• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mitos Gunung Suci: Studi Historis Kultur Gunung Mutis dalam Imajinasi Masyarakat Mollo T2 752015020 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mitos Gunung Suci: Studi Historis Kultur Gunung Mutis dalam Imajinasi Masyarakat Mollo T2 752015020 BAB II"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MITOS , PERILAKU SOSIAL, DAN IMAJINASI

2.1 MITOS

2.1.1 Mitos Menurut Mircea Eliade

Mircea Eliade mengemukakan bahwa mitos hasil dari manusia arkhias dalam

melukiskan lintasan supranatural ke dalam dunia mitos, yang dalam hal ini telah

menguak sebuah tabir misteri dengan mewahyukan peristiwa-peristiwa promodial yang

sampai sekarang ini masih diceritakan kembali. Mitos membicarakan tentang manusia

tradisonal dalam melihat sejarahnya baik itu tentang asal usul maupun tentang alam

sebagai tempat kediaman manusia. Mitos juga mengungkapkan masalah-masalah religi

atau masyarakat menyangkut kepercayaan terhadap dewa-dewa sebagai suatu kekuatan

supranatural yang dipercaya dan alam yang membentuk manusia tradisional. Mitos

menjadi penting karena membuat manusia berpikir tentang asal-usul mereka pada

zaman awal. Bagi masyarakat tradisional mitos berarti suatu cerita yang benar dan

cerita ini milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci,

bermakna menjadi contoh model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai

pada kehidupan ini. Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan kembali

hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang profan.

Mitos membuka bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata melalui

tindakan simbolis dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke dalam

sejarah suci atau lebih tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal

adikodrati, dewa-dewa, leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan

menetapkan aturan-aturan manusia.1

1

(2)

Mircea Eliade mengklaim mitos sebagai “kebenaran yang mutlak” dan “ sejarah

yang benar” yang disediakan sebagai suatu bentuk perilaku manusia. Dalam bukunya

myths, Dreams and mysteries,ia mengatakan bahwa mitos adalah pikiran atau gagasan

untuk mengekspresikan kebenaran absolut, sebab mitos menceritakan suatu sejarah suci

atau kudus, yakni suatu penyataan transhuman yang mengambil tempat pada permulaan

zaman awal pada saat suci atau kudus dari permulaan dunia.2

Menurut Eliade mitos bukan hanya sekedar sebuah imajinasi atau

pertanda-pertanda, melainkan imajinasi-imajinasi yang dimuat kedalam bentuk cerita yang

mengisahkan dewa-dewa, leluhur, para kasatria dunia atau dunia supranatural lainnya.

Simbol dan mitos mewujudkan diri dalam imajinasi-imajinasi, yang biasa muncul dari

ide-ide kontradiksi. Kemudian mengikat seluruh aspek pribadi, emosi, keinginan dan

aspek-aspek bawah sadar lain manusia. Sebagaimana dalam suatu pribadi, hasrat-hasrat

kontradiktif dapat berkumpul dan juga seperti impian dan fantasi-fantasi yang tidak

logis yang bisa terjadi, maka dalam pengalaman religius hal-hal yang berlawanan itu

yang sakral dan profan juga bisa bertemu. Dalam suatu pengambaran intuisi, imajinasi

religius melihat yang biasa-biasa saja dan profan sebagai hal yang lebih dari sekedar itu

dan dapat berubah menjadi yang sakral. Yang natural menjadi yang supranatural. Eliade

mendapati bahan utama simbol dan mitos-mitos tersebut adalah alam fisik. Dalam

pemikirah arkhias, dunia fisik merupakan bahan paling jelas yang jadi imajinasi, bukti,

pertanda dan analogi-antalogi. Apa yang ada di dunia ini adalah bagian dari suatu

Frameworkbesar yaitu dewa-dewalah yang menciptakan dunia dan belahan dunia

manapun, yang sakral dan yang selalu menunggu saat untuk muncul. Dalam segala

keindahan dan keganasan alam. Dengan kompleksitas yang ada di dalamnya, misteri,

2

(3)

keanekaragaman alam, dunia natural selalu membuka diri untuk menerima aspek

supranatural yang disebut Eliade sebagai modalitas yang sakral. Maka tidak

mengherankan jika kebudayaan-kebudayaan kuno sangat kaya dengan figur dan

simbol-simbol imajinatif. Dunia mereka sangat hidup dengan adanya cerita dan

legenda-legenda, misalnya kisah-kisah tragis, kepahlawanan, roh jahat dan kehidupan

para dewa. Bila simbol-simbol ini dikemas ke dalam bentuk naratif, maka semua itu

bisa dianggap sebagai sebuah mitos. Mitos-mitos menceritakan tentang yang sakral,

bagaimana kehidupan Ilahiah yang bersifat supranatural itu bisa menjadi sangat dekat

dengan kehidupan alamiah manusia.3

Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-hal yang

sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang profan. Mitos membuka

bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata melalui tindakan simbolis

dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke dalam sejarah suci atau lebih

tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal adikodrati, dewa-dewa,

leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan menetapkan aturan-aturan

manusia.4

Penciptaan dalam mitos melingkupi semua tatanan kehidupan di dunia termasuk

alam hunian manusia. Eksistensi manusia dalam interaksi dengan alam juga

digambarkan sebagai hubungan timbal balik, yang saling mempengaruhi. Mitos juga

merupakan jembatan penghubung antara masyarakat tradisonal dengan masyarakat

modern. Karena dalam kehidupan setiap masyarakat modern juga ingin mengetahui

sejarah asal usul mereka. Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan

kembali hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang

profan. Mitos membuka bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata

3

Daniel Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: 2011,)...,244

(4)

melalui tindakan simbolis dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke

dalam sejarah suci atau lebih tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal

adikodrati, dewa-dewa, leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan

menetapkan aturan-aturan manusia.5

Mitos menceritakan sebuah sejarah yang sakral yaitu primordial (bentuk atau

tingkatan paling awal), berlangsung pada awal waktu. Untuk berhubungan dengan

sejarah sakral ini setara dengan mengungkapkan misteri sebab orang-orang yang

berperan dalam mitos bukanlah manusia biasa tetapi mereka adalah dewa atau

pahlawan dan karena itu perilaku mereka adalah sesuatu yang penuh misteri.

Manusia padagenerasi berikutnya tidak bisa mengetahui tindakan mereka jika tidak

diwahyukan. Oleh karena itu mitos adalah sejarah atas apa yang terjadi pada waktu

awalselanjutnya menurut Eliade, mitos menguak tabir suatu misteri, mewahyukan

peristiwa primordial yang harus selalu diceritakan dan diulang kembali pada waktu

sekarang. Mitos merupakan model paradigmatis tentang apa yang terjadi, dan

memberikan contoh-contoh model untuk dijadikan referensi tindakan sikap manusia

sekarang. Mitos juga bercerita tentang apa yang dilakukan oleh para dewa tentang apa

yang menjadi kegiatan kreatif. Mitos dapat membentuk suatu pengetahuan yang

mengandung kekuatan religius magis. Bila seseorang mengetahui asal usul objek

misalnya seekor binatang atau tumbuhan tertentu, berarti ia memperoleh kekuatan

magis terhadap objek-objek tersebut sehingga dapat menguasai, memperbanyak dan

memproduksinya menurut yang ia kehendaki. Pengetahuan ini bukanlah pengetahuan

eksternal dan abstrak tetapi pengetahuan yang dialami secara ritual dengan

55

(5)

menceritakan mitos secara serimonial ataupun dengan melakukan ritus sebagai

pembenaran.6

Mitos dipahami sebagai kekuatan penyelamatan tertentu dan memiliki hubungan

dengan kosmologi karena menceritakan bagaimana segala sesuatu terjadi, di samping

menerangkan mengapa hal yang dilakukan saat ini merupakan hal yang tepat untuk

dilakukan. Masyarakat primitif tidak mereka-reka mitos melainkan menghayatinya.

Karena itu mitos berkaitan erat dengan kegiatan penciptaan oleh makluk-makluk ilahi

dan menyingkapkan kesucian mereka. Mitos sungguh dikenal sebagai sejarah yang suci

karena selalu mengacu kepada sebuah kenyataan. Mitos memiliki fungsi eksistensial

bagi manusia dan berhubungan dengan realitas sosial serta alam semesta. Artinya mitos

dianggap sebagai kearifan lokal masyarakat tertentu dalam mempertahankan sesuatu

yang bermanfaat sehingga dapat diwariskan kepada masyarakat lainnya.7

Oleh masyarakat Mollo, sesuatu yang sakral dan suci kemudian dapat

dipertahankan dengan penciptaan mitos-mitos yang berhubungan dengan yang

disakralkan sehingga mengandung nilai-nilai dalam masyarakat dan kemudian

diwariskan secara turun temurun. Kesakralan Gunung Mutis adalah hasil ciptaan

masyarakat Mollo yang didukung dengan mitos-mitos yang terkait dengannya.

Nilai-nilai pengsakralan itu kemudian diwariskan kepada masyarakat sebagai identitas

masyarakat Mollo. Mitos Mutis Gunung suci dianggap sebagai kearifan masyarakat

dalammempertahankan hal-hal yang berhubungan dengan identitas mereka.

6

Mircea Eliade, Myth and Reality (London:George Allen and Unwin Ltd, 1964). 14-16 dalam

Agusthina, C. Kakiay, “Rapie Hainuwele kajian sosio historis terhadap mitos penyebaran penduduk pulau Seram di Maluku Tengah” (Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, 2004), 14

7

(6)

2.1.2 Sakral Menurut Mircea Eliade

Masyarakat memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang yang suci dengan

yang biasa atau yang sering dikatakan yang sakral dan sekuler atau duniawi, Sebab

tidak memiliki ciri khusus untuk dapat dibedakan. Apabila kita memperhatikan

benda-benda dan wujud-wujudnya kita tidak akan dapat menemukan jawabannya sebab bukan

benda-benda itu yang memberi tanda dari yang sakral. Jadi masyarakatlah yang

mengsakralkan melalui upacara-upacara dan diabadikan dalam ajaran-ajaran

kepercayaan mereka, sebagaimana dikatakan Nottingham:

“Sesuatu dapat dikatakan sakral bukan pada wujud dan bentuk tapi justru

berbagai sikap dan perasaan (manusianya) yang memperkuat kesakralan benda -benda itu. Dangan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu sendiri sebagai emosi sakral yang paling nyata, gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Dengan demikian sifatsakral itu tidak tergantung pada ciri hakikinya tapi pada mental dan sikap-sikap emosional kelompok (masyarakat) terhadapnya dan pada konteksnya8

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu benda dapat

disucikan atau dihormati disebabkan ada perasaan batin dan perasaan yang terpatri di

dalam jiwanya dan rasa ketakutan. “Perasaan kagum inilah untuk menarik mereka

untuk cinta dan ingin terhindar dari bahaya”.

Dalam pengertian lebih luas, yang kudus (sakral) adalah suatu yang terlindung

dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Sesuatu yang kudus adalah sesuatu

yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini pengertian tentang

yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, maka banyak objek, baik yang bersifat

keagamaan maupun bukan, tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan dan

gagasan-gagasan dapat dianggab sebagai kudus. Dalam pengertian yang lebih sempit,

yang kudus adalah sesuatu yang dilindungi dari pelanggaran, pengacauan atau

pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci, keramat. Hal ini kebalikan dengan

(7)

profan. Yang profan adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, bersifat

sementara, pendek kata yang ada di luar yang religius.9

Menurut Eliade dalam perjumpaan dengan yang sakral, orang-orang merasa

bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi (otherworldly); mereka

merasa bahwa telah bersentuhan dengan sebuah realitas yang tidak seperti realita lain

yang pernah mereka kenal, sebuah dimensi eksistensi dahsyat-menggetarkan, sangat

berbeda, benar-benar riil yang bersifat transenden dan suci.Bagi Eliade ketika berbicara

tentang yang sakral, maka perhatian utamanya adalah dengan yang supernatural.

Bertolak dari kalangan masyarakat arkhais, kehidupan dibedakannya atas dua bidang

yaitu yang sakral dan profan. Yang sakral adalah wilayah supernatural, hal-hal yang

luar biasa dan mengesankan, suatu wilayah yang teratur dan sempurna, rumah leluhur,

pahlawan, dan dewa-dewi, abadi, penuh dengan substansi dan realitas. Sedangkan, yang

profan adalah hal-hal yang biasa, wilayah urusan sehari-hari, penuh bayang-bayang,

bisa hilang, kacau, dan merupakan arena urusan manusia.10

Pengalaman tentang yang sakral terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang

benar-benar luar biasa dan dahsyat, terpikat oleh suatu realitas yang sama sekali lain.

Sesuatu yang misterius menawan, berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan tetapi

sekaligus menawan. Ketika manusia mengalami pengalaman yang sakral itu, manusia

selalu menyadari bahwa dirinya bukanlah apa-apa. Dalam pengalaman yang

mengesankan dan menggetarkan ini, terletak inti emosional dari semua manusia yang

disebut agama. Perhatian agama adalah terhadap yang supranatural, yang jelas dan

sederhana serta berpusat pada yang sakral. Agama menurut Eliade (dekat dengan

Tylor dan Frazer): pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan pada wilayah dari

wujud yang supernatural.

9

Mariasusai Dhavamong, Fenomenologi Agama , (Jakarta: Kanisius, 1995), 87.

10

(8)

Di hadapan Yang Sakral, manusia mempunyai perasaan bahwa ia tidak

berarti,suatu perasaan dari makhluk yang sadar bahwa ia adalah sebuah ciptaan.

Dihadapan Yang Sakral, setiap orang akan merasa gentar dan terpesona. Perasaan ini

khas dan khusus, tidak sama dengan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.

Karena itusemua tempat, benda, binatang, tumbuhan, dan lain-lain hanya merupakan

analogi dari yang sakral itu. Dalam keterbatasan bahasa manusia mencoba untuk

melukiskan Yang Sakral itu dengan istilah-istilah yang dimengerti dalam bahasa

mereka sendiri. Maka pengalaman religius adalah pengalaman tentang Yang Sakral,

yang sekaligusmenakutkan dan mempesona. Suatu pengalaman numinous adalah sui

generis dan tidak dikorelasikan pada pengertian biasa yang lain, baik pengertian

intelektual maupun rasional. Perasaan khas yang mencirikan pengalaman religius ini

tidak dapat merupakan pengalaman psikologis dari getaran jiwa manusia11, tetapi

perasaan itu juga merupakan cara untuk memahami Yang Ilahi, bukan jiwa manusia,

atau dengan singkat, dapat dikatakan bahwa inilah dasar agama yang Numinous

sekaligus rasional dan nonrasional. Kondisi-kondisi kejiwaan yang betul-betul masuk

ke dalam pengalaman religius Yang Numinous (dari kata Latin, numen artinya Tuhan)

dan Yang non-rasional, diungkapkan dalam ide-ide rasional.

Dalam bukunya The Sacred and The Profane, Eliade mengemukakan perbedaan

pokok antara yang sakral dan yang profan. Secara khusus, Eliade membahas arti

penting hubungan manusia dengan Yang Ilahi. Ia menganalisa yang sakral itu sebagai

yang sakral. Eliade menunjukkan bagaimana ruang dan waktu yang sakral adalah

sungguh-sungguh ruang dan waktu yang riil, nyata, permanen dan abadi kebalikan

dengan ruang dan waktu yang labil, selalu berubah-ubah dari dunia profan kalangan

homo-religiusus (orang-orang tradisional) menghidupkan kembali kebaikan-kebaikan

11

(9)

primordial dari dewa-dewa dan ritus-ritusnya, tentu saja tidak seperti manusia modern,

dalam semua tingkah lakunya, karena tindakan-tindakan primordial itulah yang

sesungguhnya nyata. Dengan demikian, merambahnya fenomena sakral ke dalam

ruang profan menciptakan ruang yang sakral, ruang yang tercipta, yang abadi, dan yang

nyata. Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan

dirinya secara berbeda dari dunia profan12. Nilai-nilai yang supranatural, yang

Sakral bisa disamakan dengan kekuatan, atau suatu realitas. Tetapi juga bisa menjadi

sesuatu yang menjadi sarana sakral pada waktu tertentu atau pada waktu yang lain,

tidak lagi menjadi simbol yang sakral dan tempatnya digantikan dengan objek lain,

sekalipun yang sakral sendiri tetap dan tidakpernah berubah. Karena Yang Sakral itu

adalah Yang Ilahi, abadi, dan tidak pernah mati. Yang Sakral merupakan suatu realitas

yang bukan dari dunia sehingga sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan yang

profan.13

Suatu ruang atau tempat menjadi sakral karena peristiwa hierofani, maksudnya

Yang Sakral memanifestasikan diri di tempat itu. Akibat peristiwa hierofani, suatu

tempat kemudian menjadi sakral, diistimewakan, dan terpisah/dibedakan dari

tempat-tempat lain. Pengungkapan Yang Sakral dalam suatu hierofani itu merupakan suatu

pendobrakan homogenitas ruang, juga pewahyuan dari realitas yang absolut

bertentangan dengan nonrealitas yang maha luas di sekitarnya. Manifestasi yang Sakral

mendasari dunia secara ontologisme. Hierofani menunjukan suatu segi titik teguh

absolute atau sebagai titik pusat di tengah-tengah homogenitas yang maha luas dan tak

terbatas. Di dalam homogenitas yang tak terbatas ini tidak ada titik dasar yang

dimungkinkan.14

12

Mircea Eliade, Sakral dan Profan, Nurwato (Terj.), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002),18-30

13

Beatrixs Soumeru, Kajian Sosio Budaya Tentang Sakralnya Pusat pulau dalam pemahaman orang Abuba di pulau Nusa Laut, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2012. Hal 16-17

14

(10)

Selanjutnya, Eliade mengaitkan waktu sakral dengan mitologi. Ketika waktu

profan adalah linear, waktu sakral kembali pada permulaan manakala segalanya

nampak lebih “nyata” waktu daripada keadaannya sekarang. Waktu digerakkan kembali

dengan menjadikannya baru kembali sementara ritual-ritual mengikat kembali para

penganut kepada keaslian kosmos yang sakral. Maka, siklus satu tahun menjadi

paradigma bagi pembaharuan kembali masyarakat dan dunia genesis yang sakral.Eliade

lalu menganalisa bagaimana sejumlah unsur alam secara khusus bermain di dalam

pengalaman yang sakral. Ia melihat air, pohon sakral, rumah dan tubuh, ia mencatat

bahwa tidak ada tubuh manusia modern, seateis apapun, yang sepenuhnya tidak

merasakan daya tarik alam. Simbolisme kosmik menambahkan satu nilai baru kepada

objek atau tindakan tanpa menggeser nilai-nilai yang inheren. Manusia religius

mendapatkan dalam dirinya kesucian yang sama dengan yang ia temukan dalam

kosmos. “Keterbukaan terhadap dunia memungkinkan manusia religius untuk

mengenal dirinya dalam pengenalannya akan dunia dan pengetahuanini berharga

baginya karena inilah cara beragama.15

Suatu tempat baru disucikan dengan kegiatan upacara ritual, maka kehadiran

Yang Ilahi menyebabkan tempat itu sama dengan kosmos yang teratur. Dalam

kosmosyang teratur ini dilihat merupakan hasil pekerjaan mereka sehingga tempat itu

menjadi sakral. Pengudusan semua objek dan makhluk di dunia ini, melalui peristiwa

hierofani, lewat tanda-tanda atau metode-metode tertentu, semuanya berlaku sama.

Misalnya karena peristiwa hierofani, maka batu, pasir, padang, gunung, sungai, dan

benda- benda tertentu menjadi sakral. Demikian juga dengan halnya binatang atau

manusia bisa menjadi sakral dengan berbagai bentuk upacara seperti mengulangi

peristiwa hierofani atau kosmogoni. Dunia ini sendiri bersifat sakral karena dunia

15

(11)

mengambil bagian dalam kesakralan Pencipta-Nya. Hanya dengan memandang dunia

ini saja sudah dapat menangkap kesakralannya. Ini berarti Para Yang Ilahi (dewa)

menampakan kesakralan mereka di dalam susunan fenomena-fenomena alam ini.

Jadi bagi manusia religius, nilai sakral tempat tinggal mereka disebabkan karena

tempat itu mencerminkan dunianya. Kalau menempati satu tempat secara permanen,

maka tindakan itu merupakan keputusan fital yang melibatkan eksistensi seluruh

keluarga dan masyarakat. Memilih suatu tempat, mengatur, dan mendiaminya

merupakan tindakan yang eksistensial, karena tindakan itu menuntut kesediaan

untuk“menciptakannya”, mengulangi model kosmogoni. Dengan cara itu tempat tinggal

manusia religius mengambil bagian dalam kesakralan karya Yang Ilahi (para dewa).16

Eliade selanjutnya menjelaskan awalnya manusia itu dibenamkan ke dalam dunia

profan. Selanjutnya simbolismelah yang menciptakan solidaritas tetap di antara

manusia dan yang suci. Dalam pandangan Eliade, simbolisme merupakan bahasa di

dalam suatu masyarakat khusus dan tertentu di mana pun adanya simbol senantiasa

berfungsi untuk menghapus batas-batas manusia di dalam masyarakat dan kosmis.

Karena itu manusia di sini bukan “fragmen” semata melainkan membuat jati diri

manusia yang terdalam itu berikut status sosialnya menjadi jelas. Dengan demikian

membuat dirimanusia menjadi satu dengan irama alam dengan mengintegrasikannya

ke dalam satuan yang lebih besar yaitu masyarakat dan alam semesta. Oleh karena itu,

apa yang disebut dengan pemikiran simbolis memungkinkan manusia untuk bergerak

secara bebas dari tingkatan realistis yang satu ke tingkatan realistis yang lain. Oleh

Eliade yang sakral bukan sekedar ditemukan lalu dideskripsikan. Seperti

masyarakat-masyarakat lain walaupun masyarakat-masyarakat arkhais berusaha mengekspresikan kerinduan

dan kepercayaan mereka namun hakikat yang sakral yang sama sekali berbeda dengan

16

(12)

yang profan mementahkan usaha mendeskripsikan dan pencarian tersebut. Penyelesaian

menurut Eliade akan terjawab oleh pengalaman tidak langsung (indirect experience)

terhadap bahasa-bahasa yang sakral yang dapat ditemukan dalam simbol dan

mitos-mitos.17

2.1.3 Konsep Durkem tentang taboo

Istilah tabu (taboo) berasal dari bahasa Polinesia yang berarti institusi yang

berkaitan dengan hal-hal tertentu yang terlarang dari penggunaan biasa dalam

kehidupan sehari-hari; kata ini juga bisa diartikan sebagai kata sifat yang

mengekspresikan karakteristik tertentu dari hal-hal yang terlarang.18Larangan-larangan

memakan binatang atau tumbuhan totem terjadi karena kalau dilanggar akan

menyebabkan sakit atau mendatangkan kematian.

Bentuk larangan yang paling utama adalah larangan-larangan kontak. Larangan

ini adalah tabu-tabu yang paling inti, sedangkan larangan-larangan lain hanya cabang

larangan ini. Larangan-larangan ini di dasarkan pada prinsip bahwa yang profan tidak

boleh bersentuhan dengan yang sakral. Salah satu masalah yang melahirkan keintiman

kontak ini adalah hal makanan. Maka lahirlah larangan-larangan yang melarang

memakan binatang atau tumbuhan sakral, khususnya yang berkedudukan sebagai totem.

Larangan-larangan ini biasanya dijelaskan dalam kerangka hubungan darah mistis yang

menyatukan manusia dengan binatang yang menjadi namanya atau binatang yang

dilindungi oleh rasa hormat karena dipandang saudara. Asal usul larangan ini bukan

hanya dari rasa segan akibat solidaritas kekeluargaan, larangan memakan tersebut

17

Daniel. Pals, Seven Theoriesof Religion,,,,241

18

(13)

terjadi kalau dilanggar akan menyebabkan sakit atau mendatangkan kematian. Ada

makanan tertentu yang dilarang bagi mereka yang profan karena makanan tersebut

sakral, ada juga jenis makanan lain yang terlarang bagi orang yang sakral sebab

makanan tersebut profan. Maka ada juga jenis binatang tertentu yang dianggap khusus

sebagai makanan kaum wanita.19

Larangan kontak bukan hanya berarti bersentuhan. Seseorang bisa dikatakan

melakukan kontak dengan sesuatu jika dia memandangnya. Oleh karena itu, pandangan

atau tatapan merupakan salah satu pengertian kontak. Ini yang menyebabkan ada

larangan memandang benda-benda sakral bagi manusia yang profan. Selain tatapan atau

pandangan, berbicara juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kontak antara

orangatau sesuatu. Tarikan nafas juga dapat menyebabkan terjadinya kontak, karena

nafas adalah bagian yang keluar dari diri kita. Oleh sebab itu, yang profan tidak boleh

berbicara kepada sesuatu yang sakral, sekalipun yang sakral tersebut hadir saat itu. Di

samping hal-hal yang sakral, ada kata-kata atau suara tertentu yang juga memiliki

kualitas kesakralan; kata dan suara tersebut tidak boleh keluar dari mulut atau sampai

ketelinga orang-orang yang profan.20

Bukan hanya hal-hal yang sakral yang dipisahkan dengan hal-hal yang profan,

namun lebih dari itu, tidak satu pun hal yang secara langsung atau pun tidak langsung

berkaitan dengan kehidupan profan boleh dicampurkan dengan kehidupan religius.

Misalnya,kehidupan orang Australia terbagi menjadi dua bagian: pertama diisi dengan

pekerjaan-pekerjaan seperti berburu, mencari ikan dan perang; sementara kedua

diperuntukkan bagi pemujaan Oleh karena itu, Durkheim membaginya dalam dua

bentuk larangan yang mendasar yaitu pertama, kehidupan religius dan kehidupan

profan tidak bisa berada pada ruang yang sama. Misalnya kuil atau candi dan

19

Emile Durkheim, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar,,, 440

20

(14)

tempat yang suci yang merupakan ruang yang diperuntukkan bagi segala hal yang

sakral, dianggap sebagai tempat bersemayam, karena segala sesuatu yang sakral tidak

bisa di tempatkan pada ruang yang profan. Tatanan seperti ini ada pada semua

kehidupan religius, bahkan agama yang paling sederhana. Hal ini tidak berbeda dengan

kehidupan agama-agama modern yang juga membedakan ruang-ruang kudus dan tidak

kudus. Ada tempat-tempat khusus yang sudah disediakan agar penganut agama tertentu

dapat melakukan pemujaan atau menyelenggarakan ritual-ritual ibadah mereka

misalnya candi, masjid, gereja dan lain-lain. Kedua, kehidupan religius dan kehidupan

profan tidak bisa berada pada waktu yang bersamaan. Akibatnya kehidupan religius

mestinya diberi hari atau saat-saat yang khusus dan terpisah dari yang profan, dengan

ini maka muncullah hari-hari yang suci.21

2.1.4 Simbolisme Pusat

Mircea Eliade menyajikan kepercayaan pada arkitipe selestial bagi kota, kuil dan

gunung, dapat dibuktikan lewat dokumen, disana dapat kita temukan rangkaian

kepercayaan yang mengacu pada adanya yang dipenuhi dengan prestis pusat.

Simbolisme artkitektonik atau pusat dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Gunung Suci; Tempat bertemunya surga dan bumi. Dianggap sebagai pusat dunia.

Menurut kepercayaan orang India, Gunung Meru berdiri di pusat dunia, dan

diatasnya bersinar bintang utara. Orang Iran percaya bahwa gunung suci

Haraberezaiti (Elburz) berada di pusat bumi dan berhubungan dengan Surga.

Pengikut Budha di Laos, disebelah utara Siam, mengenal gunung Zinnalo, berada di

pusat dunia. Di Edda, Himinbjorg sebagaimana yang ditunjukan oleh nama itu,

21

(15)

merupakan “gunung surga”; di sinilah pelangi mencapai kubah langit. Kepercayaan

yang sama juga dijumpai pada bangsa Finn, Jepang dan bangsa lain. Kita teringat

bahwa bagi bangsa Semang di Semenanjung Malaka batu yang sangat besar,

Batu-Ribn, muncul di pusat dunia; di atasnya terdapat neraka. Di mana lampau, tiga

belalai pada Batu-Ribn menuju kelangit. Neraka, pusat bumi dan pintu gerbang

langit, kemudian di tempatkan pada sumbu yang sama, dan terdapat pada sepanjang

sumbu ini jalan lintas dari kosmik yang satu ke kosmik yang lain berada. Menurut

kepercayaan orang Mesopotamia, gunung pusat menghubungkan surga dan bumi;

gunung tersebut adalah gunung bumi, hubungan di antara berbagai wilayah.

Tepatnya, Sigurat adalah sebuah gunung kosmik, yaitu citra simbolik kosmos, tujuh

cerita menggambarkan tujuh planet surga atau yang memiliki warna dunia (seperti di

Ur). Bagi orang Kristen, Golgota diberi kedudukan sebagai pusat dunia, karena

tempat tersebut sebagai puncak gunung kosmik dan sekaligus sebagai tempat Adam

diciptakan dan dimakamkan. Demikianlah darah Juru s‟lamat menetes pada

tengkorak Adam, yang dimakamkan tepat pada kaki salib, dan menebusnya.

Kepercayaan bahwa Golgota ada di pusat dunia, dilanjutkan dalam cerita rakyat

orang Kristen di timur.22

2. Setiap kuil ataupun istana, diperluas, setiap kota suci atau tempat kediaman raja,

merupakan gunung suci, dengan demikian menjadi pusat.

Nama berbagai kuil dan menara suci di Babylonia sendiri memberi keaksian atas

asimilasinya dengan gunung kosmik: “Gunung Rumah”, “Rumah Gunung bagi

seluruh bumi”, “Gunung Prahara”, “Penghubung antara Surga dan Bumi”. Silinder

dari jaman Gudea mengatakan bahwa tempat tidur (Dewa) yang dibangun (seperti)

gunung kosmik. Setiap kota di timur dipandang sebagai pusat dunia. Babylon adalah

(16)

Bab-ilani, “gerbang dewa”, karena di sana para dewa turun ke bumi. Di ibu kota

kerajaan Cina, gnomon harus tidak menimbulkan bayangan di siang hari pada saat

titik balik matahari di musim panas. Ibukota seperti itu, pada hakikatnya, berada di

pusat alam semesta, di naungi pohon gaib (kien-mu), pada tempat pertemuan tiga

zona kosmik: surga, bumi dan neraka. Berbagai kota dan tempat suci di asimilasikan

dengan puncak gunung kosmik.23

3. Adanya axis mundi, kota atau kuil suci yang dipandang sebagai titik pertemuan

antara sorga, bumi, dan neraka.

Kuil maupun kota suci senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah

kosmik: surga, bumi dan neraka. Dur-an-ki, pertalian surga dan bumi adalah nama

yang diberikan pada pemujaan di Nippur dan Larsa, dan tidak diragukan juga bagi

Sippara. Babylon memiliki banyak nama di antaranya rumah di Dasar Surga dan

Bumi. Puncak gunung kosmik bukan hanya titik tertinggi bumi; hal itu juga

merupakan pusat. Dimulainya penciptaan bahkan ada contoh yang di situ

kosmologis menjelaskan simbolisme Pusat, yang barangkali dipinjam oleh

embriologi. Yang Maha Suci menciptakan dunia seperti embrio karena embrio

merupakan pusat dari depan, demikian juga Tuhan menciptakan dunia dari pusatnya

ke depan, dan dari sana menyebar ke arah yang berbeda-beda.24Mircea Eliade

mengungkapkan bahwa ketiga dunia membentuk tiga lapisan yang di hubungkan

oleh satu poros yang disebut axis mundi. Poros dunia ini sering di lambangkan

dengan tiang, tangga, pohon, dan gunung. Melalui axis mundi ini manusia religius

dapat mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Karena hubungan

antara ketiga dunia itu terletak pada pusat dunia, maka dunia yang sejati selalu

23

Mircea Eliade, Mitos Gerak Kembali Yang Abadi,,,13

24

(17)

terdapat pada pusat dunia. Dengan demikian, pusat itu merupakan zona suci, zona

realitas mutlak.

2.2 PERILAKU SOSIAL

Hurlock berpendapat bahwa perilaku sosial menunjukkan kemampuan untuk

menjadi orang yang bermasyarakat. Lebih lanjut lagi, perilaku sosial adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan perilaku umum yang ditunjukkan oleh individu

dalam masyarakat, yang pada dasarnya sebagai respons terhadap apa yang dianggap

dapat diterima atau tidak dapat diterima oleh kelompok sebaya seseorang.25

Perilaku tersebut ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap, keyakinan,

kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial adalah aktifitas fisik

dan psikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri

atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan sosial. 26

Perilaku secara bahasa berarti cara berbuat atau menjalankan sesuatu sesuai

dengan sifat yang layak bagi manusia. Secara sosial berarti segala sesuatu mengenai

masyarakat atau kemasyarakatan27. Perilaku juga sering disebut dengan akhlak atau

moral. Moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai)

masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan.

Perilaku sosial seseorang dapat terlihat dalam pola responnya atau reaksinya

terhadap hubungan timbal balik antar kelompok maupun pribadi. Perilaku itu

ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, atau rasa hormat terhadap

orang lain. Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang

lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam melakukan kerja sama, ada

25

Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembamngan,(Indonesia: Erlangga, 2003), 216

26

Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembamngan..262

27

(18)

orang yang melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan kepentingan

bersama di atas kepentingan pribadinya. Sementara di pihak lain, ada orang yang

bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin mencari untung sendiri. Dari

penjelasan diatas, pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Artinya bahwa

sejak dilahirkan manusia membutuhkan hubungan atau pergaulan dengan orang lain

untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan,

interaksi sosial diantara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara

individual. Hal ini dikarenakan tidak ada timbal balik dari interaksi sosial maka

manusia tidak dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang

utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada awalnya dapat diketahui

dari perilaku kesehariannya. Pada saat bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah

perilaku sosial.28 Dari pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku

sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara yang

berbeda-beda.

Perilaku ada dua jenis, yang pertama yaitu perilaku yang alami atau refleksif dan

yang kedua yaitu perilaku operan atau bentukan. Perilaku yang alami yaitu perilaku

yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap rangsangan yang mengenai

organisme yang bersangkutan. Perilaku ini merupakan perilaku yang di bawa sejak

manusia lahir. Sedangkan perilaku operan atau bentukan yaitu perilaku yang dibentuk

melalui proses belajar, latihan, pembentukan dam pembiasaan. Perilaku operan atau

bentukan ini dapat berubah-ubah sesuai dengan bagaimana latihan dan pembiasaan

yang dilakukan.29 Perilaku sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

sebagaiberikut.

1. Perilaku dan karaktekteristik orang lain

28

W.A.Gerungan,Psikologi Sosial,(Bandung:Refika Aditama,2009),28.

29

(19)

Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki

karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti

kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya.

Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia

akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu. Pada aspek ini guru memegang

peranan penting sebagai sosok yang akan dapat mempengaruhi pembentukan

perilaku sosial siswa karena ia akan memberikan pengaruh yang cukup besar

dalam mengarahkan siswa untuk melakukan sesuatu perbuatan.30

2. Proses Kognitif

Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang

menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku

sosialnya. Misalnya seorang calon pelatih yang terus berpikir agar kelak

dikemudian hari menjadi pelatih yang baik, menjadi idola bagi atletnya dan

orang lain akan terus berupaya dan berproses mengembangkan dan

memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain misalnya seorang

siswa karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman sukses dalam

pembelajaran penjaskes maka ia memiliki sikap positif terhadap aktivitas

jasmani yang di tunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung

teman-temannya untuk beraktivitas jasmani dengan benar.31

3. Faktor Lingkungan

Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku sosial

seseorang. Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan

yang terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku sosialnya seolah keras

30

Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),(Jakarta: Erlangga,2005), 280.

31

(20)

pula, ketika berada di lingkungan masyarakat yang terbiasa lembut dan halus

dalam bertutur kata.32

4. Tatar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi

Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan

terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat

yang beretnis budaya lain atau berbeda.33

3.3 IMAJINASI

Imajinasi adalah “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep

mental yang tidak secara langsung didapat dari sensasi (pengindraan)”34 dapat

dipertegas lagi bahwa imajinasi adalah suatu daya, dan karenanya, imajinasi itu

berkaitan langsung dengan manusia yang memilik daya tersebut. Oleh karena itu proses

megimajinasikan itu selalu merupakan proses pembentukan gambaran tertentu, dan ini

terjadi secara mental. Artinya gambaran tersebut tidak berada secara visual (tampak

oleh mata) dan tekstural (terasa serta teraba oleh tangan dan kulit).35

Imajinasi memerankan begitu banyak peranan dalam berbagai segi hidup kita.

Peran epistemologi yang mengutak-atik segi-segi pengetahuan manusia dan itu sangat

fundamental, karena dari situlah kesadaran, pengalaman, dan pemahaman manusia

berkembang. Berangkat dari kenyataan ini, kini mulai terasa bahwa dengan membahas

imajinasi kita telah mereformulasi pandangan kita tentang dunia. Imajinasi bukan

sekedar daya untuk membentuk gambaran atau konsep-konsep mental yang tidak secara

langsung didapatkan dari sensasi, tetapi lebih-lebih adalah kreatif primodial dan

fundamental manusia yang terus menerus mere-konstruksi relasi manusia dengan dunia.

32 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),285. 33 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),288.

34Paul Edward, The encylopedia of philosophy, Volume 3& 4, (New York: Macmillan Publishing Co.,

Inc. The Free Press, 1967) hlm. 136

(21)

Imajinasi melekat kuat pada cirinya yang aktif dan terus menerus. Imajinasi tidak

pernah berhenti untuk mengimajinasikan. Imajinasi beraktifitas secara sadar dalam diri

manusia, dan karena kesadaran inilah maka imajinasi tetap hidup selama manusia

menyadari keberadaannya sendiri. Unsur imajinasi aktif inilah yang membawa

implikasi bahwa imajinasi terus menerus mere-konstruksi relasi manusia dengan dunia.

Daya imajinasi manusia bertumbuh ketika imajinasi mengantar pada proses kreatif

dimana individu membentuk kembali baik diri maupun lingkungannya kearah

pengayaan timbal balik keduanya. Imajinasi merupakan kekuatan yang sangat erat

berkaitan dengan kehendak manusia untuk terus menerus membaharui pandangan

tentang segala sesuatu.36

Imajinasi ialah kemampuan menghadirkan realitas. Imajinasi adalah rangkaian

dua kemampuan untuk menghasilkan suatu abstraksi yang real yang mana imajinasi

menghasilkan konsep-konsep imajerial, yakni konsep-konsep yang mengandaikan

adanya rangkaian imaji-imaji untuk memperjelasnya. Konsep-konsep imajinatif itu

sebenarnya bertumbuh dari suatu tahap intelektual yang sifatnya lebih re-konstruksi.

Imajinasi amat berfungsi dalam membentuk dan menghadirkan realitas. Kesadaran

akan kuatnya realitas figural yang akan banyak mendapatkan pendasaran teoretis

melalui Lyotard menjadi ciri masa kini yang akan mewarnai pola pikir dan relasi kita

dengan dunia, menjadi pintu masuk ke arah dunia imaji-imaji, dunia imajinasi itu

sendiri. Dengan hal ini, kita tidak berhenti pada penjelasan kaitan imajinasi dan

intelektif.37

Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai

momen puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre). Jika di ranah saintifik antara imajinasi

dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya cenderung saling

36

H. Tedjoworo, imaji dan imajinasi,,,,23

37

(22)

menegasikan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah

sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa

denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang sangat

berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis

representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah

estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi

memunculkan “ketidak tersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman,

bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka

hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.38

Imajinasi dan rasio sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi

intelek, imajinasi berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu

menyelesaikan persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya,

imajinasi mampu membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi

benak kita yang tidak dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola tautologi itu telah

eksis dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai

evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang dan

presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio membuat

kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal.39

Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi,

maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan

mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan

“ketidak tersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman, bukan

38

H. Tedjoworo, imaji dan imajinasi,,,,30

39

(23)

menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya

imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.40

40

Referensi

Dokumen terkait

Mereka juga adalah tempat-tempat suci dalam pengertian religius: tempat-tempat ketika kita terpesona dengan dunia; tetapi kita juga adalah para pendeta tempat

Hal ini dapat dilihat secara khusus pada aspek kegunaan, objektivitas, dan ketepatan waktu, demikian juga dari berbagai latar belakang responden dalam

Kata mitos berasal dari bahasa Yunani muthos, secara harafiah diartikan sebagai cerita atau sesuatu yang diceritakan orang, dalam pengertian.. yang lebih luas bisa

Dulu ada permintaan untuk melayni masyarakat dalam beberapa hal, dengan adanya teman-teman yang baru mereka akan lebih banyak menginfomasikan, kita butuh seseorang

Agama) untuk dapat membuka dialog antara aliran saksi Yehova dengan gereja

Bagi komunitas Punk di Salatiga mereka mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah kemunculan Punk di Inggris.. Walaupun berada di kota kecil punk di Salatiga tetap terus

Alasan yang dimiliki oleh kedua istri dalam memberikan pengampunan sangat. mempengaruhi mereka dalam melakukan tahapan-tahapan pengampunan

WAKTU DALAM KOSMOLOGI ORANG BOTI DALAM DI TIMOR Suatu Studi dari Perspektif “Waktu Suci” menurut Mircea