• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Berjuang di antara Peluang Studi pada Pedagang Mama-mama Asli Papua di Pasar Remu Kota Sorong T2 092011004 BAB V"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Lima

Kegiatan Pedagang M ama-mama Asli

Papua di Pasar Remu

Pengantar

Pasar Remu menjadi salah satu tempat yang tidak pernah sepi dari kegiatan ekonomi khususnya pembeli dan penjual. Keberadaan para pedagang berasal dari berbagai etnis dan budaya maupun mata pencarian yang berbeda-beda. Setiap pedagang, tak terkecuali pedagang mama-mama asli Papua mencoba menekuni dan melakukan jual beli dengan cara dan kebiasaannya masing-masing dengan jenis barang dagangan yang berbeda-beda. Kegiatan jual beli dengan seluruh per-soalan yang terjadi di dalamnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari para pedagang mama-mama asli Papua. Berbagai tantangan dan kekurangan menjadi hambatan baik secara interen maupun eksteren.

(2)

W aktu Kegiatan Pasar Pedagang M ama-mama Asli Papua

Kegiatan jual beli di Pasar Remu yang dijadwalkan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sorong dibuka dari jam 6 pagi hingga jam 5 sore. Pada jam-jam tersebut merupakan rentang waktu ketentuan aktivitas Pasar Remu yang diberlakukan oleh pemerintah. M eskipun demikian ada sebagian pedagang yang mulai mempersiapkan barang dagangannya sekitar jam 4 pagi. Pada jam 5 pagi, mereka memulai aktivitas jual beli secara langsung, dan kegiatan ini berakhir hingga sekitar jam 6 sampai 7 malam. M ereka umumnya adalah pedagang mama-mama asli Papua yang berdomisili di Kota Sorong dan di sekitar wilayah pasar.

Kegiatan jual beli di Pasar Remu terbagi atas tiga kelompok pedagang, yaitu pedagang pagi, pedagang siang dan pedagang sore. Ada pedagang pagi yang melakukan kegiatan jual beli sampai sore, ada juga yang hanya sampai siang saja. Aktivitas ini tergantung pada keterse-diaan barang yang dijual. Apabila barang dagangan itu sudah habis, maka pedagang mama-mama asli Papua itupun kembali ke rumah atau pulang. Ada di antara pedagang mama-mama asli Papua yang hanya berjualan pada siang hari saja, karena barang yang didagangkan diperoleh dari kebun sendiri. M ereka butuh waktu untuk memin-dahkan barang dari kebun ke rumah dan itu dilakukan pada waktu pagi hari. Ada juga yang mempunyai barang dagangan, tetapi tidak mempu-nyai tempat jualan sehingga dia memilih untuk melakukan kegiatan pasarnya pada sore hari karena tempat jualannya digunakan oleh pedagang lain pada pagi hari. Dalam istilah perusahaan kegiatan ini disebut shift (pergantian/pergeseran). Dapat dikatakan bahwa aktivitas pedagang di Pasar Remu ini fleksibel, kegiatan jual beli bisa berlang-sung pada pagi sampai sore hari, siang sampai sore hari, atau hanya sore hari saja, tergantung pada persediaan barang jualan yang masih ada, begitupun sebaliknya.

(3)

menggunakan jasa ojek karena pertimbangan waktu, sebab trans-portasi umum lebih melayani penumpang anak sekolah dan pegawai yang berangkat pada pagi hari sekitar jam 6 sampai jam 7.30. Sedang pedagang mama-mama asli Papua yang juga melakukan kegiatan jual beli pada waktu yang sama (pagi) namun berposisi di daerah trans Sorong yang jauh dari kota sedikit mengalami hambatan transportasi. Pada umumnya transportasi dari dan ke daerah trans tidak begitu lancar, mereka hanya beroperasi di saat ada penumpang serta mobil-mobil tertentu yang membawa barang jualan para pedagang dari daerah trans ke Pasar Remu. Dengan demikian pedagang mama-mama asli Papua dari daerah trans hanya bisa melakukan kegiatan jual beli pada pagi sampai siang hari.

Dua perbedaan pilihan waktu kegiatan jual beli pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu ini mempunyai alasan masing-masing. Ada yang menyesuaikan dengan batas waktu angkutan umum ke daerah trans, ada juga yang karena kehabisan persediaan barang dagangan. Namun kegiatan jual beli pada pagi hari menjadi pilihan kebanyakan pedagang, baik pedagang pendatang maupun pedagang pribumi khususnya pedagang mama-mama asli Papua, baik yang dari kota maupun dari daerah trans. Hanya sedikit yang melakukan kegiatan jual beli pada waktu sore hari.

Pedagang mama-mama asli Papua yang memilih melakukan kegiatan jual belinya antara pagi sampai sore karena pertimbangan peluang. Pertimbangan tersebut karena pada pagi hari banyak pembeli yang berbelanja, selain itu barang jualannya masih dalam keadaan segar, harga barang masih tetap standar pasar, dan mempunyai sema-ngat pagi untuk beraktivitas serta terlepas dari urusan keluarga. Dari beberapa pertimbangan inilah yang menjadi alasan pedagang mama-mama asli Papua lebih memilih melakukan jual beli pada pagi hari. Sementara sebagian pedagang mama-mama asli Papua yang memilih melakukan kegiatan jual beli pada sore hari, karena masalah kurangnya ketersediaan tempat jualan pada pagi hari.

(4)

terbatas, harga barang bisa berubah, dan angkutan umum yang mulai terbatas. Namun dari sisi keramain pembeli tidak jauh berbeda dengan keramaian pada pagi hari. M enurut salah satu pedagang mama-mama asli Papua, M ama Tina W akum1 seperti berikut ini:

Ya tergantung jualan too... tiap hari too, dari jam 6, kita dari rumah jam 6 pagi sampe jam 5 sore. Jam 5, kadang jam 6, pokoknya dimana tong pu jualan habis, ya tong pulang.

M aksud informan di atas bahwa:

Ya tergantung jualannya… tiap hari, kita dari rumah jam 6 pagi berjualan di pasar sampai jam 5 sore. Jam 5, kadang jam 6, pokoknya dimana kita punya jualan habis, ya kita pulang.

Penjelasan mama Tina W akum tentang waktu memulai kegiat-an jual beli tidak menentu, dkegiat-an kegiatkegiat-an jual beli bisa selesai atau berakhir tergantung pada barang dagangan yang terjual. Aktivitas jual beli ini berjalan secara terus-menerus dengan cara yang tergantung pada kondisi pasar, dan cara ini tetap dipertahankan oleh sebagian besar pedagang mama-mama asli Papua.

Keterangan yang sama pun diungkapkan oleh M ama Salomi Sesa2 berikut ini:

Rame itu pagi, pagi tuu yang orang masuk untuk belanja ayam, belanja ikan, warung makan di dalam, tapi s’karang yang kalo jam – jam begini tuu sunyi, tidak ada orang yang belanja disini, kurang. Kalo di luar sana iya, Pagi ka, siang ka, sore ka itu yang orang banyak, orang belanja too... belanja banyak yang masuk keluar. tapi kita disini tarada.

Informasi di atas menjelaskan bahwa:

Ramainya pagi, pagi itu yang orang masuk untuk beli ayam, beli ikan, terus ada warung makan di dalam lagi, tapi

1

Wawancara dilakukan tanggal 17 September 2013, di Pasar Remu.

2

(5)

s’karang sudah siang, jam-jam begini sudah sunyi, tidak ada orang yang beli disini, pembeli kurang. Kalau diluar sana iya, baik pagi, siang maupun sore orang banyak yang membeli. Pembeli banyak yang masuk keluar disana. Tapi kita di sini tidak.

Pengakuan mama Salomi Sesa berhubungan dengan perbedaan waktu aktivitas pasar pagi dan sore hari yang terlihat ramai dan tidak ramai, begitu pun perbedaan pada posisi pasar antara yang ada di luar dan yang ada di dalam, sehingga pada waktu tertentu para penjual beralih pada posisi pasar yang dianggap ramai oleh pembeli. Saat sepi pembeli yang dirasakan oleh penjual adalah pada siang hari karena aktivitas sebagian besar masyarakat sudah mulai berkurang dan digunakan untuk waktu istirahat. M eskipun demikian aktivitas jual beli di pasar masih tetap terlihat pada bagian tertentu.

Peneliti mengamati aktivitas pedagang mama-mama asli Papua di pasar, baik secara umum maupun secara khusus. Secara umum terlihat konsentrasi kegiatan jual beli merata, baik di bagian dalam maupun di bagian luar pasar, para pedagang tetap berada pada tempat dan kegiatannya masing-masing. Jikalau terlihat ada kesibukan, maka kesibukan itu dikarenakan ada sebagian pedagang mama-mama asli Papua memilih melakukan kegiatan jual beli dengan cara berpindah-pindah, kadang mereka berjualan di bagian dalam, tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka berjualan di bagian luar pasar. Hal ini dilaku-kan oleh pedagang mama-mama asli Papua karena pertimbangan peluang mencari pembeli.

(6)

Pedagang mama-mama asli Papua yang berdagang di Pasar Remu selalu berangkat pagi. Jam keberangkatan mereka berkisar antara jam 05.00 sampai jam 10.00 pagi. Bagi mereka yang berangkat jam 05.00 pagi, umumnya untuk memborong (membeli) barang dagangan langsung dari pemilik atau tengkulak. Biasanya penjualan dilakukan dalam partai besar. Namun bagi penjual hasil kebun, umumntya mereka berangkat dari rumah jam 05.00 pagi, tetapi ke kebun terlebih dahulu untuk memanen hasil bumi, seperti kasbi (singkong), daun kasbi, dan lain sebagainya barulah mereka membawanya ke Pasar Remu.

M engenai jam berdagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu cukup bervariasi, tergantung situasi dan kondisi mereka. Ada yang berdagang mulai dari pagi sampai hari, ada yang datang tidak tentu (mulai jam 10.00, kadang siang hari, ada juga yang sore hari). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: pertama, urusan keluarga. Sebagian besar pedagang mama-mama asli Papua yang berdagang di Pasar Remu sudah berkeluarga, sehingga mereka harus mengurus keluarganya terlebih dahulu sebelum berdagang di Pasar Remu. Kedua, jarak tempuh. Jarak tempuh ini dibedakan menjadi tiga bagian yaitu: (1) jarak tempuh dari rumah ke Pasar Remu; (2) jarak tempuh dari kebun ke Pasar Remu; dan (3) jarak tempuh para pedagang memperoleh barang dagangannya. Jarak tempuh ini sangat berpe-ngaruh terhadap waktu berjualan mereka. Jika jarak tempuh tersebut cukup jauh, maka waktu berjualan mereka menjadi semakin sedikit, karena mereka baru bisa menggelar barang dagangannya menjelang siang hari, atau bahkan sore hari.

Jenis dan Proses Distribusi Barang Dagangan

Jenis-jenis Komoditi

(7)

lainnya. Cara ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari mereka yang sudah lama berdagang di pasar, sehingga mampu beradaptasi dengan perkembangan pasar. Kemampuan ini dapat dilihat dari cara mereka menangkap peluang dan kesempatan untuk menghadapi persaingan pasar yang semakin kompleks, serta kesediaan mereka membuka diri untuk menghadapi kehidupan dunia pasar.

Beberapa jenis komoditi yang dominan dijual pedagang mama-mama asli Papua di Pasar Remu antara lain: ubi-ubian (kasbi/singkong, petatas/ubi jalar, keladi/ubi), buah-buahan (pisang), sayur-sayuran (kangkung, kacang panjang, sayur kasbi/singkong, sayur petatas/ubi jalar, sayur bunga pepaya, sayur jantung pisang), rica/cabe, tomat, sere, lengkuas, serta sagu. Jenis komoditi ini menjadi pilihan utama mereka, karena mempunyai posisi yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari orang asli Papua. Di samping tidak mengenal musim, jenis komoditi ini menjadi bahan pangan lokal dan banyak disuplai oleh alam melalui usaha petani (bertani), sehingga keberadaannya tidak pernah berakhir. Selain komoditi bahan pokok pangan, sebagian dari mereka ada juga yang menjual komoditi yang bersifat musiman, seperti: mangga, rambutan, jambu, pepaya, nanas, nangka, cempedak, matoa, sirsak, durian, labu, buah merah, kedondong, dan lain-lain. Karena keberadaannya yang bersifat musiman, maka komoditi ini tidak selalu ada di pasar, dan itupun hanya dimiliki oleh sebagian kecil pedagang mama-mama asli Papua.

(8)

berikutnya, demikian seterusnya. Namun ada juga pedagang yang mengambil langkah untuk menghadapi siatuasi tersebut, antara lain dengan menurunkan harga atau berpindah tempat jualan. Setidaknya mereka bisa balik modal, sehingga dapat melakukan aktivitas jual beli pada hari-hari berikutnya.

Untuk kegiatan jual beli komoditi buah pinang dan sirih yang menjadi bagian dari identitas orang asli Papua, berbeda dari komoditi lainnya. Perbedaan yang dimaksud adalah, kegiatan jual beli bisa dilakukan di pasar, di luar pasar, di depan rumah ataupun di emperan toko. W aktu jualnya pun dimulai dari siang sampai tengah malam, dan anehnya komoditi tersebut justru laris terjual pada malam hari. Hal ini disebabkan sebagian besar orang asli Papua dari berbagai kalangan menggunakan waktu malam sebagai waktu santai.

Sebagian besar pedagang mama-mama asli Papua hanya men-jual hasil alam saja. Tidak pernah terlihat mereka menmen-jual pakaian, sepatu, tas, atau barang lain di luar hasil kebun. Kalaupun ada di luar hasil kebun, itu berupa hasil kerajinan tangan sendiri seperti manik-manik (kalung, gelang, anting); noken (tas); sisir bambu; dan ketupat. Hasil kerajinan tangan ini sebenarnya juga mempunyai peluang pasar yang baik terutama pada jenis kerajinan tertentu (yang menarik para pembeli), dan tingkat konsumennya pun lebih varian karena berasal dari berbagai kalangan.

Proses Distribusi Barang Dagangan

(9)

salah satu informan pedagang mama-mama asli Papua, mama Sarwa3

berikut ini: ...”naik taksi kalo dari sana bawa jualan langsung itu 4 ribu.

Kalo bawa turun ke sini yoo nanti naik ojek lagi 10 ribu”...

Kalau dihitung, biaya transportasi yang digunakan mama-mama asli Papua untuk mendistribusikan barang dagangannya dalam satu hari harus mengeluarkan uang Rp. 14.000,- di luar pengeluaran yang lain. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap pendapatan bersih hasil jualan mereka, apalagi kalau pada hari tersebut mereka sepi pembeli. Kondisi ini menjadi sebuah kenyataan yang harus dijalani oleh pedagang mama-mama asli Papua dari hari ke hari. Hingga saat ini belum ada solusi dari pemerintah untuk memecahkan persoalan yang mereka hadapi.

Bagi pedagang mama-mama asli Papua yang berada di daerah trans lebih buruk lagi. M ereka harus mengeluarkan biaya distribusi (yang tidak membawa barang jualan dari kampung)4, kalau dari

M akbon dan Kuadas Rp 20.000,- per orang, dari M alaumkarta Rp 30.000,- per-orang. Kalau dari Kampung dengan membawa barang jualan (M akbon, Kuadas dan M alaumkarta) Rp 50.000,- per orang. Kalau menyewa (carter) mobil dari M akbon, Kuadas dan M alaumkarta Rp 1.000.000,- per mobil. Bagi mereka yang dari M aybrat (Sorong Selatan), yang duduknya di luar (di bak mobil) ongkosnya Rp 150.000,- per orang, bagi penumpang yang duduknya di dalam mobil Rp 250.000,- per orang. Kalau menyewa (carter) mobil dari M aybrat atau Sorong Selatan Rp 2.500.000,- per mobil. Sebagaimana penuturan mama M ina M obilala5 berikut ini:

Ketong yang dari kampung itu ada yang bayar 20 ribu tapi itu cuma badan kosong saja tidak bawa barang, itu yang dari M akbon dan Kuadas sana, kalo yang dari M alaumkarta itu 30

3 W awancara dilakukan tanggal 22 September 2013, di rumah Mama Sarwa (KPR

PEPABRI K MALANU).

4 Pada umumnya di Papua karena pengaruh medan tempuh jalan yang belum baik

sehingga harus didukung oleh jenis mobil yang digunakan. Jenis mobil yang digunakan adalah mobil Extrada, Ford dan Linux, yang beroda besar, yang dibelakang mobil ada baknya (mobil blakos atau mobil belakang kosong) itulah yang dijadikan sebagai angkutan umum lintas Kabupaten.

5

(10)

ribu, belum lagi kalo bawa barang, bawa barang tuu 50 ribu. Kalo sewa mobil itu 1 juta. Tapi kalo dari Maybrat, yang duduk diluar itu 150 ribu satu orang, yang duduk didalam mobil 250 ribu satu orang. Kalo carter mobil 2.500.000,- satu kali jalan.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

Kita yang dari kampung Makbon dan Kuadas itu ada yang membayar 20 ribu per orang tanpa membawa barang apapun. Kalau dari Malaumkarta itu 30 ribu, belum lagi kalau membawa barang, membawa barang itu 50 ribu. Kalau menyewa mobil itu 1 juta. Tapi kalau dari M aybrat, yang duduk di luar itu 150 ribu per orang, sedangkan yang duduk di dalam mobil 250 ribu per orang. Kalau carter (sewa) mobil dari M aybrat 2.500.000 untuk sekali jalan.

Dari pernyataan informan ini dapat diketahui bahwa biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pedagang mama-mama asli Papua yang berada di daerah trans dengan jarak tempuh yang berbeda mempunyai biaya transportasi yang berbeda pula. Bahkan biaya transportasi tersebut terkadang melebihi harga jual barang dagangan yang mereka bawa. Dengan demikian dalam satu hari bisa terjadi biaya pengeluaran melebihi pendapatan yang diperoleh. Secara ekonomis proses kegiatan jual beli seperti ini tidak memberi perbaikan tingkat pendapatan pedagang, namun pada kenyataannya hal ini selalu dialami dan harus dijalani oleh pedagang mama-mama asli Papua dalam mempertahankan eksistensinya.

(11)

Perbandingan biaya distribusi barang antara pedagang mama-mama asli Papua yang berada di kota dan yang berada di luar kota (daerah trans) cukup signifikan. Dari sisi pendapatan, tentunya mereka yang tinggal di kota memiliki peluang mendapatkan keuntungan jauh lebih besar daripada yang tinggal di daerah trans. Namun demikian masing-masing pedagang, baik yang ada di kota maupun yang berada di luar kota mempunyai cara tersendiri untuk menyesuaikan dan mengatasi kondisi yang dihadapi. Dengan cara itulah para pedagang mama-mama asli Papua ini terlihat eksis dalam kegiatan jual beli di Pasar Remu.

Kegiatan di Pasar Ikan Jempur (Jembatan Puri) bagi sebagian pedagang mama-mama asli Papua mempunyai proses yang sedikit berbeda. M ereka harus melalui proses dua tahap.

(12)

10.000,- sampai Rp20.000,-. Pengeluaran ini hanya untuk memin-dahkan ikan dari Pasar Ikan Jempur ke Rumah.

Tahap kedua, setelah tiba di rumah pedagang mama-mama asli Papua ini memilih jenis ikan yang dibeli dari Pasar Ikan Jempur, kemudian menentukan harga dari masing-masing ikan yang akan dijual baik secara tumpukan maupun per ekor. M ereka menggunakan trans-portasi darat seperti mobil atau ojek untuk membawa ikan ke Pasar Remu dengan ongkos yang berbeda (tergantung jarak). Harga normal untuk jasa ojek sekitar wilayah kota Rp10.000,- sampai Rp.20.000,- (jika dekat Rp.5.000,- sampai Rp10.000,-), sedangkan jika mengguna-kan mobil, harga normal berkisar Rp.4.000,- dan apabila mereka sewa mobil dari rumah ke Pasar Remu harganya berkisar antara Rp.30.000,- sampai Rp.50.000,- sekali angkut.

Demi mendapatkan barang dagangan, sebagian pedagang mama-mama asli Papua harus keluar kota Sorong, seperti yang dilakukan oleh mama M anakori. Dengan menggunakan kapal laut, mama M anakori harus ke Serui untuk membeli buah pinang dan sirih di sana. Ketika ia pergi meninggalkan dagangannya di Pasar Remu, tempat jualannya itu tidak dibiarkannya kosong, melainkan ada anak perempuannya yang masih kelas tiga SM P, yang menggantikannya untuk berjualan di Pasar Remu. M enurut mama M anakori, kalau ia pergi meninggalkan anak-anaknya keluar Kota Sorong, anak-anaknya harus hidup mandiri dengan menggantikannya berjualan di Pasar. Dengan demikian anak-anaknya dapat memperoleh uang untuk makan, untuk ongkos angkutan ke sekolah dan juga uang untuk jajan. M ama M anakori juga menghimbau kepada anak-anaknya untuk bisa membuat kerajinan tangan dari manik-manik dan juga memetik buah pinang di pohon untuk dijual ke pasar. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh uang untuk kebutuhan hidup. Berikut pernyataan mama M anakori6:

Tidak jualan, sa kasih tinggal kamu tidak ada orang kasih kam uang taksi. Kalau kam tinggal–tinggal harap mama, mama berangkat, kam tara dapat uang, tara dapat uang jajan, kam

(13)

harus rajin jualan supaya biar mama berangkat juga kam ada uang. Kam harus bikin manik–manik, tusuk halus, supaya biar mama berangkat juga kam bisa kerja sendiri. Ada uang makan ada. Kalo mama pergi kam harus jualan, biar pinang, beli pinang, kasih turun pinang bawa pigi jual. Kam bisa dapat uang taksi, uang jajan. Pagi kam su minum teh, makan kue baro jalan. Duduk harap siapa yang mau kasih, tidak ada.

M aksud informan di atas bahwa:

Kalau tidak berjualan, saya pergi meninggalkan kalian tidak ada orang yang akan berikan kalian ongkos angkutan umum. Kalau kalian hanya berharap kepada mama saja, baru kalau mama pergi keluar kota, kalian tidak dapat uang, tidak dapat uang jajan. Kalian harus rajin jualan supaya kalau mama pergi keluar kota kalian ada punya uang. Kalian harus membuat kerajinan tangan dari manik-manik, menusuk halus, supaya kalau mama pergi keluar kota, kalian bisa bekerja sendiri, tidak usah harap mama. Ada uang untuk makan. Kalau mama pergi keluar kota kalian harus jualan. M eskipun hanya jualan buah pinang saja, buah pinang yang kalian beli atau yang kalian ambil dari pohon pinang lalu dibawa ke pasar untuk dijual. Dengan demikian kalian bisa memperoleh uang untuk ongkos angkutan umum dan uang jajan. Kalau pagi itu kalian sudah bisa minum teh dan makan kue barulah pergi ke sekolah. Kalau hanya berharap siapa yang bisa memberikan uang, tidak ada.

Informasi di atas menjelaskan tentang perjuangan seorang pedagang mama-mama asli Papua untuk mendapatkan barang dagangannya dengan cara pergi keluar Kota. Di sisi lain, pedagang mama-mama asli Papua tersebut juga telah mendidik anak-anaknya untuk bisa bertahan hidup tanpa bantuan orang lain. M ereka memberikan pendidikan berwiraswasta dan bagaimana mengelola pendapatan yang diperoleh. Dengan harapan, kelak anak-anaknya dapat menggantikannya pada kegiatan yang sama yaitu berjualan.

(14)

suaminya saat anak-anaknya masih kecil. M elalui jualan buah pinang, mama M anakori bisa memberi makan, menyekolahkan dan membe-rikan uang jajan kepada anak-anaknya. Sebab jika tidak berjualan, tidak ada uang makan, tidak ada uang sekolah dan tidak ada uang jajan untuk anak–anaknya. M enurut mama M anakori7:

Kalo sa bajual begini baro dong bisa makan, dong s’kolah, dong jalan s’kolah, dong pu uang jajan ada. Kalo sa tinggal di rumah, kasihan nanti dong tara bisa dapat uang jajan, dong tara bisa sekolah, jadi tiap hari sa di pasar begini. Kalo tidak di pasar, nanti sa berangkat jualan di kapal, sa naik kapal tuu nanti sampe di Jayapura, sa kembali.

Informasi di atas menjelaskan bahwa:

Kalau berjualan bigini barulah mereka (anak-anak) bisa makan, mereka bisa sekolah, mereka bisa pergi ke sekolah (ada uang angkutan umum) dan mereka ada punya uang jajan. Tetapi kalau saya hanya tinggal di rumah saja, kasihan mereka nanti tidak bisa dapat uang jajan, tidak bisa pergi ke sekolah, jadi setiap hari saya berjualan di pasar seperti ini. Kalau tidak berjualan di pasar, ketika nanti saya berangkat keluar kota, saya jualan di atas kapal (Pelni). Saya naik kapal dari Sorong sampai di Jayapura, kemudian saya kembali lagi.

Keterangan informan di atas merupakan pengakuan tentang perjuangan seorang pedagang mama-mama asli Papua yang menjadi tulang punggung keluarganya. Dengan bekerja keras dan kreativitas yang dimiliki, pedagang mama-mama asli Papua ini dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sekaligus berani bersaing dengan pedagang-pedagang lainnya karena tuntutan hidup.

M ama M anakori selalu mengikuti perkembangan jadwal keberangkatan Kapal Laut (PELNI) dengan tujuan ke Serui8, untuk

membeli buah pinang. M enurut mama M anakori kalau cuma meng-andalkan buah pinang dari Kota Sorong saja tidak cukup, oleh sebab itu ia harus mencari ke tempat lain sampai ke luar Kota Sorong.

7 W awancara dilakukan tanggal 11 September 2013, di Pasar Remu.

(15)

Selama berada di atas kapal pun, mama M anakori tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia berjualan di atas kapal bagian dek 7 yang merupakan cafe kapal. Di sana ia menggelar tikar dan berjualan pisika (pinang, sirih, kapur) seperti biasa. M enurutnya berjualan pisika di atas kapal jauh lebih menguntungkan dibandingkan di Pasar Remu. Hal itu dipengaruhi oleh langkanya pisika dan sedikitnya penjual pisika di atas kapal. Apalagi penumpang kapal yang sebagian besar adalah orang asli Papua, maka pisika menjadi pilihan utama ketika mereka selesai makan di cafe atau lagi bersantai dengan keluarga/teman.

Persaingan dengan Pedagang Pendatang

Di sebelah tempat jualan mama M anakori ada pedagang pendatang yang juga menjual pisika. Namun, apabila mama M anakori sudah datang membawa buah pinangnya untuk dijual, maka pedagang itu pun mundur dan seakan-akan tak ingin menjual pisikanya lagi. Seperti disampaikan oleh mama M anakori9 berikut ini:

Di tuu khawatir saya, kalo sa duduk, kalo sa tarada pinang tuu... di merdeka, jual pinang tuu orang beli-beli, tapi kalo sa su datang deng pinang, orang belanja sampe su rame di sini tuu... di su mundur... macam tadi di su mundur duduk di sana itu.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

Dia suka tidak enak dengan saya, karena sama-sama menjual pisika (buah pinang). Kalau saya tidak ada buah pinang, maka dia bisa bebas menjual pisikanya. Tetapi kalau saya datang dengan membawa buah pinang, dan orang mulai ramai datang membeli, maka perlahan-lahan dia mundur. Seperti tadi dia sudah mundur duduk di sebelah sana itu.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa ada persaingan antara pedagang mama-mama asli Papua dengan pedagang pendatang dalam penjualan buah pinang. Buah Pinang mempunyai ikatan khusus yang melekat dengan kehidupan orang asli Papua dan merupakan bagian dari identitas orang Papua. Buah pinang juga mempunyai posisi

(16)

berbeda dalam sisi ekonomi. Oleh sebab itu pedagang mama-mama asli Papua yang menjual buah pinang merasa aneh karena buah pinang pun dibeli dan dijual oleh pedagang pendatang. Kondisi ini memunculkan persaingan antara pedagang mama-mama asli Papua dengan pedagang pendatang. Namun dalam posisi persaingan ini pedagang mama-mama asli Papua mempunyai keunggulan dibandingkan dengan pedagang pendatang. Keunggulan yang dimiliki oleh pedagang mama-mama asli Papua dalam posisi jual beli buah pinang adalah:

Pertama, pedagang mama-mama asli Papua mempunyai

ke-kuatan identitas sebagai pribumi yang memiliki nilai lebih diban-dingkan keberadaan pedagang pendatang. Pada posisi ini pedagang pendatang pun memahami dan menyadari kondisi tersebut. Kedua, pedagang mama-mama asli Papua lebih menguasai relasi konsumen yang mayoritas adalah orang asli Papua dari semua lapisan konsumen, kemudian didukung dengan kesadaran terhadap sesama orang asli Papua dalam hal saling membantu secara tidak langsung dengan cara memilih membeli pada sesama orang asli Papua. Ketiga, pedagang mama-mama asli Papua ini mempunyai cara tersendiri dalam memper-dagangkan buah pinang. Cara tersebut antra lain dengan memberikan bonus tambahan beberapa buah pinang kepada pembeli atau pelanggan. Selain itu, mereka juga menjual buah pinang yang berkualitas, bahkan beberapa diantara mereka sudah menyediakan tempat untuk meludah. M ereka hanya sedikit menguasai perilaku berdagang (bisnis), namun didukung dengan pengalaman melalui keterlibatan dalam berbagai kegiatan jual beli baik di pasar maupun di luar pasar.

(17)

pedagang pendatang yang menjual buah pinang dengan kualitas baik, tentu pembeli akan pergi untuk membelinya.

W aktu Berjualan

Sebagian besar pedagang mama-mama asli Papua, khususnya yang berada di luar kota atau di daerah trans, yang membawa barang dagangan dengan memanen langsung dari kebun dilakukan pada waktu jam 05.00 pagi sampai jam 09.00 pagi. Sekitar empat jam waktu yang digunakan oleh pedagang mama-mama asli Papua untuk sampai menjual hasil kebunnya di pasar. Untuk mendistribusikan barang dagangannya di pasar pedagang mama-mama asli Papua menggunakan transportasi mobil. Sebagaimana pernyataan informan10 berikut ini:

Pagi. Kami bangun jam 5 pagi langsung pergi ke kebun, cabut kasbi, petik daun kasbi begitu jam 8 sudah kembali tunggu mobil di jalan. Pagi, jam 8 ada mobil masih jam 9 kita sudah ada di pasar, kita jualan di pasar, jualan kalo habis tempo, kita pulang juga tempo. Terus untuk tempat ini, tidak, tempat ini tuu bagi siapa saja. Itu pagi orang jawa jualan dolo, orang – orang seb’rang too... jualan pagi sampe jam 10 kami sudah mulai muncul, mereka langsung menyimpan pulang.

M aksud informan di atas bahwa:

Pagi. Kami bangun jam 5 pagi langsung pergi ke kebun, cabut kasbi (singkong), petik daun kasbi (singkong) begitu jam 8, sudah kembali tunggu mobil di jalan. Pagi, jam 8 masih ada mobil, jam 9 kita sudah ada di pasar, kita jualan di pasar, jualan kalau habis cepat, kita pulang juga cepat. Kemudian untuk tempat jualan ini, tidak ada yang punya, tempat jualan ini itu bagi siapa saja. Itu pagi orang Jawa yang jualan dulu, orang-orang seb’rang (orang pendatang). M ereka jualan dari pagi sampai jam 10 kami sudah datang, mereka langsung berkemas-kemas pulang.

(18)

Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa proses mem-peroleh barang jualan dengan cara memanen dan mengambil hasil kebun sendiri dikelola dan diusahakan oleh pedagang mama-mama asli Papua secara mandiri. Dengan demikian mereka mempunyai peluang lebih banyak terhadap penggunaan tempat jualan yang ada di pasar, khususnya pada posisi belakang pasar. Di sini terjadi sebuah kebiasaan dalam penggunaan tempat jualan yang dilakukan sesama pedagang mama-mama asli Papua, yaitu pergantian penggunaan tempat jualan. Antara pedagang yang berjualan lebih awal dengan pedagang yang akan berjualan selanjutnya sudah ditentukan atau disepakati waktunya, sehingga pada jam yang sudah ditentukan, mereka secara otomatis akan menyerahkan tempat jualannya kepada pedagang berikutnya. Adapun jenis barang dagangan yang diutamakan dalam beraktivitas di pasar adalah komoditi hasil kebun dan ikan.

Cara Pedagang M ama-mama Asli Papua dalam M emper-tahankan Kegiatan Jual Belinya

Ada tiga cara yang digunakan oleh pedagang mama-mama asli Papua dalam mempertahankan kegiatan jual belinya, antara lain:

Pertama, barang bersumber dari hasil kebun sendiri. Cara ini

(19)

membuat mereka semakin tidak mampu menghadapi persaingan pasar yang semakin kompleks. Karena kegiatan jual beli bukan menjadi sebuah tujuan utama dari kegiatan ekonominya, dan pendapatan dari hasil jualan difokuskan untuk kebutuhan hidup keluarga, bukan untuk perubahan dan peningkatan usaha, maka kegiatan jual beli ini pun berjalan dalam suasana monoton. Kondisi ini akan diperhadapkan pada tuntutan ekonomi pasar yang menuntut kreativitas dan inovasi tinggi. Oleh sebab itu pedagang mama-mama asli Papua yang masih memper-tahankan model kegiatan jual beli dengan cara seperti di atas, akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan perkembangan pasar. Bisa jadi lama kelamaan pedagang mama-mama asli Papua ini akan tersingkir oleh modernisasi pasar. Pedagang mama-mama asli Papua yang menggunakan cara pertama adalah mama Sarwa11 sebagaimana

diungkapkan berikut ini;

Tarada, sa tara pernah beli barang, sa ambil dari kebun kemari. Tapi putih yang laku, merah tuu kurang laku... begitu sudah kalo kurang. Kemarin dari kelapa sawit datang banyak.

Informasi di atas menjelaskan bahwa:

Tidak, saya tidak pernah beli barang, saya ambil dari kebun bawa ke pasar. Tapi putih yang layu, merah itu kurang laku (laris), begitu sudah kalau kurang. Kemarin dari kelapa sawit membawa banyak.

Informasi ini menegaskan bahwa hasil jualan utamanya di-peroleh dari hasil kebun sendiri (tidak membeli dari orang lain), dan memperolehnya pun dengan cara mengambil sendiri dari kebun dan menjualnya ke pasar. Namun kegiatan jual beli ini sedikit mengalami persoalan terutama bila persediaan jenis barang jualannya habis atau tidak laku karena kurang segar, dan menjadi semakin layu, maka dia harus membuang dan menggantikannya dengan barang yang baru dengan melalui proses yang sama.

11 W awancara dilakukan tanggal 22 September 2013, di rumah mama Sarwa (KPR

(20)

Kedua, membeli barang dagangan terutama komoditi kebun

dan dijual. Cara kedua ini mengandalkan modal untuk mendapatkan barang dagangan. Pilihan dari sebagian pedagang mama-mama asli Papua pada cara kedua ini karena pertimbangan modal dan kemam-puan untuk mengelola kegiatan jual belinya di pasar dengan mengu-tamakan barang jualan dari pihak lain melalui transaksi. Pilihan ini menurut peneliti adalah sebuah pilihan yang rasional dan berani. Pilihan rasional yang dimaksudkan adalah berani melepaskan potensi yang dimiliki secara pribadi yaitu berhubungan dengan sumber barang dagangan hasil kebun yang sebagian besar menjadi milik pribadi dalam hal tanah. Dari sisi pendapatan, cara ini kurang memberikan kontribusi yang lebih baik, namun mempunyai peluang bersaing lebih banyak. M ereka lebih kreatif dalam membaca peluang dan memperhitungkan sisi efisiensinya. Cara kedua ini banyak dipilih oleh pedagang mama-mama asli Papua yang memiliki pengalaman cukup dalam kegiatan jual-beli di pasar. M ereka umumnya berada dan tinggal di pusat kota atau berdekatan dengan aktivitas ekonomi masyarakat. Cara kedua ini dilakukan oleh mama Tina W akum12 seperti diungkapkan berikut ini:

Hasil kebun tong beli di orang Papua dan orang Amber, orang jawa dong. Kalo sagu tong beli di masyarakat Ayamaru yang tinggal di SP 2, orang – orang M oi yang ada di M akbon dong bawa datang kasih buat ini dorang satu karong begitu 200 kita bayar ke dorang, kita jual 20 ribu.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

Kita beli hasil kebun ini dari orang Papua dan orang Amber, dari orang Jawa mereka. Kalau sagu kita beli dari masyarakat Ayamaru yang bertempat tinggal di SP 2, orang-orang M oi yang ada di M akbon, yang mereka bawa ke pasar jual kepada kita, satu karung begitu 200 ribu, kita bayar mereka, kemudian kita jual dengan harga 20 ribu per tumpuk.

(21)

Informasi di atas menjelaskan tentang cara memperoleh barang dagangan melalui orang lain tanpa tergantung pada hasil kebun usaha sendiri dengan tujuan untuk mempertahankan kegiatan jual beli di pasar, serta menyesuaikan dengan keadaan kegiatan pasar maupun para penjual dan pembeli yang mensuplai komoditi pada saat kegiatan pasar. M ereka menjual sebagian pangan lokal yang juga diperoleh dengan cara membeli dan pada sesama orang Papua, khususnya sagu dengan harga dan ukuran yang berbeda.

Ketiga, Gabungan antara hasil kebun dan membeli pada orang

lain atau pedagang lain. Cara ketiga ini mengandalkan dua kekuatan untuk mendapatkan barang dagangan, yaitu dari hasil kebun sendiri dan membeli dari orang lain. Namun gabungan kedua cara ini menurut peneliti lebih rasionalitas untuk mempertahankan eksistensi pedagang mama-mama asli Papua di pasar. M ereka berpeluang melakukan perubahan pada kegiatan jual belinya maupun pendapatan yang diperoleh. Pilihan yang ketiga ini hanya dilakukan oleh sebagian kecil pedagang mama-mama asli Papua yang berjualan di pasar, hal ini dilakukan karena didukung oleh pengalaman, peluang, dan modal yang dimilikinya. Selain itu, pertimbangan posisi tempat tinggal menjadi perhatian utama dalam hal berakses, sehingga mereka lebih terbuka dan cepat menangkap peluang yang terjadi dalam kegiatan ekonomi di pasar. Cara ketiga ini sebagaimana diutarakan oleh salah satu informan pedagang mama-mama asli Papua, mama Salomi Sesa13 seperti berikut

ini:

Kasbi dan kangkung ini... kitong duduk di pasar ini juga beli... Ini beli di klamono, di SP 3. Bukan kita yang kesana tidak, dorang itu yang bawa turun kemari baro kita hanya tunggu di pasar. Ada lagi, ada yang kita bikin sendiri juga. Kita punya kebun sendiri tuu di daerah malanu.

M aksud informan di atas bahwa:

Kasbi (singkong) dan kangkung ini... kita duduk jualan di pasar ini juga ita beli... ini beli di Klamono, di SP 3. Bukan kita yang kesana, tidak, tetapi mereka itu yang bawa ke

(22)

pasar sini, baru kita hanya tunggu di pasar. Ada juga yang dari kita punya kebun sendiri, kita punya kebun sendiri itu di daerah Malanu.

Informasi ini menjelaskan tentang cara pedagang mama-mama asli Papua untuk memperoleh dan memilih sumber barang dagangan dalam kegiatan jual beli. Cara ini merupakan modal utama yang ditempuh dalam mempertahankan ekdistensinya di pasar dengan mempertimbangkan peluang dan kondisi yang terjadi di pasar.

Selain ketiga cara seperti tersebut di atas, masih ada cara lain yang dilakukan oleh pedagang mama-mama asli Papua dalam rangka mempertahankan eksistensinya di pasar, yaitu dengan membeli tanah atau lahan pada sesama orang Papua. Hal ini dilakukan karena lahan tersebut dianggap tepat dijadikan sebagai kebun yang dikelola untuk mendapatkan hasil komoditi barang dagangan. Cara ini merupakan sebuah pilihan dengan pertimbangan letak lahan dan peluang hasil yang diperoleh dari lahan tersebut. Dengan pengorbanan modal yang sesuai standar harga tanah yang berlaku di Papua, tanah yang menjadi aset ini pun dikelola oleh pedagang mama-mama asli Papua untuk mendapatkan sumber barang dagangan. Sebagaimana diutarakan oleh salah satu informan14 berikut ini: ...”Hasil kebun sendiri. Kebun di

ladang too... di kita punya kebun, kita punya tanah yang sudah kita garap, beli baro kita bikin kebun sendiri”...

Cara yang digunakan informan untuk mendapatkan barang jualan dengan jalan membeli tanah atau lahan pada sesama orang Papua ini dengan tujuan untuk mendukung kegiatan jual belinya di pasar. Pertimbangan lain adalah karena melihat potensi lahan yang cukup bagus untuk pengembangan hasil pertanian komoditi lokal ke depan. Dari pertimbangan itulah pedagang mama-mama asli Papua ini berani mengeluarkan modal besar untuk mendapatkan lahan tersebut.

M enurut pengamatan peneliti, dari beberapa cara yang dilaku-kan oleh pedagang mama-mama asli Papua dalam mempertahandilaku-kan

(23)

eksistensinya di pasar mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

1. Pilihan cara pertama. Para pedagang yang memilih cara pertama, mereka bisa lebih awal meninggalkan pasar karena ketersediaan barang yang mereka jual, meskipun ada juga yang bertahan sampai sore hari yaitu mereka yang hanya menjual satu jenis barang (terutama kasbi (singkong), keladi (ubi), petatas (ubi jalar), pisang, dan sagu). Kondisi ini terjadi karena banyak pedagang baik pribumi maupun pendatang yang menjual jenis komoditi tersebut. M ereka yang memilih cara ini rata-rata tidak mengeluarkan uang untuk mendapatkan barang dagangan tersebut;

2. Pilihan cara kedua. Sistem perdagangan dengan cara membeli barang dagangan dan menjualnya kembali membuat para pedagang terpaksa harus melakukan kegiatan jual belinya dari pagi sampai sore. M ereka berusaha agar barang dagangannya habis terjual pada hari itu, sehingga mereka memiliki modal untuk memasok barang dagangan untuk esok hari. Pilihan kedua ini memiliki resiko cukup tinggi, karena pendapatan (hasil penjualan) yang kecil akan berpengaruh terhadap pasokan barang berikutnya. Jika hal ini berlangsung terus-menerus dan dalam waktu lama, maka pada akhirnya pedagang akan kehabisan modal dan mengalami kerugi-an;

3. Pilihan cara ketiga. Sistem perdagangan dengan cara menjual hasil kebun sendiri dan membeli dari tengkulak (pedagang lain) menjadi pilihan yang tepat untuk mempertahankan eksistensi (kegiatan jual beli) di pasar. Dengan cara seperti ini pedagang tidak akan pernah kehabisan barang dagangan, di samping tidak memerlukan modal yang sangat besar. Sedangkan waktu berjualan pun bisa diatur sesuai kebutuhan dan kondisi pendapatan hari itu. Namun sayang-nya hasayang-nya sebagian kecil dari pedagang mama-mama asli Papua yang memilih cara ini.

(24)

dengan kondisi yang mereka hadapi. Pada ketiga cara dan pilihan tersebut tersimpan potensi untuk mendapatkan perubahan yang lebih baik bagi pedagang mama-mama asli Papua untuk melakukan kegiatan ekonomi pasar. Namun kurangnya campur tangan dan perhatian pemerintah dalam pengaturan kebijakan-kebijakan untuk menghidup-kan dan menguatmenghidup-kan peluang dan potensi yang ada, membuat peda-gang mama-mama asli Papua ini sulit mempertahankan keberlanjutan hidupnya di tengah kelimpahan sumber daya alam yang ada di Papua yang juga menjadi bagian dari kehidupannya. M ereka mengalami kemiskinan di negerinya sendiri.

Aktivitas Pedagang dan H arga Barang

Aktivitas Pedagang

Pasar Remu terlihat ramai hanya pada waktu pagi dan sore hari, terutama di depan Pasar. Keramaian di dalam pasar hanya pada waktu pagi hari saja, siang sampai sore hari sepi pembeli. Salah satu faktor yang mempengaruhi keramaian pembeli adalah lokasi tempat dimana ikan dijual. Pada waktu pagi hari jika pembeli ingin membeli ikan, maka ia akan masuk sampai ke dalam pasar, dan ketika pembeli masuk sampai ke dalam pasar, barulah ia dapat melirik dan membeli barang jualan yang ada di dalam pasar, termasuk barang jualannya pedagang mama-mama asli Papua. Namun jika sore hari, di depan pasar sudah ada pasar ikan milik pedagang mama-mama asli Papua. Jadi peluang pembeli untuk masuk sampai ke dalam pasar sangatlah kecil, kecuali kalau pembeli itu sedang mencari barang dagangan yang tidak dijual di depan pasar. Sebenarnya aktivitas pasar ikan yang berada di dalam pasar itu berjalan dari pagi sampai sore, tetapi karena pada sore hari sudah ada yang berjualan ikan di luar pasar, maka di dalan pasar menjadi sepi pembeli. Di samping itu karena keadaan di dalam pasar sangat becek, maka pembeli malas untuk berbelanja di dalam pasar. Seperti diutarakan oleh Bapak Antonius Kodei15 bahwa:

(25)

Kalo sore begini, dong su kasih keluar ikan jualan tuu di dalam sunyi, tarada yang belanja di dalam, karna ikan su tarada semua lari ke luar sini karna diluar nii kan hampir semua kan dekat, dari laut datang langsung jualan disini.

Informasi di atas menjelaskan bahwa:

Kalau sore begini, mereka mengeluarkan ikan untuk dijual di sini, sehingga di bagian dalam pasar menjadi sunyi, tidak ada yang membeli di bagian dalam pasar, karena ikan sudah tidak ada, semua larinya keluar sini, karena di luar sini hampir semuanya dekat (pembeli dan akses transportasinya dekat), dari laut datang langsung jualan disini.

Informasi di atas menjelaskan bahwa terdapat perbedaan aktivitas pembeli di pasar pada waktu pagi dan sore. W aktu pagi kegiatan jual beli lebih terfokus di dalam pasar dan ramai oleh pembeli karena semua keperluan pembeli tersedia, terutama ikan. Kemudian pada waktu sore hari kegiatan jual beli dalam pasar pun mulai sepi karena di luar pasar sudah tersedia ikan dan keperluan lainnya sehingga dengan berbelanja di luar pasar, para pembeli tidak mem-butuhkan waktu lama untuk mendapatkan kebutuhan yang diperlu-kan. Bahkan beberapa pembeli lebih memilih berkunjung ke pasar pada sore hari ketimbang pagi hari. Hal ini yang membuat aktivitas pasar tidak berjalan sesuai yang diharapkan pemerintah. Penertiban terhadap pedagang maupun pembeli sulit dilakukan.

Kondisi pasar yang demikian harus dialami oleh mama Salomi Sesa, mama Tina W akum, dan mama Sarwa. M ereka mengalami sepi pembeli pada siang dan sore hari karena selain jarak tempuh yang lebih jauh, juga karena jalan yang becek membuat pembeli enggan untuk berbelanja ke dalam pasar. Sebagaimana diutarakan oleh salah satu informan pedagang mama-mama asli Papua, mama Salomi Sesa16

berikut ini:

Kalo di luar itu yang banyak, pembeli di dalam sini tuu kalo pagi begitu baro bisa. Ya nanti sedikit orang masuk sampe siang jam 12. Jam-jam begini tuu, sepi-sepi tuu orang kurang belanja.

(26)

Rame itu pagi, pagi tuu yang orang masuk untuk belanja ayam, belanja ikan, warung makan di dalam, tapi s’karang yang kalo jam-jam begini tuu sunyi, tidak ada orang yang belanja disini, kurang. Kalo di luar sana iya, Pagi ka, siang ka, sore ka itu yang orang banyak, orang belanja too... belanja banyak yang masuk keluar, tapi kita di sini tarada. Cuma depan itu yang banyak, rame baro orang banyak. Kalo disini tuu sepi-sepi, satu–satu orang begitu saja, dong masuk begitu mau beli ikan ka, ayam ka... itu yang orang mau beli-beli barang itu... itu yang masuk ke sini yang secara kebetulan lihat kangkung ka atau kasbi (singkong) ka yang kita jual begitu yang dong beli lagi. Kalo pagi bisa, sore begini sepi-sepi. S’karang ini orang su kasih tinggal pasar ikan ini lagi, sore begini tuu orang cari ikan pancing ka, ikan segar itu di luar lagi. Jadi di sini sepi-sepi. Banyak yang hujan di sini dong tara mau masuk ke dalam sini, pasar sini pecek, tara baik begini.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

(27)

Aktivitas lain pedagang mama-mama asli Papua selain berjualan adalah arisan. Namun arisan ini hanya diperuntukkan bagi pedagang mama-mama asli Papua yang berjualan tetap di bagian dalam Pasar Remu dari pagi sampai sore. M ereka mengumpulkan Rp 50.000,- per orang dan melakukan arisan ini dua kali seminggu untuk lima sampai sepuluh orang. Arisan ini merupakan salah satu strategi mereka untuk menambah penghasilan; membeli lebih banyak barang dagangan; juga untuk menanggulangi kebutuhan mendadak (membayar uang sekolah anak/uang semester; membayar uang rumah sakit; membayar denda; dan lain-lainnya). Selain melalui arisan, jika ada kebutuhan mendadak, maka koperasi simpan pinjam menjadi solusinya17. M ereka dapat

meminjam uang di koperasi, apabila mereka sudah melunasi pinjaman mereka sebelumnya.

Pedagang mama-mama asli Papua meminjam uang ke koperasi selain untuk memperlancar kegiatan jual belinya, juga sebagai modal tambahan. Jumlah besaran pinjaman koperasi tergantung kemampuan membayar mereka. Kisaran besaran pinjaman yang ditentukan koperasi adalah antara Rp. 500.000,-; Rp. 1.000.000,- ; maksimal Rp 2.000.000,-. Dari tiga kisaran pinjaman koperasi ini, pedagang mama-mama asli Papua lebih banyak memilih meminjam di kisaran Rp1.000.000,- sampai Rp. 2.000.000,- dan hanya sedikit pada kisaran Rp500.000,-. Proses pengembalian yang menjadi kesepakatan bersama antara peminjam dan Koperasi Simpan Pinjam bervariasi. Semisal peminjaman koperasi senilai Rp. 1.000.000,- maka untuk penyetorannya berjumlah Rp 40.000,- per hari dalam kurun waktu 30 hari. Namun jika dalam perjalanan waktu, tiba-tiba saja ada kebutuhan mendadak, maka peminjam tersebut harus melunasi setorannya terlebih dahulu untuk kemudian meminjamnya lagi (memperbaharui pinjaman). Sebagai contoh: kalau pinjaman sudah dibayar selama 20 hari maka sisa yang 10 hari tersebut dikali Rp 40.000,- sehingga total sisa pinjaman adalah sebesar Rp 400.000,-. Setelah sisa angsuran tersebut dibayar lunas, maka peminjam dapat melakukan pinjaman kembali pada petugas

17 Di Pasar Remu ada orang pendatang yang biasanya jalan di dalam pasar untuk

(28)

koperasi. Sehingga bunga koperasi yang di terima oleh koperasi simpan pinjam adalah sebesar Rp 200.000,-.

Proses pemimjaman pun tidak terlalu lama, biasanya satu hari setelah peminjam melunasi hutangnya dan mengajukan peminjaman lagi, maka pada hari berikutnya petugas koperasi akan membawa uang kepada peminjam tersebut. Proses angsuran pinjaman pedagang ke koperasi tergantung pada hasil jualan. Kalau jualan hari itu laris, maka mereka bisa menyetor, tetapi apabila jualan sepi, maka mereka tidak menyetorkan angsuran (menunda pembayaan). Hal demikian amat dimaklumi oleh petugas koperasi. Sebagaimana diutarakan oleh salah satu informan pedagang mama-mama asli Papua, mama Salomi Sesa18

berikut ini:

Nanti siang – siang. Jam 1, 2 begitu dong turun kalo kita ambil 1 juta ya kita stor 40 satu hari, kalo 500 ya 20 per hari. 2 juta, 80 per hari. Selama 30 hari 30 nomor. Tidak sesuai juga 30 hari, karna ada hari yang mungkin kita tidak ada jualan begitu, macam sepi dong datang kita minta maaf jadi dong pergi, dong juga mengerti kita.

M aksud informan di atas bahwa:

Nanti siang-siang, jam 1, 2 begitu mereka turun, kalau kita ambil 1 juta ya, kita stor 40 ribu per hari, kalau ambil 500 ribu ya, stor 20 ribu per hari. Ambil 2 juta, stor 80 ribu per hari. Selama 30 hari, 30 nomor. Tidak sesuai juga 30 hari, karena ada hari yang mungkin kita tidak ada jualan begitu, kalau sepi pembeli, mereka datang, kita minta maaf tidak bisa stor jadi mereka pergi, mereka juga mengerti kita.

Kesempatan pinjaman yang ditawarkan oleh koperasi memiliki keterkaitan antara peminjam dan yang meminjamkan. Proses pengem-balian sesuai dengan kesepakatan masing-masing peminjam, bisa angsuran harian, mingguan, maupun bulanan, dan tentunya disesuai-kan dengan jumlah besaran pinjaman. Untuk peminjaman yang dilakukan oleh pedagang mama-mama asli Papua disesuaikan dengan perhitungan pendapatan mereka per hari. Dengan perhitungan

(29)

patan tersebut, mereka mempunyai kesempatan untuk bisa meminjam lebih dari kisaran-kisaran yang ditentukan oleh koperasi.

H arga Barang

Nilai dan harga yang diberlakukan oleh para pedagang dari jenis-jenis barang yang dijual belikan oleh pedagang mama-mama asli Papua maupun pedagang lainnya mempunyai harga yang berbeda-beda. Ini menjadi bagian dari keunikan yang terjadi di pasar. Harga barang yang dijual di dalam pasar lebih murah daripada yang dijual di luar pasar (di depan, di belakang maupun di samping pasar). M enurut cerita mama Salomi Sesa dan mama Tina W akum bahwa di dalam pasar, harga sayur kangkung sekitar Rp 5.000,- dengan ikatan yang besar-besar, seedangkan di luar pasar harganya Rp 10.000,- dengan ikatan yang kecil-kecil. Untuk kasbi (singkong), di luar pasar harganya Rp 20.000,- sampai Rp 30.000,- dengan satu tumpukan yang sedikit, sedangkan di dalam pasar harganya Rp 10.000,- dengan satu tumpukan yang lebih banyak. Untuk pisang, di luar pasar harganya Rp 10.000,- sedangkan di dalam pasar harganya Rp 7.000,-. Kami sesuaikan dengan keadaan pasar, kalau di dalam pasar sepi pembeli, di luar pasar ramai dan banyak pedagang yang menjual barang dagangan yang sama, kami bermain dalam menentukan harga barang. Kami menurunkan harga barang agar barang dagangan kami laku (laris) terjual sehingga dapat kembali modal. Dengan kembalinya modal, kami dapat membayar utang-utang kami yang ada di Koperasi Simpan Pinjam. Sebagaimana pernyataan informan berikut ini;

(30)

ada pikir utang. Utang karna orang punya uang yang kita ambil too. Tadi uang pinjaman koperasi itu.

Informasi di atas menjelaskan bahwa:

Kalau orang mau membeli di bagian dalam pasarlah yang harganya lebih murah, sayur kangkung di bagian luar pasar itu harganya 10 ribu, kami di bagian dalam pasar sini jual dengan harga 5 ribu, kalau buah pisang di bagian luar sana jual dengan harga 10 ribu, di bagian dalam 7 ribu. Itu sudah selisih berapa, 3 ribu ya… kami sesuaikan harga dengan keadaan yang ada, kalau di bagian dalam pasar sepi sedangkan di bagian luar pasar ramai, kami menjual dengan harga yang murah. Sayur kangkung di depan sana itu ikatannya kecil-kecil harga 10 ribu, kalau kami di bagian dala sini itu malah ikatannya besar-besar barulah harganya 5 ribu. Kasbi (singkong) kami jual 10 ribu dengan satu tumpukan yang banyak, di bagian luar sana kalau ukuran tumpukan yang seperti ini sudah 20 ribu, yang ukuran tumpukan seperti ini 30 ribu. Terus buah pisang yang seperti ini di bagian luar sana itu 10 ribu, di sini jual 7 ribu. Jadi kami yang dagang hasil bumi ini pintar-pintar menen-tukan harga, supaya kami punya modal itu bisa kembali, dari pada modal itu mati. Kami ini jualan ada pikir utang yang kami pinjam kepada koperasi.

Harga beberapa jenis barang jualan yang berada di dalam pasar sedikit lebih murah daripada yang di luar pasar. Perbedaan harga tersebut sengaja dilakukan oleh pedagang mama-mama asli Papua untuk menarik pembeli agar barang jualan mereka habis terjual. Namun sayangnya cara penjualan seperti ini belum berhasil secara maksimal karena hanya sedikit orang yang mengetahui perbedaan harga tersebut.

(31)

cukup tajam bila dibandingkan dengan membeli per ikat, sebagaimana pernyataan mama Salomi Sesa19 berikut ini:

Iyo. Dong bawa turun ke pasar too... kasbi satu karong begitu 150 ribu, kalo kangkung begini dong hitung ikat, satu ikat begitu 5 ribu. M isalnya kita kalo ambil 60 ikat begitu, yang lima ribu berarti kita bayar eee... 150 ribu, kalo 20 ikat begitu kita bayar 100 ribu.

M aksud informan tersebut adalah bahwa:

Iyo, mereka membawa ke pasar. Kasbi (singkong) satu karung begitu 150 ribu, kalau kangkung seperti ini, mereka hitung per ikat, satu ikat begitu 5 ribu. M isalnya kita kalau beli 60 ikat begituyang 5 ribu berarti kita bayar 150 ribu, kalau 20 ikat begitu kita bayar 100 ribu.

Perbedaan harga barang per partai dan per ikat ini disesuaikan dengan porsi dan banyaknya barang dagangan yang dijual kepada para pedagang sehingga mempunyai patokan harga yang tidak sama. Hal ini akan menguntungkan bagi pembeli yang ingin menjual kembali barang dagangan tersebut khususnya sayur maupun kasbi (singkong). Untuk kasbi (singkong) pedagang mama-mama asli Papua membeli satu karung yang berukuran 25 Kg dengan harga yang sudah ditentukan kemudian dari satu karung dibuat beberapa tumpukan yang berkisar 6 sampai 7 tumpukan, masing–masing tumpukan dijual dengan harga dua puluh sampai tiga puluh ribu. Perbedaan harga pertumpuk ini apabila dihitung dari sisi keuntungan yang diperoleh dari hasil jualan, Rp 30.000,-/tumpuk maka kentungan yang akan diperoleh dalam satu karung Rp 60.000,-. Sedangkan yang Rp 20.000,-/tumpuk keuntungan yang diperoleh Rp 60.000,- sampai Rp 70.000,- karena antara harga 30 ribu dan 20 ribu perbedaannya di jumlah tumpukan yang dijual, 20 ribu per tumpuk jumlahnya sebanyak 11 tumpukan sedangkan yang seharga 30 ribu jumlahnya sebanyak 7 tumpukan. Sehingga jumlah tumpukan juga mempengaruhi keuntungan yang diperoleh dan meru-pakan salah satu strategi berjualan untuk mendapatkan keuntungan. Perbedaan harga dan tumpukan yang dilakukan oleh pedagang

(32)

mama asli Papua dalam memperoleh keuntungan dari hasil jualannya hanya dilakukan oleh sebagian pedagang mama-mama asli Papua, sedangkan yang lainnya lebih memperhitungkan dan mengutamakan dari sisi kelarisan barang jualan atau cepat terjual, sehingga tidak memperhitungkan keuntungan yang diperoleh.

Perlakuan ini disebabkan oleh proses mendapatkan barang jualan. Penjual yang kurang memperhitungkan sisi keuntungan dise-babkan oleh hasil jual yang diperoleh dengan cara mendapatkan dari hasil olahan kebun sendiri tanpa mengeluarkan uang untuk menda-patkan barang jualan tersebut. Sedangkan pedagang mama-mama asli Papua yang selalu memperhitungkan keuntungan dari hasil jualannya dikarenakan, barang jualan diperoleh dengan cara membeli dari orang lain sehingga selalu memperhitungkan modal dan keuntungannya. Perbedaan perlakuan dengan perhitungan ini, menurut peneliti apabila dirasionalkan maka perilaku yang memposisikan keuntungan mempu-nyai peluang besar untuk bisa beradaptasi dan bersaing sekaligus mampu melariskan dan mempertahankan kegiatan jual belinya sekalipun bersaing dengan pedagang lain terutama pedagang pendatang atau migran.

Kesimpulan

Pasar Remu menjadi salah satu tempat kegiatan jual beli mama-mama asli Papua, mereka terbagi atas tiga kelompok pedagang. Pedagang pagi, pedagang siang dan pedagang sore. Namun pedagang mama-mama asli Papua tidak terlalu berpatokan pada waktu kegiatan pasar, karena kegiatan jual beli dapat berlangsung dan berakhir tergantung pada persediaan barang jualan mereka.

(33)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil kombinasi analisis SAP dan ETOP, diperoleh matriks SWOT menunjukkan posisi, Sentra Gula Merah Di Kecamatan Dawe Kudus berada pada posisi I (Investasi),

Berdasarkan keadaan tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana Pengaturan Mengenai Izin Mendirikan Bangunan di Kota Medan serta Peraturan

1) Peserta didik diminta mengamati tentang contoh gambar berkaitan dengan keunggulan ekonomi seperti gambar PT Freeport, pecan raya, batik, dan sebagainya. 2) Berdasarkan

Dari berbagai perkembangan tersebut di atas, maka para ahli epidemiologi mulai mengembangkan apa yang sekarang dikenal dengan metode epidemiologi, yakni suatu

Perhitungan Cash Ratio pada tahun 2006 sampai dengan 2007 menunjukkan hasil tidak mampu mengukur pembayaran hutang dengan harus segera dipenuhi dengan kas yang

Opini Wajar Tanpa Pengecualian ( Unqualified Opinion ), pendapat wajar tanpa pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperikasa. menyajikan secara

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2007 tentang Tatacara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan

Packet Tracer adalah simulator alat-alat jaringan Cisco yang sering digunakan sebagai media pembelajaran dan pelatihan, dan juga dalam bidang penelitian simulasi jaringan