• Tidak ada hasil yang ditemukan

S GEO 1402773 Chapter 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "S GEO 1402773 Chapter 1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lingkungan sekolah memiliki peranan yang penting dalam keberhasilan belajar peserta didik. Hal ini didasarkan atas pernyataan Nurmalia (2010, hlm. 3) yang menyebutkan bahwa,

“Proses belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal meliputi faktor fisiologis, yaitu jasmani siswa dan faktor psikologis, yaitu kecerdasan atau intelegensi siswa, motivasi, minat, sikap, bakat. Faktor-faktor eksternal meliputi lingkungan alamiah dan lingkungan sosial budaya, sedangkan lingkungan non sosial atau instrumental, yaitu kurikulum, program, fasilitas belajar, dan guru.

Kemudian Tu’u (2004, hlm. 11) memperkuat pernyataan tersebut dengan menyebutkan bahwa “lingkungan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, merupakan tempat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar dan transfer ilmu pengetahuan sehingga mengembangkan potensi peserta didik.” Kondisi tempat peserta didik belajar harus dirancang sebaik mungkin agar peserta didik dapat optimal melakukan proses belajar. Rancangan tersebut harus mempertimbangkan komponen lingkungan baik dari segi lingkungan fisik maupun lingkungan psikososial.

Hal ini seharusnya disikapi secara serius oleh para pengelola sekolah. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sangat jarang pengelola atau penanggungjawab sekolah yang merancang lingkungan sekolah dengan dasar yang kuat untuk mencapai suatu tujuan. Hal ini seperti penyataan Gupta (2013, hlm. 1615) yang menyatakan bahwa “School environment is the physical and aesthetic surroundings and the psychosocial climate and culture of the school.”

(2)

lingkungan sekolah yang optimal dalam mendukung peningkatan kualitas akademik peserta didik.

Setiap sekolah memiliki kondisi lingkungan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan kondisi lingkungan tersebut akan berakibat terhadap prestasi belajar peserta didik di setiap sekolah. Menurut Oktaviana (2015, hlm. 19) “lingkungan sekolah turut mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar siswa.” Perbedaan kualitas ini, salah satunya, terjadi karena sarana pendukung untuk proses pembelajaran di setiap sekolah berbeda satu sama lain. Secara tidak langsung hal ini menekankan bahwa pentingnya peranan lingkungan sekolah yang baik dalam pembelajaran agar tujuan pendidikan yang diharapkan dapat tercapai.

Namun, pentingnya keberadaan fasilitas dan lingkungan yang baik, seringkali terabaikan. Beberapa informasi aktual yang didapatkan dari berbagai media menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sekolah, termasuk sarana dan prasarana pembelajaran, seringkali terabaikan. Bahkan dalam beberapa media informasi memberitakan bahwa banyak sekolah di daerah perdesaan memiliki sekolah dengan bangunan yang rusak atau roboh. Seperti yang dikabarkan pada situs http://news.liputan6.com/ yang menyebutkan bahwa bangunan sekolah di SDN Loji Kabupaten Bogor roboh sehingga peserta didik tidak dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut diperparah dengan respons pemerintah yang kurang baik. Perhatian yang tinggi terhadap lingkungan sekolah akan memberikan dampak positif terhadap tingginya kualitas akademik peserta didik.

(3)

belajar.” Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan sekolah dapat berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran yang berdampak pada karakteristik peserta didik. Karakteristik tersebut meliputi aspek yang sangat beragam, seperti motivasi belajar, prestasi belajar hingga kecerdasan peserta didik.

Lingkungan sebagai objek yang pasif terhadap manusia, namun manusia memiliki persepsi tersendiri terhadap lingkungan. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan peluang bagi lingkungan untuk mempengaruhi karakteristik manusia. “Accordingly, the starting point of the present study was that people don’t act in an objectively extant learning environment, but rather act, respond to and interpret the environment as they subjectively perceive it.” (Kangas, 2010, hlm. 207)

Rancangan pengembangan lingkungan sekolah dan tindak lanjutnya harus dilakukan secara terarah dan efektif. Fenomena yang dapat dilihat secara langsung di sekolah adalah pengelolaan lingkungan sekolah yang hanya memperhatikan kelengkapan sarana dan fasilitas tanpa mempertimbangkan tujuan dari setiap sarana dan fasilitas tersebut. Padahal lingkungan sekolah berpengaruh terhadap karakteristik peserta didik, termasuk kecerdasan yang dimilikinya. John L. Horn dan Raymond B. Cattel merupakan salah satu ilmuwan yang telah meneliti tentang konsep kecerdasan. Menurut mereka, kecerdasan manusia terbagi dua, yaitu fluid intelligence dan crystallized intelligence. Fluid intelligence merupakan kecerdasan yang didapatkan dari bawaan genetik. Sedangkan crystallized intelligence merupakan kecerdasan yang didapatkan dari pengalaman dan

pengetahuan yang bergantung pada kondisi lingkungan. Lingkungan memberikan banyak informasi terhadap individu. Informasi tersebut jika digunakan terus secara berulang-ulang akan mengendap di dalam otaknya sehingga berubah menjadi potensi yang ada dalam diri individu. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Horn dan Cattel (1976, hlm. 111) yang menyatakan bahwa “a person who can solve quite complex problems of the kind which define Gf can easily fail even very

simple of analogy problems of this sort simply because he lacks information.”

(4)

oleh Howard Gardner. Kecerdasan spasial merupakan kecerdasan dalam mengenali ruang serta peka terhadap bentuk dan warna. Kecerdasan spasial memiliki kedudukan penting bagi kelangsungan hidup individu, terutama dengan tingkat kreativitas seseorang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Coxon (2012, hlm. 277) yang menyatakan bahwa, “Creative and spatial abilities are allies in innovation. An innovator must visualize what does not yet exist.”

Kecerdasan spasial berkaitan dengan aktivitas manusia di dalam ruang. Tentu saja aktivitas ini akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Kraftl (2015, hlm. 18) menyatakan bahwa “movement and thinking through the ways moving bodies can produce new experiences and changes in social

dispositions is an exciting area.” Maka dari itu, untuk menganalisis teknik

pengembangan kecerdasan spasial, perlu dilakukan terlebih dahulu kaitan kecerdasan spasial dengan lingkungan. Kemudian Sutomo (2013, hlm. 40) memperkuat pernyataan tersebut dengan menyatakan, “persepsi dan reaksi manusia terhadap peristiwa dan gejala geografis di sekitarnya akan terekam dalam benaknya menjadi pengetahuan terstruktur yang sistematis.”

(5)

Kecerdasan spasial memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk memosisikan dirinya di dalam ruang. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarno (2012, hlm. 170) yang menyebutkan bahwa, “school children must learn how to move knowledgeably in the surrounding space and to earn to move and orientate

themselves following their own mental maps and represent environments and

territories.” Keterampilan seseorang untuk mengefektifkan pergerakan di dalam ruang sangat dibutuhkan jika mengingat keterbatasan manusia dari segi energi dan waktu. Setiap orang ingin bergerak secara cepat dan minim hambatan. Bahkan bagi penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan yang padat, mereka terbiasa untuk mencari jalan pintas agar dapat menembus kemacetan yang sudah parah. Untuk mencari sebuah jalan pintas, diperlukan kecerdasan spasial. Individu yang bermaksud mencari jalan pintas di wilayah perkotaan akan merepresentasikan ruang di sekitarnya kemudian memprediksi arah yang akan dituju jika mengambil jalan tertentu. Di dalam pikirannya terjadi proses pertimbangan untuk menentukan rute terpendek dengan risiko tersesat yang paling rendah. Kemampuan untuk memosisikan diri dan mengefektifkan pergerakan bukanlah hal yang sederhana. Kemampuan ini pun tidak dimiliki oleh semua orang melainkan dimiliki oleh orang yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap ruang serta kecerdasan spasial yang baik.

Individu yang memiliki kecerdasan spasial yang baik akan mampu mewujudkan model ruang di dalam pikirannya. Bahkan kecerdasan spasial ini tidak hanya terpaku pada keahlian desain atau menata warna, tapi juga kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap manusia, yaitu bergerak. Gardner (2003, hlm. 43) menyatakan bahwa “…menyelesaikan masalah ruang diperlukan untuk navigasi dan penggunaan sistem pencatatan peta.” Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat berpindah-pindah tempat, membutuhkan kecerdasan spasial untuk beradaptasi menghadapi hambatan dari alam. Newcombe dan Frick (2010, hlm. 102) menyatakan bahwa “any mobile organism must be able to navigate in its world to survive and must represent the spatial environment in

(6)

yang menyebutkan bahwa, “learners selected spaces to learn based on their own personal list of requirements and preferences.” Disiplin ilmu yang memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kecerdasan spasial adalah Geografi. Geografi memandang semua fenomena yang terjadi di permukaan bumi berdasarkan konteks spasial. Bumi sebagai tempat tinggal manusia dapat dipandang sebagai sebuah ruang yang berisi berbagai macam komponen biotik, abiotik dan budaya didalamnya. Pada ketiga komponen tersebut terdapat interaksi yang memunculkan berbagai macam fenomena. Artinya, sebagai sebuah ruang, permukaan bumi memiliki fenomena-fenomena yang dapat dianalisis berdasarkan interaksinya. Karena itu, individu yang mempelajari Geografi membutuhkan kecerdasan spasial yang baik untuk menganalisis permasalahan yang terjadi dari sudut pandang spasial.

Selain kedua kemampuan tadi, kecerdasan spasial pun akan memberi kemampuan observasi yang lebih baik bagi peserta didik. Peserta didik dapat mengamati fenomena yang bersifat abstrak namun nyata terjadi di lapangan. Misalnya fenomena urbanisasi. Ketika guru menyampaikan bahwa perbandingan penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih rendah dibanding penduduk usia non produktif (0-14 tahun dan >65 tahun), mereka akan menganalisis kaitan fenomena tersebut dengan urbanisasi. Akhirnya peserta didik menyimpulkan bahwa mayoritas penduduk yang melakukan urbanisasi adalah penduduk usia produktif karena penduduk usia produktif memiliki motivasi yang lebih tinggi untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan bekerja di kota. Analisis semacam ini bukanlah analisis sederhana yang hanya dapat dilakukan dengan angka dan huruf, melainkan representasi spasial dari kondisi desa dan kota. Bahkan dengan mengembangkan kecerdasan spasialnya, peserta didik pun dapat menganalisis fenomena geosfer yang bersifat tiga dimensi berdasarkan peta yang berbentuk dua dimensi. Semakin tinggi kecerdasan spasial yang dimiliki peserta didik, maka akan semakin kompleks permasalahan yang dapat mereka analisis. Argumentasi ini didukung oleh pendapat Lache (2011) yang menyatakan bahwa

(7)

complexity of geographical space. Its learning process must motivate students to know, understand, read, and assimilate space avoiding the isolated memorization of the spatial elements that compose it. (hlm. 75) Pada dasarnya, kecerdasan spasial mampu meningkatkan kualitas pembelajaran Geografi menjadi lebih kontekstual dan aplikatif. Pengembangan konsep tentang kecerdasan spasial dalam pembelajaran Geografi perlu dilakukan. Namun kondisi saat ini belum mampu menjadikan kecerdasan spasial sebagai modal utama dalam pembelajaran Geografi. Salah satu alasan utamanya adalah disiplin ilmu pendidikan Geografi belum menyusun konsep kecerdasan spasial secara jelas dan rinci. Para akademisi dari disiplin keilmuan Pendidikan Geografi sangat perlu untuk segera merancang konsep kecerdasan spasial agar pengembangannya memiliki pegangan yang valid dan konsisten.

Kecerdasan spasial memang tidak mudah untuk diwujudkan dalam tindakan seperti kecerdasan linguistik dan kecerdasan matematik. Namun kecerdasan ini sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan di sekitar manusia. Penelitian yang membahas mengenai pengaruh lingkungan terhadap kecerdasan spasial pun belum terlalu banyak. Pada konteks pembelajaran Geografi, lingkungan sekolah diduga menjadi faktor utama yang mempengaruhi tingkat kecerdasan spasial peserta didik. Hal ini disebabkan peserta didik banyak menghabiskan waktu belajarnya di sekolah.

Ulric dkk. (1997, hlm. 86) menyatakan bahwa “schools affect intelligence

in several ways, most obviously by transmitting information.” Namun, lingkungan

sekolah tidak secara langsung mempengaruhi kecerdasan spasial peserta didik. Terdapat faktor lain yang berperan dalam proses transfer informasi tersebut. Peneliti menduga bahwa ada dua factor yang menjadi perantara antara pengaruh lingkungan sekolah dengan kecerdasan spasial, yakni affordance dan geo-literacy. Salah satu faktor yang diduga dapat menjelaskan pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecerdasan spasial adalah affordance dan geo-literacy. Affordance merupakan teori yang dilahirkan oleh James Jerome Gibson

(8)

melihat sebuah kursi di depannya. Dalam pikirannya, dia tidak hanya memikirkan untuk duduk di kursi tersebut, tapi juga berdiri di atas kursi atau menjadikan kursi itu sebagai penopang untuk mengambil sesuatu yang letaknya tinggi. Kemudian anak itu akan memutuskan untuk menggunakan kursi itu sebagai penopang untuk mengambil kue yang dia inginkan di atas meja yang tinggi. Berdasarkan contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa makna lingkungan bagi manusia akan berbeda satu sama lain tergantung dengan pengetahuan yang dia miliki serta kebutuhannya pada saat itu.

Geo-literacy merupakan konsep yang digagas oleh National Geographic

Society pada tahun 2009. Konsep ini menjelaskan tentang kemelekan seseorang untuk melihat berbagai peristiwa dan gejala di permukaan bumi dengan pendekatan Geografi. Tentu hal ini dipengaruhi oleh affordance seseorang, karena geo-literacy merupakan persepsi seseorang terhadap lingkungan menurut ilmu Geografi yang telah dipelajarinya. Geo-literacy ini akan berguna sebagai pendekatan baru dalam mengambil keputusan yang lebih tepat dan efektif karena konsep ini melibatkan berbagai komponen alam dan sosial di permukaan bumi.

(9)

kebutuhan. Kemudian, penelitian ini akan memberikan tujuan bagi pihak sekolah untuk merancang lingkungan sekolah yang dapat meningkatkan kecerdasan spasial peserta didik di SMA negeri Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti bermaksud untuk mengajukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Lingkungan Sekolah Terhadap Kecerdasan Spasial Peserta Didik melalui Affordance dan Geo-literacy (Studi

Kasus pada Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bandung dan

Kabupaten Bandung)”.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis pengaruh lingkungan sekolah terhadap kecerdasan spasial. Untuk memudahkan dalam proses penelitian, maka disusun empat poin rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pengaruh lingkungan sekolah terhadap affordance peserta didik?

2. Bagaimanakah pengaruh lingkungan sekolah dan affordance terhadap geo-literacy peserta didik?

3. Bagaimanakah pengaruh affordance dan geo-literacy terhadap kecerdasan spasial peserta didik?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menganalisis pengaruh lingkungan sekolah terhadap affordance peserta didik. 2. Menganalisis pengaruh lingkungan sekolah dan affordance terhadap

geo-literacy peserta didik.

3. Menganalisis pengaruh affordance dan geo-literacy terhadap kecerdasan spasial peserta didik.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah sebagai berikut.

(10)

2. Memberikan referensi untuk pengembangan indikator kecerdasan spasial dalam konteks pembelajaran Geografi.

3. Sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya yang meneliti tentang pengembangan kecerdasan spasial.

Referensi

Dokumen terkait

Fokus pemasaran baru kami, seperti dijelaskan secara eksplisit dalam rencana pemasaran ini, adalah memperbaharui visi dan memokuskan strategi kami pada penambahan nilai

POLITIK POLITIK POLITIK : KEKUASAAN BERAKSI Definisi Politik Realitas Politik PENYEBAB DAN KONSEKUENSI DARI PERILAKU POLITIK Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

Dengan transmisi synchronous, ada level lain dari synchronisasi yang perlu agar receiver dapat menentukan awal dan akhir dari suatu blok data.. Untuk itu, tiap blok dimulai

 Aksi dalam rangka mengklarifikasi dugaan korupsi Gubernur Papua dan menolak beberapa aksi yang mengatasnamakan mahasiswa Papua yang dinilai tidak berdasarkan

Pertumbuhan industri makanan dan minuman yang sebagian besar merupakan produk “consumer goods” diprediksikan akan tetap baik dan masih menjadi andalan sektor industri

[r]

Pada pihak lain, karena program PMP berpengaruh positif dan nyata terhadap dana tambahan modal, peningkatan produksi, efisiensi dan peningkatan pendapatan

Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan