• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kementerian PPN Bappenas :: Ekonomi 2005 RAPBN-P II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kementerian PPN Bappenas :: Ekonomi 2005 RAPBN-P II"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

RANCANGAN

UNDANG- UNDANG REPUBLI K I NDONESI A

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS

UNDANG- UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004

TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

TAHUN ANGGARAN 2005

(2)

DAFTAR ISI ...

DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GRAFIK ...

BAB I PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR APBN TAHUN

ANGGARAN 2005...

Pendahuluan ... Gambaran Umum Ekonomi Indonesia Tahun 2005... Perkembangan Indikator Ekonomi Makro 2004-2005... Pertumbuhan Ekonomi ... Inflasi ... Nilai Tukar Rupiah ... Suku Bunga SBI 3 Bulan ... Harga Minyak Internasional ... Neraca Pembayaran ...

BAB II ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ...

Pendahuluan ... Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah ... Penerimaan Dalam Negeri ... Penerimaan Perpajakan ... Penerimaan Negara Bukan Pajak ... Hibah ...

Perkiraan Belanja Negara ... Anggaran Belanja Pemerintah Pusat ... Belanja Pemerintah Pusat menurut Jenis ... Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi ... Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi ... Anggaran Belanja Untuk Daerah ... Dana Perimbangan ...

DAFTAR ISI

Halaman

i

iii

iv

1

1 2 10 10 14 16 18 21 23

2 5

(3)

Halaman

Dana Bagi Hasil ... Dana Alokasi Umum ... Dana Alokasi Khusus ... Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ... Dana Otonomi Khusus ... Dana Penyesuaian ... Defisit Anggaran ... Pembiayaan Anggaran ...

LAMPIRAN :

Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005...

52 54 54 55 55 55 56 56

(4)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I.1 Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro, 2004 – 2005 ... Tabel I.2 Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (y-0-y), 2003-2005 ... Tabel I.3 Perkembangan Suku Bunga SBI dan Perbankan, 2001-2005... Tabel I.4 Perkembangan Harga Rata-rata Minyak Mentah, Desember 2003-Juli 2005... Tabel I.5 Ringkasan Neraca Pembayaran Indonesia, 2004 – 2005 ... Tabel II.1 Perkiraan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun 2005... Tabel II.2 Perkiraan Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah, Tahun 2005... Tabel II.3 Perkiraan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Klasifikasi Jenis, Tahun 2005... Tabel II.4 Perkiraan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi, Tahun 2005... Tabel II.5 Perkiraan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, Tahun 2005... Tabel II.6 Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Untuk Daerah, Tahun 2005... Tabel II.7 Perkiraan Realisasi Pembiayaan Anggaran, Tahun 2005 ...

10

11 20

22 24

28 37

46

50

(5)

DAFTAR GRAFIK

Halaman

Grafik I.1 Perkembangan Inflasi Umum dan Bahan Makanan, Januari 2004 -Juli 2005 ... Grafik I.2 Perkembangan Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran Januari -Juli 2005... Grafik I.3 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan REER, 2003 - 2005 ... Grafik I.4 Perkembangan Base Money, 2003 - 2005...

15

16

(6)

BAB I

PERKEM BAN GAN ASUM SI D ASAR

APBN TAH UN AN GGARAN 2 0 0 5

PEN DAHULUAN

Dalam jangka menengah Pemerintah bertekad untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas guna menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi tingkat kemiskinan. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi makro, menurunkan ketidakpastian, memperkuat dan menyelesaikan reformasi institusional dan struktural dalam rangka memperbaiki iklim investasi di dalam negeri.

Kebijakan ekonomi makro 2005 merupakan satu rangkaian dari kebijakan ekonomi jangka menengah 2005-2009 dalam rangka mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang merupakan program kerja pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu. Prospek ekonomi Indonesia tahun 2005 pada gilirannya akan mempengaruhi besaran APBN 2005. Dalam kaitan ini, terdapat beberapa indikator ekonomi makro utama yang sangat mempengaruhi tercapainya sasaran-sasaran dalam APBN, yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan, harga minyak mentah Indonesia, dan tingkat produksi (lifting) minyak Indonesia.

Undang-undang APBN 2005 yang disahkan dalam bulan Oktober 2004 didasarkan kepada asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 5,5 persen, nilai tukar rupiah Rp8.600 per dolar Amerika Serikat, harga minyak mentah US$24 per barel, dan produksi minyak Indonesia 1,125 juta barel per hari.

Undang-undang APBN 2005 tersebut mempunyai sifat khusus karena disusun dalam masa peralihan kekuasaan dari pemerintahan Kabinet Gotong Royong dan DPR hasil Pemilu 1999 kepada pemerintahan dan DPR sekarang. Dengan mengingat kondisi kekhususan tersebut, APBN 2005 disusun dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan fiskal, tetapi masih memberikan fleksibilitas yang cukup bagi pemerintahan baru untuk membuat kebijakan dan prioritas anggaran dan fiskal yang baru, mengingat pada dasarnya hak untuk melakukan perubahan-perubahan APBN 2005 sesuai dengan prioritas kebijakan fiskal sepenuhnya terdapat pada Pemerintah dan DPR sekarang. Lebih dari itu, asumsi-asumsi APBN 2005 yang terkait dengan target penerimaan dan belanja didasarkan kepada asumsi dan kondisi lingkungan pada pertengahan tahun 2004. Mengingat APBN 2005 disetujui dalam bulan September 2004, Indonesia telah dipengaruhi oleh tsunami di Aceh dan Sumatera Utara dan perkembangan harga minyak internasional, yang pada gilirannya berdampak kepada besarnya sasaran penerimaan dan pengeluaran pemerintah, yang secara historis terus berlanjut pada tingkat yang tinggi.

(7)

Untuk itu, dalam bulan Maret 2005 Pemerintah mempercepat pengajuan RUU APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2005, lebih cepat dari jadwal yang seharusnya, yaitu bulan September 2005. Percepatan pengajuan RUU APBN-P 2005 ini penting untuk mengamankan pelaksanaan APBN 2005, agar lebih realistis, serta untuk lebih mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi 2005 dan jangka menengah baik dalam rangka penyediaan lapangan kerja baru maupun pengurangan penduduk miskin. Percepatan pengajuan RUU APBN-P 2005 juga untuk mengakomodasikan keperluan pembangunan kembali Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam pasca bencana tsunami Desember 2004, yang rencana kebutuhan pembiayaannya belum ditampung dalam UU APBN 2005, serta rencana tambahan belanja negara dalam rangka program kompensasi pengurangan subsidi BBM.

Selanjutnya untuk menampung beberapa hal yang belum terakomodasi pada APBN-P 2005 sebelumnya, Pemerintah mengajukan RUU APBN-P 2005 tahap II. Selain itu, RUU APBN-P tersebut juga dimaksudkan untuk menampung perkembangan kondisi perekonomian nasional terkini khususnya terkait dengan besaran-besaran ekonomi makro yang telah mengalami perubahan cukup signifikan.

Perubahan asumsi dasar ekonomi makro, khususnya asumsi harga minyak mentah yang meningkat cukup tajam mengandung konsekuensi berubahnya postur APBN secara signifikan, terutama terhadap besaran penerimaan migas, dana bagi hasil untuk daerah, dan subsidi BBM. Untuk menjaga kesehatan dan alokasi APBN maka diperlukan langkah-langkah kebijakan fiskal seperti kebijakan pengurangan subsidi BBM. Perubahan asumsi harga minyak dan adanya kebijakan kenaikan harga BBM dalam negeri membawa konsekuensi kepada asumsi-asumsi ekonomi makro lainnya seperti inflasi dan tingkat bunga. Selain itu, perkembangan nilai tukar juga diperkirakan tidak sekuat sebagaimana diperkirakan semula namun cenderung melemah dalam beberapa waktu terakhir. Melemahnya nilai tukar rupiah ini juga berimplikasi pada naiknya tingkat inflasi domestik. Dengan mencermati kondisi terkini, asumsi dasar ekonomi makro yang terdapat dalam APBN-P 2005 perlu disesuaikan dalam APBN-P 2005 tahap II. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 6,0 persen, inflasi 8,0 persen, kurs Rp9.500 per dolar Amerika Serikat, suku bunga SBI 3 bulan 8,25 persen, serta harga dan produksi minyak Indonesia mencapai masing-masing sekitar US$50,6 per barel dan 1,075 juta barel per hari.

GAM BARAN UM UM EKON OM I I N D ON ESI A

TAH UN 2 0 0 5

Perekonomian Indonesia tahun 2005 diawali dengan momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan meningkatnya kepercayaan bisnis dan permintaan investasi dengan pesat. Krisis ekonomi yang telah memundurkan pembangunan ekonomi dalam 6 tahun terakhir telah diakhiri dengan suksesnya transisi dari program IMF. Lebih dari itu, tingkat kemiskinan telah turun di bawah tingkatnya sebelum krisis.

Perubahan asumsi maan migas, dana bagi hasil untuk daerah, dan subsidi BBM.

Pemerintah memper-cepat pengajuan RUU APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2005, lebih cepat dari jadwal seharusnya yaitu bulan September 2005.

(8)

Momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut tidak terlepas dari terjaganya stabilitas ekonomi makro dalam beberapa tahun terakhir. Perbaikan yang mengesankan dalam sustainabilitas fiskal dalam tahun-tahun terakhir yang didukung oleh stabil dan demokratisnya lingkungan politik telah mendukung gambaran stabilitas ekonomi makro tersebut. Momentum ekonomi bersama-sama dengan stabilitas politik dan ekspektasi yang tinggi terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan baru telah memperbaiki sentimen masyarakat. Risiko ekonomi makro yang diukur dengan rasio utang luar negeri dan utang pemerintah terhadap PDB terus membaik. Sekalipun demikian, iklim investasi masih perlu diperbaiki, khususnya dalam beberapa sektor seperti sektor pertambangan minyak dan gas yang pada gilirannya menyebabkan turunnya produksi minyak dan gas.

Dalam tahun 2004, sekalipun terdapat tantangan global dari naiknya harga minyak mentah, kinerja ekonomi Indonesia lebih baik dari yang diperkirakan semula. Inflasi relatif rendah, indeks harga saham yang meningkat pada level tertinggi sepanjang sejarah, dengan pertumbuhan ekonomi 5,1 persen, tertinggi sejak krisis tahun 1998.

Investasi dan ekspor telah mulai menunjukkan peningkatan meskipun stabilitas ekonomi makro masih belum dicerminkan dalam penciptaan lapangan kerja yang memadai karena masih terdapatnya berbagai hambatan di sektor riil. Hal ini merupakan tantangan utama dalam lima tahun mendatang, yaitu mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan mengkonsolidasikan reformasi mikro seraya memelihara stabilitas ekonomi makro.

Selanjutnya, untuk lebih mendorong kesejahteraan masyarakat Indonesia, Pemerintah mempunyai misi ekonomi yang didasarkan kepada tiga strategi utama. Strategi pertama yaitu mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi secara berkelanjutan melalui kombinasi ekspor yang kuat dan meningkatnya investasi, baik dalam negeri maupun luar negeri (pro-growth). Kedua, menstimulasi kinerja sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja (pro-employment). Dan ketiga, mendukung pembangunan ekonomi perdesaan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor).

Dengan tiga strategi utama tersebut, target-target ekonomi jangka menengah diharapkan dapat tercapai. Dalam lima tahun mendatang, pengangguran terbuka diharapkan berkurang dari 9,5 persen dalam tahun 2003 menjadi 5,1 persen. Tingkat kemiskinan juga ditargetkan menurun dari 16,6 persen tahun 2004 menjadi 8,2 persen tahun 2009. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi rata-rata akan mencapai sekitar 6,6 persen per tahun.

Target-target tersebut hanya akan dicapai apabila terdapat tingkat inflasi yang rendah, sustainabilitas fiskal, dan upaya untuk berpegang teguh kepada strategi reformasi ekonomi di atas. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, produktivitas diupayakan meningkat di semua sektor. Meningkatnya produktivitas akan terjadi apabila reformasi ekonomi makro berlanjut, dan diikuti dengan berbagai reformasi pada tataran mikro. Berbagai reformasi yang saat ini sedang aktif dilakukan adalah memperbaiki iklim investasi, menjamin fleksibilitas pasar kerja, dan memerangi korupsi untuk menurunkan ekonomi biaya tinggi. Pemerintah juga mempunyai komitmen untuk

Dalam tahun 2004, kinerja ekonomi Indone-sia lebih baik dari yang diperkirakan semula.

(9)

melanjutkan proses reformasi hukum, antara lain dengan menerbitkan Peraturan Presiden tentang pemberantasan korupsi, mendirikan Komite Pengawas Kejaksaan, dan memerangi penyelundupan. Kesemuanya ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan kepastian investasi di Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga mempunyai tekad yang kuat untuk memperbaiki infrastruktur. Dalam bulan Januari 2005 Pemerintah telah menyelenggarakan Infrastructure Summit di Jakarta yang dihadiri oleh 700 pebisnis dari 22 negara. Kesimpulan dari Infrastructure Summit yaitu memberi ruang yang lebih besar kepada partisipasi sektor swasta dalam membangun berbagai program infrastruktur yang akan memberikan stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Komitmen Pemerintah memperbaiki iklim investasi akan melengkapi upaya-upaya dalam meningkatkan kepastian hukum dan aturan agar merangsang partisipasi sektor swasta dalam pembangunan. Dalam mendukung program tersebut telah dibentuk Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) dan telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Kelistrikan, PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Water Piping System, dan PP Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Memasuki tahun 2005, Indonesia dihadapkan dengan cobaan yang terberat dalam sejarah bangsa, baik secara emosi, sosial, maupun ekonomi. Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 telah mengakibatkan kerusakan yang hebat dan kehilangan nyawa sekitar 124.000 jiwa dan 400.000 jiwa kehilangan tempat tinggal di Aceh dan Sumatera Utara. Tugas yang mendesak adalah segera memberikan bantuan darurat, dan diikuti dengan tahapan-tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan memakan waktu antara 3-5 tahun. Untuk itu, pada pertemuan khusus pimpinan ASEAN setelah gempa bumi dan tsunami di Jakarta pada 6 Januari 2005, Pemerintah dan berbagai organisasi internasional telah menyampaikan komitmen mengenai perlunya solidaritas global untuk membantu korban tsunami, untuk mendukung program-program nasional untuk rehabilitasi dan rekonstruksi, dan untuk mengantisipasi korban bencana selanjutnya dengan mendirikan sistem peringatan dini di Samudera Hindia. Mereka juga membuat komitmen untuk program-program yang telah disetujui pada Tsunami Summit di Jakarta.

Prospek ekonomi dalam tahun 2005 juga perlu dicermati secara hati-hati untuk mengantisipasi pertumbuhan ekonomi dunia yang agak melambat, lebih tingginya tingkat bunga di Amerika Serikat, menguatnya US dolar di pasar global, dan terus berlanjutnya harga minyak yang cukup tinggi. Lebih dari itu, menyadari perlunya tambahan pengeluaran untuk upaya-upaya pemulihan terkait dengan bencana Tsunami, maka Pemerintah perlu meninjau ulang mengenai rencana awal penurunan lebih lanjut atas defisit APBN, sehingga target defisit untuk APBN-P 2005 sedikit diperlonggar menjadi 0,8 persen PDB lebih tinggi dari 0,7 persen PDB dalam APBN 2005. Berlajutnya tekanan terhadap beberapa indikator ekonomi makro di atas dalam beberapa bulan terakhir menyebabkan perkiraan realisasi defisit menjadi sekitar 1,0 persen PDB.

Perkiraan realisasi defisit 1,0 persen tersebut masih dalam kerangka program konsolidasi fiskal. Sejalan dengan kebijakan fiskal yang berhati-hati,

Memasuki tahun 2005, Indonesia dihadapkan dengan cobaan yang terberat dalam sejarah bangsa, baik secara emosi, sosial, maupun ekonomi.

(10)

Pemerintah berupaya lebih keras untuk mengendalikan defisit APBN sekalipun terdapat tambahan kebutuhan dana untuk upaya rekonstruksi terhadap daerah-daerah yang dilanda tsunami dan untuk pemberian dana kompensasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Dukungan hibah oleh lembaga-lembaga donor, moratorium utang oleh negara-negara donor yang tergabung dalam Paris Club, dan tambahan dana dari negara-negara anggota CGI cukup membantu manajemen fiskal Indonesia.

Berbagai kebijakan fiskal utama yang telah diambil dan akan terus dilaksanakan mencakup pelaksanaan kebijakan untuk mengurangi defisit dan mengendalikan utang Pemerintah pada tingkat yang aman. Selain itu, Pemerintah akan melanjutkan modernisasi pajak dan kepabeanan dan melakukan reformasi struktural. Undang-undang perpajakan dan kepabeanan akan diamandemen agar sistem perpajakan di Indonesia menjadi lebih kompetitif. Pemerintah juga akan merasionalisasikan belanja negara yang akan lebih diarahkan kepada hal-hal yang diprioritaskan termasuk langkah-langkah kebijakan kompensasi pengurangan subsidi BBM dan pemulihan dan rekonstruksi Aceh. Selain itu, pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan desentralisasi fiskal juga akan diperbaiki berdasarkan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah pusat dan daerah dengan maksud untuk memperbaiki mekanisme pinjaman daerah. Pemerintah juga akan mengusulkan amandemen Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk memberikan lingkungan yang kondusif bagi investasi di daerah.

Dalam kaitannya dengan pembiayaan anggaran, Paris Club telah mengadakan pertemuan pada tanggal 12 Januari 2005, dan 9 s.d 10 Maret 2005 untuk mendiskusikan penawaran moratorium utang bagi negara peminjam yang terkena dampak bencana tsunami pada bulan Desember 2004. Tujuan utama penawaran moratorium utang yaitu agar negara-negara peminjam yang terkena bencana tsunami mempunyai sumber dana yang cukup untuk membiayai keperluan rekonstruksi dan kemanusiaan di daerah-daerah yang terkena bencana. Pada tanggal 10 Maret 2005, Paris Club mengeluarkan press release yang isinya bahwa negara-negara anggota yang terkena bencana tsunami dapat keringanan untuk tidak membayar kewajiban utang sampai dengan 31 Desember 2005. Penundaan utang pokok dan bunga dibayarkan dengan tenggang waktu lima tahun dan grace period satu tahun. Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia menyetujui tawaran penundaan utang pokok dan bunga dari Paris Club sebesar US$3,0 miliar yang akan jatuh tempo tahun ini.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan reformasi sektor finansial, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia telah menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) atas prosedur penutupan perbankan dan lender of the last resort. Rancangan Undang-undang tentang jaring pengaman keuangan saat ini juga sedang dipersiapkan. Undang-undang Lembaga Penjaminan Simpanan telah disahkan DPR tahun 2004 dan efektif mulai berlaku September 2005, dan Sistem Penjamin Simpanan saat ini mulai diterapkan secara bertahap. Selain itu, cetak biru mengenai Otoritas Jasa Keuangan yang terintegrasi juga sedang dipersiapkan. Di lingkungan Departemen Keuangan, Bappepam juga akan digabung dengan Direktorat

(11)

Jenderal Lembaga Keuangan agar supervisi aktivitas pasar modal dan lembaga keuangan dapat dilaksanakan lebih baik.

Selanjutnya, perbaikan manajemen sektor publik yang merupakan bagian dari upaya peningkatan akuntabilitas sektor pemerintah sebagai penyelenggara negara akan dipercepat. Berbagai aspek mengenai perbaikan manajemen sektor publik mencakup antara lain manajemen belanja negara, manajemen utang, procurement dan akuntansi, serta auditing dan kontrol pada semua tingkatan pemerintahan. Berbagai kegiatan yang sedang dilakukan dengan bantuan berbagai lembaga internasional, yaitu (i) perbaikan manajemen keuangan, (ii) penguatan pungutan penerimaan dan manajemen keuangan publik dan akuntabilitas, (iii) penguatan fungsi pemeriksaan, termasuk untuk pemerintah daerah dan melakukan harmonisasi sistem keuangan daerah dan pusat dan mekanisme peminjaman dan hibah daerah, (iv) memperkenalkan sistem anggaran berbasis kinerja, (v) membuat model strategi manajemen utang, dan (vi) membentuk unit penasehat (advisory unit) untuk memberikan arahan kebijakan pada keseluruhan manajemen pengeluaran publik.

Di bidang moneter, tahun 2004 merupakan tahun prestasi tetapi juga merupakan tahun yang penuh tantangan. Tahun 2004 pada dasarnya merupakan tahun transisi politik dan dalam prosesnya pemilihan umum dapat dilaksanakan dengan demokratis, damai, jujur, dan terbuka. Sekalipun demikian, dengan dipeliharanya kebijakan moneter yang sehat yang didukung oleh aliran modal yang bebas dan rezim nilai tukar mengambang bebas, otoritas moneter telah berhasil menjaga stabilitas perekonomian, yang tercermin dari stabilitas nilai tukar pada tingkat rata-rata Rp8.938 per dolar Amerika Serikat atau terdapat depresiasi 4,21 persen setahun, menurunnya tingkat bunga domestik sampai pertengahan 2004, dan inflasi dan ekspektasi inflasi tetap terkendali. Inflasi tahunan (y-o-y) tahun 2004 mencapai 6,4 persen. Kebutuhan riil perekonomian, terutama untuk kepentingan korporasi yang cukup tinggi, dan penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap berbagai mata uang dunia yang dipicu oleh kenaikan suku bunga The Fed mempunyai peranan yang berarti terhadap melemahnya nilai tukar rupiah dalam kurun waktu 2004.

Memasuki tahun 2005, sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi Indonesia, stabilitas ekonomi makro diperkirakan dapat dipelihara. Nilai tukar rupiah selama tahun 2005 diperkirakan relatif stabil dengan kecenderungan melemah menjadi rata-rata sebesar Rp9.500/US$, melemah 2,1 persen dibandingkan dengan perkiraan APBN-P 2005 sebesar Rp9.300/US$.

Melemahnya nilai tukar rupiah pada gilirannya diikuti oleh tekanan inflasi yang lebih tinggi. Laju inflasi tahun 2005 diperkirakan mencapai 8,0 persen. Realisasi inflasi kumulatif selama Januari-Juli 2005 mencapai 5,09 persen. Ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya, tekanan inflasi tahun 2005 selain karena melemahnya nilai tukar rupiah, juga bersumber dari tingginya harga komoditas impor, meningkatnya permintaan agregat, tingginya ekspektasi inflasi, kenaikan harga BBM (29 persen), dan kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok (15 persen). Dalam rangka pengendalian inflasi secara komprehensif, Pemerintah maupun Bank Indonesia telah dan akan

(12)

melakukan upaya-upaya untuk meredam gejolak harga barang-barang lainnya. Dalam hal ini, otoritas moneter tetap berkomitmen untuk melaksanakan kebijakan moneter yang sehat, sejalan dengan misi untuk menjamin stabilitas nilai tukar rupiah dan supervisi perbankan secara hati-hati untuk menjamin kesehatan dan efektivitas sistem perbankan. Sementara itu, Pemerintah akan senantiasa berkoordinasi untuk turut membantu pengendalian inflasi, terutama dengan menjaga kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dengan senantiasa memantau kelancaran distribusi maupun ketersediaan stok di pasar, dan mengendalikan kenaikan-kenaikan tarif yang penentuannya dipengaruhi oleh Pemerintah. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, laju inflasi dalam tahun 2005 diperkirakan mencapai sebesar 8,0 persen, lebih tinggi dari yang diperkirakan semula dalam APBN-P 2005 sebesar 7,5 persen.

Nilai tukar rupiah yang cenderung melemah secara moderat dan laju inflasi yang sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2003, masih menunjukkan relatif stabilnya kondisi makro-moneter dalam tahun 2004. Kondisi ini memberikan peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga secara bertahap dalam tahun 2004. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan rata-rata suku bunga SBI-3 bulan dari 8,15 persen pada bulan Januari 2004 menjadi 7,29 persen dalam bulan Desember 2004. Dengan demikian, dalam tahun 2004, realisasi rata-rata suku bunga SBI-3 bulan mencapai 7,39 persen. Dalam tahun 2005, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan dari Januari sampai dengan Juli mencapai 7,67 persen. Perkiraan realisasi selama tahun 2005 yaitu 8,25 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN-P 2005 sebesar 7,5 persen. Lebih tingginya perkiraan tersebut untuk mengantisipasi kenaikan inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah. Hal ini merupakan refleksi dari bergesernya kebijakan moneter dari akomodatif menjadi tight bias.

Terjaganya kondisi ekonomi makro dan moneter memberi peluang kepada progresivitas kinerja sektor perbankan. Dana pihak ketiga dan kredit yang disalurkan cukup tinggi. Selama periode Januari-Mei 2005, dana pihak ketiga (DPK) dan kredit perbankan masing-masing meningkat sebesar 2,5 persen dan 9,4 persen dibanding dengan posisi akhir tahun 2004. Membaiknya kinerja sektor perbankan juga tercermin pada meningkatnya LDR dari 50,0 persen pada Desember 2004, menjadi 52,9 persen pada bulan Mei 2005. Demikian pula CAR meningkat dari 19,4 persen pada akhir 2004 menjadi 20,0 persen dalam bulan Mei 2005. Namun demikian kualitas kredit mengalami penurunan yang tercermin pada meningkatnya non performing loans (NPLs) dalam beberapa bulan terakhir.

Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor perbankan lebih lanjut, kebijakan perbankan akan diarahkan pada pencapaian lima tujuan. Pertama, mempercepat proses konsolidasi dalam industri perbankan. Kedua, melanjutkan penyesuaian mekanisme dan prosedur sistem perbankan agar lebih mendukung kebutuhan perekonomian nasional. Ketiga, mengambil langkah-langkah untuk memperkuat infrastuktur sistem keuangan. Keempat, memperbaiki aspek prudensial perbankan dan fungsi intermediasi. Dalam kaitan ini, berbagai upaya akan difokuskan pada pengembangan manajemen yang lebih hati-hati kepada industri perbankan dan kepedulian yang lebih kuat atas resiko-resiko perbankan. Tujuan kelima, industri perbankan

Kondisi makro-moneter dalam tahun 2004 relatif stabil.

Terjaganya kondisi ekonomi makro dan moneter juga turut men-dorong membaiknya kinerja sektor per-bankan.

(13)

.

Indonesia diharapkan setingkat dengan negara-negara kawasan dengan mengimplementasikan Kerangka Kerja Bassel II dalam tahun 2008.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sempat mengalami tekanan pada bulan Mei dan Juni 2004, pada akhir Juli 2004 kembali meningkat hingga menembus angka 1.000 pada akhir tahun 2004. Sampai dengan akhir bulan Juli 2005, IHSG telah mencapai 1.182,3. Ekspektasi membaiknya pertumbuhan ekonomi dan keuntungan korporasi yang lebih baik, serta relatif stabilnya keamanan dan politik telah mendukung pemulihan indeks harga saham tersebut.

Sementara itu, perdagangan Surat Utang Negara (SUN) pada tahun 2004 juga mengalami kenaikan. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya volume perdagangan SUN di Bursa Efek Surabaya (BES) yang mencapai sekitar 51,9 persen, yaitu dari Rp337,7 triliun dalam tahun 2003 menjadi Rp513,0 triliun dalam tahun 2004. Peningkatan perdagangan SUN dalam tahun 2004 tersebut diikuti dengan penurunan imbal hasil (yield) yang signifikan. Memasuki tahun 2005 perdagangan SUN mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya suku bunga SBI.

Kinerja reksadana menunjukkan penurunan sehubungan dengan meningkatnya suku bunga SBI. Hal ini tercermin pada menurunnya nilai aktiva bersih (NAB) dari Rp104,0 triliun pada akhir tahun 2004 menjadi Rp76,1 triliun pada bulan Juli 2005. Dilihat dari jenisnya, reksadana pendapatan tetap menurun 42,9 persen, sedangkan reksadana jenis lainnya seperti saham, pasar uang, dan reksadana campuran masing-masing meningkat 183,3 persen, 23,6 persen, dan 90 persen dibandingkan posisi akhir tahun sebelumnya.

Dari sisi perkembangan persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), selama periode Januari-Juni 2005 nilai persetujuan PMDN mencapai sekitar Rp24,5 triliun, lebih besar dari persetujuan PMDN dalam periode yang sama tahun sebelumnya sekitar Rp20,8 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 18,1 persen. Sedangkan untuk Penanaman Modal Asing (PMA), nilai persetujuan PMA selama periode Januari-Juni 2005 mengalami perbaikan cukup signifikan menjadi sekitar US$5,9 miliar dibanding periode yang sama tahun 2004 sekitar US$3,5 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 71,4 persen. Dilihat dari jenis investasinya, maka nilai persetujuan PMA tersebut lebih didominasi untuk proyek baru yang mencakup sekitar 55,1 persen dari total persetujuan PMA. Persetujuan PMA untuk proyek baru tersebut dalam kurun waktu Januari-Juni 2005 mengalami peningkatan sekitar 124 persen, sementara untuk proyek perluasan mengalami peningkatan sekitar 12,8 persen.

Di sisi perkembangan sektor eksternal, dalam paruh pertama tahun 2005 realisasi sementara nilai ekspor Indonesia mencapai US$40.582,5 juta atau meningkat sebesar 27,48 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Naiknya ekspor tersebut bersumber dari naiknya ekspor migas sebesar 18,71 persen dan ekspor nonmigas sebesar 30,15 persen. Kontribusi nilai ekspor migas dan non migas terhadap total ekspor masing-masing sebesar 21,74 persen dan 78,26 persen. Meningkatnya nilai ekspor migas dipicu oleh tingginya harga minyak mentah di pasar internasional. Sedangkan

Kinerja reksadana tahun 2005 menunjuk-kan penurunan yang tercermin pada menu-runnya nilai aktiva bersih (NAB).

IHSG menembus angka 1.182,3 pada akhir Juli tahun 2005.

(14)

ke-peningkatan ekspor nonmigas bersumber dari meningkatnya ekspor produk pertanian, industri, dan produk pertambangan yang masing-masing meningkat sebesar 35,82 persen, 23,38 persen dan 115,05 persen. Peningkatan yang cukup menonjol pada ekspor produk pertanian mencakup kopi, teh, dan rempah-rempah, ikan dan udang, karet dan barang dari karet, serta lemak dan minyak hewan/nabati. Naiknya ekspor komoditas tersebut antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya harga-harga komoditas tersebut di pasara internasional. Peningkatan ekspor hasil industri dipicu oleh meningkatnya ekspor pakaian jadi dan barang-barang rajutan, bahan kimia dan produk bahan kimia, bubur kayu dan kertas, filamen buatan/serat stapel buatan, mesin/pesawat mekanik, mesin/peralatan listrik, kapal laut dan perabot penerangan rumah.

Di sisi lain, nilai impor selama periode Januari-Juni tahun 2005 mencapai US$28.373,1 juta atau meningkat sebesar 35,35 persen dibanding impor periode yang sama tahun 2004. Impor migas tercatat sebesar US$7.891,6 juta atau naik sebesar 56,63 persen sedangkan impor nonmigas meningkat sebesar 28,62 persen menjadi US$20.481,5 juta. Melonjaknya impor migas disebabkan oleh tingginya harga minyak internasional dan meningkatnya konsumsi BBM dalam negeri. Sementara lebih tingginya impor nonmigas terkait dengan meningkatnya impor bahan baku/penolong dan barang modal dalam rangka memenuhi kebutuhan industri domestik dan kegiatan investasi.

Optimisme dari membaiknya gambaran ekonomi makro terkini Indonesia di atas tetap perlu mempertimbangkan resiko ekonomi makro yang mungkin timbul. Sekalipun rasio stok utang pemerintah terhadap PDB menunjukkan penurunan yang tajam, pembayaran utang pemerintah baik cicilan maupun bunganya masih merupakan beban yang cukup berat bagi APBN. Sebagai hasilnya, Pemerintah masih memerlukan pinjaman baik dalam maupun luar negeri yang cukup besar. Hal tersebut dimungkinkan apabila fundamental ekonomi makro tetap kuat. Ketidakstabilan ekonomi makro akan membuat pinjaman tersebut menjadi lebih mahal.

Pertumbuhan ekonomi yang masih berkisar 5-6 persen belum mampu menciptakan lapangan kerja yang memadai guna menampung tambahan angkatan kerja serta mengurangi pengangguran yang ada. Dalam tahun 2004, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia meningkat menjadi 9,9 persen dari 9,5 persen tahun 2003. Sekalipun lapangan kerja baru yang tercipta tahun 2004 lebih tinggi dari tahun 2003 pada tingkat 2,3 juta, tingkat pengangguran terbuka tahun 2004 meningkat sejalan dengan masuknya sekitar 3,7 juta angkatan kerja baru ke pasar kerja. Dalam periode Agustus 2004 - Februari 2005, tambahan angkatan kerja baru di Indonesia mencapai 1,8 juta orang, sementara itu, dalam kurun waktu yang sama tambahan lapangan kerja baru hanya mencapai 1,2 juta orang, sehingga terdapat tambahan pengangguran terbuka sebesar sekitar 600 ribu orang. Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka meningkat menjadi 10,4 persen dalam bulan Februari 2005, dibandingkan dengan 9,9 persen pada Agustus 2004. Meningkatnya pengangguran antara lain karena adanya pemutusan hubungan kerja di berbagai industri pengolahan, termasuk tekstil dan alas kaki, dan BUMN termasuk industri dirgantara. Penggangguran diperkirakan tetap menjadi masalah di Indonesia sepanjang pertumbuhan ekonomi dan

Dalam periode Januari-Juni tahun 2005, impor sebesar US$28.373,1 juta.

Pembayaran utang pemerintah baik cicilan maupun bunganya ma-sih merupakan beban yang cukup berat bagi APBN.

(15)

penciptaan lapangan kerja tidak mampu berpacu dengan tambahan penduduk.

Berbeda dengan tingkat pengangguran yang semakin meningkat, persentase jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurun secara signifikan dalam periode setelah krisis. Dalam tahun 2003, persentase penduduk miskin mencapai 17,4 persen, membaik pada tingkat sebelum krisis (1996) sebesar 17,7 persen, namun masih mencakup jumlah besar yaitu sekitar 37,3 juta jiwa. Selanjutnya, pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 36,1 juta jiwa atau sekitar 16,6 persen jumlah penduduk.

Penurunan angka kemiskinan terutama berasal dari pertumbuhan pendapatan, dan menurunnya inflasi, khususnya terkendalinya harga-harga bahan makanan. Menurut studi Bank Dunia, setiap kenaikan 10 persen pendapatan perkapita riil akan mengurangi indeks kemiskinan dengan 1,3 persen. Pada saat yang sama, setiap kenaikan 10 persen harga riil beras menyebabkan peningkatan angka kemiskinan 3,2 persen.

PERKEM BAN GAN I N DI KATOR EKON OM I

M AKRO 2 0 0 4 - 2 0 0 5

Beberapa variabel ekonomi makro tahun 2005 yang digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan RAPBN 2005 meliputi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, inflasi, suku bunga SBI-3 bulan, harga minyak mentah, dan produksi minyak Indonesia. Perkembangan beberapa indikator ekonomi tersebut dapat dilihat dalam Tabel I.1.

PERTUM BUH AN EKON OM I

Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan penguatan yang cukup signifikan dalam triwulan I tahun 2005. Laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan 2000 dalam triwulan I tahun 2005 (y-o-y) mencapai sebesar 6,3 persen, lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 4,4 persen. Dalam beberapa triwulan terakhir, kinerja pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecenderungan penguatan yang terus berlanjut. Laju pertumbuhan ekonomi dalam lima triwulan terakhir dapat dilihat dalam Tabel I.2.

Persentase jumlah pen-duduk yang berada di bawah garis kemis-kinan menurun secara signifikan dalam periode setelah krisis.

2004

Realisasi Asumsi

APBN

APBN-P UU No 1/2005

Perkiraan realisasi

1. Pertumbuhan Ekonomi (persen) 5,0 5,4 6,0 6,0

2. T ingkat i nflasi ( persen) 6,4 5,5 7,5 8,0

3. Nilai T ukar Rupiah (Rp/US$) 8.939 8.600 9.300 9.500 4. Suku Bunga SBI-3 bulan ( persen) 7,39 6,5 8,0 8,25 5. Harga Minyak Internasi onal (US$/barel ) 37,17 24 45 50,6 6. Produksi Minyak (juta barel/hari) 1,072 1,125 1,125 1,075

2005

Tabel I.1

Perkem bangan Asum si Ekonom i Makro, 2004 – 2005

(16)

Dari sisi penggunaan, meskipun masih memberikan kontribusi cukup besar dalam pembentukan PDB yang mencakup sekitar 65 persen, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga menunjukkan kecenderungan yang melambat dalam lima triwulan terakhir. Bila dalam triwulan I 2004 laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 5,7 persen, maka dalam triwulan I 2005, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga menurun menjadi 3,2 persen. Perlambatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga ternyata juga diikuti dengan penurunan kontribusinya terhadap pembentukan PDB sejak tahun 2003. Dilihat dari komponennya, perlambatan konsumsi rumah tangga tampaknya terkait erat dengan kecenderungan menurunnya pertumbuhan konsumsi non makanan dalam lima triwulan terakhir. Laju pertumbuhan konsumsi non makanan dalam triwulan I tahun 2005 sebesar 4,4 persen, lebih rendah dibanding laju pertumbuhan pada triwulan yang sama tahun 2004, sebesar 9,8 persen. Beberapa faktor yang terkait dengan kecenderungan perlambatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga diantaranya adalah relatif tingginya laju inflasi domestik sepanjang tahun 2004 hingga semester I tahun 2005, melemahnya nilai tukar rupiah, dan kecenderungan meningkatnya suku bunga domestik dalam beberapa bulan terakhir.

Sementara itu, pengeluaran konsumsi pemerintah dalam triwulan I tahun 2005 mengalami pertumbuhan negatif 8,5 persen. Hal ini disebabkan oleh

Trw I Trw II Trw III Trw IV Trw I

PRODUK DOMESTIK BRUTO 4,9 5,1 4,4 4,4 5,1 6,7 6,3

Menurut Penggunaan

Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga 3,9 4,9 5,7 5,3 5,0 3,8 3,2 Pengeluaran Konsumsi Pemerintah 10,0 1,9 10,1 4,7 -3,8 -1,3 -8,5 PMTB 1,0 15,7 11,5 13,1 19,7 18,3 15,0 Ekspor Barang dan Jasa 8,2 8,5 1,2 2,0 17,1 13,7 13,4 Impor Barang dan Jasa 2,7 24,9 15,3 25,2 32,0 27,1 15,4

Menurut Lapangan Usaha

Pertanian 4,3 4,1 4,9 3,8 5,3 1,9 0,4 Pertambangan Dan Penggalian -0,9 -4,6 -7,0 -9,1 -5,0 3,3 3,6 Industri Pengolahan 5,3 6,2 6,0 6,9 4,8 7,2 7,0 Listrik, Gas, Dan Air Bersih 5,9 5,9 6,1 6,8 3,1 7,9 6,7 Bangunan 6,7 8,2 8,4 7,8 8,2 8,3 8,6 Perdagangan, Hotel Dan Restoran 5,3 5,8 2,7 4,1 6,9 9,4 10,0 Pengangkutan Dan Komunikasi 11,6 12,7 12,6 13,3 13,5 11,5 12,8 Keuangan, Persewaan & Jasa Persh. 7,0 7,7 7,5 6,7 8,3 8,4 6,8 Jasa - Jasa 3,9 4,9 4,7 5,1 4,7 5,0 5,1

Sumber : Badan Pusat Statistik

Tabel I.2

Laju Pertumbuhan PDB

Atas Dasar Harga Konstan 2000 (y-o-y), 2003-2005 (persen)

2005 Uraian 2003 2004

2004

Laju pertumbuhan konsumsi rumah tang-ga menunjukkan kecen-derungan perlambatan dalam lima triwulan terakhir.

(17)

tri-tingginya konsumsi pemerintah pada triwulan I tahun 2004 terkait dengan pembiayaan Pemilu langsung, sedangkan rendahnya pengeluaran konsumsi Pemerintah dalam triwulan I tahun 2005 berkaitan dengan keterlambatan pencairan anggaran Pemerintah karena penerapan sistem baru dalam pengelolaan anggaran belanja negara.

Dalam triwulan I tahun 2005, kecenderungan penguatan kinerja investasi riil (pembentukan modal tetap bruto domestik, PMTB) dalam beberapa periode terakhir terus berlanjut. Investasi riil dalam triwulan I tahun 2005 tumbuh secara signifikan sebesar 15,0 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhannya dalam triwulan yang sama tahun sebelumnya. Lebih dari itu, rasio investasi terhadap pembentukan PDB juga secara bertahap mengalami peningkatan sejak tahun 2003. Bila dalam tahun 2003, rasio investasi terhadap PDB sebesar 18,9 persen, dalam tahun 2004 telah meningkat menjadi 21 persen, dan dalam triwulan I 2005, rasionya telah meningkat kembali menjadi 21,4 persen.

Kecenderungan penguatan kinerja investasi, terutama dalam lima triwulan terakhir diantaranya tercermin dari meningkatnya konsumsi semen nasional dan impor barang modal. Konsumsi semen nasional pada periode Januari-Juni tahun 2005 mencapai sekitar 15,1 juta ton, lebih besar dibanding realisasinya pada periode yang sama tahun sebelumnya sekitar 13,8 juta ton atau mengalami pertumbuhan sekitar 8,8 persen. Pada sisi lain, impor barang modal selama periode Januari-Juni 2005 mengalami pertumbuhan sebesar 46,01 persen (y-o-y). Dalam periode yang sama, laju pertumbuhan impor bahan baku/penolong mencapai sebesar 35,3 persen. Selain itu, dari keseluruhan nilai impor nasional, kontribusi impor barang modal dan bahan baku/penolong juga mengalami peningkatan dari semula 91,5 persen dalam periode Januari-Juni 2004 menjadi 92,5 persen pada periode Januari-Juni 2005.

Dari sisi perkembangan persetujuan penanaman modal dalam negeri (PMDN), selama periode Januari–Juni 2005 nilai persetujuan PMDN mencapai sekitar Rp24,5 triliun, lebih besar dari persetujuan PMDN dalam periode yang sama tahun sebelumnya sekitar Rp20,8 triliun, atau mengalami peningkatan sebesar 18,1 persen. Sedangkan untuk Penanaman Modal Asing (PMA), nilai persetujuan PMA selama periode Januari– Juni 2005 mengalami perbaikan cukup signifikan menjadi sekitar US$5,9 miliar dibanding periode yang sama tahun 2004 sekitar US$3,5 miliar, atau mengalami peningkatan sekitar 71,4 persen. Dilihat dari jenis investasinya, maka nilai persetujuan PMA tersebut lebih didominasi untuk proyek baru yang mencakup sekitar 55,1 persen dari total persetujuan PMA. Persetujuan PMA untuk proyek baru tersebut dalam kurun waktu Januari – Juni 2005 mengalami peningkatan sekitar 124,2 persen, sementara untuk proyek perluasan mengalami peningkatan sekitar 12,8 persen.

Sementara itu, ekspor neto (ekspor minus impor) masih terus mencatat angka yang positif, meskipun dengan kecenderungan yang sedikit menurun. Penurunan ekspor neto ini disebabkan oleh relatif tingginya laju pertumbuhan impor, terutama barang modal, dibandingkan laju pertumbuhan ekspor, sejalan dengan kecenderungan semakin menguatnya kinerja investasi. Laju

Penguatan kinerja pertumbuhan investasi (pembentukan modal tetap bruto domestik) terus berlanjut dalam triwulan I tahun 2005, yang tumbuh sebesar 15 persen.

Dalam periode Januari– Juni 2005 nilai per-setujuan PMDN tumbuh sebesar 13 persen, sementara nilai. wulan I tahun 2005 mengalami pertum-buhan negatif 8,5 persen.

(18)

pertumbuhan ekspor pada triwulan I tahun 2005 tumbuh sebesar 13,4 persen, mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, sebesar 1,2 persen. Sementara itu, dalam triwulan I 2005 impor tumbuh sebesar 15,4 persen, sedikit mengalami perbaikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, sebesar 15,3 persen.

Dilihat dari sisi penawaran, dalam triwulan I tahun 2005, hampir semua lapangan usaha mencatat angka pertumbuhan positif. Kinerja pertumbuhan cukup mengesankan masih dialami oleh sektor-sektor yang tidak diperdagangkan (non tradable sector), terutama dialami oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor bangunan. Sektor pengangkutan dan komunikasi dalam triwulan I tahun 2005 mencatat angka pertumbuhan sebesar 12,8 persen, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pada periode yang sama tahun 2004, sebesar 12,6 persen. Subsektor pengangkutan, khususnya angkutan udara, dalam triwulan I tahun 2005, mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi sebesar 18,5 persen, meskipun sedikit mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebagai akibat dari naiknya harga minyak internasional dalam beberapa periode terakhir. Pada sisi lain, kecenderungan perlambatan juga terjadi pada subsektor komunikasi, meskipun masih mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi. Subsektor komunikasi dalam triwulan I tahun 2005 mencatat pertumbuhan sebesar 17,5 persen, mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 25,2 persen. Sementara itu, sektor bangunan juga masih mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi sebesar 8,6 persen, atau mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun 2004, sebesar 8,4 persen. Kinerja sektor bangunan yang terus membaik, tidak terlepas dari kecenderungan membaiknya kinerja kredit sektor properti dalam beberapa periode terakhir. Relatif tingginya laju pertumbuhan pada sektor-sektor yang tidak diperdagangkan (non tradable) tersebut mengindikasikan semakin membaiknya struktur dan fundamental perekonomian Indonesia.

Sementara itu, dalam triwulan I tahun 2005, laju pertumbuhan sektor pertanian tercatat sebesar 0,4 persen, mengalami perlambatan dibanding periode yang sama tahun 2004, sebesar 4,9 persen. Perlambatan tersebut disumbang oleh penurunan laju pertumbuhan pada subsektor tanaman pangan, kehutanan, dan perikanan. Penurunan kinerja subsektor tanaman pangan yang mencakup lebih dari separuh total sektor pertanian dalam triwulan I tahun 2005, terkait dengan tertundanya masa panen pertama 2005 dan timbulnya bencana banjir di beberapa sentra penghasil tanaman pangan pada awal tahun 2005.

Kinerja sektor industri pengolahan, terutama industri pengolahan non migas, menunjukkan laju pertumbuhan yang cukup stabil dengan kecenderungan yang semakin baik. Dalam triwulan I tahun 2005, industri pengolahan tumbuh sebesar 7,0 persen, meningkat dibanding triwulan I tahun sebelumnya sebesar 6,0 persen. Industri non migas mencatat pertumbuhan 8,1 persen dalam triwulan I tahun 2005, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 7,2 persen. Sementara itu, industri pengolahan migas masih mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar 1,3 persen, sedikit

Dalam triwulan I tahun 2005, seluruh sektor m e n g a l a m i pertumbuhan positif dengan sektor-sektor n o n - t r a d a b l e mengalami pertum-buhan tertinggi.

Dalam triwulan I tahun 2005 sektor pertanian mengalami laju per-tumbuhan yang me-lambat.

(19)

membaik dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tumbuh negatif sebesar 2,7 persen.

Perbaikan kinerja pertumbuhan sektor industri, terutama industri non migas disumbang oleh sub sektor industri pupuk, kimia dan alas kaki, sub sektor industri semen dan barang galian bukan logam, subsektor perlengkapan transportasi dan mesin, serta subsektor makanan, minuman dan tembakau. Meningkatnya kinerja subsektor industri semen dan barang galian bukan logam terutama terkait dengan meningkatnya konsumsi semen nasional sejalan dengan meningkatnya perbaikan kinerja sektor bangunan. Sementara itu, tingginya pertumbuhan subsektor transportasi dan mesin didorong oleh permintaan otomotif yang tinggi.

Dengan mencermati kecenderungan menguatnya kinerja pertumbuhan dalam beberapa triwulan terakhir yang disertai dengan membaiknya struktur ekonomi, serta memperhatikan perkembangan ekonomi global yang sedikit melambat sekaligus mempertimbangkan prospek kinerja ekonomi tahun 2005, maka sasaran pertumbuhan ekonomi tahun 2005 diperkirakan mencapai 6,0 persen.

I N FLASI

Laju inflasi yang dalam tahun 2003 dapat dikendalikan pada tingkat yang rendah yaitu 5,06 persen, kembali meningkat hingga mencapai 6,40 persen dalam tahun 2004. Memasuki tahun 2005, laju inflasi menunjukkan peningkatan yang cukup tajam, dan cenderung menurun sejak bulan April yaitu dari 8,81 persen y) pada bulan Maret menjadi 7,84 persen (y-o-y) pada bulan Juli 2005. Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi kumulatif selama Januari - Juli 2005 sebesar 5,09 persen jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi kumulatif periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,69 persen. Inflasi pada periode tersebut dipengaruhi oleh meningkatnya harga BBM, bencana tsunami di NAD dan Sumatera Utara, masih tingginya ekspektasi inflasi, serta meningkatnya harga barang impor terkait dengan melemahnya nilai tukar rupiah serta meningkatnya harga minyak mentah dipasaran internasional. Selain itu, kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 15 persen serta meningkatnya uang sekolah pada bulan Juli 2005 juga turut mendorong meningkatnya inflasi pada periode tersebut. Dalam bulan-bulan mendatang inflasi diperkirakan masih akan mengalami tekanan terkait dengan masih tingginya harga minyak dunia serta faktor musiman seperti Lebaran, Natal, dan tahun baru.

Dilihat dari inflasi bulanan, selama enam bulan yaitu Januari, Maret, April, Mei, Juni, dan Juli terjadi inflasi, dan satu bulan yakni bulan Februari, terjadi deflasi sebesar 0,17 persen. Deflasi pada bulan Februari tersebut terutama dikarenakan oleh menurunnya harga kelompok bahan makanan. Selama Januari-Juli 2005, inflasi tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 1,91 persen dan inflasi terendah terjadi pada bulan Mei sebesar 0,21 persen. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi bulanan pada Januari 2005 sebesar 1,43 persen, antara lain adalah bencana alam tsunami di NAD dan Sumatera Utara, yang memicu kenaikan harga bahan pangan dan makanan jadi.

Inflasi kumulatif selama Januari-Juli 2005 sebesar 5,09 persen.

(20)

Adapun inflasi pada bulan Maret 2005 sebesar 1,91 persen, antara lain dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) rata-rata 29 persen, yang mendorong meningkatnya indeks harga semua kelompok pengeluaran antara 0,12 persen sampai dengan 10,03 persen. Kelompok pengeluaran yang mengalami kenaikan tertinggi pada bulan Maret 2005 adalah kelompok transpor dan komunikasi dan jasa keuangan sebesar 10,03 persen, disusul kemudian oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 1,62 persen, dan kelompok sandang sebesar 0,64 persen. Pada bulan tersebut kenaikkan indeks harga terendah terjadi pada kelompok bahan makanan sebesar 0,12 persen. Pada bulan-bulan berikutnya laju inflasi cenderung menurun yaitu sebesar 0,34 persen, 0,21 persen, 0,50 persen, dan 0,78 persen masing-masing pada bulan April, Mei, Juni, dan Juli 2005. Perkembangan inflasi selama Januari-Juli 2005 dapat dilihat pada Grafik

I.1.

Inflasi pada bulan Juli 2005 sebesar 0,78 persen, atau 7,84 persen (y-o-y), merupakan inflasi tertinggi pada periode yang sama dalam tiga tahun terakhir. Tingginya inflasi pada bulan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya indeks harga semua kelompok pengeluaran seperti kelompok bahan makanan (2,07 persen), pendidikan, rekreasi dan olah raga (0,95 persen), sandang (0,55 persen), makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau (0,44 persen), perumahan dan kesehatan masing-masing (0,31 persen), serta kelompok transpor dan komunikasi dan jasa keuangan (0,04 persen). Tingkat inflasi menurut kelompok pengeluaran bulan Januari-Juli 2005 dapat dilihat pada Grafik I.2. Sementara itu bila dilihat dari komoditi-komoditi yang mempunyai andil dalam pembentukan inflasi pada bulan Juli antara lain cabe, beras, telur ayam ras, rokok kretek, dan tarif uang sekolah. Sedangkan komoditi yang mengalami penurunan harga antara lain daging ayam ras terkait dengan adanya wabah flu burung, dan bawang merah, serta seng. Selama bulan Juli 2005, 40 kota mengalami inflasi, dan 5 kota mengalami deflasi. Inflasi tertinggi (2,36 persen) terjadi di Sibolga, dan inflasi terendah (0,38 persen) terjadi di Balikpapan. Sedangkan deflasi terbesar (2,76 persen) terjadi di Lhokseumawe, dan deflasi terkecil (0,07 persen) terjadi di Jayapura.

Tinggingnya laju inflasi Januari-Juli 2005 dipicu oleh naiknya indeks harga semua kelompok barang.

Grafik I.1

Pe rke mbangan Inflasi Umum Dan Bahan Makanan Januari 2004 - Jul i 2005

-4,00 -2,00 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00

Jan 04

Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Jan 05

Feb Mar Apr Mei Jun Jul

Sum ber : Badan Pusat Statistik y-o-y,%

-1,00 -0,50 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 m-t-m,%

(21)

Pada lima bulan ke depan, laju inflasi diperkirakan masih akan mengalami tekanan terkait dengan masih tingginya harga minyak mentah dunia dan relatif melemahnya nilai tukar rupiah. Hal tersebut ditambah pula dengan rencana kebijakan untuk menaikan tarif tol, dan kenaikan harga gas, harga BBM untuk industri, serta adanya hari raya keagamaan (Lebaran dan Natal) pada bulan November dan Desember 2005, diperkirakan akan mendorong peningkatan laju inflasi. Dalam rangka mengurangi tekanan inflasi tersebut, Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa meningkatkan koordinasi dalam melakukan pemantauan dan pengendalian inflasi, yang antara lain ditempuh melalui kebijakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi kebutuhan bahan pokok, menurunkan ekspektasi inflasi yang masih berada pada level yang tinggi, meminimalkan dampak lanjutan administered price, serta mengendalikan permintaan agregat agar tidak melebihi kapasitas perekonomian. Dengan berbagai kebijakan tersebut diharapkan peningkatan laju inflasi dapat dihambat, sehingga sampai dengan akhir tahun 2005 laju inflasi dapat ditekan pada level sekitar 8,0 persen. Perkiraan realisasi inflasi tersebut lebih tinggi dari yang diperkirakan dalam APBN-P sebesar 7,5 persen.

N I LAI TUKAR RUPI AH

Rata-rata nilai tukar rupiah cenderung melemah selama tujuh bulan pertama tahun 2005. Setelah sedikit menguat pada triwulan IV tahun 2004, nilai tukar rupiah kembali mengalami tekanan di awal tahun 2005 dan terus melemah secara gradual hingga berada pada level Rp9.799/US$ pada Juli 2005 atau melemah 545 poin dari Rp9.254/US$ pada Desember 2004. Faktor utama yang menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah dalam periode ini adalah tingginya permintaan valuta asing oleh korporasi sehubungan dengan meningkatnya impor untuk kebutuhan investasi dan impor minyak, dan adanya upaya percepatan pelunasan utang luar negeri korporasi maupun perbankan, sementara pasokan valuta asing (aliran modal masuk) masih terbatas. Disamping adanya ketidakseimbangan antara permintaan valuta asing

Grafi k I.2.

Pe rkembangan Inflasi Menurut Ke lompok Penge luaran Januari - Jul i 2005

4,49 5,50 4,01 2,17

2,54 1,62

11,40

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 Bahan Makanan

Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau P erumahan Sandang Kesehatan P endidikan, Rekreasi dan Olah raga Transpor dan Komunikasi

Sumber : Badan Pusat Statistik

(22)

domestik dan ketersediaan valuta asing di pasar, faktor lain yang telah turut mempengaruhi melemahnya nilai tukar rupiah adalah adanya tendensi terus menguatnya dolar Amerika Serikat secara global. Secara keseluruhan, selama 7 bulan pertama tahun 2005, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp9.468/US$ atau melemah 689 poin dibanding dengan rata-rata nilai tukar rupiah pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp8.779/US$.

Dalam upaya menstabilkan nilai tukar rupiah, Pemerintah bersama Bank Indonesia telah meningkatkan langkah koordinasi dengan mengeluarkan paket kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar valuta asing (valas) sebagai berikut: (i) Pemerintah akan memenuhi kebutuhan valas Pertamina dalam rangka pengadaan BBM secara langsung yang dananya berasal dari rekening pemerintah di Bank Indonesia, (ii) menyediakan kebutuhan valas BUMN di luar Pertamina, seperti PLN, dilakukan melalui bank-bank yang ditunjuk, (iii) Pemerintah melalui RUPS mewajibkan BUMN menempatkan Devisa Hasil Ekspor (DHE) pada bank-bank di Indonesia, (iv) memperkuat kecukupan cadangan devisa melalui peningkatan nilai Bilateral Swap Arrangement (BSA) dalam kerangka kerjasama ASEAN dengan China, Jepang, dan Korea (ASEAN+3) serta ASEAN Swap Arrangement (ASA), (v) mengurangi kegiatan spekulasi di pasar valas melalui pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank. Melalui kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan volatilitas nilai tukar rupiah dapat diminimalkan sehingga stabilitas nilai tukar rupiah dapat terpelihara.

Melemahnya nilai tukar rupiah yang lebih besar dibandingkan dengan melemahnya nilai tukar mata uang negara-negara mitra dagang, menyebabkan indeks real effective exchange rate (REER) selama enam bulan pertama tahun 2005 berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Demikian pula bilateral regional exchange rate (BRER) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga menurun. Hal yang sama juga terjadi pada BRER mata uang beberapa negara tetangga, namun penurunannya lebih kecil dibandingkan dengan penurunan BRER rupiah terhadap dolar Amerika. Penurunan tersebut mencerminkan tingkat daya saing Indonesia diantara beberapa negara di kawasan regional dinilai cukup kompetitif. Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan REER dapat dilihat pada Grafik I.3.

Nilai tukar rupiah dalam bulan-bulan mendatang diperkirakan masih akan mengalami sedikit tekanan. Hal ini berkaitan dengan menguatnya dolar Amerika Serikat secara global dan tingginya harga minyak dunia. Namun, dengan diterapkannya berbagai kebijakan stabilisasi rupiah dan upaya meminimalkan transaksi yang bersifat spekulatif, serta terus mendorong peningkatan ekspor nonmigas dan masuknya PMA, diharapkan jumlah cadangan devisa akan meningkat dan transaksi yang bersifat spekulatif menurun, yang pada gilirannya rupiah akan kembali stabil dan cenderung menguat. Dengan mencermati pengaruh tersebut dan perkembangan realisasi selama tujuh bulan pertama tahun 2005, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diperkirakan akan mencapai rata-rata Rp9.500 dalam tahun 2005, atau 6,7 persen lebih tinggi dari APBN-P 2005.

REER selama enam bulan pertama tahun 2005 cenderung menu-run.

Melemahnya nilai tukar rupiah lebih banyak disebabkan oleh adanya excess demand valas sementara persediaan terbatas.

(23)

SUKU BUN GA SBI 3 BULAN

Dalam tahun 2005, seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah dan dalam rangka menghambat meningkatnya laju inflasi, Bank Indonesia terus melanjutkan kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias). Secara operasional kebijakan tersebut dilaksanakan melalui penyerapan kelebihan likuiditas secara optimal, dan mengarahkan suku bunga SBI naik bertahap dan terukur. Memasuki bulan Juli 2005 Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan moneter dan perbankan tentang implementasi suku bunga sebagai sasaran operasional kebijakan moneter dalam kerangka inflation targeting dan proses percepatan konsolidasi perbankan. Kedua kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang saling bersinergi. Untuk menjaga inflasi pada tingkat yang kondusif bagi perekonomian, diperlukan dukungan sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien. Terkait dengan hal itu Bank Indonesia setiap tiga bulan akan mengumumkan suku bunga BI rate sebagai acuan tiga bulan ke depan. Besaran kenaikan atau penurunan suku bunga adalah 25 basis poin. Perubahan BI rate sebesar 25 basis poin ini, sesuai dengan standar yang berlaku di dunia, termasuk Bank Sentral Amerika Serikat. Untuk pertama kalinya BI rate ditetapkan sebesar 8,5 persen pada bulan Juli 2005 dan berlaku selama tiga bulan ke depan, namun tidak tertutup kemungkinan dilakukannya penyesuaian pada bulan-bulan mendatang sejalan dengan perkembangan perekonomian dan kondisi moneter secara keseluruhan. Melalui penetapan reference rate (BI rate) ini diharapkan laju inflasi dapat dikendalikan ke arah sasaran jangka menengah.

Sejalan dengan kebijakan moneter yang ketat, suku bunga SBI cenderung meningkat dalam tahun 2005. Suku bunga SBI 1 bulan naik, dari 7,43 persen pada akhir tahun 2004 menjadi 8,49 persen pada Juli 2005. Demikian pula suku bunga SBI 3 bulan meningkat dari 7,29 persen menjadi 8,45 persen pada Juli 2005. Dengan perkembangan tersebut, selama tujuh bulan pertama

BI akan menggunakan suku bunga sebagai instrumen kebijakan.

Grafik I.3

Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan REER, 2003-2005

8000 8500 9000 9500 10000 10500

Jan 03 Apr Jul Okt Jan 04 Apr Jul Okt Jan 05 Apr Sumber : Bank Indonesia

80,0 85,0 90,0 95,0 100,0 105,0

Nominal REER

(24)

tahun 2005 rata-rata suku bunga SBI 1 bulan mencapai 7,81 persen, lebih tinggi 37 basis poin bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2004 sebesar 7,44 persen. Sementara itu, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan selama Januari-Juli 2005 mencapai 7,67 persen, lebih tinggi 21 basis poin dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Pada bulan-bulan mendatang suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan tidak jauh dari BI rate. Dengan mempertimbangkan realisasi SBI 3 bulan selama tujuh bulan pertama tahun 2005 sebesar 7,67 persen, perkiraan suku bunga SBI 3 bulan lima bulan ke depan, dan perkiraan suku bunga Fed Fund yang cenderung meningkat, maka selama tahun 2005 rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan mencapai sekitar 8,25 persen, 25 basis poin lebih tinggi dari yang direncanakan dalam APBN-P.

Peningkatan suku bunga SBI ini diikuti pula oleh meningkatnya suku bunga deposito dan suku bunga pasar uang antar bank (PUAB). Pada bulan Juli 2005 suku bunga PUAB overnight mencapai 17,22 persen, meningkat 1.346 basis poin dibandingkan dengan tingkat bunga pada akhir tahun 2004. Melonjaknya suku bunga PUAB ini antara lain terkait dengan mulai diberlakukannya sistem kliring nasional secara on line. Demikian pula suku bunga deposito 1 bulan meningkat 55 basis poin, yaitu dari 6,43 persen pada akhir tahun 2004 menjadi 6,98 persen pada Juni 2005. Sebaliknya suku bunga kredit mengalami penurunan. Pada bulan Juni 2005, suku bunga kredit modal kerja (KMK) turun 5 basis poin, yaitu dari 13,41 persen pada Desember 2004 menjadi 13,36 persen pada Juni 2005. Suku bunga kredit investasi (KI) dan kredit konsumsi (KK) turun 40 basis poin dan 53 basis poin, sehingga masing-masing menjadi 13,65 persen dan 16,04 persen pada Juni 2005. Perkembangan suku bunga SBI dan perbankan dapat dilihat pada

Tabel I.3.

Posisi dana pihak ketiga (DPK) dan kredit perbankan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suku bunga deposito dan menurunnya suku bunga kredit. Pada Mei 2005, posisi dana pihak ketiga mencapai Rp986,7 triliun dan kredit perbankan mencapai Rp650,8 triliun, atau masing-masing meningkat 2,5 persen dan 9,4 persen dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun 2004. Dengan perkembangan tersebut, loan to deposit ratio (LDR) pada Mei 2005 mencapai 52,9 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan LDR akhir tahun 2004 sebesar 50,0 persen. Dilihat dari penyaluran kredit menurut jenis penggunaan selama lima bulan pertama tahun 2005, kredit konsumsi mengalami pertumbuhan tertinggi sekitar 15,0 persen, diikuti oleh pertumbuhan kredit modal kerja sekitar 9,1 persen, dan kredit investasi sekitar 6,1 persen. Indikator perbankan lainnya yang mengalami perbaikan, antara lain capital adequacy ratio (CAR) meningkat dari 19,4 persen pada akhir tahun 2004 menjadi 20 persen pada Mei 2005. Meskipun fungsi intermediasi perbankan yang ditunjukkan oleh besaran LDR dan kecukupan modal sektor perbankan (CAR) menunjukkan peningkatan, namun kualitas kredit yang disalurkan cenderung menurun. Hal ini antara lain tercermin pada meningkatnya kredit bermasalah (non performing loans/NPLs) bruto dan NPLs neto, masing-masing dari 5,8 persen dan 1,7 persen pada akhir tahun 2004 naik menjadi 7,3 persen dan 3,6 persen pada Mei 2005. Untuk meminimalkan risiko-risiko serta mengakselerasikan proses konsolidasi guna

Peningkatan suku bunga SBI ini diikuti pula oleh meningkatnya suku bunga deposito dan suku bunga pasar uang antar bank (PUAB). Dalam tahun 2005, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan mencapai sekitar 8,25 persen.

(25)

memperkuat sektor perbankan, Bank Indonesia terus mendorong pelaksanaan tata kelola yang baik, peningkatan efektivitas manajemen risiko, dan pengendalian intern bank.

Sejak pertengahan tahun 2004 pertumbuhan tahunan uang primer (base money, M0) meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode sebelumnya. Hal tersebut utamanya disebabkan oleh meningkatnya jumlah uang yang diedarkan dan saldo giro bank di Bank Indonesia. Seiring dengan meningkatnya suku bunga SBI, pertumbuhan tahunan jumlah uang yang diedarkan cenderung melambat dari 20 persen pada tahun 2004, turun menjadi sekitar 9,0 persen pada Juni 2005. Terkait dengan menurunnya pertumbuhan jumlah uang beredar, posisi uang primer mengalami penurunan 0,05 persen, sehingga menjadi Rp198,4 triliun pada bulan Juni 2005. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan M0 dapat dikendalikan ke arah target indikatif yang ditetapkan sebagaimana terlihat pada Grafik I.4.

Meningkatnya suku bunga SBI dalam tujuh bulan pertama tahun 2005 telah mempengaruhi perdagangan surat utang negara (SUN) dan saham. Hal ini tercermin pada menurunnya nilai perdagangan SUN di Bursa Efek Surabaya (BES) dari Rp516,0 triliun pada Januari-Juli 2004 menjadi Rp265 triliun pada Januari-Juli 2005. Sebaliknya nilai perdagangan saham pada tujuh bulan pertama tahun 2005 mengalami peningkatan 100,6 persen sehingga mencapai Rp266,6 triliun. Peningkatan juga terjadi pada IHSG di Bursa Efek Jakarta

Deposito 1 Bln 3 Bln KMK KI KK 1 Bulan

2001 Desember 17,62 17,60 15,66 19,19 17,90 19,85 16,07 2002 Desember 12,99 13,12 8,89 18,25 17,82 20,21 12,81 2003 Desember 8,31 10,16 4,65 15,07 15,68 18,69 6,62 2004 Januari 7,86 8,15 7,21 14,99 15,44 18,49 6,27

Februari 7,48 7,70 5,31 14,79 15,29 18,47 5,99

Maret 7,42 7,33 5,87 14,61 15,12 18,11 5,86

April 7,33 7,25 4,53 14,48 14,98 17,89 5,86

Mei 7,32 7,24 4,71 14,27 14,78 17,68 6,16

Juni 7,34 7,25 4,24 14,10 14,64 17,51 6,23

Juli 7,36 7,29 4,82 13,99 14,58 17,30 6,26

Agustus 7,37 7,31 4,87 13,84 14,45 17,08 6,28

September 7,39 7,31 4,13 13,80 14,33 17,03 6,31

Oktober 7,41 7,30 10,92 13,64 14,25 16,89 6,33

Nopember 7,41 7,30 4,16 13,57 14,18 16,74 6,36

Desember 7,43 7,29 3,76 13,41 14,05 16,57 6,43

2005 Januari 7,42 7,30 5,21 13,40 13,98 16,32 6,46

Februari 7,43 7,27 5,20 13,37 13,87 16,23 6,46

Maret 7,44 7,31 5,95 13,31 13,78 16,33 6,50

April 7,70 7,51 6,21 13,31 13,74 16,23 6,58

Mei 7,95 7,81 6,07 13,20 13,68 16,17 6,76

Juni 8,25 8,05 7,97 13,36 13,65 16,04 6,98

Juli 8,49 8,45 17,22 n.a n.a n.a n.a

Sum ber: Bank Indonesia

Tabe l I.3

Perkem bangan Suku Bunga SBI dan Pe rbankan 2001-2005

Periode SBI PUAB Kredit

(26)

(BEJ), yang mana selama tujuh bulan pertama tahun 2005 cenderung meningkat hingga mencapai level 1.182,3 pada akhir Juli 2005. Hal tersebut terkait dengan aksi ambil untung (profit taking) terhadap sejumlah saham unggulan dan respon positif terhadap kebijakan Bank Indonesia untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

Kinerja reksadana dalam tujuh bulan pertama tahun 2005 cenderung menurun seiring dengan meningkatnya suku bunga SBI. Hal tersebut tercermin pada menurunnya nilai aktiva bersih (NAB) dari Rp104,04 triliun pada akhir tahun 2004 menjadi Rp 76,1 triliun pada akhir Juli 2005, atau menurun 26,8 persen. Selain itu, penurunan NAB reksadana juga dipengaruhi oleh rencana pengenaan pajak pada reksadana. Dilihat dari jenisnya, pada bulan Juli 2005 reksadana pendapatan tetap menurun 42,9 persen, sedangkan reksadana jenis lainnnya seperti saham, pasar uang, dan reksadana campuran masing-masing meningkat 183,3 persen, 23,6 persen, dan 90,0 persen dibandingkan dengan posisi akhir tahun sebelumnya.

H ARGA M I N YAK I N TERN ASI ON AL

Dalam tahun 2005 harga minyak di pasar internasional menunjukkan kecenderungan yang menguat. Penyebab kenaikan harga minyak tersebut antara lain diperkirakan (i) Kecenderungan tetap tingginya permintaan minyak di pasar internasional, (ii) kondisi pasokan dan permintaan minyak dunia yang cenderung ketat, dan (iii) tingkat ketidakpastian pasokan minyak dunia yang masih cukup tinggi seiring dengan belum menentunya situasi politik dan keamanan di beberapa negara penghasil minyak.

Harga rata-rata minyak mentah jenis Brent pada bulan Juli 2005 telah mencapai US$56,86 per barel, meningkat sebesar US$17,22 per barel (43,44 persen) dibanding harga pada akhir tahun 2004. Selama tujuh bulan terakhir harga rata-rata minyak tersebut adalah sebesar US$50,35 per barel,

Grafik I.4

Perkembangan Base Money 2003 - 2005

120000 140000 160000 180000 200000 220000

Jan 03 Apr Jul Okt Jan 04 Apr Jul Okt Jan 05 Apr

Sumber : Bank Indonesia Posisi M0 Target Indikatif

Kinerja reksadana cen-derung menurun se-iring dengan naiknya suku bunga SBI.

(27)

meningkat sebesar US$15,97 per barel (46,45 persen) dibanding dengan harga rata-rata dalam periode yang sama tahun sebelumnya. Demikian juga dengan harga rata-rata minyak mentah keranjang OPEC. Jika pada akhir tahun 2004 harga minyak tersebut baru mencapai US$35,85 per barel, maka pada bulan Juli tahun 2005 harga tersebut telah meningkat menjadi sebesar US$52,07 per barel.

Peningkatan harga tersebut mendorong meningkatnya harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Oil Price, ICP). Selama bulan Juli 2005, realisasi harga rata-rata minyak mentah ICP sebesar US$55,42 per barel atau meningkat US$19,91 per barel (56,07 persen) dibandingkan dengan harga rata-rata minyak mentah ICP pada akhir tahun 2004 sebesar US$35,51 per barel. Realisasi harga rata-rata minyak mentah ICP (Des-Juli) 2005 adalah sebesar US$48,45 per barel, lebih tinggi dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$33,65 per barel atau meningkat 43,98 persen. Secara keseluruhan harga rata-rata minyak ICP selama tahun 2005 diperkirakan mencapai US$50,60 per barel. Perkembangan harga rata-rata minyak mentah di pasar internasional Desember 2003 sampai dengan Juli 2005 dapat dilihat pada Tabel I.4.

Realisasi produksi (lifting) minyak mentah Indonesia dalam tahun 2005 diperkirakan mencapai 1,075 juta barel per hari, lebih rendah dari asumsi

Tabel I.4

Perkembangan Harga Rata-rata Minyak Mentah Desember 2003 - Juli 2005

(US$ /barel)

Periode Brent OPEC ICP

2003 Desember 29,88 29,44 30,50

2004 Januari 31,18 30,33 30,97

Februari 30,87 29,56 30,96

M aret 33,80 32,05 33,16

April 33,36 32,35 32,89

M ei 37,92 36,27 37,53

Juni 35,19 34,62 36,12

Juli 38,37 36,29 37,10

Agustus 43,03 40,47 42,61

September 43,38 40,36 44,31

Oktober 49,77 45,37 49,21

November 43,05 38,96 40,63

Desember 39,64 35,85 35,51

2005 Januari 44,28 40,24 42,39

Februari 43,39 41,68 44,74

M aret 53,08 49,07 53,00

April 51,86 49,63 54,86

M ei 48,67 46,96 48,73

Juni 54,31 51,18 52,92

Juli 56,86 52,07 55,42

Sumber : P ertamina, Bloomberg

(28)

Indone-dalam APBN tahun 2005 sebesar 1,125 juta barel per hari. Lebih rendahnya produksi minyak disebabkan masih cukup tingginya penyusutan secara alami produksi sumur-sumur minyak yang sudah tua, sementara produksi minyak dari sumur-sumur baru masih belum optimal.

N eraca Pem bayaran

Kemampuan perekonomian nasional dalam menyediakan cadangan devisa sebagai penopang transaksi-transaksi internasional pada tahun 2005 diperkirakan menurun dibanding tahun sebelumnya. Bila dalam tahun 2004 cadangan devisa mencapai US$36.320 juta, maka pada tahun 2005 cadangan devisa diperkirakan turun sebesar US$5.599 juta menjadi US$30.721 juta. Menurunnya posisi cadangan devisa tersebut antara lain disebabkan oleh tingginya kebutuhan devisa untuk impor terutama impor bahan baku dan barang modal serta biaya impornya.

Realisasi surplus neraca transaksi berjalan (current accounts) tahun 2005 diperkirakan sebesar US$1.810 juta atau sekitar 0,6 persen dari PDB, yang berarti lebih rendah dari perkiraan surplus di dalam APBN-P 2005 sebesar US$3.179 juta atau sekitar 1,0 persen dari PDB. Menurunnya surplus transaksi berjalan tersebut bersumber dari meningkatnya defisit neraca jasa-jasa neto.

Realisasi surplus neraca perdagangan dalam tahun 2005 diperkirakan mencapai US$21.261 juta atau meningkat sekitar 6,48 persen dari perkiraan realisasi dalam APBN-P 2005. Kenaikan tersebut terkait dengan peningkatan ekspor yang lebih tinggi dibanding impor. Realisasi nilai ekspor diperkirakan mencapai US$87.818 juta, atau meningkat sekitar 15,65 persen yang antara lain bersumber dari ekspor minyak bumi dan gas alam (migas) yang lebih tinggi sebagai akibat dari perkiraan lebih tingginya harga minyak di pasar internasional dibanding APBN-P 2005. Realisasi nilai ekspor nonmigas diperkirakan lebih tinggi 9,21 persen dibanding dengan yang ditetapkan dalam APBN-P 2005. Sementara itu, realisasi nilai impor diperkirakan mencapai US$66.557 juta atau lebih tinggi 18,93 persen dari perkiraan pada APBN-P 2005 sebesar US$55.965 juta. Nilai impor yang lebih tinggi ini bersumber dari peningkatan impor nonmigas dan migas. Peningkatan impor nonmigas tersebut terkait dengan peningkatan impor barang modal serta bahan baku dan penolong yang diperlukan untuk mendukung kegiatan investasi maupun produksi dalam negeri. Lebih tingginya perkiraan nilai impor migas terkait dengan harga minyak internasional yang diperkirakan lebih tinggi dibanding APBN-P 2005.

Dalam pada itu, realisasi defisit neraca jasa-jasa diperkirakan mencapai US$19.451 juta, atau meningkat sekitar 15,86 persen dari perkiraan realisasi APBN-P 2005 sebesar US$16.788 juta. Peningkatan defisit neraca jasa-jasa tersebut disebabkan oleh meningkatnya biaya impor dan lebih rendahnya penerimaan transfer luar negeri dalam bentuk hibah dari perkiraan semula.

Realisasi neraca modal dalam tahun 2005 diperkirakan mengalami surplus sebesar US$2.058 juta, lebih tinggi dibandingkan surplus dalam APBN-P

Realisasi surplus neraca transaksi berjalan tahun 2005 d i p e r k i r a k a n mengalami penurunan.

Realisasi neraca p e r d a g a n g a n d i p e r k i r a k a n meningkat dibanding perkiraan sebelumnya. K e m a m p u a n perekonomian nasional dalam menyediakan devisa cenderung menurun.

Realisasi defisit neraca jasa-jasa diperkirakan meningkat sekitar 15,86 persen.

Gambar

Tabel I.1
Tabel I.2Laju Pertumbuhan PDB
Grafik I.1 Perkembangan Inflasi Umum Dan Bahan Makanan
Grafik I.2. Perkembangan Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Memandangkan tajuk dan masalah kajian telah diperolehi, maka kita sudah boleh menyenaraikan rujukan yang akan digunakan. Rujukan juga mestilah yang berkaitan

Antara lain adalah penelitian Grinder (dalam De Porter & Hernakci, 2002) menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa, 22 di antaranya rata-rata dapat belajar secara

Sehubungan dengan telah dilakukan Evaluasi Penawaran dan Evaluasi Kualifikasi oleh Pokja438 Biro Administrasi Pembangunan dan Pengadaan Barang/Jasa Setda Prov. Kalbar Tahun

Apabila tidak hadir atau tidak juga dikuasakan untuk menghadiri pembuktian kualifikasi dan/atau tidak dapat membuktikan keabsahan data kualifikasi perusahaan dalam

Konsep makna bahasa yang mendasari teori permaianan bahasa Wittgenstein adalah, bahwa arti suatu pernyataan bergantung pada jenis penggunaan bahasa yang semuanya memiliki logika

Menurut tipologi Russel, James secara utama adalah seorang psikologis, akan tetapi ia dipandang penting dalam filsafat pada dua perhitungan: (1)

Kalbar Tahun Anggaran 2017 terhadap penawaran saudara untuk Pelelangan Pengawasan Pengembangan Infrastruktur Kawasan Pemukiman pada Kawasan Pedesaan Potensial,

Dengan demikian, dalam rangka peningkatan kinerja pembentukan wilayah khususnya kriteria sistem pengurusan hutan perlu pemberdayaan pelaku perubahan, yang antara lain terdiri atas