BAB II
MITOS , PERILAKU SOSIAL, DAN IMAJINASI
2.1 MITOS
2.1.1 Mitos Menurut Mircea Eliade
Mircea Eliade mengemukakan bahwa mitos hasil dari manusia arkhias dalam
melukiskan lintasan supranatural ke dalam dunia mitos, yang dalam hal ini telah
menguak sebuah tabir misteri dengan mewahyukan peristiwa-peristiwa promodial yang
sampai sekarang ini masih diceritakan kembali. Mitos membicarakan tentang manusia
tradisonal dalam melihat sejarahnya baik itu tentang asal usul maupun tentang alam
sebagai tempat kediaman manusia. Mitos juga mengungkapkan masalah-masalah religi
atau masyarakat menyangkut kepercayaan terhadap dewa-dewa sebagai suatu kekuatan
supranatural yang dipercaya dan alam yang membentuk manusia tradisional. Mitos
menjadi penting karena membuat manusia berpikir tentang asal-usul mereka pada
zaman awal. Bagi masyarakat tradisional mitos berarti suatu cerita yang benar dan
cerita ini milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci,
bermakna menjadi contoh model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai
pada kehidupan ini. Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan kembali
hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang profan.
Mitos membuka bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata melalui
tindakan simbolis dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke dalam
sejarah suci atau lebih tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal
adikodrati, dewa-dewa, leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan
menetapkan aturan-aturan manusia.1
1
Mircea Eliade mengklaim mitos sebagai “kebenaran yang mutlak” dan “ sejarah
yang benar” yang disediakan sebagai suatu bentuk perilaku manusia. Dalam bukunya
myths, Dreams and mysteries,ia mengatakan bahwa mitos adalah pikiran atau gagasan
untuk mengekspresikan kebenaran absolut, sebab mitos menceritakan suatu sejarah suci
atau kudus, yakni suatu penyataan transhuman yang mengambil tempat pada permulaan
zaman awal pada saat suci atau kudus dari permulaan dunia.2
Menurut Eliade mitos bukan hanya sekedar sebuah imajinasi atau
pertanda-pertanda, melainkan imajinasi-imajinasi yang dimuat kedalam bentuk cerita yang
mengisahkan dewa-dewa, leluhur, para kasatria dunia atau dunia supranatural lainnya.
Simbol dan mitos mewujudkan diri dalam imajinasi-imajinasi, yang biasa muncul dari
ide-ide kontradiksi. Kemudian mengikat seluruh aspek pribadi, emosi, keinginan dan
aspek-aspek bawah sadar lain manusia. Sebagaimana dalam suatu pribadi, hasrat-hasrat
kontradiktif dapat berkumpul dan juga seperti impian dan fantasi-fantasi yang tidak
logis yang bisa terjadi, maka dalam pengalaman religius hal-hal yang berlawanan itu
yang sakral dan profan juga bisa bertemu. Dalam suatu pengambaran intuisi, imajinasi
religius melihat yang biasa-biasa saja dan profan sebagai hal yang lebih dari sekedar itu
dan dapat berubah menjadi yang sakral. Yang natural menjadi yang supranatural. Eliade
mendapati bahan utama simbol dan mitos-mitos tersebut adalah alam fisik. Dalam
pemikirah arkhias, dunia fisik merupakan bahan paling jelas yang jadi imajinasi, bukti,
pertanda dan analogi-antalogi. Apa yang ada di dunia ini adalah bagian dari suatu
Frameworkbesar yaitu dewa-dewalah yang menciptakan dunia dan belahan dunia
manapun, yang sakral dan yang selalu menunggu saat untuk muncul. Dalam segala
keindahan dan keganasan alam. Dengan kompleksitas yang ada di dalamnya, misteri,
2
keanekaragaman alam, dunia natural selalu membuka diri untuk menerima aspek
supranatural yang disebut Eliade sebagai modalitas yang sakral. Maka tidak
mengherankan jika kebudayaan-kebudayaan kuno sangat kaya dengan figur dan
simbol-simbol imajinatif. Dunia mereka sangat hidup dengan adanya cerita dan
legenda-legenda, misalnya kisah-kisah tragis, kepahlawanan, roh jahat dan kehidupan
para dewa. Bila simbol-simbol ini dikemas ke dalam bentuk naratif, maka semua itu
bisa dianggap sebagai sebuah mitos. Mitos-mitos menceritakan tentang yang sakral,
bagaimana kehidupan Ilahiah yang bersifat supranatural itu bisa menjadi sangat dekat
dengan kehidupan alamiah manusia.3
Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan kembali hal-hal yang
sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang profan. Mitos membuka
bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata melalui tindakan simbolis
dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke dalam sejarah suci atau lebih
tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal adikodrati, dewa-dewa,
leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan menetapkan aturan-aturan
manusia.4
Penciptaan dalam mitos melingkupi semua tatanan kehidupan di dunia termasuk
alam hunian manusia. Eksistensi manusia dalam interaksi dengan alam juga
digambarkan sebagai hubungan timbal balik, yang saling mempengaruhi. Mitos juga
merupakan jembatan penghubung antara masyarakat tradisonal dengan masyarakat
modern. Karena dalam kehidupan setiap masyarakat modern juga ingin mengetahui
sejarah asal usul mereka. Dalam masyarakat kuno, mitos dan ritus menghadirkan
kembali hal-hal yang sangat mereka percayai dalam sejarah suci dalam waktu yang
profan. Mitos membuka bagi mereka suatu sejarah suci serta diwujudkan secara nyata
3
Daniel Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: 2011,)...,244
melalui tindakan simbolis dan tingkah laku (ritual). Manusia religius ingin masuk ke
dalam sejarah suci atau lebih tepat ingin menghidupkan lagi waktu awal ketika hal-hal
adikodrati, dewa-dewa, leluhur yang didewakan menciptakan alam semesta dan
menetapkan aturan-aturan manusia.5
Mitos menceritakan sebuah sejarah yang sakral yaitu primordial (bentuk atau
tingkatan paling awal), berlangsung pada awal waktu. Untuk berhubungan dengan
sejarah sakral ini setara dengan mengungkapkan misteri sebab orang-orang yang
berperan dalam mitos bukanlah manusia biasa tetapi mereka adalah dewa atau
pahlawan dan karena itu perilaku mereka adalah sesuatu yang penuh misteri.
Manusia padagenerasi berikutnya tidak bisa mengetahui tindakan mereka jika tidak
diwahyukan. Oleh karena itu mitos adalah sejarah atas apa yang terjadi pada waktu
awalselanjutnya menurut Eliade, mitos menguak tabir suatu misteri, mewahyukan
peristiwa primordial yang harus selalu diceritakan dan diulang kembali pada waktu
sekarang. Mitos merupakan model paradigmatis tentang apa yang terjadi, dan
memberikan contoh-contoh model untuk dijadikan referensi tindakan sikap manusia
sekarang. Mitos juga bercerita tentang apa yang dilakukan oleh para dewa tentang apa
yang menjadi kegiatan kreatif. Mitos dapat membentuk suatu pengetahuan yang
mengandung kekuatan religius magis. Bila seseorang mengetahui asal usul objek
misalnya seekor binatang atau tumbuhan tertentu, berarti ia memperoleh kekuatan
magis terhadap objek-objek tersebut sehingga dapat menguasai, memperbanyak dan
memproduksinya menurut yang ia kehendaki. Pengetahuan ini bukanlah pengetahuan
eksternal dan abstrak tetapi pengetahuan yang dialami secara ritual dengan
55
menceritakan mitos secara serimonial ataupun dengan melakukan ritus sebagai
pembenaran.6
Mitos dipahami sebagai kekuatan penyelamatan tertentu dan memiliki hubungan
dengan kosmologi karena menceritakan bagaimana segala sesuatu terjadi, di samping
menerangkan mengapa hal yang dilakukan saat ini merupakan hal yang tepat untuk
dilakukan. Masyarakat primitif tidak mereka-reka mitos melainkan menghayatinya.
Karena itu mitos berkaitan erat dengan kegiatan penciptaan oleh makluk-makluk ilahi
dan menyingkapkan kesucian mereka. Mitos sungguh dikenal sebagai sejarah yang suci
karena selalu mengacu kepada sebuah kenyataan. Mitos memiliki fungsi eksistensial
bagi manusia dan berhubungan dengan realitas sosial serta alam semesta. Artinya mitos
dianggap sebagai kearifan lokal masyarakat tertentu dalam mempertahankan sesuatu
yang bermanfaat sehingga dapat diwariskan kepada masyarakat lainnya.7
Oleh masyarakat Mollo, sesuatu yang sakral dan suci kemudian dapat
dipertahankan dengan penciptaan mitos-mitos yang berhubungan dengan yang
disakralkan sehingga mengandung nilai-nilai dalam masyarakat dan kemudian
diwariskan secara turun temurun. Kesakralan Gunung Mutis adalah hasil ciptaan
masyarakat Mollo yang didukung dengan mitos-mitos yang terkait dengannya.
Nilai-nilai pengsakralan itu kemudian diwariskan kepada masyarakat sebagai identitas
masyarakat Mollo. Mitos Mutis Gunung suci dianggap sebagai kearifan masyarakat
dalammempertahankan hal-hal yang berhubungan dengan identitas mereka.
6
Mircea Eliade, Myth and Reality (London:George Allen and Unwin Ltd, 1964). 14-16 dalam
Agusthina, C. Kakiay, “Rapie Hainuwele kajian sosio historis terhadap mitos penyebaran penduduk pulau Seram di Maluku Tengah” (Tesis, Universitas Kristen Satya Wacana, 2004), 14
7
2.1.2 Sakral Menurut Mircea Eliade
Masyarakat memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang yang suci dengan
yang biasa atau yang sering dikatakan yang sakral dan sekuler atau duniawi, Sebab
tidak memiliki ciri khusus untuk dapat dibedakan. Apabila kita memperhatikan
benda-benda dan wujud-wujudnya kita tidak akan dapat menemukan jawabannya sebab bukan
benda-benda itu yang memberi tanda dari yang sakral. Jadi masyarakatlah yang
mengsakralkan melalui upacara-upacara dan diabadikan dalam ajaran-ajaran
kepercayaan mereka, sebagaimana dikatakan Nottingham:
“Sesuatu dapat dikatakan sakral bukan pada wujud dan bentuk tapi justru
berbagai sikap dan perasaan (manusianya) yang memperkuat kesakralan benda -benda itu. Dangan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan. Perasaan kagum itu sendiri sebagai emosi sakral yang paling nyata, gabungan antara pemujaan dan ketakutan. Dengan demikian sifatsakral itu tidak tergantung pada ciri hakikinya tapi pada mental dan sikap-sikap emosional kelompok (masyarakat) terhadapnya dan pada konteksnya8
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu benda dapat
disucikan atau dihormati disebabkan ada perasaan batin dan perasaan yang terpatri di
dalam jiwanya dan rasa ketakutan. “Perasaan kagum inilah untuk menarik mereka
untuk cinta dan ingin terhindar dari bahaya”.
Dalam pengertian lebih luas, yang kudus (sakral) adalah suatu yang terlindung
dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Sesuatu yang kudus adalah sesuatu
yang dihormati, dimuliakan, dan tidak dapat dinodai. Dalam hal ini pengertian tentang
yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, maka banyak objek, baik yang bersifat
keagamaan maupun bukan, tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan dan
gagasan-gagasan dapat dianggab sebagai kudus. Dalam pengertian yang lebih sempit,
yang kudus adalah sesuatu yang dilindungi dari pelanggaran, pengacauan atau
pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci, keramat. Hal ini kebalikan dengan
profan. Yang profan adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan, bersifat
sementara, pendek kata yang ada di luar yang religius.9
Menurut Eliade dalam perjumpaan dengan yang sakral, orang-orang merasa
bersentuhan dengan sesuatu yang bersifat di luar duniawi (otherworldly); mereka
merasa bahwa telah bersentuhan dengan sebuah realitas yang tidak seperti realita lain
yang pernah mereka kenal, sebuah dimensi eksistensi dahsyat-menggetarkan, sangat
berbeda, benar-benar riil yang bersifat transenden dan suci.Bagi Eliade ketika berbicara
tentang yang sakral, maka perhatian utamanya adalah dengan yang supernatural.
Bertolak dari kalangan masyarakat arkhais, kehidupan dibedakannya atas dua bidang
yaitu yang sakral dan profan. Yang sakral adalah wilayah supernatural, hal-hal yang
luar biasa dan mengesankan, suatu wilayah yang teratur dan sempurna, rumah leluhur,
pahlawan, dan dewa-dewi, abadi, penuh dengan substansi dan realitas. Sedangkan, yang
profan adalah hal-hal yang biasa, wilayah urusan sehari-hari, penuh bayang-bayang,
bisa hilang, kacau, dan merupakan arena urusan manusia.10
Pengalaman tentang yang sakral terjadi apabila orang menjumpai sesuatu yang
benar-benar luar biasa dan dahsyat, terpikat oleh suatu realitas yang sama sekali lain.
Sesuatu yang misterius menawan, berkuasa dan indah, sesuatu yang menakutkan tetapi
sekaligus menawan. Ketika manusia mengalami pengalaman yang sakral itu, manusia
selalu menyadari bahwa dirinya bukanlah apa-apa. Dalam pengalaman yang
mengesankan dan menggetarkan ini, terletak inti emosional dari semua manusia yang
disebut agama. Perhatian agama adalah terhadap yang supranatural, yang jelas dan
sederhana serta berpusat pada yang sakral. Agama menurut Eliade (dekat dengan
Tylor dan Frazer): pertama-tama dan terutama sebagai kepercayaan pada wilayah dari
wujud yang supernatural.
9
Mariasusai Dhavamong, Fenomenologi Agama , (Jakarta: Kanisius, 1995), 87.
10
Di hadapan Yang Sakral, manusia mempunyai perasaan bahwa ia tidak
berarti,suatu perasaan dari makhluk yang sadar bahwa ia adalah sebuah ciptaan.
Dihadapan Yang Sakral, setiap orang akan merasa gentar dan terpesona. Perasaan ini
khas dan khusus, tidak sama dengan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itusemua tempat, benda, binatang, tumbuhan, dan lain-lain hanya merupakan
analogi dari yang sakral itu. Dalam keterbatasan bahasa manusia mencoba untuk
melukiskan Yang Sakral itu dengan istilah-istilah yang dimengerti dalam bahasa
mereka sendiri. Maka pengalaman religius adalah pengalaman tentang Yang Sakral,
yang sekaligusmenakutkan dan mempesona. Suatu pengalaman numinous adalah sui
generis dan tidak dikorelasikan pada pengertian biasa yang lain, baik pengertian
intelektual maupun rasional. Perasaan khas yang mencirikan pengalaman religius ini
tidak dapat merupakan pengalaman psikologis dari getaran jiwa manusia11, tetapi
perasaan itu juga merupakan cara untuk memahami Yang Ilahi, bukan jiwa manusia,
atau dengan singkat, dapat dikatakan bahwa inilah dasar agama yang Numinous
sekaligus rasional dan nonrasional. Kondisi-kondisi kejiwaan yang betul-betul masuk
ke dalam pengalaman religius Yang Numinous (dari kata Latin, numen artinya Tuhan)
dan Yang non-rasional, diungkapkan dalam ide-ide rasional.
Dalam bukunya The Sacred and The Profane, Eliade mengemukakan perbedaan
pokok antara yang sakral dan yang profan. Secara khusus, Eliade membahas arti
penting hubungan manusia dengan Yang Ilahi. Ia menganalisa yang sakral itu sebagai
yang sakral. Eliade menunjukkan bagaimana ruang dan waktu yang sakral adalah
sungguh-sungguh ruang dan waktu yang riil, nyata, permanen dan abadi kebalikan
dengan ruang dan waktu yang labil, selalu berubah-ubah dari dunia profan kalangan
homo-religiusus (orang-orang tradisional) menghidupkan kembali kebaikan-kebaikan
11
primordial dari dewa-dewa dan ritus-ritusnya, tentu saja tidak seperti manusia modern,
dalam semua tingkah lakunya, karena tindakan-tindakan primordial itulah yang
sesungguhnya nyata. Dengan demikian, merambahnya fenomena sakral ke dalam
ruang profan menciptakan ruang yang sakral, ruang yang tercipta, yang abadi, dan yang
nyata. Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia karena ia memanifestasikan
dirinya secara berbeda dari dunia profan12. Nilai-nilai yang supranatural, yang
Sakral bisa disamakan dengan kekuatan, atau suatu realitas. Tetapi juga bisa menjadi
sesuatu yang menjadi sarana sakral pada waktu tertentu atau pada waktu yang lain,
tidak lagi menjadi simbol yang sakral dan tempatnya digantikan dengan objek lain,
sekalipun yang sakral sendiri tetap dan tidakpernah berubah. Karena Yang Sakral itu
adalah Yang Ilahi, abadi, dan tidak pernah mati. Yang Sakral merupakan suatu realitas
yang bukan dari dunia sehingga sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan yang
profan.13
Suatu ruang atau tempat menjadi sakral karena peristiwa hierofani, maksudnya
Yang Sakral memanifestasikan diri di tempat itu. Akibat peristiwa hierofani, suatu
tempat kemudian menjadi sakral, diistimewakan, dan terpisah/dibedakan dari
tempat-tempat lain. Pengungkapan Yang Sakral dalam suatu hierofani itu merupakan suatu
pendobrakan homogenitas ruang, juga pewahyuan dari realitas yang absolut
bertentangan dengan nonrealitas yang maha luas di sekitarnya. Manifestasi yang Sakral
mendasari dunia secara ontologisme. Hierofani menunjukan suatu segi titik teguh
absolute atau sebagai titik pusat di tengah-tengah homogenitas yang maha luas dan tak
terbatas. Di dalam homogenitas yang tak terbatas ini tidak ada titik dasar yang
dimungkinkan.14
12
Mircea Eliade, Sakral dan Profan, Nurwato (Terj.), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002),18-30
13
Beatrixs Soumeru, Kajian Sosio Budaya Tentang Sakralnya Pusat pulau dalam pemahaman orang Abuba di pulau Nusa Laut, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2012. Hal 16-17
14
Selanjutnya, Eliade mengaitkan waktu sakral dengan mitologi. Ketika waktu
profan adalah linear, waktu sakral kembali pada permulaan manakala segalanya
nampak lebih “nyata” waktu daripada keadaannya sekarang. Waktu digerakkan kembali
dengan menjadikannya baru kembali sementara ritual-ritual mengikat kembali para
penganut kepada keaslian kosmos yang sakral. Maka, siklus satu tahun menjadi
paradigma bagi pembaharuan kembali masyarakat dan dunia genesis yang sakral.Eliade
lalu menganalisa bagaimana sejumlah unsur alam secara khusus bermain di dalam
pengalaman yang sakral. Ia melihat air, pohon sakral, rumah dan tubuh, ia mencatat
bahwa tidak ada tubuh manusia modern, seateis apapun, yang sepenuhnya tidak
merasakan daya tarik alam. Simbolisme kosmik menambahkan satu nilai baru kepada
objek atau tindakan tanpa menggeser nilai-nilai yang inheren. Manusia religius
mendapatkan dalam dirinya kesucian yang sama dengan yang ia temukan dalam
kosmos. “Keterbukaan terhadap dunia memungkinkan manusia religius untuk
mengenal dirinya dalam pengenalannya akan dunia dan pengetahuanini berharga
baginya karena inilah cara beragama.15
Suatu tempat baru disucikan dengan kegiatan upacara ritual, maka kehadiran
Yang Ilahi menyebabkan tempat itu sama dengan kosmos yang teratur. Dalam
kosmosyang teratur ini dilihat merupakan hasil pekerjaan mereka sehingga tempat itu
menjadi sakral. Pengudusan semua objek dan makhluk di dunia ini, melalui peristiwa
hierofani, lewat tanda-tanda atau metode-metode tertentu, semuanya berlaku sama.
Misalnya karena peristiwa hierofani, maka batu, pasir, padang, gunung, sungai, dan
benda- benda tertentu menjadi sakral. Demikian juga dengan halnya binatang atau
manusia bisa menjadi sakral dengan berbagai bentuk upacara seperti mengulangi
peristiwa hierofani atau kosmogoni. Dunia ini sendiri bersifat sakral karena dunia
15
mengambil bagian dalam kesakralan Pencipta-Nya. Hanya dengan memandang dunia
ini saja sudah dapat menangkap kesakralannya. Ini berarti Para Yang Ilahi (dewa)
menampakan kesakralan mereka di dalam susunan fenomena-fenomena alam ini.
Jadi bagi manusia religius, nilai sakral tempat tinggal mereka disebabkan karena
tempat itu mencerminkan dunianya. Kalau menempati satu tempat secara permanen,
maka tindakan itu merupakan keputusan fital yang melibatkan eksistensi seluruh
keluarga dan masyarakat. Memilih suatu tempat, mengatur, dan mendiaminya
merupakan tindakan yang eksistensial, karena tindakan itu menuntut kesediaan
untuk“menciptakannya”, mengulangi model kosmogoni. Dengan cara itu tempat tinggal
manusia religius mengambil bagian dalam kesakralan karya Yang Ilahi (para dewa).16
Eliade selanjutnya menjelaskan awalnya manusia itu dibenamkan ke dalam dunia
profan. Selanjutnya simbolismelah yang menciptakan solidaritas tetap di antara
manusia dan yang suci. Dalam pandangan Eliade, simbolisme merupakan bahasa di
dalam suatu masyarakat khusus dan tertentu di mana pun adanya simbol senantiasa
berfungsi untuk menghapus batas-batas manusia di dalam masyarakat dan kosmis.
Karena itu manusia di sini bukan “fragmen” semata melainkan membuat jati diri
manusia yang terdalam itu berikut status sosialnya menjadi jelas. Dengan demikian
membuat dirimanusia menjadi satu dengan irama alam dengan mengintegrasikannya
ke dalam satuan yang lebih besar yaitu masyarakat dan alam semesta. Oleh karena itu,
apa yang disebut dengan pemikiran simbolis memungkinkan manusia untuk bergerak
secara bebas dari tingkatan realistis yang satu ke tingkatan realistis yang lain. Oleh
Eliade yang sakral bukan sekedar ditemukan lalu dideskripsikan. Seperti
masyarakat-masyarakat lain walaupun masyarakat-masyarakat arkhais berusaha mengekspresikan kerinduan
dan kepercayaan mereka namun hakikat yang sakral yang sama sekali berbeda dengan
16
yang profan mementahkan usaha mendeskripsikan dan pencarian tersebut. Penyelesaian
menurut Eliade akan terjawab oleh pengalaman tidak langsung (indirect experience)
terhadap bahasa-bahasa yang sakral yang dapat ditemukan dalam simbol dan
mitos-mitos.17
2.1.3 Konsep Durkem tentang taboo
Istilah tabu (taboo) berasal dari bahasa Polinesia yang berarti institusi yang
berkaitan dengan hal-hal tertentu yang terlarang dari penggunaan biasa dalam
kehidupan sehari-hari; kata ini juga bisa diartikan sebagai kata sifat yang
mengekspresikan karakteristik tertentu dari hal-hal yang terlarang.18Larangan-larangan
memakan binatang atau tumbuhan totem terjadi karena kalau dilanggar akan
menyebabkan sakit atau mendatangkan kematian.
Bentuk larangan yang paling utama adalah larangan-larangan kontak. Larangan
ini adalah tabu-tabu yang paling inti, sedangkan larangan-larangan lain hanya cabang
larangan ini. Larangan-larangan ini di dasarkan pada prinsip bahwa yang profan tidak
boleh bersentuhan dengan yang sakral. Salah satu masalah yang melahirkan keintiman
kontak ini adalah hal makanan. Maka lahirlah larangan-larangan yang melarang
memakan binatang atau tumbuhan sakral, khususnya yang berkedudukan sebagai totem.
Larangan-larangan ini biasanya dijelaskan dalam kerangka hubungan darah mistis yang
menyatukan manusia dengan binatang yang menjadi namanya atau binatang yang
dilindungi oleh rasa hormat karena dipandang saudara. Asal usul larangan ini bukan
hanya dari rasa segan akibat solidaritas kekeluargaan, larangan memakan tersebut
17
Daniel. Pals, Seven Theoriesof Religion,,,,241
18
terjadi kalau dilanggar akan menyebabkan sakit atau mendatangkan kematian. Ada
makanan tertentu yang dilarang bagi mereka yang profan karena makanan tersebut
sakral, ada juga jenis makanan lain yang terlarang bagi orang yang sakral sebab
makanan tersebut profan. Maka ada juga jenis binatang tertentu yang dianggap khusus
sebagai makanan kaum wanita.19
Larangan kontak bukan hanya berarti bersentuhan. Seseorang bisa dikatakan
melakukan kontak dengan sesuatu jika dia memandangnya. Oleh karena itu, pandangan
atau tatapan merupakan salah satu pengertian kontak. Ini yang menyebabkan ada
larangan memandang benda-benda sakral bagi manusia yang profan. Selain tatapan atau
pandangan, berbicara juga merupakan salah satu penyebab terjadinya kontak antara
orangatau sesuatu. Tarikan nafas juga dapat menyebabkan terjadinya kontak, karena
nafas adalah bagian yang keluar dari diri kita. Oleh sebab itu, yang profan tidak boleh
berbicara kepada sesuatu yang sakral, sekalipun yang sakral tersebut hadir saat itu. Di
samping hal-hal yang sakral, ada kata-kata atau suara tertentu yang juga memiliki
kualitas kesakralan; kata dan suara tersebut tidak boleh keluar dari mulut atau sampai
ketelinga orang-orang yang profan.20
Bukan hanya hal-hal yang sakral yang dipisahkan dengan hal-hal yang profan,
namun lebih dari itu, tidak satu pun hal yang secara langsung atau pun tidak langsung
berkaitan dengan kehidupan profan boleh dicampurkan dengan kehidupan religius.
Misalnya,kehidupan orang Australia terbagi menjadi dua bagian: pertama diisi dengan
pekerjaan-pekerjaan seperti berburu, mencari ikan dan perang; sementara kedua
diperuntukkan bagi pemujaan Oleh karena itu, Durkheim membaginya dalam dua
bentuk larangan yang mendasar yaitu pertama, kehidupan religius dan kehidupan
profan tidak bisa berada pada ruang yang sama. Misalnya kuil atau candi dan
19
Emile Durkheim, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar,,, 440
20
tempat yang suci yang merupakan ruang yang diperuntukkan bagi segala hal yang
sakral, dianggap sebagai tempat bersemayam, karena segala sesuatu yang sakral tidak
bisa di tempatkan pada ruang yang profan. Tatanan seperti ini ada pada semua
kehidupan religius, bahkan agama yang paling sederhana. Hal ini tidak berbeda dengan
kehidupan agama-agama modern yang juga membedakan ruang-ruang kudus dan tidak
kudus. Ada tempat-tempat khusus yang sudah disediakan agar penganut agama tertentu
dapat melakukan pemujaan atau menyelenggarakan ritual-ritual ibadah mereka
misalnya candi, masjid, gereja dan lain-lain. Kedua, kehidupan religius dan kehidupan
profan tidak bisa berada pada waktu yang bersamaan. Akibatnya kehidupan religius
mestinya diberi hari atau saat-saat yang khusus dan terpisah dari yang profan, dengan
ini maka muncullah hari-hari yang suci.21
2.1.4 Simbolisme Pusat
Mircea Eliade menyajikan kepercayaan pada arkitipe selestial bagi kota, kuil dan
gunung, dapat dibuktikan lewat dokumen, disana dapat kita temukan rangkaian
kepercayaan yang mengacu pada adanya yang dipenuhi dengan prestis pusat.
Simbolisme artkitektonik atau pusat dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Gunung Suci; Tempat bertemunya surga dan bumi. Dianggap sebagai pusat dunia.
Menurut kepercayaan orang India, Gunung Meru berdiri di pusat dunia, dan
diatasnya bersinar bintang utara. Orang Iran percaya bahwa gunung suci
Haraberezaiti (Elburz) berada di pusat bumi dan berhubungan dengan Surga.
Pengikut Budha di Laos, disebelah utara Siam, mengenal gunung Zinnalo, berada di
pusat dunia. Di Edda, Himinbjorg sebagaimana yang ditunjukan oleh nama itu,
21
merupakan “gunung surga”; di sinilah pelangi mencapai kubah langit. Kepercayaan
yang sama juga dijumpai pada bangsa Finn, Jepang dan bangsa lain. Kita teringat
bahwa bagi bangsa Semang di Semenanjung Malaka batu yang sangat besar,
Batu-Ribn, muncul di pusat dunia; di atasnya terdapat neraka. Di mana lampau, tiga
belalai pada Batu-Ribn menuju kelangit. Neraka, pusat bumi dan pintu gerbang
langit, kemudian di tempatkan pada sumbu yang sama, dan terdapat pada sepanjang
sumbu ini jalan lintas dari kosmik yang satu ke kosmik yang lain berada. Menurut
kepercayaan orang Mesopotamia, gunung pusat menghubungkan surga dan bumi;
gunung tersebut adalah gunung bumi, hubungan di antara berbagai wilayah.
Tepatnya, Sigurat adalah sebuah gunung kosmik, yaitu citra simbolik kosmos, tujuh
cerita menggambarkan tujuh planet surga atau yang memiliki warna dunia (seperti di
Ur). Bagi orang Kristen, Golgota diberi kedudukan sebagai pusat dunia, karena
tempat tersebut sebagai puncak gunung kosmik dan sekaligus sebagai tempat Adam
diciptakan dan dimakamkan. Demikianlah darah Juru s‟lamat menetes pada
tengkorak Adam, yang dimakamkan tepat pada kaki salib, dan menebusnya.
Kepercayaan bahwa Golgota ada di pusat dunia, dilanjutkan dalam cerita rakyat
orang Kristen di timur.22
2. Setiap kuil ataupun istana, diperluas, setiap kota suci atau tempat kediaman raja,
merupakan gunung suci, dengan demikian menjadi pusat.
Nama berbagai kuil dan menara suci di Babylonia sendiri memberi keaksian atas
asimilasinya dengan gunung kosmik: “Gunung Rumah”, “Rumah Gunung bagi
seluruh bumi”, “Gunung Prahara”, “Penghubung antara Surga dan Bumi”. Silinder
dari jaman Gudea mengatakan bahwa tempat tidur (Dewa) yang dibangun (seperti)
gunung kosmik. Setiap kota di timur dipandang sebagai pusat dunia. Babylon adalah
Bab-ilani, “gerbang dewa”, karena di sana para dewa turun ke bumi. Di ibu kota
kerajaan Cina, gnomon harus tidak menimbulkan bayangan di siang hari pada saat
titik balik matahari di musim panas. Ibukota seperti itu, pada hakikatnya, berada di
pusat alam semesta, di naungi pohon gaib (kien-mu), pada tempat pertemuan tiga
zona kosmik: surga, bumi dan neraka. Berbagai kota dan tempat suci di asimilasikan
dengan puncak gunung kosmik.23
3. Adanya axis mundi, kota atau kuil suci yang dipandang sebagai titik pertemuan
antara sorga, bumi, dan neraka.
Kuil maupun kota suci senantiasa merupakan titik pertemuan antara tiga wilayah
kosmik: surga, bumi dan neraka. Dur-an-ki, pertalian surga dan bumi adalah nama
yang diberikan pada pemujaan di Nippur dan Larsa, dan tidak diragukan juga bagi
Sippara. Babylon memiliki banyak nama di antaranya rumah di Dasar Surga dan
Bumi. Puncak gunung kosmik bukan hanya titik tertinggi bumi; hal itu juga
merupakan pusat. Dimulainya penciptaan bahkan ada contoh yang di situ
kosmologis menjelaskan simbolisme Pusat, yang barangkali dipinjam oleh
embriologi. Yang Maha Suci menciptakan dunia seperti embrio karena embrio
merupakan pusat dari depan, demikian juga Tuhan menciptakan dunia dari pusatnya
ke depan, dan dari sana menyebar ke arah yang berbeda-beda.24Mircea Eliade
mengungkapkan bahwa ketiga dunia membentuk tiga lapisan yang di hubungkan
oleh satu poros yang disebut axis mundi. Poros dunia ini sering di lambangkan
dengan tiang, tangga, pohon, dan gunung. Melalui axis mundi ini manusia religius
dapat mengadakan hubungan dengan dunia atas dan dunia bawah. Karena hubungan
antara ketiga dunia itu terletak pada pusat dunia, maka dunia yang sejati selalu
23
Mircea Eliade, Mitos Gerak Kembali Yang Abadi,,,13
24
terdapat pada pusat dunia. Dengan demikian, pusat itu merupakan zona suci, zona
realitas mutlak.
2.2 PERILAKU SOSIAL
Hurlock berpendapat bahwa perilaku sosial menunjukkan kemampuan untuk
menjadi orang yang bermasyarakat. Lebih lanjut lagi, perilaku sosial adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan perilaku umum yang ditunjukkan oleh individu
dalam masyarakat, yang pada dasarnya sebagai respons terhadap apa yang dianggap
dapat diterima atau tidak dapat diterima oleh kelompok sebaya seseorang.25
Perilaku tersebut ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap, keyakinan,
kenangan, atau rasa hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial adalah aktifitas fisik
dan psikis seseorang terhadap orang lain atau sebaliknya dalam rangka memenuhi diri
atau orang lain yang sesuai dengan tuntutan sosial. 26
Perilaku secara bahasa berarti cara berbuat atau menjalankan sesuatu sesuai
dengan sifat yang layak bagi manusia. Secara sosial berarti segala sesuatu mengenai
masyarakat atau kemasyarakatan27. Perilaku juga sering disebut dengan akhlak atau
moral. Moral ialah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai)
masyarakat, yang timbul dari hati dan bukan paksaan.
Perilaku sosial seseorang dapat terlihat dalam pola responnya atau reaksinya
terhadap hubungan timbal balik antar kelompok maupun pribadi. Perilaku itu
ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, atau rasa hormat terhadap
orang lain. Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang
lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam melakukan kerja sama, ada
25
Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembamngan,(Indonesia: Erlangga, 2003), 216
26
Elisabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembamngan..262
27
orang yang melakukannya dengan tekun, sabar dan selalu mementingkan kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadinya. Sementara di pihak lain, ada orang yang
bermalas-malasan, tidak sabaran dan hanya ingin mencari untung sendiri. Dari
penjelasan diatas, pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Artinya bahwa
sejak dilahirkan manusia membutuhkan hubungan atau pergaulan dengan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan,
interaksi sosial diantara manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara
individual. Hal ini dikarenakan tidak ada timbal balik dari interaksi sosial maka
manusia tidak dapat merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang
utuh sebagai hasil interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada awalnya dapat diketahui
dari perilaku kesehariannya. Pada saat bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah
perilaku sosial.28 Dari pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku
sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk menanggapi orang lain dengan cara yang
berbeda-beda.
Perilaku ada dua jenis, yang pertama yaitu perilaku yang alami atau refleksif dan
yang kedua yaitu perilaku operan atau bentukan. Perilaku yang alami yaitu perilaku
yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap rangsangan yang mengenai
organisme yang bersangkutan. Perilaku ini merupakan perilaku yang di bawa sejak
manusia lahir. Sedangkan perilaku operan atau bentukan yaitu perilaku yang dibentuk
melalui proses belajar, latihan, pembentukan dam pembiasaan. Perilaku operan atau
bentukan ini dapat berubah-ubah sesuai dengan bagaimana latihan dan pembiasaan
yang dilakukan.29 Perilaku sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
sebagaiberikut.
1. Perilaku dan karaktekteristik orang lain
28
W.A.Gerungan,Psikologi Sosial,(Bandung:Refika Aditama,2009),28.
29
Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki
karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti
kebanyakan orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya.
Sebaliknya, jika ia bergaul dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia
akan terpengaruh oleh perilaku seperti itu. Pada aspek ini guru memegang
peranan penting sebagai sosok yang akan dapat mempengaruhi pembentukan
perilaku sosial siswa karena ia akan memberikan pengaruh yang cukup besar
dalam mengarahkan siswa untuk melakukan sesuatu perbuatan.30
2. Proses Kognitif
Ingatan dan pikiran yang memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang
menjadi dasar kesadaran sosial seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku
sosialnya. Misalnya seorang calon pelatih yang terus berpikir agar kelak
dikemudian hari menjadi pelatih yang baik, menjadi idola bagi atletnya dan
orang lain akan terus berupaya dan berproses mengembangkan dan
memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain misalnya seorang
siswa karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman sukses dalam
pembelajaran penjaskes maka ia memiliki sikap positif terhadap aktivitas
jasmani yang di tunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung
teman-temannya untuk beraktivitas jasmani dengan benar.31
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan alam terkadang dapat mempengaruhi perilaku sosial
seseorang. Misalnya orang yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan
yang terbiasa berkata dengan keras, maka perilaku sosialnya seolah keras
30
Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),(Jakarta: Erlangga,2005), 280.
31
pula, ketika berada di lingkungan masyarakat yang terbiasa lembut dan halus
dalam bertutur kata.32
4. Tatar Budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi
Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan
terasa berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat
yang beretnis budaya lain atau berbeda.33
3.3 IMAJINASI
Imajinasi adalah “daya untuk membentuk gambaran (imaji) atau konsep-konsep
mental yang tidak secara langsung didapat dari sensasi (pengindraan)”34 dapat
dipertegas lagi bahwa imajinasi adalah suatu daya, dan karenanya, imajinasi itu
berkaitan langsung dengan manusia yang memilik daya tersebut. Oleh karena itu proses
megimajinasikan itu selalu merupakan proses pembentukan gambaran tertentu, dan ini
terjadi secara mental. Artinya gambaran tersebut tidak berada secara visual (tampak
oleh mata) dan tekstural (terasa serta teraba oleh tangan dan kulit).35
Imajinasi memerankan begitu banyak peranan dalam berbagai segi hidup kita.
Peran epistemologi yang mengutak-atik segi-segi pengetahuan manusia dan itu sangat
fundamental, karena dari situlah kesadaran, pengalaman, dan pemahaman manusia
berkembang. Berangkat dari kenyataan ini, kini mulai terasa bahwa dengan membahas
imajinasi kita telah mereformulasi pandangan kita tentang dunia. Imajinasi bukan
sekedar daya untuk membentuk gambaran atau konsep-konsep mental yang tidak secara
langsung didapatkan dari sensasi, tetapi lebih-lebih adalah kreatif primodial dan
fundamental manusia yang terus menerus mere-konstruksi relasi manusia dengan dunia.
32 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),285. 33 Robert A Baron & Donn Byrne, Psikologi Sosial (Jilid 2) (Edisi 10),288.
34Paul Edward, The encylopedia of philosophy, Volume 3& 4, (New York: Macmillan Publishing Co.,
Inc. The Free Press, 1967) hlm. 136
Imajinasi melekat kuat pada cirinya yang aktif dan terus menerus. Imajinasi tidak
pernah berhenti untuk mengimajinasikan. Imajinasi beraktifitas secara sadar dalam diri
manusia, dan karena kesadaran inilah maka imajinasi tetap hidup selama manusia
menyadari keberadaannya sendiri. Unsur imajinasi aktif inilah yang membawa
implikasi bahwa imajinasi terus menerus mere-konstruksi relasi manusia dengan dunia.
Daya imajinasi manusia bertumbuh ketika imajinasi mengantar pada proses kreatif
dimana individu membentuk kembali baik diri maupun lingkungannya kearah
pengayaan timbal balik keduanya. Imajinasi merupakan kekuatan yang sangat erat
berkaitan dengan kehendak manusia untuk terus menerus membaharui pandangan
tentang segala sesuatu.36
Imajinasi ialah kemampuan menghadirkan realitas. Imajinasi adalah rangkaian
dua kemampuan untuk menghasilkan suatu abstraksi yang real yang mana imajinasi
menghasilkan konsep-konsep imajerial, yakni konsep-konsep yang mengandaikan
adanya rangkaian imaji-imaji untuk memperjelasnya. Konsep-konsep imajinatif itu
sebenarnya bertumbuh dari suatu tahap intelektual yang sifatnya lebih re-konstruksi.
Imajinasi amat berfungsi dalam membentuk dan menghadirkan realitas. Kesadaran
akan kuatnya realitas figural yang akan banyak mendapatkan pendasaran teoretis
melalui Lyotard menjadi ciri masa kini yang akan mewarnai pola pikir dan relasi kita
dengan dunia, menjadi pintu masuk ke arah dunia imaji-imaji, dunia imajinasi itu
sendiri. Dengan hal ini, kita tidak berhenti pada penjelasan kaitan imajinasi dan
intelektif.37
Imajinasi juga memampukan kita menghayati dunia dan kenyataan sebagai
momen puitis (ingat imajinasi kreatifnya Sartre). Jika di ranah saintifik antara imajinasi
dan rasio masih bisa didamaikan, maka di ranah estetis keduanya cenderung saling
36
H. Tedjoworo, imaji dan imajinasi,,,,23
37
menegasikan. Sebagai modus representasi dunia dan kenyataan, imajinasi adalah
sumber bagi bahasa konotatif-puitis, sementara rasio adalah sumber bagi bahasa
denotatif-logis. Kedua modus representasi ini akan melahirkan corak dunia yang sangat
berbeda. Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis
representasi, maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah
estetis, dengan mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi
memunculkan “ketidak tersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman,
bukan menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka
hanya imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.38
Imajinasi dan rasio sebenarnya saling mendukung. Sebagai salah satu potensi
intelek, imajinasi berfungsi sebagai pemecah kebuntuan ketika rasio tidak lagi mampu
menyelesaikan persoalan pengetahuan yang membekap kita. Dengan dayanya,
imajinasi mampu membuat tautologi-tautologi baru atas imaji-imaji yang memenuhi
benak kita yang tidak dapat dikerjakan oleh rasio. Ketika pola-pola tautologi itu telah
eksis dalam pikiran kita, rasio kemudian memerankan dirinya kembali, yaitu sebagai
evaluator dan perumus bagi tautologi-tautologi itu agar polanya semakin matang dan
presisi. Imajinasi membuat dunia hadir dalam banyak kemungkinan, dan rasio membuat
kemungkinan-kemungkinan itu menjadi pengetahuan yang masuk akal.39
Jika kita hanya mengandalkan bahasa denotatif-logis sebagai basis representasi,
maka dunia akan mewujud sebagai objek formulatif semata. Di ranah estetis, dengan
mengacu Heidegger, bahasa konotatif-puitis sebenarnya lebih berpotensi memunculkan
“ketidak tersembunyian” (aletheia) karena lebih membuka pengalaman, bukan
38
H. Tedjoworo, imaji dan imajinasi,,,,30
39
menciutkannya. Oleh karena bahasa puisi hendak meng-imaji-kan sesuatu, maka hanya
imajinasilah yang mampu memberikan konteks imajinatif pada pikiran kita.40
40