67
Bab 4
Faktor-Faktor Penggerak Praktik Ritual dan Pandangan Kejawen
tentang Ritual Gunung Kemukus
Ritual ngalap berkah adalah usaha yang dilakukan seseorang dalam
mencari peruntungan melalui permohonan kepada kekuatan-keuatan roh
leluhur yang mereka percaya memiliki kekuatan supranatural melalui praktik
ritual. Dari penelitian lapangan yang telah diperoleh ada bebarapa hal
mendasar yang mempengaruhi seseorang melakukan ritual ngalap berkah
secara khusus ritual ngalab berkah di Gunung Kemukus.
4.1. Faktor-faktor seseorang melakukan ritual di Gunung Kemukus
4.1.1. Sistem kepercayaan
Ritual ngalap berkah Gunung Kemukus pada esensinya merupakan
bentuk pemujaan kepada roh dan kepercayaan kepada benda-benda yang
dikeramatkan (animism dan dinamisme) yang dilakukan dengan cara
mengunjungi makam leluhur dan menaikan doa yang disertai dengan sesaji
berupa bunga dan kemenyan. Melalui ritual ini mereka berharap roh-roh
leluhur yang dianggap memiliki kesaktian dapat membantu mereka. Dalam
kepercayaan Jawa, roh leluhur dan benda-benda disekitar manusia dipercaya
memiliki kekuatan sakti yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan
sebaliknya.1 Dalam ritual ini setidaknya ada satu bentuk negosiasi dengan makhluk supranatural agar kekuatan adikodrati tersebut mau diajak
bekerjasama. Bentuk take and give menjadi landasan berpikir dalam praktik
1
68
pemujaan roh-roh leluhur. Cara berpikir seperti ini terlihat dari keyakinan
bahwa dengan mendoakan arwah leluhur maka mereka akan mendapatkan
kebaikan juga dari roh para leluhur. Keyakinan inilah yang sampai saat ini
yang menjadi dorongan seseorang harus menghormati dan mendoakan roh
leluhur, sebab dimungkinkan akan memberikan sawab berkah (daya
keberuntungan). Tindakan ritual ini sebagai cara untuk memohon berkah,
untuk meminta kejelasan suatu keputusan yang sulit, memohon kenaikan
pangkat, penglarisan.
Fenomena ritual ngalap berkah yang masih bisa dijumpai ditengah
masyarakat sampai saat ini memperlihatkan bahwa kesatuan masyarakat Jawa
dengan alam adikodrati dalam hubungannya antara manusia dan roh-roh
gaib,2 masih kuat. Sebagaimana yang masih dipraktikan dan menjadi keyakinan dalam masyarakat bahwa roh-roh leluhur mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan mereka, maka perlu menjalin hubungan dengan roh-roh
leluhur. Roh nenek moyang dipuja dan dipanggil oleh para keturunannya
untuk memberi nasihat kepada mereka mengenai persoalan rohaniah dan
material. Makam adalah tempat untuk melakukan kontak dengan keluarga
yang masih hidup dan ditempat itu para keturunannya melakukan hubungan
secara simbolik dengan roh yang sudah meninggal.
Disisi lain praktik ritual ngalap berkah, memperlihatkan bentuk
penggabungan dua sistem kepercayaan yaitu system religi Jawa dan sistem
kepercayaan Islam. Di satu sisi mereka mengakui dan memeluk agama Islam
di sisi lain mereka masih taat dan mempraktikan sistem kepercayaan Jawa.
2
69
Dalam analisa Clifford Geertz, kelompok masyarakat yang demikian disebut
abangan dimana dalam sistem kepercayaan masyarakat menggabungkan
sistem kepercayaan Islam dengan unsur-unsur kepercayaan asli Jawa yang
berkaitan dengan dunia roh, termasuk roh-roh nenek moyang.3 Dipihak lain Magnis Suseno menyebutnya sebagai kelompok Kejawen.4 Dua sistem kepercayaan yang dipraktikan menunjukan adanya sikap sikap yang saling
terbuka pelaku ritual terhadap bentuk sistem kepercayaannya. Praktik ritual
ngalap berkah mungkin bertentangan dengan sistem kepercayaan dalam
agama-agama formal. Tetapi, bagi masyrakat Jawwa secara relative
masuknya nilai-nilai agama formal tidak menghadirkan konflik dengan unsur
agama Jawa asli atau sebaliknya.5 Maka tidak heran saat ini muncul istilah Hindu-Jawa, Islam-Jawa atau Kristen Jawa yang yang memperagakan dua
sistem kepercayaan.
4.1.2. Kepercayaan kepada Mitos
Praktik ritual “ngalap berkah” Gunung Kemukus tidak dapat
dipisahkan dari mitos yang sudah lama beredar dan telah menjadi
kepercayaan oleh sebagian masyarakat. Mitos menceritakan tokoh-tokoh
adikodrati dengan tindakan-tindakan yang dianggap luar biasa, penuh dengan
keunikan dan sarat misteri. Walaupun kisah dalam mitos sulit untuk
dibuktikan kebenarannya, namun mitos tetap dihayati dan menjadi
3
Soet arman, Komunit as Sadrakh dan akar Kont ekst ualnya , 24-26.
4
M . Suseno, Et ika Jaw a, (Jakart a: Gramedia, 1993), 11.
5
70
kepercayaan masyarakat Jawa. Seperti halnya mitos tentang Gunung
Kemukus yang benar-benar telah mempengaruhi seseorang melakukan ritual.
Seperti dalam cerita mitos Gunung Kemukus, yang menceritakan
cinta terlarang antara Pangeran Samudro dan ibunya, kemudian adanya wasiat
dari tokoh mitos, dengan meniru perbuatannya ditempat ini maka
keinginannya dapat tercapai jika dilakukan sampai tujuh kali, telah
mendorong seseorang melakukan ritual. Dengan penghayatan dan
kepercayaan kepada mitos, maka mitos tetap menjadi satu rujukan atau
tuntunan dalam praktik ritual sehingga tumbuh keyakinan bahwa dengan
melakukan ritual seperti dalam tuntunan mitos keinginan seseorang dapat
terwujud.
Karena penghayatan dan keyakinan, mitos tidak dapat dihilangkan
karena sudah menjadi satu dalam kebudayaan masyarakat. Seperti pendapat
Malinowski, realitas mitos yang sulit dihapus menunjukan bahwa mitologi
dari suatu masyarakat sebagai kumpulan cerita yang benar-benar terjalin
dengan kebudayaan mereka, yang menyuarakan keyakinannya, menentukan
ritus, yang berlaku sebagai peta peraturan social maupun sebagai model
tingkah laku moral.6 Dalam praktik ritual ngalap berkah Gunung Kemukus, terlihat bagaimana mitos berfungsi sebagai rujukan dan tuntunan ritual
walaupun ada usaha untuk menghapusnya dengan cerita-cerita yang dianggap
lebih benar dan bermoral oleh masyarakat sekuler. Usaha inipun mengalami
kesulitan, sebab mitos telah menjadi fondasi yang kuat dan memberi jaminan
terhadap praktik ritual. Catherine Bell menyatakan bahwa ritual bergantung
6
71
pada mitos, karena cerita itu menjamin setiap orang bahwa apa yang mereka
lakukan dalam ritual adalah apa yang pernah dilakukan para dewa, pahlawan,
atau nenek moyang pada masa lalu.7 Sehingga apapun bentuk praktik ritual telah mendapatkan legalitas dari mitos. Maka, hal inilah yang kemudian
mulai muncul perdebatan dalam masyarakat ketika melihat adanya bentuk
ritual yang dipandang sebagai ketidak bermoralan.
Eliade menegaskan bahwa mitos mempunyai fungsi dalam
menentukan tuntunan yang mesti diikuti oleh semua kegiatan ritual maupun
kegiatan-kegiatan manusia misalnya; makan, seksualitas, pekerjaan,
pendidikan dan sebagainya. Semua tindakan ini adalah menirukan tindakan
para dewa dengan mengulang kembali tindakan mereka.8 Melalui pemikiran Eliade ini dapat membantu untuk menganalisa ritual di Gunung Kemukus.
Bahwa praktik ritual di Sendang Ontrowulan dan ritual sex dipercaya sebagai
pemeragaan cerita mitos dan sebagai ketaatan menjalankan pesan-pesan yang
disampaikan oleh tokoh-dalam cerita mitos. Seperti pendapat Eliade,9 bahwa ritual yang dibangun adalah untuk menampilkan kembali tindakan atau
perbuatan yang dilakukan oleh para dewa pada masa primordial dan terus
dipelihara dalam catatan mitologis. Konsep ini sebagai pijakannya dalam
melihat tidak adanya ketidakmoralan dari setiap pemeragaan cerita dalam
mitos walaupun oleh masyarakat sekuler sebagai ritual yang amoral.
Pemeragaan kepercayaan merupakan tindakan yang sakral dan dikehendaki
oleh makhluk supranatural. Seperti halnya dalam praktik ritual sex Gunung
7
Cat herine Bell. Rit ual Perspect ive and Dimension, (New York: Oxford Univer sit y Press, Inc. 2009), 11.
8
M . Eliade, Sacred and Profane, 98.
9
72
Kemukus, praktik ritual sex dihayati sebagai tindakan yang dikehendaki dan
dijamin oleh para leluhur dalam cerita mitos. Praktik ritual ini menjadi bagian
yang sakral dalam sistem keprcayaan, walaupun oleh masyarakat sekuler
praktik ini dipandang sebagai ketidakbermoralan. Seperti pandangan Eliade,
meskipun pandangan dunia sekuler (profan) tindakan ritual dipandang
amoral, namun ketika ritual itu sebagai pemeragaan dari cerita dalam mitos
dan menjadi bagian dalam wilayah yang sacral, maka ritual tersebut tidak
dapat dikatakan amoral.10 Tetapi, praktik berhubungan intim akan memiliki makna yang berbeda jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan, tempat dan
waktu berbeda. Seperti dalam praktik ritual sex di Gunung Kemukus, dari
sebagian masyarakat dan pelaku ritual tetap meyakini bahwa ritual sex bukan
tindakan yang amoral. Hal ini membuka kesadaran untuk melihat keyakinan
seseorang, seperti pendapat G. Strehlow, bahwa tindakan-tindakan ritual yang
sedemikian rupa memang dikehendaki leluhur mereka.11
Ritual sebagai pemeragaan dari cerita mitos yang masih dipraktikan
menunjukan bahwa mitos benar-benar dihayati oleh masyarakat meskipun
muncul cerita-cerita baru yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Misalnya
dalam ritual di Gunung Kemukus, meskipun Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kab. Sragen menerbitkan buku sejarah Gunung Kemukus dan
terbitnya Perda No.2 Tahun 2012 yang mengatur ritual di Gunung Kemukus
terlihat belum dapat menggantikan mitos sebagai pemandu praktik ritual. Hal
ini ditunjukan dalam setiap pemeragaan ritual masih menganut mitos yang
10
M . Eliade, M it os Gerak Kembali Yang Abadi/ The M yt h Of The Et ernal Ret urn Or, Cosmos And Hist ory,Terj; Cuk Anant a, 28.
11
73
tetap mereka hayati. Maka dapat ditarik kesimpulan praktik ritual tidak dapat
dipisahkan dari keyakinan dan penghayatan kepada mitos.
4.1.3. Keinginan berprestasi
Setiap manusia selalu memiliki dorongan atau keinginan yang kuat
untuk mencapai hasil maksimal dari setiap pekerjaan yang dilakukannya.
Terkait dengan ritual ritual ngalab berkah di Gunung Kemukus adalah salah
satu cara seseorang untuk mencapai prestasi atau hasil yang maksimal. Dari
data penelitian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar para pelaku ritual
adalah pedagang. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mereka melakukan
ritual yang pada dasarnya untuk mendapatkan prestasi dari pekerjaannya.
Ritual sebagai cara untuk mendapatkan;
a. Pelarisan
Mencari penglarisan adalah salah tujuan dari para pelaku ritual ngalab
berkah di Gunung Kemukus. Hal ini dilatar belakangi pekerjaan
mereka yang bergerak dalam perdagangan. Sepinya pasar yang
berdampak pada pendapatan dan persaingan pasar menjadi salah alasan
mereka melakukan ritual di Gunung Kemukus supaya usaha
dagangnya laris.
b. Mendapatkan wahyu
Tujuan pelaku ritual berikutnya adalah sebagai cara untuk
mendapatkan petunjuk terhadap situasi yang sedang dihadapi oleh
74
Biasanya untuk mendapatkan petunjuk (Jawa:wangsit), mereka
meluangkan waktu sampai beberapa hari untuk mendapatkan
petunjuk-petunjuk gaib. Petunjuk yang didapatkan melalui ritual akan dijadikan
tuntunan dalam pekerjaan, misalnya perihal dimana mereka harus
berdagang dan hal-hal apa saja yang perlu mereka lakukan supaya
mencapai keberhasilan.
c. Mempertahankan keberhasilan
Tujuan lain dari pelaku ritual adalah sebagai upaya untuk
mempertahankan keberhasilan yang saat ini sudah tercapai. Biasanya,
praktik ini dilakukan oleh mereka yang sudah mencapai keberhasilan
dalam pekerjaannya. Mereka menganggap bahwa keberhasilan yang
telah dicapai berkat bantuan dari roh-roh leluhur. Maka,untuk menjaga
keberhasilan atau mempertahankannya mereka masih berkeyakinan
untuk memohon bantuan roh-roh leluhur. Praktik ritual tetap dilakukan
secara rutin ditempat ini. Dengan melihat praktik ini, menunjukan
bahwa hubungan yang dibangun seseorang dengan roh-roh leluhur ini
tidak berhenti ketika keinginannya sudah tercapai tetapi bisa
berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
d. Mengembangkan usaha.
Dari alasan untuk mempertahankan keberhasilan, disisi lain ritual ini
dilakukan sebagai cara untuk mengembangkan usaha seseorang
75
Setelah memperhatikan tujuan dan alasan para pelaku ritual, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang mendorong sesorang melakukan
ritual di Gunung Kemukus adalah keinginan untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dari pekerjaan mereka. Melalui praktik ritual tersebut seseorang
mengharapkan adanya jaminan keberhasilan atas usaha mereka, kemajuan
usaha dan melindungi keberhasilan yang telah dicapai dari roh roh adikodrati.
Hal ini menunjukan bahwa prinsip-prinsip ekonomi Jawa, juga dilandasi
ritual mistik kejawen.12 Dapat dikatakan bahwa dunia ekonomi Jawa terkadang berbau sakral, tak sedikit para pelaku ekonomi Jawa yang
melakukan ritual dalam rangka mencari pelarisan dan pesugihan. Dua tradisi
yang biasanya ditempuh melalui riual-ritual. Disisi lain hiruk pikuk praktik
ritual ngalap berkah di Gunung Kemukus menunjukan orientasi manusia
terhadap masalah yang bersifat materialism. Tujuan mereka sebisa mungkin
mendapatkan pencapaian prestasi yang dapat diukur dengan seberapa banyak
materi yang dapat diraih. Sebisa mungkin mereka menghindari dari hukum
alam yang sebenarnya tidak dapat ditolak manusia.
4.2. Faktor-faktor penyebab terjadinya pergesaran nilai ritual di Gunung
Kemukus
Dalam penelitian The Interpretation of Cultures: Selected Essays,
karya Clifford Geertz dalam sebuah penelitian ritual sabung ayam di Bali
melihat bahwa ada beberapa aspek kepentingan yang muncul didalam ritual
antara lain kepentingan interaksi social, kepentingan ekonomi, kepentingan
12
76
politik, kelompok social dan prsestise.13 Demikian halnya yang telah terjadi dalam ritual Gunung Kemukus, bahwa nilai-nilai dan makna ritual semakin
tergerus dengan ditandai perubahan-perubahan dalam masyarakat. Perubahan
nilai terlihat dari ritual sebagai tindakan yang sacral menjadi tindakan yang
profane. Beberapa hal telah mempengaruhi terjadinya perubahan nilai dari
ritual. Dalam melihat perubahan yang terjadi dalam masyarakat, Sztompka
melihat bahwa perubahan disebabkan oleh masyarakat yang selalu berubah
disemua tingkat kompleksitas internalnya.14 Dikatakan bahwa masyarakat bukan sebuah kesatuan fisik (entity), tetapi seperangkat proses yang saling
terkait bertingkat ganda yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Ada
beberapa komponen sebagai unit analisis Sztompka,15 yang menyebabkan terjadinya perubahan sosial antara lain:
a. Perubahan komposisi penduduk
b. Perubahan struktur; terciptanya ketimpangan, kristalisasi kekuasaan,
munculnya ikatan persahabatan, terbentuknya kerja sama ataupun
hubungan kompetitif.
c. Perubahan fungsi, misalnya, spesialisasi dan digerensiasi pekerjaan,
hancurnya peran ekonomi keluarga, diterimanya peran yang
diindoktrinasikan oleh sekolah atau universitas.
d. Perubahan batas, misalnya, penggabungan beberapa kelompok, atau satu
kelompok ke kelompok lain, mengendurnya kriteria keanggotaan
kelompok dan demokratisasi keanggotaan, dan penaklukan.
13
C. Geert z, The Int erpret at ion of Cult ures: Select ed Essays(NY: Basic Book Inc, 1973),412- .
14
Piot r Szt ompka, Sosiologi Perubahan Sosial.(Jakart a:Prenada, 2004), 65.
15
77 e. Perubahan hubungan antarsub sistem, misalnya, penguasaan rezim politik
atas organisasi ekonomi, pengendalian keluarga dan keseluruhan
kehidupan privat oleh pemerintah totaliter.
f. Perubahan lingkungan, misalnya; kerusakan ekologi dan gempa bumi.
Beberapa komponen penyebab perubahan sosial oleh Sztompka tersebut,
dapat menjadi landasan untuk menganalisa faktor-faktor yang menjadi penyebab
terjadinya pergeseran nilai ritual Gunung Kemukus. Faktor-faktor tersebut antara
lain;
a. Terjadinya Perubahan fungsi.
Penetapan Gunung Kemukus sebagai obyek wisata, maka secara tidak
langsung telah mengubah kesakralan Gunung Kemukus. Perubahan status
dari tempat ritual menjadi tempat untuk umum mulai mengurangi
kesakralan tempat ini. Sebagai tempat wisata, maka secara tidak langsung
maka tempat ini tidak dapat steril dari unsur-unsur entertainment untuk
menarik lebih banyak pengunjung. Gunung Kemukus pun telah menjadi
salah satu sumber bagi pendapatan daerah. Pemasukan ini didapatkan
melalui tiket masuk sebesar Rp. 5.000,00 /orang. Keterlibatan pemerintah
setempat terhadap pengelolaan Gunung Kemukus terlihat dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata dalam mengemas acara-acara besar di Gunung
Kemukus dengan tujuan menarik pengunjung. Pembangunan infrastruktur
yang dibiayai 10 % dari pendapatan daerah dari Gunung Kemukus.
Dengan demikian, tidak salah jika pada akhirnya pengelolaan tempat ini
78
b. Terbukanya praktik prostitusi
Mitos telah menjamin praktik ritual, telah dimanfaatkan sebagai alat untuk
melegalkan praktik prostitusi. Maraknya praktik prostitusi disebabkan
beberapa hal antara lain, pertama berubahnya tempat ritual sebagai tempat
wisata sehingga tidak semua pengunjung benar-benar ingin melakukan
ritual tetapi memiliki tujuan-tujuan lain dan terkadang tidak sesuai dengan
keberadaannya sebagai tempat ritual. Kedua, kurangnya pengawasan dari
perangkat desa atau masyarakat karena sikap yang toleran meskipun
terjadi penyimpangan-penyimpangan baik yang dilakukan para
pengunjung, penduduk pribumi atau penduduk baru. Yang kemudian
berdampak pada satu pandangan bahwa Gunung Kemukus menjadi tempat
prostitusi yang dilegalkan oleh masyarakatnya sendiri.
c. Faktor kepentingan ekonomi
Kepentingan ekonomi menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran
nilai. Mitos dan ritual telah dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan
bagi pihak-pihak tertentu. Misalnya para pemilik warung dan pedagang
yang ingin mendapat keuntungan dengan penyediaan penginapan dan
warung makan. Sebagai penunjang untuk mendapatkan keuntungan, tidak
sedikit para pengusaha warung dan penginapan memanfaatkan pekerja sex
untuk menarik sebanyak mungkin pengunjung.
d. Terjadinya kontak dengan kebudayaan lain.
Kontak dengan kebudayaan lain ini berhubungan dengan difusi, yaitu
proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu ke individu lain
79
dari luar merupakan cara yang efektif tejadinya difusi, bahkan dapat
mengubah cara pandang sebuah masyarakat. Seperti yang terjadi di
Gunung Kemukus, kedatangan penduduk baru yang kurang memahami
makna ritual telah menyebabkan terjadinya pergeseran nilai ritual.
Akibatnya ritual sex dijadikan komoditas untuk keuntungan ekonomi.
e. Sikap Toleransi
Sikap toleran toleran terhadap perbuatan atau masyarakat yang berperilaku
menyimpang dan dianggap bukan sebagai pelanggaran hukum misalnya
munculnya bentuk usaha yang diperbolehkan dalam suatu masyarakat.
Ada rasa takut akan terjadi kegoyahan pada integrasi sosial yang telah ada
dimasyarakat. Sikap ini memberi peluang bagi pendatang atau pengunjung
dalam kebebaasannya melakukan bentuk tindakan apapun seperti
pembukaan rumah karaoke, praktik prostitusi tempat usaha prostitusi.
f. Munculnya kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Dalam suatu masyarakat, selalu terdapat kelompok-kelompok yang
menikmati kedudukan tertentu. Biasanya, dari kedudukan itu mereka
mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu dan hak-hak istimewa.
Kelompok tertentu ini bisa sebagai individu yang ada didalam masyarakat
atau diluar masyarakat dan kelompok pemegang kekuasaan misalnya
pemerintah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadinya pergeseran
nilai disebabkan oleh perubahan komposisi yaitu pertambahan penduduk
pendatang baru, perubahan struktur yaitu peran pemerintah dalam
80
profane, perubahan batas antara yang sakral dan profane, perubahan
hubungan antar subsistem, dan perubahan lingkungan yaitu munculnya
berbagai fasilitas entertainment yang dibangun.
4.3. Ritual ngalap berkah Gunung Kemukus dalam pandangan kejawen
Sebagaimana pendapat Eliade bahwa ritual merupakan bentuk dari
pemeragaan cerita yang diceritakan dalam mitos. Disitu Eliade tidak melihat
adanya ketidamoralan dari setiap pemeragaan cerita dalam mitos walaupun
oleh masyarakat sekuler dipandang sebagai ritual yang amoral. Lalu
bagaimanakah pandangan Kejawen tehadap praktik ritual ngalap berkah
dengan melakukan hubungan intim sesama peziarah yang bukan
pasangannya? Untuk melihat ritual di Gunung Kemukus perlu untuk melihat
kembali bagaimana sistem kepercayaan agama Jawa asli. Ritual ngalap
berkah dengan praktik pemujaan roh-roh leluhur, mengunjungi makam leluhur
adalah salah satu unsur dalam sistem kepercayaan Jawa. Walaupun mereka
percaya kepada Tuhan, namun masyarakat Jawa percaya bahwa di dunia ini
ada kekuatan-kekuatan yang dapat mempengaruhi hidup mereka. Sehingga
aspek ritual dan seremonial sangat jelas terlihat mendominasi dalam
kebudayaan Jawa.16 Salah satu ritual atau upacara yang masih dipraktikan oleh masyarakat tradisional Jawa adalah slametan. Slametan adalah upacara
sedekah makanan dan doa bersama yang bertujuan untuk memohon
16
81
keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang menyelenggarakan.17 Ritual ini merupakan pemujaan kekuatan adikodrati yang merupakan intisari
dari kejawen. Slametan menjadi wahana ritual mistik sebagai media untuk
mendapatkan jalan lurus menuju sasaran yaitu Tuhan.18
Dalam pandangan hidup Jawa, keinginan untuk menyatu dengan
Tuhan menjadi satu upaya dalam mistik kejawen sebagai bentuk spiritual Jawa
dengan melakukan hidup yang baik dan benar.19 Hal ini tercermin dalam konsep Manunggaling kawula lan Gusti, sebagai kunci atau dasar dalam
ajaran kejawen. Pandangan “manunggaling kawulo lan Gusti” dalam
masyarakat Jawa ini mendorong sikap untuk menahan nafsu (nafsu sebagai
pecandu, nafsu terhadap perempuan, pemabuk, makan dan judi main) yang
tidak menuruti akal budi dengan cara melakukan ritual.20
Manunggaling kawula lan Gusti adalah terjadinya titik temu yang
harmoni antara manusia dengan Tuhan. Melalui kesatuan itu manusia
mencapai apa yang disebut pengetahuan tentang tujuan segala apa yang
diciptakan (sangkan paraning dumadi).21 Sangkan paraning dumadi adalah pengetahuan Jawa yang berusaha mengungkap hakikat hidup sejati yang
memberi petunjuk asal usul dan arah kehidupan sehingga manusia mempunyai
pedoman mencapai kesempurnaan.22 Keadaan sempurna berarti manusia telah mendapatkan pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan dan mampu
17
Purw adi, Upacara Tradisional Jaw a : M enggali Unt aian Kearifan Lokal.( Yogyakar t a:Pust aka Pelajar, 2005), 22.
18
Suw ardi Endrasw ara, M ist ik Kejaw en. (Yogyakart a: Narasi, cet akan ke 5, 2015), 13.
19
S. Negoro, Kejaw en; Laku M enghayat i Hidup Sejat i. (Surakart a, Cv Buana Raya, Surakart a, 2000).
20
M agnis Suseno. Et ika Jaw a, 139.
21
Ibid. , 116-117.
22
82
menghayati jati dirinya sebeagai manusia yang didalamnya sebagai kesatuan
dari Tuhan.23 Dengan mengetahui pengetahuan yang sempurna manusia akan menjadi bebas dan terlepas dari penderitaan hidup. Jika seseorang berhasil
mengatasi cobaan Tuhan, maka orang itu lebih mudah mencapai tujuan hidup
yang semsetinya.
Purwadi berpendapat bahwa kejawen bukan aliran agama, tetapi adat
kepercayaan, karena disana terdapat ajaran yang berdasarkan kepercayaan
kepada Tuhan,24 sehingga masih menurutnya, pandangan hidup Jawa lebih mengedepankan ketajaman moral dan etika. Dalam kesadaran itu yang
mengubah manusia dalam dimensi baru bagi eksistensinya menjadi realitas
baru terhadap pandangan hidupnya. Pada prinsipnya, dalam pandangan hidup
Jawa tidak lagi mengikuti tuntutan jasmani, pikiran dan nafsu. Moralitas dan
etika hidup menjadi dasar dalam hidup mereka. Seperti halnya Niels Mulder
yang melihat tentang kejawen sebagai tuntunan etik dalam masyarakat Jawa.
Menurutnya,
Kejawen is not a religious, but refers to an ethic an a style of life that
inspired by Javanist thingking.25
Menurut Niels Mulder, kejawen bukan agama, tapi lebih mengacu
pada etika dan gaya hidup seseorang yang terinspirasi oleh cara berfikir
kejawen. Maka, pandangan hidup Jawa didasarkan pada kebijaksanaan hidup
23
Suw ardi Endrasw ara, M ist ik Kejaw en.142.
24
Purw adi, Upacara Tradisional Jaw a:M enggali Unt aian kearifan Lokal. (Yogyakart a: Pust aka Pelajar, 2005), 3.
25
83
yang dilandasi logika, etika, estetika, cipta rasa, karsa, kebenaran, kebaikan
dan keindahan.26
Dalam kaitannya dengan praktik ritual sex di Gunung Kemukus maka
dalam analisa sejauh mana analisa ini didasarkan pada pandangan hidup Jawa.
Tidak dipungkiri bahwa masing-masing manusia memiliki keinginan untuk
mendapatkan prestasi dari setiap tindakan yang dilakukan. Berbagai tindakan
bisa dilakukan manusia untuk mencapai prestasi tersebut. Menurut Purwadi,
dalam pandangan Jawa praktek ketajaman moral dan intelektual menjadi dasar
sebagai pedoman dalam meniti karier hidup.27 Pandangan ini yang akan menentukan tindakan-tindakan mereka.
Dalam budaya masyarakat Jawa, sumber ajaran moral berasal dari
guru, orang tua, pemuka agama, orang-orang bijak seperti Empu Kanwa,
Empu Sedah, Empu Prapanca, Paku Buwana IV dan sebagainya. Ajaran moral
adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan,
kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tulisan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik.28 Pesan moral dalam masyarakat Jawa dapat ditemukan dalam media seni (misalnya
wayang kulit), dongeng, tembang, pitutur (kata-kata bijak), piweling (nasihat)
para orang tua secara turun temurun. Misalnya, karya sastra Serat Wulangreh
terkandung ajaran moral yang menjadi tuntunan untuk melakukan tindakan.
Keinginan hawa nafsu yang kerap muncul dari pikiran manusia harus dibatasi.
Kesenangan duniawi dianggap menyesatkan bahkan dianjurkan untuk
26
Purw adi, Filsaf at Jaw a. (Yogyakar t a: Filsafat Jaw a, 2007), 7.
27
Purw adi, Filsaf at Jaw a., 87.
28
84
mengurangi dan mengendalikan diri terhadap kesenangan yang bersifat
duniawi.29 Hal ini berkaian dengan keinginan-keinginan yang bersifat materi. Seprti yang diungkapkan Paku Buwana IV perihal keutamaan hidup yang
tidak mengejar keuntungan duniawi tetapi lebih memberi keutamaan sifat dan
sikap hidup.30 Tuntunan hidup dalam budaya Jawa juga diajarkan melalui kisa-kisah pewayangan. Wayang kulit bukan sekedar tontonan tetapi juga
tuntunan bagi masyarakat Jawa. Pentas wayang banyak mengandung simbolik
yang dapat dijadikan tuntunan hidup seperti kisah bima Suci
mempresentasikan kisah orang mawas diri. Wejangan Dewaruci memberi
pesan moral bahwa seseorang harus mampu manunggal dengan Tuhan dan
mengendalikan hawa nafsunya.31 Dalam keadaan demikian seseorang tidak ragu lagi terhadap pergeseran hidupnya yang silih berganti. Perubahan demi
perubahan diyakini sebagai keniscayaan. Manusia yang takut terhadap
perubahan berarti menantang hokum alam dan akan gagal dalam
mengantisipasi rencana-rencana hidupnya. Ini berarti, masyarakat jawa
memandang perubahan keadaan yang dialami dalam aspek hidup adalah
hokum alam yang tidak dapat ditolak. Hal ini bukan berarti mencerminkan
kepasrahan hidup. Dalam pupuh Dhandhanggula V pada bait 75-76,
mengajarkan supaya manusia bersedia berolah nalar, pikirannya digunakan
terus menerus sehingga ada peningkatan kreativitas dan produktivitas.32 Dengan demikian terlihat bagaimana manusia untuk berpikir, mengelola
potensi, meningkatkan kreatifitas dalam melakukan tindakan. Seperti dalam
29
Purw adi, Filsaf at Jaw a., 96.
30
Ibid., 96.
31
Purw adi, Ilmu Kasampurnan Syekh Sit i Jenar. (Yogyakart a : Tugu Publisher, 2005), 203.
32
85
serat Bima Suci menjelaskan tentang kesabaran manusia akan membantu
dalam perjuangan hidup. Untuk mencapai kesuksesan memang perlu tekad
yang membaja, kemauan yang gigih dan membutuhkan kesabaran.33 Dalam
pupuh dhandhanggula 1 pada 5-7, memberikan ajaran bahwa rintangan pasti
menghambat proses menuju sukses seperti yang diidam-idamkan. Faktor alam
yang sulit dan tidak ramah bukannya harus dihindari, tetapi tetap harus
diselesaikan dengan sekuat tenaga. Usaha (Jawa) Ngudi dan ngupaya atau
ambudidaya atau laku (jalan yang ditempuh) sehingga pada akhirnya ia kebal
terhadap tantangan.34 Serat Bima Suci menjelaskan tentang kesabaran manusia akan membantu dalam perjuangan hidup. Untuk mencapai kesuksesan
diperlukan tekad yang membaja, kemauan yang gigih dan membutuhkan
kesabaran. Wejangan, pitutur, kesenian, kata-kata bijak merupakan sarana
tuntunan moral dalam praktek hidup sehari-hari. Disisi lain hal ini
membangun kesadaran bahwa manusia dibentuk oleh kesusilaan yang berarti
bahwa manusia hidup dalam norma-norma yang membatasi tingkah lakunya
yang menunjukan bagaimana seharusnya bertingkah laku dalam masyarakat.35 Demikian halnya jika mencermati dalam falsafah ekonomi Jawa, yang
didalamnya juga lebih menekankan Ketuhanan yang utuh, dengan keyakinan
bahwa rejeki adalah pemberian Tuhan, rejeki telah digariskan atau diatur oleh
Tuhan.36 Dari uraian tentang pandangan hidup Jawa, maka dapat ditarik satu kesimpulan bahwa sikap hidup orang Jawa adalah akumulasi dari nilai-nilai
yang merupakan muatan dari nilai-nilai budaya yang memberikan arah
33
Purw adi, Ilmu Kasampurnan Syekh Sit i Jenar., 223.
34
Ibid., 253.
35
Purw adi, Filsaf at Jaw a, 159.
36
86
perbuatan manusia dan membentuk kepribadian. Nilai-nilai buadya yang
mengarahkan pada tindakan yang menguntungkan batiniah. Moralitas dan
intelektual menjadi dasar tindakan yang paling utama dalam praktek hidup.
Beralih pada ritual sex di Gunung Kemukus, sebagai pemujaan roh
adikodrati untuk meminta bantuan kepada roh-roh leluhur dengan satu tujuan
mendasar untuk mendapat keuntungan materi. Pandangan hidup Jawa sendiri
cenderung pada upaya mengarahkan hidup, memahami jati dirinya sebagai
usaha menyatukan diri dengan Tuhan. Pandangan hidup ini yang kemudian
memperlihatkan bahwa sikap hidup yang tidak mengejar keuntungan duniawi.
Ritual sex dengan dengan sesame peziarah justru semakin jauh dari pandangan
hidup Jawa. Ritual sex justru menggambarkan nafsu kesrakahan manusia
untuk mendapatkan materi semata. Sangat jelas praktik ini berlawanan dengan
sikap hidup orang Jawa yang menggunakan yang lebih mengedepankan
ketajaman moral dan intelektual. Niels Mulder menegaskan etika, moral dan
pandangan hidup menjadi dasar dari setiap tindakan orang Jawa. Maka,
walaupun bentuk ritual mendapat jaminan dari mitos bukan berarti sesuai
dengan pandangan kejawen. Jadi, hal inilah yang membedakan dengan
pendapat Eliade, Eliade tidak melihat adanya ketidakmoralan dari setiap
pemeragaan ritual walaupun oleh masyarakat sekuler sebagai ritual yang
amoral. Dipihak lain, dalam pandangan kejawen ritual sex justru bertolak
belakang karena dasar tujuan yang mengejar keuntungan materi. Dengan
demikian ritual yang hanya didasarkan pada rujukan mitos belum tentu satu