• Tidak ada hasil yang ditemukan

implementasi kebijakan tata kelola minya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "implementasi kebijakan tata kelola minya"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA KELOLA MINYAK DAN GAS BUMI DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001

Mego Widi Hakoso1

ABSTRAK

By comparison, Law 22/2001 was drastically different from Law 8/1971. The latter had two elements, respectively government and national companies. These national companies acted not only as the upstream regulator in oil and earth gas sector, but also as single operator of the downstream part of oil and earth gas sector. Law 22/2001 about oil and earth gas management system involved three elements, such as government, regulator/managing agencies, and national companies. National companies had been

upstream operators and upstream regulators by the establishment of SKK Migas, while the downstream industry of oil and earth gas sector was opened by foreign companies under supervision of BPH Migas. National companies were still the single operators for the distribution of subsidized fossil fuels. Mining

region authority still remained under the hand of government (The Ministry of Energy and Human Resource).

Pendahuluan

Pemisahan antara perusahaan nasional dan regulator pada tata kelola minyak dan gas nasional adalah hal yang menarik pada orde reformasi sekarang ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah kebijakan migas nasional dengan sistem tiga elemen yakni pemerintah (eksekutif), badan regulator dan perusahaan nasional. Tetapi pada proses implementasi, regulator dan perusahaan nasional mempunyai sikap yang tidak sinergis. Penelitian ini berfokus pada pelaksanaan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dilakukan pada bulan September sampai bulan November 2014. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi UU No. 22/2001 dan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung kebijakan. Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh data melalui beberapa metode, yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas yang sangat akrab

disapa “UU Migas” telah melayani Indonesia, tepatnya sejak tahun 2001 sampai sekarang. UU

Migas entah kenapa banyak dicibir publik, dengan melampar sangka “undang-undang liberal” dan

itu memberi kesan sangat kuat kalau kebijakan tatakelola migas yang terdahulu yang akrab disapa “UU Pertamina” jauh lebih baik, yakni pelaksanaan regulator ada pada Pertamina, padahal kalau ditinjau kebelakang Pertamina adalah badan publik sangat-sangat korup, mengapa peneliti mengataan demikian, karena pertamina memonopoli industri hulu sampai hilir migas.

Selain itu yang membuat peneliti sangat tertarik dengan topik UU Migas ini adalah UU Migas juga dilempar sangka-sangka bahwa UU Migas menentang UUD1945, peneliti heran, jika menentang UUD 1945 mengapa UU Migas masih bertahan sampai sekarang. Peneliti berpendapat, berarti ada perbedaan misi antara pemerintah dan publik tetapi juga ada persamaan visi antara pemerintah dan publik, tetapi sayangnya visi tersebut tidak menjadi titik kesepakatan,

dan misi disini adalah “cara”, bagaimana “cara” untuk memfasilitasi kebutuhan rakyat dengan

memanfaatkan sumber daya alam, dan memang perintah UUD 1945 adalah demikian. Sedangkan minyak dan gas adalah salah satu cabang SDA yang opininya selama ini “Indonesia kaya akan

minyak dan gas” berjuta-juta anak-anak sekolah dasar sampai orang dewasa Indonesia masih

(2)

mempercayai opini tersebut. Yang peneliti sesalkan seakan-akan opini tersebut adalah indentitas khas Indonesia yang naïf jika dilepaskan.

Mamasuki isi UU Migas lebih spesifik, memang isi UU Migas menganut pada paham liberal, mengapa peneliti katakan demikian, karena UU Migas membutuhkan sekelompok orang yang berani mengambil resiko untuk mengangkat migas dari perut bumi wilayah NKRI yang sudah minim informasi tentang kekayaan sampai potensinya dan membutuhkan sekelompok orang yang ingin memanfaatkan sifat konsumtif BBM masyarakat Indonesia sebagai alat perangsang pertumbuhan ekonomi. Dari dua hal ini UU Migas harus menjadikan perusahaan nasional sebagai pemain saja, dan ternyata perusahaan nasional juga ikut serta melempar opini. Jadi kata “liberal” disinilah yang menjadi andalan publik untuk mengambil kesimpulan sangat cepat dan melempar sangka-sangka non-nasionalis terhadap pemerintah, yang peneliti sesalkan lagi, hal tersebut terjadi tanpa publik mengerti secara menyeluruh dan menelan mentah-mentah kata “liberal”, selain itu, demokrasi di Indonesia membuat publik selalu bisa mencela apa yang pemerintah lakukan. Kesalahan pemerintah adalah liberal setengah-setengah, yang hasilnya mengorbankan perusahaan nasional sebagai alat sosialis pemerintah. Mengapa peneliti katakan demikian, UU Migas hadir dengan rangsangan liberal yang realistis dengan Indonesia masa kini, tetapi pemerintah masih terikat kontrak politik dengan rakyat, hasilnya adalah stabilitas politik diawetkan dengan sibsidi BBM beserta jaminan distribusinya. Disini peneliti menemukan hal menarik lagi, perusahaan nasional yakni Pertamina sebagai alat sosialis pemerintah ternyata juga bisa mengancam pemerintah dengan drama dihadapan publik yang berlakon sebagai badan nasional yang dirugikan kebijakan UU Migas. Sekali lagi, tanpa publik mengetahui hubungan

simbiosis mutualis antara pemerintah dan pertamina, tuduhan dan tekanan UU Migas dari publik secara tidak langsung adalah sebuah sanjungan untuk pertamina.

Dalam konteks implementasi kebijakan UU Migas, peneliti ingin melihat dari kacamata model implementasi Van Meter dan Van Horn untuk menilai dampak dari realita sekarang atau yang terjadi selama ini pasca berlakunya UU No. 22/2001. Dari latar belakang permasalahan yang ada, maka perumusan masalah pokok yang diteliti adalah :

1. Bagaimanakah implementasi kebijakan UU No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi ?

2. Faktor-faktor apakah yang mennghambat dan mendukung implementasi UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ?

Kerangka Teoritik

(3)

Model Implementasi Van Meter dan Van Horn2

Dalam melakukan penulusuran implementasi kebijakan, tujuan dan sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasikan dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan – tujuan itu tidak dipertimbangakan. Tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak bisa dilihat dari satu pihak, oleh karena itu Van Meter Van Horn berpendapat untuk menentukan ukuran dasar dan sasaran peneliti dapat menggunakan pernyataan dari para pembuat keputusan, selain itu dokumentasi dari implementasi juga bisa sebagai pedoman dari tujuan kebijakan, dalam hal ini asaz dan tujuan yang tertera pada UU Migas dan pernnyataan dari pihak pemerintah (Kementerian ESDM). Di samping ukuran dasar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber-sumber yang tersedia. Kemudian komunikasi dan kegiatan Variabel ini rentan menimbulkan konflik di antara agen-agen pelaksana yang harus melakukan kegiatan sesuai perintah dari implementasi, masing-masing agen pelaksana mempunyai rasa ingin dipercaya oleh atasannya dan di lapangan implementasi sering menjadi proses konflik karena nilai-nilai pribadi agen pelaksana merasa terusik oleh agen pelaksana lainnya (yang wewenangnya lebih besar). kemudian karakteristik pelaksana, Inti dari variabel karakteristik ini adalah kualitas organisasi implementor dengan melihat agen-agen pelaksana secara organisasi, agen palaksana harus terawasi, sumber politik agen pelaksana juga harus sesuai dengan fungsi dan jenis lembaganya (regulatif atau operatif), vitalitasnya terhadap implementasi sebagai agen pelaksana, selain itu mencari tahu kondisi hubungan, apakah agen pelaksana mempunyai hubungan yang harmonis dengan badan pembuat keputusan atau dengan agen pelaksana lainnya. Kemudian kondisi ekonomi sosial dan politik Variabel ini melihat bagaimana agen-agen pelaksana diperlakukan oleh pemerintah, selain itu juga melihat bagaimana tanggapan masyarakat terhadap implementasi, tanggapan masyarakat yang berpotensi menjadi gerakan sosial negatif sangat dihindari oleh pemerintah dan elit politik dan ekonomi mempunyai posisi yang penting untuk keberhasilan implementasi, nasib agen pelaksana bisa menjadi buruk jika elit menentang implementasi dan sebaliknya. Selain itu, kelompok kepentinga swasta bisa menjadi senjata untuk mendukung atau menentang kebijakan, jika kelompok swasta dizinkan untuk bergerak mendukung maka tidak ada tekanan lobby untuk pemerintah, sebaliknya jika kelompok kepentingan swasta diizinkan untuk menentang kebijakan maka pemerintah menuntup pintu untuk kelompok swasta tersebut dan

2 Sumber : Diadopsi dari Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno, Kebijakan Publik (Teori,

(4)

pemerintah akan mengalami tekanan lobby dari kelompok-kelompok swasta tersebut. Kemudian kecenderungan pelaksana yakni tingkah laku yang kurang kuat mungkin menyebabkan para pelaksana pengalihkan perhatiaan dan mengelak secara sembunyi – sembunyi. Dalam keadaan seperti ini, Van Meter dan Van Horn menyarankan agar orang melihat kepada peran pengawasan dan pelaksanaan untuk menjelaskan perbedaan keefektifan implementasi. Oleh karena itu peneliti harus mengetahui fungsional badan pelaksana yang berasal dari unsur kecenderungan yang beragam. Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.3 Secara harfiah, penelitian deskriptif adalah penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.4

Implementasi Kebijakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi

Pada tahun 1960 Indonesia Indonesia melakukan nasionalisasi aset, undang-undang untuk mengatur segala sistem migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1960 dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Setelah pergantian rezim Indonesia memiliki undang-undang untuk mengatur segala sistem migas yang berbeda yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, dengan membubarkan Permigan dan menggabungkan Pertamin dan Permina menjadi Pertamina. Pertamina diberi kuasa tambang, mempunyai wewenang memilih kontraktor untuk penggarapan blok migas, serta menandatangani kontrak bagi hasil. Setelah orde baru melewati waktu yang panjang, Tahun 1999 Indonesia mengalami perubahan rezim, rezim reformasi juga melakukan perubahan sistem pengaturan migas nasional, dengan alasan menopang krisis ekonomi, pemerintah mengajukan RUU Migas ke DPR, tahun 2001 RUU Migas disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

Dalam prosesnya perumusannya UU Migas mengalami dorongan tekanan lobby yang sangat kuat, yang dibidik oleh kelompok lobby adalah DPR, karena undang-undang adalah produk kesepakatan DPR, sedangkan kondisi pasar akan ditentukan dengan undang-undang, seperti yang dikatakan oleh Suhartono5

“Undang-undang sendiri merupakan salah satu produk kebijakan publik yang

penting karena mengatur hubungan antara negara, masyarakat dan pasar”

Ditambah lagi pada saat itu parlementer adalah sistem pemerintah Indonesia, yang cenderung dominan kepada legislatif, masa-masa geolitik Indonesia terdesak karena yang dipertaruhkan adalah tatakelola migas mengikuti pasar, seperti yang oleh pengamat perminyakan Rakhmanto6

3 Moh. Nazir. 2005. Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia. hlm. 54. 4

Ibid, hlm. 55

5 Suhartono adalah peneliti muda bidang kebijakan publik Sekretariat Jenderal DPR RI, dalam

Suhartono, Proses Pembuatan Kebijakan Publik di DPR :Implikasi dari UU MD3, tim peneliti pusat pengolahan pengkajian data dan informasi DPR RI, “Peran Parlemen Dalam Proses Pembuatan Kebijakan melalui Undang-undang Bagi Kepentingan Publik”, Jakarta, 2009. hlm. 7

6 Rakhmanto, agung. Esensi Pendirian Perusahaan Migas Negara : Redefinisi Peran dan Posisi

(5)

“Sebagai sumber energi utama bagi sebagian besar negara-negara di dunia, migas tak hanya bernilai strategi secara ekonomi tetapi juga sangat strategis secara geopolitik”

Tahun 1999, peta politik parlemen saat itu diporisi oleh PAN, PKB, PBB, PPP, empat partai berlandasar islam yang disegani karena mereka adalah penyebab naiknya Gus Dur menjadi presiden, dan yang menyetujui implementasi UU Migas, ironinya lagi partai besar berbasis nasionalis yakni PDI-P bahkan Golkar juga ikut menyetujui implementasi UU Migas. Satu-satunya partai yang menyatakan keberatan hanya Partai Demokrasi Kasih Bangsa, adalah partai kecil yang berbasis agama kristen.

Sumber : Hasil Olahan Peneliti, 2014

Pasca implementasi UU Migas Indonesia menggunakan sistem tatakelola migas tigas elemen sistem ini sudah 14 tahun berjalan (2001-sekarang), yakni dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Pemerintah (Pemerintah Eksekutif/Kementerian Teknis (Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN) adalah sebagai Organisasi Publik/Pemerintah Nirlaba

2. Badan Regulator ;

a) Badan Pengatur (BPH MIGAS) adalah sebagai Organisasi Publik/Pemerintah Nirlaba\

b)Badan Pelaksana (SKK MIGAS) adalah sebagai Organisasi Publik/Pemerintah Pencari Laba (untuk Negara)

c) Badan Usaha/Bentuk Usaha Tetap7 adalah Organisasi Pencari Laba (untuk Pribadi) yakni KKKS

3. PT. Pertamina (Persero) adalah Organisasi Publik Non Pemerintah Pencari Laba (untuk Pribadi)

Pada nomor 1 yakni pemerintah ekskutif yang terdiri dari kementerian terkait yakni Kementerian ESDM, Keuangan, BUMN adalah posisi elemen ke satu yang berwenang atas inkremental dan strategi untuk tujuan UU Migas. Lalu pada Nomor dua yakni SKK Migas, BPH Migas dan Perusahaan Swasta Hulu/Hilir atau BU/BUT adalah posisi elemen ke dua adalah tangan kanan dari Pemerintah (SKK dan BPH) untuk mengendalikan BU/BUT di hulu dan di

7

(6)

hilir, elemen ke dua adalah ranah operasional, teknis dan regulatif. Dan yang terakhir adalah nomor tiga yakni PT.Pertamina (Persero) pada posisi elemen ke tiga adalah BUMN atau Perusahaan Nasional dengan modal saham dari pemerintah atau perusahaan yang dimilik Oleh pemerintah tetapi dengan status swasta atau badan bisnis.

Standard an Ukuran

Ada dua komponen, dimana suatu negara melakukan kebijakan Migasnya. yang pertama negara akan melakukan dan membangun industri migas nasional yakni membangun nasionalisasi aset kekayaan minyak mentah didalam wilayah Negara sampai perusahaan tambang nasional berkontribusi besar atau dominan pada pendapatan negara. yang kedua karena alasan minim kapital pada negara terhadap perusahaan nasionalnya maka negara mengundang perusahan asing yang dianggap mempunyai kapital dari segi SDM dan teknologi, lalu dari sistem bagi hasil minyak mentah negara memperoleh dana segar untuk pemasukan kas Negara.Inilah kondisi dari dua komponen tersebut yang terjadi pada Negara Indonesia :8

1) Bagi hasil yang diturunkan dari lifting. Karena dari situ bisa dipakai komponen oleh pemerintah, haknya pemerintah yang pada akhirnya bisa dikontribusikan untuk dana segar bagi APBN yang sekarang jumlahnya 20% dari total APBN yang jumlahnya sekitar Rp1600 Triliun;

2) Pendapatan bersih pertamina yang langsung berkontribusi untuk APBN jumlahnya 23 Triliun dan itu sekitar 1,6-1,7% dari APBN.

Dari dua komponen diatas, kontribusi bagi hasil adalah yang mendominasi APBN. Jadi, tujuan UU No. 22/2001 tentang Migas adalah mengoptimalkan lifting. Dan, mengoptimalkan

lifting otomastis mengoptimalkan bagi hasil untuk APBN, semakin liftingnya tinggi otomatis bagi hasilnya meningkat, untuk kondisi Indonesia saat ini UU Migas sangat sejalan dengan UUD 1945 dan mampu mencapai tujuan UUD 1945. Dapat disimpulkan bahwa standar, ukuran dan tujuan UU Migas adalah demokratis, realistis, ekonomis dan terbuka demi pemasukan maksimal dana untuk APBN.

Sumber Kebijakan

sumber dana, sumber manusia, sumber waktu dan termasuk sumber kewenangan sangat mempengaruhi kedudukan masing-masing lembaga yakni Kementerian ESDM Ditjen Migas, SKK Migas/BPH Migas dan Kontraktor/Pertamina.

“Kalo Pertamina kan PT ya, jadi lebih tidak bisa terkontrol, jadi profit oriented, kalo SKK Migas kan ngga sehebat Pertamina, SKK masih terkontrol karena dana SKK langsung dari APBN. Nah kalo dana BPH migas dari itu lewat kementerian ESDM jadi bisa lebih terkontrol, karena BPH migas masih di

bawah koordinasi ESDM”9

Melihat pernyataan diatas, agen-agen pelaksana mempunyai sistem sumber dana/anggaran yang berbeda-beda. Pertamina mempunyai sistem anggaran yang berbeda dengan SKK Migas dan BPH

8 Darmawan Prasodjo, Ph. D (Dosen Ekonomi Lingkungan Universitas Surya), kuliah umum pada acara

I-4 dengan tema “Strategi Nasionalisasi Energi yang Terukur”

9

(7)

Migas, begitu juga SKK Migas mempunyai sistem anggaran berbeda dengan BPH Migas. Sistem anggaran menggambarkan tugas dan fungsi agen pelaksana yang mempunyai dampak pada variabel berikutnya.

Komunikasi dan Kegiatan

Jadi, UU migas telah melahirkan 5 (lima) kelompok yang saling berinteraksi untuk melakukan koordinasi. Dalam proses komunikasinya baik formal dan Informal juga saling mempengaruhi kegian aktor-aktor nya.

Sumber : Hasil Olahan Peneliti, 2014

Dalam implementasi yang sukses seringkali mekanisme institusional dan prosedur yang mana otoritas lebih tinggi bisa saja menambahkan aktivitas para pelaksana (bawahannya) demi kelancaran proses maka mensadarkan sanksi untuk pelaksana pada standar kebijakan dan tujuan menjadi hal yang wajar

Karakteristik

Variabel karakteristik lembaga di bentuk oleh pengaruh dari variabel kondisi ekonomi sosial politik dan komunikasi kegiatan, jadi pemenuhan indikator variabel karakteristik tidak bisa lepas dari dua variabel lain yang mempengaruhinya. Pasca implementasi kebijakan UU Migas membuat PN Pertamina sebagai pengendali hulu dan hilir memecah dan telah lahir 2 BHMN dan 1 Perusahaan Persero dari pihak Negara Indonesia. Masing-masing lembaga mempunyai karateristik secara kedudukan, tujuan dan kegiatan dalam komunikasi baik horisontal maupun vertikal.

Kondisi ekonomi sosial politik

(8)

Sumber : Ir. Satya Widya Yudha, M.Sc (anggota komisi VII F-PG DPR RI)10 Kecenderungan Pelaksana

kecenderungan pelaksana antara Pertamina dan Pemerintah yang mungkin terjadi meliputi semua variabel model implementasi kebijakan. Wajar jika sebuah implementasi mengalami penerimaan, netralitas bahkan penolakan bagi implementor. Dalam hal ini sesuai kerangka pikir penelitian, variabel kecenderungan pelaksana akan melihat kecebderungan pertamina kepada pemerintah, variabel terakhir ini akan menjadi penentu dari implementasi. Tentunya variabel ini akan membahas “apakah pertamina menolak” jika menolak seberapa besar pengaruh penolakannya terhadap implementasi dan sebaliknya.

10

(9)

Sumber : Data dan Informasi PT. Pertamina (Persero), 2014

diatas pertamina memang mengalami kekecewaan, tetapi kekecewaan tersebut tidak mempengaruhi implementasi, pemerintah justru membantu pertamina dalam ekspansinya dengan memperbolehkan global bond obligasi dengan status BUMN. Hal ini artinya resiko pertamina sebagai BUMN jelas kecil daripada perusahaan swasta lainnya apalagi PSO pertamina dengan sistem pembayaran MOPS+ alpha dari pemerintah, hal ini akan membahayakan keuangan pertamina, jadi pertamina hanya kecewa karena belum dipercaya oleh pemerintah untuk untuk mengambil resiko yang lebih besar dan secara mendasar dalam konteks implementasi UU Migas pertamina melakukan penerimaan secara karakter dan sumber yang diberikan oleh implementasi UU Migas.

Faktor menghambat

pada lingkup internal UU Migas masalah Kapasitas Pelaksana menjadi faktor penghambat dan pada lingkup Eksternal UU Migas masalah kondisi sosial politik yang menjadi penghambat. Faktor-faktor penghambat dari ialah ;

1) Hubungan Government to Bussines

2) Perilaku masyarakat dan pemerintah daerah (otoda) terhadap wilayah kerja migas setempat 3) PSO subsidi BBM Pertamina terhadap negara

4) Infrastruktur kilang yang belum memadai

Faktor pendukung

Faktor-faktor ini sangat mendorong untuk meraih tujuan Implementasi UU migas, walaupun belum sepenuhnya tercapai karena masih banyak faktor penghambat. Berikut faktor-faktor yang mendukung implementasi UU Migas antara lain ;

1) Minat Perusahaan Asing terhadap industri Hulu Migas masih tinggi;

2) Pemerintah, SKK Migas dan BPH migas mempunyai Intepretasi yang sama terhadap tujuan Implementasi UU migas, dan Prilaku Pertamina tetap bisa di kontrol oleh Pemerintah ; 3) Pengurangan subsidi BBM perlahan-lahan;

(10)

Penutup

Pertama, sesuai teori Van Meter dan Van Horn implementasi kebijakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dapat disimpulkan dalam beberapa hal berikut :

1) Dapat disimpulkan bahwa standar, ukuran dan tujuan UU Migas adalah demokratis, realistis, ekonomis dan terbuka demi pemasukan maksimal dana untuk APBN.

2) Dapat disimpulkan variabel sumber-sumber kebijakan masih belum memprioritaskan kemandirian industri migas, hal ini dikarenakan resiko APBN yang begitu besar untuk sumber cost recovery, tetapi disisilain tidak ada anggaran untuk ekploitasi migas secara mandiri dari APBN.

3) Dapat disimpulkan, pada variabel komunikasi dan kegiatan yakni, antara SKK Migas dan Dirjen Migas ESDM masih belum jelas secara pelembagaan, karena, Pemerintah (Kementerian ESDM) masih terlibat dalam hal teknis dan kontraktual yang dilaksanakan oleh Pengawas (SKK Migas dan BPH Migas), sehingga komunikasi kegiataan diantaranya masih belum ada yang bisa menjamin pengawasannya.

4) Dapat disimpulkan, pada variabel karakteristik badan pelaksana masing-masing telah memenuhi kapasitasnya sesuai tugas dan fungsinya.

5) Dapat disimpulkan, pada variabel kondisi ekonomi sosial politik adalah proses dinamika yang mempertegas peran dan identitas dari masing-masing badan pelaksana, yang bermanfaat untuk stndar dan tujuan kebijakan.

6) Dapat disimpulkan, pada variabel kecenderungan pelaksana yakni, kecenderungan pertamina hanya sebatas opini, hal ini dikarenakan pertamina masih mempunyai hubungan

simbiosis mutalisme pada pemerintah dalam hal PSO sebagai BUMN otomatis jika volum nasional BBM disubsidi semakin meningkat dan nilai subsidi semakin tinggi maka semakin juga membebani APBN dan memanjakan Pertamina dengan pembayaran MOPS+alpha

sedangkan presiden memperoleh legitimasi dari publik.

Kedua, Faktor-faktor yang menghambat dan mendukung implementasi kebijakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Kuasa wilayah pertambangan ditangan negara menghambat implementasi UU Migas, karena B to B lebih efektif daripada G to B pada hulu migas di Indonesia, mengingat stabilitas politik dan birokrasi di Indonesia kurang membawa kepastian hukum bagi kontraktor;

2) Sebagain besar masyarakat daerah penghasil migas masih menganggap jika wilayah kerja yang di operasikan oleh kontraktor adalah proyek pemerintah pusat, kondisi ini menyebabkan pelampiasan anarki masyarakat daerah jika kecewa dengan kebijakan pemerintah dan akhirnya menghambat proses hulu migas KKKS dan bupati setempat yang mempunyai wewenang besar untuk wilayahnya cenderung memihak masyarakatnya karena alasan atas dasar otonomi daerah;

3) PSO BBM subsidi Pertamina terhadap Negara menghambat Implementasi UU Migas, karena SPBU perusahaan asing tidak akan menyebar ke wilayah NKRI jika pertamina masih memonopoli pasar BBM subsidi;

(11)

resiko perusahaan asing untuk mengeksporasi dan mengeksploitasi blok-blok migas yang penuh resiko;

5) Transformasi Organisasi yang dilakukan Pertamina mendukung implementasi UU Migas, karena pertamina sebagai player di hulu migas telah melaukan penyesuaian diri atau menyetarakan kompentsi SDMnya terhadap perusahaan-perusahaan yang lain, bahkan dengan dorongan motovasi dan keperayaan pemerintah Pertamina ada pada posisi yang apresiatif.

Daftar Pustaka

Buku

Agung Rakhmanto, Pri. Esensi Pendirian Perusahaan Migas Negara (Redifinisi Peran dan Posisi Pertamina). Jakarta, ReforMiner Institute, 2011.

Bungin, Burhan. 2001.Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press.

Black, James A.&Dean J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: PT Eresco.

Endra, surya, KAMUS POLITIK, Surabaya, Study group, 1979

Koentjaraningrat. 1983.Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia.

Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Nugroho, Riant. Public Policy (Teori Kebijakan, Analisis Kebijaka n, Proses Kebijakan, Perumusan Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Management dalam Kebijakan Publik, Kebijakan sebagai The Fifth Estate, Metode Penelitian Kebijakan), PT Elex Media Komputindo, 2012, Jakarta

Nazir, Moh.2005. Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia.

Pudyanto, A Rinto. PROYEK HULU MIGAS (Evaluasi dan Analisis PetroEkonomi). Jakarta, Petromindo, 2014.

Parsons, Wayne. PUBLIC POLICY (Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan). Jakarta, KENCANA, 2001.

Panglima Saragih, Julia. SEJARAH PERMINYAKAN DI INDONESIA. Jakarta, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, 2001.

Pudjo Utomo, Sutadi. KEDAULATAN MIGAS DAN PRODUCTION SHARING CONTRACT INDONESIA. Jakarta, ReforMiner Institute, 2010.

Rahardja, Pratama. Manurung, Mandala. Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar. Edisi ke-4. Jakarta, FE UI, 2008

Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih ( Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia ), Bekasi, Serpico Printing, 2012

Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Penerbit Tirta Wacana. Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suhartono, tim peneliti pusat pengolahan pengkajian data dan informasi Sekjen DPR RI, Peran Parlemen Dalam Proses Pembuatan Kebijakan melalui Undang-undang Bagi Kepentingan Publik, Jakarta, 2009

Tim Peneliti Pertamina FEB UGM. TRANSFORMASI PERTAMINA (Dilema Antara Bisnis dan Pelayanan Publik), Yogyakarta, Galangpress, 2009

(12)

Jurnal dan Penelitian

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (2012). Ekonomi Politik Perminyakan Indonesia : Analisis Kebijakan Liberalisasi Sektor Hulu Migas Indonesia pasca-1998. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 16 No.1 Juli. FISIP UGM, 45, ISSN 1401-4946

Donald S. Van Meter Carl E. Van Horn. THE POLICY IMPLEMENTATION PROCESS A Conceptual Framework. Administration & Society, Vol. 6 No. 4, February. Departement of Political Science Ohio State University. 1975

Eka Astiti Kumalasari, Peranan perusahaan migas asing terhadap ketersediaan energi di Indonesia, SKRIPSI FISIP UNHAS 2013

Kuntana Magnar, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufik, “Tafsir MK atas Pasal 33 UUD 1945 : ( studi atas putusan MK mengenai judicial review UU NO. 7/2004, UU NO. 22/2001, DAN UU NO. 20/2002)” dalam Jurnal Volume 7 Nomor 1 Februari 2010 pada penelitian hasil kerja sama Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum UNPAD dan Jenderal dan Kepaniteraan Makamah Konstitusi Republik Indonesia

Kurniawati, Tenti. (2012). Konflik dalam Penentuan Bagi Hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kalimantan Timur. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Volume 16, Nomor 1

Rine Nine Furusine, PEMBENAHAN UU no. 22/2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DALAM RANGKA PENGEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS, TESIS FH UI 2011 Sahat Aditua Fandhitya Silalahi dan Ariesy Tri Mauleny, “kebijakan sektor hulu dan hilir gas

bumi dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri” dalam jurnal ekonomi dan kebijakan publik Volume 2 Nomor 1 Tahun 2011

Sugiaryo, SH, M.Pd, MH, “globalisasi : intervensi kekuatan politik dan ekonomi dalam pembentukan hukum migas di Indonesia” dalam jurnal Magistra No. 7 th. XXII Desember 2010 ISSN 0215 - 9511

Syamsul Ma’arif (2012). PERUBAHAN KEBIJAKAN DI SEKTOR MIGAS PASCA REZIM ORDE

BARU. SAWALA Jurnal Administrasi Negara. Vol. 2 No. 2 Mei. Prodi Administrasi Negara UNSERA. 1, 2302-2231

Topan Meiza Romadhon, “Pengaturan Production Sharing Contract dalam Undang – Undang

minyak dan gas bumi” dalam jurnal Hukum no. 1Vol. 16 Januari 2009: 88 – 105 tahun 2009

Dokumen

Undang -Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2002 Tentang Badan pengawas hulu minyak dan gas

Perpres No. 9 tahun 2013 Tentang Satuan kerja khusus pelaksana kegiatan hulu minyak dan gas bumi

Kepres No. 86 tahun 2002 Tentang Badan pengatur hilir minyak dan gas. Badan regulator hilir migas

Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2003 tentang pengalihan bentuk perusahaan pertambangan minyak dan gas bumi Negara (pertamina menjadi perusahaan perseroan (persero)

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas

(13)

Peraturan Pemerintah 1 Tahun 2006 Tentang Besaran dan Penggunaan Iuran Badan Usaha Dalam Kegiatan Usaha Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Pengangkutan Melalui P ipa

Wawancara

Wawancara dengan Hilda Prastiti, S.H, Bagian Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta 16 September 2014

Wawancara dengan Nur Laila Widyastuti, S.Kom (Staff Direktorat Sumber Daya Energi dan Pertambangan Kementerian PPN/Beppenas, Jakarta 13 Oktober 2014

Wawancara dengan Drs. Murohim Kepala Seksi Pengaturan Pendistribusian BBM BPH MIGAS, Jakarta 24 September 2014

Wawancara dengan Panji Sukarno, Data dan Informasi, Sekretariat Persero PT Pertamina (Persero), Jakarta 20 November 2014

Referensi

Dokumen terkait

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas

Inkubasi tabung mikrosentrifus kedua selama 10 menit pada temperatur ruang (bolak-balikkan tabung 2-3 kali selama masa inkubasi) untuk melisis sel-sel darah

Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam

Sistem informasi perpustakaan sekarang ini sangatlah penting untuk sekolah, instansi maupun pihak lainnya, dengan menggunakan sistem informasi perpustakaan, proses peminjaman,

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. 5) Direksi dalam penyelenggaraan tugas yang bersifat strategis

Terpaksa membeli spare part 1 modul power suplay LCD tersebut , dan pesan di dealer LG hampir kurang lebih 2 minggu barang baru datang .Setelah modul power suplay terpasang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan terhadap objek atau sampel penelitian yang diteliti, maka dapat disimpulkan bahwa semua unit bisnis air bersih,