BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN KREDIT BANK
A. Pengertian Perjanjian
Menjalani kehidupan sehari-hari kita sering sekali mendengar istilah
perjanjian. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan perjanjian tersebut.
Untuk mengerti lebih mendalam kita harus mengetahui terlebih dahulu istilah
perjanjian terjemahan dari verbintenis yang diatur dalam buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata) maupun pengertian perjanjian menurut
para ahli.
Istilah ‘perikatan’ berasal dari bahasa Belanda yaitu ‘Verbintenis’. Namun
demikian, dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam
istilah untuk menerjemahkan verbintenis. Subekti dan Tjiptosudibio,
menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk
overeenkomst. Utrecht, dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia
memakai istilah perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst.
Sedangkan Achmad Ichsan, menerjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan
overeenkomst untuk persetujuan.28
28
Titik Triwulan Tutik Trianto, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 197
Dengan demikian, verbintenis ini dikenal
memiliki tiga istilah di Indonesia, yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian.
Sedangkan untuk overeenkomst, dipakai untuk dua istilah yaitu perjanjian dan
Faktanya, dalam menerjemahkan verbintenis para sarjana hukum
Indonesia tidak ada kesepakatan pendapat. Tetapi ada juga sarjana yang
menerjemahkan verbintenis itu hanya dengan istilah perjanjian. Jelas ini
merupakan kesalahan yang prinsipil, karena perjanjian itu sendiri merupakan
salah satu bentuk perutangan.
Beberapa Sarjana Hukum memberikan definisi mengenai perjanjian antara
lain sebagai berikut:
Menurut Wiryono Projodikoro, verbintenis diterjemahkan sebagai
perjanjian yang artinya adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta
benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap
berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu
hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.29
Menurut Subekti, verbintenis diterjemahkan sebagai perikatan yang
artinya adalah suatu perhubungan hukum (mengenai harta kekayaan
benda) antara dua orang, yang memberi hak kepada yang satu untuk
menuntut sesuatu hal dari yang lainnya sedangkan orang yang lainnya ini
diwajibkan untuk memenuhi tuntutan itu.30
Hal tersebut berarti bahwa istilah perikatan menurut Subekti adalah tidak
semua perikatan di dalam ilmu hukum disebut verbintenis. Jadi istilah perikatan
terlalu luas sedangkan verbintenis hanya perikatan yang letaknya di dalam harta
kekayaan.
29
Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1989, hal. 7
30
Subekti membedakan antara perikatan dan perjanjian, yaitu:
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan perikatan tadi. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.31
Pendapat Syahmin AK memberikan petunjuk bahwa dalam bentuknya
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.32
Berdasarkan pandangan yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad,
perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih yang saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.
Dalam definisi tersebut, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu
persetujuan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Selain itu juga, perjanjian
yang dilaksanakan terletak pada lapangan harta kekayaan.33
M. Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian maksudnya adalah
hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau
lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang
suatu prestasi.34
Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian di atas, penulis melihat bahwa
hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
31
Ibid.
32
Syahmin, Hukum Kontrak Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.140
33
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.4
34
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah suatu sumber perikatan. Dengan
demikian, perjanjian adalah merupakan sumber penting dari perikatan, tetapi
masih ada sumber perikatan lainnya yang dilahirkan oleh undang-undang.
Perikatan itu merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan
perjanjian adalah pengertian konkrit. Hal ini dapat dikatakan demikian karena kita
tidak dapat melihat dengan panca indera kita wujud dari suatu perikatan itu,
melainkan kita hanya membayangkan dalam pikiran saja. Sedangkan mengenai
perjanjian, kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengar
perkataan-perkataannya.35
Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian merupakan
peristiwa hukum yang berupa tindakan hukum yang mengakibatkan timbulnya
perikatan.
Hukum perjanjian pada dasarnya diatur dalam Buku III KUH Perdata yang
mengatur tantang perikatan karena perjanjian merupakan salah satu peristiwa yang
melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua pihak
dimana di satu pihak ada hak dan di pihak lain ada kewajiban.
36
Berdasarkan pengertian perjanjian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa
unsur-unsur pejanjian adalah:37
35
Djohari Santoso dan Achmad Ali, Hukum Perjanjian di Indonesia, Perpustakaan Fak. Hukum UII, Yogyakarta, 1989, hal. 17
36
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1313
37
1. Perbuatan hukum
Perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan menimbulkan akibat hukum, sehingga menunjukkan bahwa akibat hukumnya dikehendaki atau dianggap dikehendaki;
2. Satu orang atau lebih terhadap satu orang atau lebih
Dalam membuat suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang berhadap-hadapan dan saling menyatakan kehendak satu sama lain;
3. Mengikatkan dirinya
Artinya dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak yang lain sehingga para pihak terikat pada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Dengan arti seperti itu, rumusan pasal 1313 KUH Perdata hanya menggambarkan perjanjian sepihak saja.
Berdasarkan unsur-unsur perjanjian yang telah diuraikan di atas, menurut
J.Satrio perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana kedua belah
pihak saling mengikatkan diri.38
Berbeda halnya dengan unsur-unsur perjanjian yang dikemukakan oleh
Salim H. S., bahwa pada suatu perjanjian terdapat beberapa unsur pokok, antara
lain:39
1. Adanya kaidah hukum
Kaidah hukum perjanjian meliputi kaidah hukum tertulis dan kaidah hukum tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam undang-undang, traktat dan jurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum tidak tertulis yaitu kaidah yang timbul, tumbuh dan hidup dalam praktik kehidupan masyarakat (kebiasaan), seperti transaksi gadai, jual tahunan atau jual lepas.
2. Adanya subjek hukum
Subjek hukum dalam hukum perjanjian terdiri dari kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang (badan hukum) yang berhak atas prestasi. Sedangkan debitur adalah orang (badan hukum) yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
3. Adanya prestasi (objek perikatan)
Prestasi merupakan apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi terdiri dari:
38
Ibid., hal. 27
39
a. memberikan (berbuat atau tidak berbuat) sesuatu; b. dapat ditentukan;
c. mungkin dan diperkenankan; dan
d. dapat terdiri dari satu perbuatan saja atau terus-menerus. 4. Dalam bidang tertentu
Bidang yang dimaksud adalah bidang harta kekayaan, yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang dapat dinilai uang. Suatu harta kekayaan dapat berwujud atau tidak berwujud.
Kata “perjanjian” secara umum dapat mempunyai arti yang luas dan
sempit.40 Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang
menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap
dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian
kawin dan lain-lain. Sedangkan dalam arti sempit, “perjanjian” disini hanya
ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan
saja, seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata.41
Berdasarkan pengertian dan pendapat para ahli mengenai perjanjian yang
telah dijabarkan di atas, suatu perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk melakukan suatu
persetujuan yang telah disepakati bersama, yang mana pengertian dari perjanjian
itu sendiri telah diatur di dalam KUH Perdata. Selain itu, KUH Perdata juga
mengenal bentuk-bentuk daripada perjanjian tersebut, yaitu sebagai berikut:
Hal ini berarti bahwa hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum
perikatan sedangkan hukum perikatan merupakan bagian dari hukum kekayaan,
maka hubungan yang timbul antara para pihak dalam suatu perjanjian adalah
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan.
40
J. Satrio, Op.Cit., hal. 23
41
1. Perjanjian bersyarat
Pasal 1253 KUH Perdata menyebutkan suatu perikatan adalah
bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang mungkin
terjadi dan memang belum terjadi, baik dengan cara
menangguhkan berlakunya perikatan itu sampai terjadinya
peristiwa itu, maupun dengan cara membatalkan perikatan itu,
tergantung pada terjadi tidaknya peristiwa itu.Berdasarkan
pengertian perjanjian bersyarat yang diatur dalam Pasal 1253 KUH
Perdata, Subekti berpendapat:
Jika suatu perjanjian digantungkan pada syarat, bahwa sesuatu
peristiwa akan terjadi di dalam waktu tertentu, maka syarat tersebut
harus dianggap tidak terpenuhi apabila waktu tersebut telah lampau
dengan tidak terjadinya peristiwa yang dimaksud.42
2. Perjanjian dengan ketetapan waktu
Perjanjian dengan ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya
suatu perjanjian atau perikatan, melainkan hanya menangguhkan
pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya
suatu perjanjian atau perikatan.43
3. Perjanjian mana suka (alternatif)
Dalam perjanjian mana suka, objek prestasinya ada dua macam
barang. Dikatakan alternatif karena debitur boleh memenuhi
prestasinya dengan memilih salah satu dari dua barang yang
dijadikan objek perjanjian. Tetapi debitur tidak dapat memaksa
42
Subekti, Op.Cit.,hal. 5
43
kreditur untuk menerima sebagian barang yang satu dan sebagian
barang yang lainnya. Jika debitur talah memenuhi salah satu dari
dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, ia dibebaskan dan
perjanjian berakhir.44
4. Perjanjian tanggung-menanggung
Perjanjian tanggung menanggung dapat terjadi apabila seorang
debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang
kreditur berhadapan dengan beberapa orang debitur. Dalam hal ini,
setiap kreditur berhak atas pemenuhan prestasi seluruh utang dan
jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari
utangnya dan perjanjian tersebut hapus.45
5. Perjanjian yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi
Perikatan yang dapat dibagi-bagi terdapat lebih dari satu kali
pelaksanaan pokok perikatan dengan rumusan Pasal 1296
KUHPerdata dinyatakan bahwa “Suatu perikatan dapat dibagi-bagi
atau tak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan tersebut mengenai
suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang
pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi, baik
secara nyata-nyata maupun secara perhitungan.” Perikatan dapat
dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi
prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau
dimaksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian.46
44
Titik Triwulan Tutik Trianto, Op.Cit., hal. 216
45
Ibid., hal. 217
46
6. Perjanjian dengan ancaman hukuman
Perjanjian dengan ancaman hukuman merupakan suatu perjanjian
yang mana ditentukan bahwa debitur, untuk jaminan pelaksanaan
perjanjiannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perjanjiannya
tidak dipenuhi. Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti
kerugian yang diderita oleh kreditur akibat tidak terpenuhi
perjanjian tersebut oleh debitur.47
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Hal tersebut berarti bahwa jika
pihak debitur lalai terhadap kewajibannya maka ia harus
melaksanakan apa yang telah ditetapkan sebagai hukumannya
dalam kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.
Syarat sahnya perjanjian diperlukan untuk menentukan ada atau tidaknya
suatu perjanjian yang lahir dari perbuatan atau tindakan para pihak, sehingga akan
berimplikasi pada akibat hukum yang timbul dari perbuatan para pihak yang
melakukan perbuatan hukum tersebut. Adapun yang menjadi syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut undang-undang, yaitu:48
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
47
Subekti, Op.Cit., hal. 11
48
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena
mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu.49
Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan
antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat merupakan pertemuan
antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan
apa yang dikehendaki pihak lain.50
Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan
atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan.
Agar dua kehendak bisa bertemu dan saling
mengisi maka harus ada pernyataan kehendak dari satu pihak berupa penawaran
dan penerimaan atau akseptasi dari pihak yang lain. Dengan demikian dapat
dikatakan juga bahwa yang dinamakan sepakat adalah suatu penawaran yang
diakseptasi.
51
Kekhilafan atau kekeliruan
terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hak-hak yang pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek
perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.
Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa hingga seandainya orang itu tidak
khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuan.52
Mengenai kekhilafan itu diatur lebih lanjut dalam undang-undang yang
mengaturnya, yang ketentuannya adalah sebagai berikut:53
49
Ibid., hal. 17
50
J. Satrio, Op.Cit., hal. 165
51
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1321
52
Subekti, Op.Cit., hal. 23
53
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan.
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”
Mengenai paksaan peraturannya adalah:54
Mengenai penipuan peraturannya adalah sebagai berikut:
“Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat
menakutkan seseorang yang berfikiran sehat, dan apabila perbuatan itu
sedemikian rupa dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa
dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan
nyata.”
55
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah kecakapan para pihak
untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1329 KUH Perdata pada dasarnya
semua orang dianggap cakap untuk membuat perjanjian kecuali oleh undang-“Penipuan merupakan alasan untuk pembatalan persetujuan apabila tipu
muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa,
sehingga terang dan nyata, bahwa pihak lain tidak menyetujui perjanjian
serupa andaikata tidak dilakukan tipu muslihat itu.”
Berdasarkan penjabaran tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian tidaklah sah apabila kesepakatan terjadi karena kekhilafan seperti
penipuan dan pemaksaan.
54
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1324
55
undang dinyatakan tidak cakap. Pada umumnya orang dikatakan cakap apabila
orang tersebut telah dewasa. Pasal 330 KUH Perdata menyatakan bahwa mereka
yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak telah menikah adalah belum
dewasa. Secara a contrario dapat dikatakan bahwa dewasa adalah mereka yang
telah berumur 21 tahun dan mereka yang telah menikah, termasuk mereka yang
belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah.56Dalam ketentuan pasal 47 Jo. Pasal
50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seseorang
dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum apabila telah berusia 18
tahun. Ketentuan pasal 47 Jo. Pasal 50 UUP tersebut mengesampingkan ketentuan
mengenai kedewasaan yang terdapat dalam pasal 330 KUH Perdata. Hal ini
berarti, bahwa anak yang telah mencapai usia 18 tahun telah lepas dari perwalian
dan dianggap dewasa, yang berarti anak tersebut dapat melakukan tindakan
hukum sendiri dengan sah.57
1. anak yang belum dewasa;
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai
orang-orang yang tidak cakap berbuat yaitu tertuang dalam Pasal 1330 KUH Perdata:
“Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah:
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.”
Syarat ketiga untuk sahnya melakukan suatu perjanjian adalah suatu hal
tertentu. Maksud dari suatu hal tertentu ini adalah objek dari pada perjanjian.
Menurut J. Satrio, objek perjanjian adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok
56
J.Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Buku II), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 5
57
perjanjian yang bersangkutan. Prestasi tersebut merupakan suatu perilaku tertentu,
bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu.58
1. Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah barang yang
dapat diperdagangkan;
Setiap perjanjian haruslah mempunyai objek perjanjian dan hal ini diatur
dalam pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata yang dapat disimpulkan sebagai
berikut:
2. Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut minimal harus dapat
ditentukan jenisnya;
3. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau dihitung;
4. Barang yang menjadi objek perjanjian dapat berupa barang yang baru
akan ada pada waktu yang akan datang; serta
5. Tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang masih dalam
warisan yang belum terbuka.
Syarat terakhir untuk sahnya suatu perjanjian menurut Pasal 1320 KUH
Perdata adalah suatu sebab yang halal. Mengenai suatu sebab yang halal diatur
dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yaitu sebagai berikut:
Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan tanpa
sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang,
tidaklah mempunyai kekuatan.
58
Pasal 1336 KUH Perdata menyatakan bahwa jika tidak dinyatakan suatu
sebab, tetapi memang ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain
yang tidak terlarang selain dan yang dinyatakan itu, persetujuan itu adalah sah.
Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang,
jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan
dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
Menurut Subekti, sebab (oor zaak) yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri. Sebab bukanlah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada azasnya tidak diperdulikan oleh undang-undang. Yang diperhatikan oleh undang-undang hanyalah tindakan-tindakan orang-orang dalam masyarakat.59
C. Pengertian Perjanjian Kredit
Contoh mengenai suatu sebab yang halal yang dimaksudkan dari pada isi
perjanjian misalnya perjanjian jual beli isinya pihak yang satu (si penjual)
menghendaki uang, sedangkan pihak yang lain (si pembeli) menghendaki sebuah
pisau. Dengan demikian jika seseorang membeli sebuah pisau di toko dengan
maksud untuk membunuh orang lain menggunakan pisau tersebut, tetapi si
penjual tidak mengetahui maksud pembunuhan tersebut, maka jual beli pisau
tersebut mempunyai sebab yang halal. Tetapi apabila soal membunuh
dimaksudkan dalam perjanjian misal si penjual hanya bersedia menjual pisaunya
jika si pembeli membunuh, maka isi perjanjian tersebut menjadi suatu yang
terlarang.
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani, yaitu “credere” yang berarti
kepercayaan. Oleh karena itu dasar dari perjanjian kredit adalah kepercayaan,
dalam arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapat fasilitas kredit
59
dari bank (kreditur), maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapat
kepercayaan dari bank pemberi kredit, dan penerima kredit (debitur) pada masa
yang akan datang akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan.60
Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang
sebagaimana tersebut di atas, suatu pinjam meminjam uang akan digolongkan
sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Berdasarkan peraturan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
61
1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan uang;
2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain;
3. Adanya kewajiban melunasi utang; 4. Adanya jangka waktu tertentu; serta 5. Adanya pemberian bunga kredit.
Muhammad Djumhana menyatakan bahwa perjanjian kredit pada
hakikatnya adalah perjanjian pinjam pengganti sebagaimana yang diatur di dalam
Pasal 1754 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa:62
“Perjanjian pinjam pengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
60
Thomas Suyatno, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 1989, hal.11
61
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 76
62
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.”
Mariam Darus Badrulzaman juga memiliki pandangannya sendiri tentang
pengertian perjanjian kredit, ia berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah
perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini
merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai
hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil
(pacta de contrahendo) oligatoir, yang dikuasai oleh undang-undang perbankan
dan bagian umum KUH Perdata.63
Hermansyah memiliki pendapat lain mengenai definisi daripada perjanjian
kredit. Menurutnya, perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yeng
bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah
assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian
pokok. Arti riil ialah bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh
penyerahan uang oleh bank kepada debitur.64
Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian kredit tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa perjanjian kredit dilaksanakan dengan mana para pihak telah
sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan perjanjian kredit yang mana
pihak debitur menerima sejumlah uang dari pihak kreditur dan pihak kreditur akan
menerima pembayaran atas hutang debitur dengan jumlah yang sama dengan
bunga dan pada waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit
tersebut.Pihak debitur diberikan kredit oleh pihak kreditur didasarkan atas dasar
kepercayaan bahwa pihak debitur akan melunasi hutangnya tepat pada waktunya.
63
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1989, hal. 28
64
Jadi apabila debitur telah mengembalikan apa yang diperjanjikan maka kreditur
juga berkewajiban menyerahkan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur.
Dilihat dari bentuknya, umumnya perjanjian kredit perbankan
menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract).65Setiap kredit yang
telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib
dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Dalam praktik
perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada
bank yang bersangkutan namun demikian ada hal-hal yang tetap harus
dipedomani yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau
tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus
memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum sekaligus juga harus
membuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara
pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian
kredit.66
Beberapa pakar yang menentang kehadiran perjanjian baku ini, di
antaranya adalah:
Hal-hal yang demikian perlu menjadi perhatian agar mencegah adanya
kebatalan dari perjanjian yang dibuat, sehingga pada saat dilakukannya perbuatan
hukum (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian pejabat bank harus dapat memastikan
bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan perjanjian kredit telah
diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.
67
65
Ibid.
66
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan keempat,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 385
67
1. Sluitjer
Menurutnya perjanjian baku bukan merupakan perjanjian, sebab kedudukan para pihak sama dengan pembentuk undang-undang swasta.
2. Pitlo
Pitlo berpendapat bahwa perjanjian baku adalah suatu perjanjian memaksa (dwangcontract), karena terdapatnya pelanggaran atas sifat terbuka dan kebebasan para pihak dalam hukum perjanjian.
3. Eggens
Dikatakan olehnya kebebasan kehendak dalam perjanjian merupakan tuntutan kesusilaan.
Sebaliknya, beberapa pakar menerima kehadiran perjanjian baku sebagai
suatu perjanjian, hal ini karena:68
1. Perjanjian baku sebagai perjanjian berdasarkan kemauan dan
kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan dirinya pada perjanjian
itu;
2. Setiap pihak yang menandatangani perjanjian tersebut pasti
mengetahui, menghendaki dan menyetujui isi daripada perjanjian yang
telah dituangka n di dalam formulir perjanjian baku tersebut;
3. Perjanjian baku mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan
berlaku di lingkungan masyarakat.
Hal ini berarti bahwa keabsahan perjanjian baku terletak pada penerimaan
masyarakat dan lalu lintas bisnis untuk memperlancar arus perdagangan dan
bisnis. Dunia perdagangan dan bisnis sangat memerlukan kehadiran perjanjian
baku guna menunjang dan menjamin kelangsungan hidup usaha perdagangan dan
bisnis.
Setiap perjanjian, khususnya perjanjian kredit antara bank dengan nasabah
wajib menerapkan asas-asas dalam perjanjian. Bank wajib menerapkan asas
68
keseimbangan dalam perjanjian kredit. Asas keseimbangan adalah asas yang
menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang
telah disepakati. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, tetapi
kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad
baik. Disini dapat terlihat bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan
kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan
debitur menjadi seimbang. Kedudukan bank yang dominan di bandingkan dengan
kedudukan nasabah, maka itikad baik sangat diperlukan dalam melaksanakan
perjanjian kredit oleh bank hal ini bertujuan untuk menghindari hal-hal yang dapat
mengarah pada ketidakadilan. Itikad baik sebagaimana Pasal 1338 ayat 3
KUHPerdata, bahwa suatu perjanjian harus didasari itikad baik, artinya
pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau
sesuatu yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.69
Perjanjian kredit juga perlu memperoleh perhatian yang khusus baik oleh
pihak bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena
perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,
pengelolaan dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu, menurut
Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:70
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok;
2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai
batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur;
69
Etty Mulyati, “Asas Keseimbangan pada Perjanjian Kredit Perbankan dengan Nasabah Pelaku Usaha Kecil”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 1 No. 1, 2016, hal. 39
70
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit.
D. Jenis Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena
perjanjiankredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan.
Dengan bentuktertulis para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah
diperjanjikan, dan ini akan menjadi bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi
sesuatu kepada kredityang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji
oleh pihak bank.71
Hendrik Budi Untung memberikan penjelasan bahwa secara yuridis
terdapat 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang digunakan oleh bank
dalam memberikan kreditnya, yaitu:72
1. Perjanjian kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan, yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. Lazimnya dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta membubuhkan tandatangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam perkara perdata.
2. Perjanjian kredit notariil (autentik), yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris. Dari pengertian perjanjian kredit notariil tersebut, dapat ditemukan beberapa hal, antara lain:
a. Yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, terkecuali wewenang tersebut diserahkan pada pejabat lain atau orang lain; b. Akta otentik dibedakan dalam yang dibuat “oleh” dan yang dibuat
“di hadapan” pejabat umum. Isi dari akta otentik adalah:
1) semua “perbuatan” yang oleh undang-undang diwajibkan dibuat dalam akta otentik;
2) semua “perjanjian” dan “penguasaan” yang dikehendaki oleh mereka yang berkepentingan.
3) Akta otentik memberikan kepastian mengenai penanggalan daripada aktanya yang berarti bahwa ia berkewajiban menyebut dalam akta yang bersangkutan, tahun, bulan dan tanggal pada waktu akta tersebut dibuat.
71
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Op.Cit., hal. 319-320
72
Mengenai akta perjanjian kredit notariil atau autentik ini, terdapat
beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:73
1. Kekuatan Pembuktian, terdapat 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Pertama, membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang tertulis di dalam akta.
b. Kedua, membuktikan antara para pihak bahwa peristiwa yang disebutkan dalam akta sunguh-sungguh terjadi.
c. Ketiga, membuktikan tidak hanya antara para pihak tetapi pihak ketiga juga telah menghadap di muka pegawai umum (notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
2. Grosse Akta Pengakuan Hutang
Kelebihan dari akta perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang dibuat secara notariil (autentik) adalah dapat dimintakan Grosse Akta Pengakuan Hutang yang mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya disamakan dengan keputusan hakim yang oleh bank diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses gugatan yang biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya besar.
3. Ketergantungan terhadap Notaris
Bahwa notaris sebagai pejabat umum tetap juga sebagai seorang manusia biasa sehingga di dalam mengadakan perjanjian kredit atau pengakuan hutang oleh atau di hadapan notaris, tetap dituntut berperan aktif guna memeriksa segala aspek hukum dan kelengkapan yang diperlukan.
E. Hapusnya Perjanjian Kredit
Pasal 1319 KUH Perdata menetapkan bahwa semua persetujuan baik yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu
tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di dalam bab ini dan bab
yang lain.
Mengingat bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tidak diatur
di dalam KUH Perdata atau yang sering disebut dengan istilah perjanjian
innominaat, dengan adanya peraturan yang tertuang dalam Pasal 1319 KUH
Perdata tersebut di atas menetapkan bahwa perjanjian kredit juga harus tunduk
73
pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III KUH Perdata,
termasuk ketentuan-ketentuan tentang hapusnya suatu perikatan atau perjanjian.
Hapusnya suatu perikatan telah diatur di dalam Pasal 1381 KUH Perdata
yang ketentuannya adalah sebagai berikut:
“Perikatan hapus: karena pembayaran;
karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
karena pembaruan utang;
karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utang;
karena pembebasan utang;
karena musnahnya barang yang terutang; karena kebatalan atau pembatalan;
karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini;dan
karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.”
Pasal 1381 KUH Perdata tersebut di atas yang mengatur cara hapusnya
perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank. Dari sepuluh cara
yang disebutkan pada Pasal 1381 KUH Perdata, umumnya perjanjian kredit bank
harus hapus atau berakhir karena hal-hal sebagai berikut:74
1. Pembayaran
Pembayaran (lunas) ini merupakan pemenuhan prestasi dari debitur, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang wajib dibayar lunas oleh debitur. Pembayaran lunas ini baik karena jatuh tempo kreditnya atau karena diharuskannya debitur melunasi kreditnya secara seketika dan sekaligus (opelbaarheid clause).
2. Subrogasi (subrogatie)
Pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan kemungkinan pembayaran (pelunasan) utang dilakukan oleh pihak ketiga kepada pihak berpiutang (kreditur), sehingga terjadi penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur oleh pihak ketiga. Inilah yang dinamakan dengan subrogasi. Jadi subrogasi ini terjadi karena adanya penggantian kedudukan atau hak-hak kreditur lama oleh kreditur baru dengan mengadakan pembayaran. Dengan adanya subrogasi, maka segala kedudukan atau hak-hak yang dimiliki oleh kreditur lama beralih kepada pihak ketiga.
74
3. Pembaruan utang (novasi)
Pembaruan utang terjadi dengan jalan mengganti utang lama dengan utang baru, debitur lama dengan debitur baru, dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal ini bila utang lama diganti dengan utang baru, maka terjadilah penggantian objek perjanjian yang disebut “novasi objektif”. Di sini utang lama akan lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif pasif”. Jika yang diganti itu krediturnya, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini, utang lama lenyap.
Pada umumnya pembaruan utang yang terjadi dalam dunia perbankan adalah dengan mengganti atau memperbarui perjanjian kredit bank yang ada. Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjian kredit banknya dengan perjanjian kredit bank yang baru. Oleh karena itu otomatis perjanjian kredit bank yang lama berakhir atau tidak berlaku lagi. Pasal 1413 KUH Perdata menyebutkan tiga cara untuk melakukan novasi, yaitu:
a. dengan membuat suatu perikatan utang baru yang menggantikan perikatan utang lama yang dihapuskan karenanya;
b. dengan cara expromissie, yakni mengganti debitur lama dengan debitur baru;
c. mengganti debitur lama dengan debitur baru sebagai akibat suatu perjanjian baru yang diadakan.
4. Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah perjumpaan dua utang yang berupa benda-benda yang ditentukan menurut jenis (generieke ziken), yang dipunyai oleh dua orang atau pihak secara timbal balik, di mana masing-masing pihak berkedudukan baik sebagai kreditur maupun debitur terhadap orang lain,sampai jumlah terkecil yang ada di antara kedua utang tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata
memang tidak mengatur tentang perjanjian kredit perbankan namun setiap orang
yang melakukan perjanjian kredit harus tunduk dan patuh terhadap seluruh
ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian yang ada di dalam KUHPerdata. Karena
bagaimanapun juga perjanjian kredit merupakan suatu hubungan hukum yang
menimbulkan suatu perikatan dan ketentuan mengenai perikatan telah diatur di