FENOMENA PRICE REVERSAL: ANALISIS OVERREACTION HYPOTHESIS
(Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di BEI)
Adhika Restu Setyawati
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Pasar modal yang efisien didefinisikan sebagai pasar yang harga
sekuritas-sekuritasnya mencerminkan semua informasi yang relevan (Husnan,
1996). Harga saham akan merespon secara cepat dan akurat saat menerima
informasi baru. Hal ini disebabkan karena investor menggunakan semua informasi
yang relevan dalam penetapan harga. Sehingga investor tidak mungkin
mengetahui antara investasi yang menguntungkan dan yang tidak menguntungkan
pada masa yang akan datang berdasarkan karakteristik-karakteristik saat ini
(Haugen, 1993: 648, dalam Kusumawardhani, 2001). Dengan kata lain, investor
tidak mungkin dapat mengidentifikasi suatu pola tertentu yang dapat digunakan
untuk memprediksi harga suatu saham.
Efficient Market Hypothesis (EMH) merupakan hipotesis pasar modal
yang menjelaskan bahwa harga suatu saham akan selalu tercermin dari informasi
yang tersedia di pasar. Hipotesis ini telah lama menjadi salah satu isu dalam
penelitian keuangan karena di pasar modal sering terjadi gejala yang bertentangan
dengan konsep tersebut. Ahli ekonomi mulai percaya bahwa harga saham dapat
diprediksi berdasarkan pola tertentu di masa lalu (Malkiel, 2003). Pendapat
tersebut memunculkan permasalahan tentang keberadaan pasar efisien. Zarowin
(1990), Choi dan Jayaraman (2005), Leung (2009) dan Yull dan Kirmizi (2012).
merupakan beberapa peneliti mengemukakan bahwa saham-saham dengan kinerja
buruk akan berubah menjadi baik pada periode berikutnya. Fenomena pembalikan
Akibat adanya pembalikan tersebut, banyak peneliti yang kemudian
merujuk pada hipotesis reaksi berlebihan (overreaction hypothesis) (Yull dan
Kirmizi, 2012). Menurut DeBondt dan Thaler (1985), pembalikan harga (price
reversal) ke arah yang berlawanan menandakan bahwa pasar telah bereaksi secara
berlebihan terhadap informasi. Investor cenderung menetapkan harga terlalu
tinggi sebagai reaksi terhadap informasi yang dinilai positif. Sebaliknya, investor
akan menetapkan harga terlalu rendah sebagai reaksi terhadap informasi yang
dinilai negatif. Overreaction investor tersebut menyebabkan pembentukan dan
pergerakan harga saham menjadi abnormal. Selanjutnya pasar akan mengoreksi
melalui pembalikan harga sampai tingkat keseimbangan tercapai.
Kusumawardhani (2001) menyatakan bahwa pembalikan harga (price
reversal) harga saham dapat berubah dan diikuti oleh perubahan kembali ke arah
yang berlawanan. Kenaikan harga secara signifikan akan diikuti dengan
penurunan harga pada periode selanjutnya akibat overreaction. Hal ini
menunjukkan bahwa pasar dalam kondisi yang tidak efisien. Apabila pernyataan
tersebut benar, maka strategi kontrarian diterapkan yaitu dengan membeli saham
yang baru saja berkinerja buruk dan menjual saham pada saat kinerjanya bagus.
Beberapa penelitian terdahulu juga menemukan adanya karakteristik lain
terkait dengan pembalikan harga dalam kaitannya dengan overreaction, antara
lain ukuran perusahaan (firm size) dan likuiditas. Ukuran perusahaan
menunjukkan nilai pasar dari ekuitas perusahaan, sedangkan likuiditas dikaitkan
dengan elastisitas harga yang ditunjukkan oleh volume perdagangan saham.
Kedua faktor tesebut berpengaruh terhadap kondisi pasar saham dalam hal
perubahan ekuitas perusahaan akibat perubahan jumlah saham yang beredar dan
perubahan volume perdagangan. Kedua faktor tersebut juga merupakan faktor
yang menjadi pertimbangan para investor dalam melakukan investasi, terutama
berkaitan dengan informasi positif dan negatif. Informasi tersebut akan
mendorong investor untuk bereaksi berlebihan dan pada akhirnya menyebabkan
pembalikan harga.
Penelitian yang dilakukan oleh Zarowin (1990) misalnya, menguji kembali
Zarowin (1990) menemukan bahwa fenomena pembalikan tidak semata-mata
karena overreaction dari investor, tetapi hal tersebut dipengaruhi oleh firm size.
Size dari perusahaan loser rata-rata lebih kecil dari winner, sehingga fenomena
yang ditemukan oleh DeBondt dan Thaler muncul karena pengaruh firm size,
bukan karena fenomena reaksi berlebihan.
Benou dan Richie (2003) meneliti adanya price reversal setelah adanya
penurunan harga pada perusahaan Amerika Serikat yang termasuk
perusahaan-perusahaan mapan yang tercatat di indeks S&P 100 mulai Mei 1990 hingga Mei
2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembalikan harga tersebut memang
disebabkan oleh overreaction. Lebih lanjut penelitian tersebut juga menyimpulkan
bahwa lama waktu pembalikan harga tergantung pada jenis perusahaan.
Di Indonesia penelitian tentang overreaction dilakukan oleh
Kusumawardhani (2001). Hasil penelitian menyatakan overreation hanya terjadi
pada saham loser dan pembalikan harga saham tersebut terjadi dalam waktu 5
hari. Hasil tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Yull dan
Kirmizi (2012) terhadap saham saham yang diperdagangkan di BEI selama tahun
2007-2010. Yull dan Kirmizi (2012) menyatakan bahwa saham-saham winner
tidak menunjukkan adanya overreaction. Overreaction hanya tejadi pada saham
loser yang kemudian diikuti dengan koreksi harga dalam waktu 2 hari.
Dinawan (2007) juga menguji adanya overreaction di Bursa Efek
Indonesia pada periode 2007-2010. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
price reversal terjadi pada saham winner maupun loser yang ditandai dengan
adanya overreaction. Yang membedakan adalah jangka waktu pembalikan harga
untuk kedua saham jenis tersebut. Saham winner mengalami periode pembalikan
selama 13 hari, sedangkan saham loser periode pembalikannya lebih pendek yaitu
selama 5 hari.
Beberapa hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa terdapat berbagai
pendapat mengenai overreaction dan fenomena price reversal serta
mengindikasikan bahwa fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia. Selanjutnya
penelitian ini mengembangkan penelitian-penelitian tersebut dengan melihat
size dan likuiditas antara perusahaan yang termasuk dalam saham winner dan
loser. Periode observasi yang digunakan yaitu 4 tahun mulai Januari 2010 hingga
bulan Desember tahun 2013 pada saham-saham yang tercatat di BEI. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perusahaan dalam
mengetahui seberapa besar kemungkinan adanya overreaction dan pembalikan
harga saham, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan
penawaran saham. Sedangkan bagi pelaku pasar, hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk
berinvestasi di pasar modal.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka beberapa persoalan yang ingin
dijawab dalam penelitian ini antara lain:
1. Apakah terdapat hubungan antara reaksi berlebihan (overreaction)
investor yang menyebabkan terjadinya fenomena price reversal?
2. Bagaimana ketajaman overreaction saham winner dan saham loser?
3. Berapa lama waktu terjadi pembalikan harga saham winner dan loser pada
saat terjadi overreaction?
4. Bagaimana karakteristik perusahaan (firm size dan likuiditas) untuk saham
KAJIAN PUSTAKA
Hipotesis Pasar Efisien
Konsep pasar efisien pertama kali dikemukakan oleh Eugene F. Fama
(1970). Suatu pasar dikatakan efisien apabila tidak ada investor yang dapat
memperoleh return tidak normal (abnormal return), setelah disesuaikan dengan
risiko, dengan menggunakan strategi perdagangan yang ada. Harga-harga yang
terbentuk di pasar merupakan cerminan dari informasi yang ada atau “stock prices reflect all available information” (Fama, 1970). Penekanannya terletak pada dua aspek, yaitu fully reflect dan information available. Fully reflect menunjukkan
harga-harga sekuritas dapat mencerminkan informasi yang ada secara akurat.
Sedangkan information available menunjukkan ketersediaan informasi. Sehingga,
informasi yang tersedia dapat digunakan investor untuk mengekspektasi harga
sekuritas dengan akurat (Yull dan Kirmizi, 2012).
Dalam mempelajari konsep pasar efisien, tingkat efisiensi pasar modal
ditentukan oleh sejauh mana dan seberapa cepat informasi tersebut dapat
mempengaruhi pasar yang tercermin dalam perubahan harga sekuritas
(Kusumawardhani, 2001). Terkait dengan hal tersebut, Haugen (2001) membagi
kelompok informasi menjadi tiga, yaitu (1) informasi harga saham masa lalu
(information in past stock prices), (2) semua informasi publik (all public
information) dan (3) semua informasi yang ada termasuk informasi orang dalam
(all available information including inside or private information).
Masing-masing kelompok informasi tersebut nantinya akan mencerminkan sejauh mana
tingkat efisiensi suatu pasar.
Reaksi Harga Saham terhadap Informasi
Pasar dikatakan efisien jika harga-harga sekuritas tidak terlalu jauh
menyimpang dari nilai instrinsiknya. Hal ini disebabkan karena informasi dapat
ditangkap oleh investor secara jelas, sehingga tidak terjadi kesalahan penetapan
harga dan harga saham akan berfluktuasi dalam batas tertentu dari nilai
Fama (1970) mendefinisikan pasar efisien sebagai suatu pasar sekuritas
yang harga-harga sekuritasnya mencerminkan secara penuh informasi yang
tersedia. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Beaver (1989) yang mengatakan
bahwa pasar efisien jika harga-harga sekuritas bertindak mengamati sistem
informasi yang ada. Beaver mengasumsikan bahwa investor bisa mempunyai
ekspektasi yang berbeda terhadap informasi yang ada. Adanya perbedaan
informasi diantara pelaku pasar tersebut dapat menimbulkan inefisiensi pasar.
Perbedaan informasi tersebut diakibatkan karena pelaku pasar cenderung
menitikberatkan informasi terkini dan mengabaikan informasi di masa lalu. Hal
ini menunjukkan adanya pemikiran investor yang tidak rasional (Yull dan
Kirmizi, 2012). Selanjutnya, reaksi berlebihan ini kemudian disadari investor
sehingga melakukan koreksi terhadap tindakan tersebut (Dinawan, 2007).
Fenomena Price Reversal (Pembalikan Harga)
Price reversal atau pembalikan harga merupakan perubahan harga saham
karena investor melakukan kesalahan dalam menetapkan harga saham
(misspricing) (Santosa, 2010). Fenomena price reversal terjadi ketika harga saham
bergerak secara eksesif menjauhi nilai intrinsiknya. Saham yang telah mengalami
kenaikan atau penurunan harga akan terus mengalami kenaikan atau penurunan
harga walaupun tidak ada informasi baru yang berkaitan dengan fundamental
perusahaan. Momentum harga tersebut akan berhenti dan diikuti pembalikan
akibat koreksi harga oleh para investor. Hal tersebut membuktikan bahwa harga
saham tidak selalu mencerminkan nilai intrinsik perusahaan sehingga investor
dapat memperoleh abnormal profit dari kondisi tersebut. Faktor psikologis
investor cenderung mendorong terjadinya mispricing pada saham-saham yang
relatif sulit untuk diprediksi seperti saham perusahaan kecil atau perusahaan yang
rentan terhadap kondisi eksternal. Keberhasilan memprediksi harga dalam jangka
pendek dapat menimbulkan overconfidence yang mendorong investor melakukan
strategi investasi tertentu, salah satunya strategi kontrarian (Yill dan Kirmizi,
Faktor-faktor yang mempengaruhi Price Reversal
Overreaction hypothesis merupakan anomali yang pertama kali
dikemukakan oleh De Bondt dan Thaler (1985). Penelitian ini pada dasarnya
menyatakan bahwa pasar bereaksi berlebihan dan tidak tepat sebanding dengan
informasi baru. Saham yang sebelumnya berkinerja buruk (loser) pada periode
selanjutnya berkinerja baik dengan abnormal return positif. Sedangkan
saham-saham yang tadinya berkinerja baik (winner) pada periode selanjutnya mengalami
kinerja yang buruk dengan abnormal return negatif. Hal ini dilanjutkan dengan
adanya koreksi berupa fenomena pembalikan (reversal) pada periode selanjutnya.
De Bondt dan Thaler (1985) juga mengemukakan bahwa pada dasarnya pasar
telah bereaksi secara berlebihan terhadap suatu informasi. Jika informasi yang
diterima dianggap baik, investor akan menilai saham terlalu tinggi dan segera
membeli dalam jumlah banyak dengan harapan memperoleh profit. Begitu juga
sebaliknya, ketika informasi yang diterima dianggap buruk, investor akan menilai
saham terlalu rendah dan ingin menjual saham yang dimiliki untuk
meminimalisasi kerugian. Peristiwa tersebut yang dinamakan overreaction.
Reaksi yang berlebihan tersebut terjadi karena pengambilan keputusan
investor didasari oleh emosi, pengalaman dan intuisi mereka (Mutiara, 2012).
Beberapa teori umum memang menyebutkan bahwa perilaku investor cenderung
untuk bereaksi terlalu berlebihan (overreact) terhadap peristiwa-peristiwa luar
biasa, informasi baru, dan cenderung mengabaikan informasi lama (Jones, 2000).
Informasi-informasi tersebut bersifat tidak terduga dan dramatis. Ketika pasar
bereaksi berlebihan, saham akan menjadi underpriced dan saham winner juga
akan menjadi overpriced. Berdasarkan peristiwa tersebut pembalikan harga dapat
diprediksi, sehingga adanya overreaction memungkinkan investor mendapatkan
keuntungan dari adanya abnormal return.
Fama (1970) mendefinisikan pasar efisien sebagai suatu pasar sekuritas
yang harga-harga sekuritasnya mencerminkan secara penuh informasi yang
tersedia sehingga tidak ada investor yang dapat memperoleh return tidak normal.
Terdapat tiga tingkat efisiensi pasar modal yang ditunjukkan oleh reaksi pasar
efisiensi bentuk lemah berdasarkan informasi historis, efisiensi bentuk setengah
kuat berdasarkan informasi terpublikasi dan efisiensi bentuk kuat berdasarkan
informasi privat. Overreaction yang memberikan kemungkinan bagi investor
untuk mendapatkan abnormal return menunjukkan bahwa pasar sebenarnya tidak
selalu dalam kondisi yang efisien. Sedangkan abnormal return yang terjadi akibat
suatu event menunjukkan bahwa pasar tidak efisien dalam bentuk setengah kuat.
Beberapa literatur mengaitkan overreaction dengan kemampuan investor
dalam menduga kecenderungan harga di pasar (behavioral finance). Barberis dan
Thaler (2003) dalam Bodie, Kane, dan Marcus (2008) menjelaskan behavioral
finance sebagai sebuah model pasar keuangan yang menekankan akibat dari faktor
psikologis yang mempengaruhi perilaku investor. De Bont dan Thaler (1995) juga
mengemukakan bahwa investor sering mengikuti pemikiran optimisme dan
pesimisme mereka sehingga menyebabkan pergerakan harga menjadi
menyimpang dari nilai fundamentalnya. Investor akan terlalu percaya pada
kemampuannya meramalkan harga saham. Hal ini dapat dibuktikan dari tetap
mendominasinya strategi manajemen aktif meskipun kinerja dari dana yang
dikelola secara aktif telah menunjukkan hasil yang mengecewakan.
Faktor lain yang diamati ketika terjadi price reversal antara lain ukuran
perusahaan (firm size). Menurut Zarowin (1990) firm size didefinisikan sebagai
ukuran perusahaan atau nilai pasar dari ekuitas perusahaan. Nilai pasar mengacu
pada kapitalisasi pasar atau nilai saham perusahaan yang beredar di pasaran.
Harga saham inilah yang menyatakan naik turunnya suatu saham. Jika harga
saham perusahaan naik, otomatis nilai perusahaan tersebut juga naik.
Menurut Agnes Sawir (2004:101-102 dalam Dewi, 2010), ukuran
perusahaan dapat menentukan tingkat kemudahan perusahaan memperoleh dana
dari pasar modal. Perusahaan kecil umumnya kekurangan akses ke pasar modal,
baik untuk obligasi maupun saham. Biaya peluncuran dari penjualan sejumlah
sekuritas juga menjadi penghambat. Jika penerbitan sekuritas dapat dilakukan,
sekuritas perusahaan kecil mungkin kurang dapat dipasarkan sehingga
membutuhkan penentuan harga tersendiri agar investor mendapatkan hasil yang
informasi yang dimiliki perusahaan kecil lebih sedikit dibandingkan dengan
perusahaan besar. Sehingga ketika perusahaan kecil mengeluarkan informasi
penting, reaksi investor akan lebih sensitif dibandingkan ketika informasi tersebut
dikeluarkan oleh perusahaan besar. Ketika perusahaan kecil mengeluarkan
informasi tertentu, hal tersebut cenderung akan mendorong perilaku overreaction
investor.
Penelitian Kang, Liu dan Ni (2002) juga menyimpulkan bahwa
kecenderungan investor untuk bereaksi berlebihan dipengaruhi oleh besar
kecilnya kapitalisasi pasar, dominasi investor tertentu dan kesenjangan informasi
pasar, terutama pada perusahaan kecil. Perusahan kecil yang hanya mempunyai
sedikit informasi menyebabkan investor menggunakan data masa lalu dan isu-isu
pasar untuk memprediksi harga. Sehingga semakin kecil ukuran perusahaan, maka
return saham perusahaan tersebut akan semakin besar pada hari pembalikan
harga.
Likuiditas saham tercermin dari volume transaksi perdagangan saham
tersebut di pasar modal (Wira dan Afriyani, 2008). Semakin tinggi fluktuasi
saham, semakin tinggi juga tingkat likuiditas saham tersebut. Tingginya frekuensi
transaksi berdampak pada peningkatan minat investor terhadap saham tersebut.
Minat yang tinggi diakibatkan karena semakin tinggi tingkat likuiditas saham,
semakin tinggi kemungkinan untuk mendapatkan return dibandingkan saham yang
likuiditasnya rendah (Yull dan Kirmizi, 2012). Sehingga hal tersebut berdampak
pada kenaikan dan penurunan harga saham.
Terkait dengan analisis overreaction hypothesis, tindakan sharesplit yang
dilakukan perusahaan dapat mengakibatkan peningkatan signifikan pada
permintaan saham tersebut. Tindakan sharesplit akan berdampak pada penurunan
harga saham, disertai dengan kenaikan jumlah saham secara proporsional (Rusliati
dan Farida, 2010). Investor mungkin merespon tindakan tersebut dengan
menyusun kembali portofolio investasinya berdasarkan berbagai pertimbangan.
Investor akan beranggapan kenaikan aktifitas perdagangan pada saham tersebut
akan kembali memicu kenaikan harga, dan pada akhirnya return saham. Pada
Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan price reversal dalam kaitannya
dengan overreaction salah satunya dilakukan oleh Kusumawardhani (2001). Hasil
penelitian menyatakan overreation hanya terjadi pada kategori saham loser
dengan periode pembalikan selama 5 hari. Hasil tersebut didukung oleh hasil
penelitian yang dilakukan oleh Yull dan Kirmizi (2012) terhadap saham saham
yang diperdagangkan di BEI selama tahun 2007-2010. Periode pembalikan saham
loser dalam hasil penelitian Yull dan Kirmizi lebih singkat, yaitu selama 2 hari.
Wibowo dan Sukarno (2004) meneliti tentang overreaction dengan melihat
ukuran perusahaan. Wibowo dan Sukarno menguji saham harian di Bursa Efek
Indonesia. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan
antara ukuran perusahaan saham winner dan loser, baik perusahaan kecil maupun
perusahaan besar ketika terjadi momentum overreaction. Dalam penelitian
tersebut juga dikemukaan bahwa terdapat kecenderungan saham loser untuk
menjadi winner, tetapi tidak sebaliknya.
Sukmawati dan Hermawan (2003) melakukan penelitian mengenai
overreaction hypothesis dengan cara membentuk enam portofolio dimana
portofolio tersebut terdiri dari tiga portofolio golongan loser dan tiga portofolio
golongan winner. Selanjutnya, penelitian tersebut menguji keberadaan reaksi
berlebihan untuk memprediksikan apakah pola portofolio loser mengungguli pola
portofolio winner. Mereka menemukan bahwa portofolio loser terbukti
mengungguli portofolio winner dan terjadi secara terpisah selama beberapa waktu.
Dinawan (2007) juga menguji adanya overreaction di Bursa Efek
Indonesia pada periode 2007-2010. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
price reversal terjadi pada saham winner maupun loser. Pembalikan harga pada
hari peristiwa, baik peristiwa kenaikan maupun penurunan harga terjadi akibat
dari reaksi berlebihan investor. Derajat overreaction saham winner yang lebih
besar dibandingkan dengan loser menyebabkan periode pembalikan harga saham
Pengembangan Hipotesis
Hubungan Overreaction Hypothesis dengan Price Reversal
De Bond and Thaler (1985) menyatakan bahwa pada dasarnya pasar telah
bereaksi secara berlebihan terhadap suatu informasi. Sekuritas kategori loser yang
biasanya memiliki return rendah justru akan mempunyai abnormal return tinggi,
sedangkan sekuritas yang termasuk kategori winner justru mempunyai abnormal
return yang rendah (Sukmawati dan Hermawan, 2003). Anomali pasar ini disebut
hipotesis reaksi berlebihan (overreaction hypothesis).
Ketika terdapat informasi yang menyebabkan perilaku investor menjadi
overreaction pembentukan dan pergerakan harga saham menjadi abnormal.
Selanjutnya harga terkoreksi sehingga terjadi pembalikan harga (price reversal)
karena harga saham terkoreksi. Sehingga dapat dikatakan bahwa overreaction
dapat diketahui melalui adanya pembalikan harga setelah munculnya suatu
informasi baru (Yill dan Kirmizi, 2012).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H1: Terdapat hubungan antara reaksi berlebihan (overreaction) dari
METODE PENELITIAN
Populasi dan Prosedur Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang tercatat di
Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode penelitian, yaitu selama tahun 2010 – 2013. Teknik pengambilan sampel menggunakan pendekatan non probability
random sampling dengan metode purposive sampling. Dasar yang digunakan
untuk pengambilan sampel adalah populasi yang memenuhi kriteria tertentu.
Kriteria-kriteria tersebut antara lain:
1. Saham tersebut termasuk saham yang aktif diperdagangkan di Bursa Efek
Indonesia (BEI) berturut-turut dari awal 2010 sampai dengan akhir 2013.
Suatu saham dapat dikatakan aktif diperdagangkan apabila frekuensi
perdagangan dalam tiga bulan lebih dari 75 kali (berdasarkan surat edaran
PT. BEJ No. SE- 03/BEJ II/1/1/94).
2. Data saham perusahaan yang termasuk sampel harus tersedia. Apabila
terdapat ketidaktersediaan data, maka saham tersebut dikeluarkan dari
sampel.
3. Pada portofolio winner, sampel harga saham perusahaan diambil jika
harga tersebut mengalami kenaikan harian diatas rata-rata penurunan harga
saham pada hari peristiwa ( .
4. Pada portofolio loser, sampel harga saham perusahaan diambil jika harga
tersebut mengalami penurunan harian dibawah rata-rata penurunan harga
saham pada hari peristiwa ( .
5. Sampel saham winner maupun loser tersebut tidak mengadakan aksi
korporasi selama periode pengamatan. Dalam penelitian, aksi korporasi
dalam kriteria pengambilan sampel dilihat berdasarkan publikasi yang
Tabel 1. Jumlah Sampel yang Memenuhi Syarat Berdasarkan Kriteria Pengambilan Sampel
No. Kriteria Pengambilan Sampel
Jumlah
Sampel yang
Memenuhi Syarat
Populasi Penelitian: 461 perusahaan.
1.
Termasuk saham yang aktif diperdagangkan.
Data tersedia mulai 1 Januari 2010 s/d 31
Desember 2013.
213 2.
Sampel Penelitian: 213 perusahaan.
3.
Sampel
Winner
Memiliki kenaikan diatas
7,2%* 89
Bebas dari aksi korporasi 69
Jumlah sampel winner: 69 perusahaan.
4.
Sampel
Loser
Memiliki kenaikan diatas
8,9%** 106
Bebas dari aksi korporasi 102
Jumlah sampel loser: 102 perusahaan.
Sumber: Data sekunder yang diolah.
Ket.
* Rata-rata kenaikan harga saham perusahaan pada hari peristiwa positif
(26/05/10).
** Rata-rata penurunan harga saham perusahaan pada hari peristiwa negatif
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel-variabel dalam penelitian antara lain overreaction dan price
reversal. Price reversal merupakan fenomena pembalikan arah harga saham
setelah terjadinya tren naik atau tren turun pada harga saham. Pembalikan harga
tersebut dapat diketahui melalui perubahan abnormal return pada average
abnormal return atau cumulative abnormal return. Penelitian ini menggunakan
Cumulative Abnormal Return (CAR) untuk mewakili price reversal. Menurut
Jogiyanto (2009), rumus perhitungan CAR adalah sebagai berikut:
∑
CARi,t adalah cumulative abnormal return saham i pada periode ke-t. Nilai
CARi,t merupakan akumulasi dari abnormal return saham i, mulai dari awal
periode (a atau t3) hingga periode ke-t.
Overreaction didefinisikan sebagai reaksi yang berlebihan dari investor
terhadap harga saham karena adanya informasi yang bersifat baik maupun buruk
(Yill dan Kirmizi, 2012). Reaksi berlebihan tersebut dapat diketahui melalui
adanya pembalikan harga terhadap perubahan harga, baik kenaikan maupun
penurunan yang terjadi sebelumnya. Sehingga korelasi antara abnormal return
pada saat perubahan harga tersebut dengan abnormal return pada saat terjadinya
price reversal akan menunjukkan hubungan antara overreaction dengan fenomena
price reversal.
Menurut Jogiyanto (2009), rumus perhitungan abnormal return (AR) adalah
sebagai berikut:
ARi,t merupakan abnormal return saham i pada periode ke-t, dimana .
R merupakan nilai actual return. Sedangkan ER merupakan nilai expected return,
dimana keduanya merupakan nilai untuk saham i pada periode ke-t.
Variabel ukuran perusahaan (firm size) dan likuiditas digunakan untuk
terjadi momentum overreaction. Firm size didefinisikan sebagai nilai pasar dari
ekuitas perusahaan (Zarowin, 1990). Rumus perhitungan untuk mengukur firm
size adalah sebagai berikut:
saham x volume saham yang beredar
Likuiditas saham yang baik ditunjukkan dengan frekuensi transaksi yang
semakin tinggi. Sehingga likuiditas saham merupakan volume perdagangan saham
yang terjadi di pasar modal (Ferdian, 2009).
∑
Metode Analisis Data
Mengidentifikasi Hari Peristiwa ( t = 0 )
Penentuan hari peristiwa terjadinya perubahan (kenaikan atau penurunan)
harga secara signifikan mengacu pada perubahan return IHSG. IHSG dijadikan
sebagai indikator awal adanya perubahan harga secara besar-besaran yang diikuti
oleh pembalikan ke arah yang berlawanan (price reversal). Return IHSG tersebut
kemudian digunakan untuk membedakan perubahan harga menurut kejadiannya.
Metode penentuan jenis kejadian mengikuti metode yang digunakan Dinawan
(2007), antara lain:
a) Kejadian positif adalah kejadian dimana ̅ .
b) Kejadian negatif adalah kejadian dimana ̅ .
c) Bukan kejadian adalah perubahan harga dimana ̅
.
Keterangan:
Rt : return pada hari t
Penentuan untuk peristiwa kenaikan harga secara besar-besaran
dilakukan dengan memilih kejadian positif yang bernilai paling besar. Sedangkan
penentuan untuk peristiwa penurunan harga secara besar-besaran dilakukan
dengan memilih kejadian negatif yang bernilai paling rendah. Sehingga, selama
periode penelitian terdapat dua hari peristiwa, antara lain peristiwa kenaikan harga
dan peristiwa penurunan harga.
Mengidentifikasi Terjadinya Price Reversal
Langkah untuk mengidentifikasi terjadinya price reversal setelah
mengetahui hari peristiwa perubahan harga yang signifikan dapat dilakukan
dengan melihat average abnormal return saham winner dan loser pada periode
pengamatan. Periode pengamatan yang digunakan adalah ( ) sampai
dengan ( ). Periode pengamatan ini mengikuti periode pengamatan yang
digunakan oleh Wibowo dan Sukarno (2004) dan Dinawan (2007). Alasan
digunakannya periode pengamatan ( ) adalah untuk menghindari bias
akibat event lain yang kemungkinan bersifat dramatik. Sedangkan digunakan
periode (t = 20) setelah perubahan besar harga saham adalah untuk mengetahui
adanya pembalikan yang terjadi. Apabila periode setelah momentum harga terlalu
pendek, maka akan sulit untuk mengidentifikasi adanya pembalikan.
Berdasarkan periode pengamatan tersebut, jika abnormal return setelah hari
peristiwa signifikan dan mengalami perubahan kearah yang berlawanan, maka
terdapat pembalikan harga (Kusumawardhani, 2001). Langkah-langkah yang
perlu dilakukan untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan menghitung
abnormal return untuk masing-masing saham winner dan loser selama periode
pengamatan. Nilai abnormal return dihitung dengan menggunakan Market
Adjusted Model. Perhitungan Market Adjusted Model adalah sebagai berikut
(Jogiyanto, 2009):
1. Menghitung return saham harian untuk masing-masing saham winner dan
2. Menentukan expected return dengan menggunakan nilai return pasar
(Daily Return Market)
3. Menghitung abnormal return untuk masing-masing saham
4. Menghitung Cumulative Abnormal Return
∑
5. Mengitung Average Abnormal Return
∑
6. Mengitung Cumulative Average Abnormal Return
∑
Keterangan :
: Return harian saham i pada periode t
: Harga closing price saham pada periode t
: Harga closing price saham pada periode t-1
: Return pasar pada periode t
: Indeks Harga Saham Gabungan periode t
: Indeks Harga Saham Gabungan periode t-1 : Abnormal return saham i pada hari t
: Return saham pada periode t
: Average Abnormal Return saham i pada hari t
: Cumulative Average Abnormal Return saham pada periode t n : Jumlah saham yang diteliti
Teknik Analisis Data
Pengujian terhadap overreaction dilakukan dengan melakukan uji korelasi
terhadap abnormal return pada hari peristiwa ( ) dengan CAR pada hari
pembalikan harga. Korelasi negatif antara overreaction dan price reversal
menandakan bahwa return positif yang makin besar di hari tertentu akan diikuti
dengan return negatif. Pembalikan tersebut yang menandakan terjadinya price
reversal. Langkah-langkah pengujian adalah dengan menghitung koefisien
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Objek Penelitian Gambaran Umum Sampel
Saham perusahaan yang dijadikan obyek penelitian adalah saham yang aktif
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia secara berturut-turut selama tahun 2010
hingga tahun 2013. Suatu saham dikatakan aktif diperdagangkan apabila frekuensi
perdagangannya lebih dari 75 kali dalam 3 bulan. Berdasarkan kriteria pemilihan
sampel tersebut, terdapat 213 saham perusahaan yang digunakan sebagai sampel
dalam penelitian. Saham-saham yang termasuk dalam sampel penelitian
ditunjukkan dalam Lampiran 1.
Selanjutnya sampel tersebut diklasifikasikan menjadi dua antara lain sampel
saham winner dan sampel saham loser. Sampel yang termasuk saham winner
merupakan saham yang mengalami kenaikan harga harian diatas rata-rata
kenaikan harga saham pada hari kemungkinan terjadinya kenaikan harga saham
secara besar-besaran. Sedangkan saham loser merupakan saham yang mengalami
penurunan harga harian dibawah rata-rata penurunan harga saham pada hari
kemungkinan terjadinya penurunan harga saham secara besar-besaran.
Saham-saham yang termasuk dalam sampel Saham-saham winner dan loser ditunjukkan dalam
Lampiran 2 dan 3.
Berdasarkan kriteria tersebut terdapat 69 perusahaan yang termasuk
portfolio saham winner dan 102 perusahaan yang termasuk portfolio saham loser.
Penguatan bursa Asia yang dibarengi dengan meningkatnya harga minyak mentah
dunia juga ikut mempengaruhi bursa saham Indonesia sehingga menyebabkan
terjadinya peningkatan harga saham terutama saham untuk sektor komoditas (http:
//bisnis.news.viva.co.id/news/read/153553-regional_menguat__ihsg_berhasil_re
Bound). Namun jumlah sampel saham loser yang lebih besar dibandingkan
winner mengindikasikan bahwa terdapat kejadian negatif yang memberikan
dampak yang lebih kuat pada bursa dibandingkan dengan kejadian positif,
sehingga mengakibatkan saham-saham emiten mengalami penurunan harga yang
hingga 8,9 persen pada tanggal 22 September 2011 (Publikasi PT Prudential Life
Assurance, 26/09/11). Faktor utama yang menyebabkan anjloknya bursa saham
Indonesia adalah ketidakpastian kondisi ekonomi di AS dan krisis hutang kawasan
Eropa. Ketidakpastian tersebut menimbulkan kekhawatiran investor lokal dan
asing sehingga aksi jual segera dilakukan untuk mengamankan investasi mereka
dari risiko. Nilai tukar rupiah yang terkoreksi cukup cepat menambah terjadinya
aksi jual yang lebih besar. Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut secara umum
merupakan refleksi atas penguatan yang terjadi atas dolar Amerika Serikat.
Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif memberikan gambaran atau deskripsi suatu data.
Deskripsi tersebut dilihat dari nilai minimum, nilai maksimum, rata-rata (mean)
dan standar deviasi data. Statistik deskriptif dari variabel penelitian yang
digunakan ditunjukkan dalam tabel berikut.
Tabel 2. Statistik Deskriptif Saham Winner dan Loser Saham Winner
AAR* Firm Size Likuiditas*
Min 0,0005 20.583.517.500 0,0000
Max 0,4473 120.554.000.000.000 0,0434
Mean 0,0734 8.601.340.215.728 0,0058
St. Deviasi 0,0842 20.131.673.575.928 0,0082
Sumber: Data JKSE yang diolah
Ket. * dalam rasio
** dalam Rupiah
Saham Loser
AAR* Firm Size ** Likuiditas*
Min -0,1502 46.920.000.000 0,0000
Max 0,0366 163.204.023.340.300 0,0403
Mean -0,0353 12.145.348.889.281 0,0040
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa portofolio saham winner
menghasilkan rata-rata abnormal return yang positif dan portofolio saham loser
memiliki rata-rata abnormal return yang negatif. Portfolio saham winner rata-rata
mendapatkan abnormal return sebesar 7,34 persen. Nilai abnormal return
tertinggi dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada sebesar 44,73 persen. Salah satu
penyebab tingginya abnormal return yang dimiliki PT. Energi Mega Persada
adalah akibat meningkatnya likuiditas saham tersebut. Bahkan saham tersebut
merupakan saham yang paling likuid pada hari peristiwa. Sedangkan portfolio
saham loser memiliki abnormal return negatif sebesar -3,53 persen, dengan nilai
maksimal return hanya 3,66 persen. Fenomena yang terjadi selama periode
pengamatan mengindikasikan bahwa terdapat kecenderungan terjadi anomali
winner-loser pada emiten di pasar modal Indonesia. Hal tersebut mendukung hasil
penelitian DeBond dan Thaler yang menemukan bahwa saham-saham yang
awalnya memberikan return sangat positif (winner) atau return sangat negatif
(loser), kondisinya akan berbalik pada periode-periode berikutnya.
Likuiditas saham yang baik ditunjukkan dengan frekuensi transaksi yang
semakin tinggi. Berdasarkan tabel diatas, rata-rata likuiditas saham winner yang
lebih tinggi dari saham loser mengindikasikan bahwa portfolio saham winner
memang memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan portfolio saham
loser pada hari peristiwa. Rasio likuiditas tertinggi untuk saham winner dimiliki
oleh PT. Energi Mega Persada dengan nilai 0,0434. Sedangkan likuiditas tertinggi
untuk saham loser dimiliki oleh PT. Berlina Tbk dengan nilai 0,0403; walaupun
PT tersebut memiliki ukuran perusahaan paling kecil dengan nilai kapitalisasi
pasar sebesar 46.920.000.000.
Terkait dengan ukuran perusahaan (firm size), ketika terjadi penurunan
harga saham secara signifikan, portfolio saham loser justru dimiliki oleh
perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan kecil yang jarang mengeluarkan
informasi membuat investor lebih sensitif sehingga peluang untuk bereaksi
berlebihan menjadi lebih besar. Dalam penelitian, nilai minimum, maximum dan
rata-rata ukuran perusahaan saham loser lebih besar dibandingkan saham winner.
default Yunani yang diikuti dengan kebijakan Operation Twist yang dikeluarkan
bank sentral Amerika Serikat sehingga nilai rupiah melemah
(http://investasi.kontan.co.id/news/anjlok-32-rupiah-terseret-ke-posisi-terlemah-dalam-setahun--1/2011/09/22). Faktor-faktor tersebut menyebabkan tekanan jual
yang tinggi, tidak terkecuali pada saham-saham berkapitalisasi besar seperti Bank
Mandiri dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar 163.204.023.340.300. Selanjutnya,
saham-saham perusahaan yang biasanya memberikan return positif, malah
mendapatkan return negatif di hari peristiwa. Investor yang sahamnya telah masuk
dalam kategori loser tidak akan mengambil risiko kerugian lebih banyak dengan
menahan saham perusahaan yang dimiliki. Apalagi portofolio saham loser
sebagian besar merupakan perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang besar.
Mengidentifikasi Hari Peristiwa
Hari peristiwa terjadinya kenaikan dan penurunan saham secara
besar-besaran ditentukan dengan menggunakan tingkat perubahan dalam IHSG.
Penentuan untuk peristiwa kenaikan harga saham secara besar-besaran
dilakukan dengan memilih kejadian positif yang memiliki tingkat perubahan yang
paling besar. Sedangkan penentuan untuk peristiwa penurunan harga
saham secara besar-besaran dilakukan dengan memilih kejadian negatif yang
memiliki tingkat perubahan yang paling rendah.
Berikut adalah hasil penentuan tiga kejadian positif dengan nilai terbesar
dan tiga kejadian negatif dengan nilai terendah.
Tabel 3. Kejadian Positif
Tanggal IHSG Return (Rt) Rata-rata
Return
(
̅
)
Rt-̅
Ket.26/05/2010 2696,8 0,0727 0,0006 0,0721
dipilih menjadi
27/09/2011 3473,94 0,0476 0,0006 0,0469
Tabel 4. Kejadian Negatif
Tanggal IHSG Return (Rt) Rata-rata
Return
(
̅
)
Rt-̅
Ket.22/09/2011 3369,14 -0,0888 0,0006 -0,0894
dipilih menjadi
03/10/2011 3348,71 -0,0564 0,0006 -0,0570
19/07/2013 4313,52 -0,0558 0,0006 -0,0564 Sumber: Data JKSE yang diolah.
Berdasarkan hasil perhitungan sesuai kriteria yang terdapat dalam bab
sebelumnya, kejadian positif dengan tingkat perubahan paling tinggi terjadi pada
tanggal 26 Mei 2010. Pemicu utama sentimen positif pada pergerakan IHSG pada
tanggal tersebut adalah adanya penguatan indeks di bursa Asia, seiring dengan
pergerakan positif harga minyak mentah dunia. Pergerakan positif tersebut
kemudian diikuti aksi beli investor terhadap saham-saham terutama di sektor
komoditas (http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/153677-bursa_regional_pe
rkasa__ihsg_melonjak_7_).
Sedangkan kejadian negatif dengan tingkat perubahan paling rendah terjadi
pada tanggal 22 September 2011. Penurunan sebesar 8,9 persen tersebut
disebabkan oleh ancaman dari default Yunani yang diikuti dengan kebijakan
Operation Twist yang dikeluarkan bank sentral Amerika Serikat. Kebijakan
tersebut memancing orang untuk membeli obligasi AS sehingga mengakibatkan
rupiah melemah hingga level Rp 9367 per dolar AS (http://investasi.
kontan.co.id/news/anjlok-32-rupiah-terseret-ke-posisi-terlemah-dalam-setahun--1/2011/09/22). Banyak investor asing dan lokal yang khawatir dan memilih untuk
keluar dari bursa domestik sehingga memicu tekanan jual yang tinggi. Tekanan
tersebut menyebabkan indeks turun drastis.
Selanjutnya untuk masing-masing kejadian digunakan untuk
daripada rata-rata perubahan sampel pada hari peristiwa kenaikan saham
besar-besaran. Sebaliknya, saham tersebut dikategorikan sebagai sampel saham loser
jika tingkat penurunan saham tersebut lebih rendah daripada rata-rata perubahan
sampel pada hari peristiwa penurunan saham besar-besaran. Berdasarkan kriteria
tersebut, suatu saham termasuk sampel saham winner apabila memiliki tingkat
perubahan harga diatas 7,20 persen. Sedangkan sampel saham loser memiliki
tingkat penurunan harga dibawah -8,92 persen.
Analisis Data
Identifikasi Pembalikan Harga Saham (Price Reversal)
Terjadinya pembalikan harga saham (price reversal), baik untuk sampel
saham winner maupun sampel saham loser, diidentifikasi dengan melakukan uji t
sehingga tingkat signifikansi average abnormal return (AAR) dari masing-masing
hari perdagangan selama periode pengamatan dapat diketahui. Periode
pengamatan yang digunakan adalah hingga . Selanjutnya terjadi
pembalikan harga diasumsikan sebagai perubahan harga menuju ke arah yang
berlawanan dengan peristiwa yang terjadi pada . Price reversal terjadi ketika
nilai average abnormal return (AAR) signifikan tidak sama dengan nol dan
mengalami kenaikan atau penurunan. Selain itu price reversal juga dapat
diidentifikasi melalui grafik CAAR.
Analisis Pembalikan Harga (Price Reversal) untuk Saham Winner
Pembalikan harga yang terjadi pada saham winner dapat diketahui jika
Average Abnormal Return (AAR) pada hari setelah signifikan dan bernilai
negatif. Pembalikan harga juga dapat diketahui dengan membuat scatter plot pada
Tabel 5. AAR dan CAAR Winner Periode Pengamatan t-5 sampai dengan t+20
t Tanggal AAR CAAR Signifikansi
-5 19/05/10 0,0021 0,0021 0,661
-4 20/05/10 -0,0014 0,0007 0,788
-3 21/05/10 -0,0200 -0,0193 0,000
-2 24/05/10 -0,0339 -0,0532 0,000
-1 25/05/10 -0,0658 -0,1190 0,000
0 26/05/10 0,0734 -0,0456 0,000
1 27/05/10 0,0079 -0,0377 0,185
2 31/05/10 -0,0041 -0,0418 0,413
3 01/06/10 0,0225 -0,0193 0,008
4 02/06/10 -0,0041 -0,0234 0,467
5 03/06/10 -0,0029 -0,0263 0,470
6 04/06/10 0,0034 -0,0229 0,598
7 07/06/10 -0,0029 -0,0258 0,558
8 08/06/10 -0,0018 -0,0276 0,641
9 09/06/10 0,0078 -0,0198 0,046
10 10/06/10 0,0189 -0,0009 0,000
11 11/06/10 -0,0084 -0,0093 0,007*
12 14/06/10 -0,0006 -0,0099 0,839
13 15/06/10 -0,0038 -0,0137 0,339
14 16/06/10 0,0056 -0,0081 0,275
15 17/06/10 -0,0024 -0,0105 0,491
16 18/06/10 -0,0071 -0,0176 0,014*
17 21/06/10 0,0033 -0,0143 0,364
18 22/06/10 -0,0012 -0,0155 0,668
19 23/06/10 0,0105 -0,005 0,008
20 24/06/10 0,0007 -0,0043 0,835
Berdasarkan tabel diatas, pembalikan harga untuk saham winner terjadi
pada dengan tingkat signifikansi 0,007. Grafik CAAR berikut juga
memperlihatkan bahwa tren naik berakhir pada kemudian diikuti dengan
penurunan harga walaupun pembalikan tersebut tidak terlalu signifikan.
Gambar 1. CAAR Winner Periode Pengamatan t-5 sampai dengan t+20
Sumber: Data JKSE yang diolah.
Analisis Pembalikan Harga untuk Saham Loser
Pembalikan harga yang terjadi pada saham loser dapat diketahui jika
Average Abnormal Return (AAR) pada hari setelah signifikan dan bernilai
positif. Pembalikan harga juga dapat diketahui dengan membuat scatter plot pada
hasil Cumulative Average Abnormal Return (CAAR).
Tabel 6. AAR dan CAR Loser Periode Pengamatan t-5 sampai dengan t+20
t Date AAR CAAR Signifikansi
-5 15/09/2011 -0,0014 -0,0014 0,535
-4 16/09/2011 -0,0017 -0,0031 0,590
-3 19/09/2011 -0,0072 -0,0103 0,002
-2 20/09/2011 0,0025 -0,0078 0,424
-1 21/09/2011 -0,0026 -0,0104 0,362
0 22/09/2011 -0,0353 -0,0457 0,000
-0.1400 -0.1200 -0.1000 -0.0800 -0.0600 -0.0400 -0.0200 0.0000 0.0200
1 23/09/2011 -0,0049 -0,0506 0,227
2 26/09/2011 -0,0226 -0,0732 0,000
3 27/09/2011 0,0239 -0,0493 0,000*
4 28/09/2011 -0,0126 -0,0619 0,001
5 29/09/2011 -0,0068 -0,0687 0,023
6 30/09/2011 -0,0087 -0,0774 0,017
7 03/10/2011 -0,0086 -0,0860 0,013
8 04/10/2011 -0,0075 -0,0935 0,040
9 05/10/2011 0,0044 -0,0891 0,380
10 06/10/2011 0,0119 -0,0772 0,008*
11 07/10/2011 -0,0044 -0,0816 0,132
12 10/10/2011 0,0001 -0,0815 0,986
13 11/10/2011 0,0037 -0,0778 0,193
14 12/10/2011 0,0020 -0,0758 0,594
15 13/10/2011 0,0109 -0,0649 0,024*
16 14/10/2011 0,0105 -0,0544 0,008*
17 17/10/2011 0,0235 -0,0309 0,000*
18 18/10/2011 -0,0145 -0,0454 0,000
19 19/10/2011 0,0075 -0,0379 0,026*
20 20/10/2011 -0,0007 -0,0386 0,768
Sumber: Data JKSE yang diolah.
Tabel diatas menunjukkan nilai AAR positif yang signifikan terdapat pada
dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Pada grafik CAAR, tren penurunan juga berhenti pada dan terjadi pembalikan harga ke arah berlawanan.
Walaupun pembalikan harga tersebut hanya terjadi satu hari dilanjutkan dengan
Gambar 2. CAAR Loser Periode Pengamatan t-5 sampai dengan t+20
Sumber: Data JKSE yang diolah.
Pengujian Normalitas Data
Uji normalitas dalam penelitian dilakukan dengan melihat nilai signifikansi
data pada uji Kolmogorov-Smirnov (K-S). Pada uji K-S, data yang berdistribusi
normal ditunjukkan dengan nilai signifikansi lebih dari 0,05.
Tabel 7. Hasil Uji Kormogorov-Smirnov
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Saham Winner
AR0 CAR11
N 69 69
Normal Parametersa,b
Mean ,073422 -,009206 Std.
Deviation ,0842166 ,1411647
Most Extreme Differences
Absolute ,197 ,099 Positive ,197 ,099 Negative -,193 -,061
Kolmogorov-Smirnov Z 1,638 ,820
Asymp. Sig. (2-tailed) ,091 ,512
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
-0.1000 -0.0800 -0.0600 -0.0400 -0.0200 0.0000
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Saham Loser
AR0 CAR3
N 102 102
Normal Parametersa,b
Mean -,035285 -,049196 Std.
Deviation ,0314100 ,0745696
Most Extreme Differences
Absolute ,115 ,048 Positive ,105 ,045 Negative -,115 -,048
Kolmogorov-Smirnov Z 1,162 ,488
Asymp. Sig. (2-tailed) ,134 ,171
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Sumber: Ouput SPSS yang diolah.
Distribusi data yang normal dapat dilihat pada tabel hasil uji
Kolmogorov-Smirnov yang menunjukkan nilai signifikansi di atas 0,05. Nilai signifikansi hari
peristiwa saham winner dan loser, serta hari pembalikan harga masing-masing
saham berturut-turut adalah 0,91; 0,134; 0,512 dan 0,171 membuktikan bahwa
data dalam penelitian telah berdistribusi normal.
Analisis Data
Pengujian Hipotesis 1 untuk Saham Winner
Pengujian hipotesis 1 untuk saham winner dilakukan dengan menghitung
koefisien korelasi antara abnormal return (AR) saham winner pada hari peristiwa
( ) dengan cumulative abnormal return (CAR) saham winner pada hari
pembalikan harga yaitu , pada 69 saham perusahaan yang termasuk dalam
Tabel 8. Hasil Uji Korelasi Saham Winner
Correlations
AR0 CAR11
AR0
Pearson Correlation 1 -,156
Sig. (2-tailed) ,201
N 69 69
CAR11
Pearson Correlation -,156 1
Sig. (2-tailed) ,201
N 69 69
Sumber: Output SPSS yang diolah.
Tabel tersebut menunjukkan adanya korelasi negatif antara AR dan
CAR sebesar -0,156. Namun korelasi tersebut memiliki nilai signifikansi
0,201. Pada tingkat kepercayaan 95 persen, nilai tersebut tidak signifikan
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat overreaction investor yang
menyebabkan terjadinya fenomena pembalikan harga.
Pengujian Hipotesis 1 untuk Saham Loser
Pengujian hipotesis 1 untuk saham loser dilakukan dengan menghitung
koefisien korelasi antara abnormal return (AR) saham winner pada hari peristiwa
( ) dengan cumulative abnormal return (CAR) saham winner pada hari
pembalikan harga yaitu , pada 102 saham perusahaan yang termasuk dalam
kategori saham loser.
Tabel 9. Hasil Uji Korelasi Saham Loser
Correlations
AR0 CAR3
AR0
Pearson Correlation 1 -,252*
Sig. (2-tailed) ,011
N 102 102
CAR3
Pearson Correlation ,252* 1
Sig. (2-tailed) ,011
N 102 102
Hasil output menunjukkan terdapat korelasi negatif antara AR dan
CAR sebesar -0,252 dengan nilai signifikansi 0,011. Nilai signifikansi
tersebut kurang dari 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat reaksi
berlebihan dari investor yang menyebabkan terjadinya fenomena price reversal.
Korelasi yang negatif antara abnormal return pada hari peristiwa dengan
cumulative abnormal return pada hari pembalikan harga menunjukkan bahwa
return negatif yang terjadi pada akan diikuti dengan return positif sebagai
akibat dari adanya koreksi harga. Koefisien korelasi yang signifikan pada tingkat
kepercayaan 95 persen berarti menerima Ha yaitu terdapat hubungan antara reaksi
berlebihan (overreaction) investor yang menyebabkan terjadinya fenomena price
reversal pada saham loser dan menolak Ho.
Pembahasan
Peristiwa Price Reversal untuk Saham Winner
Perhitungan average abnormal return dengan menggunakan metode Market
Adjusted Model pada tabel 4 menunjukkan bahwa penurunan harga untuk saham
winner terjadi pada hari ke-11 dan 16 setelah hari peristiwa ( ). Peningkatan
harga saham sampel winner ketika hari peristiwa menyebabkan saham tersebut
memiliki abnormal return positif. Nilai average abnormal return setelah hari
peristiwa yang signifikan dan negatif menandakan kemungkinan tejadinya
pembalikan harga sebagai koreksi akibat adanya pergerakan harga yang tidak
normal ketika hari peristiwa.
Terjadinya pembalikan harga juga dapat diketahui dengan melihat
pergerakan cumulative abnormal return (CAAR) portfolio saham winner selama
periode pengamatan yaitu Pergerakan CAAR
Gambar 3. CAAR Winner Periode Pengamatan t-5 sampai dengan t+20
Sumber: Data JKSE yang diolah.
Grafik diatas menunjukkan pergerakan harga yang terus menurun di awal
periode pengamatan. Selanjutnya terjadi peristiwa kenaikan harga saham secara
besar-besaran yang ditunjukkan dengan grafik CAAR yang meningkat secara
signifikan pada . Pada periode setelah , harga masih bergerak naik.
Walaupun pada beberapa periode harga kembali turun, namun secara keseluruhan
harga masih menunjukkan tren kenaikan. Tren tersebut berakhir pada pe .
Pada periode , harga mulai terkoreksi dan menurun secara perlahan.
Penurunan kembali terjadi pada hingga harga bergerak relatif stabil.
Walaupun terdapat korelasi negatif antara abnormal return dengan
cumulative abnormal return yang menunjukkan adanya kenaikan harga
saham yang signifikan diikuti dengan pembalikan harga, namun nilai tersebut
tidak signifikan. Hal tersebut berarti kenaikan ekstrim pada harga saham tersebut
tidak disebabkan oleh overreaction dari investor.
Walaupun sama-sama digunakan untuk menentukan posisi aksi jual dan beli
saham, overreaction berbeda dengan trend. Suatu trend harga naik diamati dengan
melihat pergerakan harga dalam beberapa periode atau bahkan dalam jangka
panjang. Identifikasi adanya trend dilakukan dengan membuat garis trend yang
dihubungkan dari beberapa support (Kusumawati, 2011). Sedangkan overreaction
hanya terjadi dalam satu periode (satu hari) dan kenaikan harga yang terjadi -0.1400
-0.1200 -0.1000 -0.0800 -0.0600 -0.0400 -0.0200 0.0000 0.0200
ditandai dengan pembalikan harga pada periode berikutnya akibat koreksi harga.
Sedangkan dalam trend, perubahan harga dari trend naik menjadi turun disebut
retracement (Kusumawati, 2011). Perubahan tersebut bukan akibat koreksi pasar,
melainkan akibat adanya pembeli yang menutup posisinya dengan tujuan
memperoleh keuntungan.
VIVAnews (Rabu, 26/05/10) mempublikasikan bahwa pemicu utama
sentimen positif bagi pergerakan IHSG dan kenaikan harga saham tersebut adalah
penguatan indeks di bursa Asia sejak pembukaan pada hari yang sama. Penguatan
bursa di Asia sendiri disebabkan oleh naiknya harga komoditas, seiring dengan
pergerakan positif harga minyak mentah dunia dan melemahnya mata uang yen
Jepang terhadap euro Eropa setelah beberapa hari terus mengalami pelemahan
(http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/153677-bursa_regional_perkasa__
ihsg_melonjak_7_ ). Penurunan indeks harga saham gabungan bursa Indonesia
selama lima hari sebelumnya akibat kecemasan krisis utang Yunani akhirnya
terhenti. Menurut tim riset PT Mega Capital, sentimen positif bursa gobal dan
regional, serta harga minyak mentah yang berbalik arah menguat (rebound)
diprediksi mampu memberikan angin segar di pasar saham domestik. Hal tersebut
dapat dimanfaatkan kembali oleh investor dalam memburu saham-saham
unggulan (http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/153553-regional_menguat__
ihsg_berhasil_rebound).
IHSG pada penutupan transaksi sesi kedua tanggal 26 Mei 2010 memang
melonjak 182,66 poin atau 7,26 persen ke level 2.696,78. Sebanyak 226 saham
menguat, 31 melemah, 24 stagnan, serta sebanyak 222 sedang tidak terjadi
transaksi. Bursa Asia saat IHSG ditutup hari ini juga bergerak positif. Indeks
Hang Seng naik 1,11 persen ke level 19.196,45, Nikkei 225 menguat 0,66 persen
di posisi 9.522,66, dan Straits Times terangkat 1,71 persen menjadi 2.696,02
(http://www.yiela.com/view/1128632/bursa-regional-menguat-ihsg-melonjak-7-).
Di Bursa Efek Indonesia, saham unggulan (blue chips) yang memberikan
kontribusi dalam penguatan IHSG, antara lain PT Gudang Garam Tbk (GGRM)
terangkat Rp 4.250 atau 13,20 persen ke level Rp 36.000, PT Astra International
Tambangraya Megah Tbk (ITMG) naik Rp 3.050 atau 10,09 persen di posisi Rp
33.250 (hhtp://bisnis.news.viva.co.id/news/read/153677-bursa_regional_perkasa_
_ihsg_melonjak_7_).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kenaikan harga
saham pada saham-saham winner pada hari peristiwa bukan diakibatkan oleh
perilaku investor yang bereaksi berlebihan terhadap suatu informasi positif,
namun lebih kepada pengaruh penguatan indeks bursa Asia dan kenaikan harga
minyak mentah dunia.
Peristiwa Price Reversal untuk Saham Winner
Perhitungan average abnormal return dengan menggunakan metode Market
Adjusted Model pada tabel 5 menunjukkan bahwa pembalikan harga pertama
untuk saham loser terjadi pada hari ke-3 setelah hari peristiwa ( ). Berikut
adalah pergerakan CAAR saham loser selama periode pengamatan yaitu dari
Gambar 4. CAAR Loser Periode Pengamatan t-5 sampai dengan t+20
Sumber: Data JKSE yang diolah.
Berdasarkan grafik tersebut, tren pergerakan harga yang turun sebenarnya
telah terlihat sejak sebelum . Pada periode , harga sempat naik
walaupun pada akhirnya turun kembali pada periode berikutnya. Selanjutnya
terjadi penurunan yang signifikan dimana hari tersebut merupakan hari peristiwa
penurunan saham secara besar-besaran ( ). Penentuan hari pembalikan harga -0.1000
-0.0800 -0.0600 -0.0400 -0.0200 0.0000
dilihat berdasarkan nilai average abnormal return setelah yang signifikan
dan bernilai positif. Sehingga kenaikan harga saham-saham loser terjadi pada hari
ke-3, 10, 15, 16, 17 dan 19. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa penurunan harga
saham sampel loser ketika hari peristiwa menyebabkan saham tersebut memiliki
abnormal return negatif. Nilai average abnormal return setelah hari peristiwa
yang signifikan dan positif menandakan kemungkinan tejadinya pembalikan harga
sebagai koreksi akibat adanya pergerakan harga yang tidak normal ketika hari
peristiwa.
Penurunan harga yang terjadi akibat overreaction juga berbeda dengan
trend. Harga memiliki trend menurun apabila garis trend dalam pergerakan harga
semakin rendah. Garis trend dibuat dengan menghubungkan beberapa ressistance
(Kusumawati, 2011). Sehingga trend turun diamati dalam beberapa periode atau
jangka panjang. Sedangkan penurunan harga dalam overreaction hanya terjadi
dalam satu periode (satu hari) dengan penurunan yang sangat signifikan akibat
pengaruh adanya peristiwa negatif. Overreaction juga ditandai dengan
pembalikan harga pada periode berikutnya akibat koreksi harga. Dalam trend,
perubahan harga dari trend turun menjadi naik disebut retracement (Kusumawati,
2011). Perubahan tersebut disebabkan oleh adanya penjual yang menutup
posisinya dengan tujuan memperoleh keuntungan dan bukan akibat koreksi pasar.
Pada tanggal 22 September 2011, IHSG di Bursa Efek Indonesia turun
sangat signifikan ke zona negatif. IHSG terpuruk 328,35 poin atau 8,89 persen ke
level 3.369,14. Bahkan pelemahan IHSG tersebut merupakan yang terbesar
dibandingkan bursa kawasan Asia Pasifik (http://bisnis.news.viva.co.id/news/read
/249291-indeks-terpuruk-300-poin).
Pergerakan negatif IHSG tersebut dipicu oleh berbagai faktor. Faktor
pertama adalah pelemahan bursa global, terutama Amerika Serikat dan Eropa.
Kondisi tersebut kemudian merembet ke pasar saham Asia akibat outlook
ekonomi AS yang memburuk. Outlook negatif ekonomi AS dan krisis utang
Eropa yang berkepanjangan akan berimplikasi pada outlook ekonomi dunia. Hal
Indonesia
(http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/249291-indeks-terpuruk-300-poin).
Selain itu, terpuruknya bursa Indonesia juga diakibatkan pasar keuangan
yang melemah. Hal tersebut terlihat dari nilai tukar rupiah yang terkoreksi cukup
cepat. Kondisi pelamahan nilai rupiah menambah ketidakpastian investor asing
dan domestik, sehingga mereka cenderung untuk meminimalisir risiko dengan
menjual lebih dahulu. Adanya informasi negatif dibarengi dengan ketidakpastian
menyebabkan investor, baik domestik maupun asing bereaksi berlebihan sehingga
tekanan jual menjadi tinggi. BI dan pemerintah mulai mempersiapkan
pencadangan dana buyback (http://internasional.kompas.com/read/2011/09
/22/15260963/Hatta.Pelaku.Pasar.Modal.Jangan.Panik). BEI sendiri menyarankan
untuk membeli saham asing sehingga keuntungan dapat dihasilkan pada periode
selanjutnya
(http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/249246-bursa-ri-terpuruk--ini-saran-otoritas-bei). Namun antisipasi tersebut tidak terlalu mempengaruhi
keputusan investor, karena investor yang sahamnya telah masuk dalam kategori
loser tidak berani mengambil risiko kerugian lebih banyak dengan menahan
saham perusahaan yang dimiliki. Apalagi portofolio saham loser sebagian besar
merupakan perusahaan dengan kapitalisasi pasar yang besar.
Ketajaman Overreaction dan Jangka Waktu Pembalikan Harga Saham
Winner dan Loser
Berdasarkan grafik CAAR sebelumnya, terlihat bahwa derajat ketajaman
overreaction saham winner lebih besar dibandingkan dengan saham loser. Secara
psikologis, pelaku pasar memang cenderung memberikan aksi yang lebih
dramatik terhadap berita yang buruk akibat keinginan investor untuk
meminimalisasi risiko. Investor yang sahamnya telah masuk dalam kategori loser
tidak akan mengambil risiko kerugian lebih banyak dengan menahan saham
perusahaan yang dimiliki. Selanjutnya aksi tersebut akan diikuti oleh reaksi yang
jangka waktunya tergantung pada jenis informasi yang menyebabkan perilaku
Jusuf (2008) menyatakan bahwa berita positif hanya mengakibatkan reaksi “lembut” yang kurang mencerminkan efisiensi pasar. Investor bereaksi dengan segera, namun berlangsung dalam waktu yang lama. Sedangkan even negatif
mengakibatkan reaksi yang lebih kuat. Pergerakan ekstrim pada harga saham akan
diikuti dengan pergerakan arah sebaliknya, dan semakin pendek durasi pergerakan
harga saham maka durasi reaksi yang terjadi juga semakin singkat. Hal tersebut
sesuai dengan pergerakan harga dalam grafik CAAR saham winner dan loser.
Saham winner yang mempunyai derajat overreaction lebih besar daripada saham
loser membutuhkan waktu 11 hari dalam koreksi harga. Sedangkan pada saham
loser, pembalikan harga terjadi dalam periode yang lebih singkat yaitu selama 3
hari. Kedua hasil identifikasi tersebut menunjukkan bahwa semakin besar
pergerakan harga ketika hari peristiwa, maka semakin besar pula jangka waktu
pembalikan harga selama hari penyesuaian.
Tabel 10. Perbandingan Ketajaman Overreaction dan Jangka Waktu Pembalikan Harga Saham Winner dan Loser
Saham Winner Saham Loser
Kenaikan Return IHSG 0,0721 -0,0894
Koefisien Korelasi -0,156 -0,252
Derajat Overreaction 7,34 % 3,53 %
Periode Pembalikan Harga
Jangka Waktu Pembalikan Harga 11 hari 3 hari
Sumber: Data sekunder yang diolah.
Karakteristik Perusahaan Saham Winner dan Loser ketika Terjadi Overreaction
Penelitian overreaction selalu mengelompokkan data menjadi dua jenis
saham, antara lain kelompok saham winner dan saham loser.
Perusahaan-perusahaan yang termasuk saham winner mengalami kenaikan harga secara
signifikan pada hari peristiwa sehingga abnormal returnnya bernilai positif.
harga yang signifikan, sehingga abnormal return perusahaan-perusahaan tersebut
menjadi negatif.
Beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Kusumawardhani (2001),
Dinawan (2007) serta Yull dan Kirmizi (2012) menggunakan variabel firm size,
likuiditas dan bid-ask spread sebagai faktor yang mempengaruhi price reversal
dalam penelitian overreaction. Namun dalam penelitian ini, variabel bid-ask
spread tidak digunakan akibat sulitnya memperoleh data historis bid dan ask. Data
bid dan ask yang bersifat intraday menyebabkan data historis tidak tersedia pada
website-website bursa. Padahal variabel tersebut merupakan salah satu variabel
yang mempengaruhi adanya reaksi berlebihan investor yang akhirnya memicu
pembalikan harga. Pendekatan lain dalam menghitung variabel bid-ask spread
telah dilakukan namun masih belum dapat merepresentasikan variabel tersebut.
Sehingga penelitian ini hanya menganalisis perbedaan likuiditas dan ukuran
perusahaan pada saham winner dan loser sebagai karakteristik perusahaan yang
diamati dalam penelitian overreaction.
Likuiditas saham adalah seberapa mudah dan cepat suatu aset dijual dan
berada dekat dengan nilai wajarnya (Rusliati dan Farida, 2010). Tingginya
frekuensi transaksi berdampak pada peningkatan minat investor terhadap saham
tersebut. Minat yang tinggi dimungkinkan karena semakin tinggi tingkat likuiditas
saham, semakin tinggi kemungkinan untuk mendapatkan return dibandingkan
saham yang likuiditasnya rendah (Yull dan Kirmizi, 2012).
Terkait dengan analisis overreaction hypothesis, tindakan sharesplit yang
dilakukan perusahaan dapat mengakibatkan peningkatan signifikan pada
permintaan saham tersebut. Tindakan sharesplit akan berdampak pada penurunan
harga saham, disertai dengan kenaikan jumlah saham secara proporsional (Rusliati
dan Farida, 2010). Investor mungkin merespon tindakan tersebut dengan
menyusun kembali portofolio investasinya berdasarkan berbagai pertimbangan.
Investor akan beranggapan kenaikan aktifitas perdagangan pada saham tersebut
akan kembali memicu kenaikan harga, dan pada akhirnya return saham. Sehingga
semakin likuid suatu saham, semakin sensitif pula reaksi investor terhadap saham