• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Umum Hukum Adat Waris di Indone (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjauan Umum Hukum Adat Waris di Indone (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Secara sederhana hukum waris adat merupakan tata cara pengalihan atau penerusan warisan menurut hukum adat yang berlaku. Hal ini sebagai konsekuensi atas berlakunya dan masih terpeliharanya hukum adat di beberapa daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia. Hukum waris adat pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang bersendikan prinsip-prinsip komunal atau kebersamaan sebagai bagian dari kepribadian bangsa Indonesia. Prinsip kebersamaan dalam hukum waris adat membuat hukum waris adat tidak mengenal bagian-bagian tertentu untuk para ahli waris dalam sistem pembagiannya.1

Jika merujuk pada salah satu pengertian yang didefinisikan oleh beberapa ahli, salah satu nya adalah Prof Soepomo dalam “Bab-Bab Tentang Hukum Adat” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperasikan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (Immateriele goedern) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.”(halaman

67 buku tersebut)2. Yang artinya hal ini menjadi penting sebab pewarisan merupakan hal yang tak

terbantahkan dalam proses kehidupan setiap manusia di dunia.

Jika berkaca pada budaya barat, bukanlah hal yang terlalu urgent untuk dipermasalahkan,

sebab, budaya instan yang dianut mereka dipengaruhi dengan sifat individualistis yang akhirnya tidak menyulitkan dalam pembagian harta sebab tidak akan terdapat harta bersama dalam suatu kekerabatan. Namun, Indonesia adalah negara dengan beragam adat dan kebudayaan yang mengakibatkan pewarisan pun didasarkan adat-istiadat yang dianut masing-masing warga negara. Namun, tidak jarang juga hukum agama masuk dalam ranah pewarisan ini mengakibatkan perpaduan hukum adat dan hukum islam dalam pewarisan, namun tak jarang juga masih ada kelompok maysyarakat hukum adat yang masih mempertahanan eksistensi hukum pewarisan adanya masing-masing.

Dalam hal keberagaman hukum pewarisan adat ini, maka dikenallah beberapa sistem

pewarisan sebagai berikut3:

1 http/statushukum.com/diakses pada 27 juni 2014 pukul 13.47 WIB

2 Soerojo Wignjodipoero, Hukum adat waris(Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1983)h. 161.

(2)

 Sistem pewarisan individual yakni sistem pewarisan dimana harta warisan atau yang ditinggalkan dapat dibagikan dan dimiliki secara individual diantara para ahli waris;

 Sistem pewarisan kolektif yakni sistem pewarisan dimana harta warisan atau harta yang ditinggalkan oleh pewaris hanya diwarisi oleh sekelompok ahli waris yang merupakan persekutuan hak karena harta tersebut dianggap sebagai pusaka yang tidak dapat dibagi kepada para ahli waris untuk dimiliki secara individual;

 Sistem pewarisan mayorat yakni sistem pewarisan dimana harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris menjadi hak tunggal mayorat. Mayorat adalah ahli waris tunggal. Terdapat dua macam mayorat, yakni mayorat laki-laki dan mayorat perempuan yang dibeberapa daerah di Indonesia berbeda penerapannya. Mayorat laki-laki berlaku di beberapa daerah seperti di Bali dan Batak, sedangkan Mayorat perempuan dapat dijumpai berlaku di daerah sumatera selatan, Tanah semendo dan kalimantan barat serta suku dayak.

Asas yang digunakan dalam hukum adat waris pun umumnya adalah bersifat kesetaraan dan komunal. Yang dalam hal ini Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.

Maka, menjadi pentinglah pengkajian hukum waris adat secara umum guna mengetahui secara mendasar terkait hukum waris adat untuk kemudian dapat mendalami lebih jauh terkait hukum waris adat di Indonesia.

(3)

2.1. RUMUSAN MASALAH

1. Apa dasar hukum berlakunya Hukum Waris di Indonesia?

2. Apa yang dimaksud dengan Hukum Waris Adat serta apa saja asas yang mendasarinya?

3. Apa saja sifat-sifat Hukum Waris Adat?

4. Bagaimana sistem kewarisan menurut Hukum Adat?

5. Berapa banyaknya Harta Pembagian dalam Hukum Waris Adat? 6. Siapa saja Ahli Waris dalam Hukum Adat Waris ini?

2.2. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui dasar hukum berlakunya Hukum Waris Adat di Indonesia.

2. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan dengan Hukum Waris Adat serta asas yang mendasarinya.

3. Untuk mengetahui saja sifat-sifat Hukum Waris Adat.

4. Untuk mengetahui Bagaimana sistem kewarisan menurut Hukum Adat.

5. Untuk mengetahui Berapa banyaknya Harta Pembagian dalam Hukum Waris Adat. 6. Untuk mengetahui Siapa saja Ahli Waris dalam Hukum Adat Waris ini.

(4)

3.1. DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM WARIS ADAT

Adapun dasar hukum berlakunya hukum waris adat di Indonesia adalah sebagai berikut:4

DASAR HUKUM (berlakunya hukum waris)

Berlaku atas dasar Pasal II AP UUD 1945 yang memberlakukan Hukum Waris BW, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat menurut Tatahukum Pem. Hindia Belanda berdasar atas Pasal 131 IS dan pasal 163 IS.

BERLAKUNYA HUKUM WARIS KEDEPAN

Berlakunya bersifat sementara dan sebagai suatu sistem memiliki hubunganm secara sistemik dengan sistem hukum keluarga dan perkawinan, oleh karena itu ada konsekuensi yuridis dengan berlakunya UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan Perubahannya dengan UU No. 3 Tahun 2006.

HUKUM WARIS ADAT

Hukum yang sedang mengalami perubahan karena adanya perubahan masyarakat dan perubahan pandangan hukum melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, terutama mengenai pembagian warisan secara individual.

Hukum dan Typologi Masyarakat

Hukum dan Masyarakat memiliki hubungan yang bersifat fungsional, apabila masyarakjat berubah maka hukumnyapun juga akan mengalami perubahan.

Pluralisme Hukum

Sebagai akibat berlakunya Pasal II AP UUD 1945, dengan sendirinya berlaku pula pluralisme hukum, khususnya Hukum Waris BW, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat, yang berlaku mengikuti pergolongan rakyat (aspek historis)

Pergolongan Rakyat dan Unifikasi Hukum

Perkembangannya politik pergolongan rakyat yang ditransfer dari Tatahukum Hindia Belanda tersebut, sedikit demi sedikit mengalami perubahan sejalan dengan perubahan politik hukum dengan diterbitkannya UU baru yang bersifat unifikasi hukum (Perkawinan dan Pengadilan Agama).

3.2. PENGERTIAN dan ASAS_ASAS HUKUM WARIS ADAT

(5)

Terdapat beberapa pengertian jika kita mengacu pada berbagai literature-literatur yang ada terkait definisi daripada Hukum Adat Waris yang beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Prof Soepomo dalam “Bab-Bab Tentang Hukum Adat” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperasikan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (Immateriele goedern) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.”(halaman 67 buku tersebut).5

Teer Haar dalam “Beginslesen en stelsel van het adat recht” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperasian kekayaan materiil, dan immateriil dari suatu generasi ke generasi berikutnya.”(halaman 197 buku tersebut).6

Wirjono Prodjodokoro dalam “Hukum Waris Indonesia” memberi pengertian “warisan” sebagai berikut: “Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.(halaman 8 buku tersebut).7 Proses peralihannya itu sendiri, sesungguhnya sudah dapat dimulai semasa pemilik harta kekayaan itu sendiri masih hidup serta proses itu selanjutnya berjalan terus hingga keturunannya itu masing-masing menjadi keluarga-keluarga baru yang berdiri sendiri-sendiri (mentas dan mencar (Jawa)) yang kelak pada waktunya mendapat giliran juga untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi yang berikutnya (keturunannya) juga.8

Proses tersebut tidak menjadi “akuut” oleh sebab “orang tua meninggal dunia” demikian ditegaskan oleh Prof Soepomo. Selanjutnya dikatakan beliau, bahwa memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi prose situ akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut. 9

Hal yang penting dalam warisan ini adalah, bahwa pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur , yang masing-masing merupakan unsur esensialia (mutlak) yakni:10

a. Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan.

b.Sseorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.

5 Soerojo Wignjodipoero, Op.cit., h. 160 6 Ibid.,

7 Ibid.,

8 Ibid.,

9 Ibid.,

(6)

c. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu.

Akhirnya perlu ditegaskan bahwa kita wajib mengadakan pemisahan yang jelas antara proses penerusan dan pengoperan harta kekayaan pada masa pemiliknya masih hidup dan proses pada waktu sesudah pemiliknya meninggal dunia. Proses yang pertama itu (semasa masih hidup) lazimnya disebut “penghibahan” (Prof Soepomo memakai istilah “pewarisan”; Teer Haar memakai istilah “toescheiding”) umumnya disebut “warisan” atau “welingan” (Jawa), Teer Haar “vereven”: Wirjono Prodjodikoro “warisan”.11

Apabila dikaji, maka dapatlah kita simpulkan azas-azas dalm hukum pewarisan adat ini pada prinsipnya adalah azas kerukunan dan azas kesamaan hukum dalam pewarisan, tetapi juga terdapat azas-azas yang bersifat umum sebagai berikut:12

a. azas ketuhanan dan pengendalian diri b. azas kesamaan hak dan kebersamaan hak c. azas kerukunan dan kekeluargaan

d. azas musyawarah dan mufakat e. azas keadilan dan parimirma

3. 3. SIFAT-SIFAT HUKUM WARIS ADAT

Hukum adat waris menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran fikiran tradisional Indonesia. Hukum adat waris bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal serta konkrit bangsa Indonesia. Oleh karena itu, maka hukum adat waris memperlihatkan perbedaan yang principal dengan hukum waris barat antara lain sebagai berikut:13

HUKUM ADAT WARIS HUKUM WARIS BARAT SEPERTI YANG

TERCANTUM DALAM KUHPERDATA

11 Ibid.,

12 http/dosen.narotama.ac.id/ diakses pada 27 juni 2014 pukul 14.01 WIB

(7)

Tidak mengenal “legitieme poortie”, akan proses pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris.

Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris.

Mengenal hak tiap-tiap ahli waris atas bagian yang tertentu dari harta peninggalan, bagian warisan menurut ketentuan undang-undang (“wettelijk efrdeel” atau “legitieme portie” pasal 913 sampai dengan 929).14

Menentukan adanya hak mutlah dari ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta warisan (Pasal 1066 KUHPerdata).15

Sedangkan kalau kita adakan perbandingan dengan hukum waris menurut hukum islam, maka diketemukan perbedaan-perbedaan principal antara lain sebagai berikut:16

HUKUM ADAT WARIS HUKUM ISLAM

Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebgaian yang dibagi-bagi.

Member kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalkan orang tua angkatnya.

Dikenal sistem: “Penggantian Waris”

Pembagiannnya merupakan tindakan berasama, berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris.

Anak perempuan, khususnya di Jawa apabila tidak ada anak laki-laki, dapat menutup hak

Tidak ada waris dapat menuntut pembagian harta peninggalan tersebut sewaktu-waktu.

Tidak dikenal ketentuan ini.

Tidak dikenal.

Bagian-bagian para ahli waris telah ditentukan; pembagian harta peninggalan menurut ketentuan tersebut.

Hanya menjamin kepada anak perempuan mendapat bagian yang pasti dari harta

14 Lihat, Pasal 913 s/d 929 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 15 Lihat, Pasal1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

(8)

mendapat bagian harta peninggalan kake neneknya dan saudara-saudara orang tuanya.

Harta peninggalan tidak merupakan satu kesatuan garta warisan, melainkan wajib diperhatikan sifat/macam, asal dan kedudukan hukum daripada barang-barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.

peninggalan orang tuanya.

Merupakan satu kesatuan harta warisan.

Hukum adat waris sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan daripada masyarakat hukum yang bersangkutan beserta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat itu. Lain daripada itu, hukum adat waris juga mendapat pengaruh tidak hanya dari perubahan-perubahan sosial, misalnya yang disebabkan makin kuatnya ubungan kekeluargaan “somah” dan makin lemahnya ikatan klan dan kerabat, tetapi juga dari peraturan-peraturan hukum asing sejenis yang oleh para hakim agama selalu diterapkan in concreto walaupun pengaruhnya itu sangat kecil.17

3.4. SISTEM KEWARISAN ADAT

Di Indonesia ini kita menjumpai tiga sistem kewarisan dalam hukum adat sebgaai berikut:18

a. sistem Kewarisan Individual

Cirinya harta peninggalan dapat dibagi-bagikan diantara para ahli waris seperti dalam masyarakat bilateral di Jawa.

b. Sistem Kewarisan Kolektif

Cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-sama merupakan semacam badan hukum dimana harta tersebut, yang disebut harta pusaka, tidak boleh dibagi-bagikan pemilikannya diantara para ahli waris dimaksud dan hanya boleh dibagi-bagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu(hanya mempunyai hak pakai saja) seperti dalam masyarakat matrilineal di minangkabau.

c. Sistem Kewarisan Mayorat

Ciri harta peninggalan diwaris keseluruhannya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari satu keluarga) oleh seorang anak saja, seperti halnya di Bali dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang tertua dan ditanah Semendi di Sumatera Selatan dimana terdapat hak mayorat anak perempuan yang tertua.

(9)

Ketiga sistem kewarisan ini masing masing tidak langsung menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu dimana sistem kewarisan itu berlaku, sebab sesuatu sistem tersebut diatas dapat diketemukan juga dalam pelbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam bentuk suatu susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan dimaksud diatas.19

Contoh misalnya:

- Sistem kewarisan mayorat (hak anak perempuan tertua) selain dijumpai pada masyarakat ptrilinealdi Tanah Semendo Sumatera Selatan, di dapat juga di Kalimantan Barat pada masyarakat bilateral Suku Dayak.

- Sistem kewarisan kolektif, selain didapat dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau, dalam batas-batas tertentu, dijumpai pula di Minahasa, dalam masyarakat bilateral (tanah wawakesun teranak, barang kalakeran) dan juga dipulau Ambon dalam maysarakat patrilineal.

3.5. BANYAKNYA HARTA PEMBAGIAN

Dengan sifat hukum adat, pada umumnya berlandaskan pola pikir yang konkrit/ tidak abstak, maka soal pembagian harta warisan biasanya nerupakan penyerahan barang warisan tertentu terhadap seorang ahli waris tertentu, seperti umpamanya sebidang tanah tertentu diserahkan terhadap ahli waris si A, sebidang pekarangan atau suatu rumah tertentu diberikan terhadap ahli waris si B, suatu keris tertentu diberikan terhadap ahli waris si C(biasanya seorang lelaki), suatu kalung tertentu terhadap ahli waris si D(biasanya seorang wanita).20

3.5.1. Pengaruh Hak Pertuanan Desa21

Dimana hak ikatan desa masih kuat berupa hak pertuanan dari desa itu atas tanah (berchshikkingsrechts van de desa over grond), hampir-hampir tidak dapat dikatakan ada hak waris dari para ahli waris dari tanah itu. Artinya tanah itu, bila yang menguasainya meninggal pada hakikatnya terserah pada pemerintah desa atau pada rapat desa untuk menetapkan siapa yang akan mengganti orang yang meninggal sebagai penguasa dan pengelola tanah itu.

Seperti halnya di Jawa misalnya biasanya tanah itu diberikan kepada anak lelaki yang sulung atau tertua dari orang yang meninggal sekedar anak itu cukup kuat tenaganya untuk menggarap tanah itu. Bila kekuatan tenaga yang cukup itu tidak ada pada anak lelaki yang sulung, maka anak lelaki yang kedua ytang mendapat giliran untuk diberi hak menguasai dan menggarap tanah itu, begitu pula seterusnya. Kebiasaan ini menciptakan suatu hak waris dari

19 Ibid.,h. 174

20 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,1991)h. 50

(10)

anak lelaki yang sulung dan yang cukup mempunyai tenaga untuk tanah yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal sebagai penguasa tanah tersebut.

Dengan berkembng terusnya adat kebiasaan lambat laun hak pertuanan dari desa atas tanah itu dengan sendirinya menjadi kurang kuat dan akan musnah sama sekali. Bila hal ini terjadi maka hak orang yang meninggal atas tanah itu menjadi hak milik yang hampir terlepas dari suatu ikatan desa. Walaupun demikian halnya hak pertuanan dari desa masih ada kemungkinan terlihat, bilamana dalam suatu desa ada kebiasaan yang membatasi jumlah luas tanah yang dapat dikuasai oleh seseorang. Bilamana umpamanya anak lelaki yang sulung pada waktu bapaknya masih hiduiptelah mendapat hak milik atas sebidang tanah lain di desa itu misalnya dengan cara membeli atau mewarisi dari mertua, sehingga bilamana tanah itu ditambah dengan tanah warisan dari bapaknya ia akan mendapat seluas tanah yang melampaui batas yang ditentukan dalam desda itu, maka dari tanah itu yang ditinggal bapak itu tidak diberikan terhadap anak lelaki yang sulung itu melainkan kepada adiknya lelaki ata orang lain.

Hal tersebut diatas juga tidak diperbolehkan tanah warisan itu pindah ketangan seorang anak, yang tidak lagi berdomisili diwilayah desa yang bersangkutan. Contoh dari tanah yang terikat oleh hak ketuanan desa dapat dijumpai di daerah Cirebon dengan nama tanah kesikepan. Disamping tanah itu didaerah tersebut juga dikenalk tanah yang pewarisnya tidk terpengaruh oleh hak pertuanan desa yang disebut tanah yasan.

Adapun contoh lai dapat dijumpai di beberapa tempat didaerah Jawa Tengah yang disebut tanah pekulen atau tanah pelayangan dan orang yang menguasai tanah semacam itu ada yang disebut kuli kenceng dan kini tanah pekulen iotu sejak meninggalnya sipenguasa tanah itu ada kebiasaan diserahkan terhadap janda perempuan, kecuali apabila janda itu telah memegang tanah pekulen sendiri dlam hal mana tanah pekulken almarhum suaminya itu pindah terhada anak orang yang meninggalkan tanah yaitu anak yang lebih tua mendapat tempat utama bagitu anak lelaki yang didahulukan daripada anak perempuan.

3.5.2. Pengaruh Famili22

Adapun Van Vollenhoven mengatakan dibukunya bahwa di daerah minahasa ternate dan ambo nada tanah apabila ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia panda ketangan famili orang yang meninggalkan tanah tersebut, misalnya di minangkaau terhadap semua harta warisan.

Ada beberapa barang tertentu di pelbagai tempat di Indonesia misalnya keris dan tomak dianggap sebagai barang pusaka yang hanya boleh diberikan kepada anak yang melanjutkan jabatan si bapak yang telah meninggal atau terhadap anak tertua atau terhadap janda, kecuali bilamana janda oleh karena suatu sebab keberatamn untuk menyimpan benda-benda itu, dalam hal bilamana seorang ahli waris lain yang diserahi benda-benda itu.

(11)

Untuk lebih tegasnya: barang itu tidak bisa pindah ketangan orang lain yang bukan keturunan dari orang yang meninggal; seperti dijual atau dihibahkan atau sebagainya. Telah disebutkan diatas kalau tidak punya anak yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal maka kadang kala harta warisan kembali kepada keluarga darimana benda warisan itu berasal, jadi tidak diwarisi oleh sanak saudara yang tidak masuk keluarga itu.

Dalam membagi-bagi benda-benda warisan diantara para ahli waris sering dipergunakan ukuran misalnya, suatu keris (bukan pusaka) diberikan terhadap satu orang ahli waris lelaki dan suatu kalung terhadap seorang ahli waris wanita.23Juga sering terjadi sebidang sawah pada hakikatnya diberikan terhadap seorang ahli waris yang mampu mengerjakannya.

Sehubungan dengan apa yang diterangkan tersebut diatas yaitu bahwa seorang janda harus bias meneruskan hidupnya secara layak maka sudah masuk kebiasaaan terhadap seorang janda it mendapat rumah dan pekarangan yang dulu ditinggali bersama olehnya dengan orang yang tlah meninggal dunia.

Atas uraian pembagian harta warisan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu bahwa pembagian harta warisan dilingkungan hukum adat pada hakikatnya adalah berasas kerukunan diantara ahli waris.

3.5.3. Harta Peninggalan yang Tidak Dapat Dibagi-bagi

Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini berdasarkan atas alasannya tidak dibagi-bagi, dapat dibedakan sebagai berikut:24

a. karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi (misalnya barang-barang milik suatu kerabat atau family).

b. karena kedudukan hukumnya memang terikat pada suatu tempat/jabatan tertentu (contohnya misalnya barang-barang keramat Keraton Kesepuhan Cirebon seluruhnya tetap jatuh pada ahli waris yang menjadi sultan sepuh serta barang-barang itu tetap disimpan di Keraton Kesepuhan).

c. karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang bersangkutan seperti tanah kasikepan di daerah Cirebon.

d. karena pembagiannya untuk sementara ditunda, seperti banyak dijumpai di Jawa misalnya apabila terdapat anak-anak yang ditinggalkan masih belum dewasa, maka demi kepentingan janda beserta anak-anak nya supaya tetap mendapat nafkah untuk hidup terus harta peninggalan tidak dibagi-bagi. Dan tiap tuntutan untuk mambagi-bagi dari ahli waris yang menurut hakim akan mengakibatkan terlantarnya janda beserta anak-anak tersebut selalu akan ditolak oleh hakim.

e. karena hanya diwaris oleh seorang raja (sistem kewarisan mayorat), sehingga tidak perlu dibagi-bagi.

23 Ibid.,h. 57

(12)

Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini di beberapa lingkungan hukum adat disebabkan karena sifatnya yang memang tidak memberi kemungkinan untuk tidak memiliki barang itu bersama-sama, dengan ahli waris lain-lainnya, sebab harta dimaksud merupakan satu kesatuan yang dapat dibagi-bagi atau barang itu merupakan lambing persatuan serta ksatuan daripada keluarga yang bersangkutan.

Sebagai contoh daripada harta peninggalan semacam ini dapat disebut:25 a. harta pusaka di minangkabau

b. tanah Dati di Semenanjung Hitu (Ambon).

Tiap anak yang lahir dalam keluarga itu turut serta menjadi pemilik sedangkan tiap-tiap suami atau isteri yang meninggal dunia selalu membiarkan saja barang-barang itu dalam keadaan yang semula.karena sifatnya yang tidak mungkin dibagi-bagi mengakibatkan adanya sistem kewaisan kolektif.

3.5.4. Harta Pusaka di Minangkabau26

Sifat keibuan dari kekeluargaan di Minangkabau memperlihatkan adanya sekumpulan barnag-barang yang merupakan Harta Pusaka kepunyaan keluarga, yang hanya dapat dipakai oleh segenap anggota keluarga itu, tidak dimiliki oleh masing-masing. Akibatnya ialah bahwa hal wafatnya seorang anggota dari keluarga itu sama sekali tidak berpengaruh atas hubungan hukum tertang harta pusaka itu dengan anggota-anggota lain yang masih hidup dalam keluarga tadi. Malahan dengan wafatnya seorang anggota suatu keluarga tadi, harta pusaka itu ditambah dengan barang-barang yang diperoleh seorang yang wafat tadi (harta pencaharian) yaitu setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si wafat itu.

Perlu sekiranya dikatakan, bahwa barang-barang pencarian dari seorang suami yang seperti diketahui tidak menjadi anggota keluarga isterinya, pada waktu wafat seorang suami itu masuk harta pusaka dari keluarga si suami itu, jadi tegasanya menjadi harta pusaka dari saudara-saudara nya sekandung dan anak-anak turunannnya dari saudara-saudara perempuan.

Ada kalanya suatu keluarga menjadi amat besar jumlah anggotanya. Dalam hal ini ada kemungkinan keluarga itu dipecat menjadi dua, dan harta pusaka dipecah juga mejadi dua. Kejadian ini juga dinamakan gudang menyimpang. Ada kalanya juga suatu keluarga punah atau habis, oleh karena tiada orang-orang keturunan, maka harta pusaka jatuh ketangan keluarga yang terdekat pada keluarga yang punah tadi.

Maka dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa minangkabau tidak ada hukum warisan antara orang-oran perseorangan (erfecht tussen individuuen), melainkan hukum warisan antara beberapa keluarga. Perlu dikatakan juga bahwa kini pengertian keluarga adalah bertingkat-tingkat, mulai dari kelurga yang terdiri dari suami-isteri dengan anak-anaknya. Kalau si isteri ini meninggal dunia dengan meninggalkan sebidang sawah misalnya

25 Soerojo Wignjodipoero, Op.cit.,

(13)

maka sawah ini menjadi harta pusaka dari anak-anaknya yang dinamakan harta pusaka rendah.

Disamping ini ada barang-barang sebagai harta pusaka tinggi adalah milik keluarga yang lebih besar dibawah pimpinan seorang mamak kepala waris. Van Vollenhoven mengatakan bahwa rupa-rupanya dibeberapa daerah di minangkabau ada mulai timbul hukum warisan perseorangan terhadap barang-barrang pencarian. Dan sekiranya ini terutama dapat dikatakan diantara orang-orang minangkabau yang sudah lama merantau diluar daerah minangkabau.

3.5.5. Tanah Dati di Ambon27

Sifat kebapakan dari kekeluargaan di Ambon memperlihatkan sesuatu adat kebiasaan disana, bahwa tanah-tanah yang didapat seorangsecara membeli atau secara membuka hutan, sepeninggalnya seorang itu tidak dibagi-bagi diantara para ahli waris melainkan tetap tersedia untuk dipakai oleh segenap anggota adat dari “dati” atau keluarga seorang yang wafat tadi, dibawah pimpinan atau pengurus seorang “kepala dati”, yang serupa dengan “mamak kepala waris” di Minangkabau. Seperti halnya minangkabau, oleh Teer Haar diceritakan, bahwa apabila Dati yang menguasai tanah itu “lenyap” (habis), maka tanah itu jatuh ketangan keluarga yang terdekat.

Mr. C. Van Vollenhoven dalam bukunya tersebut halaman 413 ada ragu-ragu, apakah tanah dati ini merupakan tanah milik keluarga dati itu seperti halnya dengan harta pusaka di Minangkaau ataukah kini hanya terjadi pertangguhannya agak lama dari pembagian tanah dati diantara para ahli waris. Kalaun memang hanya terjadi pertangguan saja dari pembagian tanah maka sekiranya akan mudahlah timbulnya di Ambon pula hukum warisan perseorangan terhadap tanah juga.

3.6. AHLI WARIS

Dalam hukum adat anak-anak dari sipeninggal warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting oleh karena mereka pada hakikatnya merupakan satu-satunya golongan ahli waris, sebab lain-lain anggota keluarga, tidak menjadi ahli waris apabila sipeninggal warisan memiliki anak-anak.28 Jadi dengan adanya anak-anak maka kemungkinan lain-lain angoota keluarga dari sipeninggal warisan untuk menjadi ahli waris menjadi tertutup. Sedangkan tentang pembagiannya, menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 Reg. No. 179K/Sip./1961, anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan.29

27 Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., h. 23

(14)

Tetapi seperti juga telah dijelaskan dimuka maka ikatan hubungan kekeluargaan somah dibeberapa lingkungan hukum adat diterobos oleh ikatan hubungan kekeluargaan yang bersifat susunan unilateral yakni matriarchaat atau patriarchaat.

Didaerah minangkabau misalnya yang masyarakatnya menganut sifat susunan kekerabatan Matriarchaat, apabila wafat itu seorang suami, maka anak-anaknya tidak merupakan ahli waris dari harta pencariannya, sebab anak-anak itu merupakan warga anggota family ibunya, sedangkan bapaknya tidak; bapaknya merupakan warga familinya sendiri. Oleh karena itu maka harta pencariannya tidak diwaris ole hank-anak nya tetapi diwaris oleh saudara-saudara sekandungnya.

Mungkin sekali pada saat ini ketentuan adat waris seperti ini sudah beruah terutama dikalangan keluarga-keluarga minangkaau yang merantau diluar aerah aslinya. Tetapi juga didaerah minangkabau aslinya dalam perkembangan jaman ini Nampak sangat jelas adanya pergeseran yang makin lama makin memberikan kedudukan yang penting bagi somah didalam masyarakat, sehingga ikatan hubungan kekeluargaan suami-isteri lambat laun mejadi lebih penting dan lebih erat daripada ikatan hubungan kekerabatan family. Dan dengan lebih eratnya ikatan hubungan somah (suami-isteri-anak) ini, maka kemungkinan anak-anak menjadi ahli waris dari bapaknya menggantikan saudara-saudara sekandung bapaknya kiranya tidak dapat ditahan lagi.

Selain daripada adanya perkembangan pergeseran yang menguntungkan kedudukan hukum anak tersebut diatas, maka sementara ini dalam praktik seorang bapak yang mempunyai harta pencarian yang agak banyak sudah mengkoreksi sendiri hukum adat warisnya dengan sebelum meninggal sudah menghibahkan barang-barang dari harta pencariannya kepada ank-anaknya.

Didaerah Lampung dan Tapanuli yang masyarakatnya menganut sifat susunan kekeluargaan patriachaat, seorang gadis yang sudah kawin secara jujuran dan oleh karenanya setelah perkawinan masuk kerabat suaminya dan dilepaskan dari kerabatnya sendiri, tidak merupakan ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia. Tetapi sekarang pada umumnya dilakukan penghibahan kepadanya oleh orang tuanya sebagai koreksi terhadap hukum adat waris yang berlaku didaerah itu.30

Dipulau bali yang hubungan kekerabatannya juga bersifat patrichaat hanya anak lelaki yang tertua mewarisi seluruh harta peninggalan, tetapi dengan kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka. Di Savu dengan dengan sifat hubungan kekeluargaan parental harta peninggalan seorang ibu hanya diwarisi oleh anak-anak perempuan dan harta peninggalan seorang bapak hanya diwarisi oleh anak laki-laki. Kini didaerah ini juga terjadi penghibahan barang-barang pusaka dari seorang bapak kepada anak-anaknya perempuan, hal mana juga merupakan koreksi terhadap hukum adat waris yang berlaku didaerah itu.

29 Lihat lebih jelas Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 Reg. No. 179K/Sip./1961

(15)

IN D IK A T O R perempuan dan keturunannya disebut “haru kabala”.31

Dilain-lain daerah dengan sifat kekeluargaan parental, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan bersama sam ahli waris dari segala barang-barang warisan orang tuanya, baik bapak maupun ibu. Akibat dari aliran fikiran, bahwa harta kekayaan somah itu dari semula disediakan sebagai dasar materiil kehidupan somah dan turunannya ialah adalah peraturan penggantian waris.

Jika seorang anak meninggal sedang orang tuanya masih hidup, maka anak-anak orang yang meninggal itu bersama-sama mengganti bapaknya sebagai waris didalam harta peninggalan kakek-nenek nya. Demikian pula bunyinya putusan Kamar III Raad van Justitie Jakarta dahulu tanggal 16 Desember 1938 Indisch Tijdschrift van het Rech 150 halaman 239. Berdasarkan peraturan penggantian waris ini maka apabila anak-anaknya tela meninggal dunia semua, maka cucu-cucu itu, yang menutup kemungkinan warga keluarga kerabat lain-lainnya utuk menjadi ahli waris. Ketentuan demikian ini memang sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 391K/Sip/1958 yag berbunyi sebagai berikut:32

“Hak untuk mengisi atau menggantikan kedudukan seorang ahli waris yang lebih dahulu meninggal dunia daripada orang yang meninggalkan warisan, ada pada keturunan dalam garis menurun.”

Tetapi kemudian dalam akhir tahun 1959 Mahkamah Agung berpendapat, bahwa soal boleh ataun tidaknya penggantian waris itu harus ditinjau dari rasa keadilan dari para anggota masyarakat yang bersangkutan mengenai hal yang dimaksudkan, peninjauan mana harus dihubungkan dengan kewajiban dalam prinsipnya untuk memelihara oleh seorang tua terhadap anaknya dan sebaliknya dari seorang anak terhadap orang tuanya. Pendapat Mahkamah inilah yang menjadi dasar Keputusan Mahkamah Agung tanggal 10 November 1959 Reg. No. 141K/Sip/1959 yang berbunyi sebagai berikut:33 “Penggantian waris dalam garis keatas juga mungkin, ditinjau dari rasa keadilan”.

Semua orang diatas tadi hanya mengenai anak sendiri atau anak kandung saja. Tetapi didalam masyarakat Indonesia terdapat juga anak angkat, anak tiri, dan disamping itu juga anak yang lahir diluar perkawinan.

Adapun apabila disusun secara sistematis, maka Ahli Waris dalam Hukum Waris Adat adalah sebagai berikut:34

31 Soerojo Wignjodipoero, Op.cit., h. 188

32Lihat lebih jelas Keputusan Mahkamah Agung tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 391K/Sip/1958

33 Keputusan Mahkamah Agung tanggal 10 November 1959 Reg. No. 141K/Sip/1959 34 http/sigitbudhiarto.files.wordpress.com/ diakses pada 27 Juni 2014 pukul 16.25 WIB.

(16)

BAB VI

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan daripada Hukum Adat Waris dalam tinjauan secara

umum adalah sebagai berikut:

(17)

UU No. 3 Tahun 2006. Hukum yang sedang mengalami perubahan karena adanya perubahan masyarakat dan perubahan pandangan hukum melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, terutama mengenai pembagian warisan secara individual.

2. Teer Haar dalam “Beginslesen en stelsel van het adat recht” merumuskan hukum adat waris sebagai berikut: “Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperasian kekayaan materiil, dan immateriil dari suatu generasi ke generasi berikutnya.”(halaman 197 buku tersebut). Hal yang penting dalam warisan ini adalah, bahwa pengertian warisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur , yang masing-masing merupakan unsur esensialia (mutlak) yakni:

a. Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan.

b.Sseorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu.

c. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada ahli waris itu.

3. Adapun asas yang mendasari Hukum Adat Waris di Indonesia adalah: a. azas ketuhanan dan pengendalian diri

b. azas kesamaan hak dan kebersamaan hak c. azas kerukunan dan kekeluargaan

d. azas musyawarah dan mufakat e. azas keadilan dan parimirma

4. Sifat-sifat daripada Hukum Waris Adat adalah sebgai berikut:

a. Tidak mengenal “legitieme poortie”, akan tetapi hukum adat waris menetapkan dasar persamaan hak.

b. Meletakkan dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris.

c. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebgaian yang dibagi-bagi.

(18)

e. Dikenal sistem: “Penggantian Waris”

f. Pembagiannnya merupakan tindakan berasama, berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris.

5. Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Waris yakni:

 Sistem pewarisan individual yakni sistem pewarisan dimana harta warisan atau yang ditinggalkan dapat dibagikan dan dimiliki secara individual diantara para ahli waris;

 Sistem pewarisan kolektif yakni sistem pewarisan dimana harta warisan atau harta yang ditinggalkan oleh pewaris hanya diwarisi oleh sekelompok ahli waris yang merupakan persekutuan hak karena harta tersebut dianggap sebagai pusaka yang tidak dapat dibagi kepada para ahli waris untuk dimiliki secara individual;

 Sistem pewarisan mayorat yakni sistem pewarisan dimana harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris menjadi hak tunggal mayorat. Mayorat adalah ahli waris tunggal. Terdapat dua macam mayorat, yakni mayorat laki-laki dan mayorat perempuan yang dibeberapa daerah di Indonesia berbeda penerapannya. Mayorat laki-laki berlaku di beberapa daerah seperti di Bali dan Batak, sedangkan Mayorat perempuan dapat dijumpai berlaku di daerah sumatera selatan, Tanah semendo dan kalimantan barat serta suku dayak.

6. Banyaknya Harta Pembagian dalam Hukum Waris Adat adalah dipengaruhi oleh: a. Pengaruh Hak Pertuanan Desa

b. Pengaruh famiili

7. Ahli Waris dalam Hukum Adat Waris ini adalah pada hakikatnya hanyalah anak kandung. Namun tidak menutup kemungkinan untuk adanya ahli waris lain yang masuk selain daripada anak kandung. Misalnya ayah ataupun ibu dan lainnya dengan berdasarkan kondisi tertentu.

SARAN

Adapun saran yang dapat saya berikan terkait Hukum Waris Adat sebagai salah satu Pembagian Warisan di Indonesia adalah:

(19)

2. Meski secara umum adalah merupakan transaksi dalam ranah hukum perdata, namun dalam pelaksanaannya sangatlah rawan terjadi perselisihan dalam prosesnya, maka, pemerintah haruslah bijak dalam mengawal masyarakat serta menegakkan hukum agar terjaminnya setiap hak-hak yang bersangkutan dan haruslah mengkaji hukum yang hidup dalam masyarakat yang berarti halkim tidak hanya corong undang-undang, sebab sebegitu beragamnya lah hukum pewarisan adat di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Oemarsalim, 1991. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta

(20)

Wignjodipoero, Soerojo, 1983. Hukum adat waris Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Penerbit PT Toko Gunung Agung, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1 November 1961 Reg. No. 179K/Sip./1961 Keputusan Mahkamah Agung tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 391K/Sip/1958 Keputusan Mahkamah Agung tanggal 10 November 1959 Reg. No. 141K/Sip/1959

SITUS

http/statushukum.com/diakses pada 27 juni 2014 pukul 13.47 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Arikunto (2010) menyatakan bahwa semakin mirip karakteristik sampel yang diambil, semakin baik hasil yang diperoleh dari penelitian. Pihak yang dianggap paling tepat

Ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban pembayaran klaim ( schedule f) 0 4 Jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa pada hipotesis pertama mengenai Pengaruh citra merek secara signifikan terhadap keputusan pembelian sepeda motor matic

Hal yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana pandangan Michael Cook terhadap fenomena Common Link serta bagaimana Cook mengaplikasikan teori The Spread of Isna>d

[r]

Maka persoalan yang dihadapi adalah menentukan lama operasi suatu mesin Induction Furnace sebelum kebocoran selang hidraulik terjadi dan mengalihkan operasi ke mesin

Rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah power tungkai dan keseimbangan dinamis secara bersama-sama memberikan kontribusi yang positif dan signifikan terhadap hasil

karena itu, kami tidak menyatakan suatu opini atas laporan keuangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia tanggal 31 Desember 2015 dan untuk tahun yang berakhir pada