• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor Host Dan Environment Terhadap Kejadian Penyakit Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Tomuan Kota Pematangsiantar Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Faktor Host Dan Environment Terhadap Kejadian Penyakit Tb Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Tomuan Kota Pematangsiantar Tahun 2015"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Penyakit Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi Penyakit Tuberkulosis Paru

Tuberklulosis adalah penyakit menular langsung yang umumnya disebabkan oleh bakteri TB, yaitu Mycobacterium tuberculosis. Meskipun dapat menyerang hampir semua organ tubuh lainnya, namun bakteri TBC lebih sering menyerang organ paru (80-85%) (Depkes,2008). Penyakit TB paru merupakan infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang secara khas kuman membentuk granuloma dalam paru menimbulkan nekrosis atau jaringan (Achmadi, 2008).

Penyakit TB paru merupakan penyakit menahun, bahkan seumur hidup. Penderita yang sakit tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan tubuh yang baik dan 25% lagi menjadi kronik dan infeksius (Jusuf, 2010).

(2)

2011). Bakteri TBC akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab (Achmadi, 2008).

2.1.2. Etiologi Penyakit Tuberkulosis Paru

Penyebab penyakit tuberkulosis paru adalah bakteri TB Paru disebut Mycobacterium tuberculosis berukuran 0,5-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut Basil Tahan Asam (BTA) serta tahan terhadap zat kimia dan fisik (Widoyono, 2008)

Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2008). Bila dijumpai BTA dalam dahak orang yang sering batuk-batuk maka orang tersebut didiagnosis sebagai penderita TB Paru aktif dan sangat berbahaya karena memiliki potensi yang amat berbahaya (Achmadi, 2011).

Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama bertahun-tahun (Achmadi, 2008).

(3)

Adapun sumber penularan penyakit tuberkulosis paru adalah penderita TBC dengan BTA positif dimana dalam pemeriksaan mikroskop ditemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis (Achmadi, 2008). Penderita TB paru akan ditemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan, tergantung dari jumlah bakteri yang ada (Aditama, 2006).

Penyakit tuberkulosis dapat ditularkan saat penderita TBC batuk mengeluarkan bakteri ke udara dalam bentuk percikan dahak,yang dalam istilah kedokteran disebut droplet nuclei dan bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas (Widoyono, 2008). Droplet yang sangat kecilini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung bakteri tuberkulosis dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam. Droplet yang mengandung bakteri ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika bakteri tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka bakteri mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang ke orang lain (Hiswani, 2004).

(4)

maka bakteri yang ”tidur” akan ”bangun” dan menimbulkan penyakit. Salah satu contoh ekstrim keadaan ini adalah infeksi HIV yang akan menurunkan daya tahan tubuh secara drastis sehingga TB paru muncul. Seseorang dengan HIV positif 30 kali lebih mudah menderita TB paru dibandingkan orang normal (Aditama, 2006).

2.1.4. Risiko Penularan Tuberkulosis Paru

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of TuberculosisInfection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. (Kemenkes, 2011)

Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas paparan dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan denga faktor genetik dan faktor pejamu lainnya. Risiko tertinggi yaitu pada anak berusia di bawah 3 tahun, pada masa kanak-kanak dan meningkat lagi pada masa remaja, dewasa muda dan usia lanjut. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah) (Widoyono, 2008).

(5)

(gizi buruk). Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity) dan merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit TB (TB Aktif), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula (Depkes , 2006).

2.1.5.Penularan Penyakit TB Paru di Dunia

Pada tahun 1993, Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) menyatakan TB paru sebagai kegawat daruratan global (Global Health Emergency) dengan perkiraan sepertiga penduduk dunia terinfeksi oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Depkes, 2010).

WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2006 terdapat 9,24 juta penderita TB paru diseluruh dunia, pada tahun 2007 jumlah penderita naik menjadi 9,27 juta jiwa. Dan hingga tahun 2009 angka penderita TB paru menjadi 9,4 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 1,8 juta jiwa meninggal (600.000 diantaranya adalah perempuan) naik dari angka kematian pada tahun 2007 yang berjumlah 1,77 jiwa. Setiap harinya terdapat 4.930 orang meninggal disebakan oleh TB paru (Depkes, 2010).

2.1.6. Penularan Penyakit TB Paru di Indonesia

(6)

dan Cina ,Afrika Selatan dan.Nigeria. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan, setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2011).

Di Indonesia jumlah kematian akibat penyakit tuberkulosis terutama TB paru hingga tahun 2008 menurun hingga 88.113 jiwa dari jumlah kasus penularan TB paru yang berjumlah 534.439 jiwa. Sedangkan pada tahun 2009 kasus penularan TB paru menurun mencapai jumlah 528.063 jiwa dan 236.029 untuk kasus TB paru BTA positif, akan tetapi angka kematian naik menjadi 91.368 jiwa. Sepertiga dari jumlah tersebut terdapat di sekitar Puskesmas, di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta, praktik swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan. Sedangkan prevalensi untuk semua kasus TBC diperkirakan sebanyak 565.614 atau 244/100.000 penduduk. Angka kematian karena TB paru diperkirakan 91.368 per tahun atau setiap hari ada 250 orang meninggal (Depkes, 2010).

Tabel 2.1. Angka Prevalensi, Insidensi dan Kematian di Indonesia Tahun 1990 dan 2009

Kasus TBC

Tahun 1990 Tahun 2009

(7)

TB paru posistif

Kematian 168.956 92 463 91.369 39 25

Sumber: Global Report TBC WHO, 2010

Akan tetapi usaha pemerintah dalam memberantas TBC di Indonesia harus terus berjalan. Saat ini pemerintah telah mencanangkan program pemeriksaan dan pengobatan TBC gratis bagi masyarakat kurang mampu di setiap Puskesmas di Indonesia. Akan tetapi sosialisasi yang dilakukan pemerintah dirasakan kurang efektif. Hal tersebut menyebabkan banyak masyarakat penderita TBC tidak mengetahui program tersebut.

2.1.7.Gambaran Penyakit TB Paru di Kota Pematangsiantar

Penemuan kasus TB paru di Kota Pematangsiantar secara klinis adalah 215 kasus pada tahun 2010, 140 kasus pada tahun 2012 pada tahun 2013 meningkat secara drastis yaitu sebanyak 226,6 kasus. Berdasarkan angka tersebut membuktikan bahwa masih tingginya kasus TB paru pada masyarakat di Kota Pematangsiantar (Dinkes Kota Pematangsiantar, 2014).

2.1.8.Gejala Penyakit TB Paru

Menurut Achmadi (2008), gejala yang dirasakan oleh penderita TB paru dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Gejala Sistematik

(8)

seperti demam influenza biasa dan kemudian juga seolah-olah “sembuh” tidak ada demam.

Gejala lain adalah malaise (seperti perasaan lesu) bersifat berkepanjangan kronik, disertai rasa tidak fit tidak enak badan, lemah lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, pusing, serta mudah lelah. Gejala sistemik ini terdapat baik menyerang TB paru maupun TB yang menyerang organ lainnya.

2. Gejala Respiratorik

Adapun gejala respiratorik atau gejala saluran pernapasan adalah batuk. Batuk bisa berlangsung terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. Hal ini terjadi apabila sudah melibatkan bronkus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau sputum. Dahak ini kadang bersifat mukoid atau purelent.

Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk darah. Hal ini disebabkan karena pembuluh darah pecah, akibat lika dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang sering membawa penderita ke dokter. Apabila kerusakan sudah meluas, timbul sesak napas dan apabila pleura sudah terkena, maka disertai pula rasa nyeri dada.

2.1.9. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita TB Paru

(9)

a. Tuberkulosis BTA Positif

Tuberkulosis BTA positif yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukan gambaran 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan bakteri TB Paru positif dan 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran TB Paru yang aktif.TB Paru BTA negatif, rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakit, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.

2.1.10. Strategi Penemuan Penderita TB Paru

(10)

dansekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB paru yang paling efektif di masyarakat (Depkes, 2006).

Menurut Kemenkes (2011), strategi penemuan penderita TB paru biasanya dilakukan sebagai berikut:

1. Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugaskesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak cost efektif.

2. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap

a. Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS),

b. Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif.

(11)

d. Kontak dengan pasien TB resistan obat 2.1.11. Pemeriksaan Dahak

1. Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB dating berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes.

c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.

2. Pemeriksaan Biakan

(12)

a. Pasien TB Ekstra Paru b. Pasien TB Anak

c. Pasien TB BTA Negatif

Pemeriksaan tersebut dilakukan apabila keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan.

3. Uji Kepekaan Obat TB

Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR.

2.1.12.Diagnosis TB Paru

1. Diagnosis TB paru pada orang dewasa

Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya 2 dari 3 spesimen SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya 1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang. Jika hasil rontgen mendukung TB paru, maka penderita di diagnosis sebagai penderita TB paru BTA positif. Dan jika hasil rontgen tidak mendukung TB paru, maka pemeriksaan dahak SPS di ulang (Depkes, 2006).

(13)

mendiagnosis TB paru hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Kemenkes, 2011).

2. Diagnosis TB paru pada orang dengan HIV

Menegakkan diagnosis TB paru pada orang dengan HIV Aids adalah: TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif dan TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif (Kemenkes, 2011). 3. Diagnosis TB paru pada anak

Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skor.

IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk diagnosisTB anak.

2.1.13. Pengobatan Tuberkulosis Paru

(14)

manfaatnya. Sesuai dengan sifat bakteri Mycobacterium tuberculosis, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah : 1. Obat harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat (Isoniasid,

Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua bakteri (termasuk bakteri persisten) dapat di bunuh. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. 2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan

dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

2.1.14. Pengendalian Tuberkulosis dengan Strategi DOTS

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan badan Kesehatan Dunia (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama “WHO-Indonesia Joint Evaluation” yang menghasilkan sebuah rekomendasi, yaitu perlunya dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB di Indonesia, yang disebut dengan “STRATEGI DOTS”.

(15)

Sebelum pengobatan pertama kali dimulai, DOTS harus dijelaskan kepada pasien tentang cara dan manfaatnya. Seorang PMO harus ditentukan dan dihadirkan di poliklinik untuk diberi penjelasan tentang DOTS dan tugas-tugasnya. PMO adalah seseorang yang harus membantu pasien sampai sembuh 6 bulan dan sebaiknya anggota keluarga yang disegani pasien. (Permatasari, 2005).

Ada 5 kunci utama dalam strategi DOTS, yaitu: 1. Komitmen

2. Diagnosa yang benar

3. Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat 4. Pengawasan penderita menelan obat

(16)

Pada prinsipnya pencegahan dan pemberantasan Tuberkulosis Paru dijalankan dengan upaya-upaya: (Depkes RI, 2006)

1. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Tuberkulosis Paru, bahaya-bahaya, cara penularannya, serta usaha-usaha pencegahan antara lain: a. Memelihara kebersihan diri, rumah dan lingkungan yaitu : mandi minimal 2 kali

sehari, gosok gigi, cuci tangan, membuang sampah, air limbah, kotoran pada tempatnya, membuka jendela pada siang hari.

b. Makan makanan yang sehat yaitu: makanan yang bersih, bebas dari kuman penyakit, cukup kualitas, dan bagi penderita TB Paru untuk tidak makan dengan piring dan gelas yang sama dengan anggota keluarga yang lain.

c. Cara hidup sehat dan teratur yaitu: Makan, tidur, bekerja dan istirahat secara teratur, penderita tidak tidur sekamar dengan anggota keluarga lainnya.

d. Meningkatkan daya tahan tubuh yaitu: dengan makan makanan yang bergizi dan selalu menjaga kesehatan badan supaya sistem immun senantiasa terjaga dan kuat, menghindari kontak dengan sumber penularan penyakit, menghindari pergaulan yang tidak baik, membiasakan diri untuk mematuhi aturan-aturan kesehatan, tidur dan istirahat yang cukup dan tidak begadang, tidak merokok dan minuman yang beralkohol, segera periksa bila timbul batuk lebih dari 3 minggu. 2. Pencegahan dengan:

(17)

b. Chemoprophylactic dengan I.N.H. pada keluarga penderita atau orang-orang yang pernah kontak dengan penderita.

3. Menghilangkan sumber penularan dengan mencari dan mengobati semua penderita dalam masyarakat.

4. Kesadaran berobat si penderita

Kadang-kadang walupun penyakitnya agak berat, si penderita tidak merasa sakit, sehingga tidak mencari pengobatan.

5. Penyuluhan penderita tuberculosis tentang lingkungan

Tujuan penyuluhan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan Tuberkulosis.Petugas memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarganya pada waktu kunjungan rumah dan memberi saran untuk terciptanya rumah sehat, sebagai upaya mengurangi penyebaran penyakit.

Memberikan penyuluhan perorangan secara khusus kepada penderita agar penderita mau berobat rajin teratur untuk mencegah penyebaran penyakit kepada orang lain. Menganjurkan, perubahan sikap hidup masyarakat dan perbaikan lingkungan demi tercapainya masyarakat yang sehat. Menganjurkan masyarakat untuk melapor apabila di antara warganya ada yang mempunyai gejala-gejala Penyakit Tuberkulosis Paru.

(18)

tentang TB dari suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan melakukan menjadi suatu penyakit yang berbahaya, tapi dapat disembuhkan. Dalam penyuluhan langsung perorangan, unsur yang terpenting yang harus diperhatikan adalah membina hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan penderita. Supaya komunikasi berhasil baik, petugas kesehatan harus melayani penderita secara ramah dan bersahabat, penuh hormat dan simpati, mendengar keluhan-keluhan mereka serta tunjukan perhatian terhadap kesejahteraan dan kesembuhan mereka. Dengan demikian, penderita mau bertanya tentang hal-hal yang masih belum dimengerti (Depkes, RI. 2002).

2.2. Faktor Risiko yang Memengaruhi Kejadian Penyakit TB Paru 2.2.1. Faktor Host Atau Pejamu

Faktor host atau pejamu adalah keadaan manusia (karakteristik individu) yang sedemikian rupa sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadinya penyakit. Faktor ini disebut sebagai faktor intrinsik.

Adapun faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko terhadap kejadian TB Paru adalah:

1. Umur

(19)

Namun dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun system imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru (Hiswani, 2008).

Menurut penelitian Mahpudin (2006) kelompok umur 49 tahun ke bawah mempunyai proporsi lebih tinggi yaitu sebesar 63,2% sedangkan pada kelompok umur 50 tahun ke atas proporsinya 36,8%. Penelitian Darwel juga mendapatkan bahwa kelompok umur 15-50 tahun (usia produktif) lebih beresiko 2,21 kali untuk menderita TB Paru dibandingkan dengan kelompok umur >50 tahun.

Berdasarkan Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentase penderita TB adalah usia 25-34 tahun (23,67%), diikuti 35-44 tahun (20,46%), 15-24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 56-64 tahun (12,32%), lebih dari 65 tahun (6,68%), dan yang terendah adalah 0-14 tahun (1,31%). Risiko penularan TB paru tertinggi yaitu pada usia di bawah 3 tahun, rendah pada masa kanak-kanak dan meningkat lagi pada masa remaja dan dewasa muda berusia 15-50 tahun (usia produktif) dan pada usia lanjut (Widoyono, 2008).

2. Jenis Kelamin

(20)

sama. Dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan, (WHO, 2014). Namun berbeda dengan data Kemenkes 2013, menurut jenis kelamin, kasus BTA positif pada laki-laki hampir 1,5 kali dibandingkan kasus BTA positif pada wanita. Sebesar 59,4% kasus BTA positif ditemukan pada laki-laki dan 40,6% kasus pada perempuan. Seluruh kasus di 33 provinsi di Indonesia lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Disparitas paling tinggi antara laki-laki dan perempuan terjadi di Aceh, kasus pada laki-laki hampir 3/2 dari kasus perempuan, yaitu 66,1% penderita laki-laki dan 33,9%-nya merupakan penderita perempuan.

Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahannan tubuh, sehingga lebih mudah dipaparkan dengan agent penyebab TB Paru (Hiswani, 2001).

3. Tingkat Pendidikan

(21)

itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya (Achmadi, 2005)

4. Status Gizi

Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian penyakit TB paru. Status gizi tergantung ada tidaknya bakteri TB pada paru, dimana bakteri TB dapat “tidur” hingga bertahun-tahun dalam paru dan apabila “bangun” akan menimbulkan penyakit TB paru. Oleh sebab itu, salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik dalam tubuh kita untuk menyerang bakteri tersebut (Achmadi, 2008).

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak (Hiswani, 2001).

Hasil penelitian yang dilakukan Ike Silviani di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2005 menyatakan bahwa responden dengan gizi kurang menderita TB paru sebesar 70,53% dan hasil asosiasinya disimpulkan bahwa orang dengan status gizi buruk (IMT < 18,5) memiliki risiko 30,08 kali lebih besar menderita TB paru BTA (+) dibandingkan dengan orang status gizi baik.

(22)

a. IMT < 18,5 = kurus/ gizi kurang/ gizi buruk b. IMT 18,5-25,0 = normal

c. IMT > 25,0 = gizi lebih

Penelitian di kota Palembang, diketahui bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru BTA (+) adalah variable status gizi. Seseorang dengan status gizi yang buruk (indeks massa tubuh, IMT > 25,1 dan < 18,4) berisiko untuk menderita penyakit tuberkulosis paru BTA (+) 29 kali lebih besar dibanding orang yang tidak mempunyai faktor risiko tersebut (Versitaria & Kusnoputranto, 2011)

5. Status Sosial Ekonomi/Penghasilan

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB paru bersifat timbal balik, TB paru merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka manusia menderita TB paru. Kemiskinan merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya (Achmadi, 2008).

(23)

untuk membeli yang lain. Rendahnya jumlah penghasilan keluarga juga memicu peningkatan angka kurang gizi dikalangan masyarakat miskin yang akan berdampak terhadap daya tahan tubuh dan dengan mudah timbulnya penyakit TB paru. Keterbatasan biaya untuk berobat ke dokter atau ke Puskesmas, hal ini dapat menyebabkan penyakit yang diderita bertambah parah. Masyarakat dengan penghasilan yang rendah sering mengalami kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit TB paru menjadi ancaman bagi mereka (Tjiptoherijanto, 2008).

Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB paru kehilangan 3-4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan tahunan rumah tangganya sekitar 20- 30% (Kemenkes RI, 2011).

2.2.2. Faktor Environment (Lingkungan)

Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 1997, lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain (Suyono, 2010).

Faktor lingkungan untuk terjadinya penyakit, disebabkan oleh faktor-faktor, yaitu:

1. Lingkungan fisik, yaitu geografik dan keadaan musim

(24)

3. Lingkungan sosial ekonomi, adalah pekerjaan, urbanisasi, perkembangan ekonomi, dan bencana alam (Budiarto, 2001)

Keadaan lingkungan yang sehat dapat bertujuan untuk meningkatkan faktor lingkungan yang menguntungkan (eugenic) dan mengendalikan faktor yang merugikan (disgenik), sehingga risiko terjadinya penyakit dapat dikendalikan.

Menurut WHO kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungannya agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia dengan menjaga dan meningkatkan kondisi lingkungannya (air, udara, tanah, makanan, semua yang hidup atau biota, manusia dengan sikap dan perilakunya) menjadi sehat. Oleh sebab itu, harus dijaga benar agar kualitas lingkungan menjadi sehat secara optimal.

Upaya kesehatan lingkungan tersebut salah satunya adalah pengendalian penyakit menular salah satunya penyakit TB paru, yaitu dengan meningkatkan sanitasi lingkungan rumah, karena rumah adalah tempat perlindungan terhadap penularan penyakit menular seperti TB paru (Sutomo, 2013).

(25)

Menurut Achmadi (2008) faktor-faktor risiko lingkungan terhadap kejadian penyakit tuberkulosis paru adalah:

1. Kepadatan Hunian

Menurut Achmadi (2008) Kepadatan merupakan salah pre-requisite untuk terjadinya proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian TB paru.

Kepadatan adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat. Persyaratan untuk kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per orang. Luas minimum perorang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana minimum 10 m² per orang. Untuk kamar tidur di perlukan luas lantai minimum 3 m² per orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni ≥ 2 orang kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun. Jarak antara tempat tidur satu dengan lainnya adalah 90 cm. Apabila ada anggota keluarga yang menderita penyakit TB paru sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (Kepmenkes, 1999).

(26)

kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di dalam rumahnya (Depkes, 2002).

Hasil penelitian Darwel (2012) menunjukkan bahwa kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat beresiko untuk mendapatkan TB paru sebesar 1,029 kali lebih tinggi dibanding penduduk yang tinggal dengan kepadatan hunian rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan.

2. Lantai Rumah

Secara hipotetis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB paru, melalui kelembapan ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas bakteri Mycobacterium tuberculosis dilingkungan juga sangat mempengaruhi (Achmadi, 2008).

(27)

Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembang biakan bakteri terutama bakteri Mycobacterium tuberculosis. Menjadikan udara dalam ruangan lembab, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Suyono, 2005).

Menurut Mahpudin (2006) responden yang bertempat tinggal di rumah yang berlantai tidak kedap air mempunyai kemungkinan untuk menderita tuberkulosis sebesar 2,74 kali dibanding responden yang tinggal di rumah dengan lantai yang kedap air.

3. Ventilasi

Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban. Semakin banyak manusia dalam satu ruangan, kelembapan semakin tinggi khususnya karena uap air baik dari pernapasan maupun keringat. Kelembaban dalam ruangan tertutup dimana banyak terdapat manusia di dalamnya lebih tinggi di banding di luar ruangan (Achmadi, 2010).

Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukkan cahaya ultraviolet, dimana sinar ultraviolet mampu mematikan kuman TBC dan kuman lainnya. Akan semakin baik, apabila kontruksi rumah menggunakan genteng kaca. Menurut Kemenkes (1999) persyaratan ventilasi yang baik adalah 10% dari luas lantai (Achmadi, 2008).

(28)

nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak dan terhirup oleh orang disekitarnya. Dengan adanya ventilasi maka dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh bakteri TB paru tersebut.

4. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak, khususnya cahaya alam berupa cahaya matahari yang berisi antara lain ultraviolet (Achmadi, 2008). Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya di dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata. Menurut Sarudji (2010), cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni :

(29)

diperhatikan dan diusahakan agarsinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya ilmiah juga diusahakan dengan jendela kaca bening, tembus cahaya yang langsung berhubungan dengan cahaya luar, bebas dari rintangan-rintangan. Dengan jumlah paling sedikit 1/10 luas lantai ruang yang bersangkutan (Sutomo, 2013).

b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari terangnya sumber cahaya (brighness of thesource). Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun lamanya, dan bakteri ini akan mati dalam waktu dua jam. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko menderita TB paru 3-7 kali di bandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Fatimah, 2008).

(30)

melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam.

Sinar matahari langsung membunuh kuman TB dalam waktu 5 menit, tapi kuman-kuman dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun ditempat gelap, sehingga rumah dan gubuk yang gelap dapat menjadi sumber penularan. Oleh sebab itu bila ruangan dimasuki sinar matahari serta sirkulasi udara yang bagus maka risiko penularan antara penghuni serumah bisa dikurangi (Crofton & Depkes, 2002).

5. Kelembaban

Kelembaban udara berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar di udara. Kelembaban berhubungan negatif (terbalik) dengan suhu udara. Semakin tinggi suhu udara, maka kelembaban udaranya akan semakin rendah (Suryanto 2003). Kelembaban yang standar apabila kelembaban udaranya akan semakin rendah. Kelembaban merupakan sarana baik untuk pertumbuhan mikroorganisme terutama Mycobacterium tuberculosis. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor menemukan penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60% berisiko terkena TBC 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60% (Achmadi, 2010)

(31)

dari 70% (Sarudji, 2010). Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi (Achmadi, 2008).

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Seperti yang telah diuraikan oleh (Gould, 2003, dalam Ayunah, 2008), bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. 6. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas udara di dalam rumah. Di katakan nyaman apabila suhu udara berkisar antara 18ºC - 30ºC, dan suhu tersebut di pengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara dan kelembaban udara. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat hidup dan tumbuh baik pada suhu 31ºC -37ºC. Suhu dalam rumah akan mempengaruhi kesehatan dalam rumah, dimana suhu yang panas tentu akan berpengaruh pada aktivitas (Depkes, 1999, dalam Ayunah, 2008).

(32)

Landasan teori yang digunakan untuk menganalisa tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit tuberkulosis paru dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Model Gordon. Teori ini menjelaskan bahwa terjadinya penyakit seperti batang pengungkit, yang mempunyai titik tumpu di tengah-tengahnya. Pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat, yakni A, H, dan tumpuannya adalah L. Dalam model ini, A, H, dan L dianggap sebagai tiga elemen utama yang berperan dalam interaksi ini, sehingga keadaan sehat ataupun sakit (Soemirat, 2000).

Model Gordon tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

A H

Gambar 2.1. Landasan Teori Sumber: Soemirat, 2000

Interaksi diantara ketiga elemen tersebut terlaksana karena adanya faktor penentu pada setiap elemen tadi. Faktor penentu pada setiap elemen yang penting antara lain:

1. A (Agent/ penyebab penyakit):

(33)

b. Infektiviti/patogenitas/virulensi bila hidup dan toxisitas atau reaktivitas bila tidak hidup

c. Kelompok bahan kimia toksik, misalnya pestisida, merkuri, cadmium, CO, dan lain-lain (Suyono, 2012)

2. H (Host/pejamu/populasi beresiko tinggi): a. Derajat Kepekaan

b. Imunitas terhadap A hidup, toleransi terhadap A mati

c. Status Gizi, pengetahuan, pendidikan, pekerjaan, perilaku, umur, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, dll.

3. L (Lingkungan) :

Kualitas dan kuantitas berbagai kompartemen lingkungan, yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan terjadinya atau tidak terjadinya transmisi agent (A) ke host (H). Kompartemen lingkungan dapat berupa udara, tanah, air, makanan, perilaku, hygiene perseorangan, kuantitas dan kualitas serangga vector/penyebar penyakit, kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi rumah, cahaya matahari, kelembaban dan suhu dalam rumah.

(34)

Landasan teori dalam penelitian mengacu pada konsep Model Gordon bahwa terjadinya penyakit tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Tomuan Kota Pematangsiantar dipengaruhi oleh faktor host dan environment.

Untuk menggambarkan kerangka teori dari landasan teori tersebut diatas, dapat dilihat pada gambar berikut:

(35)

Gambar 2.2. Kerangka Teori

2.4. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

(Variabel Bebas) (Variabel Terikat)

Faktor Environment

- Kepadatan Hunian - Lantai Rumah - Ventilasi - Pencahayaan - Kelembaban - Suhu

Kejadian Penyakit TB Paru Faktor Host

- Umur - Status Gizi

(36)

Gambar

Tabel 2.1. Angka Prevalensi, Insidensi dan Kematian di Indonesia
Gambar 2.1. Landasan Teori
Gambar 2.2. Kerangka Teori

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian Fatimah (2008) menunjukkan bahwa ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 4,932 kali lebih besar terjadi TB jika

This research is conducted to compare between cases (pulmonary tuberculosis patients) and control (not suffering pulmonary tuberculosis) and to explain the

This research is conducted to compare between cases (pulmonary tuberculosis patients) and control (not suffering pulmonary tuberculosis) and to describe the relation

Hasil dari penelitian ini dengan menunjukkan bahwa pola spasial sebaran kejadian TB paru BTA positif cenderung terjadi pola pada tingkat kepadatan penduduk yang sangat padat,

Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh.. mycobacterium tuberculosis dengan gejala bervariasi

Variabel umur, tingkat pendidikan, Status gizi, kepadatan hunian, luas ventilasi, jenis lantai, serta kontak dengan penderita TB Paru, memiliki hubungan dengan kejadian TB

ii FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Desember 2016 YUFA ZURIYA, NIM: 1112101000029 HUBUNGAN

Dampak Etika Batuk dan Bersin dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Balukang Kabupaten Donggala, hasil penelitian menunjukan bahwa Etika Batuk dan Bersin yang beresiko dan