalam KUH

Perdata serta jumlahnya tidak terbatas. Jenis perjanjian ini banyak

ditemukan dalam masyarakat.

23

(8)

3. Perjanjian Obligatoir dan Kebendaan

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan

kewajiban pada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak

milik. Sedang perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk

memindahkan hak milik dalam jual-beli, sewa-menyewa, dan

tukar-menukar.

4. Perjanjian Konsensual dan Riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul baru dalam taraf

melahirkan hak dan kewajiban saja bagi kedua belah pihak dimana tujuan

dari perjanjian tersebut baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak

dan kewajiban tersebut. Perjanjian riil adalah perjanjian yang terjadinya

sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.

C.Perjanjian Baku

1) Pengertian Perjanjian Baku

Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

standard contract. Di Indonesia sendiri, perjanjian baku juga dikenal dengan

istilah “perjanjian standar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata standar

berarti suatu ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan, sedangkan kata baku

berarti tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan.

(9)

konsumen mempunyai hak untuk melakukan pilihan yaitu menyetujui perjanjian

atau menolak perjanjian.24

a. Hondius merumuskan perjanjian baku sebagai berikut : “Perjanjian baku

adalah konsep-konsep atau janji-janji tertulis, disusun tanpa membicarakan

isinya dan lazimnya, dituangkan ke dalam sejumlah tak terbatas perjanjian

yang sifatnya tertentu”.

Dalam perjanjian baku, model, rumusan dan ukuran yang dijadikan

patokan atau pedoman telah dibakukan sehingga tidak dapat diganti atau diubah

lagi. Semuanya telah dicetak dalam bentuk formulir yang di dalamnya dimuat

syarat-syarat baku. Oleh karena perjanjian baku tersebut dibuat sepihak maka

hanyalah pihak penyusun perjanjian yang memahami isi perjanjian sedangkan

pihak lain yang hanya menerima perjanjian tidak tertutup kemungkinan dirugikan

sebab ia sulit dan tidak memahami isi perjanjian dalam waktu singkat. Terdapat

beberapa rumusan mengenai pengertian perjanjian baku yang dirumuskan oleh

para ahli hukum, yaitu :

b. Sutan Remi Sjadeini merumuskan perjanjian baku sebagai berikut : “Perjanjian

baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh

pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang

untuk merundingkan atau meminta perubahan".

c. Mariam Darus Badrulzaman merumuskan perjanjian baku sebagai berikut:

“Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan

dalam bentuk formulir”.25

24

(10)

Berdasarkan rumusan perjanjian baku yang telah dirumuskan oleh para

ahli hukum, maka dapat dirumuskan perjanjian baku merupakan perjanjian tertulis

yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu, yang mengandung

syarat-syarat baku, yang dibuat oleh salah satu pihak kemudian disodorkan kepada

pihak lain untuk disetujui

2) Ciri-ciri Perjanjian Baku

Dalam perjanjian baku juga terdapat ciri-ciri atau karakteristik yang harus

disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Perkembangan kebutuhan masyarakat kini menginginkan adanya efisiensi dan

efektivitas kerja. Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta

efektivitas kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karakteristik yang

khas yang tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain

perjanjian baku dibuat salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk

perundingan, isi perjanjian telah distandarisasi, klausula yang ada di dalamnya

biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku

secara terus menerus dalam waktu yang lama.26

a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat

dari konsumen;

Selain itu, beberapa para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai

ciri-ciri atau karakteristik perjanjian baku. Sudaryatmo mengungkapkan

karakteristik perjanjian baku sebagai berikut:

25

Sukarmi, Cyber Law : Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha (Cyber Law Indonesia), (Bandung, Pustaka Sutra, 2008), hal. 45.

26

(11)

b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian;

c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;

d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.27 3) Jenis-jenis Perjanjian Baku

Mariam Darus Badrulzaman membagi perjanjian baku menjadi empat

jenis yaitu :

a. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak

yang kuat kedudukannya didalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah

pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) kuat dibandingkan

pihak debitur.

b. Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh

kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak

majikan (kreditur) dan pihak lainnya buruh (debitur). Kedua pihak lazimnya

terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektif.

c. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah adalah perjanjian baku yang isinya

ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya

perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah.

d. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat adalah

perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk

memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris

atau advokat yang bersangkutan.28

27

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013), hal. 93.

28

(12)

D.Asas-Asas Perjanjian Kredit

Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas penting yang menjadi

dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Sama halnya dalam perjanjian kredit,

asas-asas ini merupakan pedoman dan dasar kehendak masing-masing pihak dalam

mencapai tujuannya. Terdapat lima asas dalam membuat perjanjian, yaitu :

1. Asas Pacta Sunt Servada

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata , yang menyatakan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib

mentaati dan melaksaakan perjanjian yang telah disepakati sebagaimana

mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt

servada adalah perjanjian tiak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari

pihak lain. Hal ini disebutkan dalam pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu

suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat dua

belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang

dinyatakan cukup untuk itu.

2. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, yaitu bahwa untuk

melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya suatusyarat-syarat

yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan bahwa

perjanjian tersebut telah dilahirkan pada saat telah tercapainya suatu

kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut.

(13)

dalamPasal 1320 KUHPerdata tersebut telah dipenuhi dan lahir ketika para

pihak telah mengucapkan kata sepakat.

3. Asas Itikad Baik

Dalam KUHPerdata pada Pasal 1338 ayat (3) menyatakan bahwa :

“perjanjian itu harus dilakukan dengan itikad baik”. Dengan kata

lain,setiap orang atau badan hukum (subjek hukum) yang ingin

mengadakan perjanjian harus mempunyai itikatbaik. Itikad baik di sini

merupakan suatu bentuk perlindungan untuk memberikan perlindungan

hukum bagi salah satu pihak yang mempunyai itikad baik dalam perjanjian

baik dalam waktu pembuatan perjanjian maupun pada waktu pelaksanaan

perjanjian.

4. Asas Kepribadian

Asas ini berhubungan dengan subjek yang terikat dalam suatu perjanjian.

Asas kepribadian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1340 ayat (1)

yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang

membuatnya. Pernyataan ini mengandung arti bahwa perjanjian yang

dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.

5. Asas Kebebasan Berkontrak

Hal ini menjelaskan bahwa, setiap subjek hukum mempunyai kebebasan

dalam mengadakan suatu bentuk perjanjian apa saja maupun perjanjian

yang telah diatur dalam undang-undang. Perbuatan ini mengasumsikan

bahwa adanya suatu kebebasan tertentu di dalam masyarakat untuk dapat

(14)

kebebasanberkontrak adalah begitu esensial, baikbagi individu untuk

mengembangkan diri di dalam kehidupan pribadi dan didalam lalulintas

kemasyarakatan serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta

kekayaannya, maupun bagi masyarakatnya sebagai suatu kesatuan,

sehingga hal-hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu

hak dasar.29

E.Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Dari pemaparan asas di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam asas kebebasan

berkontrak para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sesuai

keinginan kedua belah pihak sepanjang dapat dipertanggung jawabkan secara

hukum. Selanjutnya asas konsensualisme lahir pada saat para pihak mencapai

puncak kesepakatannya yaitu dalam penandatanganan perjanjian. Kemudian

setelah dilakukan tanda tangan yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang

sah terhadap isi perjanjian, akibatnya perjanjian tersebut telah mengikat bagi

kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Ilmu hukum mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu

perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang sah). Keempat unsur

tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam: dua unsur pokok yang menyangkut

subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan dua unsur

pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur

objektif). Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari

para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian.

29

(15)

Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan, dan

objek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut hukum. Tidak

terpenuhinya salah satu unsur dari ke-empat unsur tersebut menyebabkan cacat

dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam

bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif),

maupun batal demi hukum (dalam hak tidak terpenuhinya unsur objektif).

1) Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah bahwa orang

bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian dengan siapapun,

dengan bentuk dan isi apapun serta bebas untuk menentukan hukum mana yang

akan dipilih dalam menyelesaikan perjanjian tersebut. Asas ini merupakan salah

satu asas utama dan sangat penting dalam suatu perjanjian. Pada prinsipnya suatu

kontrak hanyalah urusan-urusan para pihak semata-mata sehingga campur tangan

pihak lain tidak diperlukan. Para pihak dalam suatu kontrak bebas mengatur

sendiri kontrak tersebut sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of

contract) dengan syarat bahwa kebebasan berkontrak ini dibatasi dengan

pembatasan umum, yaitu yang diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata sepanjang

memenuhi ketentuan :

a. Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak;

b. Tidak dilarang oleh undang-undang;

c. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku;

(16)

Dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak ini bersifat relatif sepanjang

kebebasan berkontrak tersebut dilakukan dengan bertanggung jawab, yaitu tidak

melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas kebebasan

berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

d. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.30

2) Sepakat mengikatkan diri (Konsensualisme)

Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak ini para pihaklah yang

berhak menentukan dengan siapa dia melakukan ikatan perjanjian dan setiap

orang bebas menentukan ikatan perjanjiannya yaitu menyangkut isi perjanjian

yang dibuat. Di samping itu para pihak juga berhak menentukan hukum yang

hendak mereka pilih untuk mengatur perjanjian mereka, hukum yang berlaku

sebagai dasar transaksi, termasuk sebagai dasar penyelesaian sengketa apabila

timbul masalah dari perjanjian yang mereka buat.

Menurut Nancy K. Kubasek dalam bukunya yang berjudul “Dynamic

Business Law” menyatakan bahwa “the first element of a contract is the

agreement”. Perjanjian lahir saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak

yang didasarkan atas adanya persetujuan kehendak, dikenal dengan asas

konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Persetujuan

30

(17)

kehendak adalah persepakatan antara pihak-pihak mengenai pokok (esensi)

perjanjian.31

3) Kecakapan para pihak

Persetujuan kehendak itu bebas dari paksaan pihak mana pun dan tidak ada

kekhilafan maupun penipuan. Paksaan (dwang) adalah suatu perbuatan ancaman

yang dilakukan oleh seseorang yang dapat menakutkan orang dan apabila

perbuatan ancaman tersebut menjadi kenyataan dapat menimbulkan kerugian

secara nyata dan terang kepada orang yang diancam. Kehilafan (dwaling) adalah

suatu penggambaran yang keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat

penting objek perjanjian, atau mengenai subjek perjanjian. Penipuan (bedrog)

merupakan suatu alasan pembatalan perjanjian yang dilakukan dengan

menggunakan tipu muslihat oleh salah satu pihak.

Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kata sepakat, salah satu

pihak akan menyampaikan penawaran. Penawaran merupakan suatu bentuk

pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala

macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan untuk disepakati oleh

parapihak. Adanya kesepakatan para pihak ditandai oleh penawaran dan

penerimaan yang dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, diam-diam, dan

simbol.

Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan

hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk

31

(18)

membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang

dinyatakan tidak cakap. Adapun orang-orang yang tidak cakap membuat

perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, orang yang dibawah

pengampuan dan perempuan yang telah kawin. Ketentuan KUH Perdata mengenai

tidak cakapnya perempuan yang telah kawin melakukan suatu perjanjian kini telah

dihapuskan, karena menyalahi hak asasi manusia.32 4) Suatu Hal Tertentu

Menurut KUH Perdata hal tertentu adalah :

a. Suatu hal tertentu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian adalah harus

suatu hal atau barang yang cukup jelas atau tertentu yakni paling sedikit

ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUH Perdata);

b. Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat

menjadi pokok suatu perjanjian (Pasal 1332 KUH Perdata);Contohnya

seorang pedagang telur, pedagang ayam ternak harus jelas barang

tersebut ada didalam gudang, jual beli tanah harus jelas ukuran luas tanah

dan letak dimana tempatnya. 33 5) Suatu Sebab yang Halal

Meskipun siapa saja dapat membuat perjanjian apa saja, tetapi ada

pengecualiannya yaitu sebuah perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang, ketentuan umum, moral dan kesusilaan (Pasal 1335

KUHPerdata). Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi

semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah.

32

Ibid, hal.12

33

(19)

6) Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas dalam perjanjian yang

berhubungan dengan mengikatnya perjanjian. Yaitu bahwa semua perjanjian yang

dibuat oleh para pihak, asalkan memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka mengikat sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya, Pasal 1338 KUHPerdata. Jadi

asas pacta sunt servanda ini merupakan asas bahwa para pihak harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.

Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat

oleh para pihak.

7) Asas Itikad Baik (good faith)

Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, suatu kontrak haruslah

dilaksanakan dengan itikad baik (tegoeder trouw). Rumusan tersebut memberikan

arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh

para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati

sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian

ditutup.34

34

Purwakhid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan Sebagai Dasar Untuk Merevisi Isi Perjanjian, (Jakarta , Elips Project, 1993), hal.3

Itikad baik tidak hanya mengacu kepada itikad baik para pihak, tetapi

harus pula mengacu pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat,

sebabitikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Itikad baik mencerminkan

standar keadilan atau kepatutan masyarakat. Hal lain yang mendasari keberadaan

Pasal 1338 KUHPerdata dengan rumusan itikad baik adalah bahwa suatu

(20)

sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan para pihak maupun

pihak lain di luar perjanjian. Rumusan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata

mengindikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya

suatu kontrak. Unsur itikad baik hanya disyaratkan dalam hal pelaksanaan dari

suatu kontrak, bukan pada pembuatan suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik

dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dicakup oleh unsur kausa yang legal

dari Pasal 1320 KUHPerdata.35

F. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Bank

Perjanjian kredit yang dibuat selama ini berpedoman pada hukum

perikatan yang diatur dalam Buku III KUHPerdata. Perjanjian kredit merupakan

landasan hukum dalam pemberian kredit bagi para pihak karena merupakan suatu

alat bukti tertulis sah yang diperlukan oleh para pihak.

Bentuk perjanjian kredit dikaitkan dengan teori kepastian hukum dalam

pemberian kredit sebaiknya dibuat dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan

untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak kreditur apabila terjadi

sesuatu dikemudian hari. Bentuk perjanjian kredit ada yang lisan dan ada yang

berbentuk tertulis. Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena

perjanjian kredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan.

Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah

diperjanjikan, dan ini merupakan bukti kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu

35

(21)

terhadap kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh

para pihak. 36

1. Perjanjian Kredit yang dibuat dibawah tangan.

Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai

alat bukti. Dalam praktek bank bentuk perjanjian kredit dapat dibuat dengan dua

cara yaitu :

Akta dibawah tangan berarti perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri

oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk

mempercepat kinerja bank, umumnya bank telah mempersiapkan

formulir perjanjian dalam bentuk standar (standard form) dimana isi,

syaratsyarat dan ketentuan disipakan terlebih dahulu secara lengkap. Saat

penandatatangan perjanian kredit yang mana isinya telah disiapkan

sebelumnya oleh bank kemudian diberikan kepada setiap calon debitur

agar calon debitur dapat mengetahui mengenai syarat-syarat

danketentuan-ketentuan yang tercantum dalam formulir perjanjian kredit.

Maka mau tidak mau calon debitur harus bisa menerima semua ketentuan

dan persyaratan yang telah tercantum dalam formulir perjanjian kredit.

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris yang

dinamakan akta otentik atau akta notariil.

Bentuk perjanjian ini dibuat oleh notaries, Sebenarnya semua syarat dan

ketentuan perjanjian disiapkan oleh bank terlebih dahulu setelah itu

barulah diserahkan kepada notaris untuk dirumuskan sebagai akta

36

(22)

notariil. Intinya yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada

nasabahnya yang dibuat oleh atau dihadapan notaris.37

a. Yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, terkecuali

wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain;

Perjanjian kredit notariil (autentik), yaitu perjanjian pemberian kredit oleh

bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau dihadapan notaris.Dari

pengertian perjanjian kredit notariil tersebut, dapat ditemukan beberapa hal, antara

lain :

b. Akta otentik dibedakan dalam yang dibuat “oleh” dan yang dibuat “di

hadapan” pejabat umum;

c. Isi dari akta otentik adalah :

1) semua “perbuatan” yang oleh undang-undang diwajibkan dibuat

dalam akta otentik;

2) semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang dikehendaki oleh mereka

yang berkepentingan.

d. Akta otentik memberikan kepastian mengenai penanggalan daripada

aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta yang

bersangkutan, tahun, bulan dan tanggal pada waktu akta tersebut dibuat.

Mengenai akta perjanjian kredit notariil atau autentik ini, terdapat beberapa hal

yang perlu diketahui, yaitu :

1) Kekuatan Pembuktian, terdapat 3 (tiga) macam, yaitu :

37

(23)

a) Pertama, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah

menerangkan apa yang tertulis di dalam akta;

b) Kedua, membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang

disebutkan dalam akta sunguh-sungguh terjadi;

c) Ketiga, membuktikan tidak hanya antara para pihak tetapi pihak ketiga

juga telah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan

menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

2) Grosse Akta Pengakuan Hutang Kelebihan dari akta perjanjian kredit

atau pengakuan hutang yang dibuat secara notariil (autentik) adalah dapat

dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang mempunyai kekuatan

eksekutorial, artinya disamakan dengan keputusan hakim yang oleh bank

diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses

gugatan yang biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya besar.

3) Ketergantungan terhadap Notaris Bahwa notaris sebagai pejabat umum

tetap juga sebagai seorang manusia biasa sehingga di dalam mengadakan

perjanjian kredit atau pengakuan hutang oleh atau di hadapan notaris,

tetap dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan

kelengkapan yang diperlukan. Kemungkinan terjadi kekeliruan atas suatu

perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang dibuat secara notariil

tetaplah ada. Dengan demikian Account Officer tidak boleh bergantung

pada notaris, melainkan notaris harus dianggap sebagai mitra atau

rekanan dalam pelaksanaan suatu perjanjian kredit. Dalam hubungan itu,

(24)

kepada model perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh bank. Di

samping itu, Account Officer tetap megharapkan legal opinion dari

notaris setiap akan mengadakan pelepasan kredit, sehingga notaris

berperan sebagai salah satu unsur filterisasi daripada legal asect suatu

pelepasan kredit.

G.Dasar Hukum Perjanjian Kredit Bank

Kredit berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan, sedangkan

istilah kredit diatur dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 pasal 1 ayat 11,

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan

pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

UU Perbankan no. 10 Tahun 1998 Pasal 8 menyebutkan bahwa “Dalam

pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum

wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yangmendalam atas itikad dan

kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau

mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Dari pengertian tersebut dapat diambil pengertian bahwa Kredit atau pembiayaan

berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengadung risiko, sehingga

dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau

(25)

tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah

dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk

melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor

penting yang harus diperhatikan oleh bank.

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank

harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,

agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan

sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur

lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan nasabah debitur

mengembalikan uangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak

tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya

didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik,

petuk, dan lainlain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan.

Bank tidak wajibmeminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan

langsung dengan objek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan

tambahan. Disamping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau

beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.

H.Hapus dan Batalnya Perjanjian Kredit Bank

Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan tidak memuat

ketentuan mengenai hapusnya perjanjian kredit. Sesuai dengan asas lex specialis

(26)

menggunakan ketentuan dalam buku III Bab IV KUHPerdata mengenai hapusnya

suatu perikatan. Pasal 1381 KUHPerdata memuat ketentuan tentang hapusnya

perikatan. Cara-cara mengenai hapusnya perikatan menurut pasal 1381

KUHPerdata yaitu karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti

dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan utang perjumpaan uang atau

kompensasi, pencampuran utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang

terutang, kebatalan/pembatalan, berlakunya syarat batal, dan lewatnya

waktu.38

1. Terdapat kata sepakat di antara mereka yang berjanji;

Pada dasarnya perjanjian bersifat konsensuil, namun demikian ada

perjanjian-perjanjian tertentu yang mewajibkan dilakukan sesuatu tindakan yang

lebih dari hanya sekedar kesepakatan, sebelum pada akhirnya perjanjian tersebut

dapat dianggap sah. Secara umum, ilmu hukum membedakan perjanjian ke dalam

perjanjian konsensuil, perjanjian riil, dan perjanjian formil. Perjanjian konsensuil

adalah bentuk perjanjian yang paling sederhana, karena hanya mensyaratkan

adanya kesepakatan antara mereka yang membuatnya.

Perjanjian konsensuil ini, adalah perjanjian sebagaimana ditentukan dalam

pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang harus memenuhi

persyaratan:

2. Mereka yang berjanji tersebut haruslah cakap menurut hukum;

3. Terdapat objek yang diperjanjikan;

4. Objek yang diperjanjikan tersebut adalah sesuatu yang diperbolehkan

oleh hukum (merupakan causa yang halal).

38

(27)

Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak harus dipenuhi

agar suatu perjanjian dapat dianggap sah. Disamping keempat syarat tersebut,

untuk perjanjian-perjanjian tertentu, Undang-undang mensyaratkan pula

dipenuhinya suatu perbuatan tertentu agar perjanjian itu dapat membawa akibat

hukum (pada perjanjian riil); ataupun harus dipenuhinya suatu formalitas tertentu

agar perjanjian yang dibuat itu sah adanya (pada perjanjian formil). Ini berarti

perjanjian riil dan perjanjian formil adalah pengecualian dari berlakunya

perjanjian konsensuil. Seperti telah diuraikan di atas, keabsahan dari tiap

perjanjian ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang ditentukan

oleh undang-undang. Jika suatu perjanjian tidak sah maka berarti perjanjian itu

terancam batal. Hal ini mengakibatkan nulitas atau kebatalan menjadi perlu untuk

diketahui oleh tiap pihak yang mengadakan perjanjian.39

Namun ini tidaklah berarti bahwa tidak dapat ditarik suatu garis umum

mengenai hal ini :

Oleh karena masing-masing perjanjian memiliki karakteristik dan cirinya

sendiri-sendiri, maka nulitas atau kebatalan dari suatu perjanjian secara otomatis

juga memiliki karakteristik dan cirinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, sampai

seberapa jauh suatu nulitas atau kebatalan dapat dianggap ada pada suatu

perjanjian hanya dapat ditentukan oleh sifat dari perjanjian itu sendiri.

40

a. Macam-macam Kebatalan Dengan berdasarkan pada alasan

kebatalannya, nulitas dibedakan dalam perjanjian yang dapat dibatalkan

dan perjanjian yang batal demi hukum, sedangkan berdasarkan sifat

39

Hermansyah, Op.Cit, hal.71.

40

(28)

kebatalnnya, nulitas dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan

mutlak.

b. Perjanjian yang Dapat Dibatalkan Undang-undang memberikan

kemungkinan bahwa suatu perjanjian dapat dibatalkan, jika perjanjian

tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan kepentingan individu

tertentu. Individu ini tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi

meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di luar para

pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini, pihak yang jika

dengan dilaksanakannya perjanjian tersebut (akan) menderita kerugian

dapat mengajukan pembatalan atas perjanjian tersebut baik sebelum

perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah perjanjian tersebut

dilaksanakan. Bagi keadaan yang terakhir ini, pasal 1451 dan pasal 1452

Kitab UndangUndang Hukum Perdata menentukan bahwa setiap

kebatalan membawa akibat bahwa semua kebendaan dan orang-orang

dipulihkan sama seperti keadaan sebelum perjanjian dibuat.

c. Pembatalan Perjanjian oleh Salah Satu Pihak dalam Perjanjian Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata memberikan alasan tertentu kepada

salah satu pihak dalam perjanjian untuk membatalkan perjanjian yang

telah dibuat olehnya. Alasan-alasan tersebut biasa dikenal dalam Ilmu

Hukum sebagai alasan subjektif. Disebut dengan subjektif, karena

berhubungan dengan diri dari subjek yang menerbitkan perikatan

(29)

1) Telah terjadi kesepakatan secara palsu dalam suatu perjanjian; karena

telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak

dalam perjanjian pada saat perjanjian itu dibuat (pasal 1321 samapai

dengan pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);

2) Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam

hukum (pasal 1330 sampai dengan pasal 1331 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata) Dalam hal terjadi kesepakatan secara palsu, maka

pihak yang khilaf, dipaksa, atau ditipu tersebut, memiliki hak untuk

meminta pembatalan perjanjian pada saat ia mengetahui terjadinya

kekhilafan, paksaan, atau penipuan tersebut. Sedangkan untuk hal

yang kedua, pihak yang tidak cakap, dan atau wakilnya yang sah

berhak untuk memintakan pembatalan perjanjian (pasal 1446 sampai

dengan pasal 1450 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

d. Pembatalan perjanjian Oleh Pihak Ketiga di Luar Perjanjian Kitab

Undang-undang hukum perdata tidak memberikan rumusan yang umum

dalam suatu pasal untuk melakukan penuntutan pembatalan atas

perikatan atau perjanjian yang dibuat oleh suatu pihak tertentu,

melainkan tersebar pada masing-masing jenis perjanjian. Actio Pauliana,

yang diatur dalam pasal 1341 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum

Perdata, merupakan suatu contoh yang paling sering dikemukakan

sehubungan dengan ketentuan tersebut, yang memberikan hak (pada

kreditur) untuk meminta pembatalan atas setiap perbuatan atau perjanjian

(30)

pelaksanaan pembuatan atau perjanjian tersebut. Actio Pauliana ini

sering kali juga dijadikan contoh dari “pengecualian” berlakunya asas

personalia dalam hukum Perjanjian, sebagaimana telah kita uraikan

dalam pembahasan di atas. Dikatakan sebagai pengecualian, oleh karena

pada dasarnya Actio Pauliana ini memberikan hak dan kewenangan pada

pihak ketiga di luar perjanjian untuk meminta pembatalan atas perjanjian

yang dilakukan kedua belah pihak dalam perjanjian, yang berarti suatu

“campur tangan” terhadap kebebasan berkontrak dari para pihak dalam

perjanjian. Actio Pauliana ini hanya dapat dilaksanakan oleh pihak

ketiga, jika memang ternyata bahwa perjanjian dan atau perbuatan

hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian atau perbuatan

hukum tersebut ternyata telah merugikan kepentingannya, khususnya

yang berhubungan dengan pemenuhan atau pelaksanaan kewajiban salah

satu pihak dalam perjanjian atau perbuatan hukum tersebut kepada

dirinya.

e. Perjanjian yang batal demi hukum Suatu perjanjian dikatakan batal demi

hukum, jika terjadi pelanggaran terhadap syarat objektif dari sahnya

suatu perikatan. Keharusan akan adanya objek dalam perjanjian,

dirumuskan dalam pasal 1332 sampai dengan 1334 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata; yang diikuti dengan pasal 1335 sampai dengan

pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur

mengenai rumusan causa yang halal, yaitu causa yang diperbolehkan

(31)

f. Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak Disamping pembedaan tersebut

di atas, nulitas juga dapat dibedakan ke dalam nulitas atau kebatalan

relatif dan nulitas atau kebatalan mutlak. Suatu kebatalan disebut dengan

relatif, jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang

perorangan tertentu saja; dan disebut dengan mutlak jika kebatalan

tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa

kecuali. Disini perlu diperhatikan bahwa alasan pembatalan tidak

memiliki hubungan apapun dengan jenis kebatalan ini. Suatu perjanjian

yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atau mutlak, meskipun

tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.

g. Nulitas yang Pemberlakuanya Dikecualikan Disamping pemberlakuan

nulitas yang relatif dan mutlak, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

juga mengatur ketentuan mengenai pengecualian pemberlakuan nulitas,

seperti yang diatur dalam pasal 1341 ayat (2) Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yang melindungi hak-hak pihak ketiga yang telah

diperolehnya dengan itikad baik atas segala kebendaan yang menjadi

pokok perjanjian yang batal tersebut.

h. Otorisasi Perjanjian yang dibatalkan memberikan kemungkinan untuk

dikuatkan (diotorisasi) atas permintaan pihak yang terancam kebatalan.

Penguatan semacam ini tidak berarti membuat perjanjian yang tidak sah

menjadi sah, akan tetapi hanya menghilangkan kekurangan yang terdapat

dalam perjanjian tersebut. Sedangkan bagi perjanjian yang batal demi

(32)

i. Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1266 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa syarat-syarat

batal dianggap selalu dimuat dalam setiap perjanjian. Selanjutnya dalam

ketentuan ayat (2)-nya menyebutkan bahwa meskipun demikian,

perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan begitu saja tanpa adanya

Keputusan Hakim yang menyatakan batalnya perjanjian tersebut.

Dengan menyimpang dari ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata, KUH

Perdata tidak melarang para pihak yang membuat perjanjian untuk membatalkan

kembali perjanjian yang telah mereka buat, namun demikian akibat hukum yang

diterbitkan oleh pembatalan yang sedemikian adalah sangat berbeda dari akibat

pembatalan perjanjian oleh Hakim seperti tersebut di atas. Pada perjanjian yang

dibatalkan kembali oleh para pihak, para pihak tidak dapat meniadakan atau

menghilangkan hak-hak pihak ketiga yang telah terbit sehubungan dengan

perjanjian yang mereka batalkan kembali tersebut. Yang ditiadakan hanya

akibat-akibat yang dapat terjadi masa yang akan datang di antara para pihak. Sedangkan

bagi perjanjian yang dibatalkan oleh Hakim, pembatalan mengembalikan

kedudukan semua pihak dan kebendaan kepada keadaannya semula, seolah-olah

perjanjian tersebut tidak tetap dipertahankan oleh Undang-Undang untuk

kepentingan pihak-pihak tertentu.41

41

Referensi

Dokumen terkait

Given that temperature is one of the main drivers of ecological processes related to vector-borne viruses carried by mosquitoes and that we have the data and tools available to

Rangkaian Lampu Penujuk Arah ini Adalah Sebuah Rangkaian Lampu Kedap-kedip Sederhana yang Menggunakan 2 (dua) buah IC, Dimana Outputnya diperlihathan Pada Lampu Pijar yang

Calon pelanggan, tentu akan merasakan kekecewaan apabila tidak ada sesuatu yang baru yang ditawarkan, sehingga kualitas terhadap kepuasan pelanggan adalah hal

Nilai ini sangat dipengaruhi oleh pertanyaan pertanyaan yang diajukan dalam angket penelitian, seperti pada nilai rendah, bahkan dengan nilai prosentase yang lebih besar

Habitual buyer , yaitu konsumen yang berada pada tingkat kedua dari suatu piramida brand loyalty pada umumnya, dan dapat dikategorikan sebagai konsumen yang puas dengan merek

Data Pengukuran Imago Jantan E... Data Pengukuran Imago Betina

Muzani

Disamping itu, pembangunan Jalan Lingkar Dalam Selatan yang disesuaikan dengan Tata Ruang Kota Banjarmasin dilakukan dalam rangka mengurangi mobilitas yang mengarah ke pusat