• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruan"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah

Dalam Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Blitar

Berdasarkan Perspektif Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Seminar Isu-isu/Masalah Lingkungan yang diampu oleh Bapak Drs. Sukanto, M.S

Kelompok 10

Oleh:

1. Isa Fahrudin P.N. (125030100111025) 2. Nurliana Ayu Setiya N. (125030101111015) 3. Nuryani Ningsih (125030107111067)

Kelas A

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

(2)

2015

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring dengan semakin meningkatnya masalah lingkungan hidup di seluruh pelosok bumi yang terbentang dari lokal hingga global, langkah-langkah pencegahan timbulnya dampak negatif terhadap kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi semakin mendesak untuk ditempuh. Penanggulangan dan pengendalian dampak negatif terhadap lingkungan hidup serta isu keberlanjutan lingkungan hidup terasa tidak cukup dan kurang efektif jika dilakukan pada saat kegiatan telah memasuki masa operasi dan sepenuhnya hanya mengandalkan pendekatan teknologi. Pada saat ini telah berkembang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Instrumen ini mencoba mengatasi kelemahan yang diutarakan di atas. Kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan akan lebih efektif dicegah bila sejak proses formulasi kebijakan, rencana dan program (KRP) telah dipertimbangkan masalah lingkungan hidup dan ancaman terhadap keberlanjutan. KLHS menjadi terasa semakin penting kehadirannya ketika tujuan ketujuh dari Millenium Development Goals (MDGs) yakni terjaminnya keberlanjutan lingkungan hidup, menetapkan salah satu target penting yang hendak dicapai, yakni : terintegrasikannya prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan, rencana dan program dan berkurangnya kerusakan sumber daya alam.

(3)

memerlukan instrumen pengelolaan Lingkungan Hidup yang memungkinkan penyelesaian masalah yang bersifat berjenjang (dari pusat ke daerah), lintas wilayah, antar sektor/lembaga, dan sekuensial sifatnya. Selain pentingnya instrumen pendekatan komprehensif tersebut di atas, hal penting lain yang harus difahami adalah bahwa degradasi kualitas Lingkungan Hidup terkait erat dengan masalah perumusan kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Dengan kata lain, sumber masalah degradasi kualitas Lingkungan Hidup berawal dari proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, upaya penanggulangan degradasi kualitas Lingkungan Hidup harus dimulai dari proses pengambilan keputusan pembangunan pula. Sebagai suatu instrumen pengelolaan Lingkungan Hidup.

(4)

Bangunan pembentuk KLHS adalah rangkaian proses mengumpulkan, menganalisis dan menghasilkan informasi, rangkaian proses dialog pihak-pihak yang berkepentingan dan rangkaian proses mempengaruhi pengambilan keputusan akhir KRP. KLHS yang memiliki kualitas baik tidak hanya karena analisisnya baik, namun juga karena dapat mempengaruhi muatan akhir KRP sehingga keputusan-keputusan yang dibuat akuntabel. Hal ini dapat tercapai apabila KLHS dilaksanakan dengan melibatkan pemangku kepentingan, yaitu para perencana, pengambil keputusan, dan masyarakat. Keberagaman cara melaksanakan setiap rangkaian proses-proses tersebut di atas menyebabkan rincian pelaksanaan KLHS tidak dapat dibakukan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan. Adanya sifat perubahan, kompleksitas, ketidakpastian, dan konflik merupakan hal penting untuk senantiasa diantisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Keempatnya akan mendatangkan peluang sekaligus masalah bagi perencana, pengelola, pengambil keputusan, serta anggota masyarakat lainnya. Salah satu peluangnya adalah mengenali pentingnya keempat elemen tersebut dan memahami bagaimana keempatnya saling berpengaruh sekaligus dapat menjadi agen dari suatu perubahan yang positif.

Terkait dengan adanya sifat-sifat lingkungan di atas, maka lahirnya UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang penting keberadaannya untuk bisa diimplementasikan dalam proses perencanaan dan pembangunan di Indonesia. Salah satunya Pasal 15 dan 16 telah mengamanatkan kepada pemerintah dengan mandatory (kewajiban) untuk melaksanan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain itu, terdapat pula UU No 26 tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau. Pada UU No 26 tahun 2007 pasal 17 memuat bahwa proporsi kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Adapun isi uu no 26 thn 2007 pasal 17 :

(5)

(2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana. (3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.

(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.

(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.

(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan peraturan pemerintah.

Sementara itu, pada Pasal 1 angka 31 Undang-Undang N0 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) sebagai area memanjang / jalur dan / atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, maupun yang sengaja ditanam. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibagi menjadi 9:

1. Kawasan hijau pertamanan kota 2. Kawasan Hijau hutan kota 3. Kawasan hijau rekreasi kota 4. Kawasan hijau kegiatan olahraga 5. Kawasan hijau pemakaman

(6)

satu Kota di Indonesia yang memiliki RTH paling besar. Dalam upaya untuk mengembangkan Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar, pemerintah kota Blitar melakukan beberapa cara ataupun kegiatan, salah satunya yaitu “Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kota Blitar”, yang menjadi salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir (framework of thinking) perencanaan tata ruang wilayah dan perencanaan pembangunan daerah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup, terutama persoalan tentang Ruang Terbuka Hijau.

Oleh karena permasalahan yang telah dideskripsikan seperti diatas, penulis ingin membahas permasalahan tentang Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar dengan judul “Implementasi Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Perspektif Kajian Lingkungan Hidup Strategis di Kota Blitar”.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana formulasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau berdasarkan KLHS dalam mengembangkan Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar? 2. Bagaimana implementasi kebijakan pengembangan Rauang Terbuka Hijau

di kota Blitar berdasarkan model implementasi Van Horn dan Van Meter?

A. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui formulasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau dalam pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar.

2. Untuk mengetahui implementasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau dalam pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Blitar.

(7)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Implementasi Kebijakan Publik

1. Definisi Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan suatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap lingkungan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Implementasi kebijakan pasti menimbulkan dampak atau akibat baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembanga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Pengertian implementasi seperti yang dikemukakan oleh Pranata Wastra (1991) dalam Riant Nugroho (2012:645) mendefinisikan implementasi

kebijakan adalah:

Aktivitas atau usaha-usaha yang dilakukan untuk semua rencana dari kebijksanaan yang telah dirumuskan dan ditetapkan, dan dilengkapi segala kebutuhan alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya, kapan waktu pelaksanaannya, kapan waktu mulai dan beP2KHirnya dan bagaimana cara yang harus dilaksanakan”.

Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaiamana dikutip dalam Riant Nugroho (2012: 655), implementasi kebijakan yaitu:

“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

(8)

mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu : tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

2. Model Implementasi Van Horn Dan Van Meter

Van Meter dan Van Horn (Riant Nugroho, 2012;683) Meter dan Horn mengemukakan bahwa terdapat enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni;

1. Standar dan sasaran kebijakan, standar dan sasaran kebijakan yang diterapkan harus jelas dan terukur sehingga kebijakan tersebut dapat direalisasikan, apabila standar dan sasaran kebijakan itu kurang jelas dan tidak terukur maka kebijakan akan sulit untuk di implementasikan. 2. Sumber daya, dalam implementasi kebijakan memerlukan dukungan

sumber daya, baik sumber daya manusia, maupun sumber daya finansial.

3. Hubungan antar organisasi, yaitu dalam penerapan suatu kebijakan publik diperlukan sebuah dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi pemerintah untuk keberhasilan suatu kebijakan tersebut.

(9)

bagaimana sifat opini public yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

B. Konsep Rencana Tata Ruang (RTRW)

1. Definisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

UU no 26 tahun 2007 pasal 1 point 13 tentang Penataan Ruang mendefinisikan Rencana Tata Ruang Wilayah disingkat RTRW disebut juga sebagai Urban Planning atau Urban Land use Plan dalam bahasa Inggrisnya adalah dokumen rencana tata ruang wilayah kota yang dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Rencana Tata Ruang Wilayah adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah kota, yang merupakan penjabaran dari RTRW provinsi, dan yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah kota, rencana struktur ruang wilayah kota, rencana pola ruang wilayah kota, penetapan kawasan strategis kota, arahan pemanfaatan ruang wilayah kota, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota.

2. Landasan Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

a. UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 14 menyatakan bahwa Perencanaan, Pemanfaatan, dan Pengawasan Tata Ruang merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota.

b. UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 11 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memiliki wewenang dalam penyelenggaraan penataan ruang yang antara lain meliputi pelaksanaan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dan pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis Kabupaten/Kota.

c. Keppres 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, pasal 4 menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum hanya dapat dilaksanakan berdasarkan RTRW.

3. Tujuan penyusunan RTRW

(10)

1. terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;

2. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya; serta

3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:

- mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera;

- mewujudkan keterpaduan dalam penggunaaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; - meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

buatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;

- mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan (contoh yang paling sering kita alami adalah banjir, erosi dan sedimentasi); dan - mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan KLHS

(Kajian Lingkungan Hidup Strategis)

C. Konsep Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

1. Definisi KLHS

Bambang S (2010:66) Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya. Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis[SEA is a systematic process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of sustainability principles into, strategic decision-making].

(11)

Bambang S (2010) menjelaskan KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP]. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas. Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut langkah-langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.

3. Pendekatan Dalam KLHS

Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi berpikirnya. Menurut Bambang (2010) sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :

(12)

menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi RTRW.

b.KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup (Environmental Appraisal) KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.

c. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated Assessment Sustainability Appraisal) KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.

d. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam (Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) D. Konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH)

1. Definisi Ruang Terbuka Hijau

(13)

perkotaan dan perubahan iklim. P2KH merupakan inovasi program RTH berbasis komunitas. Menurut Sandyohutomo, Mulyono (2008, h.152) ruang terbuka mencakup pengertian ruang terbuka hijau dan ruang terbuka lainnya yang berupa kawasan tanpa bangunan di antara kawasan terbangun. Ruang terbuka berperan sebagai penyeimbang antara daerah terbangun dengan daerah terbuka. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, dituliskan bahwa ruang terbuka hijau perkotaan adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Selanjutnya disebutkan pula bahwa dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman.

2. Tujuan dan Fungsi Penataan RTH

Tujuan penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan adalah:

a. menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan; b. mewujudkan kesimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan di perkotaan; dan

c. meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih dan nyaman.

(14)

Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan adalah:

a. pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan; b. pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara; c. tempat perlindungan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati; d. pengendali tataair; dan

e. sarana estetika kota.

Manfaat Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan adalah:

a. sarana untuk mencerminkan identitas daerah; b. sarana penelitian, pendidikan, dan penyuluhan; c. sarana rekreasi aktif dan pasif serta interkasi sosial; d. meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;

e. menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah; f. sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula; g. sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;

h. memperbaiki iklim mikro; dan

i. meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kota Blitar

(15)

masyarakatnya seperti yang terjadi dikota -kota besar. Memang ukurannya pun tidak mencerminkan sebuah kota yang cukup luas. Level yang dicapai kota Blitar adalah sebuah kota yang masih tergolong antara klasifikasi kota kecil dan kota besar. Secara faktual sudah bukan kota kecil lagi, tetapi juga belum menjadi kota besar, hal tersebut dapat diartikan juga bahwa kota Blitar merupakan kota yang sedang berkembang menuju kota yang menuju masyarakat kota blitar sejahtera yang berkeadilan, berwawasan kebangsaan, dan religius melalui APBD pro rakyat pada tahun 2015.

(16)

B. Formulasi Kebijakan di Kota Blitar Dalam Penyusunan RTRW Melalui KLHS Dalam Mengatasi Persoalan Lingkungan Hidup.

(17)

NO KEBIJAKAN ISSUE-ISSUE

 Meningkatnya suhu lingkungan

(18)

NO KEBIJAKAN ISSUE-ISSUE

 Semakin tingginya jumlah pertumbuhan

 Mempertahankan keberadaan sumber-sumber mata air yang ada

 Merevitalisasi sumber mata air yang ada

(19)

NO KEBIJAKAN ISSUE-ISSUE STRATEGIS

PENGARUH ALTERNATIF MITIGASI

REKOMENDASI PRIMER SEKUNDER

Menurunnya luasan sempadan sungai karena adanya permukiman liar di sekitar bantaran sungai

Terjadinya erosi dan sedimentasi

 Berkurangnya daerah resapan air

 Berkurangya daerah tangkapan air  Berkurangnya

keindahan alam

Merevitalisasi daerah sempadan sungai

 Perlu adanya regulasi yang lebih tegas terhadap bangunan-bangunan liar yang berada di sekitar sempadan sungai

 Penataan permukiman di sekitar bantaran sungai

(20)

NO KEBIJAKAN ISSUE-ISSUE kualitas air akibat bahan buangan

 Mewajibkan setiap pemrakarsa kegiatan/usaha melakukan disediakan sistem pengelolaan limbah rumah tangga dengan sistem off-site

(21)

NO KEBIJAKAN ISSUE-ISSUE daerah yang belum tercover oleh DKP

 Penyediaan pasukan kuning untuk mengangkut sampah rumah tangga

(22)

NO KEBIJAKAN ISSUE-ISSUE

Kemacetan  Tingginya angka

kecelakaan

 Pencemaran udara yang disebabkan

(23)

NO KEBIJAKAN ISSUE-ISSUE

 Rendahnya kualitas tenaga pendidik dan

(24)

NO KEBIJAKAN ISSUE-ISSUE STRATEGIS

PENGARUH ALTERNATIF MITIGASI

REKOMENDASI PRIMER SEKUNDER

kegiatan pertanian perkotaan

pengangguran akibat kurangnya lapangan pekerjaan

angka

pengangguran

kemiskinan/kesejaht eraan penduduk  Tingginya kejahatan

industri kecil dan menengah (agro-industri)  Pengembangan

ecomarket  Penggunaan

teknologi yang tepat guna  Pelatihan

tenaga kerja  Pemberian

kredit lunak

(25)
(26)

C. Implementasi Kebijakan Pengembangan RTH di Kota Blitar berdasarkan 6 variabel implementasi kebijakan Van Horn & Van Meter

1. Kebijakan Aksi Kota Hijau

Pembangunan Kota Hijau (P2KH) Kota Blitar merupakan perwujudan rencana tata ruang dan rancang kota yang berbasis lingkungan hidup. Kota Hijau merupakan kota yang ramah lingkungan, dalam hal pengefektifan dan mengefisiensikan sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi). Harapannya P2KH bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam perwujudan Kota Blitar sebagai kota hijau berkelanjutan.

2. Ruang Lingkup Kebijakan

Dari segi bentuk kebijakanya Kota Hijau memiliki 8 (delapan) atribut yaitu Green Planning and Desain, Green Community, Green Building, Green Energy, Green Water, Green Transportation, Green Waste, Green Openspace. Atribut tersebut kemudian menjadi variabel penting dan ditindaklanjuti dalam penyusunan Pembangunan Kota Hijau (P2KH) antara lain adalah :

a. Green Planning

Green Planning merupakan perwujudan rencana tata ruang dan rancang kota yang berbasis lingkungan hidup. Dalam penyusunan rencana tata ruang dan rancang kota harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan secara terus menerus dan sinergis antara perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. b. Green Open Space

(27)

wilayah total. Rincian ruang terbuka hijau meliputi ruang terbuka hijau privat sebesar 10% dan ruang terbuka hijau publik sebesar 20%.

c. Green Transportation

merupakan perwujudan penggunaan transportasi publik ramah lingkungan, berjalan kaki dan bersepeda. Upaya perwujudan green transportation difokuskan pada rencana pelayanan angkutan umum. Rencana pelayanan angkutan umum difokuskan pada penggunaan moda transportasi yang ramah lingkungan baik dengan transportasi umum massal maupun dengan moda transportasi lain.

d. Green Waste

Green Waste merupakan perwujudan konsep zero waste. Rencana pengembangan z dalam pengelolaan air limbah dan persampahan. Rencana pengelolaan air limbah meliputi sistem pengelolaan air limbah rumah tangga dan sistem pengeloaan air limbah bukan rumah tangga. Sistem pengelolaan air limbah rumah tangga direncanakan menggunakan sistem on-site dan sistem off-site. Pengelolaan limbah rumah tangga dengan sistem on-site diarahkan pada kawasan perumahan kepadatan rendah dan sedang, sedangkan pengelolaan limbah rumah tangga dengan sistem off-site diarahkan pada kawasan perumahan kepadatan sedang sampai tinggi, terutama pada kawasan kumuh dan perumahan yang dilakukan oleh pengembang. Sistem pembuangan air limbah bukan rumah tangga diarahkan pada pengembangan sistem pengolahan air limbah pada kawasan industri dan peternakan.

e. Green Community

(28)

bekerjasama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam pemanfaatan ruang serta memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana pembangunan yang telah ditetapkan. Sedangkan dalam pengendalian, masyarakat dapat ikutserta dalam memantau, mengawasi, melaporkan dan mengajukan keberatan pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.

f. Green Energy

merupakan perwujudan pemanfaatan energi yang efisien dan ramah lingkungan. Rencana pengembangan sistem jaringan energi meliputi pembangkit listrik dan jaringan prasarana energi.

g. Green Water

Green Water merupakan upaya menerapkan konsep ekodrainase dan zero run off. Konsep ini ditekankan pada rencana pengembangan sistem drainase perkootaan dan sistem prasarana sumberdaya air. Rencana pengembangan sistem drainase dilakukan dengan revitalisasi sistem jaringan drainase primer, sistem jaringan drainase sekunder, dan sistem jaringan drainase tersier. Sistem prasarana sumberdaya air ditekankan pada pengembangan sistem pengendalian banjir, meliputi: a. perlindungan terhadap daerah aliran sungai melalui konservasi daerah aliran sungai dan pengendalian pembangunan kawasan budidaya. b. pengembangan sistem jaringan drainase tersistem dengan saluran pembuangan utama.

3. Bentuk Kebijakan

(29)

1. Aksi Green Planning and Design. Program/kegiatan pada atribut green planning and design yang menjadi kewenangan BAPPEDA dan DISNAKER kota Blitar meliputi:

a) Sosialisasi Kebijakan Perencanaan Pembangunan; b) Pengembangan Blitar Kota Sehat;

c) Sinkronisasi Program Pembangunan Sanitasi Kota; d) Kajian Sanitasi berbasis masyarakat;

e) Pengarustamaan gender dalam pembangunan sanitasi kota; f) Rencana Induk Drainase Kota;

g) Rencana Induk Ruang Terbuka Hijau Kota Blitar; h) Penyusunan Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan; i) Penyusunan Kebijakan Manajemen Pengelolaan Sampah; j) Rencana Induk Drainase Kota Blitar.

2. Aksi Green Water Program/kegiatan pada atribut green water, menjadi kewenangan 3 (tiga) SKPD yang membidangi lingkungan hidup dan keciptakaryaan yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum Daerah. meliputi :

a) Konservasi Sumber daya air dan pengendalian kerusakan sumber air.

b) Pembangunan saluran drainase / gorong-gorong. c) Pembangunan jaringan air bersih/air minum

3. Rencana Aksi Green Waste Program pada atribut green waste yang menjadi kewenangan 3 (tiga) SKPD yang membidangi keciptakaryaan, dan lingkungan hidup yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum Daerah meliputi :

a) Pemantauan kualitas lingkungan;

b) Pengembangan produksi ramah lingkungan;

c) Peningkatan sarana dan prasarana pengendalian lingkungan hidup; d) Peningkatan sarana dan prasarana pemantauan lingkungan hidup; e) Pengendalian dampak perubahan iklim;

(30)

g) Penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan persampahan; h) Peningkatan operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana

persampahan;

i) Pengembangan teknologi pengolahan persampahna; j) Pembangunan TPA

4. Rencana Aksi Green Community Program/kegiatan pada atribut green community yang menjadi kewenangan 5 (lima) SKPD yang membidangi keciptakaryaan, lingkungan hidup dan perencanaan yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum Daerah, Kantor Lingkungan Hidup Bappemas dan Keluarga Berencana dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. meliputi :

a) Pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan sanitasi; b) Peningkatan edukasi dan komunikasi masyarakat di bidang

lingkungan;

c) Sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang rencana tata ruang;

d) Sosialisasi kebijakan, norma, standart, prosedur dan manual pengelolaan RTH;

e) Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan persampahan;

f) Sosialisasi kebijakan pengelolaan persampahan;

5. Rencana Aksi Green Open Space Program/kegiatan pada atribut green open space yang menjadi Program/kegiatan tersebut berada dalam kewenangan 2 (dua) SKPD yang membidangi lingkungan hidup yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan Kantor Lingkungan Hidup meliputi :

a) Pemeliharaan RTH;

b) Pengembangan taman rekreasi;

c) Peningkatan sarana prasarana taman kota;

d) Pemeliharaan keindahan taman dan sarana olahraga;

(31)

f) Penataan RTH;

g) Peningkatan Sarana dan Prasarana Pengendalian Lingkungan Hidup; h) Konversi Sumber Daya Air dan Pengendalian Kerusakan Sumber

Air.

4. Arah kebijakan

Kegiatan Utama Pembangunan Kota Hijau untuk mewujudkan Blitar Kota yang berwawasan lingkungan meliputi penarapan beberapa atribut Kota Hijau. Atribut kota hijau terdiri dari :

a. Perencanaan dan perancangan kota (Green Planning and Design), yang bertujuan meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang lebih sensitif terhadap agenda hijau, upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

b. Pembangunan ruang terbuka hijau (Green Open Space) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik kota/kabupaten, dengan target RTH 30%.

c. Komunitas hijau (Green Community) yaitu pengembangan jaringan kerjasama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat.

d. Pengurangan dan pengolahan limbah dan sampah (Green Waste) yaitu dengan menerapkan pengelolaan limbah dan sampah hingga menghasilkan zero waste.

e. Pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (Green Transportation) yaitu dengan mendorong warga untuk menggunakan transportasi publik ramah lingkungan, serta berjalan kaki dan bersepeda dalam jarak pendek.

f. Peningkatan kualitas air (Green Water) dengan menerapkan konsep ekodrainase dan zero runoff.

g. Green Energy, yaitu pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan.

(32)

i. Program dan kegiatan yang mendukung Kota Hijau di Kota Blitar pada tahun 2014 diarahkan pada pelaksanaan green planning and design, green water, green waste, green community, green open space. Program dan kegiatan itu tertuang jelas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Blitar Tahun 2011-2015.

5. Implementasi Kebijakan Pembangunan Kota Hijau Dalam Perspektif Van Horn Dan Van Meter

Berdasarkan model implementasi kebijakan Van Hon dan Van Meter yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka terdapat enam variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan , yakni;

1. Standar Dan Sasaran Kebijakan Rencana Kota Hijau (P2KH) Blitar

Dalam implementasi kebijakan standar dan sasaran memiliki peranan yang pokok dalam menentukan berhasil atau tidaknya dalam penerapan suatu kebijakan publik. dalam Implementasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau memiliki standar kebijakan yang diatur dalam Undang Undang (UU) Nomor 26 tahun 2007 pasal 2 tentang penataan ruang mensyaratkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota yang terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat minimal 20 persen dari luas wilayah kota sedangkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik minimal 10% dari luas kota. Selain itu mengenai sasaran yang tertuang dalam RPJPD 2005-2025 yaitu sebagai berikut:

(33)

Sumber: RPJMD 2011-2014 data yang dilansir oleh BAPPEDA Kota Blitar

Dengan berpedoman pada kebijakan pengaturan KDB dan KLB bangunan, maka ditetapkan standar penataan RTH Privat untuk halaman rumah dan halaman perkantoran, fasilitas umum, pertokoan, serta tempat usaha, dibuat ketentuan sebagai berikut:

a) Bangunan perumahan diwajibkan menyediakan RTH sebesar 30% dari ruang terbuka yang harus di penuhi.

b) Bangunan pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya minimal menyediakan RTH sebesar 20% dari ruang terbuka yang harus disediakan.

c) Bangunan perdagangan dan jasa (tempat usaha) minimal menyediakan RTH sebesar 10% dari ruang terbuka yang harus disediakan.

d) Jenis tanaman menyesuaikan dengan ruang yang tersedia dan selera pemiliknya.

e) Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan RTH Kota ini, maka diupayakan adanya penetapan pemanfaatan tanah bengkok atau tanah desa sebagai RTH.

Sedangkan pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) publik di Kota Blitar kurang lebih seluas 20 % dari luas Kota Blitar, yaitu meliputi pengembangan:

a) Ruang terbuka hijau taman dan hutan kota yang terdiri dari RTH taman lingkungan dan taman kota, Hutan Kota serta sabuk hijau.

b) Ruang terbuka hijau jalur hijau berupa jalur hijau jalan, pulau jalan dan median serta pedestrian.

c) Ruang terbuka hijau fungsi tertentu berupa sempadan sungai, sempadan mata air, sempadan jalur KA, Jalur SUTET/SUTT, TPA dan pemakaman.

(34)

Dalam implementasi kebijakan Pembangunan Kota Hijau (P2KH) Kota Blitar tentunya sangat memerlukan dukungan sumber daya baik berupa sumber daya manusia ataupun sumber daya finansial antara lain adalah sebagai berikut:

3. Hubungan Antar Instansi Pemerintah

Dalam implementasi kebijakan P2KH kota Blitar ini harus didukung oleh kordinasi antar instansi pemerintah Kota Blitar berperan sebagai penyusun agenda kebijakan, arah kebijakan, perda no 12 tahun 2012 tentang Pembangunan Kota Hijau. Pemerintah kota Blitar melakukan koordinasi dengan BAPPENAS untuk memperoleh dana dalam pengembangan Aksi Kota Hijau yaitu sebessar Rp. 1.500.000.000 untuk melakukan sosialisasi program Aksi Kota Hijau, penyiapan peta kota hijau, peningkatan kuantitas dan kualitas RTH kota Blitar, sedangkan instansi yang berwenang dalam tiap- tiap agenda kebijakan adalah sebagai berikut:

Agenda Kebijakan Instansi Yang Berwenang

Green Planning BAPPEDA dan DISNAKER

Green Water Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Blitar

(35)

Pekerjaan Umum dan Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Blitar

Green Community Dinas Kebersihan dan

Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum Daerah, Kantor Lingkungan Hidup Bappemas dan Keluarga Berencana dan BAPPEDA kota Blitar

Green Open Space berada dalam kewenangan 2 (dua) SKPD yang membidangi lingkungan hidup yaitu Dinas Kebersihan dan Pertamanan dan Kantor Lingkungan Hidup

4. Karakteristik Agen Pelaksana dalam Kebijakan Aksi Kota Hijau Blitar

Karakteristik agen pelaksana yaitu mencakup landasan hukum, Visi dan Misi Kota Blitar dalam implementasi kebijakan Aksi Kota Hijau, Implementasi kebijakan Aksi Kota Hijau (P2KH) Kota Blitar didasarkan pada UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Daerah Kota Blitar no 12 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tertuang dalam dokumen perencanaan daerah kota Blitaadalah sebagai berikut

(36)

. Sumber : BAPPEDA Kota Blitar tahun 2014 5. Faktor-Faktor Ekonomi, Sosial dan Politik

Faktor faktor Ekonomi dan sosial masyarakat ternyata memiliki peranan penting bagi kesuksesan dari implementasi kebijakan khususnya adalah kebijakan Pembangunan Kota Hijau (PKH) Kota Blitar adalah sebagai berikut

a. Keadaan Ekonomi Kota Blitar

(37)

struktur ekonomi Kabupaten Blitar masih sangat tergantung pada sector pertanian. Ketergantungan pada sector pertanian jelas sangat bergantung pada alam akan sangat rentan dengan gejolak alam. Struktur perekonomian Kabupaten Blitar dominan bertumpu pada sektor primer yaitu sektor pertanian dan pertambangan/Galian. Besaran sektor primer dalam menopang perekonomian daerah Kabupaten Blitar mencapai 47,90 persen. Pada sektor ini tentu saja sektor pertanian memberikan peran yang dominan yaitu mencapai 54,54 persen.

b. Keadaan Sosial Kota Blitar

Keadaaan Sosial di kota Blitar dapat diketahui Profil Demografi Pada tahun 2011 penduduk Kota Blitar (BPS Kota Blitar tahun 2011) jumlahnya mencapai148.834 jiwa, atau naik menjadi 3,78% dari tahun 2010. Jika diperincitiap kecamatan, jumlah penduduk terbesar terdapat di KecamatanSananwetan yaitu sebesar 42.803 jiwa, Kecamatan Sukorejo sebanyak50.411 jiwa dan jumlah penduduk terkecil terdapat di KecamatanKepanjenkidul yaitu sebesar 42.803 jiwa. Tabel 2. 2 Jumlah Penduduk Tahun 2011 Jumlah Kepadatan Pertumbuhan No. Kecamatan Luas (km2) Penduduk Penduduk Penduduk (%) (jiwa) (Jiwa/km2) 1 Sukorejo 9.92 50.411 4,19% 4.076 2 Kepanjen Kidul 10.5 42.803 3,48% 5.082 3 Sananwetan 12.15 55.620 3,72% 5.262 Total 32.57 148.834 3,78% 4.803

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

(38)

Adipura karena kerja keras nya dalam mewujudkan lingkungan hijau. Hal ini dapat dibuktikan dari RTH mereka yang memiliki wilayah terluas di Indonesia meskipun belum memenuhi syarat minimal RTH sebesar 30%.

Kota Blitar memiliki RTH seluas 17% dari luas wilyahnya, saat ini pemerintah Kota juga sedang gencar mewujudkan kota Blitar yang hijau untuk menambah RTH. Ruang terbuka hijau terdiri atas taman kota dan median jalan, lapangan, makam, tempat rekreasi, sawah perkotaan, dan sebagainya. Pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Blitar ditujukan untuk memenuhi prosentase standart yang ditetapkan untuk RTH perkotaan.

4.2 Saran

Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu komponen penting untuk kontribusinya dalam pengurangan limbah udara. Maka dari itu, KLHS, RTRW, dan RTH harus diperhitungkan secara tepat untuk mewujudkan kota yang bersih dan bebas polusi. Pemerintah kota Blitar harus lebih berani lagi mengeluarkan kebijakan yang memihak pada lingkungan, misalnya membatasi pembangunan bangunan – bangunan baru yang membabat hutan, dengan demikian luas 17% RTH kota Blitar akan tetap terjaga.

Bahkan pemerintah kota Blitar dapat menambah luas RTH dengan menanami beberapa wilayah yang tidak memiliki dengan pohon sebanyak mungkin. Hal ini akan memungkinkan bertambahnya luas RTH di Kota Blitar.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang, S. 2010. ”Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Sebagai Kerangka Berfikir dalam Perencanaan Tata Ruang Wilayah”. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

(39)

UU No 27 tahun 2007 pasal 1 dan 2, “Penataan Ruang”

Gambar

Tabel 1: Sasaran Kebijakan Rencana Kota Hijau (P2KH) Blitar dalam RPJPD 2005-

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui rumusan masalah diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian ini sebagai berikut. Mengetahui langkah-langkah pembelajaran menulis karangan deskripsi dengan

tangan, serta menjaga jarak antara 1 sampai 1,5 meter/orang. 5) Pelaksana program wajib menyiapkan alat pencuci tangan (sabun/ handsanitizer ) di lokasi/tempat kegiatan..

Menurut perspektif Islam pelaburan merupakan aktiviti menukarkan sesuatu harta (lazimnyawang tunai) dengan harta lain (seperti saham syarikat, akaun simpanan,

Ditinjau dari pemikiran evaluatif terhadap aspek anteseden, proses dan output setiap fungsi kelembagaan PKBM mencakup pengidentifikasian kebutuhan, perencanaan dan

Salah satu aspek berbahasa yang harus dikuasai oleh siswa adalah menulis sebab keterampilan menulis menunjang keterampilan lainnya (Mulyati, 2008:10). Mengingat

Terkait kehidupan membujang yang terjadi di POUK TNI AL Sunter tidak semua yang hidup membujang menikmati kesendirian mereka, ada juga yang cenderung malu

Upaya Guru PAI meningkatkan Motivasi Belajar Siswa dalam Pembelajaran Al-Qur‟an Hadits Kelas VII di SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta ditinjau dari perspektif teori kebutuhan Abraham

Etelä-Karjalan ja Kymenlaakson liikenteen päästöt ilmaan on kirjattu taulukkoon 5 liikennemuodoittain sekä kuntakohtaiset päästöt liitteeseen 5.. Tietransito sisältää