• Tidak ada hasil yang ditemukan

IKLAN POLITIK TV DALAM PRESEPSI PEMILIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IKLAN POLITIK TV DALAM PRESEPSI PEMILIH"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Nurlita Prima Regiati 13/349612/SP25826

IKLAN POLITIK TV DALAM PRESEPSI PEMILIH PEMULA JURUSAN ILMU KOMUNIKASI UGM

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Iklan dapat menjadi sarana pemasaran yang efektif karena iklan umumnya memiliki sifat persuasif dan hiperbola yang secara otomatis mudah dicerna masyarakat dan dapat menjadi alternatif untuk mengenalkan atau mempromosikan suatu produk pada khalayak.Sama halnya dengan iklan politik yang dapat mempersuasi masyarakat dan memperkenalkan kandidat politik pada masyarakat.Dibalik konten iklan politik yang umumnya berisi janji-janji politik yang diusung kandidat dan citra baik yang ingin ditunjukkan kandidat, iklan politik dapat mempengaruhi masyarakat dengan slogannya yang mudah diingat.Visi-misi dan kharisma yang ditunjukkan kandidat politik dalam iklan juga dapat membuat masyarakat percaya bahwa kandidat yang bersangkutan adalah yang terbaik.

Sayangnya perkembangan media yang dibuntuti dan ditunggangi oleh para pelaku politik ini ternyata menimbulkan banyak dampak negatif.Sifat iklan yang hiperbola banyak dimanfaatkan oleh pelaku politik untuk merepresentasikan dirinya dan organisasinya demi kepentingan kekuasaan.Selain untuk mempersuasi khalayak, iklan politik juga menjadi sarana persaingan strata antar para kandidat politik. Ketua Badan Pengawas Periklanan, Ridwan Handoyo mengakui, “Ada perubahan iklan politik di Indonesia. Saat ini iklan politik lebih untuk membangun brand awareness, individual awareness, danparty awareness.”1

Dari sekian banyak penelitian tentang iklan politik yang telah dilakukan, para ahli komunikasi membagi efek iklan politik menjadi 3

(2)

kategori2; pertama adalah efek kognitif bagi pengetahuan pemilih,yang kedua efek afektif bagi presepsi pemilih terhadap kandidat,terakhir, efeknya terhadap kebiasaan pemilih termasuk preferensi pemungutan suara.

Penelitian menunjukkan bahwa iklan politik dapat menentukan pilihan para pemilih. Berikut beberapa kebiasaan masyarakat pemilih yang dipengaruhi oleh iklan politik3:

1. Jacobsen (1967), Reid dan Soley (1983), serta Craig dan Cherif (1988) membuktikan adanya hubungan antara perolehan suara yang didapatkan seorang kandidat dengan jumlah uang yang mereka keluarkan untuk kepentingan kampanye (baik secara keseluruhan atau hanya untuk iklan politik saja).

2. Penelitian lain yang dilakukan oleh Cundy (1986), Kaid dan Sanders (1978), serta Mulder (1979) membuktikan bahwa pemilih akan memilih seorang kandidat karena menilai pesan yang terkandung dalam iklan mereka.

3. Sementara itu hasil penelitian yang dirilis oleh Shaw pada tahun 1999 menunjukkan bahwa perolehan suara seorang kandidat meningkat saat dirinya tampil langsung dalam kampanyenya.

4. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rothschild dan Ray pada tahun 1974 menunjukkan bahwa suara pemilih yang tidak terlalu mengerti tentang politik dan pemerintahan akan sangat dipengaruhi oleh iklan.

Namun dalam penelitian-penelitian sebelumnya, belum ada yang memfokuskan obyek kajian mereka pada kaum pemilih pemula. Padahal kaum pemilih pemula notabene adalah kaum pemilih yang masih berada dalam usia remaja, dan secara psikologis masih belum stabil. Pilihan mereka akan lebih mudah dipengaruhi oleh pihak atau hal-hal dari luar diri mereka, berbeda dengan pemilih lama yang notabene sudah lebih dewasa.

B. Rumusan Masalah

2Lynda Lee Kaid, Handbook of Political Communication Research (London: Lawrence Erlbaum Associates, 2004), h. 167

(3)

Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah dalam pembuatan makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana perkembangan iklan politik TV di Indonesia?

2. Bagaimana Hubungan antara iklan politik dan presepsi pemilih pemula?

3. Bagaimana presepsi pemilih pemula di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM terhadap iklan politik TV Indonesia saat ini?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka peneliti dapat menuliskan tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:

1. Menjelaskan perkembangan iklan politik TV di Indonesia.

2. Mengetahui hubungan antara iklan politik dan presepsi pemilih pemula.

3. Mengetahu presepsi pemula di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM terhadap iklan politik TV Indonesia saat ini.

D. Kajian Teoritik

Negara demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah sebuah negara dimana pemerintahannya berasal, dikelola, dan didedikasikan untuk rakyat. Untuk itu negara demokrasi harus bisa menjamin hak-hak setiap individu di dalamnya, namun di sisi lain tetap menuntut mereka untuk menghargai hak-hak orang lain seperti yang sudah tertulis di dalam undang-undang. Negara demokrasi memiliki beberapa karakteristik, yaitu4:

1. Memiliki undang-undang atau konstitusi yang telah disepakati dan disetujui bersama sebagai dasar hukum tertinggi dari suatu negara. 2. Siapapun yang berpartisipasi dalam proses demokrasi harus sesuai

dengan apa yang disebut Bobio sebagai ‘substantial proportion of the people’.

3. Adanya keleluasaan untuk memilih.

4. Kemampuan masyarakat untuk memilih secara rasional.

Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, sangat menuntut adanya hubungan yang transparan antara pemerintah dan

(4)

masyarakat, atau biasa disebut dengan komunikasi politik. Denton dan Woodwards mendefinisikan Komunikasi Politik sebagai diskusi tentang alokasi sumber daya, kekuasaan resmi, dan sanksi resmi.5Komunikasi ini mencakup bentuk komunikasi verbal dan tertulis, namun tidak menyebutkan komunikasi simbolik, sementara Doris Graber menambahkan bahwa komunikasi ini juga mencakup bentuk komunikasi nonverbal seperti bahasa tubuh atau aksi-aksi politik seperti pemboikotan dan protes.6

Salah satu bentuk dari komunikasi politik adalah iklan politik. Iklan politik dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi dimana sebuah sumber (biasanya kandidat politik atau partai politik) membeli kesempatan untuk menunjukkan pesan-pesan politik mereka dengan tujuan mengubah perilaku, kepercayaan dan kebiasaan politik penerima pesan melalui saluran-saluran massa.7Definisi ini sesuai dengan model komunikasi yang dibuat oleh Berlo (1960) yaitu, source-message-channel-receiver-effect yang merupakan pengembangan dari model komunikasi tradisional rancangan Lasswell (1948).

Berikut ini merupakan skema yang menunjukkan elemen-elemen yang terlibat dalam proses komunikasi politik dalam sebuah negara:

5Ibid, h. 3 6Ibid

(5)

Iklan politik dapat kita kategorikan sebagai bentuk dari Kampanye Politik Modern. Kampanye Politik Modern adalah cara yang digunakan masyarakat dalam negara demokrasi untuk menentukan siapa yang akan memerintah mereka.8Kampanye politik sendiri merupakan salah satu bentuk komunikasi politik yang paling nyata, terlebih menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) seperti saat ini.

Dengan mudah kita dapat menjumpai berbagai bentuk kampanye politik mulai dari berbagai macam bentuk media luar ruangan seperti baliho, poster dan stiker, hingga yang paling modern adalah iklan politik di layar kaca bahkan internet. Kampanye politik ini diperkirakan akan terus meningkat frekuensinya, sampai ditetapkan masa akhir kampanye menjelang Pemilu 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Indonesia sedikit banyak telah merubah metode kampanye yang digunakan oleh kandidat-kandidat politik negeri ini. Kampanye politik yang awalnya didominasi oleh konvoi keliling kota, pidato politik, penempelan stiker, pemasangan baliho, pembagian pamflet, atau media luar ruangan yang lain, sekarang bergeser menjadi persaingan kampanye di layar kaca. Bentuk dari kampanye di layar kaca ini misalnya iklan politik, acara debat politik,

(6)

maupun acara-acara yang memang dibuat oleh sang kandidat sendiri dengan tujuan menarik simpati masyarakat.

Media memang memiliki perananan yang sangat penting dalam komunikasi politik, terutama dalam kampanye politik menjelang Pemilu. Perkembangan media massa di Indonesia, telah memberikan pengaruh yang besar terhadap metode kampanye yang dilakukan kaum elit politik masa kini. Kaum elit politik masa kini dituntut untuk dapat memaksimalkan manfaat dari media massa demi memenuhi tujuan politik dirinya maupun golongannya. Khusus untuk saat ini, tujuan dari sebagian besar kaum elit politik Indonesia adalah memenangkan Pemilu 2014 mendatang, dan memegang tonggak kekuasaan di Negeri ini.

Penggunaan media dalam kampanye politik, terutama media televisi ini dipacu oleh masalah “pencitraan”.

“Perkembangan demokrasi di tanah air memasuki era baru yang ditandai dengan kebangkitan para media strategis, image makers, dan konsultan politik di belakang tim sukses kampanye para calon presiden. Indonesia telah memasuki era “President for Sale” dimana kemenangan kandidat dalam Pemiluakan sangat ditentukan oleh kepiawaian konsultan politik dan biro iklan dalam menjual isu, citra diri, dan janji-janji politisi yang menjadi kliennya. Iklan-iklan politik di televisi menjual kandidat presiden, seperti produsen menjajakan sabun dan sikat gigi.”9

Hal ini sudah terbukti dalam Pemilu 2004 yang lalu. Kemenangan pasangan SBY-JK yang diusung Koalisi Kerakyatan dalam Pemilu Presiden dilihat sebagai kemenangan “citra” yang dikemas secara apik oleh tim komunikasi, mengalahkan pasangan Mega-Hasyim yang masih percaya pada kekuatan “mesin politik lama”, yaitu partai-partai politik besar-kecil yang tergabung dalam Koalisi Kebangsaan.10

Citra adalah segala sesuatu yang telah dipelajari seseorang, yang relevan dengan situasi dan tindakan yang bisa terjadi di

9T. Yulianti, “President for Sale”, dalam Akhmad Danial, Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru (Cet. I; Yogyakarta: LKis, 2009), h. 5

(7)

dalamnya.11Dalam citra tercakup aspek kognisi, afeksi dan konasi seseorang. Citra dengan kata lain merupakan kecenderungan yang tersusun dari pikiran, perasaan dan kesudian seseorang.Citra ini selalu berubah seiring dengan bertambahnya pengalaman seseorang.

Berikut ini adalah beberapa manfaat penting citra dalam dunia politik12: 1. Memberi jalan kepada seseorang untuk memahami peristiwa politik. 2. Memberikan dasar untuk menilai obyek politik.

3. Memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain.

Citra merupakan kebutuhan bagi semua orang.Hal ini disadari betul oleh para pelaku politik, dan mereka memanfaatkan hal ini untuk kepentingan dirinya maupun golongannya sendiri. Para pelaku politik mengungkapkan imbauannya dalam bentuk lambang untuk membangkitkan opini publik, terutama citra yang simpatik diantara khalayak massa.

Opini publik dapat diartikan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah dan bertanggung jawab atas tercapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.13 Opini publik sendiri memiliki beberapa karakteristik yaitu14:

1. Terdapat isi, arah, dan intensitas. 2. Ditandai oleh kontroversi.

3. Memiliki volume berdasarkan kenyataan bahwa kontroversi itu menyentuh semua orang yang merasakan konsekuensinya langsung dan tak langsung.

4. Relatif tetap.

Banyak yang menyamakan opini publik ini dengan presepsi publik, padahal opini dan presepsi merupakan dua hal yang berbeda walaupun keduanya sering berkaitan. Presepsi sendiri merupakan rangkaian dari

11Dan Nimmo, Political Communication and Public Opinion and America, diterjemahkan oleh Tjun Surjaman dengan judul Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek (Cetakan 3; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 4 12Ibid, h. 6-7

(8)

proses pemikiran yang terdiri dari tanggapan, penafsiran, pendapat, penilaian, pandangan atau reaksi seseorang terhadap suatu obyek yang menjadi perhatiannya.15 Dengan kata lain presepsi adalah salah satu unsur pembentuk opini.

Presepsi merupakan inti dari komunikasi, sedangkan rangkaian penafsiran merupakan inti presepsi yang identik dengan penyandian balik dalam proses komunikasi. Presepsi disebut inti komunkasi karena tanpa akurasi presepsi, komunikasi tak akan berjalan efektif. Presepsi adalah faktor terpenting dalam proses seleksi informasi, yaitu memilih sebuah pesan dan mengesampingkan pesan lain yang sejenis. Jadi hasil penangkapan makna dan pesan pada suatu produk komunikasi bisa disebut sebagai presepsi.

Pada setiap penyelenggaraan Pemilu terdapat golongan pemilih yang baru pertama kali berhak mendapatkan kesempatan memilih.Kelompok pemilih ini sering disebut sebagai pemilih pemula. Rentang usia mereka berkisar antara 17 hingga 21 tahun dan rata-rata berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.

Potensi suara pemilih muda patut diperhitungkan oleh partai politik dan calon legislatifnya.Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Komisioner KPU mengatakan bahwa,“Jumlah pemilih pemula pada Pemilu 2014 nanti mencapai 14 juta jiwa.”16Kelompok jenis ini jelas memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan pemilih yang sudah berpengalaman.

Suatu jajak pendapat yang diadakan Litbang harian Kompas pada 25 hingga 27 November 2008 menemukan bahwa mayoritasresponden yang merupakan pemilih pemula dan diwawancarai melalui telepon(86,4%) menyatakan akan menggunakan hak suara mereka dalam Pemilu.17 Alasannya adalah pemikiran bahwa hasil Pemiluakan berdampak pada kehidupan mereka baik langsung maupun tidak langsung.

E. Metode Penelitian

Tipe Penelitian

15Deddy Sumardi, “Memahami Perbedaan Presepsi dengan Opini”, deddysumardi.wordpress.com, 6 April 2012 16Deytrie Robekka Aritonang, “Pemilih Pemula Capai 14 Juta”, kompas.com, 25 Juli 2013

(9)

Menurut pendekatan analisisnya, penelitian untuk penulisan makalah ini termasuk dalam klasifikasi penelitian kualitatif.Penelitian kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah. Bahan analisis dalam makalah ini adalah hubungan antara fenomena iklan politik TV dengan presepsi masyarakat pemilih pemula.

Metode penelitian yang dipakai untuk membuat makalah ini adalah metode penelitian deskriptif.Metode penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, atau kejadian yang terjadi saat ini.Penelitian deskriptif hanya melakukan analisis sampai pada taraf deskripsi.Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang benar mengenai subyek yang diteliti.Kebanyakan pengolahan datanya didasarkan pada analisis presentase dan analisis kecenderungan (trend) tanpa mengaitkan dengan keadaan populasi dimana data tersebut diambil.

Sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui sumbernya, yaitu pihak-pihak yang terkait dengan masalah-masalah dalam penelitian. Peneliti menentukan kelompok populasi yang akan dijadikan responden, setelah itu mengambil sampel secara acak (random) dengan menyebarkan angket online pada responden.Data primer juga didapatkan peneliti dengan melakukan wawancara pada beberapa sampel.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan tidak berinteraksi langsung dengan obyek penelitian. Dalam makalah ini, peneliti memperoleh data-data melalui buku referensi, artikel di Internet, dan data lain seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PERKPU) menjelang Pemilu 2014.

(10)

Populasi merupakan keseluruhan unit yang dijadikan sebagai obyek analisis.Populasi dalam penelitian ini adalah kelompok pemilih pemula pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada khususnya mahasiswa angkatan tahun 2013.

Teknik Pengumpulan Data a. Survey

Yaitu suatu cara melakukan pengamatan di mana indikator mengenai variabel adalah jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diberikan kepada responden baik secara lisan maupun tertulis. Survey dilakukan satu kali, dan peneliti tidak berusaha mengatur atau menguasai situasi.Jadi perubahan dalam variabel adalah hasil dari peristiwa yang terjadi dengan sendirinya.

b. Wawancara

Yaitu teknik pengumpulan data dengan bertanya langsung kepada informan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan (interview guide). Peneliti berperan mengkomunikasikan pertanyaan-pertanyaan inti sebagaimana tertera dalam inverview guide sehingga informan dapat memahami pertanyaan tersebut. Dalam wawancara penulis dimungkinkan dapat menggali lebih jauh jawaban informan dengan pertanyaan-pertanyaan baru yang merupakan pengembangan dari pertanyaan inti dalam interview guide.

c. Observasi

Yaitu teknik pengumpulan data dengan cara pengamatan dan pencatatan yang dilakukan secara sistematis terhadap gejala-gejala sosial yang relevan dengan obyek penelitian. Penulis menggunakan observasi non partisan, yakni peneliti tidak secara penuh mengambil bagian dari kehidupan yang diteliti. Penulis hanya mengadakan pengamatan dan pencatatan terhadap sikap, pendapat, pengetahuan, pemahaman, kegiatan dan hal-hal lain yang sekiranya dapat mendukung penelitian.

(11)

Suatu teknik pengumpulan data dengan mengamati dan mempelajari data-data obyek penelitian dari buku-buku literatur, artikel-artikel, serta dari sumber-sumber lain yang berkaitan dengan permasalahan penelitian tersebut.

Teknik Analisis Data

Dalam analisa kualitatif, terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi bersamaan:

a. Menelaah sumber data, dimulai dengan keseluruhan data yang tersedia dari hasil wawancara, survey, observasi, studi pustaka maupun sumber lain.

b. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan hasil penelitian di lapangan. Melalui kegiatan ini peneliti dapat menggolongkan, mengarahkan dan mengorganisasi data sehingga dapat ditarik kesimpulan akhir.

c. Menarik kesimpulan atau verifikasi, merupakan langkah terakhir dari kegiatan analisis kualitatif. Penerapan kesimpulan ini tergantung pada besarnya kumpulan catatan di lapangan.

BAB II ISI

A. Iklan Politik TV di Indonesia

Peran media dalam proses demokrasi di Indonesia sangatlah krusial. Sistem pemerintahan demokrasi haruslah didukung oleh media yang bebas, sehat, dan aktif.18Media massa adalah sumber informasi paling

(12)

vital bagi masyarakat di negara demokrasi. Informasi sangat diperlukan masyarakat agar masyarakat bisa mengerti akan dinamika politik yang ada saat ini. Informasi ini juga dapat membantu mereka membentuk argumen yang kuat untuk menyikapi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Perkembangan media, terutama radio dan televisi memberikan dampak yang sangat signifikan dalam hal kampanye politik. Iklan politik awalnya hanya berbentuk komunikasi interpersonal dari mulut ke mulut, atau berbentuk komunikasi publik sepeti pidato bahkan debat politik yang hanya ditonton oleh beberapa orang. Kampanye politik yang awalnya hanya bisa dinikmati oleh ratusan atau ribuan orang berubah menjadi sebuah komunikasi massa tentang politik dengan melibatkan jutaan orang.

Saat ini televisi menjadi media yang banyak digunakan dalam kampanye-kampanye politik karena dianggap dapat menjangkau masyarakat secara lebih luas dan cepat. Kandidat politik ataupun partai politik tidak segan-segan menghabiskan milyaran uangnya demi membeli spot iklan politik di televisi. Mereka menganggap metode iklan di televisi ini adalah yang paling ampuh untuk menarik perhatian khalayak. Era iklan politik di layar kaca secara tidak langsung menimbulkan persaingan lain dalam bidang periklanan. Biro-biro iklan berlomba-lomba untuk menawarkan pelayanan terbaik mereka dalam membuat iklan yang paling efektif untuk menarik perhatian masyarakat dan membantu klien politisi mereka memenangkan Pemilu.

(13)

Di Amerika Serikat kampanye presidensial yang berbentuk iklan politik pertama kali ditayangkan tahun 1952.Iklan ini mempromosikan kandidat Dwight Eisenhower.19 Sejak saat itu, iklan politik menjadi sebuah hal yang sangat mendominasi proses politik di Amerika Serikat. Kandidat presiden di Amerika Serikat tidak segan-segan menghabiskan jutaan dolar uangnya untuk kepentingan iklan politik menjelang kampanye.

“Dikabarkan bahwa H.W. Bush and Dukakis sudah menghabiskan sekitar 80 juta dolar untuk kepentingan iklan politik di media elektronik pada tahun 1988. Pada Pemilu tahun 2000, giliran Al Gore dan George W. Bush yang menghabiskan lebih dari 240 juta dolar untuk kepentingan yang sama. Seiring berjalannya waktu, semakin fantastis pula jumlah dana yang dialokasikan para kandidat Pemilu presidensialnegara tersebut untuk kepentingan iklan.”20

Selain dengan dana fantastis yang biasa dihabiskan oleh kandidat presidennya, Amerika juga terkenal dengan praktek iklannya yang mengundang banyak kontroversi. Iklan politik di Amerika Serikat dianggap penuh dengan konten dan kritik yang negatif.Kebijakan yang membolehkan kandidat untuk mengkritik lawan politik dalam pidatonya membuat iklan kampanye politik di negeri tersebut dinilai sangat negatif dalam dua dekade terakhir.

Di Perancis iklan politik TVpertama kali muncul pada tahun 1956.Iklan politik ini dibuat untuk kepentingan Pemilu 2 Januari 1956.21 Tiap kandidat atau partai politik diberi waktu lima menit untuk beriklan, dan dibatasi oleh beberapa point peraturan, seperti menggambarkan penampilan kandidat, kondisi pengambilan gambar yang sama, dan persiapan untuk tampil sekitar tiga puluh menit.

Tahun 1994, giliran politisi negara Italia yang menggunakan metode Iklan Politik.Partai pertama yang mengeluarkan iklan politik adalah ‘Forza Italia’, sebuah partai yang didirikan oleh Silvio Berlusconi.Partai ini dideskripsikan sebagai sebuah media-party, partai yang tidak memiliki ideologi maupun struktur organisasi yang mengikat seperti parta-partai

19Brian McNair, Op. Cit, h. 101 20Brian McNair, Op. Cit, h. 96

(14)

lainnya.Sayangnya karena belum adanya aturan yang memadai untuk mengatur tentang iklan politik TV saat itu, terjadi eksploitasi potensi

political marketing oleh Forza Italia di negara tersebut.22

Sedikit lebih terlambat dari negara maju lainnya, politisi negara Jerman baru melihat potensi iklan politik di layar kaca pada tahun 2002. Sebelumnya kampanye di negara ini berkutat pada media radio saja. Acara di televisi menjelang pemilihan umum didominasi oleh debat-debat yang diadakan oleh partai politik. Baru pada tahun 2002, teknik kampanye politik bergeser menjadi lebih menekankan pembetukan ‘image’ sang kandidat dibandingkan dengan debat dari satu program ke program lain.23

Perbedaan peran yang dimainkan iklan politik maupun peraturan tentang iklan politik televisi di banyak negara dipengaruhi oleh sejumlah faktor.Misalnya sistem politik negara yang bersangkutan, sistem Pemilu, dan sistem pertelevisian yang berlaku di negara tersebut.Namun pada dasarnya, tujuan akhir dari pembuatan sebuah iklan politik adalah membuat khalayak berpendapat bahwa sosok kandidat maupun visi-misi yang mereka junjung adalah yang paling tepat untuk negara mereka.

Di Indonesia sendiri, iklan politik sudah menjadi bagian yang sangat identik dengan Pemilu.Sudah sejak akhir tahun 2012 yang lalu, kita dijejali oleh berbagai macam usaha persuasif partai-partai politik maupun calon-calon presiden negeri ini.Baliho, spanduk, poster dan media luar ruangan lainnya dianggap sudah mulai ketinggalan jaman dan merusak keindahan lingkungan.Walaupun begitu, metode konvensional ini masih tetap digunakan oleh beberapa kandidat maupun partai politik.

Kampanye politik menjelang Pemilu 2014, kini di dominasi oleh iklan politik di televisi.Jika kita ingat, sejak akhir tahun 2012 lalu, iklan-iklan politik di televisi sudah mulai beredar.Dimulai dari iklan partai Nasional Demokrasi (Nasdem), sebuah partai baru besutan Surya Paloh, diikuti oleh iklan politik yang mempromosikan kandidat dari parta Golongan Karya (Golkar), Aburizal Bakrie.

Selanjutnyadisusul oleh pentolan partai Gerindera, Prabowo Subianto dan sampai Desember 2013 ini semakin banyak saja calon presiden yang

(15)

mengedarkan iklan politiknya di saluran-saluran TV dalam negeri. Bahkan salah satu pasangan kandidat politik yaitu Wiranto dan Hari Tanoe sudah memiliki program kampanye sendiri di sebuah stasiun televisi swasta milik Hari Tanoe.

Sebenarnya isu iklan politik ini sudah mulai diungkit pada era Pemilu tahun 1992, alasannya karena kampanye yang bersifat hura-hura di luar ruangan, seperti pawai dan konvoi sangat rawan kriminalitas.Bentrokan antar pendukung parpol sangat sering terjadi selama pelaksanaan konvoi.Hal ini membuat Kasospol ABRI saat itu, Letjen Harsudiono Hartas mengusulkan agar format kampanye kedepannya dapat memberikan pendidikan politik yang baik bagi rakyat.

Sayangnya pada masa itu metode ini masih urung diterapkan. Padahal di Amerika Serikat, metode kampanye dengan menggunakan sarana media massa sudah mulai diterapkan sejak tahun 1988. Saat itu mantan presiden George W.H. Bush menggunakan iklan politik yang tergolong kasar namun efektif untuk memojokkan lawan politiknya pada Pemilu, Michael Dukakis.

DalamPemilu tahun 1997 konteks perpindahan Pemilu dari jalan raya ke layar kaca mulai dianggap penting, dan ini menimbulkan kesadaran peserta Pemiluagar lebih memanfaatkan media massa untuk kampanye meskipun belum berbentuk iklan politik. Pada bulan Desember 1998, barulah iklan politik di televisi mulai muncul.PKB menjadi partai pertama yang menayangkan iklan politiknya di saluran televisi dalam negeri, TPI.

Sayangnya pada masa itu kelahiran iklan politik belum didukung oleh adanya regulasi iklan politik yang memadai, dan celakanya hal itu masih tetap berlanjut pada Pemilu selanjutnya di tahun 2004.Sejumlah catatan mengenai televisi dan iklan politik di dalamnya hanya dibahas secara sekilas. Peraturan tentang iklan politik di layar kacapun belum membahas secara detail tentang penayangan iklan-iklan ini.

(16)

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1 tahun 2013. Hal ini dilakukan agar kampanye yang dilakukan pihak-pihak terkait tetap menjunjung asas-asas keadilan dan sesuai dengan ketentuan jurnalistik yang ada.

Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 tahun 2013 pasal 59A, tercantum ketentuan bahwa Pejabat Negara, Pimpinan dan Anggota DPRD yang menjadi calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dilarang menjadi pemeran iklan layanan masyarakat institusinya pada media cetak, media elektronik atau media luar ruang, 6 (enam) bulan sebelum hari pemungutan suara.Jelas tercantum bahwa pihak yang melakukan kampanye dilarang menjadi pemeran iklan yang mereka edarkan di Media apapun.

Aturan ini diberlakukan untuk menghindari tingkat subjektifitas pemilih yang memilih atau tidak memilih suatu partai, calon legislatif ataupun pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya berdasarkan sosoknya saja.Hal ini tentunya baik untuk menghindari pemilih yang memilih calon legislatif hanya berdasarkan popularitasnya saja.Sayangnya aturan ini masih sering dilanggar oleh para oknum politik.

Iklan politik memang sudah lebih dulu dikenal oleh Amerika dan dapat dikatakan bahwa ini merupakan gaya kampanye model baru di Indonesia pasca orde baru dan sebuah proses “Amerikanisasi”. Proses ini ditandai dengan dua gejala spesifik yaitu kampanye berbiaya tinggi dan adanya permainan citra.

Pada Pemilu 2004 lalu, Indonesi Corruption Watch mencatat jumlah biaya yang dihabiskan partai-partai politik di Indonesia untuk kepentingan kampanye sebagai berikut24:

1. PDI Perjuangan : Rp. 1.892.070.

2. Partai Golkar : Rp. 644.316.500.

3. PAN : Rp. 437.981.500.

4. PKS : Rp. 357.300.000.

5. PKB : Rp. 243.711.500.

6. PPP : Rp. 157.675.000.

7. PKPB : Rp. 146.215.175.

(17)

8. PBB : Rp. 96.585.000. 9. PBR : Rp. 67.987.500.

10. Partai Demokrat : Rp. 64.530.000.

11. PNBK : Rp. 17.713.000.

12. PIB : Rp. 21.420.000.

13. PDK : Rp. 48.000.000.

Data diatas memang cukup mengejutkan, mengingat nominal fantastis yang rela dikeluarkan partai-partai politik untuk kepentingan kampanye mereka. Dalam artikel yang sama bahkan diungkapkan bahwa, PDI Perjuangan tercatat sudah mengeluarkan sekitar Rp. 27.000.000, khusus untuk iklan politik di televisi saja.Disusul oleh Partai Golkar yang mengeluarkan Rp. 14.000.000 untuk pemasangan iklan di televisi.

Hal serupa juga terjadi dalam Pemilu tingkat daerah (Pilkada). Situs berita online tempo.co mengungkapkan,

“Pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, audit KPU melaporkan bahwa pasangan Jokowi-Ahok menerima Rp. 16.310.000.00 sebagai dana kampanye, dan menggunakan Rp. 16.090.000.000 dari keseluruhan dana tersebut untuk kepentingan kampanye politik baik yang berupa iklan politik maupun rapat-rapat umum pada putaran pertama. Jumlah yang lebih fantastis dihabiskan oleh pasangan Foke-Nara. Kubu ini memiliki pemasukan dana kampanye hingga Rp. 62.630.000.000 dan menggunakan RP. 62.570.000.000 dari dana tersebut untuk kampanye.”25

Iklan politik memang merupakan bagian dari strategi pengenalan diri dan mengambil hati audiens.Iklan politik sebenarnya tidak hanya sebagai alat beriklan, namun juga untuk meningkatkan popularitas agar dikenal dan dipilih. Dengan adanya pesan visual dan verbal yang bersifat lokal, akan sangat mudah untuk merubah pandangan politik dan presepsi masyarakan dengan sinisme politik.

B. Iklan Politik TV dan Presepsi Pemilih Umum Devlin (1986) menyebutkan 8 tipe iklan politik TV26:

(18)

1. Iklan Primitif: Biasanya artifisial, kaku, dan tampak dibuat-buat. 2. Talking Heads: Dirancang untuk menyoroti isu dan menyampaikan

citra bahwa kandidat mampu menangani isi tersebut dan melakukannya nanti.

3. Iklan Negatif: Menyerang kebijakan kandidat atau partai lawan.

4. Iklan Konsep: Dirancang untuk menggambarkan ide-ide besar dan penting mengenai kandidat.

5. Cinema-Verite: Menggunakan situasi informal dan alami, misalnya dengan menanyangkan kandidat yang sedang berbicara akrab dan spontan dengan rakyat kecil, atau satu sisi kehidupan pribadi keluarganya, atau dunia pekerjaannya.

6. Iklan Kesaksian: Wawancara pada orang yang secara dipilih secara acak untuk merepresentasikan dukungan rakyat biasa pada kandidat yang bersangkutan.

7. Testimonial: Hampir mirip dengan Iklan Kesaksian, namun wawancara dilakukan pada seseorang yang terpandang atau cukup terkenal .

8. Reporter Netral: Rangkaian laporan yang terkesan netral megenai kandidat atau lawannya dan memberikan kesempatan kepada pemirsa untuk memberikan penilaian.

Dalam Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013, pada pasal 9 dan 10 disebutkan bahwa materi kampanye Partai Politik peserta Pemilu meliputi visi, misi dan program partai politik untuk meyakinkan dan mendapatkan dukungan pemilih. Dalam Peraturan KPU Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye, Pasal 18 dijelaskan bahwa iklan politik haruslah memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye dengan menentukan durasi, frekuensi, bentuk dan substansi penyiaran berdasarkan kebijakan redaksional.

(19)

ini. Kepemilikan saluran televisi sedikit banyak memicu media massa ikut menjadi aktor politik, bukan lagi sekedar fasilitator dalam proses politik. Beberapa stasiun TV menyediakan ruang kepada pemiliknya untuk menyiarkan iklan politik mereka banyak-banyaknya, dan menekan bahkan sama sekali tidak memberikan ruang untuk beriklan bagi pihak lawannya. Di stasiun televisi Global TV bahkan ada sebuah program khusus yang digagas oleh pasangan Wiranto-Hari Tanoe (Win-HT).

Masih dalam pasal yang sama, poin kedua menyebutkan bahwa materi dan substansi peliputan berita harus sesuari dengan peraturan perundang-undangan dan kode etik jurnalistik. Kita tahu sendiri bahwa sebuah berita haruslah obyektif dan sesuai dengan fakta yang ada.Yang terjadi saat ini adalah, banyak berita yang dibelokkan untuk kepentingan politik. Membentuk sebuah citra baik suatu partai dan cenderung memberi frame negatif pada pihak lawannya.

Contoh kasusnya dapat kita lihat pada pemberitaan kasus penyuapan Ratu Atut dan Akil Mochtar. Di stasiun Metro TV, berita yang disiarkan cenderung menekankan pada hubungan antara Ratu Atut yang merupakan anggota Partai Golongan Karya (Golkar), dan Akil yang merupakan mantan anggota partai yang sama dengan pola komunikasi internal di dalam partai Golkar yang dianggap tidak bersih. Sedangkan di stasiun televisi lain, yaitu TV ONE sama sekali tidak membahas tentang partai golkar bahkan cenderung menegaskan bahwa hal itu tak ada kaitannya dengan partai. Pemberitaan hanya berfokus pada individu Ratu Atut dan Akil Mochtar sendiri.

Dominasi iklan kampanye Pemilu komersial yang menggeser keberadaan iklan layanan masyarakat juga sebenarnya merupakan pelanggaran dari pasal 45 Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013. Masih dalam pasal yang sama, diatur pula bahwa media harus menanyangkan iklan kampanye Pemilu layanan non partisipan paling tidak sekali dalam sehari dengan durasi 60 detik, namun aturan ini juga tak diindahkan oleh oknum-oknum yang bersangkutan.

(20)

lalu sudah dapat dikategorikan sebagai kampanye dini. Hadar Nafis Gumay, Komisioner KPU dalam wawancaranya dengan Kompas mengungkapkan bahwa,

“Idealnya Undang-Undang Pemilu maupun Undang-Undang Pemilihan Presiden dibuat secara detail namun wewenang tersebut ada di DPR dan pemerintah. KPU juga akan menggandeng Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi jalannya kampanye di media, namun KPI juga tidak dapat menjerat oknum media massa yang melakukan pelanggaran ini”27

Fajar Junaedi, penulis buku ‘Komunikas Politik: Teori, Aplikasi, dan Strategi di Indonesia’ dalam peluncuran bukunya tersebut 19 Juni 2013 yang lalu mengatakan bahwa

“Biaya tinggi yang dikeluarkan kandidat untuk kepentingan iklan politik tidak sebanding dengan bentuk iklan yang dalam tataran kreativitas dan eksekusi masih jauh dari kata baik.Harus kita akui bahwa meskipun kebanyakan dari iklan politik di Indonesia bukan termasuk kategori negatif ataupun menyerang, iklan politik di negara ini dapat dibilang masih sangat kaku dan tradisional.”28

Walaupun begitu, dalam pasal selanjutnya tetap diatur cara penyampaian dan penyusunan materi kampanye tersebut.Misalnya dengan menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, tidak menggangu kepentingan umum, mendidik, bijak, beradab, santun, dan sebagainya.

Iklan politik yang saat ini ada di Indonesia hanya memperlihatkan sisi ketokohan saja, tidak menampilkan ide atau gagasan bagi bangsa ini. Hamdi Muluk, Pengamat Psikologi Politik Universitas Indonesia mengatakan bahwa, iklan politik merupakan pengalih perhatian masyarakat dari sisi negatif sang tokoh. Politisi saat ini sedang membangun karakter mereka melalui dasar marketing, bukan lagi dengan pengabdian pada masyarakat.29

27Sabrina Asril, “Iklan Politik Merajalela, KPU Mengaku Tak Berdaya”, kompas.com, 11 Desember 2013 28Bambang Sutopo Hadi, “Akademisi: Iklan Politik di Indonesia Cenderung Kaku”, antaranews.com, 19 Juni 2013

(21)

Fenomena yang belakangan ini muncul adalah iklan politik yang selalu mempertontonkan kehidupan rakyat kaum menengah kebawah, ataupun kaum yang terpinggirkan sekaligus menjadikan mereka pemeran iklan mereka. Jika mereka tidak bisa menimbun suara dengan memanfaatkan popularitas yang dimiliki sosok dalam partai mereka, maka kini mereka menemukan strategi lain yaitu dengan menunjukkan betapa besar kepedulian mereka terhadap rakyat kecil ini.

Hampir semua iklan politik yang kita lihat di televisi menyorot kehidupan kaum menengah kebawah ini.Kelompok masyarakat yang disorot dalam iklan politik ini bermacam-macam, mulai dari kaum petani, nelayan, pedagang kecil, masyarakat di pedalaman, siswa-siswi yang tidak mendapatkan fasilitas belajar yang layak, dan sebagainya. Intinya dalam iklan tersebut mereka ingin menunjukkan bagaimana calon presiden atau partai politik yang diiklankan didalamnya sangat mengayomi dan peduli terhadap nasib rakyat kecil. Pesan tersirat dari iklan-iklan ini adalah bagaimana mereka akan menyejahterakan rakyat kecil tersebut jika tonggak kekuasaan ada di tangan mereka nantinya.

Sasaran dari iklan mereka ini dapat dipastikan adalah kaum-kaum menengah kebawah, dengan tingkat pendidikan rendah yang notabene masih sangat awam dengan dunia politik dan cenderung lebih mudah terbuai oleh janji-janji manis. Saat ini televisi sudah bukan lagi menjadi barang mewah bagi masyarakat Indonesia, hampir semua orang memiliki televisi di rumah mereka walaupun mereka bukanlah kaum menengah ke atas dengan latar belakang pendidikan yang tinggi.

(22)

Rakyat kecil dijadikan sasaran utama dalam iklan-iklan politik yang beredar saat ini, karena sebagian besar penduduk Indonesia masih tergolong kaum menengah kebawah dengan tingkat pendapatan serta pendidikan yang rendah.Status negara Indonesia yang masih merupakan negara berkembang, menyebabkan isu-isu kesejahteraan dan pembangunan nasional menjadi sorotan utama. Di Indonesia yang merupakan negara agraris, isu swasembada pangan menjadi signifikantermasuk swasembada produk lokal lain selain pangan.

Iklan yang ada seperti sekarang ini diharapkan dapat membentuk presepsi masyarakat yang baik terhadap kandidat yang bersangkutan.Para kandidat ingin membentuk citra yang baik atas dirinya kepada publik.Hal ini perlu untuk menarik simpati rakyat, agar mereka memilih kandidat tersebut saat pemilu nanti.

Secara etimologis presepsi berasal dari bahasa latin‘preceptio’ atau

‘precipere’ yang berarti menerima atau mengambil. Dalam arti sempit Leavitt mendefinisikan presepsi sebagai pengelihatan atau bagaimana cara seseorang melihat sesuatu. Dalam arti luas, Leavitt mendeskripsikan presepsi sebagai pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.30

Presepsi merupakan proses menilai sehingga memiliki sifat evaluatif dan cenderung subjektif. Evaluatif, karena dengan presepsi seorang individu dapat menilai baik, buruk, positif atau negatif sebuah rangsangan inderawi yang diterimanya.Cenderung subjektif, karena setiap individu memiliki perbedaan kapasitas menangkap rangsangan inderawi. Selain itu setiap individu memiliki perbedaan filter konseptual dalam melakukan presepsi, sehingga pengolahan rangsangan pada tiap individu akan menghasilkan makna yang berbeda pula.

Alex Sobur, dalam bukunya ‘Psikologi Umum’ (2003:447) memberikan 3 tahap proses intepretasi31:

1. Seleksi : Penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas, dan jenisnya.

(23)

2. Intepretasi: Mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang.

3. Reaksi: Tingkah laku setelah berlangsung proses seleksi dan interpretasi.

Jadi proses presepsi adalah melakukan seleksi, interpretasi dan pembulatan terhadap informasi yang sampai, serta melakukan reaksi atas informasi tersebut. Presepsi sering dihubungkan dengan sensasi.Desiderato mengungkapkan bahwa dalam menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tapi juga ekspektasi, motivasi, dan memori.David Krech dan Ricard S. Crutcfied menyebutnya sebagai faktor fungsional dan struktural.32

Faktor fungsional berasal dari keutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang disebut sebagai faktor-faktor personal.Presepsi tidak ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, melainkan karakteristik pemberi respon stimuli tersebut.Sedangkan faktor struktral berasal dari stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan sistem saraf individu.

Antusiasme yang tinggi sementara keputusan pilihan yang belum bulat sebenarnya menempatkan pemilih pemula sebagai ‘swing voters’ yang sesungguhnya. Pilihan politik mereka belum dipengaruhi motivasi ideologis tertentu dan lebih didorong konteks dinamika lingkungan politik lokal.Pemilih pemula mudah dipengaruhi kepentingan tertentu, terutama oleh orang-orang terdekat mereka.

Faktor yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pandangan pemilih pemula tersebut dapat dikategorikan sebagai faktor kondisional.Faktor kondisional setidaknya meliputi dua macam, yakni faktor keluarga dan kelompok teman sebaya.Faktor kondisi dan latar belakang keluarga seperti agama, suku, ras, besaran uang saku, dan ideologi politik orang tua dapat cukup berpengaruh terhadap pandangan dan pilihan politik pemilih pemula.Selain itu kelompok teman sebaya yang notabene adalah lingkungan pergaulan seseorang diluar rumah juga turut berpengaruh pada pandangan hidup dan perilakunya.

(24)

Iklan sangat bermanfaat bagi partai dan kandidat politik untuk mempengaruhi dan menjaring pemilih.Untuk pemilih, iklan diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih.Iklan memiliki kemampuan besar dalam mempengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat.Dan ini merupakan hal yang sangat vital dalam kampanye politik. Iklan politik dianggap sebagaicara yang efektif dalam mengomunikasikan program kerja, pesan politik, pembentukan image partai maupun kandidat yang bersangkutan.

C.Iklan Politik TV dalam Presepsi Pemilih Pemula

Frekuensi

Dalam Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 pasal 42 disebutkan bahwa, batas maksimum pemasangan iklan kampanye Pemilu di televisi untuk setiap Peserta Pemilu secara kumulatif sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun televisi setiap harinya selama masa kampanye.

Dari hasil survey yang peneliti lakukan terhadap 37 orang pemilih pemula di dalam populasi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UGM angkatan tahun 2013, sekitar 27,02% responden mengaku bahwa iklan politik yang mereka lihat setiap harinya berkisar antara 4 hingga 6 kali saja. Sebagian besar responden (67,57%) mengakui bahwa iklan politik yang mereka lihat di televisi frekuensinya hanya sekitar 1 hingga 3 kali dalam sehari. Sisanya, menyatakan bahwa iklan politik yang mereka lihat frekuensinya mencapai 6 hingga 9 kali sehari.

(25)

Sedikit lebih banyak, sekitar 54,06% responden lagi dapat memaklumi adanya iklan politik televisi. Iklan politik di televisi adalah hal yang wajar menjelang kampanye seperti saat ini, dan mereka tidak merasa terganggu dengan keberadaannya.Beberapa bahkan berpendapat bahwa iklan politik di televisi lebih baik dibandingkan media luar ruangan seperti pamflet, spanduk, baliho dan sebagainya yang menggunakan kertas dan pada akhirnya hanya menjadi sampah di jalanan serta merusak keindahan lingkungan.

Penggambaran Sosok Kandidat Informan 1 :

Ngga bisa tergambar.Beberapa iklan politik justru malah membentuk opini publik yang negatif terhadap kandidat yang bersangkutan.

Informan 2 :

Menggambarkan, tapi ujungnya malah menjatuhkan diri kandidat itu sendiri.Iklannya menggambarkan citra baik kandidat, padahal masyarakat juga sudah tahu kejelekan dari kandidat tersebut.

Informan 3 :

Iklan politik cukup menggambarkan sosok yang diiklankan. Informan 4 :

Penggambaran kandidat dengan iklan politik cukup jelas. Informan 5 :

Tidak.Iklan politik saat ini cenderung melebih-lebihkan dan hanya berisi penggambaran sisi positif dari kandidat yang diiklankan.Iklan politik penuh pencitraan.

Informan 6 :

Tidak mungkin bisa.Karena iklan itu adalah pencitraan.Yang tergambar di iklan adalah pencitraan.

Informan 7 :

(26)

Iklan Politik yang Negatif atau Menyerang Informan 1 :

Ada iklan yang menyerang lawan.Tapi sebenarnya itu tak ada gunanya. Daripada menyerang pihak lain, lebih baik memperbaiki diri sendiri dulu.

Informan 2 : Tidak ada.

Informan 3 : Tidak ada.

Informan 4 : Ada.

Informan 5 :

Secara langsung tidak ada, tapi yang menyindir-nyindir kandidat lain ada.

Informan 6 : Ada.

Informan 7 : Tidak.

Edukasi dari Iklan Politik Informan 1 :

Tidak.Iklan politik hanya sekedar menarik orang untuk memilih kandidat yang diiklankan.Iklan politik yang mendidik harusnya lebih mengutamakan pemberian gambaran pemerintahan dan politik yang baik dari pada persuasi.

Informan 2 : Tidak.

Informan 3 :

Tidak.Iklan politik hanya menunjukkan janji-janji kosong saja. Informan 4 :

(27)

Informan 5 :

Tidak.Terutama iklan politik yang cenderung negatif dan menyerang pihak lainnya.

Informan 6 :

Tidak.Iklan politik lebih kepada menyeru-nyerukan diri mereka. Informan 7 :

Tidak.

Kejelasan Visi dan Misi Informan 1 :

Tidak bisa menangkap visi-misi kandidat dari iklan.Saya lebih suka iklan yang menunjukkan bukti nyata pengabdian kandidat pada negara.

Informan 2 :

Tidak bisa menangkap visi-misi kandidat dari iklan karena kandidat hanya memamerkan prestasinya saja.

Informan 3 : Tidak terlalu.

Informan 4 :

Visi-misi kandidat cukup terlihat jelas dari pemaparan program kerja kandidat kedepannya jika terpilih.

Informan 5 :

Tidak bisa.Iklan politik lebih condong ke pencitraan kandidat yang diiklankan.

Informan 6 :

Bisa.Visi dan misi kandidat tercermin dari jargon-jargon yang diserukan kandidat politik dalam iklan.

Informan 7 :

Bisa namun samar-samar karena visi-misi tersebut hanya disampaikan secara tersirat.

(28)

Informan 1 :

Iklan politik di Indonesia masih jauh dari kata bagus.Iklan yang kreatif, mendidik, dan original itu tidak harus selalu berlebihan dan tak masuk akal.Kebanyakan iklan di Indonesia itu berlebihan dan tidak masuk akal.

Informan 2 :

Tidak. Karena semua iklan politik itu intinya sama saja. Informan 3 :

Tidak terlalu.Beberapa iklan politik yang beredar di Indonesia hanya meniru iklan yang disiaran di luar negeri.

Informan 4 :

Menarik.Tapi kebanyakan latar dari iklan tersebut adalah di daerah pinggiran seperti kampung pertanian atau nelayan, padahal masyarakat Indonesia bukan hanya mereka.Jarang ada iklan yang menyorot kehidupan masyarakat Indonesia Timur.

Informan 5 :

Kalau untuk orang awam memang terlihat bagus.Tapi untuk orang yang sudah mengerti tentang dunia periklanan, iklan-iklan politik di Indonesia itu terkesan lucu.

Informan 6 :

Iklan politik di Indonesia itu monoton dan tidak menarik. Informan 7 :

Iklan politik di Indonesia isinya monoton dan kurang kreatif.

Efektifitas

(29)

dan sebagainyalah yang merupakan cara kampanye politik yang paling efektif.

Fenomena iklan politik TV saat ini yang selalu mengambil latar atau menyorot kehidupan masyarakat menengah kebawah atau kaum pinggiran dinilai oleh sebagian besar responden (72,97%) sebagai salah satu strategi iklan politik televisi yang efektif untuk diterapkan di Indonesia, bahkan 78,37% dari responden berpendapat bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan perolehan suara kandidat yang bersangkutan dalam Pemilu.

Pendapat responden tersebut berdasarkan pada kenyataan yang ada di Indonesia.Sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih berada dalam kategori miskin bahkan di bawah garis kemiskinan. Akibatnya mereka-mereka ini dengan pengetahuan politik yang seadanya, mudah terpengaruh dengan iklan-iklan politik yang menunjukkan betapa sang kandidat sangat mengayomi dan berkeinginan kuat untuk menyejahterakan rakyat kecil.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini mencoba menyajikan kenyataan tentang bagaimana iklan politik yang ada di Indonesia saat ini dalam presepsi pemilih pemula selama masa kampanye Pemilu legislatif tahun 2014 nanti.Penelitian ini mengkaji tentang iklan politik itu sendiri.Mulai dari sejarahnya hingga bentuk-bentuk iklan politik yang ada saat ini.

(30)

diterapkan pada tahun 1998.Hal ini salah satunya dipicu oleh metode kampanye dengan konvoi yang paling sering digunakan saat itu dinilai rawan konflik dan kriminalitas.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi yang ada, regulasi yang mengatur tentang iklan politik terutama di televisi terus di revisi.Hal ini bertujuan agar iklan politik yang beredar di Indonesia bisa menjadi sebuah iklan politik ideal, dimana iklan tersebut bisa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Regulasi tentang iklan politik juga dibuat dengan tujuan agar iklan-iklan politik yang ada di Indonesia dapat jauh dari kategori ‘negative advertisement’ maupun ‘attacking advertisement’.

Selanjutnya mengenai bentuk dari iklan politik televisi yang saat ini banyak beredar di Indonesia.Kebanyakan dari pemilih pemula beranggapan bahwa iklan politik yang ada sekarang ini cenderung monoton dan kurang menarik.Mulai dari ide iklan itu sendiri yang kurang kreatif.

Iklan politik yang banyak ditayangkan di layar kaca saat ini originalitas idenya patut dipertanyakan.Beberapa bagian dalam iklan politik di Indonesia dapat dikatakan mirip dengan iklan politik yang ada di luar negeri. Selain itu, hampir semua iklan politik yang tayang di Indonesia memiliki ciri-ciri yang sama.

Pertama, iklan politik di Indonesia keseluruhan merupakan pencitraan kandidat yang beriklan.Iklan politik di Indonesia saat ini tidak ada bedanya dengan iklan komersial yang mempromosikan sebuah barang atau jasa.Jika iklan komersial dibuat untuk memaksimalkan keuntungan penjualan, maka iklan politik dibuat untuk memaksimalkan perolehan suara kandidat dalam Pemilu.Barang dan jasa ditukar dengan uang, sedangkan pencitraan diri kandidat ditukar dengan suara.

(31)

ini, jarang sekali ada iklan yang menampilkan visi-misi kandidat secara gambling seperti beberapa tahun yang lalu.

Ketiga, latar iklan yang selalu menyorot kehidupan rakyat menengah kebawah ataupun lingkungan yang kumuh.Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa iklan politik di Indonesia saat ini hampir selalu menunjukkan kegiatan ‘blusukan’ yang dilakukan oleh kandidat.Yang berbeda mungkin hanya fokus para kandidat ini saja.

Kita sebut saja iklan pasangan Win-HT yang lebih menekankan pada bidang pendidikan moral.Bahkan pasangan ini sekarang memiliki sebuah program acara di salah satu stasiun televisi swasta negeri ini.Sementara itu Prabowo lebih memfokuskan iklannya pada bidang pertanian dan agraria.Aburizal Bakrie dan Hatta Radjasa memiliki fokus yang cukup sejenis, yaitu perhatian pada pedagang kecil dan usaha kecil maupun menengah.

Ada sebuah iklan politik dari satu partai, yaitu Nasdem yang cukup berbeda dengan iklan politik lainnya.Iklan politik Nasdem ini lebih menekankan pada keragaman etnis dan budaya, serta keindahan alam negara Indonesia.Arti tersirat dari iklan ini adalah semangat persatuan dan kesatuan. Sayangnya durasi iklan ini terlalu panjang, sehingga iklan ini hanya tayang di stasiun televisi Metro TV yang notabene merupakan milik Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem sendiri.

Selanjutnya dari penelitian ini ditemukan fakta bahwa pemilih pemula di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM angkatan tahun 2013 memiliki presepsi yang cukup seragam mengenai iklan politik TV ini. Peneliti mengkaji presepsi pemilih pemula dengan melakukan 3 tahapan proses presepsi, yaitu seleksi, interpretasi dan reaksi.

1. Seleksi

(32)

disimpulkan bahwa hingga penghujung tahun ini frekuensi dari iklan politik yang tayang di televisi masih sesuai dengan peraturan yang berlaku.

2. Interpretasi

Kandidat politik yang menampilkan dirinya dalam iklan dinilai cukup negatif oleh pemilih pemula.Pemilih pemula menganggap itu sebagai suatu bentuk narsisme.Dalam peraturan KPU Nomor 15 tahun 2013, pasal 59 A padahal disebutkan bahwa kandidat politik dilarang memunculkan dirinya dalam sebuah iklan politik.Nyatanya ini banyak dilanggar oleh kandidat yang bersangkutan.

Sebagian besar responden menilai bahwa hal seperti itu tidak terlalu berguna juga karena mereka memilih seorang kandidat bukan semata-mata berdasarkan penampilan sosok tersebut lewat iklannya.Visi-misi dan reputasi sosoklah yang menadi pertimbangan mereka dalam memilih seorang kandidat politik dalam Pemilu nantinya.

Pemilih pemula mengakui bahwa iklan politik di Indonesia saat ini masih belum bisa menarik perhatian mereka, walaupun mereka mengakui bahwa iklan sedikit banyak akan memberikan pengaruh pada perolehan suara kandidat yang bersangkutan dalam Pemilu. Iklan politik di Indonesia saat ini cenderung monoton dan terlalu melebih-lebihkan sosok yang diiklankan.Hampir setengah dari responden bahkan mengaku terganggu dengan adanya iklan politik di Indonesia.

Pemilih pemula juga mengaku bahwa mereka kesulitan menangkap visi-misi atau program kerja kedepan yang diusung oleh para kandidat politik ini.Lagi-lagi karena iklan politik di Indonesia lebih menyoroti jasa-jasa dan prestasi baik kandidat, sehingga visi-misi mereka hanya tersirat dalam iklan dan terkadang sulit dimengerti. Mereka hanya dapat mengerti visi dan misi dari sang kandidat lewat jargon atau tagline yang diserukan olehnya atau ditayangkan pada akhir iklan.

(33)

Pemilih pemula yang menjadi responden penelitian ini notabene memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang komunikasi, dan otomatis cukup mengerti tentang dunia periklanan.Hampir seluruh responden menyatakan bahwa iklan politik di Indonesia masih belum bisa dikatakan bagus dan menarik.Iklan politik di Indonesia cenderung monoton dan tidak kreatif.Hal ini tentunya kurang sepadan dengan biaya yang telah mereka alokasikan untuk kepentingan iklan politik ini.

Menurut mereka masyarakat Indonesia sebagian besar tidak cukup terbelakang untuk dapat dengan mudah terpengaruh oleh iklan yang monoton seperti itu.Walaupun rakyat Indonesia masih banyak yang memiliki pengetahuan politik yang terbatas, namun mereka sudah tahu bagaimana karakter kandidat yang beriklan itu sebenarnya dari pemberitaan-pemberitaan yang ada.

Distribusi spot iklan yang tidak merata karena swastanisasi saluran televisi juga menjadi masalah yang cukup banyak disorot oleh responden. Iklan kandidat ini hanya ada di stasiun televisi ini dengan spot yang banyak dan durasi yang panjang. Sedangkan di stasiun lain, kandidat lainlah yang menguasai spot iklan mereka.

Sebagian besar pemilih pemula mengakui bahwa mereka lebih menyukai kampanye politik yang dilakukan dengan debat atau pidato politik. Argumen mereka adalah, dengan debat politik mereka bisa benar-benar menilai kualitas sang kandidat tersebut. Sementara dengan pidato politik mereka bisa mengetahui dengan jelas apa visi dan misi serta program kerja kedepan yang diusung oleh kandidat ini.

(34)

B. Saran

Pembuatan iklan untuk kandidat politik di Indonesia haruslah direncanakan dengan matang dan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dituju sebagai sasaran iklan.Perlunya strategi periklanan yang tepat untuk mewujudkan sebuah iklan politik yang baik dan sepadan dengan nominal uang fantastis yang dikeluarkan oleh kandidat yang bersangkutan.Kreatifitas dan originalitas iklan politik merupakan faktor utama yang harus diperhatikan untuk membuat sebuah iklan politik yang menarik.

Iklan merupakan sebuah instrumen untuk membentuk citra kandidat politik, namun alangkah baiknya jika pencitraan ini tidak selalu diungkapkan secara terang-terangan.Sebuah iklan politik harus bisa membentuk citra baik seorang kandidat dengan memberikan pendidikan politik dan mengungkapkan visi serta misi kandidat tersebut secara jelas.Jadi pembentukan citra dari kandidat yang bersangkutan hanya dilakukan secara tersirat. Ini akan membuat iklan politik Indonesia terkesan lebih cerdas dan tidak murahan.

Regulasi iklan politik terutama untuk televisi di Indonesia haruslah diperjelas dan dipertegas.Hindari politisasi media televisi, agar media bisa kembali menjadi fasilitator politik yang baik, bukan aktor politik negeri. Para pemilik televisi swasta seyogyanya tidak memanfaatkan kepemilikan mereka untuk memonopoli spot iklan di stasiun televisi milik mereka.

Waktu penayangan iklan juga harus diperhatikan.Iklan politik lebih baik ditayangkan pada jam-jam yang memang merupakan waktu menonton televisi bagi masyarakat.Hal ini lebih efektif dibandingkan dengan menayangkan iklan puluhan kali dalam sehari.Tapi ingat, panjang durasi iklan juga harus tetap diperhatikan agar sesuai dengan peraturan yang berlaku.

(35)

mengetahui sesuatu yang lebih luas perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai efek komunikasi politik ini untuk mengetahui sejauh mana pengaruh iklan politik televisi terhadap keputusan memilih pada khalayak.Sementara untuk mengetahui isi dari iklan politik TV, dapat dilakukan penelitian menggunakan analisis semiotika, maupun analisis wacana.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. “Dana Kampanye Putaran Pertama Pemilu 2004".

http://tempo.co.id/. Diakses pada 21 Desember 2013.

Aritonang, Deytrie Robekka. 2013. “Pemilih Pemula Capai 14 Juta”.

http://nasional.kompas.com/.Diakses pada 18 Desember 2013. Asril, Sabrina. 2013. “Iklan Politik Merajalela, KPU Mengaku Tak Berdaya”.

http://nasional.kompas.com/. Diakses 23 Desember 2013.

Danial, Akhmad. 2009. Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru. Yogyakarta: LKis.

Fauriana, Resti. 2009. “Citra Politisasi Lokal dalam Iklan Politik”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. GIANIE. . 2008. “Memetakan Minat Pemilih Pemula”.

http://tekno.kompas.com/. Diakses pada 18 Desember 2013. Hadi, Bambang Sutopo. 2013. “Akademisi: Iklan Politik di Indonesia

Cenderung Kaku”. http://www.antaranews.com/. Diakses pada 23 Desember 2013.

(36)

Kurniawan, Bahri. 2013. “Pengamat: Iklan Politik Pengalih Perhatian Sisi Negatif Tokoh”. http://www.tribunnews.com/. Diakses pada 24 Desember 2013.

Lange, Bernd-Peter dan David Ward. 2004. The Media and Elections: A Handbook and Comparative Study. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication. Edisi 3. London: Routledge

Nimmo, Dan. 2001. Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek. Diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman. Bandung: PT Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Rozak, Achmad F. Abdul. 2009. “Iklan Politik Caleg dalam Presepsi Pemilih Pemula”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sobur, Alex. 2010. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Steinberg, Arnold. 1981. Kampanye Politik Dalam Praktek. Jakarta: PT Intermasa.

Sumardi, Deddy. 2012. “Memahami Perbedaan Presepsi dengan Opini”.

http://deddysumardi.wordpress.com/. Diakses pada 18 Desember 2013.

Teresia, Ananda W. 2012. “Dana Kampanye Rp. 16 Miliar, Ini Reaksi Jokowi”.

http://www.tempo.co/. Diakses pada 22 Desember 2013. Wedhaswary, Inggried Dwi. 2013. “Iklan Politik, Contohlah Iklan

Rokok!”.http://lipsus.kompas.com/. Diakses pada 16 Desember 2013.

Undang-Undang

(37)

Referensi

Dokumen terkait

Pertukaran data pada era Internet membutuhkan beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan : seperti tingkat diterimanya standard yang digunakan oleh banyak

Secara teknis WiFi mengacu pada standar komunikasi IEEE 802.11 untuk Wireless Local Area Networks (WLAN).Tiga standar yang paling banyak diimplementasikan pada banyak

[r]

Pertama, seperti yang kita ketahui bahwa klaim adalah dokumen-dokumen pendukung yang wajib disertakan/dilampirkan dalam pengajuan klaim dengan jangka waktu yang telah

Kesibukan sehari-hari sering membuat kita merasa penat dan bosan// Untuk menghilangkan rasa penat / kita dapat melakukan refreshing ke suatu tempat wisata// Apabila anda juga

souvenir semata. Terlepas dari pemaparan di atas, pendapat tentang perwujudan tato dengan ciri khas dari Bali, sungguh bertolak belakang pada Orang Bali sendiri. Orang Bali yang

Latar belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) sebagai akibat kerusakan struktural dan fungsional ginjal memiliki progresifitas tinggi berlanjut sebagai end stage

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ternyata tidak sesuai dengan hipotesa penelitian, yaitu adanya perbedaan derajat aglutinasi pada pemeriksaan golongan darah metode cell