Pengaruh Komunikasi Hasil Teknologi Komputer dan Internet terhadap Pertumbuhan Terorisme di Indonesia
Oleh : Eddy Yansen ( Universitas Pelita Harapan )
Isu terorisme adalah salah satu isu populer yang banyak dibahas dalam studi
komunikasi beberapa tahun terakhir. Terorisme yang erat hubungannya dengan
politik dan ideologi, tentu tidak bisa kita dipisahkan dengan perkembangan dan
pemanfaatan media komunikasi sendiri.
Pemanfaatan teknologi internet dan perubahan bentuk media ke digital, diduga
adalah salah satu penyebab semakin berkembangnya terorisme di Indonesia.
Kini organisasi teroris bisa menggunakan teknologi internet seperti website,
chat, social media untuk melakukan perekrutan, mencari mereka yang mudah
untuk dipengaruhi paham ideology yang diusung oleh organisasi teroris tersebut.
Tanpa harus berhadapan langsung, maupun mempengaruhi secara langsung satu
orang ke orang lain, melainkan melalui website yang berisi doktrinisasi,
organisasi teroris dapat memperngaruhi banyak orang dalam waktu yang lebih
singkat.
Isu lain yang cukup menarik perhatian penulis, adalah bagaimana sebuah
organisasi teroris bisa menyebarkan paham ideologinya, merekrut, dan
khususnya melatih teroris – teroris baru, menggunakan media baru, tanpa tatap
muka. Bahkan tidak jarang, kita temui aksi – aksi teror dilakukan oleh pihak
amatir, yang bahkan tidak berhubungan langsung dengan organisasi teroris
internasional maupun nasional.
Sebut saja kejadian di akhir tahun 2013 di Vihara Ekayana Arema – Jakarta
Barat. Seorang teroris meletakan 3 bom rakitan di dalam Vihara. Namun 3 bom
tersebut gagal meledak dan hanya mengeluarkan asap tebal ketika umat agama
Buddha di dalam Vihara tersebut sedang beribadah.
Temuan kepolisian yang menarik perhatian penulis adalah aksi teror tersebut
terjadi pada pengeboman Bali 1 dan Bali 2. Namun hanya dilakukan oleh
sekelompok orang amatir, yang belajar membuat bom rakitan melalui media
internet, dan terlebih terpengaruh karena isu aksi kekerasan umat Buddha
terhadap umat Islam di Thailand.
Bila kita menelaah permasalahan diatas dari sudut pandang teori Social Learning
& Cognitive, kita menemukan hadirnya internet dan komputer telah memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kecepatan proses pembelajaran manusia
yang disebabkan oleh media.
Pada tahun 1960, pencetus teori Social Learning & Cognitive, Albert Bandura
mengusulkan adanya 4 tahapan dimana proses pembelajaran observasi (
observation learning ) dapat terjadi :
Pertama, seseorang harus terekspos pada media dan tertarik kepada isi media tersebut. Bila kita jabarkan poin pertama ini, dalam pendekatan tanpa internet
dan komputer. Salah satu media yang dapat disebarkan secara massal dengan
penggambaran yang paling utuh adalah televisi.
Studi mengenai pengaruh siaran televisi terhadap kekerasan dalam masyarakat
misalnya, adalah contoh kasus klasik yang sudah banyak dibahas. Namun
terorisme tidak bisa bebas menggunakan channel televisi untuk usaha –
usahanya. Karena tentu organisasi teroris tersebut membutuhkan biaya besar
untuk membangun sebuah channel siaran televisi, faktor perijinan, serta control
pemerintah terhadap media ini juga sangatlah ketat.
Seseorang akan sangat sulit terekspos pada informasi terorisme, di televisi
maupun media non internet lainnya karena faktor kendali pemerintahan dan
pihak otoritas yang baik.
Sebaliknya ketika kita melihat media baru yang lahir karena pertumbuhan
teknologi internet dan komputer. Source komunikasi menjadi semakin beragam,
sebuah website, menonton sebuah video di Youtube.com, bicara dengan
seseorang sahabat melalui skype maupun Yahoo! chat. Yang mana seluruhnya
tidak dapat dikendalikan isinya oleh pihak pemerintah maupun kepolisian.
Dalam contoh kasus pengeboman di Vihara Ekayanan Arema misalnya, pelaku
terekspos oleh informasi – informasi mengenai kekerasan umat Buddha
terhadap umat Islam di Thailand, melalui banyaknya video – video yang
disebarkan melalui internet.
Dan mulailah terpengaruhi oleh orang – orang yang berusaha untuk membalas
dalam sebuah komunitas online yang sama.
Kedua, seseorang harus dapat mengingat kejadian dalam media tersebut. Kriteria kedua ini bila dilihat pada media lain terutama media lama seperti
Koran, radio dan sejenisnya, Kita menemukan seseorang membutuhkan usaha
lebih untuk mengingat sebuah kejadian dari suara saja, gambar diam saja atau
bahkan hanya tulisan.
Penyebaran paham – paham terorisme ataupun paham lainnya pada awal tahun
1900an seperti yang kita ketahui masih banyak menggunakan media cetak yaitu
buku, Koran dan melalui orasi – orasi yang dilakukan di radio.
Namun lahirnya teknologi internet memungkinkan seseorang untuk mengakses
informasi lebih jelas, lengkap dan cepat. Seseorang yang telah terekspos oleh
paham terorisme, bisa bergabung dalam komunitasnya secara online, membahas
dan bertukar pikiran menggunakan media internet dengan mudah.
Ketik saja, “Cara Merakit Bom” di Google, bahkan anda dapat menemukan
ratusan website yang menyediakan informasi tersebut dalam detil yang
menakjubkan. Sebut saja, anda bisa menemukan langkah demi langkah cara
merakit bom yang disajikan dalam video, tulisan atau bahkan ada forum tanya
jawabnya untuk menanyakan lebih jelas hal – hal yang tidak dimengerti oleh
Inilah hasil dari web 2.0, dimana percepatan informasi yang dikenal
crowdsourcing bisa terjadi. Informasi tidak lagi hanya melibatkan 1 pihak kepada
pihak lain, melainkan banyak pihak ke banyak pihak.
Pada contoh merakit bom diatas, bisa saja yang terlibat bukanlah pelaku teroris
saja, namun bisa saja dari komunitas sains, komunitas hobbyist ataupun bahkan
dari pihak kepolisian / militer sendiri yang tanpa disadari memberikan
informasi – informasi tersebut di internet.
Bentuk media yang semakin jelas dan mudah dipahami, membuat seseorang
semakin mudah menguasai dan meniru dalam observational learning ( Albert Bandura ).
Ketiga, seseorang harus dapat menerjemahkan kejadian yang dilihat dalam media menjadi perilaku / action. Artinya seseorang dapat melakukan apa yang
telah dipelajari melalui media.
Bila dilihat dari pengaruh teknologi internet dan komputer, kini seseorang
memiliki akses pembelajaran yang lebih luas, dan akses informasi yang lebih luas
dan memungkinkan untuk melakukan sesuatu yang mungkin sebelumnya tidak
bisa dilakukan karena keterbatasan informasi.
Bila kita melihat kembali kasus pengeboman Vihara Ekayana Arema – Jakarta
Barat. Bisa diduga pelaku aksi teror tersebut mendapatkan berbagai informasi
melalu internet untuk mewujudkan apa yang telah dipelajari di internet juga
yaitu “cara merakit bom”.
Pelaku aksi teror bisa memanfaatkan internet untuk menemukan penjual –
penjual bahan peledak yang dibutuhkan, berkomunikasi melalui internet secara
aman dan menerima kirimannya tanpa diketahui pihak berwajib.
Pelaku aksi teror tersebut bisa juga, mengakses informasi seperti foto – foto
sasaran teror beliau di internet, dan semakin mendekatkan pelaku kepada
kenyataan aksinya.
Belum lagi, bila kita melihat teknologi komputer dan internet dari sisi
hardwarenya sendiri. Dimana seseorang kini bisa melakukan komputasi
perhitungan, simulasi kejadian menggunakan komputer. Artinya seorang teroris
bahkan bisa meramalkan seberapa besar daya ledak yang dibutuhkan melalui
komputer.
Melalui teknologi nirkabel, dan efek Moore’s Law yang membuat perangkat
komputer semakin murah dan semakin kecil. Memungkinkan kejadian seperti
peledakan jarak jauh menggunakan handphone, dan menghindarkan pelaku aksi
teror dari kematian seperti pada aksi bom bunuh diri. Menjadi permasalahan
yang semakin sulit diatasi.
Keempat, seseorang harus mendapatkan motivasi untuk mengulangi / meniru kejadian yang dilihat oleh dikarenakan pengaruh internal maupun eksternal.
Dan menurut Albert Bandura, faktor paling berpengaruh dalam proses social learning adalah adanya reward dalam motivasi melakukan hal yang telah
dipelajari. Seperti mendapatkan keuntungan secara finansial, ataupun sekedar
pujian dari pihak lain.
Aksi teror di Indonesia yang semakin bertumbuh, juga dikarenakan
perkembangan media internet. Melalui media internet para pelaku aksi teror
bisa mendapatkan pengakuannya atau bahkan mimbar untuk menerima
penghargaannya di komunitas terorisme.
Para pelaku aksi teros bisa menggunakan nama samaran, dan memamerkan aksi
– aksi terornya di website, youtube, social media, dengan jaminan keamanan
privasi tanpa diketahui atau anonim.
Penulis mengambil contoh pengeboman Vihara Ekayana Arema diatas hanya
dengan tujuan menjelaskan bagaimana proses pembelajaran sosial melalui
komunikasi media telah berubah oleh karena teknologi internet dan komputer.
Yang didasarkan oleh praduga dan tebakan belaka, tidak melalui data yang
sebenarnya.
Khususnya di Indonesia, dimana aksi – aksi teror yang dilakukan oleh orang –
orang yang hanya menjadi korban doktrinisasi terorisme melalui media internet.
Karena internet telah memungkinkan proses pembelajaran yang efektif, sebuah
observational learning yang semakin mendekati sempurna, bila kita melihat
teknologi terakhir seperti simulasi pada virtual reality.
Masuknya pihak kepolisian, dan pemerintah dalam mengatur regulasi informasi
yang beredar di internet menjadi penting di masa kini. Pembentukan kerja sama
internasional pun diarasakan semakin penting dalam mengatur informasi yang
beredar di internet. Sehingga kepolisian Indonesia, bisa mengakses, memblokir
dan mencegah masuknya informasi dari website – website asing yang berada di
luar jangkauan hukum Indonesia sendiri.
( Eddy.Yansen@gmail.com )